Sumber Daya Air

River Culture in China and India, a Comparative Perspective on its Origins, Challenges, and Applications

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Sungai sebagai Nadi Peradaban Asia

Sungai selalu menjadi pusat kehidupan, budaya, dan spiritualitas di Asia, terutama di Tiongkok dan India. Dalam bab “River Culture in China and India, a Comparative Perspective on its Origins, Challenges, and Applications” oleh Yixin Cao dan Alvin M. Vazhayil (2023), penulis mengupas secara mendalam bagaimana sungai membentuk peradaban, menghadapi tantangan modern, serta bagaimana kedua negara berupaya menyelamatkan warisan sungai mereka. Resensi ini akan membedah isi paper dengan mengaitkan data, studi kasus, dan tren global, serta memberikan analisis kritis dan opini untuk memperkaya perspektif pembaca.

Makna Sungai dalam Budaya Tiongkok dan India

Sungai di Tiongkok dan India bukan sekadar sumber air, melainkan juga simbol identitas, spiritualitas, dan kekuatan alam. Di Tiongkok, sungai seperti Yangtze dan Yellow River dijuluki “Mother River”, menjadi sumber inspirasi sastra, filosofi, dan ritual. Di India, sungai seperti Ganga dan Yamuna dipuja sebagai dewi, pusat ritual keagamaan, dan dipercaya mampu memberikan pembebasan spiritual (moksha).

Kedua negara memiliki kekayaan sungai yang luar biasa. Tiongkok tercatat memiliki lebih dari 45.000 sungai dengan total panjang 1,6 juta km, sementara India memiliki 14 sungai besar dan empat tipe utama sungai yang menopang hampir 60% penduduknya. Sungai-sungai ini menjadi fondasi pertanian, kota, perdagangan, hingga seni dan sastra.

Studi Kasus: Krisis Ekologi dan Budaya Sungai

Degradasi Ekosistem dan Budaya

Krisis ekologi melanda kedua negara. Data dari paper menunjukkan bahwa biodiversitas air tawar global menurun 84% sejak 1970, bahkan hingga 97% untuk spesies ikan besar di sungai-sungai Asia. Tiongkok kini memiliki lebih dari 23.000 bendungan besar, sementara India 4.400—fragmentasi sungai akibat dam dan kanal sangat masif.

Di Tiongkok, pembangunan Three Gorges Dam berdampak besar: 13 kota, 140 kota kecil, dan lebih dari 1.300 desa tenggelam; panen ikan alami di Yangtze turun lebih dari 50% dalam dua dekade terakhir, dan beberapa spesies punah. Urbanisasi ekstrem di kota seperti Shenzhen mengubah 80% sungai menjadi kanal beton, menghilangkan karakter alami dan budaya sungai.

Di India, polusi air menjadi masalah akut. Jumlah sungai tercemar melonjak dari 150 pada 2009 menjadi 302 pada 2015. Sungai Yamuna dan Ganga kini sangat tercemar limbah domestik dan industri. Di Delhi, perikanan air tawar turun 68% antara 2002–2016. Ritual keagamaan dan festival justru memperparah polusi, karena limbah persembahan dan mandi massal masuk ke sungai tanpa pengolahan.

Dinamika Sosial dan Politik Sungai

Tiongkok: Modernisasi dan Homogenisasi

Modernisasi di Tiongkok seringkali mengorbankan keaslian budaya sungai. Sistem polder tradisional di Delta Yangtze hilang, situs arkeologi tenggelam, dan relokasi massal akibat proyek bendungan memutus hubungan komunitas minoritas dengan sungai. Pariwisata masif di beberapa sungai justru memperparah pencemaran dan menghilangkan karakter lokal.

India: Urbanisasi, Ketimpangan, dan Ritual

Di India, urbanisasi dan migrasi besar-besaran menyebabkan keterputusan budaya antara manusia dan sungai. Warga miskin tinggal di bantaran sungai yang tercemar, sementara kelas menengah dan atas seringkali hanya mengadvokasi pelestarian tanpa benar-benar mengubah gaya hidup konsumtif yang memperparah polusi. Ritual keagamaan, meski memperkuat identitas budaya, juga berkontribusi pada pencemaran sungai.

Tantangan dan Upaya Pemulihan Sungai

Motivasi Global dan Lokal

Perubahan iklim memperburuk krisis sungai. India masuk 13 besar negara dengan stres air tertinggi, sedangkan Tiongkok peringkat 56. Suhu di DAS Ganges naik 0,5°C dalam 100 tahun terakhir, meningkatkan risiko banjir hingga 40%. Kedua negara punya target ambisius: Tiongkok ingin 25% energi dari terbarukan dan netral karbon pada 2060, India menargetkan 40% kapasitas listrik dari non-fosil pada 2030.

Konflik dan Kerja Sama Sungai Lintas Batas

Empat sungai lintas batas utama antara Tiongkok dan India, seperti Brahmaputra/Yarlung Tsangpo, menjadi sumber konflik geopolitik. Tiongkok membangun dam di hulu, India khawatir akan dampak ekologi dan keamanan air. Di Tiongkok, mekanisme kompensasi ekologi antar provinsi mulai diterapkan, sedangkan di India, sengketa antar negara bagian seperti Cauvery dan Krishna masih berlangsung.

Reformasi Tata Kelola dan Partisipasi Publik

Tiongkok meluncurkan River Chief System (RCS) pada 2016, menunjuk lebih dari 1,2 juta “kepala sungai” di semua level pemerintahan untuk mengelola sungai secara terpadu, berbasis data, dan melibatkan masyarakat. Inovasi seperti aplikasi WeChat untuk pelaporan polusi memperkuat pengawasan publik. Selain itu, konsep “Sponge City” diterapkan untuk menahan limpasan air dan mengurangi banjir dengan infrastruktur hijau.

India mengandalkan kombinasi pendekatan top-down dan bottom-up. Gerakan Save Ganga mendorong pemerintah melakukan intervensi, meski implementasi sering lambat. Komunitas lokal seperti Mishing di Assam mengembangkan adaptasi tradisional yang kini diakui sebagai praktik ekosistem bionik. Festival sungai, pengakuan Ramsar Sites, dan promosi wisata budaya juga menjadi bagian dari strategi pelestarian.

Analisis Kritis dan Perbandingan

Tiongkok cenderung mengandalkan kebijakan top-down yang terpusat, seperti River Chief System dan pembangunan dam besar-besaran. Keunggulannya adalah efektivitas administratif dan integrasi kebijakan, namun seringkali mengorbankan keaslian budaya, relokasi massal, dan homogenisasi lanskap sungai. Proyek ekologi kadang lebih berorientasi politik atau ekonomi daripada pelestarian sejati.

India, sebaliknya, mengedepankan partisipasi masyarakat dan pluralisme hukum. Inovasi lokal berkembang pesat, namun koordinasi nasional lemah. Polusi sungai utama masih menjadi tantangan besar, sementara proyek revitalisasi sering terhambat birokrasi dan kepentingan politik. Ritual keagamaan yang seharusnya memperkuat ikatan manusia-sungai justru memperparah pencemaran jika tidak diimbangi edukasi dan inovasi pengelolaan limbah.

Kedua negara kini berada pada titik balik: dari eksploitasi ke konservasi sungai. Tiongkok lebih progresif dalam legislasi dan inovasi teknologi, sementara India unggul dalam pelestarian nilai-nilai tradisional dan partisipasi komunitas. Namun, keduanya harus memperkuat sinergi antara kebijakan, sains, dan budaya untuk mencapai keberlanjutan ekologi dan sosial sungai.

Opini dan Hubungan dengan Tren Global

Krisis sungai di Tiongkok dan India mencerminkan tantangan global: fragmentasi ekosistem, polusi, dan hilangnya identitas budaya akibat modernisasi dan urbanisasi. Dunia kini mengarah pada pendekatan integratif yang menggabungkan sains, tradisi, dan partisipasi publik. Konsep seperti “ecological civilization” di Tiongkok dan gerakan masyarakat sipil di India selaras dengan tren global pengelolaan sungai berbasis ekosistem dan budaya.

Kunci keberhasilan ada pada redefinisi nilai sungai—bukan sekadar sumber daya ekonomi, tetapi juga warisan budaya dan ekologi yang harus dijaga bersama. Kolaborasi lintas sektor, inovasi teknologi, dan pemberdayaan komunitas lokal menjadi fondasi utama menuju harmoni manusia dan sungai.

