Sumber Daya Air

Kerjasama di Daerah Aliran Sungai Afghanistan–Pakistan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Air sebagai Titik Temu dan Sumber Konflik

Di tengah meningkatnya krisis air global, sungai lintas negara kian menjadi sumber ketegangan sekaligus peluang kerja sama. Afghanistan dan Pakistan, dua negara yang berbagi sejarah panjang dan kompleks, juga berbagi tiga sungai utama: Kabul, Kurram, dan Gomal. Namun, hingga kini, belum ada kerangka kerja sama formal untuk mengelola sumber daya air bersama, meski manfaat ekonomi, lingkungan, dan sosial yang bisa diraih sangat besar. Bab “Co-operation in the Afghanistan–Pakistan River Basins” karya Jonathan Lautze, Asadullah Meelad, dan Shakeel Hayat (2023) membedah akar masalah, peluang, dan strategi membangun kerja sama air lintas batas di kawasan ini. Resensi ini mengupas temuan utama, studi kasus, angka-angka penting, serta memberikan analisis kritis dan relevansi dengan tren global.

Mengapa Kerja Sama Air Lintas Batas Penting?

Manfaat Kolektif dan Ancaman Konflik

  • Optimalisasi Manfaat: Pengelolaan air lintas negara secara kolektif memungkinkan kedua negara memaksimalkan manfaat ekonomi (irigasi, listrik, pertanian) dan meminimalkan risiko (banjir, kekeringan)1.
  • Reduksi Potensi Konflik: Sejarah dunia menunjukkan, kerja sama air dapat menurunkan risiko konflik antarnegara dan meningkatkan stabilitas kawasan1.
  • Dorongan Internasional: Konvensi internasional seperti UNECE Water Convention (2016) dan UN Watercourse Convention (1997) secara tegas mendorong kerja sama di perairan lintas batas sebagai bagian dari pencapaian SDGs1.

Studi Kasus: Kabul, Kurram, dan Gomal—Tiga Sungai, Nol Kerja Sama

Gambaran Umum dan Signifikansi

  • Kabul River Basin: Menyediakan lebih dari 20 miliar m³ air per tahun, menopang 34 juta penduduk di area 92.000 km². Menyumbang 26% aliran permukaan tahunan Afghanistan dan menjadi tulang punggung irigasi 506.000 ha lahan di kedua negara2.
  • Kurram River Basin: Mengaliri 5,5 juta jiwa, dengan 70% wilayah dan 87% populasi di Pakistan. Sumber utama air pertanian dan domestik, dengan potensi ekspansi irigasi di dataran Pakistan2.
  • Gomal River Basin: Lebih kecil, namun tetap vital untuk pertanian dan kehidupan masyarakat di kedua negara2.

Fakta Kunci

  • Dari sembilan sungai lintas batas Afghanistan–Pakistan, hanya tiga yang memiliki volume dan signifikansi ekonomi terbesar: Kabul, Kurram, dan Gomal3.
  • Tidak ada satu pun perjanjian formal atau mekanisme pengelolaan bersama di antara kedua negara untuk sungai-sungai ini3.

Sejarah dan Status Quo: Dari Tradisi ke Tantangan Modern

Era Tradisional dan Kolonial

  • Sebelum abad ke-19, pengelolaan air berbasis komunitas (mirab) di Afghanistan dan sistem irigasi tradisional di Pakistan mendominasi, tanpa kebutuhan koordinasi lintas negara karena rendahnya penggunaan air dan belum adanya batas internasional1.
  • Penetapan Durand Line (1893) oleh Inggris memecah DAS Indus dan menginternasionalisasi tiga sungai utama, namun tidak diikuti perjanjian air formal antara Afghanistan dan Pakistan1.

Upaya Kerja Sama yang Gagal

  • Sejak 2003, setidaknya enam inisiatif formal dilakukan, termasuk proposal perjanjian Kabul River Treaty, dialog difasilitasi USAID dan World Bank, hingga MoU pengembangan PLTA Kunar bersama China, namun semua gagal diimplementasikan karena kendala politik dan teknis1.
  • Indus Water Treaty (IWT) 1960 antara India–Pakistan tidak mencakup sungai dari Afghanistan, sehingga fragmentasi pengelolaan DAS Indus tetap terjadi1.

Dampak Ketiadaan Kerja Sama: Ancaman Nyata di Lapangan

Kerugian dan Risiko Aktual

  • Kerusakan Banjir: Banjir 2010 di Kabul River Basin menewaskan sekitar 2.000 orang dan menghancurkan lebih dari 1,6 juta rumah di Afghanistan dan Pakistan1.
  • Inefisiensi Pengelolaan: Tidak adanya pertukaran data debit air membuat perencanaan dan alokasi air tidak optimal, memperbesar risiko gagal panen dan kekeringan1.
  • Risiko Masa Depan: Pembangunan unilateral dam di Afghanistan dapat mengurangi aliran ke Pakistan, mengancam irigasi dan mata pencaharian jutaan petani. Sebaliknya, ekspansi infrastruktur di Pakistan bisa mengunci hak penggunaan air Afghanistan di masa depan1.

Ancaman Sosial-Politik

  • Sengketa Perbatasan: Perselisihan tentang keabsahan Durand Line membuat kedua negara enggan membangun kepercayaan. Afghanistan menolak mengakui Durand Line sebagai batas internasional, sementara Pakistan menganggapnya sah1.
  • Geopolitik Regional: Rivalitas India–Pakistan dan keterlibatan pihak ketiga (AS, China, Rusia) memperumit negosiasi air. Proyek dam yang didanai India di Afghanistan dipandang sebagai ancaman oleh Pakistan1.
  • Instabilitas Politik: Pergantian rezim yang sering di Afghanistan dan Pakistan menghambat kelanjutan negosiasi air lintas negara1.

Analisis Penyebab Mandeknya Kerja Sama

Empat Faktor Utama

  1. Sengketa Batas Wilayah: Perselisihan Durand Line menjadi akar ketidakpercayaan dan hambatan utama dialog air1.
  2. Geopolitik Global dan Regional: Perang proxy era Perang Dingin dan rivalitas India–Pakistan membayangi setiap negosiasi air1.
  3. Bundling Isu: Elit kedua negara kerap mengaitkan isu air dengan isu lain seperti keamanan, perdagangan, dan politik, sehingga air tidak pernah menjadi prioritas tersendiri1.
  4. Instabilitas Politik Domestik: Pemerintahan yang tidak stabil membuat setiap upaya kerja sama sulit berlanjut secara konsisten1.

Potensi Manfaat Kerja Sama: Studi Kasus dan Angka

Enam Manfaat Utama

  1. Peningkatan Energi: Potensi PLTA di Kabul River Basin mencapai 1.100 MW (World Bank, 2018), namun butuh investasi dan kerja sama internasional1.
  2. Reduksi Risiko Banjir: Sistem peringatan dini banjir bersama dapat menyelamatkan ribuan jiwa dan aset miliaran dolar setiap tahun1.
  3. Kepastian Air untuk Pertanian: Pengaturan aliran air bersama dapat meningkatkan produktivitas pertanian di kedua negara, mengurangi risiko gagal panen akibat fluktuasi aliran sungai1.
  4. Adaptasi Perubahan Iklim: Proyeksi kenaikan suhu 2,6–5,1°C dan peningkatan curah hujan 4,5–12,2% di DAS Kabul, Kurram, dan Gomal pada akhir abad 21 akan meningkatkan risiko banjir dan kekeringan. Kerja sama memungkinkan respons adaptif berbasis data dan infrastruktur bersama1.
  5. Perdamaian dan Stabilitas: Kerja sama air menjadi jalur diplomasi baru yang dapat menurunkan tensi politik dan membuka peluang kerja sama ekonomi lintas sektor1.
  6. Pertumbuhan Ekonomi Regional: Stabilitas dan kepastian pengelolaan air menarik investasi, memperkuat perdagangan, dan membuka akses pasar lintas negara1.

Kerangka Hukum dan Prinsip Kerja Sama

Panduan Global dan Lokal

  • Konvensi UNECE 1992 dan UN Watercourses 1997: Menekankan pertukaran data, pemberitahuan rencana infrastruktur, penyelesaian sengketa, kewajiban kerja sama, dan prinsip pemanfaatan adil-berkelanjutan1.
  • Hukum Adat Internasional: Prinsip “limited territorial sovereignty” menegaskan setiap negara riparian berhak atas pemanfaatan adil, namun wajib memperhatikan hak negara lain1.
  • Hukum Islam: Air adalah milik bersama, dan penggunaan harus adil, tidak merugikan orang lain, serta mendahulukan kebutuhan dasar sebelum komersial1.

Strategi Memulai Kerja Sama: Rekomendasi Praktis

Empat Katalisator Perubahan

  1. Pisahkan Isu Air dari Isu Lain: Belajar dari Indus Water Treaty, fokus pada air tanpa membebani dengan isu politik atau keamanan lain dapat mempercepat tercapainya kesepakatan teknis1.
  2. Bangun Pemahaman Nilai Manajemen DAS: Studi banding ke lembaga pengelola DAS sukses seperti TVA (AS) dan Murray Darling Authority (Australia) dapat membuka wawasan dan membangun buy-in dari kedua negara1.
  3. Fasilitasi Pihak Ketiga: Keterlibatan lembaga seperti World Bank, USAID, atau donor multilateral lain penting untuk mediasi, pendanaan, dan menjaga kontinuitas proses negosiasi1.
  4. Dorong Kerja Sama karena Urgensi Iklim: Adaptasi perubahan iklim dapat menjadi alasan kuat untuk mempercepat kerja sama, sekaligus membuka akses pendanaan internasional1.

