Risiko Banjir
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juli 2025
Mengapa Integrasi Pengelolaan Banjir dan Kekeringan Semakin Mendesak?
Banjir dan kekeringan adalah dua ekstrem dari siklus hidrologi yang sama, namun selama ini sering dikelola secara terpisah—baik dalam kebijakan, penelitian, maupun praktik lapangan. Padahal, kedua bencana ini telah berdampak pada sekitar 2,3 miliar orang (banjir) dan 1,1 miliar orang (kekeringan) antara 1995–2015, dan dampaknya terus meningkat akibat perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan ekspansi ekonomi12. Paper Philip J. Ward dkk. (2020) menjadi salah satu referensi utama yang menyoroti pentingnya integrasi strategi pengurangan risiko bencana (Disaster Risk Reduction/DRR) untuk banjir dan kekeringan, serta memberikan analisis kritis tentang interaksi, trade-off, dan dampak tidak terduga dari berbagai intervensi DRR.
Artikel ini merangkum temuan utama paper tersebut, mengulas studi kasus global, angka-angka kunci, serta membandingkannya dengan tren, tantangan, dan rekomendasi kebijakan mutakhir.
Banjir dan Kekeringan: Dua Ekstrem, Satu Siklus Hidrologi
Dampak Global dan Tren Masa Depan
Interaksi Kompleks: Trade-off dan Efek Tak Terduga
Studi Kasus Global: Ilustrasi Interaksi Banjir-Kekeringan
1. Infrastruktur Fisik: Tanggul, Bendungan, dan Subsurface Storage
2. Praktik Pertanian dan Pengelolaan Lahan
3. Migrasi dan Urbanisasi
4. Sistem Peringatan Dini dan Kesiapsiagaan
Tantangan Pengetahuan dan Kebijakan
1. Fragmentasi Penanganan
Sebagian besar kebijakan dan riset masih fokus pada satu bahaya saja, dengan institusi, regulasi, dan sistem data yang terpisah untuk banjir dan kekeringan. Padahal, trade-off, sinergi, dan efek tak terduga antar dua bahaya ini sangat nyata14.
2. Skala dan Kompleksitas
Perbedaan skala spasial dan temporal antara banjir (kejadian cepat, lokal) dan kekeringan (proses lambat, meluas) membuat integrasi pengelolaan menjadi rumit. Banyak teknologi (misal, stormwater control) hanya efektif di skala lokal, sementara efeknya bisa berdampak ke hilir atau kawasan lain15.
3. Data dan Monitoring
Kurangnya data terintegrasi tentang curah hujan, debit sungai, status bendungan, dan penggunaan air tanah menghambat pengambilan keputusan berbasis bukti. Banyak data operasi bendungan tidak terbuka untuk publik atau peneliti15.
4. Dinamika Sosial dan Ekonomi
Keputusan masyarakat (misal, migrasi, perubahan pola tanam) sangat dipengaruhi persepsi risiko, pengalaman masa lalu, dan insentif ekonomi. Namun, model risiko bencana masih jarang memasukkan dinamika perilaku manusia secara dinamis1.
Best Practices dan Rekomendasi Global
1. Pendekatan Holistik dan Multi-Risiko
2. Investasi pada Solusi Ganda
3. Tata Kelola dan Kelembagaan
4. Monitoring, Early Warning, dan Data Terbuka
Studi Banding dan Angka-Angka Kunci
Kritik, Opini, dan Rekomendasi
Kelebihan Paper Ward dkk.
Tantangan dan Keterbatasan
Rekomendasi Praktis
Penutup: Menuju Manajemen Risiko Bencana yang Terintegrasi dan Adaptif
Studi Ward dkk. menegaskan bahwa pengelolaan banjir dan kekeringan yang terpisah sudah tidak relevan di era perubahan iklim. Integrasi strategi, kebijakan, dan praktik DRR untuk kedua bahaya ini bukan hanya kebutuhan teknis, tapi juga syarat mutlak untuk mencapai ketahanan masyarakat dan pembangunan berkelanjutan. Dengan pendekatan holistik, berbasis data, dan kolaboratif, risiko bencana air di masa depan dapat dikelola lebih efektif dan adil.