Rekomendasi untuk Masa Depan Sungai Asia

  1. Integrasi Kebijakan dan Sains
    Kedua negara perlu memperkuat integrasi antara kebijakan nasional, sains, dan pengetahuan lokal agar solusi yang diambil tidak hanya efektif secara administratif, tetapi juga relevan secara sosial dan ekologis.
  2. Pendidikan dan Inovasi Sosial
    Edukasi publik tentang pentingnya sungai harus diperkuat, terutama di kalangan generasi muda dan komunitas urban. Inovasi sosial seperti aplikasi digital untuk pelaporan polusi dan festival budaya berbasis pelestarian harus diperluas.
  3. Penguatan Partisipasi Masyarakat
    Pengelolaan sungai tidak bisa hanya top-down. Penguatan peran komunitas lokal, pengakuan hak-hak masyarakat adat, dan pemberdayaan perempuan dalam pengelolaan sumber daya air sangat penting.
  4. Restorasi Ekosistem dan Revitalisasi Budaya
    Restorasi ekosistem sungai harus diimbangi dengan revitalisasi budaya lokal, seperti pengakuan situs sakral, festival sungai, dan promosi wisata berbasis konservasi.
  5. Kolaborasi Regional dan Internasional
    Konflik lintas batas harus diatasi dengan dialog, kerja sama, dan mekanisme kompensasi ekologi yang adil. Kolaborasi antara Tiongkok, India, dan negara-negara lain di Asia Selatan dan Tenggara sangat penting untuk menjaga keberlanjutan sungai lintas negara.

Jalan Panjang Menuju Harmoni Manusia-Sungai

Bab ini menegaskan bahwa sungai adalah cermin perjalanan peradaban, spiritualitas, dan dinamika sosial-ekonomi. Tantangan modern berupa fragmentasi, polusi, dan hilangnya identitas menuntut inovasi tata kelola, kolaborasi lintas sektor, serta sinergi antara pengetahuan tradisional dan teknologi modern.

Baik Tiongkok maupun India telah memulai langkah besar, namun perjalanan menuju harmoni manusia-sungai masih panjang dan penuh tantangan. Keberhasilan masa depan sungai Asia akan sangat ditentukan oleh kemampuan kedua negara untuk mengintegrasikan kebijakan, sains, budaya, dan partisipasi publik dalam satu visi keberlanjutan.

Sumber artikel:
Cao, Y.; Vazhayil, A.M. (2023): River Culture in China and India, a Comparative Perspective on its Origins, Challenges, and Applications. In: Wantzen, K.M. (ed.): River Culture – Life as a Dance to the Rhythm of the Waters. Pp. 281–311. UNESCO Publishing, Paris. DOI: 10.54677/CVXL8810

Selengkapnya
River Culture in China and India, a Comparative Perspective on its Origins, Challenges, and Applications

Sumber Daya Air

Transboundary Aquifers – Challenges and the Way Forward

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Krisis Air Global dan Pentingnya Akuifer Lintas Batas

Di tengah krisis air global yang semakin nyata akibat pertumbuhan penduduk, perubahan iklim, dan degradasi sumber daya permukaan, perhatian dunia kini tertuju pada air tanah—khususnya akuifer lintas batas (transboundary aquifers/TBA). Buku “Transboundary Aquifers: Challenges and the Way Forward” (UNESCO, 2022) menyajikan kompilasi studi dan pengalaman dari berbagai belahan dunia, menyoroti tantangan, peluang, dan strategi tata kelola akuifer lintas batas untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Resensi ini mengulas temuan utama, studi kasus, angka-angka penting, serta kritik dan rekomendasi, dengan gaya yang mudah dipahami dan relevan dengan tren global.

Definisi, Skala, dan Urgensi Akuifer Lintas Batas

Akuifer lintas batas adalah cadangan air tanah yang membentang di bawah dua negara atau lebih. Secara global, 153 negara berbagi sumber air lintas batas, dengan lebih dari 40% air tawar dunia berada di wilayah ini. Data IGRAC (2021) menunjukkan terdapat 468 akuifer lintas batas di seluruh dunia, mencakup hampir setiap negara kecuali pulau-pulau kecil. Di kawasan Arab, ada 42 akuifer lintas batas di 21 dari 22 negara, mencakup 58% wilayah regional1.

Akuifer ini menjadi sumber utama air bersih bagi populasi besar, terutama di kawasan kering seperti Timur Tengah dan Afrika Utara. Di Libya, Palestina, dan Arab Saudi, lebih dari 80% pengambilan air tawar berasal dari air tanah. Namun, tekanan eksploitasi, polusi, dan kurangnya tata kelola lintas negara membuat keberlanjutan akuifer semakin terancam1.

Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci

1. Kawasan Arab: Ketergantungan dan Kerentanan

  • Krisis Air dan Ketergantungan Eksternal: 18 dari 22 negara Arab berada di bawah ambang kelangkaan air (kurang dari 1.000 m³/kapita/tahun), 13 di antaranya bahkan di bawah 500 m³/kapita/tahun.
  • Ekstraksi Tak Berkelanjutan: Di banyak negara, eksploitasi air tanah melebihi tingkat pengisian ulang, terutama untuk pertanian dan pertumbuhan kota besar.
  • Inisiatif Regional: Kerja sama pada akuifer Nubian Sandstone (Mesir, Libya, Chad, Sudan), North Western Sahara Aquifer System (Aljazair, Tunisia, Libya), dan Al-Saq/Al-Disi (Yordania, Arab Saudi) menjadi contoh penting. Perjanjian Al-Saq/Al-Disi (2015) mengatur pembentukan Komite Teknis Bersama untuk pemantauan dan pertukaran data secara rutin1.

2. ISARM: Inisiatif Global dan Perkembangan Kerja Sama

  • ISARM (International Shared Aquifer Resources Management): Diluncurkan UNESCO pada 2000, ISARM telah mengidentifikasi dan memetakan ratusan akuifer lintas batas, serta mendorong kerja sama ilmiah dan hukum antarnegara.
  • Transboundary Waters Assessment Programme (TWAP): Pada fase pertama (2011), TWAP menilai 199 akuifer lintas batas dan 43 akuifer di negara kepulauan kecil, menghasilkan peta dan basis data global yang kini menjadi rujukan utama1.
  • Pencapaian Hukum: ISARM berkontribusi pada penyusunan 19 Draft Articles on the Law of Transboundary Aquifers oleh UNILC (2008), yang kini menjadi acuan teknis dan normatif dalam negosiasi kerja sama lintas negara1.

3. Eropa dan Amerika: Regulasi dan Implementasi

  • Eropa: Dengan 226 ‘groundwater bodies’ lintas batas, Uni Eropa mengadopsi Water Framework Directive (WFD) yang mewajibkan pengelolaan berbasis DAS dan kerja sama internasional. Namun, hanya 74% akuifer yang mencapai status kimia baik, dan 40% badan air permukaan yang memenuhi standar1.
  • Amerika Utara: Di perbatasan AS-Meksiko, lebih dari 30 akuifer lintas batas menopang lebih dari 15 juta jiwa. Namun, hanya satu perjanjian formal yang berlaku (San Luis Mesa, 1973), selebihnya masih berupa kerja sama informal dan terbatas1.

Tantangan Utama dalam Tata Kelola Akuifer Lintas Batas

1. Kekurangan Data dan Pengetahuan

Kurangnya data yang akurat dan keterbukaan informasi menjadi hambatan utama. Banyak negara tidak memiliki pemetaan akuifer yang memadai, dan data yang ada sering tidak dibagikan antarnegara. Inisiatif seperti Inventory of Shared Water Resources in Western Asia (UNESCWA & BGR, 2013) membantu mengidentifikasi dan memetakan akuifer, namun pembaruan dan keterbukaan data masih terbatas1.

2. Kapasitas Teknis dan Kelembagaan

Banyak negara kekurangan kapasitas teknis untuk memantau dan mengelola akuifer secara berkelanjutan. Kapasitas ini meliputi kemampuan analisis hidrogeologi, pemantauan kualitas air, hingga pengembangan sistem informasi bersama. Tanpa kapasitas yang memadai, sulit bagi negara untuk bernegosiasi atau menerapkan kebijakan bersama1.

3. Keterbatasan Kerangka Hukum dan Politik

Hanya sedikit akuifer lintas batas yang diatur oleh perjanjian formal. Di tingkat global, baru ada 8 perjanjian spesifik akuifer, dan cakupan kerja sama operasional untuk SDG 6.5.2 masih 42% (lebih rendah dari target global). Proses negosiasi sering terhambat oleh perbedaan kepentingan, ketimpangan kapasitas, dan kekhawatiran kedaulatan1.

4. Pendanaan dan Keberlanjutan Proyek

Pendanaan menjadi isu krusial, baik untuk riset, pengembangan kapasitas, maupun pembentukan institusi bersama. Banyak proyek kerja sama bergantung pada dana internasional (misal, GEF, SDC), sehingga keberlanjutan jangka panjang sering dipertanyakan1.

Studi Kasus: Praktik Baik dan Pelajaran Penting

1. North Western Sahara Aquifer System (NWSAS):

Tiga negara (Aljazair, Tunisia, Libya) membentuk mekanisme konsultasi sejak 2008, dengan tujuan pertukaran data, pemantauan bersama, dan skenario pengelolaan. Meski belum menghasilkan perjanjian formal, mekanisme ini meningkatkan transparansi dan kapasitas teknis1.

