Teknik Lingkungan

Mengenal Kategori Limbah Medis

Dipublikasikan oleh Admin pada 12 April 2024


Limbah medis

Limbah medis merupakan hasil buangan dari aktivitas medis yang harus segera diolah setelah dihasilkan, dengan penyimpanan menjadi pilihan terakhir jika tidak memungkinkan untuk diolah secara langsung. Dalam menyimpan limbah medis, faktor penting yang harus diperhatikan antara lain adalah melengkapi tempat penyimpanan dengan penutup yang sesuai, memastikan area penyimpanan limbah medis terpisah dari limbah non-medis, membatasi akses ke lokasi penyimpanan, dan memilih tempat penyimpanan yang tepat sesuai dengan standar keselamatan dan lingkungan. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, diharapkan dapat mengurangi risiko kontaminasi dan dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia.

Kategori

Menurut peraturan Departemen Kesehatan RI pada tahun 2002, limbah medis diklasifikasikan berdasarkan potensi bahaya yang terkandung di dalamnya serta volume dan sifat persistensinya yang dapat menimbulkan berbagai masalah. Ada beberapa kategori limbah medis yang ditetapkan dalam peraturan tersebut.

Pertama, limbah benda tajam seperti jarum suntik, perlengkapan intravena, pipet Pasteur, pecahan gelas, dan lain-lain, merupakan salah satu kategori limbah medis yang memiliki risiko cedera yang tinggi jika tidak diolah dengan benar. Penanganan limbah jenis ini memerlukan kehati-hatian ekstra dalam proses pengumpulan dan pemrosesan.

Kedua, limbah infeksius adalah limbah yang berkaitan dengan pasien yang memerlukan isolasi penyakit menular atau perawatan intensif, serta limbah laboratorium. Limbah ini memiliki potensi untuk menjadi sumber penyebaran penyakit, sehingga pengelolaannya memerlukan wadah atau kontainer khusus yang dirancang untuk mencegah penularan penyakit.

Selanjutnya, limbah patologi terdiri dari limbah jaringan tubuh yang terbuang dari proses bedah atau autopsi. Pengelolaan limbah jenis ini memerlukan prosedur khusus untuk memastikan bahwa limbah tidak menimbulkan risiko kontaminasi lingkungan.

Limbah sitotoksik merupakan bahan yang terkontaminasi selama peracikan, pengangkutan, atau tindakan terapi sitotoksik. Limbah ini memiliki sifat toksik dan memerlukan perlakuan khusus agar tidak menimbulkan risiko bagi kesehatan manusia dan lingkungan.

Selanjutnya, limbah farmasi meliputi obat-obatan yang kedaluwarsa, tidak memenuhi spesifikasi, terkontaminasi, atau dibuang oleh pasien atau masyarakat. Limbah ini juga mencakup limbah yang dihasilkan selama produksi obat-obatan, dan memerlukan pemrosesan khusus untuk mencegah kerusakan lingkungan.

Kemudian, limbah kimia yang dihasilkan dari penggunaan kimia dalam tindakan medis, laboratorium, proses sterilisasi, dan riset, juga termasuk dalam kategori limbah medis. Limbah kimia ini dapat memiliki sifat berbahaya dan memerlukan perlakuan khusus agar tidak mencemari lingkungan.

Terakhir, limbah radioaktif adalah limbah yang terkontaminasi dengan radioisotop yang berasal dari penggunaan medis atau riset radionukleotida. Limbah jenis ini memiliki sifat radiasi yang berpotensi membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan, sehingga memerlukan penanganan khusus sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Disadur dari: https://id.wikipedia.org/wiki/Limbah_medis

Selengkapnya
Mengenal Kategori Limbah Medis

Teknik Lingkungan

Sampah Berbahaya: Jenis, Dampak dan Pengelolaan

Dipublikasikan oleh Admin pada 12 April 2024


Limbah berbahaya

Limbah berbahaya merupakan jenis limbah yang memiliki potensi besar atau ancaman terhadap kesehatan masyarakat atau lingkungan. Limbah B3, yang merupakan salah satu jenis limbah berbahaya, memiliki ciri-ciri berbahaya seperti mudah terbakar, reaktifitas, korosif, dan toksisitas. Limbah berbahaya terdaftar adalah bahan yang secara khusus terdaftar oleh otoritas pengatur sebagai limbah berbahaya yang berasal dari sumber non-spesifik, sumber spesifik, atau produk kimia yang dibuang. Limbah berbahaya dapat berbentuk gas, cairan, atau padat, dan proses pengolahan dan pemadatan mungkin diperlukan tergantung pada keadaan fisik limbah.

Limbah B3 merupakan jenis limbah yang memerlukan perlakuan khusus karena tidak dapat dibuang dengan cara biasa seperti produk sampingan lainnya dalam kehidupan sehari-hari. Konvensi Basel tentang Pengendalian Pergerakan Lintas Batas Limbah Berbahaya dan Pembuangannya telah ditandatangani oleh 199 negara dan mulai berlaku pada tahun 1992. Pada tahun 2019, plastik juga ditambahkan ke dalam daftar konvensi ini, menunjukkan kepentingan internasional dalam mengatasi masalah limbah berbahaya untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan.

Jumlah limbah berbahaya

Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) memperkirakan bahwa lebih dari 400 juta ton limbah berbahaya diproduksi secara universal setiap tahunnya, dengan sebagian besar dihasilkan oleh negara-negara industri. Sekitar 1 persen dari total limbah berbahaya tersebut dikirim melintasi batas internasional, dan mayoritas transfer tersebut terjadi antara negara-negara yang tergabung dalam Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Salah satu alasan utama mengapa negara-negara industri mengirimkan limbah berbahaya ke negara lain adalah karena biaya pembuangan limbah berbahaya yang semakin meningkat di negara asal.

Untuk mengatasi masalah pergerakan lintas batas limbah berbahaya dan pembuangannya, Konvensi Basel tentang Pengendalian Pergerakan Lintas Batas Limbah Berbahaya dan Pembuangannya diadopsi dan ditandatangani oleh 199 negara. Konvensi ini mulai berlaku pada tahun 1992 sebagai upaya untuk mengatur dan mengendalikan pergerakan limbah berbahaya secara internasional. Pada tahun 2019, plastik juga ditambahkan ke dalam daftar konvensi ini, menunjukkan perhatian yang semakin meningkat terhadap masalah limbah plastik di tingkat global.

Jenis limbah berbahaya

Limbah universal merupakan kategori khusus dari limbah berbahaya yang umumnya memiliki tingkat ancaman yang lebih rendah dibandingkan dengan jenis limbah berbahaya lainnya. Limbah ini tersebar di mana-mana dan dihasilkan dalam jumlah besar oleh banyak generator. Beberapa contoh limbah universal yang paling umum meliputi bola lampu neon, beberapa jenis baterai khusus seperti yang mengandung litium atau timbal, tabung sinar katoda, dan perangkat yang mengandung merkuri. Meskipun limbah universal tunduk pada persyaratan peraturan yang lebih longgar, mereka masih harus dibuang dengan benar. Penghasil limbah universal dalam jumlah kecil dapat diklasifikasikan sebagai "penghasil jumlah kecil yang dikecualikan secara bersyarat" (CESQGs), yang membebaskan mereka dari beberapa persyaratan peraturan untuk penanganan dan penyimpanan limbah berbahaya.

Limbah B3 Rumah Tangga, atau yang sering disebut sebagai Limbah Berbahaya Rumah Tangga (HHW), adalah limbah yang dihasilkan dari rumah tangga dan disebut juga sebagai limbah berbahaya domestik. HHW hanya mencakup limbah yang berasal dari penggunaan bahan yang diberi label dan dijual untuk penggunaan rumah tangga, bukan dari perusahaan atau lingkungan industri. Beberapa kategori umum HHW termasuk cat dan pelarut, limbah otomotif seperti oli bekas, pestisida, limbah yang mengandung merkuri seperti termometer dan lampu neon, barang elektronik seperti komputer dan televisi, serta baterai khusus seperti baterai litium dan nikel kadmium. Penting untuk dicatat bahwa banyak dari kategori-kategori ini tumpang tindih dan limbah rumah tangga seringkali masuk ke beberapa kategori sekaligus.

Selain itu, beberapa limbah rumah tangga juga termasuk dalam kategori yang lebih spesifik, seperti limbah radioaktif yang mungkin berasal dari detektor asap rumah yang mengandung sedikit isotop radioaktif amerisium. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan limbah rumah tangga juga penting untuk dipertimbangkan secara hati-hati agar tidak menimbulkan risiko kesehatan dan lingkungan yang tidak diinginkan.

Pembuangan limbah berbahaya

Secara historis, beberapa limbah berbahaya dibuang di tempat pembuangan sampah biasa, yang mengakibatkan merembesnya sejumlah besar bahan berbahaya ke dalam tanah dan akhirnya masuk ke dalam sistem hidrologi alami. Untuk mencegah kontaminasi air tanah, banyak tempat pembuangan sampah sekarang memerlukan tindakan pencegahan, seperti pemasangan penghalang di sepanjang fondasi tempat pembuangan akhir (TPA) untuk menampung zat berbahaya yang mungkin tertinggal dalam limbah yang dibuang.