Tahapan Implementasi

  • Langkah Awal: Mulai dari pertukaran data, sistem peringatan dini banjir, dan studi bersama tentang perubahan iklim di DAS kecil (Kurram/Gomal) untuk membangun kepercayaan sebelum masuk ke isu besar seperti alokasi air atau pembangunan dam1.
  • Pendekatan Bertahap: Setelah kepercayaan terbentuk, lanjutkan ke kolaborasi teknis, lalu ke joint action seperti pembangunan infrastruktur bersama1.
  • Peluang Pembiayaan: Model multi-donor trust fund seperti pada Nile Basin Initiative dapat diadopsi untuk menjamin keberlanjutan pendanaan kerja sama air lintas negara1.

Analisis Kritis dan Perbandingan dengan Studi Lain

Kelebihan dan Kekurangan

  • Konteks Afghanistan–Pakistan: Berbeda dengan India–Pakistan, Afghanistan belum memiliki kebutuhan mendesak untuk kerja sama air karena tingkat pembangunan irigasi yang masih rendah. Namun, potensi konflik di masa depan sangat besar jika pembangunan dam dilakukan sepihak1.
  • Belajar dari IWT: IWT sukses memisahkan air dari isu politik, namun gagal membangun institusi pengelolaan bersama. Afghanistan–Pakistan sebaiknya menghindari model “pembagian air” dan lebih fokus pada “berbagi manfaat” (benefit sharing) lintas sektor14.
  • Tren Global: Dunia kini bergerak ke arah pengelolaan DAS berbasis manfaat bersama, penggunaan teknologi digital untuk monitoring, dan keterlibatan multipihak (pemerintah, komunitas, swasta, donor)4.

Opini dan Relevansi Industri

  • Industri Energi dan Pertanian: Kerja sama air akan memperkuat ketahanan energi (PLTA) dan pangan (irigasi), sekaligus mengurangi risiko bisnis akibat ketidakpastian pasokan air.
  • Teknologi dan Data: Digitalisasi data hidrologi, penggunaan sensor real-time, dan platform kolaboratif lintas negara menjadi tren baru yang dapat memfasilitasi kerja sama lebih efisien dan transparan4.

Rekomendasi untuk Masa Depan

  1. Bangun Kepercayaan Melalui Quick Wins: Mulai dari pertukaran data, studi bersama, dan sistem peringatan dini banjir di DAS kecil untuk membangun modal sosial sebelum membahas isu besar seperti alokasi air1.
  2. Adopsi Prinsip Benefit Sharing: Fokus pada berbagi manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan, bukan sekadar membagi volume air4.
  3. Perkuat Kelembagaan dan Hukum: Bentuk lembaga bersama yang independen, adopsi prinsip-prinsip hukum internasional dan Islam, serta dorong ratifikasi konvensi global1.
  4. Libatkan Multipihak: Sertakan komunitas lokal, LSM, dan sektor swasta dalam perencanaan, implementasi, dan monitoring kerja sama air4.
  5. Optimalkan Teknologi: Manfaatkan data digital, sensor, dan platform daring untuk monitoring, peringatan dini, dan transparansi pengelolaan air lintas negara4.

Jalan Panjang Menuju Diplomasi Air yang Inklusif

Bab ini menegaskan bahwa kerja sama air Afghanistan–Pakistan bukan sekadar isu teknis, melainkan ujian diplomasi, kepercayaan, dan visi masa depan kedua bangsa. Tanpa reformasi kelembagaan, pemisahan isu air dari politik, dan adopsi prinsip benefit sharing, risiko konflik dan kerugian ekonomi akan terus membayangi. Namun, peluang untuk membangun model kerja sama air yang inklusif, adaptif, dan berkelanjutan sangat terbuka jika kedua negara berani melangkah bersama, dibantu fasilitasi pihak ketiga dan didorong kebutuhan adaptasi perubahan iklim. Masa depan air di kawasan ini akan sangat ditentukan oleh keberanian politik, inovasi kelembagaan, dan partisipasi multipihak dalam membangun tata kelola bersama yang adil dan visioner.

Sumber artikel :
Lautze, Jonathan; Meelad, Asadullah; Hayat, Shakeel. 2023. Co-operation in the Afghanistan–Pakistan River Basins. In: Shah, M.A.A.; Lautze, J.; Meelad, A. (Eds.). Afghanistan–Pakistan Shared Waters: State of the Basins. Wallingford, UK: CABI. pp.143–161.

Selengkapnya
Kerjasama di Daerah Aliran Sungai Afghanistan–Pakistan

Sumber Daya Air

Achieving Water Security in Global Change: Dealing with Associated Risk in Water Investment

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Mengapa Keamanan Air Menjadi Isu Strategis?

Keamanan air (water security) kini menjadi salah satu isu paling mendesak dalam pembangunan berkelanjutan di seluruh dunia. Tidak hanya karena air adalah kebutuhan dasar manusia, tetapi juga karena air menjadi penentu pertumbuhan ekonomi, kesehatan ekosistem, dan stabilitas sosial. Paper “Achieving Water Security in Global Change: Dealing with Associated Risk in Water Investment” karya Eva Mia Siska dan Kaoru Takara (2015) membedah secara mendalam tantangan dan strategi mencapai water security, khususnya di tengah tekanan perubahan global seperti pertumbuhan penduduk, perubahan iklim, dan degradasi lingkungan. Artikel ini akan mengulas temuan utama paper, menyoroti studi kasus nyata, angka-angka penting, serta memberikan analisis kritis dan relevansi dengan tren industri dan kebijakan.

Konsep Water Security: Dualitas Air sebagai Sumber dan Ancaman

Definisi dan Dimensi Water Security

Water security didefinisikan sebagai kapasitas masyarakat untuk mengamankan akses terhadap air dalam jumlah dan kualitas yang memadai untuk menopang kesehatan manusia dan ekosistem, sekaligus melindungi diri dari bahaya air seperti banjir, longsor, dan kekeringan. Konsep ini menekankan dua sisi air: sebagai sumber pertumbuhan (supportive side) dan sebagai ancaman bila tidak terkelola (destructive side)1.

  • Supportive Side: Air sebagai input utama dalam pertanian, energi, transportasi, industri, hingga pengembangan modal manusia.
  • Destructive Side: Air yang berlebih (banjir) atau kurang (kekeringan) dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan menyebabkan kemiskinan.

Studi Kasus: Ethiopia dan Variabilitas Curah Hujan

Di Ethiopia, keterbatasan kapasitas penyimpanan air membuat negara ini sangat rentan terhadap variabilitas curah hujan. Data World Bank (2006) menunjukkan bahwa fluktuasi pertumbuhan GDP Ethiopia sangat berkorelasi dengan variasi curah hujan tahunan. Ketidakmampuan mengelola variabilitas air menyebabkan pertumbuhan ekonomi terhambat dan memperbesar risiko kemiskinan1.

Investasi Air: Tipping Point, Pertumbuhan Ekonomi, dan Tantangan Politik

Kerangka “Water and Growth S-Curve”

Paper ini menyoroti konsep “tipping point” dalam investasi air: negara harus berinvestasi hingga mencapai platform minimum agar air benar-benar berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Di bawah tipping point, negara dianggap water insecure dan tidak mampu memanfaatkan air untuk pertumbuhan. Setelah tipping point tercapai, investasi tambahan akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkelanjutan1.

  • Negara dengan Hidrologi “Mudah”: Membutuhkan investasi lebih sedikit untuk mencapai water security.
  • Negara dengan Hidrologi “Sulit”: Harus berinvestasi jauh lebih besar agar bisa memanfaatkan air secara optimal.

Dampak Global Change: Populasi, Gaya Hidup, dan Iklim

Pertumbuhan penduduk, perubahan gaya hidup, degradasi ekosistem, dan perubahan iklim memperburuk akses air dan meningkatkan risiko kejadian ekstrem. Negara-negara berkembang menghadapi tantangan ganda: keterbatasan dana dan tekanan politik, karena investasi air jarang langsung meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebelum tipping point tercapai, sehingga seringkali tidak populer secara politik1.

Peran Pemerintah dan Swasta dalam Investasi Air

Dominasi Pemerintah dan Tantangan Investasi

Pemerintah memegang peran sentral dalam investasi awal infrastruktur air melalui sumber daya fiskal. Namun, di negara termiskin, pelaku ekonomi cenderung sangat risk-averse, lebih memilih meminimalkan risiko daripada mengejar potensi keuntungan. Akibatnya, investasi publik dalam air seringkali tertunda atau tidak memadai1.

Promosi Investasi Swasta

Untuk mengatasi keterbatasan fiskal, banyak negara kini mendorong investasi swasta dalam infrastruktur air strategis. Namun, keterlibatan swasta juga menghadapi tantangan risiko, terutama dalam konteks perubahan global yang penuh ketidakpastian1.

Model Hidro-Ekonomi: Jembatan Sains dan Kebijakan

Mengapa Model Hidro-Ekonomi Penting?

Model hidro-ekonomi menjadi alat penting untuk memahami interaksi kompleks antara variabel hidrologi, ekonomi, dan ekologi. Model ini membantu pengambil keputusan untuk:

  • Mensimulasikan dampak perubahan air terhadap ekonomi dan lingkungan.
  • Mengevaluasi berbagai skenario kebijakan dan investasi.
  • Mengidentifikasi strategi investasi “no-regret” atau “low-regret” yang tetap menguntungkan di bawah berbagai skenario perubahan iklim1.