Sumber asli:
Philip J. Ward, Marleen C. de Ruiter, Johanna Mård, Kai Schröter, Anne Van Loon, Ted Veldkamp, Nina von Uexkull, Niko Wanders, Amir AghaKouchak, Karsten Arnbjerg-Nielsen, Lucinda Capewell, Maria Carmen Llasat, Rosie Day, Benjamin Dewals, Giuliano Di Baldassarre, Laurie S. Huning, Heidi Kreibich, Maurizio Mazzoleni, Elisa Savelli, Claudia Teutschbein, Harmen van den Berg, Anne van der Heijden, Jelle M.R. Vincken, Maarten J. Waterloo, Marthe Wens. (2020). The need to integrate flood and drought disaster risk reduction strategies. Water Security, 11, 100070.
Risiko Banjir
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juli 2025
Mengapa Estimasi Kerusakan Banjir Penting dan Masih Penuh Ketidakpastian?
Banjir adalah bencana alam paling sering dan paling merugikan di Kanada, dengan lebih dari 1,5 juta rumah berada di zona risiko tinggi dan proyeksi kerugian tahunan akibat banjir bisa melonjak hingga $5,5 miliar pada pertengahan abad ini. Namun, estimasi kerugian akibat banjir di sektor perumahan masih sangat bergantung pada satu variabel utama: kedalaman genangan (inundation depth). Padahal, kerusakan nyata di lapangan jauh lebih kompleks, dipengaruhi puluhan faktor lain yang sering diabaikan dalam model konvensional. Paper Bernard Deschamps dkk. (2025) menawarkan terobosan dengan mengidentifikasi dan memprioritaskan 40 faktor penyebab kerusakan rumah akibat banjir berdasarkan konsensus 45 pakar lintas sektor di Kanada. Artikel ini mengulas temuan utama, studi kasus, angka-angka kunci, serta relevansi hasilnya untuk kebijakan dan praktik manajemen risiko banjir di era perubahan iklim.
Latar Belakang: Keterbatasan Model Kerusakan Konvensional
Model estimasi kerusakan banjir di Kanada umumnya menggunakan kurva kerusakan berdasarkan kedalaman air (depth-damage curves). Kurva ini memang praktis dan banyak digunakan untuk analisis risiko, perencanaan mitigasi, hingga justifikasi investasi proteksi banjir. Namun, pendekatan ini menghadapi tiga masalah utama:
Studi ini bertujuan mengisi gap tersebut dengan mengidentifikasi faktor-faktor tambahan yang signifikan, sekaligus menyoroti peran sentral pemerintah kota dalam mengurangi risiko banjir.
Metode: Konsultasi dan Survei Pakar Nasional
Penelitian ini menggunakan pendekatan dua tahap ala Delphi, melibatkan 45 pakar (adjuster, insinyur, estimator, kontraktor) dari sektor asuransi, konstruksi, restorasi bencana, dan teknik. Konsultasi dilakukan dalam 31 sesi video (Februari–April 2023), diikuti survei daring dengan 35 responden pada April–Mei 2023. Setiap pakar diminta mengidentifikasi dan memprioritaskan faktor penyebab kerusakan rumah akibat banjir, tanpa dibatasi jenis banjir (pluvial, fluvial, kegagalan infrastruktur, dsb). Standarisasi dilakukan dengan menggunakan profil rumah referensi: rumah keluarga tunggal, 1–2 lantai, dibangun 2022 ke atas, dengan basement semi-finished.
Hasil konsultasi dan survei kemudian dianalisis dengan metode weighted average untuk menentukan ranking dan bobot relatif setiap faktor.
Temuan Utama: Sepuluh Faktor Penyebab Kerusakan Banjir Paling Penting
Dari 40 faktor yang diidentifikasi, berikut 10 teratas menurut para pakar (beserta angka mention rate dan ranking):
Menariknya, tujuh dari sepuluh faktor teratas berada di bawah kewenangan pemerintah kota (penataan ruang, kode bangunan, drainase, kesiapsiagaan), menegaskan pentingnya peran pemerintah lokal dalam manajemen risiko banjir.
Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci
Analisis Kritis: Implikasi dan Inovasi
1. Mengapa Inundation Depth Bukan Segalanya?
Meskipun kedalaman air tetap penting, para pakar Kanada justru menempatkannya di urutan ke-11. Ini menegaskan bahwa model kerusakan berbasis satu variabel sangat rentan bias dan tidak cukup akurat di tingkat rumah tangga. Faktor-faktor seperti kecepatan arus, waktu respons, dan kualitas bangunan seringkali lebih menentukan besarnya kerugian.
2. Peran Sentral Pemerintah Kota
Sebagai pemegang otoritas utama penataan ruang, perizinan bangunan, dan pengelolaan infrastruktur, pemerintah kota dapat menekan risiko banjir secara signifikan. Contohnya:
3. Koefisien Penyesuaian untuk Estimasi Kerusakan
Studi ini mengusulkan penggunaan koefisien penyesuaian (misal: jenis tanah, tahun bangunan, nilai bangunan, distribusi nilai antar lantai) untuk memperbaiki akurasi estimasi kerusakan. Contoh:
4. Keterbatasan dan Tantangan
Perbandingan dan Relevansi Global
Temuan ini sejalan dengan studi di AS, Eropa, dan Asia yang menyoroti pentingnya faktor fisik bangunan, kualitas infrastruktur, dan kesiapsiagaan pemerintah lokal dalam menekan risiko banjir. Negara-negara seperti Belanda dan Jepang juga mulai mengintegrasikan variabel-variabel ini ke dalam model risiko dan kebijakan penataan ruang.
Rekomendasi Praktis
Penutup: Menuju Estimasi Kerusakan Banjir yang Lebih Akurat dan Responsif
Studi Deschamps dkk. menegaskan bahwa estimasi kerusakan banjir yang hanya mengandalkan kedalaman air sudah tidak memadai untuk era risiko iklim ekstrem. Integrasi faktor-faktor fisik, sosial, dan kelembagaan—serta peran aktif pemerintah kota—adalah kunci untuk memperbaiki akurasi estimasi, memperkuat mitigasi, dan mempercepat pemulihan. Temuan ini sangat relevan untuk negara-negara lain, termasuk Indonesia, yang menghadapi tantangan serupa dalam manajemen risiko banjir perkotaan.
Sumber asli:
Bernard Deschamps, Mathieu Boudreault, Philippe Gachon. (2025). Flooding: Contributing factors to residential flood damage in Canada. International Journal of Disaster Risk Reduction, 120, 105348.
Risiko Banjir
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juli 2025
Mengapa Nature-Based Solutions (NBS) Penting dalam Pengurangan Risiko Banjir?
Perubahan iklim dan degradasi lingkungan telah meningkatkan frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi (hydro-meteorological hazards/HMH) seperti banjir, kekeringan, dan badai di seluruh dunia. Kawasan urban dan dataran banjir, terutama di Asia Tenggara, kini menghadapi tantangan besar akibat pertumbuhan penduduk, perubahan tata guna lahan, dan pembangunan yang tidak terkendali. Dalam konteks ini, Nature-Based Solutions (NBS) semakin diakui sebagai pendekatan inovatif yang tidak hanya mengurangi risiko bencana, tetapi juga memberikan manfaat ekosistem dan sosial secara bersamaan. Namun, bagaimana merancang dan mengevaluasi NBS yang benar-benar tangguh dan efektif untuk menghadapi bencana ekstrem masih menjadi pertanyaan besar dalam literatur dan praktik kebijakan.
Paper karya Sipho Mashiyi dkk. (2023) di International Journal of Disaster Risk Reduction secara komprehensif membahas proses desain dan evaluasi NBS yang tangguh untuk pengurangan risiko hidrometeorologi, dengan studi kasus sistem irigasi tradisional di Dataran Banjir Chao Phraya, Thailand. Artikel ini merangkum temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus, data kunci, serta membandingkannya dengan tren global dan tantangan nyata di negara berkembang.