2. Stampriet Transboundary Aquifer System (STAS), Afrika Selatan:

Melalui proyek GGRETA (Governance of Groundwater Resources in Transboundary Aquifers), Botswana, Namibia, dan Afrika Selatan membentuk Multi-Country Cooperation Mechanism (MCCM) untuk pertukaran data dan pemantauan bersama. MCCM menjadi model pertama integrasi tata kelola akuifer ke dalam organisasi DAS lintas negara (ORASECOM)1.

3. Eropa: Pengelolaan Terpadu dan Tantangan Implementasi

Water Framework Directive mendorong pendekatan berbasis DAS, namun implementasi di tingkat lokal kerap terhambat fragmentasi kelembagaan dan perbedaan standar antarnegara. Studi di Belanda menunjukkan perlunya pendekatan lintas sektor dan skala, serta keterlibatan aktor lokal dalam penetapan tujuan dan pemantauan kualitas air1.

Analisis Kritis: Kesenjangan, Inovasi, dan Rekomendasi

1. Kesenjangan Ilmu Pengetahuan dan Kebijakan

Meskipun kemajuan besar dicapai dalam pemetaan dan penilaian akuifer, transfer pengetahuan ke pembuat kebijakan masih lemah. Banyak keputusan strategis diambil tanpa data ilmiah yang memadai, atau tanpa mempertimbangkan dinamika sosial-ekonomi dan ekologi1.

2. Inovasi Tata Kelola: Kolaborasi dan Keterbukaan

  • Platform Digital: Inisiatif Arab Groundwater Digital Knowledge Platform bertujuan membuka akses data dan memperkuat dialog berbasis bukti.
  • Pendekatan Multi-Level: Studi Belanda menekankan pentingnya sinergi antara kebijakan nasional, regional, dan lokal, serta keterlibatan lintas sektor (ekologi, hukum, sosial, ekonomi) dalam pengelolaan akuifer1.

3. Peran Hukum Internasional

Draft Articles on the Law of Transboundary Aquifers (UNILC, 2008) menjadi rujukan utama, meski belum mengikat secara hukum. Konvensi PBB (1997, 1992) dan protokol regional seperti SADC Revised Protocol on Shared Watercourses juga memberi kerangka kerja sama, namun adopsi dan implementasinya masih terbatas1.

4. Keterlibatan Pemangku Kepentingan

Partisipasi masyarakat, pelaku usaha, dan LSM sangat penting untuk membangun kepercayaan dan komitmen jangka panjang. Studi kasus di perbatasan AS-Meksiko menunjukkan bahwa kerja sama informal dan berbasis komunitas sering lebih efektif daripada pendekatan top-down, terutama dalam konteks sosial-budaya yang kompleks1.

Hubungan dengan Tren Global dan Industri

Krisis air tanah lintas batas kini menjadi isu strategis di tengah perubahan iklim, urbanisasi, dan peningkatan kebutuhan pangan. Industri air minum, pertanian, dan energi kini semakin sadar akan risiko over-extraction dan polusi akuifer. Di sisi lain, digitalisasi data air, inovasi pemantauan, dan kolaborasi lintas sektor menjadi tren baru dalam tata kelola sumber daya air global.

Kritik dan Perbandingan dengan Penelitian Lain

Buku ini berhasil mengangkat kompleksitas isu akuifer lintas batas dari berbagai perspektif—ilmiah, hukum, sosial, dan politik. Namun, tantangan utama tetap pada implementasi di lapangan: kurangnya insentif politik, ketimpangan kapasitas, dan resistensi terhadap transparansi. Studi lain (misal, Eckstein & Sindico, 2014) menyoroti bahwa tanpa insentif ekonomi dan tekanan publik, negara cenderung lamban dalam membangun kerja sama formal.

Rekomendasi Strategis

  1. Perkuat Pengetahuan dan Data Bersama
    Investasi dalam pemetaan, pemantauan, dan pertukaran data lintas negara harus menjadi prioritas utama.
  2. Bangun Kapasitas dan Kelembagaan
    Penguatan kapasitas teknis, hukum, dan kelembagaan di tingkat nasional dan regional sangat penting untuk mendukung negosiasi dan implementasi bersama.
  3. Dorong Kerangka Hukum dan Kesepakatan Formal
    Negara perlu didorong untuk mengadopsi Draft Articles on the Law of Transboundary Aquifers sebagai pedoman, serta membangun perjanjian formal yang mengikat.
  4. Optimalkan Pendanaan dan Inovasi
    Diversifikasi sumber pendanaan, termasuk dari dana perubahan iklim dan pembangunan internasional, serta adopsi teknologi digital untuk pemantauan dan pelaporan.
  5. Libatkan Pemangku Kepentingan Multi-Level
    Keterlibatan masyarakat, sektor swasta, dan LSM dalam perencanaan, pemantauan, dan evaluasi sangat penting untuk membangun legitimasi dan keberlanjutan.

Jalan Panjang Menuju Tata Kelola Akuifer Lintas Batas yang Berkelanjutan

“Transboundary Aquifers: Challenges and the Way Forward” menegaskan bahwa akuifer lintas batas adalah kunci ketahanan air masa depan, namun pengelolaannya menuntut kolaborasi lintas negara, sektor, dan disiplin ilmu. Meski kemajuan signifikan telah dicapai dalam dua dekade terakhir, dunia masih jauh dari target SDG 6.5.2 tentang kerja sama air lintas batas. Tanpa komitmen politik, investasi, dan inovasi tata kelola, risiko konflik, degradasi ekosistem, dan krisis air akan terus membayangi. Buku ini menjadi rujukan penting bagi pembuat kebijakan, ilmuwan, dan praktisi yang ingin membangun masa depan air tanah yang adil dan berkelanjutan.

Sumber artikel :
UNESCO, 2022. Transboundary Aquifers: Challenges and the Way Forward. Sanchez, R. (Ed). Paris, UNESCO.

Selengkapnya
Transboundary Aquifers – Challenges and the Way Forward

Sumber Daya Air

How is water security conceptualized and practiced for rural livelihoods in the global South? A systematic scoping review

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Isu keamanan air (water security) kini menjadi perhatian utama dalam wacana pembangunan berkelanjutan, terutama di negara-negara Global Selatan yang sangat bergantung pada sumber daya alam untuk menopang kehidupan pedesaan. Paper karya Sameer H. Shah ini melakukan telaah sistematis terhadap 99 artikel jurnal internasional (2000–2019) untuk menjawab pertanyaan mendasar: Bagaimana konsep water security didefinisikan, didorong, dan dipraktikkan dalam konteks penghidupan pedesaan di Global Selatan? Dengan pendekatan scoping review, Shah menyoroti kekuatan, kelemahan, dan peluang riset water security, serta menawarkan agenda riset baru yang sangat relevan untuk kebijakan, riset, dan praktik pembangunan pedesaan.

Konsep Water Security: Dari Ketahanan Fisik ke Dimensi Sosial-Ekologis

Awal mula konsep water security berakar dari upaya negara-negara mengamankan pasokan air demi pertanian, pemukiman, dan keamanan nasional. Namun, sejak Deklarasi Den Haag (2000), definisi water security berkembang menjadi kondisi di mana setiap orang memiliki akses air yang cukup, aman, terjangkau, serta terlindungi dari risiko bencana air. Water security kini dipahami sebagai kerangka yang mengintegrasikan kebutuhan manusia dan ekologi secara simultan, dengan pendekatan sistem sosial-ekologis yang menekankan keterkaitan antara ketersediaan, kualitas, akses, dan risiko air12.

Metodologi Review: Cakupan, Seleksi, dan Analisis

Penulis menelusuri empat basis data besar, menyeleksi artikel peer-reviewed berbahasa Inggris yang terbit antara 2000–2019, dan secara eksplisit membahas water security dalam kaitan dengan penghidupan pedesaan di Global Selatan. Dari 2.359 publikasi awal, setelah proses penyaringan ketat, terpilih 99 artikel yang dianalisis secara tematik dan metodologis. Hasilnya, mayoritas artikel terbit setelah 2010, menandakan meningkatnya perhatian terhadap isu ini seiring menguatnya diskursus nexus air–energi–pangan dan perubahan iklim1.

Bagaimana Water Security Didefinisikan?

Hanya 30,3% publikasi yang secara eksplisit mendefinisikan water security. Mayoritas definisi berfokus pada ketersediaan air yang “memadai”, “cukup”, dan “dapat diterima” untuk kebutuhan kesehatan, penghidupan, ekosistem, dan produksi. Definisi yang benar-benar mengaitkan water security dengan peningkatan produktivitas, kesejahteraan, dan kapabilitas manusia sangat sedikit (hanya 16,7% dari definisi yang ada)12. Sebagian besar publikasi masih menempatkan water security sebagai upaya menghindari risiko atau kekurangan air, bukan sebagai alat untuk membangun kapasitas dan kemakmuran masyarakat pedesaan.

Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci

  • Distribusi Geografis: 86 negara Global Selatan menjadi fokus, dengan dominasi studi di India (21 publikasi), Afrika Selatan (15), dan Tiongkok (13). Sekitar 42,4% artikel menyoroti salah satu dari tiga negara ini, sementara Afrika Utara dan Amerika Selatan Tengah relatif kurang terwakili.
  • Fokus Livelihood: Hampir semua artikel menyoroti pertanian, dari subsisten hingga komoditas ekspor. Hanya 24,2% yang membahas peternakan, dan sangat sedikit yang mengupas perikanan (8,1%) atau akuakultur. Padahal, pastoralism mendukung sekitar 200 juta rumah tangga secara global.
  • Aktor Kunci: Pemerintah menjadi aktor utama yang dianggap bertanggung jawab dalam 81,8% publikasi, diikuti komunitas lokal (20,2%) dan individu (21,2%). Peran LSM dan donor kurang menonjol1.

Dinamika dan Penyebab Water Insecurity

Faktor Penyebab Utama

  • Perubahan Iklim dan Variabilitas Cuaca: 64,7% publikasi menyoroti perubahan pola curah hujan, kekeringan, dan banjir sebagai penyebab utama risiko air.
  • Persaingan Antar Sektor: Kompetisi air antara sektor pertanian, industri, dan kebutuhan domestik muncul di 36,4% publikasi.
  • Ekstraksi dan Degradasi: 32,3% publikasi membahas eksploitasi air tanah berlebihan dan degradasi sumber air akibat pertanian intensif dan ekspansi perkotaan.
  • Ketimpangan Sosial-Ekonomi: Sekitar 20,2% publikasi mengaitkan water insecurity dengan kemiskinan, marginalisasi, dan eksklusi sosial, namun hanya sedikit yang benar-benar menganalisis akar sistemik ketidakadilan distribusi air12.

Studi Kasus Nyata

  • India: Studi di Hyderabad menunjukkan bahwa peningkatan efisiensi distribusi air perkotaan, pemanfaatan air limpasan, dan 500.000 unit panen air hujan rumah tangga dapat secara signifikan meningkatkan keamanan air pertanian dan rumah tangga.
  • Brazil: Di Western Bahia, irigasi meningkat 150 kali lipat dalam beberapa dekade, sementara curah hujan dan aliran sungai menurun. Solusi yang diusulkan adalah pembatasan irigasi saat musim kering dan investasi sistem pemantauan hidroklimatik.
  • Lebanon: Petani di DAS Sungai Litani bersedia membayar lebih untuk pemasangan irigasi tetes dan sistem meter air guna meningkatkan efisiensi dan mengurangi ketidakpastian pasokan air1.

Solusi yang Ditemukan: Antara Teknikal dan Transformasi Sosial

Strategi Umum

  • Peningkatan Pasokan Air: 45,5% publikasi mengusulkan pembangunan bendungan, transfer antar-basin, dan panen air hujan skala rumah tangga sebagai solusi utama.
  • Efisiensi dan Produktivitas: 38,4% publikasi menyoroti irigasi hemat air, varietas tanaman tahan kering, dan pengelolaan lahan sebagai respons terhadap kelangkaan air.
  • Perbaikan Tata Kelola dan Manajemen: 75,8% publikasi menekankan pentingnya tata kelola multi-level, penguatan regulasi, pemantauan, dan transparansi. Namun, solusi yang benar-benar menargetkan perubahan struktural atau pemberdayaan kelompok marginal masih sangat terbatas.
  • Pengurangan Ketimpangan Sosial: Hanya 14,1% publikasi yang secara eksplisit membahas strategi membangun hak atas air, distribusi air yang adil, dan penguatan representasi kelompok termarjinalkan12.

Skala Intervensi

Solusi yang diusulkan tersebar di berbagai level: individu/rumah tangga (24,2%), komunitas (21,2%), DAS (37,4%), negara bagian (21,2%), nasional (35,4%), hingga internasional (23,2%). Namun, intervensi di tingkat internasional sering terbatas pada perjanjian lintas batas atau integrasi pada nexus air–energi–pangan, bukan pada transformasi sistemik1.

Analisis Kritis dan Agenda Riset Masa Depan

Empat Temuan Kunci

  1. Fokus pada “Cukup”, Bukan Kemakmuran: Definisi water security cenderung konservatif, hanya menekankan kecukupan dan pengurangan risiko, bukan peningkatan kapabilitas dan kesejahteraan masyarakat. Padahal, penghidupan berkelanjutan menuntut lebih dari sekadar kecukupan—yaitu kemampuan untuk berkembang dan beradaptasi.
  2. Representasi Livelihood Sempit: Studi terlalu fokus pada pertanian, mengabaikan keberagaman penghidupan seperti peternakan, akuakultur, dan kerja musiman. Padahal, rumah tangga pedesaan sering mengandalkan portofolio livelihood yang kompleks dan saling terkait.
  3. Kurangnya Transformasi Struktural: Solusi yang diusulkan lebih banyak bersifat teknikal dan manajerial, kurang menyasar akar ketidakadilan sosial, ekonomi, dan politik yang melanggengkan water insecurity. Transformasi sistem distribusi, hak atas air, dan pemberdayaan kelompok rentan masih minim.
  4. Kurang Memahami Dinamika Global: Studi tentang dampak globalisasi, perubahan politik, dan interaksi lintas level (local-global) terhadap water security masih sangat terbatas. Padahal, perubahan di satu skala dapat berdampak luas pada sistem penghidupan pedesaan12.

Kritik dan Perbandingan dengan Studi Lain

Temuan Shah sejalan dengan kritik literatur lain yang menilai pendekatan water security masih terlalu teknokratik dan kurang integratif. Studi Jepson et al. (2017) dan Zeitoun et al. (2016) juga menyoroti lemahnya fokus pada kapabilitas dan keadilan sosial dalam program water security. Sementara itu, pendekatan “hydro-social” yang menggabungkan dimensi sosial, ekonomi, dan ekologi mulai berkembang, namun belum menjadi arus utama dalam kebijakan maupun riset di Global Selatan.

Relevansi dengan Tren Industri dan Kebijakan

Isu water security kini menjadi perhatian utama dalam agenda pembangunan berkelanjutan (SDGs), terutama SDG 6 (air bersih dan sanitasi) dan SDG 2 (pengentasan kelaparan). Industri pertanian, pangan, dan energi kini dituntut untuk mengadopsi pendekatan efisiensi air, circular economy, serta pemberdayaan petani kecil. Namun, tanpa transformasi tata kelola dan distribusi air yang adil, inovasi teknologi saja tidak cukup untuk menjamin water security yang inklusif dan berkelanjutan.

Rekomendasi Praktis dan Agenda Riset ke Depan

  1. Redefinisi Water Security: Perlu menggeser fokus dari kecukupan dan mitigasi risiko ke pembangunan kapabilitas, kesejahteraan, dan keadilan sosial.
  2. Diversifikasi Studi Livelihood: Riset dan kebijakan harus memperhitungkan keberagaman penghidupan pedesaan, termasuk peternakan, akuakultur, dan kerja musiman.
  3. Transformasi Tata Kelola: Diperlukan intervensi yang menyasar akar ketidakadilan distribusi air, penguatan hak atas air, dan pemberdayaan kelompok marginal.
  4. Integrasi Skala Lokal-Global: Studi dan kebijakan harus memahami interaksi antara perubahan global (iklim, pasar, politik) dengan dinamika lokal penghidupan pedesaan.
  5. Kolaborasi Multi-Aktor: Pemerintah, komunitas lokal, sektor swasta, dan LSM perlu bersinergi dalam perencanaan, implementasi, dan evaluasi program water security.

 Menuju Water Security yang Inklusif dan Berkeadilan

Paper ini memberikan kontribusi penting dalam memahami bagaimana konsep water security dipraktikkan di Global Selatan. Kelemahan utama terletak pada definisi yang konservatif, fokus livelihood yang sempit, dan minimnya transformasi struktural. Untuk menjawab tantangan masa depan, water security harus didefinisikan ulang sebagai alat untuk membangun kapabilitas, kesejahteraan, dan keadilan sosial, bukan sekadar menghindari risiko. Agenda riset dan kebijakan ke depan harus lebih inklusif, integratif, dan transformatif, agar penghidupan pedesaan di Global Selatan benar-benar tangguh menghadapi krisis air dan perubahan zaman.

Sumber artikel :
Sameer H. Shah. "How is water security conceptualized and practiced for rural livelihoods in the global South? A systematic scoping review." Water Policy, Vol 23 No 5, 2021, pp. 1129–1152.