Dimensi Model Hidro-Ekonomi

Model ini mengintegrasikan:

  • Variabel Hidrologi: Ketersediaan air, curah hujan, debit sungai, kualitas air.
  • Variabel Ekonomi: Permintaan air di sektor pertanian, energi, industri, rumah tangga.
  • Variabel Ekologi: Kesehatan ekosistem, jasa lingkungan, risiko bencana.

Studi Kasus Model Hidro-Ekonomi: Ethiopia dan Arkansas River Basin

1. Ethiopia: Dynamic General Equilibrium Model untuk Adaptasi Iklim

Robinson et al. (2012) mengembangkan model equilibrium dinamis multi-sektor yang menggabungkan model hidrologi, pertanian, transportasi, dan energi. Model ini mensimulasikan dampak lima skenario perubahan iklim (tanpa perubahan, basah, kering, global basah, global kering) hingga tahun 20501.

  • Hasil Simulasi: Adaptasi melalui investasi di pertanian, jalan, dan bendungan dapat secara signifikan mengurangi kerugian kesejahteraan dan variabilitas GDP akibat perubahan iklim.
  • Analisis Biaya-Manfaat: Investasi adaptasi yang tepat dapat menghasilkan manfaat sosial yang jauh melebihi biaya investasi, terutama jika dibandingkan dengan kerugian akibat banjir dan kekeringan.
  • Strategi Investasi: Model ini membantu pemerintah menentukan kapan investasi harus dilakukan, misal menunda investasi irreversible jika hasil simulasi antara skenario basah dan kering sangat berbeda.

2. Arkansas River Basin, AS: CGE untuk Pilihan Investasi Air

Goodman (2000) menggunakan model Computable General Equilibrium (CGE) untuk membandingkan dua opsi: membangun reservoir baru atau melakukan transfer air dari kawasan pertanian ke kota1.

  • Hasil Temuan: Transfer air dari pertanian ke kota secara temporer lebih efisien dan menguntungkan dibanding membangun reservoir baru, yang biayanya tinggi dan manfaatnya terbatas.
  • Dampak Sosial-Ekonomi: Model ini menunjukkan bahwa kebijakan yang tidak populer secara politik (misal transfer air) bisa jadi lebih rasional secara ekonomi, jika didukung analisis ilmiah yang komprehensif.
  • Relevansi: Studi ini menegaskan pentingnya basis ilmiah dalam pengambilan keputusan investasi air, terutama untuk keputusan yang berpotensi kontroversial.

Kritik dan Analisis Kritis: Keterbatasan dan Tantangan Model

Keterbatasan Model Hidro-Ekonomi

  • Keterbatasan Data: Model dinamis dan terintegrasi memerlukan data yang sangat detail dan berkualitas tinggi, yang seringkali sulit diperoleh di negara berkembang.
  • Waktu dan Sumber Daya: Pengembangan dan kalibrasi model memakan waktu dan biaya besar.
  • Keterbatasan Model Statis: Model pertumbuhan jangka panjang kurang mampu menangkap dampak kejadian ekstrem jangka pendek (banjir, kekeringan), sehingga perlu analisis dinamis yang lebih canggih1.

Tantangan Implementasi di Negara Berkembang

  • Kapasitas Teknis: Banyak negara berkembang belum memiliki kapasitas teknis memadai untuk membangun dan mengoperasikan model hidro-ekonomi canggih.
  • Keterbatasan Anggaran: Investasi dalam pengembangan model seringkali dipandang tidak prioritas dibanding kebutuhan infrastruktur fisik.
  • Keterlibatan Stakeholder: Model yang baik harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan (pemerintah, swasta, masyarakat) agar hasilnya relevan dan dapat diimplementasikan.

Relevansi dengan Tren Industri dan Kebijakan Global

1. Water Security sebagai Pilar Pembangunan Berkelanjutan

Keamanan air kini menjadi pilar utama dalam pencapaian SDGs, khususnya SDG 6 (air bersih dan sanitasi) dan SDG 13 (aksi iklim). Industri air, energi, dan pertanian kini didorong untuk mengadopsi pendekatan berbasis risiko dan investasi adaptif, bukan sekadar ekspansi infrastruktur1.

2. Digitalisasi dan Smart Water Management

Tren digitalisasi (IoT, big data, AI) membuka peluang baru untuk pemantauan air secara real-time, prediksi risiko, dan pengambilan keputusan berbasis data. Model hidro-ekonomi dapat diintegrasikan dengan teknologi digital untuk meningkatkan akurasi dan responsivitas kebijakan air.

3. Kolaborasi Multipihak dan Investasi Inovatif

Pendanaan inovatif seperti blended finance, green bonds, dan public-private partnership (PPP) kini semakin banyak digunakan untuk mendanai investasi air, terutama di negara berkembang. Kolaborasi multipihak menjadi kunci keberhasilan investasi air yang adaptif dan berkelanjutan.

Perbandingan dengan Studi Lain

1. Grey & Sadoff (2007): Water Security for Growth and Development

Studi ini menegaskan bahwa negara yang telah mencapai water security mampu menikmati pertumbuhan ekonomi yang lebih stabil dan inklusif. Sebaliknya, negara yang belum mencapai water security cenderung stagnan atau terhambat pertumbuhannya akibat risiko air yang tidak terkelola1.

2. Brouwer et al. (2008): Integrated Hydro-Economic Modelling

Brouwer dkk. menyoroti pentingnya model yang mampu mengintegrasikan dampak langsung dan tidak langsung perubahan kualitas air terhadap ekonomi nasional dan daerah aliran sungai. Studi ini sejalan dengan temuan Siska & Takara bahwa model hidro-ekonomi harus mampu menangkap interaksi lintas sektor dan skala1.

3. Harou et al. (2009): Future Prospects of Hydro-Economic Models

Harou dkk. menekankan perlunya pengembangan model yang lebih fleksibel, modular, dan mampu mengakomodasi ketidakpastian iklim serta kebutuhan adaptasi jangka panjang. Hal ini sejalan dengan rekomendasi paper terkait kebutuhan model yang mampu mendukung investasi “no-regret” dan “low-regret”.

Rekomendasi untuk Masa Depan Investasi Air dan Water Security

  1. Perkuat Kapasitas Teknis dan Data
    Negara berkembang perlu berinvestasi dalam pengembangan kapasitas teknis, sistem data, dan infrastruktur digital untuk mendukung pengembangan model hidro-ekonomi yang andal.
  2. Adopsi Model Dinamis dan Adaptif
    Model harus mampu mensimulasikan dampak jangka pendek dan panjang, serta mengakomodasi ketidakpastian perubahan iklim dan ekonomi.
  3. Kolaborasi Multipihak
    Libatkan pemerintah, swasta, masyarakat, dan lembaga donor dalam pengembangan dan implementasi model serta investasi air.
  4. Fokus pada Investasi “No-Regret” dan “Low-Regret”
    Prioritaskan investasi yang tetap menguntungkan di bawah berbagai skenario perubahan iklim, seperti efisiensi air, konservasi, dan adaptasi berbasis ekosistem.
  5. Integrasi dengan Kebijakan Pembangunan Nasional
    Pastikan hasil model dan rekomendasi investasi air terintegrasi dalam perencanaan pembangunan nasional dan regional.

Menuju Water Security yang Adaptif dan Berkelanjutan

Paper ini menegaskan bahwa mencapai water security di era perubahan global membutuhkan investasi strategis, pengelolaan risiko yang cermat, dan dukungan model hidro-ekonomi yang terintegrasi. Studi kasus di Ethiopia dan Arkansas River Basin memperlihatkan bagaimana model dapat membantu pengambilan keputusan investasi air yang lebih rasional, efisien, dan adaptif terhadap ketidakpastian. Tantangan utama terletak pada keterbatasan data, kapasitas teknis, dan komitmen politik, terutama di negara berkembang. Namun, dengan adopsi teknologi digital, kolaborasi multipihak, dan fokus pada investasi adaptif, masa depan water security yang inklusif dan berkelanjutan sangat mungkin diwujudkan. Paper ini menjadi rujukan penting bagi pembuat kebijakan, peneliti, dan pelaku industri yang ingin membangun masa depan air yang tangguh dan berkeadilan.

Sumber artikel :
Eva Mia Siska & Kaoru Takara. “Achieving water security in global change: dealing with associated risk in water investment.” Procedia Environmental Sciences 28 (2015): 743–749.

Selengkapnya
Achieving Water Security in Global Change: Dealing with Associated Risk in Water Investment

Sumber Daya Air

Corporate Engagement in Water Policy and Governance: Water Stewardship dan Water Security di Era Bisnis Global

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Bisnis, Air, dan Tantangan Tata Kelola Abad ke-21

Air adalah fondasi ekonomi global—dari pertanian, manufaktur, hingga teknologi digital. Namun, selama bertahun-tahun, peran korporasi dalam tata kelola air nyaris terabaikan. Paper “Corporate Engagement in Water Policy and Governance: A Literature Review on Water Stewardship and Water Security” karya Suvi Sojamo dan Thérèse Rudebeck (2024) membongkar bagaimana, dalam 15 tahun terakhir, perusahaan-perusahaan besar mulai aktif membentuk kebijakan air global melalui inisiatif water stewardship dan water security. Artikel ini merangkum temuan utama, menyoroti studi kasus, angka-angka penting, serta memberikan analisis kritis dan relevansi dengan tren industri dan kebijakan kontemporer1.

Evolusi Konsep: Dari Water Stewardship ke Water Security

Water Stewardship: Dari “Footprint” ke Kolektif Aksi

Konsep water stewardship lahir dari kebutuhan untuk melihat air sebagai risiko bisnis dan peluang kolektif. Dimulai dengan ide “water footprint” (jejak air) yang dikembangkan Tony Allan dan WWF pada awal 2000-an, perusahaan mulai menghitung total konsumsi air di sepanjang rantai pasok mereka. Studi landmark WWF dan SABMiller (2009) mengungkap lebih dari setengah konsumsi air Inggris berasal dari produk impor—menyoroti pentingnya melihat air secara lintas negara dan rantai nilai1.