Konsep Dasar: Definisi, Multifungsi, dan Kriteria Ketangguhan NBS
NBS adalah istilah payung untuk pendekatan berbasis ekosistem yang bertujuan mengatasi berbagai tantangan sosial, seperti ketahanan pangan, air, kesehatan, dan perubahan iklim. Berbeda dengan infrastruktur abu-abu (grey infrastructure) seperti tanggul beton, NBS menekankan pemanfaatan dan restorasi fungsi alami ekosistem—misal, lahan basah, hutan riparian, atau sistem irigasi tradisional—untuk mengurangi risiko sekaligus memberi manfaat tambahan (co-benefits).
Tiga prinsip utama NBS:
Multifungsi NBS berarti satu intervensi mampu memberikan berbagai layanan ekosistem sekaligus, misal: pengendalian banjir, penyimpanan air, pengisian air tanah, peningkatan kualitas air, dan habitat keanekaragaman hayati.
Tantangan Merancang NBS yang Tangguh
Meskipun manfaat NBS sudah banyak diakui, masih ada gap besar dalam literatur dan praktik terkait bagaimana merancang dan mengevaluasi NBS yang benar-benar tangguh (robust). Ketangguhan di sini didefinisikan sebagai kemampuan sistem untuk mempertahankan fungsi ekosistem meski menghadapi gangguan ekstrem yang melebihi kriteria desain awal, namun masih dalam batas toleransi ekosistem.
Proses desain NBS tangguh meliputi:
Studi Kasus: Sistem Irigasi Tradisional di Nong Sua, Pathum Thani, Thailand
Latar Belakang Wilayah
Nong Sua adalah distrik pertanian di dataran banjir Sungai Chao Phraya, bagian dari kawasan metropolitan Bangkok. Wilayah ini memiliki jaringan kanal dan furrow irigasi tradisional yang telah berusia lebih dari 100 tahun, berfungsi ganda sebagai saluran irigasi dan penampung air banjir. Kawasan ini sangat datar (kemiringan 0–3%) dan rentan terhadap banjir besar, seperti yang terjadi pada 2011 dan 2016.
Sistem Kanal dan Furrow
Konsep “Monkey Cheeks” (Kaem Ling)
Konsep ini, diinspirasi oleh cara monyet menyimpan makanan di pipinya, diterapkan dengan menampung air banjir di lahan pertanian dan furrow irigasi selama puncak banjir, lalu mengalirkannya secara bertahap setelah debit sungai turun. Pada banjir 2016, sistem ini berhasil mencegah banjir besar di Bangkok dan kawasan industri sekitarnya.
Data dan Angka Kunci
Proses Desain dan Evaluasi NBS Tangguh
1. Desain Ketangguhan
2. Evaluasi Ketangguhan: Metode Robust Analysis
3. Hasil Evaluasi
4. Co-Benefits dan Batasan
Analisis Kritis dan Opini
Kelebihan Studi
Tantangan dan Keterbatasan
Perbandingan dengan Tren Global
Rekomendasi Praktis dan Implikasi untuk Indonesia
Penutup: Menuju Sistem Pengelolaan Banjir yang Adaptif dan Berbasis Alam
Studi Mashiyi dkk. membuktikan bahwa NBS yang dirancang dan dievaluasi secara robust dapat meningkatkan ketangguhan sistem pengelolaan banjir, memberikan manfaat ekosistem dan ekonomi, serta menjadi solusi masa depan di tengah ketidakpastian iklim. Proses desain dan evaluasi yang dikembangkan dapat diadaptasi di berbagai negara, termasuk Indonesia, sebagai bagian dari strategi pembangunan berkelanjutan dan pengurangan risiko bencana berbasis alam.
Sumber asli:
Sipho Mashiyi, Sutat Weesakul, Zoran Vojinovic, Arlex Sanchez Torres, Mukand S. Babel, Sirapee Ditthabumrung, Laddaporn Ruangpan. (2023). Designing and evaluating robust nature-based solutions for hydro-meteorological risk reduction. International Journal of Disaster Risk Reduction, 93, 103787.
Risiko Banjir
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juli 2025
Mengapa Demografi Penting dalam Manajemen Risiko Banjir?