Selengkapnya
How is water security conceptualized and practiced for rural livelihoods in the global South? A systematic scoping review

Sumber Daya Air

Ketidakjelasan Hukum dan Tantangan Pertukaran Data di DAS Tigris-Efrat dan Indus

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Pentingnya Data dan Informasi dalam Tata Kelola Sungai Lintas Batas

Di tengah krisis air global, pengelolaan sungai lintas negara menjadi isu strategis yang sangat kompleks, terutama di kawasan yang rawan konflik seperti DAS Tigris-Efrat dan Indus. Paper “When the law is unclear: challenges and opportunities for data and information exchange in the Tigris-Euphrates and Indus river basins” karya Qaraman M. Hasan dkk. (2023) membedah secara detail tantangan dan peluang pertukaran data di dua DAS paling dipolitisasi di dunia. Resensi ini mengulas temuan utama paper, studi kasus, angka-angka penting, serta kritik dan rekomendasi, dengan mengaitkan pada tren tata kelola air global dan perkembangan teknologi.

DAS Tigris-Efrat dan Indus—Dua Sungai, Banyak Negara, Banyak Kepentingan

DAS Tigris-Efrat

  • Membentang dari Turki (hulu), melintasi Suriah dan Irak, dengan sebagian kecil di Iran dan Arab Saudi.
  • Panjang Sungai Tigris: 1.800 km, luas DAS 221.000 km² (Iraq 56,1%, Turki 24,5%, Iran 19%, Suriah 0,4%).
  • Panjang Sungai Efrat: 2.786 km, luas DAS 440.000 km² (Iraq 47%, Turki 28%, Suriah 22%, sisanya Arab Saudi dan Yordania)1.
  • Sejak 1970-an, Turki membangun proyek ambisius GAP (22 bendungan besar, 19 PLTA), menurunkan aliran Tigris hingga 33% dan Efrat hingga 50% ke negara hilir1.

DAS Indus

  • Membentang dari Tibet (China), India, Pakistan, hingga Afghanistan.
  • Panjang: 2.900 km, luas DAS 1,1 juta km² (Pakistan 47%, India 39%, China 8%, Afghanistan 6%).
  • Indus Waters Treaty (IWT) 1960 antara India dan Pakistan adalah satu-satunya perjanjian formal, mengatur pembagian air dan pertukaran data bulanan12.
  • Namun, Afghanistan dan China tidak terlibat aktif dalam perjanjian maupun pertukaran data12.

Ketegangan dan Upaya Kerja Sama

Fragmentasi dan Ketidakpastian

  • Joint Technical Committee (JTC): Dibentuk 1980 (Turki-Irak), Suriah bergabung 1983. Selama 13 tahun, hanya 16 pertemuan, lalu terhenti karena gagal mencapai kesepakatan fundamental123.
  • MoU 2009, 2014, 2019: Ada beberapa nota kesepahaman, namun pertukaran data tetap minim dan Suriah sering dikecualikan124.
  • Dampak Proyek Hulu: Bendungan di Turki dan Iran menyebabkan penurunan debit air di Suriah dan Irak, menurunkan kualitas air, memicu krisis listrik di bendungan hilir seperti Tabaq (Suriah) dan Darbandikhan (Irak)12.

Indus: Kerja Sama Formal, Tapi Tidak Inklusif

  • Indus Waters Treaty (IWT) 1960: Mengatur pertukaran data harian debit sungai, penarikan air, dan proyek baru antara India dan Pakistan. Komisi Tetap (PIC) menjadi kanal komunikasi utama125.
  • Keterbatasan IWT: Tidak mengatur keterlibatan Afghanistan dan China, sehingga isu-isu DAS secara keseluruhan tidak terjangkau125.
  • Tekanan Lingkungan: Damming, ekstraksi berlebihan, dan perubahan iklim menyebabkan penurunan debit Indus di delta Pakistan dari 105.000 MCM (1932) menjadi hanya 12.000 MCM (1990-an), menyebabkan penyusutan mangrove, penurunan produksi ikan, dan intrusi air laut1.

Tantangan Utama: Hukum, Politik, dan Teknologi

1. Ketidakjelasan Hukum Internasional

  • Konvensi PBB 1997: Mengatur pertukaran data dan informasi, namun Turki dan China menolak mengikatkan diri pada hukum kebiasaan internasional ini, dengan alasan kedaulatan teritorial atas air di wilayahnya12.
  • Prinsip Persistent Objector: Turki secara eksplisit menyatakan tidak terikat hukum kebiasaan internasional, sementara China memilih pendekatan bilateral1.
  • Ketiadaan Institusi Bersama: Tidak ada lembaga independen lintas negara yang efektif untuk mengelola data dan informasi secara menyeluruh di kedua DAS13.

2. Tantangan Politik dan Sosial

  • Geopolitik dan Nasionalisme: Turki dan Iran menolak berbagi data secara transparan, memprioritaskan proyek nasional dan menyingkirkan komunitas lokal seperti Kurdi dari pengambilan keputusan13.
  • Konflik India-Pakistan: Meski IWT bertahan di tengah perang dan konflik, isu Kashmir dan ketegangan politik menghambat perluasan kerja sama dan pertukaran data lintas negara lain seperti Afghanistan15.
  • Kurangnya Keterlibatan Lokal: Data yang dipertukarkan antarnegara tidak dibuka ke publik atau komunitas lokal, menciptakan defisit transparansi dan kepercayaan12.

3. Tantangan Teknis

  • Keterbatasan Data Tradisional: Data hidrologi, kualitas air, dan dampak proyek seringkali hanya tersedia di institusi nasional dan tidak dibagikan secara lintas batas13.
  • Teknologi Modern: Platform global seperti NASA Reverb, USGS EarthExplorer, Sentinel EO Browser menyediakan data spasial resolusi tinggi (hingga milimeter), namun data kualitas air dan dampak proyek tetap sulit diakses tanpa kerja sama resmi12.
  • Kasus Proyek Tropis Iran: Proyek transfer air di perbatasan Iran-Irak tidak terdeteksi oleh satelit kecuali melalui dampak penurunan debit sungai, menunjukkan keterbatasan remote sensing tanpa data lapangan1.

Dampak Lingkungan dan Sosial: Studi Angka dan Fakta

  • Penurunan Debit Tigris-Efrat: Proyek bendungan di hulu menurunkan debit Tigris hingga 33% dan Efrat hingga 50%, memperparah kekeringan dan krisis air di Irak dan Suriah1.
  • Kerusakan Delta Indus: Debit Indus di delta Pakistan turun drastis, menyebabkan hilangnya 4.856 km² lahan pertanian, penyusutan mangrove, dan intrusi air laut1.
  • Dampak Sosial: GAP di Turki telah menggusur lebih dari 350.000 orang hingga 2004, tanpa konsultasi dengan komunitas lokal seperti Kurdi1.
  • Risiko Bencana: Bendungan di zona seismik (misal Ataturk Dam) meningkatkan risiko gempa dan banjir besar jika terjadi kegagalan struktur1.

Peluang dan Solusi: Teknologi, Reformasi Hukum, dan Inklusi Sosial

1. Reformasi Hukum dan Kelembagaan

  • Reformasi Perjanjian: Pembaruan atau perluasan perjanjian seperti IWT agar melibatkan Afghanistan dan China sangat penting untuk mencakup seluruh DAS Indus15.
  • Revitalisasi JTC: Menghidupkan kembali atau memperluas Joint Technical Committee di Tigris-Efrat dengan melibatkan Iran dan membentuk institusi independen lintas negara16.
  • Contoh Mekong: Vietnam sebagai negara hilir aktif berbagi data dan mendorong kerja sama di Mekong bisa dijadikan model1.

2. Optimalisasi Teknologi

  • Data Spasial dan Real-Time: Penggunaan data satelit, DEM, LiDAR, dan sensor real-time dapat meningkatkan akurasi pemantauan debit, kualitas air, dan dampak lingkungan12.
  • Platform Kolaboratif: ICIMOD’s Upper Indus Basin Network (UIBN) dan Indus Basin Knowledge Forum menyediakan platform berbagi data digital, namun efektivitasnya tergantung pada komitmen negara peserta1.
  • Keterbukaan Data: Data yang dikumpulkan harus dibuka tidak hanya antarnegara, tetapi juga bagi publik dan komunitas lokal untuk membangun kepercayaan dan transparansi12.

3. Inklusi Sosial dan Keterlibatan Lokal

  • Transparansi Data: Keterlibatan masyarakat lokal dalam akses data dan pengambilan keputusan sangat penting untuk membangun legitimasi dan mencegah konflik12.
  • Pendidikan dan Kesadaran: Edukasi masyarakat tentang risiko dan perubahan lingkungan dapat meningkatkan partisipasi dan mitigasi dampak sosial-ekologis1.