Inisiatif seperti CEO Water Mandate (UN Global Compact, 2007), Water Footprint Network, dan Alliance for Water Stewardship (AWS, 2014) menandai babak baru: perusahaan didorong untuk bertanggung jawab tidak hanya di dalam pagar pabrik, tapi juga di tingkat catchment (DAS) dan komunitas. AWS mendefinisikan stewardship sebagai penggunaan air yang adil, berkelanjutan, dan inklusif, dengan lima pilar: tata kelola, keseimbangan air, kualitas air, perlindungan ekosistem, dan akses WASH (water, sanitation, hygiene)1.

Water Security: Integrasi Bisnis dalam Agenda Publik

Water security, meski tak punya definisi tunggal, kini menjadi tujuan utama manajemen air global—menekankan perlindungan ekonomi, ekosistem, dan masyarakat dari risiko air. Sejak 2009, World Economic Forum (WEF) dan 2030 Water Resources Group (2030 WRG)—diprakarsai CEO Nestlé dan World Bank—menyuarakan bahwa pada 2030, permintaan air global bisa melebihi pasokan hingga 40%. Ini menempatkan perusahaan sebagai aktor utama dalam mengatasi risiko air, bukan sekadar penerima dampak1.

Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci

1. Perusahaan dan Inisiatif Global

  • CDP Water Program: Pada 2023, 13.356 perusahaan terbesar dunia diminta melaporkan data air; 4.815 merespons (naik 23% dari 2022), namun hanya 103 yang masuk “A-list” CDP untuk water security1.
  • CEO Water Mandate: Lebih dari 240 perusahaan multinasional telah menandatangani komitmen ini, meliputi operasi, rantai pasok, aksi kolektif, kebijakan publik, dan transparansi.
  • AWS Certification: Hingga April 2024, 279 lokasi perusahaan telah tersertifikasi AWS, 54 di antaranya meraih level “platinum”—namun mayoritas masih didominasi perusahaan besar, bukan UKM.

2. Sektor Kritis dan Rantai Nilai

  • Agribisnis dan F&B: Sektor agrikultur, makanan, dan minuman adalah pengguna air terbesar dunia. Nestlé, Bunge, Cargill, Coca-Cola, PepsiCo, dan Unilever menjadi pionir water stewardship, seringkali didorong tekanan masyarakat dan regulasi akibat krisis air di lokasi operasi (misal, kasus Coca-Cola di India)1.
  • Teknologi dan Data Center: Perusahaan seperti Meta, Microsoft, Google, dan Amazon kini berkomitmen menjadi “water positive” pada 2030, menyadari kebutuhan air masif untuk pendinginan data center dan produksi hardware.
  • Industri Tekstil dan Pertambangan: Sektor tekstil, pertambangan, dan kimia kini mulai disorot karena jejak air dan polusi yang tinggi, meski literatur dan aksi nyata masih terbatas dibanding sektor agrikultur dan F&B.

3. Studi Kasus Lapangan

  • South Africa Fruit Industry: Studi di Western Cape menunjukkan strategi mitigasi risiko air industri buah lebih fokus pada efisiensi internal, mengabaikan isu keadilan distribusi air pasca-apartheid—menimbulkan ketimpangan baru di tingkat komunitas1.
  • Ica Valley, Peru: Transformasi menjadi “zona ekstraksi virtual water” untuk agribisnis ekspor memperburuk kondisi sosial-ekologis petani kecil, meski beberapa perusahaan telah mengantongi sertifikasi AWS.
  • Mongolia Mining: Inisiatif Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) belum mampu meredam konflik air antara perusahaan tambang dan komunitas lokal, menyoroti lemahnya peran masyarakat dalam pengawasan1.

Motivasi dan Dinamika Keterlibatan Korporasi

Internal Drivers

  • Nilai dan Budaya Perusahaan: Komitmen pimpinan, champion internal, dan komunikasi efektif antara kantor pusat dan lokasi operasi adalah kunci strategi air yang holistik.
  • Etika vs Motif Ekonomi: Ada ketegangan antara dorongan etis dan motif ekonomi. Banyak perusahaan mengedepankan “water risk” sebagai alasan utama aksi, bukan tanggung jawab intrinsik1.

External Drivers

  • Regulasi dan Investor: Tekanan regulasi (misal, EU CSRD dan CSDDD) dan tuntutan investor besar seperti Norges Bank Investment Management (US$1,7 triliun) mendorong perusahaan mengintegrasikan water management ke strategi bisnis dan pelaporan.
  • Tekanan Konsumen dan LSM: Kampanye LSM dan konsumen mendorong perusahaan lebih transparan dan bertanggung jawab, terutama di sektor yang langsung berhadapan dengan publik.
  • Risiko Bersama (Shared Water Risk): Konsep “shared risk” menekankan bahwa risiko air dialami bersama oleh perusahaan, masyarakat, dan ekosistem, sehingga solusi harus kolektif—meski dalam praktiknya, persepsi dan distribusi risiko sering tidak seimbang1.

Dinamika Implementasi: Dari Komitmen ke Dampak Nyata

1. Komitmen Meningkat, Implementasi Masih Terbatas

  • Data CDP: Meski komitmen perusahaan meningkat, mayoritas aksi masih berupa efisiensi internal, bukan transformasi model bisnis atau aksi di tingkat catchment.
  • Studi 40 Laporan Korporasi: Hanya sedikit perusahaan yang benar-benar mengatasi isu permintaan air melebihi pasokan, polusi, hak pekerja, dan keanekaragaman hayati. Mayoritas masih fokus pada “in-house efficiency”1.

2. Kesenjangan antara Strategi dan Realitas

  • Pendanaan: Sebagian besar pendanaan aksi stewardship masih berasal dari donor publik, bukan dana inti perusahaan. Inisiatif perusahaan sering hanya membawa keahlian, bukan investasi finansial nyata.
  • Keterlibatan UKM dan Petani Kecil: Standar dan inisiatif global masih sulit dijangkau UKM dan produsen kecil, yang justru paling terdampak dan berperan besar di rantai pasok air dunia.

3. Studi Kasus: Equity dan Keadilan

  • Peru & Afrika Selatan: Sertifikasi dan standar global kadang memperparah ketimpangan, karena syarat kepatuhan lebih mudah dipenuhi perusahaan besar. Petani kecil sering kehilangan hak air akibat “teknik visibilisasi” dan “truth production” oleh standar internasional.
  • TNC Water Funds (Amerika Latin): Keberhasilan tergantung pada kepemimpinan publik dan partisipasi transparan. Dominasi perusahaan atau LSM tunggal berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan melemahkan dampak sosial1.

Analisis Kritis: Kontroversi, Peluang, dan Tantangan

1. Water Stewardship: Paradigma Baru atau Sekadar PR?

  • Paradigma Baru: Keterlibatan bisnis mempercepat kolaborasi multipihak, mendorong inovasi, dan memperkuat aksi kolektif di banyak negara.
  • Kritik: Banyak inisiatif stewardship hanya menjadi sarana legitimasi bisnis (social license to operate), tanpa perubahan fundamental dalam tata kelola air atau distribusi manfaat. Studi di India, Peru, dan Afrika Selatan menunjukkan kecenderungan “depolitisasi” isu air demi efisiensi, mengabaikan dimensi keadilan dan hak masyarakat lokal1.

2. Water Security: Risiko Ekonomi atau Kesejahteraan Bersama?

  • Reframing: Perusahaan kini memandang air bukan hanya risiko lingkungan, tapi juga risiko ekonomi dan finansial yang bisa mengancam kelangsungan bisnis dan investasi.
  • Risiko Privatisasi: Keterlibatan korporasi tanpa kendali publik berisiko memperparah “water grabbing” dan “financialisation of water”, terutama di negara berkembang dengan kapasitas regulasi lemah.

3. Peran LSM dan Donor: Kolaborasi atau Fragmentasi?

  • Kolaborasi: LSM seperti WWF, TNC, dan WaterAid berperan penting membangun standar, memfasilitasi aksi kolektif, dan mendorong harmonisasi inisiatif.
  • Fragmentasi: Persaingan antar LSM kadang menimbulkan kebingungan di kalangan perusahaan dan melemahkan dampak. Pendanaan independen dan peran “broker” yang netral sangat dibutuhkan untuk menjaga objektivitas dan legitimasi1.

Studi Kasus dan Praktik Terbaik: Inspirasi dan Pelajaran

1. Mersey Basin Campaign (UK, 1985–2010)

Kolaborasi antara bisnis, pemerintah, dan masyarakat sipil berhasil merevitalisasi sungai Mersey, mengurangi polusi, dan membangun tata kelola air yang inklusif. Keberhasilan ini tak lepas dari peran pemerintah sebagai “principal” yang memastikan tujuan publik tetap utama1.

2. AWS Certification di Ica Valley, Peru

Beberapa perusahaan agribisnis besar telah meraih sertifikasi AWS. Namun, dampak nyata terhadap petani kecil dan lingkungan masih dipertanyakan, menjadi “uji lakmus” apakah standar global benar-benar mampu menghasilkan perubahan berkelanjutan dan adil.

3. Komitmen “Water Positive” di Sektor Teknologi

Meta, Google, Microsoft, dan Amazon berkomitmen menjadi “water positive” pada 2030. Namun, pengukuran dampak dan transparansi aksi di rantai pasok masih menjadi tantangan besar, terutama di negara berkembang yang menjadi basis produksi hardware dan data center1.