Wilayah pedesaan pegunungan Eropa, khususnya di Alpen, kini menghadapi dua tantangan besar: penurunan populasi akibat penuaan dan migrasi keluar serta ancaman banjir yang terus berulang. Literatur global kerap berasumsi bahwa penurunan populasi otomatis memperburuk kerentanan sosial dan menurunkan kapasitas adaptasi komunitas terhadap bencana. Namun, apakah benar demikian untuk komunitas makmur di Eropa Tengah? Paper karya Christoph Clar dkk. (2023) di International Journal of Disaster Risk Reduction membedah secara kritis keterkaitan antara perubahan demografi dan sistem manajemen risiko banjir di Gailtal, Austria, dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang mendalam.
Artikel ini merangkum temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus Gailtal, angka-angka penting, serta membandingkannya dengan tren global dan pelajaran untuk kebijakan pengelolaan risiko bencana di era perubahan iklim dan demografi.
Latar Belakang: Penurunan Populasi dan Tantangan Sosial-Ekonomi
Sepertiga wilayah pedesaan Austria telah mengalami penurunan populasi dalam beberapa dekade terakhir, terutama karena penuaan dan migrasi keluar. Dampaknya meliputi:
Di sisi lain, banjir tetap menjadi ancaman utama di wilayah ini, membutuhkan sumber daya besar untuk perlindungan dan pemulihan. Literatur sebelumnya umumnya berasumsi bahwa penurunan populasi memperburuk kerentanan sosial dan menurunkan kapasitas adaptasi komunitas, terutama di wilayah yang kurang makmur.
Studi Kasus Gailtal, Austria: Metodologi dan Data
Penelitian ini berfokus di distrik Hermagor, lembah Gailtal, Carinthia, Austria—wilayah yang terpencil, mengalami penurunan populasi, dan rawan banjir. Populasi turun dari 20.245 (1991) menjadi 18.224 (2019), dengan proporsi penduduk usia 60+ naik dari 29% (2013) menjadi 33% (2019). Proyeksi hingga 2040 menunjukkan penurunan populasi 13% lagi.
Metode yang digunakan:
Temuan Utama: Kerentanan, Kapasitas, dan Paradox Eksposur
1. Kerentanan Sosial dan Kapasitas Komunitas
2. Paradox Eksposur: Bangunan Bertambah, Penduduk Berkurang
3. Strategi Manajemen Risiko Banjir
4. Diskursus Kebijakan: Demografi dan Banjir Masih Terpisah
Studi Kasus: Banjir 2018 dan 2019 di Gailtal
Analisis Kritis: Membongkar Asumsi Lama
1. Apakah Komunitas Tua dan Menyusut Selalu Lebih Rentan?
2. Paradox Eksposur: Mengapa Bangunan Bertambah Saat Penduduk Menyusut?
3. Implikasi untuk Kebijakan
Perbandingan dengan Studi Global
Rekomendasi dan Pelajaran untuk Indonesia
Penutup: Menuju Manajemen Risiko Banjir yang Adaptif dan Kontekstual
Studi Clar dkk. menunjukkan bahwa hubungan antara perubahan demografi dan risiko banjir jauh lebih kompleks dari asumsi umum. Penurunan populasi tidak otomatis berarti penurunan risiko; bahkan bisa terjadi “paradox eksposur” jika pembangunan rumah baru tetap berlangsung di zona rawan. Kohesi sosial, pengalaman bencana, dan kebijakan lokal sangat menentukan kapasitas adaptasi komunitas. Ke depan, kebijakan manajemen risiko banjir harus lebih adaptif, berbasis data lokal, dan mempertimbangkan dinamika demografi secara strategis.
Sumber asli:
Christoph Clar, Lena Junger, Ralf Nordbeck, Thomas Thaler. (2023). The impact of demographic developments on flood risk management systems in rural regions in the Alpine Arc. International Journal of Disaster Risk Reduction, 90, 103648.