Saat ini, limbah berbahaya sering kali harus distabilkan dan dipadatkan agar dapat dimasukkan ke dalam TPA, serta menjalani perlakuan khusus untuk menstabilkan dan membuangnya. Sebagian besar bahan yang mudah terbakar dapat didaur ulang menjadi bahan bakar industri, sementara beberapa bahan dengan unsur berbahaya, seperti baterai asam timbal, juga dapat didaur ulang.

Beberapa jenis limbah berbahaya dapat didaur ulang menjadi produk baru, seperti baterai timbal-asam atau papan sirkuit elektronik. Proses pengolahan yang tepat dapat mengurangi tingkat ancaman bahan kimia berbahaya dan sekaligus mendaur ulang produk yang aman. Meskipun demikian, pengelolaan limbah berbahaya tetap memerlukan perhatian khusus untuk mencegah dampak negatif terhadap kesehatan dan lingkungan.

Selain itu, pembakaran limbah berbahaya juga menjadi metode pengolahan yang umum. Dengan membakarnya pada suhu tinggi, limbah yang mudah terbakar dapat dibakar sebagai sumber energi. Insinerasi tidak hanya mengurangi jumlah limbah berbahaya, tetapi juga menghasilkan energi dari gas yang dilepaskan dalam proses tersebut. Namun, pengolahan limbah ini juga dapat menghasilkan gas beracun yang berdampak pada lingkungan, meskipun teknologi insinerator yang lebih efisien telah dikembangkan untuk mengontrol emisi tersebut.

Limbah B3 juga dapat diasingkan di TPA limbah berbahaya atau fasilitas pembuangan permanen lainnya. TPA adalah fasilitas pembuangan yang tidak termasuk dalam timbunan, sumur injeksi bawah tanah, atau unit manajemen tindakan korektif, dan dikelola sesuai dengan peraturan yang ketat.

Selain itu, metode lain seperti pirolisis juga digunakan untuk menghilangkan beberapa jenis limbah berbahaya. Teknologi plasma, yang merupakan pengembangan dari pirolisis, juga digunakan untuk mengubah limbah menjadi bahan inert yang lebih aman. Meskipun metode ini mahal, mereka dapat lebih efektif daripada pembakaran limbah berbahaya dalam beberapa kondisi.

Namun, penting untuk diingat bahwa pengelolaan dan pembuangan limbah berbahaya harus dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah dampak negatif terhadap kesehatan dan lingkungan. Kegagalan dalam pengelolaan limbah berbahaya dapat menyebabkan pelepasan gas berbahaya ke udara, pencemaran air tanah, dan tanah, serta dampak kesehatan yang serius pada masyarakat sekitar, terutama mereka yang bergantung pada lahan untuk sumber air dan sumber penghidupan mereka. Oleh karena itu, identifikasi, pengelolaan, dan pembuangan limbah berbahaya harus dilakukan dengan hati-hati dan sesuai dengan regulasi yang berlaku.

Masyarakat dan budaya

Tujuan global

Komunitas internasional telah mengakui bahwa pengelolaan limbah berbahaya dan bahan kimia yang bertanggung jawab merupakan komponen penting dari pembangunan berkelanjutan. Hal ini tercermin dalam inklusi pengelolaan limbah berbahaya ke dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan nomor 12. Target 12.4 dari tujuan ini bertujuan untuk "mencapai pengelolaan bahan kimia dan semua limbah yang berwawasan lingkungan sepanjang siklus hidupnya". Salah satu indikator yang digunakan untuk memantau pencapaian target ini adalah "limbah berbahaya yang dihasilkan per kapita; dan proporsi limbah berbahaya yang diolah, berdasarkan jenis pengolahan". Dengan demikian, upaya untuk mengelola limbah berbahaya secara efektif merupakan bagian integral dari agenda global untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.

Sejarah peraturan

Di Amerika Serikat

Undang-Undang Konservasi dan Pemulihan Sumber Daya (RCRA) 

Limbah B3, atau limbah berbahaya, adalah jenis limbah yang memiliki sifat berbahaya atau berpotensi membahayakan kesehatan manusia atau lingkungan. Limbah berbahaya dapat berbentuk cairan, padatan, gas, atau lumpur, dan dapat berasal dari berbagai sumber, baik sebagai produk sampingan dari proses produksi maupun produk komersial yang dibuang, seperti cairan pembersih atau pestisida. Secara peraturan, di Amerika Serikat, limbah B3 diatur berdasarkan Undang-Undang Konservasi dan Pemulihan Sumber Daya (RCRA), Subjudul C.

Berdasarkan definisinya, Badan Perlindungan Lingkungan (EPA) menetapkan bahwa beberapa limbah tertentu dianggap berbahaya. Limbah-limbah ini termasuk dalam daftar yang diterbitkan oleh EPA dan disusun dalam tiga kategori utama: F-list (sumber limbah non-spesifik), K-list (sumber limbah spesifik), dan P-list serta daftar U (produk kimia komersial yang dibuang). Sistem pencatatan RCRA membantu melacak siklus hidup limbah berbahaya dan mengurangi jumlah limbah berbahaya yang dibuang secara ilegal. Dengan demikian, regulasi ini memiliki peran penting dalam menjaga lingkungan dan kesehatan manusia dari dampak negatif limbah berbahaya.

Undang-Undang Respons, Kompensasi, dan Kewajiban Lingkungan yang Komprehensif

Undang-Undang Respons, Kompensasi, dan Kewajiban Lingkungan Komprehensif (CERCLA) disahkan pada tahun 1980 dengan tujuan utama menciptakan "Superfund" dan menyediakan dana untuk pembersihan dan remediasi lokasi limbah berbahaya yang tertutup dan terbengkalai. Meskipun CERCLA terutama menangani pelepasan bahan-bahan berbahaya secara historis, undang-undang ini tidak secara khusus mengelola limbah berbahaya. Namun demikian, CERCLA tetap menjadi instrumen penting dalam upaya pembersihan dan remediasi limbah berbahaya di Amerika Serikat.

Disadur dari: en.wikipedia.org

Selengkapnya
Sampah Berbahaya: Jenis, Dampak dan Pengelolaan

Teknik Lingkungan

Pengomposan: Panduan Komprehensif untuk Pengelolaan Sampah Organik dan Perbaikan Tanah (Part 2)

Dipublikasikan oleh Dias Perdana Putra pada 02 April 2024


Kompos

Kompos merupakan hasil penguraian parsial atau tidak lengkap dari campuran bahan organik yang dapat dipercepat oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembap, dan aerobik atau anaerobik. Proses pengomposan adalah proses di mana bahan organik mengalami penguraian secara biologis oleh mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Pembuatan kompos melibatkan pengaturan dan pengendalian proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Hal ini meliputi pencampuran bahan yang seimbang, penyediaan air yang cukup, pengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan. Kompos dapat digunakan sebagai mulsa organik atau bahan penutup permukaan lahan, serta dapat mengandung atau menjadi humus setelah terurai.

Sampah terdiri dari dua bagian, yaitu bagian organik dan anorganik. Rata-rata persentase bahan organik dalam sampah mencapai sekitar 80%, sehingga pengomposan menjadi alternatif penanganan yang sesuai. Kompos memiliki potensi besar untuk dikembangkan mengingat jumlah sampah organik yang terus meningkat dan menyebabkan polusi bau serta pelepasan gas metana ke udara. DKI Jakarta, misalnya, menghasilkan sekitar 6000 ton sampah setiap harinya, di mana sekitar 65% nya adalah sampah organik. Dari jumlah tersebut, sekitar 1400 ton dihasilkan oleh pasar-pasar di Jakarta, di mana sebagian besar adalah sampah organik. Melihat besarnya jumlah sampah organik yang dihasilkan oleh masyarakat, terdapat potensi besar untuk mengolah sampah organik menjadi pupuk organik demi menjaga kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.

Kompos dari sampah dedaunan 

Kompos dari sampah dedaunan

Kompos dari jerami padi

Pendahuluan

Secara alami, bahan organik akan mengalami penguraian di alam dengan bantuan mikroba dan biota tanah lainnya. Namun, proses pengomposan alami tersebut berlangsung lambat. Untuk mempercepat proses ini, telah dikembangkan berbagai teknologi pengomposan, mulai dari yang sederhana hingga tingkat tinggi. Prinsip pengembangan teknologi pengomposan didasarkan pada proses penguraian bahan organik yang terjadi secara alami, yang kemudian dioptimalkan untuk berjalan lebih cepat dan efisien.

Teknologi pengomposan saat ini menjadi sangat penting dalam mengatasi masalah limbah organik, termasuk masalah sampah di kota-kota besar, limbah organik industri, serta limbah pertanian dan perkebunan.

Ada berbagai macam teknologi pengomposan, baik secara aerobik maupun anaerobik, dengan atau tanpa penggunaan aktivator pengomposan. Aktivator pengomposan yang umum digunakan antara lain PROMI (Promoting Microbes), OrgaDec, SuperDec, ActiComp, BioPos, EM4, Green Phoskko Organic Decomposer, dan SUPERFARM (Effective Microorganism), atau menggunakan cacing untuk membuat vermicompost. Setiap aktivator memiliki keunggulan dan karakteristiknya sendiri.

Pengomposan secara aerobik paling umum digunakan karena mudah dan murah untuk dilakukan, serta tidak membutuhkan kontrol proses yang terlalu rumit. Proses dekomposisi bahan dilakukan oleh mikroorganisme di dalam bahan itu sendiri dengan bantuan udara. Sedangkan pengomposan secara anaerobik memanfaatkan mikroorganisme yang tidak memerlukan udara dalam mendegradasi bahan organik.