Analisis Kritis dan Perbandingan

Paper ini menegaskan bahwa tantangan utama bukan hanya pada aspek teknis, tetapi terutama pada kemauan politik dan kerangka hukum yang jelas. Meski teknologi telah memungkinkan pemantauan lintas batas secara independen, tanpa kerja sama formal dan transparansi, data tersebut sulit diterjemahkan menjadi kebijakan yang adil dan berkelanjutan. Studi lain juga menyoroti pentingnya memperbarui perjanjian lama agar responsif terhadap perubahan iklim dan dinamika geopolitik baru5.

Relevansi dengan Tren Global dan Industri

Isu pertukaran data sungai lintas batas kini menjadi perhatian utama dalam tata kelola air global, sejalan dengan SDG 6.5 tentang kerja sama air lintas negara. Industri energi, pertanian, dan pangan di kawasan ini sangat bergantung pada stabilitas pasokan air, sehingga keterbukaan data menjadi kunci mitigasi risiko bisnis dan lingkungan. Digitalisasi data, sensor real-time, dan platform kolaboratif lintas negara kini menjadi tren utama dalam pengelolaan DAS global.

Rekomendasi Strategis

  1. Perluasan dan Reformasi Perjanjian: Melibatkan seluruh negara riparian dalam perjanjian baru yang responsif terhadap tantangan iklim dan teknologi.
  2. Optimalisasi Teknologi dan Keterbukaan Data: Mengintegrasikan data satelit, sensor real-time, dan platform digital dalam sistem pemantauan bersama yang terbuka.
  3. Peningkatan Kapasitas dan Inklusi Sosial: Melatih dan melibatkan masyarakat lokal dalam pemantauan dan pengambilan keputusan.
  4. Penguatan Lembaga Bersama: Membentuk institusi lintas negara yang independen untuk mengelola data, memediasi konflik, dan merumuskan kebijakan bersama.

Menuju Tata Kelola Sungai Lintas Batas yang Inklusif dan Adaptif

Ketidakjelasan hukum, fragmentasi politik, dan minimnya pertukaran data menjadi akar masalah di DAS Tigris-Efrat dan Indus. Namun, kemajuan teknologi membuka peluang baru untuk membangun kerja sama yang lebih transparan, adil, dan berkelanjutan. Reformasi kelembagaan, optimalisasi teknologi, dan keterlibatan masyarakat lokal menjadi kunci menuju tata kelola sungai lintas batas yang adaptif terhadap tantangan masa depan. Paper ini menjadi referensi penting bagi pembuat kebijakan, peneliti, dan praktisi yang ingin membangun masa depan air yang damai dan berkeadilan di kawasan paling rawan konflik di dunia.

Sumber artikel :
Qaraman M. Hasan, Sarkawt Ghazi Salar, Durgeshree Raman, Sam Campbell, Ibrahim Qasim Palani. "When the law is unclear: challenges and opportunities for data and information exchange in the Tigris-Euphrates and Indus river basins." Water Policy Vol 25 No 8, 2023, pp. 780–796.

Selengkapnya
Ketidakjelasan Hukum dan Tantangan Pertukaran Data di DAS Tigris-Efrat dan Indus

Sumber Daya Air

Menyibak Tantangan dan Peluang Tata Kelola Air untuk Ketahanan Pangan Kanada

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Air, Pangan, dan Masa Depan Kanada

Air adalah fondasi kehidupan dan pilar utama ketahanan pangan. Namun, di tengah perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan tekanan global pada sumber daya alam, tata kelola air menjadi isu strategis yang tidak bisa diabaikan. Laporan “Water 101” yang disusun oleh Nicolas Mesly dan tim dari Canadian Agri-Food Policy Institute (CAPI) ini hadir sebagai referensi komprehensif mengenai status, tantangan, dan implikasi kebijakan air di Kanada—khususnya untuk sektor pertanian dan industri pangan. Dengan memadukan data, studi kasus, dan analisis kebijakan, paper ini sangat relevan untuk pembuat kebijakan, pelaku industri, dan masyarakat luas yang peduli pada masa depan pangan dan lingkungan12.

Latar Belakang: Kanada, Negeri Kaya Air tapi Tak Bebas Risiko

Fakta Kunci

  • Kanada memiliki salah satu cadangan air tawar terbesar di dunia: 76.897 m³/orang/tahun (2018), jauh di atas Amerika Serikat (8.622 m³/orang/tahun) dan rata-rata dunia (5.658 m³/orang/tahun)12.
  • Hanya 1,56% lahan pertanian Kanada yang diairi—bandingkan dengan India (38%) dan AS (5,79%)12.
  • Sektor pertanian hanya menyerap 12% dari total pengambilan air tawar di Kanada, dibandingkan 41% di AS dan 55% di Brasil12.
  • Produksi pangan Kanada sangat efisien, didukung ketersediaan air melimpah dan teknologi modern, sehingga mampu menjadi eksportir pangan utama dunia.

Studi Kasus: Quebec – Krisis dan Kolaborasi dalam Tata Kelola Air

Tantangan di Quebec

Quebec adalah produsen utama susu dan babi di Kanada, dengan 75% hasil jagung dan kedelai digunakan untuk pakan ternak. Namun, intensifikasi pertanian menyebabkan polusi air yang signifikan, terutama oleh limpasan fosfor dan pestisida. Di Missisquoi Bay, Danau Champlain, 630 usaha tani Quebec (menguasai 30% wilayah) dan pertanian Vermont (24%) menyebabkan akumulasi fosfor tinggi, memicu ledakan alga biru-hijau (cyanobacteria) yang merugikan 50.000 penduduk lokal dan wisatawan12.

Upaya Kolaborasi

Pada 2002, Quebec dan Vermont menandatangani kesepakatan untuk menurunkan kadar fosfor di danau, dengan target 25 mikrogram/liter. Quebec bertanggung jawab atas 40% dan Vermont 60% pengurangan. Meski upaya telah dilakukan, target belum tercapai hingga 2016, dan perjanjian baru diperbarui pada 2021. Kolaborasi lintas batas ini menunjukkan pentingnya tata kelola air bersama untuk mengatasi masalah polusi pertanian dan menjaga ekosistem lintas negara12.

Air dan Industri Pangan: Efisiensi, Energi, dan Daya Saing

Konsumsi Air di Industri Pangan

  • Hanya 7% dari total konsumsi air industri di Kanada digunakan untuk pengolahan makanan12.
  • Sumber utama air di industri pangan adalah air minum kota, diikuti air permukaan yang diambil sendiri.
  • Tren efisiensi: Konsumsi air industri pangan turun dari 733 juta m³ (2013) ke 509 juta m³ (2017), berkat teknologi penghematan air dan target efisiensi perusahaan besar seperti Kraft Heinz dan Maple Leaf Foods.

Peran Energi dan Daya Saing

Kanada memiliki keunggulan biaya listrik rendah, terutama berkat hidroelektrik di Quebec (9,97¢/kWh di Montreal, jauh lebih murah dari Boston/New York yang hampir 30¢/kWh). Hal ini membuat Kanada sangat menarik bagi investasi industri pangan, seperti pabrik protein kacang terbesar dunia di Manitoba milik Roquette12.

Virtual Water Footprint dan Perdagangan Global

Konsep Virtual Water

Virtual water adalah jumlah air yang “terkandung” dalam produk pangan, termasuk proses irigasi, pengolahan, dan air dalam produk akhir. Kanada adalah net exporter virtual water sebesar 63 miliar m³, terutama lewat ekspor canola dan gandum. Sebagai perbandingan, Brasil mengekspor 181 miliar m³ (terbesar dunia), sedangkan Tiongkok adalah net importer terbesar (193 miliar m³)12.

Jejak Air Komoditas

  • Beef: 15.415 liter/kg (tertinggi)
  • Sheep meat: 10.411 liter/kg
  • Cereals: 1.644 liter/kg
  • Oil crops: 2.364 liter/kg
  • Pulses: 4.055 liter/kg

Jejak air tinggi pada daging sapi dan domba disebabkan efisiensi pakan yang rendah. Kanada, dengan ekspor besar biji-bijian dan canola, berkontribusi pada konservasi air global lewat perdagangan virtual water12.

Monitoring dan Kualitas Air: Sistem, Tantangan, dan Inovasi

Monitoring Air Tanah dan Permukaan

  • Ontario: 521 sumur dalam jaringan monitoring air tanah provinsi.
  • Quebec: 263 sumur, terutama di selatan dekat Sungai Saint Lawrence.
  • Nova Scotia: 40 sumur, fokus pada wilayah intensif pertanian.
  • British Columbia: 226 sumur air tanah, 116 titik monitoring air permukaan.

Krisis Walkerton (Ontario, 2000) menyoroti pentingnya monitoring air tanah: kontaminasi E. coli dari limbah ternak menewaskan 7 orang. Sejak itu, monitoring dan regulasi air tanah diperkuat di seluruh provinsi12.