Risiko Banjir
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 20 Juni 2025
Tantangan Banjir di Era Perubahan Iklim
Perubahan iklim telah meningkatkan frekuensi dan intensitas curah hujan ekstrem di Eropa, sehingga risiko banjir pada sungai-sungai besar yang melintasi beberapa negara, termasuk di kawasan perbatasan Belanda-Jerman, makin tinggi. Sungai-sungai seperti Rhine, Meuse, Ems, Dinkel, dan Vecht, yang mengalir dari Jerman ke Belanda, menuntut adanya kolaborasi lintas negara dalam mengelola risiko banjir. Artikel ini mereview secara kritis paper Cristine Johanna Kuiper (2020), yang menganalisis bagaimana berbagai level institusi—dari Uni Eropa, pemerintah nasional, hingga regional—bekerja sama dalam mengelola risiko banjir sungai lintas batas di kawasan ini123.
Pentingnya Studi: Mengapa Kolaborasi Lintas Negara Jadi Kunci?
Banjir lintas negara tidak bisa dikelola secara sepihak. Setiap tindakan di hulu (Jerman) akan berdampak pada hilir (Belanda), dan sebaliknya. Oleh karena itu, paper ini sangat relevan di tengah tren global yang menuntut kolaborasi antarnegara dalam menghadapi perubahan iklim dan bencana alam. Selain itu, studi ini menutup kekosongan literatur terkait bagaimana perbedaan tata kelola dan budaya birokrasi mempengaruhi efektivitas manajemen risiko banjir lintas batas.
Kerangka Teoritis: Multilevel Governance dan Cross-Border Cooperation
Konsep Utama
Regulasi dan Kebijakan: Dari Uni Eropa ke Nasional
1. EU Floods Directive (2007)
Uni Eropa menerapkan EU Floods Directive sebagai kerangka hukum utama. Tujuannya:
2. Implementasi di Belanda
3. Implementasi di Jerman
Studi Kasus: Kolaborasi di Sungai Rhine, Meuse, dan Ems
1. Rhine: International Commission for the Protection of the Rhine (ICPR)
2. Meuse: International Meuse Commission
3. Ems: International Steering Group Ems
4. Sungai Kecil: Dinkel, Vecht, Berkel, Oude IJssel
Analisis Angka dan Dampak
Nilai Tambah, Kritik, dan Perbandingan
Nilai Tambah:
Kritik:
Perbandingan dengan Negara Lain:
Relevansi dan Implikasi ke Depan
Menuju Tata Kelola Banjir Lintas Batas yang Efektif
Paper ini menegaskan bahwa pengelolaan risiko banjir sungai lintas negara memerlukan:
Belanda dan Jerman telah menunjukkan bahwa, meski tantangan birokrasi dan perbedaan sistem pemerintahan tetap ada, kolaborasi lintas batas yang efektif sangat mungkin dilakukan. Studi kasus Rhine, Meuse, Ems, dan sungai kecil lainnya membuktikan pentingnya kerja sama, inovasi, dan adaptasi dalam menghadapi risiko banjir yang semakin kompleks akibat perubahan iklim.
Sumber Artikel
Cristine Johanna Kuiper (2020). The regulation of flood risk management of transboundary rivers in the Dutch-German border area. University of Twente, Faculty of Behavioural, Management and Social Sciences, Management, Society & Technology – Bachelor Thesis.
Risiko Banjir
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 28 Mei 2025
Pendahuluan: Banjir, Bencana Tahunan yang Tak Pernah Selesai
Kota Langsa di Aceh menghadapi ancaman tahunan yang semakin kompleks: banjir. Dalam beberapa tahun terakhir, intensitas dan dampaknya meningkat drastis, terutama di kawasan seperti Desa Seulalah dan Gampong Jawa. Ironisnya, di tengah geliat pembangunan, kawasan ini justru semakin rentan.
Artikel ini merefleksikan dan mengkritisi strategi mitigasi bencana berdasarkan studi ilmiah oleh Ayu Sekar Ningrum dan Kronika Br. Ginting. Penelitian mereka membuka tabir bagaimana pendekatan kuantitatif dan spasial bisa menjadi kebijakan yang efektif.
Potret Risiko: Ketika Alam dan Manusia Berseteru
Fakta Lapangan
Banjir yang melanda Langsa terjadi karena kombinasi antara curah hujan tinggi di kawasan hulu DAS Krueng Langsa dan buruknya tata ruang di kawasan hilir. Pada tahun 2020, banjir melumpuhkan aktivitas ribuan warga dengan ketinggian udara mencapai 50 cm di Desa Jawa Belakang dan Seulalah. Meski terlihat 'biasa', banjir ini mencerminkan akumulasi masalah struktural dan sosial.