Hasil akhir dari pengomposan ini sangat dibutuhkan untuk keperluan tanah pertanian, karena dapat membantu memperbaiki sifat kimia, fisika, dan biologi tanah, sehingga produksi tanaman meningkat. Kompos yang dihasilkan dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti memperkuat struktur lahan, mengemburkan tanah pertanian, sebagai penutup sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), reklamasi pantai pasca penambangan, sebagai media tanaman, serta mengurangi penggunaan pupuk kimia.

Bahan baku pengomposan dapat berupa semua material yang mengandung karbon dan nitrogen, seperti kotoran hewan, sampah hijauan, sampah kota, lumpur cair, dan limbah industri pertanian. Berbagai bahan tersebut dapat dijadikan bahan baku untuk proses pengomposan.

Jenis-jenis kompos

Kompos cacing (vermicompost) adalah jenis kompos yang dihasilkan dari proses pencernaan bahan organik oleh cacing. Pupuk ini terdiri dari kotoran cacing yang mengandung nutrisi yang bermanfaat untuk tanaman.

Kompos bagase merupakan pupuk organik yang dibuat dari ampas tebu, yaitu sisa penggilingan tebu di pabrik gula. Ampas tebu ini kemudian diolah menjadi pupuk yang kaya akan nutrisi yang baik untuk tanaman.

Kompos bokashi adalah jenis pupuk organik yang dibuat melalui proses fermentasi anaerobik. Bahan-bahan organik seperti sisa makanan, daun, atau jerami dicampur dengan mikroorganisme yang menghasilkan fermentasi. Hasil fermentasi ini kemudian digunakan sebagai pupuk organik untuk tanaman.

Manfaat Kompos

Kompos memiliki peran penting dalam meningkatkan kualitas tanah. Dengan meningkatkan kandungan bahan organik, kompos membantu memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan kemampuan tanah untuk menyimpan air. Selain itu, kehadiran kompos juga merangsang aktivitas mikroba tanah yang bermanfaat bagi tanaman. Aktivitas mikroba ini membantu tanaman menyerap unsur hara dan melawan serangan penyakit. Tanaman yang dipupuk dengan kompos cenderung memiliki kualitas yang lebih baik daripada yang dipupuk dengan pupuk kimia. Hasil panen lebih tahan disimpan, lebih berat, lebih segar, dan lebih enak.

Kompos memiliki banyak manfaat yang ditinjau dari beberapa aspek:

Aspek Ekonomi:

  • Menghemat biaya untuk transportasi dan penimbunan limbah
  • Mengurangi volume/ukuran limbah
  • Memiliki nilai jual yang lebih tinggi daripada bahan asalnya

Aspek Lingkungan:

  • Mengurangi polusi udara karena pembakaran limbah
  • Mengurangi kebutuhan lahan untuk penimbunan

Aspek bagi tanah/tanaman:

  • Meningkatkan kesuburan tanah
  • Memperbaiki struktur dan karakteristik tanah
  • Meningkatkan kapasitas penyerapan air oleh tanah
  • Meningkatkan aktivitas mikrob tanah
  • Meningkatkan kualitas hasil panen (rasa, nilai gizi, dan jumlah panen)
  • Menyediakan hormon dan vitamin bagi tanaman
  • Menekan pertumbuhan/serangan penyakit tanaman
  • Meningkatkan retensi/ketersediaan hara di dalam tanah

Peran bahan organik dalam tanah sangat penting karena dapat memengaruhi sifat fisik, biologis, dan kimia tanah. Secara fisik, bahan organik merangsang granulasi, meningkatkan aerasi tanah, dan memperbaiki kemampuan menahan air. Di sisi biologis, bahan organik meningkatkan aktivitas mikroorganisme yang berperan dalam fiksasi nitrogen dan transfer hara seperti nitrogen, fosfor, dan sulfur. Sementara itu, secara kimia, bahan organik meningkatkan kapasitas tukar kation yang memengaruhi serapan hara oleh tanaman.

Studi-studi telah menunjukkan manfaat kompos bagi tanah dan pertumbuhan tanaman. Sebagai contoh, penelitian oleh Abdurohim (2008) menemukan bahwa kompos dapat meningkatkan kadar kalium dalam tanah lebih baik daripada pupuk NPK, sementara kadar fosfor tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Ini berdampak positif pada pertumbuhan tanaman tertentu seperti caisin (Brassica oleracea).

Penelitian lain oleh Handayani (2009) menunjukkan bahwa pupuk cacing (vermicompost) memberikan hasil pertumbuhan yang baik pada bibit Salam (Eugenia polyantha Wight) pada media tanam subsoil. Penambahan pupuk anorganik tidak memberikan efek yang signifikan pada pertumbuhan bibit, karena media tanam subsoil memiliki pH rendah sehingga penyerapan hara tidak optimal. Penggunaan kompos bagase pada tanaman tebu juga meningkatkan penyerapan nitrogen secara signifikan, meskipun tidak ada peningkatan yang signifikan pada penyerapan fosfor, kalium, dan sulfur. Namun, kombinasi kompos bagase dengan pupuk anorganik tidak meningkatkan pertumbuhan tanaman secara keseluruhan.

Dasar-dasar Pengomposan

Bahan-bahan yang Dapat Dikomposkan

Dalam prinsipnya, semua bahan organik padat dapat diolah menjadi kompos, seperti limbah rumah tangga, sampah pasar/kota, kertas, limbah peternakan, limbah pertanian, limbah agroindustri, limbah pabrik kertas, limbah pabrik gula, dan limbah pabrik kelapa sawit. Namun, beberapa bahan organik seperti tulang, tanduk, dan rambut sulit untuk dikomposkan. Efisiensi waktu dalam pembuatan kompos dinilai dari rasio karbon dan nitrogen di dalam bahan organik tersebut. Bahan organik dengan rasio C/N yang optimal, seperti ampas tebu dan kotoran ternak, memiliki waktu dekomposisi yang lebih singkat. Sebagai contoh, dalam penelitian Sinaga dkk. (2010), bahan organik dengan rasio C/N sebesar 35,68 dan kandungan air 50,37% memiliki waktu dekomposisi terpendek hanya dalam 28 hari.

Proses Pengomposan

Proses pengomposan dimulai segera setelah pencampuran bahan mentah. Secara umum, proses ini dapat dibagi menjadi dua tahap: tahap aktif dan tahap pematangan. Pada tahap awal, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikrob mesofilik, menyebabkan suhu tumpukan kompos meningkat dengan cepat. Ini juga diikuti oleh peningkatan pH kompos. Suhu bisa mencapai 50 - 70 °C dan tetap tinggi selama beberapa waktu. Mikrob yang aktif pada tahap ini adalah mikrob termofilik, yang bekerja pada suhu tinggi. Pada saat ini, terjadi dekomposisi intensif bahan organik oleh mikrob, menghasilkan CO2, uap air, dan panas. Ketika sebagian besar bahan telah terurai, suhu akan mulai menurun secara bertahap. Ini menandai awal dari tahap pematangan kompos, di mana terjadi pembentukan kompleks humus. Selama proses ini, volume dan biomassa bahan akan menyusut, dengan penurunan volume hingga 30 – 40% dari volume atau bobot awal bahan.

Skema Proses Pengomposan Aerobik

Proses pengomposan dapat terjadi secara aerobik (menggunakan oksigen) atau anaerobik (tanpa oksigen). Penjelasan sebelumnya mengenai proses pengomposan mengacu pada proses aerobik, di mana mikroba menggunakan oksigen untuk mendekomposisi bahan organik. Namun, terdapat juga proses anaerobik di mana dekomposisi terjadi tanpa menggunakan oksigen. Namun, proses ini tidak diinginkan karena dapat menghasilkan bau yang tidak sedap. Proses anaerobik menghasilkan senyawa-senyawa berbau tidak sedap seperti asam organik (seperti asam asetat, asam butirat, asam valerat, putresin), amonia, dan H2S.

Gambar profil suhu dan populasi mikrob selama proses pengomposan

Tabel organisme yang terlibat dalam proses pengomposan

Proses pengomposan tergantung pada:

  • Karakteristik bahan yang dikomposkan
  • Aktivator pengomposan yang dipergunakan
  • Metode pengomposan yang dilakukan

Faktor yang memengaruhi proses Pengomposan

Setiap organisme yang terlibat dalam pendegradasi bahan organik memiliki kebutuhan yang berbeda-beda terkait kondisi lingkungan dan jenis bahan organik yang diuraikan. Jika kondisinya sesuai, maka organisme tersebut akan aktif dalam mendekomposisi limbah organik. Namun, jika kondisinya tidak sesuai, organisme tersebut bisa menjadi tidak aktif, beralih ke lingkungan lain, atau bahkan mati. Oleh karena itu, menciptakan kondisi lingkungan yang optimal sangat penting untuk memastikan keberhasilan proses pengomposan.

Faktor-faktor yang memperngaruhi proses pengomposan antara lain:

Rasio C/N

Rasio C/N yang efektif untuk proses pengomposan biasanya berkisar antara 30:1 hingga 40:1. Mikroorganisme memecah senyawa karbon sebagai sumber energi dan menggunakan nitrogen untuk sintesis protein. Dalam rentang rasio C/N antara 30 hingga 40, mikroorganisme memperoleh cukup karbon untuk energi dan nitrogen untuk sintesis protein. Namun, jika rasio C/N terlalu tinggi, mikroorganisme akan kekurangan nitrogen untuk sintesis protein, yang dapat mengakibatkan proses dekomposisi berjalan lambat.