Relevansi Industri dan Kebijakan: Tren dan Masa Depan

1. Digitalisasi dan Transparansi

Teknologi digital (IoT, big data, blockchain) membuka peluang pemantauan air real-time, pelaporan ESG, dan transparansi rantai pasok. Platform seperti CDP dan inisiatif seperti Fair Water Footprints Declaration mulai menghubungkan negara konsumen dan produsen air secara global.

2. Regulasi dan Standar Global

Regulasi seperti EU CSRD dan CSDDD mendorong perusahaan multinasional mengadopsi standar pelaporan ESG yang lebih ketat, termasuk aspek air. Namun, harmonisasi standar dan perlindungan hak masyarakat lokal masih menjadi PR besar.

3. Kolaborasi Multipihak dan Inovasi Pendanaan

Pendanaan inovatif (blended finance, green bonds, water funds) dan kolaborasi multipihak menjadi kunci investasi air berkelanjutan, terutama di negara berkembang yang menghadapi kesenjangan infrastruktur dan kapasitas teknis.

Rekomendasi Strategis untuk Tata Kelola Air Masa Depan

  1. Perkuat Kepemimpinan Publik
    Pemerintah harus tetap menjadi penentu arah dan pengawas utama, memastikan kepentingan publik dan keadilan sosial tetap terjaga.
  2. Harmonisasi Standar dan Transparansi
    Perlu harmonisasi standar stewardship dan pelaporan air, serta peningkatan transparansi data dan dampak di seluruh rantai nilai.
  3. Libatkan UKM dan Komunitas Lokal
    Inisiatif dan standar harus lebih inklusif, mudah diakses UKM dan petani kecil, serta melibatkan komunitas lokal dalam perumusan dan pemantauan aksi.
  4. Integrasi dengan Agenda Pembangunan Berkelanjutan
    Integrasikan aksi stewardship dengan SDGs, aksi iklim, dan agenda keadilan sosial untuk memastikan dampak yang berkelanjutan dan inklusif.
  5. Dorong Riset Transdisipliner dan Evaluasi Independen
    Diperlukan riset lintas disiplin dan evaluasi independen untuk menilai dampak nyata inisiatif korporasi di berbagai sektor dan wilayah.

Paradoks dan Peluang Keterlibatan Bisnis dalam Tata Kelola Air

Keterlibatan bisnis dalam tata kelola air membawa peluang besar untuk inovasi, kolaborasi, dan percepatan pencapaian water security global. Namun, tanpa kepemimpinan publik yang kuat, harmonisasi standar, dan perlindungan hak-hak kelompok rentan, risiko privatisasi, ketimpangan, dan depolitisasi isu air tetap membayangi. Masa depan tata kelola air yang adil, inklusif, dan berkelanjutan hanya bisa dicapai melalui sinergi antara pemerintah, bisnis, LSM, dan masyarakat sipil—dengan transparansi, akuntabilitas, dan keberanian untuk mengakui serta mengatasi ketimpangan kekuasaan di setiap level1.

Sumber artikel :
Sojamo, S. and Rudebeck, T. 2024. Corporate engagement in water policy and governance: A literature review on water stewardship and water security. Water Alternatives 17(2): 292-324

Selengkapnya
Corporate Engagement in Water Policy and Governance: Water Stewardship dan Water Security di Era Bisnis Global

Sumber Daya Air

Krisis Air di Timur Tengah & Afrika Utara: Ekonomi, Politik, dan Solusi Kelembagaan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Mengapa Krisis Air di MENA Menjadi Isu Global

Kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA) saat ini menghadapi krisis air paling parah di dunia. Dengan populasi yang melonjak dari 100 juta pada 1960 menjadi lebih dari 450 juta pada 2018, dan diprediksi mencapai 720 juta pada 2050, tekanan terhadap sumber daya air yang terbatas semakin besar. Laporan “The Economics of Water Scarcity in the Middle East and North Africa: Institutional Solutions” karya Dominick de Waal, Stuti Khemani, Andrea Barone, dan Edoardo Borgomeo dari World Bank, membedah akar masalah, dampak ekonomi, hingga solusi kelembagaan yang relevan untuk mengatasi tantangan ini123.

Artikel ini akan mengulas temuan utama laporan tersebut, mengaitkannya dengan tren global, menyoroti studi kasus nyata, serta menawarkan analisis kritis dan perbandingan dengan literatur lain agar pembaca memahami urgensi dan kompleksitas krisis air di MENA.

Gambaran Krisis: Data, Dampak, dan Proyeksi

Fakta dan Angka Kunci

  • Ketersediaan Air: Pada 2030, rata-rata ketersediaan air per kapita di MENA diperkirakan turun di bawah 500 m³/tahun—ambang batas kelangkaan absolut menurut Falkenmark Index12.
  • Pertumbuhan Penduduk: Dari 100 juta (1960) menjadi 450 juta (2018), diproyeksikan 720 juta (2050)12.
  • Kebutuhan Tambahan: Pada 2050, dibutuhkan tambahan 25 miliar m³ air per tahun, setara membangun 65 instalasi desalinasi raksasa seperti Ras Al Khair di Arab Saudi1.
  • Penggunaan Air: 83% air di kawasan digunakan untuk irigasi pertanian, jauh di atas rata-rata global 70%, meski kontribusi sektor ini terhadap PDB terus menurun2.
  • Kerugian Ekonomi: Jika tidak ada perubahan, krisis air dapat memangkas 6–14% PDB kawasan pada 2050, jauh di atas rata-rata global (<1%)24.
  • Kebocoran dan Pemborosan: Lebih dari 30% air yang diproduksi utilitas air hilang akibat kebocoran, meteran rusak, atau pencurian12.

Dampak Sosial dan Politik

  • Migrasi dan Urbanisasi: Kekurangan air mendorong migrasi dari desa ke kota, memperparah tekanan pada infrastruktur perkotaan4.
  • Konflik dan Instabilitas: Persaingan air memicu ketegangan antarnegara, konflik domestik, hingga protes massal terkait kenaikan tarif air54.
  • Ketidaksetaraan: Akses air di perkotaan bisa mencapai 95%, namun di pedesaan hanya 63% (kasus Maroko), memperlebar jurang kesenjangan5.

Studi Kasus: Maroko, Yordania, dan Uni Emirat Arab

1. Maroko: Dilema Antara Dams dan Pertanian

Maroko mengandalkan 140 bendungan besar untuk mengelola air dari tujuh DAS utama. Namun, konsumsi air melebihi pasokan, terutama akibat pertanian intensif (misal, budidaya semangka). Dampaknya, beberapa DAS seperti Tensift nyaris habis, dan akses air di pedesaan jauh tertinggal dibanding perkotaan5. Pemerintah menghadapi dilema antara menjaga ketahanan pangan, mendukung pertanian ekspor, dan memenuhi kebutuhan domestik.

2. Yordania: Ketidakpercayaan dan Protes Tarif

Yordania kerap menjadi contoh negara yang menghadapi tantangan legitimasi kebijakan air. Upaya pemerintah menutup sumur ilegal dihadang perlawanan petani, bahkan petugas pemerintah diusir dari desa. Ketika pemerintah mencoba menaikkan tarif air, protes massal pecah karena masyarakat tidak percaya kenaikan tarif akan diikuti perbaikan layanan12.

3. Uni Emirat Arab: Desentralisasi dan “Cap-and-Trade”

UEA menerapkan model desentralisasi, di mana tiap emirat bertanggung jawab atas pengelolaan airnya. Abu Dhabi, misalnya, mengimpor air dari emirat lain dan mengembangkan kerja sama strategis dalam pertukaran air. Investasi besar pada desalinasi dan daur ulang air limbah memperlihatkan upaya inovatif, meski biaya dan konsumsi energi sangat tinggi1.

Akar Masalah: Kelembagaan, Legitimasi, dan Trust

1. Fokus pada Infrastruktur, Abaikan Efisiensi

Selama puluhan tahun, solusi pemerintah MENA didominasi pembangunan infrastruktur besar (bendungan, desalinasi, jaringan pipa), bukan efisiensi atau pengelolaan permintaan. Akibatnya, masyarakat terbiasa menganggap masalah air hanya soal pasokan, bukan konsumsi123.

2. Kegagalan Regulasi dan Insentif

  • Tarif Air Rendah: Tarif air di MENA termasuk terendah di dunia, didorong keengganan politik menaikkan harga karena takut protes34.
  • Subsidi Membebani Fiskal: Negara menanggung subsidi besar, namun kualitas layanan tetap buruk sehingga masyarakat lebih memilih air kemasan atau truk air mahal24.
  • Utilitas Tidak Mandiri: Hanya dua utilitas air di MENA yang mampu menutupi biaya operasionalnya sendiri, sisanya defisit dan tergantung subsidi pemerintah1.

3. Legitimasi dan Trust: Kunci Reformasi

  • Legitimasi: Negara gagal mendapatkan kepatuhan sukarela masyarakat atas pembatasan atau kenaikan tarif air. Aturan pembatasan irigasi sering diabaikan petani karena dianggap tidak adil atau tidak konsisten12.
  • Trust: Ketidakpercayaan antara masyarakat, utilitas, dan pemerintah memperparah siklus kegagalan. Banyak warga menolak membayar tagihan karena tidak yakin akan ada perbaikan layanan1.

Solusi Kelembagaan: Desentralisasi, Komunikasi, dan Inovasi

1. Desentralisasi Pengambilan Keputusan

Laporan World Bank merekomendasikan pelimpahan sebagian kewenangan pengelolaan air ke pemerintah daerah dan utilitas profesional, bukan hanya kementerian pusat. Model “cap-and-trade” diusulkan, di mana hak pengelolaan air diberikan ke pemerintah lokal dengan batas (cap) nasional, dan transfer air antarwilayah dimungkinkan untuk efisiensi1.