Indeks Kualitas Air

Indeks kualitas air pertanian Kanada menurun dari 92 (“desired”) pada 1981 menjadi 74 (“good”) di 2011. Penurunan terbesar disebabkan oleh peningkatan nitrogen dan fosfor dari pertanian intensif12.

Polusi Nutrien: Nitrogen, Fosfor, dan Eutrofikasi

  • Nitrogen: Skor indeks turun dari 88 (1981) ke 74 (2016); risiko tertinggi di Alberta, Saskatchewan, dan Manitoba.
  • Fosfor: Skor indeks terendah, belum pernah masuk kategori “desired”; risiko tertinggi di Manitoba selatan dan Ontario selatan.
  • Dampak: Eutrofikasi dan ledakan alga di danau-danau besar seperti Lake Erie dan Lake Winnipeg, menyebabkan hipoksia dan krisis air minum (misal, Toledo, Ohio, 2014: 500.000 orang terdampak).

Praktik dan Regulasi

  • Best Management Practices (BMPs): Pengelolaan residu tanaman, konservasi tillage, cover crops, dan rotasi tanaman diadopsi untuk menekan limpasan nutrien.
  • Regulasi provinsi: Variatif, misal, Quebec mewajibkan laporan tahunan fosfor, Alberta mewajibkan inkorporasi pupuk kandang dalam 48 jam, sebagian besar provinsi melarang aplikasi pupuk di musim dingin.

Tata Kelola Air: Fragmentasi, Koordinasi, dan Perjanjian Lintas Batas

Sistem Multi-Level

Air di Kanada adalah urusan bersama: provinsi mengelola air di wilayahnya, pemerintah federal menangani air di tanah federal, cadangan First Nations, dan lintas batas. Banyak perjanjian lintas provinsi dan negara, seperti:

  • Boundary Waters Treaty (1909): Kanada-AS, mengatur sungai lintas negara.
  • Great Lakes Water Quality Agreement (1972): Kanada-AS, memantau 9 indikator prioritas di lima Danau Besar.
  • Master Agreement on Apportionment (1969): Alberta, Saskatchewan, Manitoba, mengatur pembagian air sungai lintas provinsi.
  • Mackenzie River Basin Master Agreement (1997): British Columbia, Alberta, Saskatchewan, NWT, Yukon, dan Kanada.

Studi Kasus: Missisquoi Bay, Danau Champlain

Kerjasama Quebec-Vermont untuk menurunkan fosfor di Missisquoi Bay menjadi contoh penting tata kelola lintas negara. Target 0,025 mg/liter fosfor belum tercapai, namun perjanjian diperbarui pada 2021, menandakan pentingnya komitmen jangka panjang dan adaptasi kebijakan12.

Studi Kasus Tambahan: Inovasi dan Tantangan di Berbagai Provinsi

  • Alberta: 12 distrik irigasi kelola 8.000 km pipa dan kanal, mengairi 625.000 ha, menghasilkan $5,4 miliar aktivitas ekonomi/tahun (28% GDP agri-food Alberta).
  • Saskatchewan: 30 distrik irigasi, 42.000 ha lahan, fokus pada diversifikasi tanaman bernilai tinggi.
  • Manitoba: 16% sumur pedesaan melebihi batas nitrat, risiko kesehatan meningkat.
  • British Columbia: Grant program untuk upgrade fasilitas air kota menurunkan input fosfor ke danau hingga 92,5%.
  • Prince Edward Island: 46% air tanah untuk domestik, hanya 2,2% untuk irigasi pertanian.

Analisis Kritis dan Perbandingan

Kelebihan Laporan

  • Komprehensif: Mengulas aspek teknis, ekonomi, kebijakan, dan sosial tata kelola air di Kanada.
  • Data dan Studi Kasus: Didukung data statistik, peta, dan studi kasus nyata dari berbagai provinsi.
  • Relevansi Global: Menyoroti isu virtual water, perdagangan pangan, dan kolaborasi lintas batas yang juga menjadi perhatian dunia.

Tantangan dan Kritik

  • Fragmentasi kebijakan: Tidak ada strategi nasional tunggal; tiap provinsi punya regulasi dan monitoring berbeda, menyulitkan koordinasi dan standarisasi.
  • Ketimpangan distribusi air: Meski rata-rata per kapita tinggi, distribusi tidak merata—beberapa wilayah sangat rentan kekeringan dan polusi.
  • Krisis kualitas air: Polusi nutrien dan pestisida dari pertanian intensif masih menjadi masalah utama yang belum terselesaikan secara sistemik.

Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan

  1. Perlu Strategi Air Nasional: Kanada perlu menyusun strategi nasional untuk monitoring, pelaporan, dan mitigasi risiko air, terutama terkait pertanian dan perubahan iklim.
  2. Penguatan Kolaborasi Lintas Batas: Perjanjian lintas provinsi dan negara harus diperkuat, diperbarui, dan dilengkapi dengan sistem monitoring bersama.
  3. Inovasi Teknologi dan Praktik Pertanian: Adopsi BMPs, teknologi efisiensi air, dan digitalisasi monitoring harus dipercepat untuk menekan polusi dan meningkatkan efisiensi.
  4. Transparansi dan Edukasi Publik: Data kualitas dan kuantitas air harus terbuka, mudah diakses, dan didukung edukasi publik untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi.
  5. Pendanaan dan Insentif: Program pendanaan seperti SCAP (Sustainable Canadian Agricultural Partnership) harus difokuskan pada inisiatif konservasi air dan inovasi pertanian berkelanjutan.

Menuju Ketahanan Air dan Pangan Berkelanjutan

“Water 101” menegaskan bahwa Kanada, meski kaya air, tidak kebal terhadap risiko kelangkaan, polusi, dan fragmentasi tata kelola. Dengan tantangan perubahan iklim dan tekanan global pada pangan, strategi nasional, inovasi, dan kolaborasi lintas sektor menjadi kunci untuk menjaga ketahanan air dan pangan. Laporan ini menjadi panggilan bagi pembuat kebijakan, pelaku industri, dan masyarakat untuk bergerak bersama menuju masa depan yang lebih aman, adil, dan berkelanjutan.

Sumber Artikel 

Nicolas Mesly, Al Mussell, Angèle Poirier. Water 101 Research Report. Canadian Agri-Food Policy Institute (CAPI), March 2023.

Selengkapnya
Menyibak Tantangan dan Peluang Tata Kelola Air untuk Ketahanan Pangan Kanada

Sumber Daya Air

Mengurai Keterkaitan Keamanan Air, Risiko, dan Pertumbuhan Ekonomi: Wawasan dari Model Sistem Dinamis

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Air, Risiko, dan Perangkap Kemiskinan

Air adalah fondasi pembangunan peradaban, namun kelangkaan dan risiko terkait air—seperti banjir, kekeringan, dan penyakit—masih menjadi ancaman utama bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan manusia. Paper ini menawarkan terobosan pemikiran dengan mengembangkan model sistem dinamis yang mengintegrasikan investasi air, risiko lingkungan, dan pertumbuhan ekonomi dalam satu kerangka analitis. Dengan menggabungkan aspek produktif dan protektif dari investasi air, penulis mengajak pembaca memahami bagaimana negara-negara bisa terjebak dalam “poverty trap” atau justru melesat menuju pertumbuhan berkelanjutan, tergantung pada strategi investasinya.

Kerangka Teoritis: Investasi Air sebagai Penggerak Ganda Ekonomi

Dualitas Investasi Air

Investasi air berdampak pada ekonomi melalui dua jalur utama:

  • Meningkatkan produktivitas sektor-sektor intensif air (pertanian, energi, industri).
  • Mengurangi kerugian akibat bahaya air (banjir, kekeringan, penyakit).

Studi empiris menunjukkan bahwa infrastruktur air menyumbang 10–15% dari total infrastruktur di Amerika Serikat. Namun, kontribusi nyata investasi air terhadap pertumbuhan ekonomi seringkali sulit diukur secara statistik karena interaksi kompleks antara investasi, risiko, dan pertumbuhan.

Definisi Water Security

Mengacu pada Grey & Sadoff (2007), keamanan air adalah “ketersediaan air dengan kuantitas dan kualitas yang dapat diterima untuk kesehatan, mata pencaharian, ekosistem, dan produksi, disertai tingkat risiko air yang dapat diterima bagi manusia, lingkungan, dan ekonomi.”

Model Sistem Dinamis: Menyatukan Produktivitas, Risiko, dan Pertumbuhan

Struktur Model

Model ini terdiri dari dua persamaan diferensial nonlinier yang melacak:

  • K(t): Kekayaan nasional pada waktu t.
  • N(t): Investasi pada aset terkait air pada waktu t.

Model memperhitungkan:

  • Return on investment dari aset air (meningkatkan produktivitas).
  • Kerugian akibat risiko air (mengurangi kekayaan dan aset).
  • Trade-off investasi: Modal yang diinvestasikan pada air tidak bisa digunakan di sektor lain pada periode yang sama.