Masalah umum dalam pengomposan terjadi ketika rasio C/N terlalu tinggi, terutama jika bahan baku utamanya adalah bahan yang mengandung banyak kayu (seperti sisa gergaji kayu, ranting, atau ampas tebu). Untuk menurunkan rasio C/N, diperlukan perlakuan khusus, seperti penambahan mikroorganisme selulotik atau kotoran hewan, karena kotoran hewan mengandung banyak senyawa nitrogen.

Ukuran Partikel

Aktivitas mikroorganisme terjadi di antara permukaan area dan udara. Semakin luas permukaan area, semakin meningkat kontak antara mikroorganisme dengan bahan organik, sehingga proses dekomposisi berlangsung lebih cepat. Ukuran partikel juga mempengaruhi porositas bahan, yang merupakan ruang antar partikel. Untuk meningkatkan luas permukaan, dapat dilakukan dengan mengurangi ukuran partikel bahan organik tersebut.

Aerasi

Pengomposan yang cepat terjadi dalam kondisi yang memiliki cukup oksigen (aerob). Aerasi, atau sirkulasi udara, secara alami terjadi saat suhu meningkat, menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos. Tingkat aerasi dipengaruhi oleh porositas dan kelembapan bahan. Jika aerasi terhambat, maka proses anaerobik dapat terjadi, menghasilkan bau yang tidak sedap. Untuk meningkatkan aerasi, bisa dilakukan dengan melakukan pembalikan tumpukan kompos atau mengalirkan udara di dalamnya.

Porositas

Porositas adalah ruang di antara partikel di dalam tumpukan kompos. Untuk menghitung porositas, kita membagi volume rongga dengan volume total. Rongga-rongga ini biasanya diisi oleh air dan udara. Udara dari rongga-rongga ini menyediakan oksigen yang diperlukan untuk proses pengomposan. Namun, jika rongga-rongga terisi penuh oleh air, pasokan oksigen akan berkurang, mengganggu proses pengomposan.

Kelembaban (Moisture content)

Kelembapan memainkan peran penting dalam proses metabolisme mikroba dan secara tidak langsung mempengaruhi pasokan oksigen. Mikroba dapat menggunakan bahan organik jika bahan organik tersebut larut dalam air. Kadar kelembapan optimal untuk metabolisme mikroba biasanya berada dalam kisaran 40 hingga 60 persen. Jika kelembapan turun di bawah 40 persen, aktivitas mikroba akan menurun, dan bahkan lebih rendah lagi pada kelembapan di bawah 15 persen. Namun, jika kelembapan melebihi 60 persen, nutrien dapat tercuci, volume udara berkurang, dan akibatnya aktivitas mikroba menurun. Hal ini juga dapat menyebabkan fermentasi anaerobik yang menghasilkan bau yang tidak sedap.

Temperatur/suhu

Panas dihasilkan oleh aktivitas mikroba dalam proses pengomposan. Ada kaitan langsung antara peningkatan suhu dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi suhu, semakin banyak oksigen yang dikonsumsi, dan semakin cepat proses dekomposisi berlangsung. Suhu tumpukan kompos dapat meningkat dengan cepat. Ketika suhu berada dalam kisaran 30 hingga 60°C, itu menandakan bahwa pengomposan berlangsung dengan cepat. Namun, suhu yang melebihi 60°C dapat membunuh sebagian besar mikroba, meninggalkan hanya mikroba thermofilik yang tetap hidup. Suhu tinggi juga dapat membunuh patogen tanaman dan benih gulma.

pH

Proses pengomposan dapat berlangsung dalam rentang pH yang luas. pH optimal untuk pengomposan berkisar antara 6.5 hingga 7.5. pH kotoran ternak biasanya berada antara 6.8 hingga 7.4. Selama proses pengomposan, terjadi perubahan pada bahan organik dan pHnya. Misalnya, pelepasan asam secara temporer atau lokal dapat menurunkan pH (pengasaman), sementara produksi amonia dari senyawa nitrogen dapat meningkatkan pH pada tahap awal pengomposan. pH kompos yang telah matang umumnya mendekati netral.

Kandungan Hara

Kandungan P dan K juga penting dalam proses pengomposan dan bisanya terdapat di dalam kompos-kompos dari peternakan. Hara ini akan dimanfaatkan oleh mikrob selama proses pengomposan.

Kandungan Bahan Berbahaya

Beberapa bahan organik mungkin mengandung senyawa-senyawa yang berpotensi berbahaya bagi mikrob. Contohnya, logam berat seperti Mg, Cu, Zn, Nickel, Cr termasuk dalam kategori ini. Selama proses pengomposan, logam-logam berat tersebut akan mengalami imobilisasi.

Lama pengomposan

Lama waktu yang dibutuhkan untuk proses pengomposan bervariasi tergantung pada karakteristik bahan yang dikomposkan, metode pengomposan yang digunakan, serta apakah ada penambahan aktivator pengomposan atau tidak. Secara alami, pengomposan dapat memakan waktu antara beberapa minggu hingga 2 tahun untuk mencapai tingkat kematangan yang sempurna.

Tabel Kondisi yang optimal untuk mempercepat proses pengomposan (Ryak, 1992)

Strategi Mempercepat Proses Pengomposan

Pengomposan dapat dipercepat dengan beberapa strategi. Secara umum strategi untuk mempercepat proses pengomposan dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu:

  • Menanipulasi kondisi/faktor-faktor yang berpengaruh pada proses pengomposan.
  • Menambahkan Organisme yang dapat mempercepat proses pengomposan: mikrob pendegradasi bahan organik dan vermikompos (cacing).
  • Menggabungkan strategi pertama dan kedua.

Memanipulasi Kondisi Pengomposan

Strtegi ini banyak dilakukan di awal-awal berkembangnya teknologi pengomposan. Kondisi atau faktor-faktor pengomposan dibuat seoptimum mungkin. Sebagai contoh, rasio C/N yang optimum adalah 25-35:1. Untuk membuat kondisi ini bahan-bahan yang mengandung rasio C/N tinggi dicampur dengan bahan yang mengandung rasio C/N rendah, seperti kotoran ternak. Ukuran bahan yang besar-besar dicacah sehingga ukurannya cukup kecil dan ideal untuk proses pengomposan. Bahan yang terlalu kering diberi tambahan air atau bahan yang terlalu basah dikeringkan terlebih dahulu sebelum proses pengomposan. Demikian pula untuk faktor-faktor lainnya.

Menggunakan Aktivator Pengomposan

Strategi yang lebih canggih dalam pengomposan melibatkan pemanfaatan organisme yang dapat mempercepat prosesnya. Salah satu organisme yang sering digunakan adalah cacing tanah, yang menghasilkan proses pengomposan yang disebut vermikompos, dan kompos yang dihasilkan dikenal dengan sebutan kascing. Selain itu, mikroorganisme seperti bakteri, aktinomisetes, dan jamur juga sering dimanfaatkan. Saat ini, banyak aktivator pengomposan yang tersedia di pasaran, seperti MARROS Bio-Activa, Green Phoskko (GP-1), Promi, OrgaDec, SuperDec, ActiComp, EM4, Stardec, Starbio, dan lainnya.

Beberapa aktivator seperti Promi, OrgaDec, SuperDec, dan ActiComp merupakan hasil penelitian dari Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPBPI) dan telah banyak digunakan oleh masyarakat. Sementara itu, MARROS Bio-Activa dikembangkan oleh peneliti mikroba tanah dalam sebuah perusahaan swasta. Aktivator ini menggunakan mikroba terpilih yang mampu mendegradasi limbah padat organik, seperti Trichoderma pseudokoningii, Cytopaga sp, Trichoderma harzianum, Pholyota sp, Agraily sp, dan FPP (fungi pelapuk putih). Mikroba ini aktif pada suhu tinggi (termofilik). Aktivator yang dikembangkan oleh BPBPI tidak memerlukan tambahan bahan lain dan tidak memerlukan pengadukan berkala. Namun, kompos perlu ditutup untuk menjaga suhu dan kelembapan agar proses pengomposan berjalan optimal dan cepat. Dengan penggunaan aktivator ini, pengomposan dapat dipercepat hingga 2 minggu untuk bahan-bahan lunak atau mudah dikomposkan, dan hingga 2 bulan untuk bahan-bahan keras atau sulit dikomposkan.

Memanipulasi Kondisi dan Menambahkan Aktivator Pengomposan

Strategi proses pengomposan yang saat ini banyak dikembangkan adalah mengabungkan dua strategi di atas. Kondisi pengomposan dibuat seoptimal mungkin dengan menambahkan aktivator pengomposan.