2. Reformasi Manajemen Utilitas

  • Otonomi dan Insentif: Memberikan otonomi lebih ke manajemen utilitas, memperbaiki insentif kinerja, dan membangun budaya profesional berbasis kepercayaan internal dapat meningkatkan efisiensi dan layanan1.
  • Keterbukaan Data: Publikasi laporan keuangan dan kinerja utilitas secara terbuka dapat membangun kepercayaan publik dan menarik investasi1.

3. Komunikasi dan Keterlibatan Publik

Studi kasus Cape Town (Afrika Selatan) dan São Paulo (Brasil) menunjukkan pentingnya komunikasi strategis. Di Cape Town, dashboard air online dan kampanye publik berhasil menurunkan konsumsi dari 183 menjadi 84 liter/orang/hari saat krisis “Day Zero”1. Di MENA, strategi serupa bisa meningkatkan legitimasi kebijakan dan kepatuhan masyarakat.

4. Perlindungan Sosial dan Diversifikasi Ekonomi

Transisi dari pertanian intensif air ke sektor lain perlu didukung perlindungan sosial dan pelatihan ulang tenaga kerja. Diversifikasi ekonomi penting agar masyarakat tidak sepenuhnya bergantung pada pertanian yang boros air14.

Kritik, Opini, dan Perbandingan

Kritik terhadap Pendekatan Infrastruktur

Literatur lain menyoroti bahwa ketergantungan pada solusi teknokratik (bendungan, desalinasi) tanpa reformasi kelembagaan hanya menunda krisis dan memperbesar beban fiskal35. Bahkan, desalinasi air laut memerlukan energi 23 kali lebih banyak dibanding pengolahan air permukaan, dan biaya 4–5 kali lipat lebih mahal1.

Perbandingan dengan Negara Lain

  • Australia dan AS: Negara-negara seperti Australia dan bagian barat AS telah mencoba pasar air (water trading) dengan pengawasan ketat. Namun, penerapan di MENA lebih rumit karena pluralisme hukum dan hak air berbasis adat1.
  • Argentina: Studi privatisasi air di Buenos Aires menunjukkan keberhasilan menurunkan kematian anak, namun hanya jika regulasi dan transparansi kuat. Tanpa pengawasan, privatisasi bisa gagal1.

Opini: Pentingnya “Social Contract” Baru

Krisis air di MENA bukan sekadar masalah teknis, tapi soal kontrak sosial baru antara negara dan rakyat. Legitimasi, trust, dan partisipasi publik harus menjadi fondasi reformasi. Tanpa itu, investasi apa pun akan sia-sia dan risiko konflik sosial akan terus mengintai.

Tantangan Implementasi dan Rekomendasi

Tantangan Utama

  • Resistensi Politik: Pemerintah takut kehilangan dukungan jika menaikkan tarif atau membatasi irigasi.
  • Kapasitas Lokal: Pemerintah daerah sering kekurangan kapasitas teknis dan keuangan.
  • Ketidaksetaraan: Reformasi berisiko memperlebar kesenjangan jika tidak disertai perlindungan sosial.

Rekomendasi Strategis

  • Audit dan Evaluasi Kelembagaan: Lakukan audit menyeluruh atas utilitas air dan sistem distribusi.
  • Peningkatan Kapasitas Lokal: Investasi dalam pelatihan, teknologi, dan sistem informasi untuk pemerintah daerah.
  • Transparansi dan Partisipasi: Libatkan masyarakat dalam perumusan dan pemantauan kebijakan air.
  • Inovasi Teknologi: Kembangkan teknologi hemat air, daur ulang, dan digitalisasi sistem pemantauan.
  • Kolaborasi Regional: Negara-negara MENA perlu memperkuat kerja sama lintas batas dalam pengelolaan air bersama.

Kesimpulan: Jalan Panjang Menuju Ketahanan Air

Krisis air di Timur Tengah dan Afrika Utara adalah tantangan multidimensi yang membutuhkan solusi kelembagaan, inovasi teknologi, dan pembaruan kontrak sosial. Laporan World Bank menegaskan bahwa tanpa reformasi kelembagaan yang membangun legitimasi dan trust, investasi sebesar apa pun tidak akan cukup. Masyarakat harus menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar objek kebijakan.

Melalui desentralisasi, komunikasi strategis, dan perlindungan sosial, kawasan ini dapat membangun ekonomi yang inklusif, berkelanjutan, dan tahan terhadap perubahan iklim. Namun, tanpa keberanian politik dan partisipasi publik, ancaman krisis air akan terus membayangi masa depan MENA—dan dunia.

Sumber artikel :
de Waal, Dominick, Stuti Khemani, Andrea Barone, dan Edoardo Borgomeo. 2023. “The Economics of Water Scarcity in the Middle East and North Africa: Institutional Solutions.” Overview booklet. World Bank, Washington, DC.

Selengkapnya
Krisis Air di Timur Tengah & Afrika Utara: Ekonomi, Politik, dan Solusi Kelembagaan

Sumber Daya Air

River Culture in China and India, a Comparative Perspective on its Origins, Challenges, and Applications

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Sungai sebagai Nadi Peradaban Asia

Sungai selalu menjadi pusat kehidupan, budaya, dan spiritualitas di Asia, terutama di Tiongkok dan India. Dalam bab “River Culture in China and India, a Comparative Perspective on its Origins, Challenges, and Applications” oleh Yixin Cao dan Alvin M. Vazhayil (2023), penulis mengupas secara mendalam bagaimana sungai membentuk peradaban, menghadapi tantangan modern, serta bagaimana kedua negara berupaya menyelamatkan warisan sungai mereka. Resensi ini akan membedah isi paper dengan mengaitkan data, studi kasus, dan tren global, serta memberikan analisis kritis dan opini untuk memperkaya perspektif pembaca.

Makna Sungai dalam Budaya Tiongkok dan India

Sungai di Tiongkok dan India bukan sekadar sumber air, melainkan juga simbol identitas, spiritualitas, dan kekuatan alam. Di Tiongkok, sungai seperti Yangtze dan Yellow River dijuluki “Mother River”, menjadi sumber inspirasi sastra, filosofi, dan ritual. Di India, sungai seperti Ganga dan Yamuna dipuja sebagai dewi, pusat ritual keagamaan, dan dipercaya mampu memberikan pembebasan spiritual (moksha).

Kedua negara memiliki kekayaan sungai yang luar biasa. Tiongkok tercatat memiliki lebih dari 45.000 sungai dengan total panjang 1,6 juta km, sementara India memiliki 14 sungai besar dan empat tipe utama sungai yang menopang hampir 60% penduduknya. Sungai-sungai ini menjadi fondasi pertanian, kota, perdagangan, hingga seni dan sastra.

Studi Kasus: Krisis Ekologi dan Budaya Sungai

Degradasi Ekosistem dan Budaya

Krisis ekologi melanda kedua negara. Data dari paper menunjukkan bahwa biodiversitas air tawar global menurun 84% sejak 1970, bahkan hingga 97% untuk spesies ikan besar di sungai-sungai Asia. Tiongkok kini memiliki lebih dari 23.000 bendungan besar, sementara India 4.400—fragmentasi sungai akibat dam dan kanal sangat masif.

Di Tiongkok, pembangunan Three Gorges Dam berdampak besar: 13 kota, 140 kota kecil, dan lebih dari 1.300 desa tenggelam; panen ikan alami di Yangtze turun lebih dari 50% dalam dua dekade terakhir, dan beberapa spesies punah. Urbanisasi ekstrem di kota seperti Shenzhen mengubah 80% sungai menjadi kanal beton, menghilangkan karakter alami dan budaya sungai.

Di India, polusi air menjadi masalah akut. Jumlah sungai tercemar melonjak dari 150 pada 2009 menjadi 302 pada 2015. Sungai Yamuna dan Ganga kini sangat tercemar limbah domestik dan industri. Di Delhi, perikanan air tawar turun 68% antara 2002–2016. Ritual keagamaan dan festival justru memperparah polusi, karena limbah persembahan dan mandi massal masuk ke sungai tanpa pengolahan.

Dinamika Sosial dan Politik Sungai

Tiongkok: Modernisasi dan Homogenisasi

Modernisasi di Tiongkok seringkali mengorbankan keaslian budaya sungai. Sistem polder tradisional di Delta Yangtze hilang, situs arkeologi tenggelam, dan relokasi massal akibat proyek bendungan memutus hubungan komunitas minoritas dengan sungai. Pariwisata masif di beberapa sungai justru memperparah pencemaran dan menghilangkan karakter lokal.

India: Urbanisasi, Ketimpangan, dan Ritual

Di India, urbanisasi dan migrasi besar-besaran menyebabkan keterputusan budaya antara manusia dan sungai. Warga miskin tinggal di bantaran sungai yang tercemar, sementara kelas menengah dan atas seringkali hanya mengadvokasi pelestarian tanpa benar-benar mengubah gaya hidup konsumtif yang memperparah polusi. Ritual keagamaan, meski memperkuat identitas budaya, juga berkontribusi pada pencemaran sungai.

Tantangan dan Upaya Pemulihan Sungai

Motivasi Global dan Lokal

Perubahan iklim memperburuk krisis sungai. India masuk 13 besar negara dengan stres air tertinggi, sedangkan Tiongkok peringkat 56. Suhu di DAS Ganges naik 0,5°C dalam 100 tahun terakhir, meningkatkan risiko banjir hingga 40%. Kedua negara punya target ambisius: Tiongkok ingin 25% energi dari terbarukan dan netral karbon pada 2060, India menargetkan 40% kapasitas listrik dari non-fosil pada 2030.