Fungsi Investasi Optimal

Penulis menguji tiga bentuk fungsi investasi, namun menemukan bahwa fungsi berbentuk inverted-U (parabola terbalik) paling realistis:

  • Pada tahap awal, investasi air meningkat seiring kebutuhan produktivitas dan mitigasi risiko.
  • Setelah titik optimal tercapai, tambahan investasi air justru menurunkan pertumbuhan ekonomi karena marginal return menurun.

Studi Kasus dan Simulasi: Trajektori Negara dan Perangkap Kemiskinan

Studi Kasus 1: Colorado River Basin, Amerika Serikat

  • Kondisi awal: Kekayaan dan endowmen air sedang.
  • Intervensi: Investasi besar pada irigasi dan bendungan sejak awal 1900-an (Newlands Reclamation Act, proyek Bureau of Reclamation).
  • Hasil: Pembangunan 180 proyek, mendukung 31 juta penduduk, biaya >$20 miliar, irigasi 4,5 juta acre, pertumbuhan kota besar (Denver, LA, Phoenix).
  • Dampak: Menstabilkan variabilitas iklim, mendukung pertumbuhan ekonomi, tapi juga menimbulkan degradasi lingkungan (delta Colorado di Meksiko tinggal <10% luas aslinya).
  • Pelajaran: Investasi air yang terarah mampu mengangkat ekonomi dari stagnasi menuju pertumbuhan, namun perlu diimbangi dengan perlindungan lingkungan.

Studi Kasus 2: Indus River Basin, Pakistan

  • Kondisi awal: Kekayaan dan endowmen air rendah, risiko tinggi.
  • Fakta: Sistem irigasi terbesar di dunia (60.000 km kanal, 16,45 juta ha lahan). Irigasi menyumbang 22% GDP, 54% tenaga kerja, 70% ekspor.
  • Masalah: Penurunan stok air per kapita dari 5.260 (1951) ke 1.032 m³ (2016), hanya 10% potensi hydropower dikembangkan, sering terjadi banjir besar (2010: 20 juta terdampak, 2.500 tewas, GDP turun 6%).
  • Konflik: Ketergantungan pada air dari India (Indus Waters Treaty 1960), persaingan pembangunan bendungan dan PLTA.
  • Pelajaran: Tanpa investasi besar dan kerjasama lintas negara, risiko air dapat menyeret ekonomi ke perangkap kemiskinan.

Studi Kasus 3: Rhine Basin, Eropa

  • Kondisi awal: Endowmen air cukup, kekayaan rendah (abad ke-18–19).
  • Strategi: Investasi awal pada navigasi dan land reclamation, diikuti industrialisasi dan pengembangan infrastruktur air.
  • Dampak: Pertumbuhan ekonomi pesat, namun meningkatkan risiko banjir dan polusi.
  • Adaptasi: Setelah banjir besar (1993, 1995), Belanda mengadopsi pendekatan Adaptation Tipping Points (ATP) untuk menilai efektivitas strategi air di bawah perubahan iklim.
  • Pelajaran: Investasi air yang cerdas dan adaptif mendorong pertumbuhan, namun harus terus dievaluasi agar tidak menciptakan risiko baru.

Hasil Model: S-Curve, Tipping Point, dan Poverty Trap

S-Curve Pertumbuhan

Model menunjukkan bahwa dengan fungsi investasi inverted-U, pertumbuhan ekonomi dan keamanan air mengikuti pola S-curve:

  • Fase awal: Pertumbuhan lambat karena investasi awal besar dibutuhkan untuk keluar dari risiko air.
  • Fase menengah: Pertumbuhan cepat saat investasi air dan ekonomi saling memperkuat.
  • Fase matang: Pertumbuhan melambat karena marginal return menurun, kebutuhan investasi air berkurang.

Poverty Trap (Perangkap Kemiskinan)

  • Negara dengan kekayaan dan endowmen air rendah, serta risiko tinggi, sangat rentan jatuh ke perangkap kemiskinan.
  • Tanpa investasi eksternal atau inovasi besar, ekonomi akan stagnan, kerentanan terhadap bencana air meningkat, dan kesejahteraan tidak membaik.
  • Lokasi tipping point (batas antara pertumbuhan dan stagnasi) sangat sensitif terhadap parameter seperti biaya investasi air, efisiensi, dan besarnya risiko.

Sensitivitas Model

  • Semakin besar kebutuhan investasi air (N₀/K₀), semakin besar peluang negara terjebak poverty trap.
  • Semakin tinggi return investasi air (rₘₐₓ), semakin mudah keluar dari perangkap.
  • Mengurangi kerugian akibat risiko air (kₑ, k_w) sangat efektif menggeser tipping point ke arah pertumbuhan.

Implikasi Kebijakan: Investasi Air sebagai Strategi Pertumbuhan dan Ketahanan

1. Kombinasi Investasi Fisik dan Institusional

  • Investasi air tidak hanya soal infrastruktur fisik, tetapi juga penguatan institusi, human capital, dan sistem informasi.
  • Contoh: Sistem distribusi air kota yang baik meningkatkan kesehatan, produktivitas, dan daya saing industri.

2. Pentingnya Risk Reduction

  • Investasi pada sanitasi, pengelolaan limbah, dan perlindungan ekosistem sama pentingnya dengan bendungan dan irigasi.
  • Asuransi, re-asuransi, dan catastrophe bonds dapat membantu mendistribusikan risiko secara finansial.

3. Adaptasi terhadap Perubahan Iklim

  • Negara dengan variabilitas iklim tinggi harus berinvestasi lebih besar pada infrastruktur adaptif dan sistem peringatan dini.
  • Inovasi teknologi dan efisiensi penggunaan air dapat menurunkan biaya investasi air.

4. Kebijakan Pro-Growth dan Pro-Resilience

  • Kebijakan optimal menggabungkan investasi di sektor air dan non-air untuk mempercepat pertumbuhan dan memperkuat ketahanan.
  • Negara yang hanya fokus pada satu sisi (produktivitas atau proteksi) rentan stagnasi atau kerentanan baru.

Opini, Kritik, dan Perbandingan dengan Penelitian Lain

Kelebihan Paper

  • Model inovatif: Mengintegrasikan produktivitas dan risiko dalam satu kerangka dinamis.
  • Studi kasus nyata: Colorado, Indus, dan Rhine memperkaya pemahaman kontekstual.
  • Relevansi kebijakan: Memberi panduan konkret bagi negara berkembang dan maju dalam merancang investasi air.

Kritik

  • Kurang data kuantitatif mikro: Model masih bersifat makro dan normatif, belum membedah dinamika di tingkat rumah tangga atau komunitas.
  • Tidak membahas aspek sosial-politik secara mendalam: Konflik distribusi, peran gender, dan dinamika politik lokal hanya disentuh sekilas.
  • Tidak mengakomodasi eksternalitas lingkungan jangka panjang secara penuh: Degradasi ekosistem akibat investasi air besar-besaran perlu kajian lebih lanjut.

Perbandingan

  • Sejalan dengan studi Barbier (2004) tentang hubungan inverted-U antara investasi air dan pertumbuhan.
  • Memperluas pemikiran Grey & Sadoff (2007) soal water security dengan menambahkan aspek dinamika risiko dan tipping point.
  • Melengkapi literatur poverty trap (Dasgupta, Sachs) dengan fokus pada sektor air.

Hubungan dengan Tren Industri dan Global

  • SDG 6 (Air Bersih dan Sanitasi): Paper ini sangat relevan untuk strategi pencapaian SDG 6 dan integrasi air dalam agenda pembangunan nasional.
  • Nature-based Solutions dan Adaptasi Iklim: Model ini dapat dikembangkan untuk menguji efektivitas investasi pada solusi berbasis alam.
  • Finansialisasi risiko air: Asuransi, re-asuransi, dan catastrophe bonds kini makin penting dalam manajemen risiko air global.

Jalan Menuju Pertumbuhan Inklusif dan Tangguh

Paper ini menegaskan bahwa investasi air—baik fisik maupun institusional—adalah kunci keluar dari perangkap kemiskinan dan mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Namun, investasi harus dirancang adaptif, berbasis risiko, dan mempertimbangkan trade-off antara produktivitas dan perlindungan lingkungan. Negara yang gagal mengelola risiko air akan terjebak stagnasi, sementara yang cerdas berinvestasi dapat melesat menuju kemakmuran dan ketahanan.

Sumber Artikel

Simon Dadson, Jim W. Hall, Dustin Garrick, Claudia Sadoff, David Grey, Dale Whittington. Water security, risk, and economic growth: Insights from a dynamical systems model. Water Resources Research, 53, 6425–6438, 2017. doi:10.1002/2017WR020640

Selengkapnya
Mengurai Keterkaitan Keamanan Air, Risiko, dan Pertumbuhan Ekonomi: Wawasan dari Model Sistem Dinamis
« First Previous page 7 of 22 Next Last »