Analisis Risiko: Metode dan Indikator
Penelitian ini menggunakan pendekatan overlay berbasis GIS untuk memetakan tiga aspek utama:
Hasil overlay menunjukkan bahwa Desa Seulalah dan Gampong Jawa termasuk dalam klasifikasi risiko tinggi. Penduduk hidup turut serta dengan bahaya.
Strategi Mitigasi: Struktural dan Non-Struktural
Mitigasi Struktural
Mitigasi ini bersifat fisik dan teknis, ditujukan untuk menahan atau mengalihkan udara:
Namun perlu dicatat, pendekatan struktural bersifat mahal dan jangka panjang. Efektivitasnya juga tergantung pada pemeliharaan yang konsisten.
Mitigasi Non-Struktural
Pendekatan ini menyasar perubahan perilaku dan kesiapsiagaan masyarakat:
Penelitian ini menunjukkan bahwa mitigasi non-struktural, meski murah, tetap membutuhkan intervensi berkelanjutan, edukasi publik, dan komitmen lintas sektor.
Kritik dan Catatan Penting: Dari Peta ke Tindakan
1. Kebijakan Integrasi Lemahnya
Meskipun strategi mitigasi telah dirumuskan, implementasinya di lapangan kerap terhambat oleh fragmentasi birokrasi. Koordinasi antara dinas lingkungan hidup, perumahan, dan infrastruktur masih rendah.
2. Data Belum Real-Time
Studi ini bergantung pada data sekunder dan survei terbatas. Untuk strategi mitigasi yang lebih presisi, perlu integrasi data real-time seperti curah hujan harian, tingkat sedimentasi, hingga data sosial-ekonomi dinamis.
3. Tantangan Relokasi
Salah satu rekomendasi utama adalah relokasi warga dari zona merah banjir ke tempat yang lebih aman. Namun, relokasi bukan hanya soal lokasi baru, melainkan juga soal pekerjaan, akses pendidikan, dan penerimaan sosial.
4. Tren Industri & Solusi Berbasis Alam
Mengaitkan temuan ini dengan tren global, pendekatan solusi berbasis alam kini banyak dikembangkan. Hutan kota, lahan basah buatan, hingga pengembalian fungsi rawa menjadi solusi alami yang terbukti efektif mengurangi limpasan udara.
Langsa bisa belajar dari Jakarta dengan pembangunan kolam retensi dan normalisasi sungai, meski tetap harus melibatkan partisipasi publik.
Dampak Jangka Panjang: Investasi dalam Ketahanan
Mitigasi bukan hanya soal menghindari banjir. Ini soal:
Pemerintah daerah harus berani mengalokasikan anggaran untuk program pencegahan, bukan hanya pencegahan. Sebab, setiap rupiah yang diinvestasikan dalam mitigasi bisa menghemat hingga tujuh kali lipat biaya kerugian pasca bencana (UNDRR, 2019).
Kesimpulan: Jalan Panjang Menuju Kota Tahan Banjir
Penelitian ini memberikan kontribusi nyata terhadap pengetahuan mitigasi banjir berbasis data spasial. Kota Langsa membutuhkan strategi adaptif yang menggabungkan pendekatan teknis, sosial, dan ekologis.
Namun, keberhasilannya tidak akan datang hanya dari peta dan data. Ia lahir dari kolaborasi—antara pemerintah, masyarakat, sejarawan, dan sektor swasta. Kota tahan banjir bukan mitos, jaminan adanya kemauan politik, kepemimpinan berbasis ilmu, dan partisipasi warga.
Sumber:
Ningrum, AS, & Ginting, KB (2020). Strategi Penanganan Banjir Berbasis Mitigasi Bencana di Kawasan Rawan Bencana Banjir di Daerah Aliran Sungai Seulalah Kota Langsa . Jurnal Pendidikan Sains Geografi (GEOSEE), 1(1), 6–13.