Konflik dan Kerja Sama Sungai Lintas Batas

Empat sungai lintas batas utama antara Tiongkok dan India, seperti Brahmaputra/Yarlung Tsangpo, menjadi sumber konflik geopolitik. Tiongkok membangun dam di hulu, India khawatir akan dampak ekologi dan keamanan air. Di Tiongkok, mekanisme kompensasi ekologi antar provinsi mulai diterapkan, sedangkan di India, sengketa antar negara bagian seperti Cauvery dan Krishna masih berlangsung.

Reformasi Tata Kelola dan Partisipasi Publik

Tiongkok meluncurkan River Chief System (RCS) pada 2016, menunjuk lebih dari 1,2 juta “kepala sungai” di semua level pemerintahan untuk mengelola sungai secara terpadu, berbasis data, dan melibatkan masyarakat. Inovasi seperti aplikasi WeChat untuk pelaporan polusi memperkuat pengawasan publik. Selain itu, konsep “Sponge City” diterapkan untuk menahan limpasan air dan mengurangi banjir dengan infrastruktur hijau.

India mengandalkan kombinasi pendekatan top-down dan bottom-up. Gerakan Save Ganga mendorong pemerintah melakukan intervensi, meski implementasi sering lambat. Komunitas lokal seperti Mishing di Assam mengembangkan adaptasi tradisional yang kini diakui sebagai praktik ekosistem bionik. Festival sungai, pengakuan Ramsar Sites, dan promosi wisata budaya juga menjadi bagian dari strategi pelestarian.

Analisis Kritis dan Perbandingan

Tiongkok cenderung mengandalkan kebijakan top-down yang terpusat, seperti River Chief System dan pembangunan dam besar-besaran. Keunggulannya adalah efektivitas administratif dan integrasi kebijakan, namun seringkali mengorbankan keaslian budaya, relokasi massal, dan homogenisasi lanskap sungai. Proyek ekologi kadang lebih berorientasi politik atau ekonomi daripada pelestarian sejati.

India, sebaliknya, mengedepankan partisipasi masyarakat dan pluralisme hukum. Inovasi lokal berkembang pesat, namun koordinasi nasional lemah. Polusi sungai utama masih menjadi tantangan besar, sementara proyek revitalisasi sering terhambat birokrasi dan kepentingan politik. Ritual keagamaan yang seharusnya memperkuat ikatan manusia-sungai justru memperparah pencemaran jika tidak diimbangi edukasi dan inovasi pengelolaan limbah.

Kedua negara kini berada pada titik balik: dari eksploitasi ke konservasi sungai. Tiongkok lebih progresif dalam legislasi dan inovasi teknologi, sementara India unggul dalam pelestarian nilai-nilai tradisional dan partisipasi komunitas. Namun, keduanya harus memperkuat sinergi antara kebijakan, sains, dan budaya untuk mencapai keberlanjutan ekologi dan sosial sungai.

Opini dan Hubungan dengan Tren Global

Krisis sungai di Tiongkok dan India mencerminkan tantangan global: fragmentasi ekosistem, polusi, dan hilangnya identitas budaya akibat modernisasi dan urbanisasi. Dunia kini mengarah pada pendekatan integratif yang menggabungkan sains, tradisi, dan partisipasi publik. Konsep seperti “ecological civilization” di Tiongkok dan gerakan masyarakat sipil di India selaras dengan tren global pengelolaan sungai berbasis ekosistem dan budaya.

Kunci keberhasilan ada pada redefinisi nilai sungai—bukan sekadar sumber daya ekonomi, tetapi juga warisan budaya dan ekologi yang harus dijaga bersama. Kolaborasi lintas sektor, inovasi teknologi, dan pemberdayaan komunitas lokal menjadi fondasi utama menuju harmoni manusia dan sungai.

Rekomendasi untuk Masa Depan Sungai Asia

  1. Integrasi Kebijakan dan Sains
    Kedua negara perlu memperkuat integrasi antara kebijakan nasional, sains, dan pengetahuan lokal agar solusi yang diambil tidak hanya efektif secara administratif, tetapi juga relevan secara sosial dan ekologis.
  2. Pendidikan dan Inovasi Sosial
    Edukasi publik tentang pentingnya sungai harus diperkuat, terutama di kalangan generasi muda dan komunitas urban. Inovasi sosial seperti aplikasi digital untuk pelaporan polusi dan festival budaya berbasis pelestarian harus diperluas.
  3. Penguatan Partisipasi Masyarakat
    Pengelolaan sungai tidak bisa hanya top-down. Penguatan peran komunitas lokal, pengakuan hak-hak masyarakat adat, dan pemberdayaan perempuan dalam pengelolaan sumber daya air sangat penting.
  4. Restorasi Ekosistem dan Revitalisasi Budaya
    Restorasi ekosistem sungai harus diimbangi dengan revitalisasi budaya lokal, seperti pengakuan situs sakral, festival sungai, dan promosi wisata berbasis konservasi.
  5. Kolaborasi Regional dan Internasional
    Konflik lintas batas harus diatasi dengan dialog, kerja sama, dan mekanisme kompensasi ekologi yang adil. Kolaborasi antara Tiongkok, India, dan negara-negara lain di Asia Selatan dan Tenggara sangat penting untuk menjaga keberlanjutan sungai lintas negara.

Jalan Panjang Menuju Harmoni Manusia-Sungai

Bab ini menegaskan bahwa sungai adalah cermin perjalanan peradaban, spiritualitas, dan dinamika sosial-ekonomi. Tantangan modern berupa fragmentasi, polusi, dan hilangnya identitas menuntut inovasi tata kelola, kolaborasi lintas sektor, serta sinergi antara pengetahuan tradisional dan teknologi modern.

Baik Tiongkok maupun India telah memulai langkah besar, namun perjalanan menuju harmoni manusia-sungai masih panjang dan penuh tantangan. Keberhasilan masa depan sungai Asia akan sangat ditentukan oleh kemampuan kedua negara untuk mengintegrasikan kebijakan, sains, budaya, dan partisipasi publik dalam satu visi keberlanjutan.

Sumber artikel:
Cao, Y.; Vazhayil, A.M. (2023): River Culture in China and India, a Comparative Perspective on its Origins, Challenges, and Applications. In: Wantzen, K.M. (ed.): River Culture – Life as a Dance to the Rhythm of the Waters. Pp. 281–311. UNESCO Publishing, Paris. DOI: 10.54677/CVXL8810

Selengkapnya
River Culture in China and India, a Comparative Perspective on its Origins, Challenges, and Applications

Sumber Daya Air

Transboundary Aquifers – Challenges and the Way Forward

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Krisis Air Global dan Pentingnya Akuifer Lintas Batas

Di tengah krisis air global yang semakin nyata akibat pertumbuhan penduduk, perubahan iklim, dan degradasi sumber daya permukaan, perhatian dunia kini tertuju pada air tanah—khususnya akuifer lintas batas (transboundary aquifers/TBA). Buku “Transboundary Aquifers: Challenges and the Way Forward” (UNESCO, 2022) menyajikan kompilasi studi dan pengalaman dari berbagai belahan dunia, menyoroti tantangan, peluang, dan strategi tata kelola akuifer lintas batas untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Resensi ini mengulas temuan utama, studi kasus, angka-angka penting, serta kritik dan rekomendasi, dengan gaya yang mudah dipahami dan relevan dengan tren global.

Definisi, Skala, dan Urgensi Akuifer Lintas Batas

Akuifer lintas batas adalah cadangan air tanah yang membentang di bawah dua negara atau lebih. Secara global, 153 negara berbagi sumber air lintas batas, dengan lebih dari 40% air tawar dunia berada di wilayah ini. Data IGRAC (2021) menunjukkan terdapat 468 akuifer lintas batas di seluruh dunia, mencakup hampir setiap negara kecuali pulau-pulau kecil. Di kawasan Arab, ada 42 akuifer lintas batas di 21 dari 22 negara, mencakup 58% wilayah regional1.

Akuifer ini menjadi sumber utama air bersih bagi populasi besar, terutama di kawasan kering seperti Timur Tengah dan Afrika Utara. Di Libya, Palestina, dan Arab Saudi, lebih dari 80% pengambilan air tawar berasal dari air tanah. Namun, tekanan eksploitasi, polusi, dan kurangnya tata kelola lintas negara membuat keberlanjutan akuifer semakin terancam1.

Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci

1. Kawasan Arab: Ketergantungan dan Kerentanan

  • Krisis Air dan Ketergantungan Eksternal: 18 dari 22 negara Arab berada di bawah ambang kelangkaan air (kurang dari 1.000 m³/kapita/tahun), 13 di antaranya bahkan di bawah 500 m³/kapita/tahun.
  • Ekstraksi Tak Berkelanjutan: Di banyak negara, eksploitasi air tanah melebihi tingkat pengisian ulang, terutama untuk pertanian dan pertumbuhan kota besar.
  • Inisiatif Regional: Kerja sama pada akuifer Nubian Sandstone (Mesir, Libya, Chad, Sudan), North Western Sahara Aquifer System (Aljazair, Tunisia, Libya), dan Al-Saq/Al-Disi (Yordania, Arab Saudi) menjadi contoh penting. Perjanjian Al-Saq/Al-Disi (2015) mengatur pembentukan Komite Teknis Bersama untuk pemantauan dan pertukaran data secara rutin1.