Pertimbangan untuk menentukan strategi pengomposan

Seringkali tidak dapat menerapkan seluruh strategi pengomposan di atas dalam waktu yang bersamaan. Ada beberapa pertimbangan yang dapat digunakan untuk menentukan strategi pengomposan:

  • Karakteristik bahan yang akan dikomposkan.
  • Waktu yang tersedia untuk pembuatan kompos.
  • Biaya yang diperlukan dan hasil yang dapat dicapai.
  • Tingkat kesulitan pembuatan kompos

Pengomposan secara aerobik

Peralatan

Peralatan yang diperlukan dalam pengomposan secara aerobik terdiri dari peralatan untuk penanganan bahan dan perlindungan keselamatan serta kesehatan bagi pekerja. Berikut adalah beberapa peralatan yang digunakan:

  • Terowongan Udara (Saluran Udara)

  • Sekop

  • Garpu/Cangkrang

  • Saringan/Ayakan:

  • Termometer

  • Timbangan

  • Sepatu Boot

  • Sarung Tangan

  • Masker

Kompos Bahan Organik dan Kotoran Hewan

Pengomposan juga dapat menggunakan alat mesin yang lebih maju dan modern. Salah satu contohnya adalah komposter tipe Rotary Kiln, yang berfungsi memberikan asupan oksigen (intensitas aerasi), menjaga kelembapan, suhu, serta membalik bahan secara praktis. Komposter tipe Rotary Kiln ini tersedia dalam berbagai kapasitas, mulai dari 1 ton setara dengan 3 m3 bahan sampah hingga 2 ton setara dengan 6 m3 bahan sampah. Prosesnya melibatkan pembalikan bahan dan pengontrolan aerasi dengan mengayuh pedal serta memutar aerator (exhaust fan). Penggunaan komposter Biophoskko dengan aktivator kompos Green Phoskko (GP-1) telah terbukti mampu meningkatkan kerja penguraian bahan organik (dekomposisi) oleh jasad renik menjadi hanya 5 sampai 7 hari.

Tahapan pengomposan

  1. Proses pengomposan: melibatkan beberapa langkah penting untuk menghasilkan kompos yang berkualitas. Berikut adalah tahapan proses pengomposan:

  2. Pemilahan Sampah: Tahap ini penting untuk memisahkan sampah organik dari sampah anorganik. Pemisahan ini harus dilakukan secara teliti agar proses selanjutnya dapat berjalan lancar dan menghasilkan kompos yang baik.

  3. Pengecil Ukuran: Sampah organik kemudian dikecilkan ukurannya untuk memperluas permukaan, sehingga dekomposisi menjadi kompos dapat berlangsung dengan lebih cepat dan efisien.

  4. Penyusunan Tumpukan: Bahan organik yang telah dipilah dan dikecilkan ukurannya disusun menjadi tumpukan. Desain penumpukan yang umum adalah memanjang dengan ukuran panjang x lebar x tinggi tertentu. Tiap tumpukan dapat dilengkapi dengan terowongan bambu untuk mengalirkan udara di dalamnya.

  5. Pembalikan: Tahap ini dilakukan untuk mengurangi panas berlebih, memasukkan udara segar ke dalam tumpukan, meratakan proses dekomposisi, dan membantu penghancuran bahan menjadi partikel kecil. Pembalikan juga membantu dalam meratakan pemberian air ke tumpukan.

  6. Penyiraman: Dilakukan terhadap bahan atau tumpukan yang terlalu kering (kelembapan kurang dari 50%). Penyiraman bisa dilakukan secara manual dengan mengompres segenggam bahan dari dalam tumpukan. Jika setelah ditekan tidak keluar air, maka tumpukan perlu ditambahkan air.

  7. Pematangan: Setelah sekitar 30–40 hari, suhu tumpukan akan mulai menurun hingga mendekati suhu ruangan. Pada tahap ini, tumpukan telah lapuk dan berwarna coklat tua atau kehitaman. Kompos memasuki tahap pematangan selama sekitar 14 hari.

  8. Penyaringan: Dilakukan untuk mendapatkan ukuran partikel kompos yang sesuai dengan kebutuhan dan untuk memisahkan bahan yang tidak dapat dikomposkan. Bahan yang belum terkomposkan dikembalikan ke dalam tumpukan baru, sedangkan yang tidak terkomposkan dibuang sebagai residu.

  9. Pengemasan dan Penyimpanan: Kompos yang telah disaring dikemas sesuai dengan kebutuhan pemasaran. Kemudian disimpan dalam gudang yang aman dan terlindung dari kemungkinan pertumbuhan jamur serta tercemar oleh bibit gulma dan benih lain yang tidak diinginkan yang mungkin terbawa oleh angin.

Kontrol proses produksi kompos

  • Proses pengomposan membutuhkan pengendalian agar memperoleh hasil yang baik.
  • Kondisi ideal bagi proses pengomposan berupa keadaan lingkungan atau habitat di mana jasad renik (mikroorganisme) dapat hidup dan berkembang biak dengan optimal.
  • Jasad renik membutuhkan air, udara (O2), dan makanan berupa bahan organik dari sampah untuk menghasilkan energi dan tumbuh.

Proses pengontrolan

Proses pengontrolan yang harus dilakukan terhadap tumpukan sampah adalah:

  • Monitoring Temperatur Tumpukan
  • Monitoring Kelembapan
  • Monitoring Oksigen
  • Monitoring Kecukupan C/N Ratio
  • Monitoring Volume

Mutu kompos

Kompos yang berkualitas adalah kompos yang telah terdekomposisi dengan baik dan tidak menimbulkan dampak negatif bagi pertumbuhan tanaman. Penggunaan kompos yang belum matang dapat menghambat pertumbuhan tanaman karena terjadi persaingan nutrisi antara tanaman dan mikroorganisme tanah.

Kompos yang baik memiliki beberapa ciri yang dapat dikenali, antara lain:

  1. Warna: Biasanya berwarna coklat tua hingga hitam, menyerupai warna tanah.

  2. Kelarutan: Tidak larut dalam air, meskipun sebagian kompos dapat membentuk suspensi.

  3. Rasio C/N: Memiliki rasio C/N sekitar 10–20, tergantung pada bahan baku dan tingkat humifikasi.

  4. Efektivitas: Memberikan efek baik ketika diaplikasikan pada tanah, mendukung pertumbuhan tanaman.

  5. Suhu: Suhunya sekitar sama dengan suhu lingkungan.

  6. Bau: Tidak berbau yang tidak sedap.

Dengan memperhatikan ciri-ciri tersebut, dapat dipastikan bahwa kompos yang digunakan akan memberikan manfaat yang optimal bagi tanaman dan lingkungan.

Disadur dari: https://id.wikipedia.org/wiki/Kompos

Selengkapnya
Pengomposan: Panduan Komprehensif untuk Pengelolaan Sampah Organik dan Perbaikan Tanah (Part 2)

Teknik Lingkungan

Insinerasi: Pengertian, Teknologi, dan Dampak Lingkungan (Part 2)

Dipublikasikan oleh Dias Perdana Putra pada 02 April 2024


Insinerasi

Insinerasi atau pembakaran sampah adalah teknologi pengolahan sampah yang melibatkan pembakaran bahan organik. Proses ini termasuk dalam kategori pengolahan termal karena melibatkan temperatur tinggi. Insinerasi mengubah sampah menjadi abu, gas sisa hasil pembakaran, partikulat, dan panas. Gas yang dihasilkan harus dibersihkan dari polutan sebelum dilepaskan ke atmosfer. Panas yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai energi untuk pembangkit listrik.

Insinerasi dengan energy recovery merupakan salah satu teknologi sampah-ke-energi (waste-to-energy, WtE). Selain insinerasi, teknologi WtE lainnya meliputi gasifikasi, pirolisis, dan fermentasi anaerobik. Namun, insinerasi juga dapat dilakukan tanpa energy recovery. Insinerator yang dibangun beberapa puluh tahun lalu tidak memiliki fasilitas pemisahan material berbahaya dan fasilitas daur ulang. Hal ini dapat menimbulkan bahaya kesehatan bagi pekerja insinerator dan lingkungan sekitar karena gas berbahaya dari proses pembakaran. Sebagian insinerator jenis ini juga tidak menghasilkan energi listrik.

Meskipun demikian, insinerasi mampu mengurangi volume sampah hingga 95-96%, bergantung pada komposisi dan derajat recovery sampah. Ini berarti insinerasi tidak sepenuhnya menggantikan penggunaan lahan sebagai area pembuangan akhir, tetapi dapat mengurangi volume sampah yang dibuang secara signifikan.

Insinerasi memiliki banyak manfaat dalam mengolah berbagai jenis sampah, termasuk sampah medis dan beberapa jenis sampah berbahaya, di mana patogen dan racun kimia dapat dihancurkan dengan temperatur tinggi.

Insinerasi populer di beberapa negara seperti Jepang, di mana lahan merupakan sumber daya yang langka. Denmark dan Swedia telah menjadi pionir dalam menggunakan panas dari insinerasi untuk menghasilkan energi. Pada tahun 2005, insinerasi sampah menghasilkan 4,8% energi listrik dan 13,7% panas yang dikonsumsi negara itu. Beberapa negara lain di Eropa yang mengandalkan insinerasi sebagai pengolahan sampah antara lain Luksemburg, Belanda, Jerman, dan Prancis.

Tipe insinerator

Insinerator adalah tempat di mana sampah dibakar. Insinerator modern dilengkapi dengan fasilitas mitigasi polusi seperti pembersihan gas. Terdapat beberapa jenis insinerator, termasuk piringan bergerak, piringan tidak bergerak, rotary kiln, dan fluidised bed. Setiap jenis insinerator memiliki karakteristik dan cara kerja yang berbeda.

Piringan bergerak

Sampah padat sedang dibakar di atas piringan bergerak.

Insinerator jenis piringan bergerak (moving grate) merupakan salah satu tipe insinerator yang memungkinkan pemindahan sampah ke ruang pembakaran dan mengeluarkan sisa hasil pembakaran tanpa mematikan api. Satu wadah piringan bergerak dapat membakar hingga 35 metrik ton sampah per jam dan dapat beroperasi ribuan jam setiap tahun dengan hanya satu berhenti untuk inspeksi dan perawatan.

Sampah dimasukkan ke "mulut" insinerator, dan sisa hasil pembakaran dikeluarkan melalui lubang di ujung lainnya. Udara yang diperlukan dalam proses pembakaran disuplai melalui celah di piringan dan juga digunakan untuk mendinginkan piringan. Beberapa jenis insinerator piringan bergerak dilengkapi dengan sistem air pendingin di dalamnya.

Suplai udara pembakaran sekunder dilakukan dengan memompa udara ke bagian atas piringan, yang dapat memicu turbulensi untuk meningkatkan pembakaran dan surplus oksigen. Turbulensi ini juga penting untuk pengolahan gas sisa hasil pembakaran.

Insinerator harus dirancang untuk memastikan gas sisa hasil pembakaran mencapai temperatur minimal 850 °C selama dua detik untuk memecah racun kimia organik. Untuk memastikan hal ini, insinerator sering dilengkapi dengan pembakar bahan bakar minyak yang menghasilkan panas yang cukup.

Gas sisa hasil pembakaran kemudian didinginkan, dan panasnya digunakan untuk menghasilkan uap yang digunakan untuk menggerakkan turbin. Gas yang telah didinginkan kemudian dipompa ke fasilitas pembersihan untuk proses selanjutnya.

Piringan tetap

Insinerator dengan tipe piringan tetap yang tidak bergerak merupakan model yang lebih tua dan sederhana. Piringan ini ditempatkan di bagian bawah insinerator dengan bukaan di bagian atas atau samping untuk memasukkan sampah, serta bukaan lainnya untuk memindahkan bahan yang tidak terbakar seperti abu dan logam. Prosesnya melibatkan pembakaran sampah di atas piringan yang tetap tersebut, dengan material yang tidak terbakar akan terkumpul di bagian bawahnya untuk kemudian dibuang.

Penggunaan panas

Panas yang dihasilkan oleh insinerator dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan uap yang digunakan untuk menggerakkan turbin, yang pada gilirannya menghasilkan listrik. Secara keseluruhan, energi bersih yang dihasilkan dari pembakaran satu ton sampah adalah sekitar 3 MWh panas dan sekitar 2/3 MWh energi listrik.

Dalam proses pembakaran pada insinerator, ada beberapa parameter yang harus diperhatikan, seperti efisiensi panas sebesar 40-80%, kehilangan panas sekitar 19-55%, dan konsumsi bahan bakar sekitar 40-90%. Hal-hal ini sangat penting untuk memastikan tercapainya proses degradasi sampah yang optimal menurut Analisis Dampak Lingkungan (Amdal).

Polusi

Insinerasi menghasilkan beberapa output, termasuk abu dan emisi ke atmosfer berupa gas sisa hasil pembakaran. Sebelum melewati fasilitas pembersihan gas, gas-gas tersebut mungkin mengandung partikulat, logam berat, dioksin, furan, sulfur dioksida, dan asam hidroklorat.

Pada umumnya, insinerator menghasilkan lebih sedikit hidrokarbon, SO2, HCl, CO, dan NOx dibandingkan dengan pembangkit listrik batu bara, tetapi lebih banyak daripada pembangkit listrik gas alam.

Dalam proses insinerasi, pembakaran plastik yang tidak mencapai temperatur yang diperlukan dapat melepaskan dioksin ke udara dalam jumlah signifikan. Insinerator modern didesain untuk mencapai pembakaran dengan suhu tinggi, dengan temperatur yang dibutuhkan adalah 850 °C selama minimal dua detik guna memecah dioksin.

Emisi gas lainnya termasuk CO2, yang dihasilkan dari proses pembakaran. Jika sampah dibuang ke lahan pembuangan, satu ton sampah padat dapat menghasilkan 62 meter kubik metana, yang memiliki efek rumah kaca dua kali lebih berbahaya daripada 1 ton CO2.

Untuk mengurangi polusi gas, insinerator dilengkapi dengan berbagai fasilitas pembersihan gas, seperti filtrasi partikel, pembersih gas asam, dan desulfurisasi. Insinerasi juga menghasilkan abu ringan dan abu padat, yang harus dikelola dengan hati-hati karena mengandung logam berat dan dapat berpotensi mencemari udara dan tanah.

Meskipun insinerasi dapat menghasilkan bau dan debu, fasilitas insinerasi modern biasanya telah dirancang untuk mengatasi masalah ini dengan baik, seperti menyimpan sampah dalam ruangan bertekanan udara rendah untuk meminimalkan pelepasan bau dan debu ke atmosfer.

Argumen positif insinerasi

Kekhawatiran tentang masalah kesehatan terkait emisi dioksin dan furan telah berkurang karena adanya kontrol emisi yang telah berhasil mengurangi jumlah emisi tersebut. Fasilitas insinerasi dapat menghasilkan energi listrik dan panas, menggantikan pembangkit listrik tenaga bahan bakar fosil, dan distributor pemanas di negara beriklim sedang dan dingin. Residu abu padat yang tersisa setelah pembakaran telah diketahui tidak berbahaya dan bisa dibuang dengan aman di lahan pembuangan. Di lokasi berpopulasi padat, mencari lahan pembuangan sampah bisa menjadi sulit, sehingga insinerasi menjadi solusi yang baik dalam menangani sampah. Partikel halus dapat dihilangkan dengan efisien menggunakan baghouse filter.

Insinerasi sampah padat dapat mencegah terbentuknya gas metana, yang merupakan gas rumah kaca yang lebih berbahaya daripada karbon dioksida. Meskipun insinerasi menghasilkan gas karbon dioksida, dampaknya lebih rendah dibandingkan dengan pembakaran sampah di lahan pembuangan yang menghasilkan gas metana. Insinerasi sampah medis dan sampah sisa metabolisme manusia menghasilkan sisa pembakaran (abu) yang steril dan relatif aman bagi lingkungan dan kesehatan selama ditangani dengan baik. Dengan pengurangan volume sampah hingga sekitar 90%, insinerasi juga dapat mengurangi penggunaan lahan untuk pembuangan sampah akhir secara signifikan.

Argumen negatif insinerasi

Abu ringan (fly ash) memang menjadi kekhawatiran bagi penduduk lokal karena mengandung logam berat yang dapat berdampak buruk pada kesehatan. Masih ada kekhawatiran terkait emisi dioksin dan furan, terutama dari insinerator tua yang belum dilengkapi dengan teknologi kontrol emisi yang canggih.

Insinerator dapat menghasilkan emisi logam berat seperti vanadium, mangan, krom, nikel, arsenik, merkuri, timbal, dan kadmium, yang dapat menjadi masalah kesehatan dan lingkungan.

Meskipun insinerator merupakan salah satu teknologi pengelolaan sampah, ada alternatif teknologi lain yang dapat digunakan, seperti Mechanical Biological Treatment / Anaerobic Digestion (MBT/AD), Mechanical Heat Treatment (MHT), Autoclaving, atau kombinasi dari beberapa teknologi tersebut. Pengurangan sampah, penggunaan kembali, dan daur ulang harus diprioritaskan sesuai dengan hierarki sampah, daripada mengandalkan insinerasi sebagai solusi utama untuk pembuangan sampah.

Di beberapa negara, desain bangunan insinerator sering kali buruk dan merusak keindahan kota, sehingga menimbulkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan aspek estetika dan lingkungan dalam merancang dan membangun fasilitas insinerasi.

Disadur dari: https://id.wikipedia.org/wiki/Insinerasi

Selengkapnya
Insinerasi: Pengertian, Teknologi, dan Dampak Lingkungan (Part 2)

Teknik Lingkungan

Tempat Pemrosesan Akhir (TPA): Pentingnya Pengelolaan Sampah yang Bertanggung Jawab

Dipublikasikan oleh Dias Perdana Putra pada 02 April 2024


Tempat Pembuangan Akhir

Tempat Pembuangan Akhir, atau yang lebih dikenal dengan singkatan TPA, merupakan tempat yang penting dalam pengelolaan sampah. Namun, meskipun namanya menunjukkan tempat penimbunan sampah, menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, seharusnya TPA merupakan singkatan dari Tempat Pemrosesan Akhir. TPA seharusnya menerima sampah residu yang telah diproses sebelumnya untuk kemudian diproses lebih lanjut. Tujuan utamanya adalah untuk memroses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan.

TPA dapat berupa tempat pembuangan dalam di mana pembuang sampah membawa sampah di tempat produksi, atau tempat yang digunakan oleh produsen. Dahulu, TPA adalah cara paling umum untuk mengelola limbah buangan secara terorganisir, dan bahkan di beberapa tempat di dunia, hal ini masih berlaku.

Namun, keberadaan TPA tidak selalu membawa dampak positif. Sejumlah dampak negatif bisa timbul dari keberadaannya. Dampak tersebut termasuk musibah fatal seperti burung bangkai yang terkubur di bawah timbunan sampah, kerusakan infrastruktur seperti kerusakan pada akses jalan oleh kendaraan berat, serta pencemaran lingkungan setempat oleh kebocoran dan pencemaran air tanah dan tanah selama pemakaian dan setelah penutupan TPA.