2. ISARM: Inisiatif Global dan Perkembangan Kerja Sama

  • ISARM (International Shared Aquifer Resources Management): Diluncurkan UNESCO pada 2000, ISARM telah mengidentifikasi dan memetakan ratusan akuifer lintas batas, serta mendorong kerja sama ilmiah dan hukum antarnegara.
  • Transboundary Waters Assessment Programme (TWAP): Pada fase pertama (2011), TWAP menilai 199 akuifer lintas batas dan 43 akuifer di negara kepulauan kecil, menghasilkan peta dan basis data global yang kini menjadi rujukan utama1.
  • Pencapaian Hukum: ISARM berkontribusi pada penyusunan 19 Draft Articles on the Law of Transboundary Aquifers oleh UNILC (2008), yang kini menjadi acuan teknis dan normatif dalam negosiasi kerja sama lintas negara1.

3. Eropa dan Amerika: Regulasi dan Implementasi

  • Eropa: Dengan 226 ‘groundwater bodies’ lintas batas, Uni Eropa mengadopsi Water Framework Directive (WFD) yang mewajibkan pengelolaan berbasis DAS dan kerja sama internasional. Namun, hanya 74% akuifer yang mencapai status kimia baik, dan 40% badan air permukaan yang memenuhi standar1.
  • Amerika Utara: Di perbatasan AS-Meksiko, lebih dari 30 akuifer lintas batas menopang lebih dari 15 juta jiwa. Namun, hanya satu perjanjian formal yang berlaku (San Luis Mesa, 1973), selebihnya masih berupa kerja sama informal dan terbatas1.

Tantangan Utama dalam Tata Kelola Akuifer Lintas Batas

1. Kekurangan Data dan Pengetahuan

Kurangnya data yang akurat dan keterbukaan informasi menjadi hambatan utama. Banyak negara tidak memiliki pemetaan akuifer yang memadai, dan data yang ada sering tidak dibagikan antarnegara. Inisiatif seperti Inventory of Shared Water Resources in Western Asia (UNESCWA & BGR, 2013) membantu mengidentifikasi dan memetakan akuifer, namun pembaruan dan keterbukaan data masih terbatas1.

2. Kapasitas Teknis dan Kelembagaan

Banyak negara kekurangan kapasitas teknis untuk memantau dan mengelola akuifer secara berkelanjutan. Kapasitas ini meliputi kemampuan analisis hidrogeologi, pemantauan kualitas air, hingga pengembangan sistem informasi bersama. Tanpa kapasitas yang memadai, sulit bagi negara untuk bernegosiasi atau menerapkan kebijakan bersama1.

3. Keterbatasan Kerangka Hukum dan Politik

Hanya sedikit akuifer lintas batas yang diatur oleh perjanjian formal. Di tingkat global, baru ada 8 perjanjian spesifik akuifer, dan cakupan kerja sama operasional untuk SDG 6.5.2 masih 42% (lebih rendah dari target global). Proses negosiasi sering terhambat oleh perbedaan kepentingan, ketimpangan kapasitas, dan kekhawatiran kedaulatan1.

4. Pendanaan dan Keberlanjutan Proyek

Pendanaan menjadi isu krusial, baik untuk riset, pengembangan kapasitas, maupun pembentukan institusi bersama. Banyak proyek kerja sama bergantung pada dana internasional (misal, GEF, SDC), sehingga keberlanjutan jangka panjang sering dipertanyakan1.

Studi Kasus: Praktik Baik dan Pelajaran Penting

1. North Western Sahara Aquifer System (NWSAS):

Tiga negara (Aljazair, Tunisia, Libya) membentuk mekanisme konsultasi sejak 2008, dengan tujuan pertukaran data, pemantauan bersama, dan skenario pengelolaan. Meski belum menghasilkan perjanjian formal, mekanisme ini meningkatkan transparansi dan kapasitas teknis1.

2. Stampriet Transboundary Aquifer System (STAS), Afrika Selatan:

Melalui proyek GGRETA (Governance of Groundwater Resources in Transboundary Aquifers), Botswana, Namibia, dan Afrika Selatan membentuk Multi-Country Cooperation Mechanism (MCCM) untuk pertukaran data dan pemantauan bersama. MCCM menjadi model pertama integrasi tata kelola akuifer ke dalam organisasi DAS lintas negara (ORASECOM)1.

3. Eropa: Pengelolaan Terpadu dan Tantangan Implementasi

Water Framework Directive mendorong pendekatan berbasis DAS, namun implementasi di tingkat lokal kerap terhambat fragmentasi kelembagaan dan perbedaan standar antarnegara. Studi di Belanda menunjukkan perlunya pendekatan lintas sektor dan skala, serta keterlibatan aktor lokal dalam penetapan tujuan dan pemantauan kualitas air1.

Analisis Kritis: Kesenjangan, Inovasi, dan Rekomendasi

1. Kesenjangan Ilmu Pengetahuan dan Kebijakan

Meskipun kemajuan besar dicapai dalam pemetaan dan penilaian akuifer, transfer pengetahuan ke pembuat kebijakan masih lemah. Banyak keputusan strategis diambil tanpa data ilmiah yang memadai, atau tanpa mempertimbangkan dinamika sosial-ekonomi dan ekologi1.

2. Inovasi Tata Kelola: Kolaborasi dan Keterbukaan

  • Platform Digital: Inisiatif Arab Groundwater Digital Knowledge Platform bertujuan membuka akses data dan memperkuat dialog berbasis bukti.
  • Pendekatan Multi-Level: Studi Belanda menekankan pentingnya sinergi antara kebijakan nasional, regional, dan lokal, serta keterlibatan lintas sektor (ekologi, hukum, sosial, ekonomi) dalam pengelolaan akuifer1.

3. Peran Hukum Internasional

Draft Articles on the Law of Transboundary Aquifers (UNILC, 2008) menjadi rujukan utama, meski belum mengikat secara hukum. Konvensi PBB (1997, 1992) dan protokol regional seperti SADC Revised Protocol on Shared Watercourses juga memberi kerangka kerja sama, namun adopsi dan implementasinya masih terbatas1.

4. Keterlibatan Pemangku Kepentingan

Partisipasi masyarakat, pelaku usaha, dan LSM sangat penting untuk membangun kepercayaan dan komitmen jangka panjang. Studi kasus di perbatasan AS-Meksiko menunjukkan bahwa kerja sama informal dan berbasis komunitas sering lebih efektif daripada pendekatan top-down, terutama dalam konteks sosial-budaya yang kompleks1.

Hubungan dengan Tren Global dan Industri

Krisis air tanah lintas batas kini menjadi isu strategis di tengah perubahan iklim, urbanisasi, dan peningkatan kebutuhan pangan. Industri air minum, pertanian, dan energi kini semakin sadar akan risiko over-extraction dan polusi akuifer. Di sisi lain, digitalisasi data air, inovasi pemantauan, dan kolaborasi lintas sektor menjadi tren baru dalam tata kelola sumber daya air global.

Kritik dan Perbandingan dengan Penelitian Lain

Buku ini berhasil mengangkat kompleksitas isu akuifer lintas batas dari berbagai perspektif—ilmiah, hukum, sosial, dan politik. Namun, tantangan utama tetap pada implementasi di lapangan: kurangnya insentif politik, ketimpangan kapasitas, dan resistensi terhadap transparansi. Studi lain (misal, Eckstein & Sindico, 2014) menyoroti bahwa tanpa insentif ekonomi dan tekanan publik, negara cenderung lamban dalam membangun kerja sama formal.

Rekomendasi Strategis

  1. Perkuat Pengetahuan dan Data Bersama
    Investasi dalam pemetaan, pemantauan, dan pertukaran data lintas negara harus menjadi prioritas utama.
  2. Bangun Kapasitas dan Kelembagaan
    Penguatan kapasitas teknis, hukum, dan kelembagaan di tingkat nasional dan regional sangat penting untuk mendukung negosiasi dan implementasi bersama.
  3. Dorong Kerangka Hukum dan Kesepakatan Formal
    Negara perlu didorong untuk mengadopsi Draft Articles on the Law of Transboundary Aquifers sebagai pedoman, serta membangun perjanjian formal yang mengikat.
  4. Optimalkan Pendanaan dan Inovasi
    Diversifikasi sumber pendanaan, termasuk dari dana perubahan iklim dan pembangunan internasional, serta adopsi teknologi digital untuk pemantauan dan pelaporan.
  5. Libatkan Pemangku Kepentingan Multi-Level
    Keterlibatan masyarakat, sektor swasta, dan LSM dalam perencanaan, pemantauan, dan evaluasi sangat penting untuk membangun legitimasi dan keberlanjutan.

Jalan Panjang Menuju Tata Kelola Akuifer Lintas Batas yang Berkelanjutan

“Transboundary Aquifers: Challenges and the Way Forward” menegaskan bahwa akuifer lintas batas adalah kunci ketahanan air masa depan, namun pengelolaannya menuntut kolaborasi lintas negara, sektor, dan disiplin ilmu. Meski kemajuan signifikan telah dicapai dalam dua dekade terakhir, dunia masih jauh dari target SDG 6.5.2 tentang kerja sama air lintas batas. Tanpa komitmen politik, investasi, dan inovasi tata kelola, risiko konflik, degradasi ekosistem, dan krisis air akan terus membayangi. Buku ini menjadi rujukan penting bagi pembuat kebijakan, ilmuwan, dan praktisi yang ingin membangun masa depan air tanah yang adil dan berkelanjutan.

Sumber artikel :
UNESCO, 2022. Transboundary Aquifers: Challenges and the Way Forward. Sanchez, R. (Ed). Paris, UNESCO.

Selengkapnya
Transboundary Aquifers – Challenges and the Way Forward
« First Previous page 7 of 23 Next Last »