Pelepasan gas metana juga menjadi salah satu dampak negatif dari TPA. Gas metana ini disebabkan oleh pembusukan sampah organik dan merupakan gas rumah kaca yang lebih potensial daripada karbon dioksida. Gas metana dapat membahayakan penduduk sekitar TPA dan menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan.

Selain itu, TPA juga dapat melindungi pembawa penyakit seperti tikus dan lalat, terutama pada TPA yang dioperasikan secara tidak benar, yang sering ditemui di negara-negara berkembang. Hal ini dapat menyebabkan gangguan pada kehidupan manusia maupun hewan liar di sekitar TPA, serta menciptakan masalah kesehatan masyarakat.

Dengan demikian, penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk memperhatikan pengelolaan TPA secara baik dan bertanggung jawab. Penggunaan teknologi yang tepat dan pengawasan yang ketat dapat membantu mengurangi dampak negatif TPA terhadap lingkungan dan masyarakat. Selain itu, mendorong praktik daur ulang dan pengurangan sampah juga merupakan langkah penting dalam upaya menjaga keberlanjutan lingkungan hidup kita.

Disadur dari: https://id.wikipedia.org/wiki/Tempat_pembuangan_akhir

Selengkapnya
Tempat Pemrosesan Akhir (TPA): Pentingnya Pengelolaan Sampah yang Bertanggung Jawab

Teknik Lingkungan

Skema Pengumpulan Terpisah: Panduan Praktis untuk Pengelolaan Sampah Organik dan Pengembangan Tanah

Dipublikasikan oleh Dias Perdana Putra pada 02 April 2024


Skema pengumpulan terpisah 

Skema pengumpulan terpisah adalah pendekatan sistematis untuk memisahkan sampah berdasarkan jenisnya agar memudahkan proses pengolahan lebih lanjut. Hal ini secara khusus diterapkan di negara-negara seperti Jerman, di mana pendekatan ini memiliki peran penting dalam manajemen sampah yang efisien.

Meskipun Jerman merupakan salah satu negara penghasil sampah perkotaan terbesar di Eropa, negara ini memiliki tingkat pengolahan sampah yang tinggi. Sekitar 47% dari total sampah didaur-ulang, 17% dijadikan kompos, 35% dibakar untuk menghasilkan energi, dan hanya sekitar 1% dari total sampah yang akhirnya dibuang di tempat pembuangan akhir (landfill).

Pendekatan ini membantu mengurangi jumlah sampah yang masuk ke tempat pembuangan akhir, mengurangi dampak lingkungan negatif dari pembakaran sampah, dan memanfaatkan sumber daya yang terbarukan dari sampah organik melalui proses pengomposan. Dengan demikian, skema pengumpulan terpisah menjadi bagian integral dari upaya Jerman dalam mengelola sampah dengan lebih efektif dan berkelanjutan.

Inisiasi kebijakan

Pengelolaan sampah di Jerman melibatkan kerjasama antara pemerintah nasional, federal, dan lokal. Kementerian Lingkungan Jerman menetapkan prioritas dan rancangan undang-undang nasional serta mengawasi perencanaan strategis terkait sampah. Di tingkat federal, pemerintah punya peran dalam pengelolaan sampah sesuai dengan undang-undang nasional. Sedangkan di level regional, pemerintah daerah seperti distrik dan kota mengatur pengelolaan sampah rumah tangga berdasarkan aturan Recycling Management and Waste Act. Ini mencakup berbagai aspek seperti pengumpulan, pengangkutan, dan pembangunan fasilitas pembuangan sampah.

Pusat legislatif mengenai pengelolaan sampah di Jerman diatur dalam Waste Management Act 2012, yang menekankan pada pencegahan, penggunaan kembali, daur ulang, dan pembuangan sampah dalam hierarki yang teratur. Praktik pengelolaan sampah di Jerman bertujuan untuk mengurangi sampah dan meningkatkan daur ulang. Pemerintah federal mengembangkan regulasi untuk wilayah mereka, sementara pemerintah lokal mengimplementasikan aturan tersebut sesuai dengan kebutuhan masing-masing kota.

Jerman menjadi pelopor di Eropa dalam kebijakan pembatasan tempat pembuangan sampah pada tahun 1990. Mereka juga mengadopsi sistem pengumpulan sampah terpisah, termasuk jenis kertas, logam, plastik, kaca, dan sampah organik, sejalan dengan regulasi Uni Eropa. Selain itu, orang Jerman juga melakukan pengumpulan terpisah untuk barang bekas, kemasan, sampah elektronik, baterai, dan limbah berbahaya sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Latar belakang

Tata pelaksanaan pengumpulan sampah terpisah telah menjadi jelas bagi masyarakat Jerman, yang merupakan hasil dari perkembangan panjang dalam pengelolaan, teknologi, dan regulasi sampah di negara ini. Kerangka hukum terkait pengelolaan sampah di Jerman dimulai pada awal abad ke-19, ketika wilayah-wilayah tertentu mulai menerapkan aturan terkait pembuangan sampah. Perhatian akan hubungan antara kebersihan kota dan penyebaran penyakit seperti kolera mendorong pemahaman akan pentingnya sistem drainase dan pembuangan sampah, yang akhirnya diatur melalui peraturan oleh pemerintah setempat.

Peraturan pembuangan sampah nasional pertama Jerman pada tahun 1972 telah mengalami beberapa perubahan dan penyesuaian, mencapai puncaknya pada regulasi pengelolaan sampah yang berlaku saat ini, yaitu kreislaufwirtschaftsgesetz (KrWG). Pengelolaan sampah di Jerman telah mengalami transformasi signifikan dari masa awalnya, di mana hanya sebagian besar sampah dibuang, menjadi pengelolaan yang komprehensif, di mana sampah diolah secara menyeluruh. Proses perubahan ini membutuhkan waktu yang panjang karena melibatkan pergeseran paradigma dalam masyarakat Jerman.Pengelolaan sampah di Jerman saat ini bertujuan untuk menjaga sumber daya alam, mengolah sampah dengan cara yang ramah lingkungan, dan memperkuat keberlanjutan lingkungan serta perlindungan iklim dan efisiensi sumber daya alam.

Pola pemilahan

Pengelolaan sampah di Jerman menjadi salah satu yang paling efisien di Eropa, dengan setiap warga memiliki tanggung jawab untuk memisahkan sampah secara terpisah. Pada awal setiap tahun, pemerintah mengirimkan buku kecil yang berisi informasi tentang jadwal pengangkutan sampah untuk berbagai jenis sampah kepada setiap rumah tangga.

Pemisahan sampah dilakukan melalui berbagai tempat sampah dengan warna yang berbeda, yang tersebar di sekitar tempat tinggal, kampus, sekolah, dan tempat umum seperti stasiun kereta api. Meskipun warna tempat sampah bisa berbeda-beda di setiap distrik di Jerman, namun umumnya warna tersebut membedakan jenis sampah yang ada di dalamnya. Berikut ini adalah deskripsi umum tentang warna tempat sampah dan jenis sampah yang mereka wakili:

- Tempat sampah berwarna biru digunakan untuk membuang sampah dari bahan kertas dan karton seperti majalah, selebaran, buku, dan kemasan karton. Di samping itu, terdapat juga tempat pengumpulan kertas dan karton bekas yang bisa ditukar dengan uang.

- Tempat sampah berwarna kuning digunakan untuk membuang sampah dari bahan selain kertas, karton, dan kaca yang dapat didaur ulang, seperti kaleng kosong, sampah aluminium, kemasan plastik, polistirena, dan karton minuman. Sampah botol, meskipun plastik, tidak dibuang di tempat sampah kuning ini jika bisa dipakai ulang.

- Tempat sampah berwarna hitam atau abu-abu digunakan untuk membuang sampah reguler yang tidak dapat didaur ulang, seperti sampah toilet, popok, dan puntung rokok. Sampah berbahaya seperti sisa cat dan baterai dikumpulkan secara terpisah.

Selain itu, sampah botol kaca dipisahkan berdasarkan warna botol kaca tersebut ke dalam tempat sampah botol kaca dengan warna yang sama, seperti putih, coklat, atau hijau. Ini dilakukan karena bahan kaca yang berbeda dari warna yang berbeda tidak bisa didaur ulang bersama. Namun, sampah botol kaca yang rusak tidak dibuang di tempat sampah botol kaca, melainkan di tempat sampah hitam atau abu-abu.

Sampah botol berjaminan

Botol dengan jaminan adalah jenis botol, baik dari plastik maupun kaca, yang bisa digunakan kembali (biasanya untuk minuman). Di Jerman, sampah botol seperti ini disebut pfandflaschen. Mereka tidak boleh dibuang di tempat sampah kuning atau tempat sampah botol kaca, tapi harus dibawa ke tempat pengembalian botol, biasanya di pasar swalayan, untuk ditukar dengan uang jaminan. Uang jaminan untuk botol kaca adalah delapan sen per botol, dan sepuluh sen per botol untuk botol plastik.

Air minum dalam botol menjadi populer di Jerman, sehingga jumlah sampah botol bisa sangat besar. Mengembalikan botol-botol dengan jaminan ke tempat pengembalian bisa memakan waktu, terutama di daerah perkotaan. Orang-orang sering kali meninggalkan sampah botol di dekat tempat sampah umum, dan pengumpul sampah botol akan senang menerima mereka. Mereka kemudian membawa botol-botol tersebut ke tempat pengembalian untuk mendapatkan uang jaminan.Di kota Karlsruhe, bahkan tersedia yang disebut cincin pintar sebagai tempat khusus untuk meletakkan sampah botol dengan jaminan, sehingga memudahkan pengumpul sampah dalam pekerjaan mereka.

Sampah organik

Salah satu inovasi terbaru dalam pengelolaan sampah di Jerman adalah pemisahan sampah organik sejak tahun 2015 berdasarkan Peraturan Sampah Organik. Di bawah peraturan ini, setiap rumah tangga di Jerman dilengkapi dengan tempat sampah khusus untuk sampah organik. Sampah dari kebun dan sisa makanan dibuang ke tempat sampah organik yang berbeda, yang kemudian diolah menjadi kompos setelah proses fermentasi. Tujuannya adalah untuk mendaur ulang material organik dan mencegah penumpukan pengotor di tanah. Menurut Kementerian Lingkungan Jerman, kompos yang dihasilkan dari sampah organik memiliki 95% lebih sedikit pengotor dibandingkan dengan kompos dari campuran sampah rumah tangga.

Schuch dan Morscheck menambahkan bahwa pemisahan sampah organik menghasilkan kompos berkualitas tinggi yang cocok untuk pertanian dan perkebunan. Pemisahan jenis sampah organik juga membantu meningkatkan efisiensi dalam proses pemilahan, daur ulang, dan insinerasi karena setiap jenis sampah organik memiliki karakteristik yang berbeda. Sampah organik yang terurai di tempat pembuangan sampah merupakan penyumbang utama gas metana yang berkontribusi terhadap efek rumah kaca. Oleh karena itu, daur ulang kompos dan pemisahan sampah organik merupakan kontribusi terhadap konservasi energi dan perlindungan lingkungan.

Sampah organik, atau biomull, dimasukkan ke dalam tempat sampah berwarna coklat atau hijau. Ini mencakup sisa makanan, sayuran, buah-buahan, kulit telur, ampas kopi, dan sampah kebun seperti rumput. Kertas yang digunakan untuk membungkus makanan atau membersihkan sisa makanan juga termasuk dalam kategori ini. Oleh karena itu, kemasan pizza dan piring kertas untuk kentang goreng bukan termasuk sampah kertas yang dibuang di tempat sampah biru, melainkan harus dibuang di tempat sampah coklat atau hijau.

Kotoran endapan

Kotoran endapan, termasuk yang berasal dari rumah tangga, teridentifikasi memiliki kandungan fosfor yang tinggi, yang merupakan bahan rawan menurut European Commission. Menurut data dari Kementerian Lingkungan Jerman, separuh dari kotoran endapan di perkotaan telah diproses menjadi pupuk untuk pertanian dan penataan taman. Sementara sisanya digunakan sebagai bahan bakar sekunder di tempat pengolahannya, dicampur dengan bahan semen, atau dibuang di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Pemerintah Jerman telah mengembangkan teknik pengelolaan berkelanjutan untuk mengelola kotoran endapan ini melalui program yang disebut Resource Efficiency Programme/ProgRess (program sumber efisiensi).

Insinerasi

Pembakaran sampah dilakukan setelah upaya pencegahan dan daur ulang dilakukan terlebih dahulu. Insinerator, tempat pembakaran sampah, mengubah sampah menjadi energi melalui proses pembakaran yang menghasilkan listrik, air panas, dan uap panas. Listrik yang dihasilkan dialirkan ke jaringan untuk didistribusikan kepada pengguna akhir. Air panas dapat dialirkan ke jaringan distrik pemanas atau pendingin untuk memanaskan atau mendinginkan bangunan seperti rumah, rumah sakit, atau kantor. Sedangkan uap panas dapat digunakan oleh industri terdekat untuk mendukung kegiatan produksi mereka.

Tata-tertib

Setiap kota di Jerman memiliki sistem pengangkutan sampahnya sendiri, termasuk jadwal pengambilan sampah dan penanganan sampah berbahaya. Tempat sampah dijaga agar tidak terlalu penuh, dan jika terlalu penuh, petugas pengangkut sampah bisa menolak untuk mengosongkannya. Tempat-tempat sampah sering dikunci untuk mencegah orang lain membuang sampah di tempat yang bukan milik mereka, karena pengangkutan sampah di Jerman adalah layanan berbayar yang memerlukan biaya yang cukup besar bagi setiap rumah tangga.

Biaya untuk pembuangan berbagai jenis sampah di Jerman dapat ditemukan di sekitar tempat pengangkutan sampah. Biaya ini dihitung berdasarkan berat, dengan biaya untuk sampah makanan dan sampah daur ulang biasanya lebih rendah daripada jenis sampah lainnya.

Untuk barang-barang besar seperti lemari, sofa, atau televisi yang akan dibuang, ada layanan yang disebut "spermull". Layanan ini disediakan oleh pemerintah kota dan diadakan tiga kali setiap tahun. Barang-barang yang akan dibuang ditempatkan di tempat pengumpulan sampah hingga waktu tertentu, ketika petugas spermull akan mengangkutnya. Barang-barang yang masih layak pakai atau dalam kondisi baik di tempat pengumpulan ini bisa diambil oleh orang lain untuk digunakan atau dijual di pasar barang bekas.

Teknologi pemisahan

Sampah yang telah terpisah dipilah lebih lanjut dalam proses pemisahan yang dilakukan oleh agen dari sektor publik maupun swasta di Jerman. Perusahaan pengelolaan sampah biasanya menggunakan salah satu atau lebih dari lima metode berikut ini dalam proses pemisahan lanjut:

  1. Pemisah Trommel/Drum: Proses ini memisahkan sampah berdasarkan ukuran partikel. Sampah dimasukkan ke dalam drum besar yang memiliki lubang dengan ukuran tertentu pada sisinya. Drum kemudian diputar, sehingga material yang lebih kecil dari lubang drum akan keluar, sedangkan yang lebih besar akan tertinggal di dalam drum.

  2. Pemisah Arus Eddy: Metode ini khusus untuk memisahkan sampah berbahan logam. Arus Eddy terjadi ketika bahan konduktor terpapar oleh perubahan medan magnet. Dalam proses ini, elektromagnet digunakan untuk membedakan bahan logam dari bahan non-logam.

  3. Pemisahan Induksi: Sampah ditempatkan pada konveyor berjalan, di mana serangkaian sensor terletak di bawahnya. Sensor menempatkan material sesuai dengan jenisnya, dan kemudian jenis-jenis material dipisahkan dengan menggunakan sistem jet udara yang terhubung dengan sensor.

  4. Sensor Inframerah Dekat (Near Infrared Sensor/NIR): Proses ini memisahkan material dengan menyinarinya. Ketika material terpapar sinar, akan memantulkan sinar tersebut dalam spektrum inframerah. Sensor inframerah dekat dapat membedakan material berdasarkan cara material tersebut memantulkan sinar.

  5. Teknologi Sinar-X: Metode ini memisahkan sampah berdasarkan densitas atau kepadatan jenis sampah menggunakan sinar-X.

Kunci keberhasilan

Menurut pandangan organisasi amal bernama We Future Cycle, kunci keberhasilan skema pengumpulan sampah terpisah di Jerman adalah penerapannya yang konsisten di seluruh negeri, dengan menggunakan tipe tempat sampah yang sama untuk semua, baik untuk rumah tangga maupun bisnis. Beberapa faktor lain yang disebut sebagai faktor keberhasilan pengelolaan sampah di Jerman meliputi:

  1. Konsistensi warna tempat sampah.
  2. Pengawasan di lokasi pengumpulan, termasuk penempelan stiker untuk material yang salah dan denda untuk ketidaksesuaian dalam pengumpulan terpisah.
  3. Pembayaran per pembuangan menggunakan kode batang (barcode), dengan harga ditentukan berdasarkan jenis material.
  4. Penggunaan organisme pencerna organik dalam pengelolaan sampah makanan.
  5. Pengelolaan sampah melalui proses daur ulang dan target kuota pembaruan energi di Jerman hingga mencapai 65%. Target ini bertujuan untuk mengurangi pembuangan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang memiliki dampak buruk terhadap iklim.
  6. Inisiatif untuk konservasi sumber daya alam dan iklim, seperti peminimalan gas metana dan emisi gas karbon dioksida, serta upaya penggantian bahan bakar fosil pada kendaraan.
  7. Dukungan pemerintah Jerman terhadap teknologi yang andal dan inovatif dalam pengelolaan sampah.
  8. Upaya Jerman dalam mengelola sampah juga berkontribusi pada penciptaan lapangan kerja, karena diperlukan tenaga kerja dalam setiap tahap operasinya, mulai dari pengumpulan dan pengangkutan, hingga pemrosesan dan daur ulang di tingkat industri. Ini membawa manfaat bagi masyarakat Jerman dalam bidang sosial, lingkungan, dan ekonomi.

Disadur dari: https://id.wikipedia.org/wiki/Skema_pengumpulan_terpisah

Selengkapnya
Skema Pengumpulan Terpisah: Panduan Praktis untuk Pengelolaan Sampah Organik dan Pengembangan Tanah
page 1 of 10 Next Last »