Sumber Daya Air

Water Governance in Tanzania – A Synthesis of Legal and Institutional Frameworks for Groundwater Management in the Upper Great Ruaha River Catchment

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Air Tanah sebagai Penyangga Ketahanan di Era Krisis Iklim

Air tanah kini diakui sebagai sumber vital untuk mengatasi kelangkaan air akibat perubahan iklim dan pertumbuhan penduduk, baik di negara maju maupun berkembang. Di Tanzania, khususnya di wilayah Upper Great Ruaha River Catchment (UGRRC), air tanah menjadi tumpuan utama bagi kebutuhan domestik, pertanian, dan ekonomi lokal. Namun, paper karya Devotha Baltazary Mosha ini menyoroti bahwa pengelolaan air tanah di Tanzania masih menghadapi tantangan besar pada level kebijakan, kelembagaan, dan implementasi di lapangan. Dengan studi kasus di Usangu Plains, paper ini membedah detail kerangka hukum, kelembagaan, serta realitas sosial-ekonomi yang membentuk tata kelola air tanah di Tanzania.

Konteks Global dan Regional: Urgensi Tata Kelola Air Tanah

Secara global, air tanah menyumbang lebih dari 50% pasokan air kota, 43% irigasi pertanian, dan 40% kebutuhan industri. Di Sub-Sahara Afrika, 80% pasokan air domestik bersumber dari air tanah, sedangkan di India mencapai 60% untuk irigasi. Di Tanzania sendiri, air tanah memasok lebih dari 25% kebutuhan domestik, dan menjadi sumber utama di kawasan kering seperti Dodoma, Dar es Salaam, Shinyanga, Simiyu, Arusha, Mara, Kilimanjaro selatan, dan Usangu Plains. Namun, eksploitasi air tanah di Tanzania masih rendah, banyak sumber belum dikembangkan, dan mayoritas masyarakat mengandalkan sumur gali sederhana yang rentan tercemar1.

Metodologi: Studi Lapangan dan Analisis Kualitatif

Penelitian ini menggabungkan tinjauan literatur, analisis kebijakan, serta studi kasus lapangan di tiga desa utama Usangu Plains: Nyeregete, Ubaruku, dan Mwaluma. Data dikumpulkan melalui wawancara dengan 15 informan kunci (pejabat desa, pengelola air, tokoh adat, dan pejabat distrik), serta Focus Group Discussions (FGD) di tiap desa dengan total hingga 35 peserta per FGD. Topik diskusi meliputi alokasi, akses, penggunaan, dan pengelolaan air tanah, serta persepsi masyarakat terhadap regulasi dan kelembagaan1.

Temuan Lapangan: Pola Penggunaan, Ketergantungan, dan Praktik Lokal

Pola Penggunaan Air Tanah

  • 96% rumah tangga menggunakan air tanah untuk kebutuhan domestik.
  • 47% untuk ternak, 62% untuk pembuatan batu bata, dan 33% untuk irigasi kebun belakang.
  • Hampir 100% warga mengakses air tanah di musim kemarau, baik dari sumur dalam (lebih dari 60 meter, dengan pelindung semen) maupun sumur dangkal.
  • Konsumsi air per orang bervariasi: 30–50 liter/hari di Ubaruku, 25–40 liter/hari di Nyeregete dan Mwaluma.
  • Penggunaan irigasi air tanah umumnya terbatas untuk pembibitan padi (November–Desember) dan kebun hortikultura.

Studi Kasus: Mont Fort Secondary School

Sekolah menengah ini, dikelola Gereja Katolik sejak 1998, menggunakan air tanah untuk irigasi hortikultura, menunjukkan potensi pemanfaatan air tanah secara kolektif dan produktif di sektor pendidikan1.

Kerangka Hukum dan Kelembagaan: Kebijakan, Regulasi, dan Fragmentasi

Kebijakan dan Regulasi Utama

  • National Water Policy (2002) dan Water Resource Management Act No. 11 (2009) menjadi payung utama tata kelola air Tanzania.
  • Empat tujuan kebijakan: konservasi, penyediaan air berkualitas, kelembagaan efektif, dan sistem pengelolaan berkelanjutan.
  • Regulasi 2013 mewajibkan izin (water permit) untuk sumur dalam, sementara sumur dangkal untuk kebutuhan domestik dibebaskan dari izin.
  • Air tanah didefinisikan sebagai aset publik, dikelola negara, dan harus terintegrasi dengan prinsip IWRM (Integrated Water Resources Management).

Tantangan Implementasi

  • Regulasi lebih fokus pada air permukaan; air tanah sering diabaikan dalam perencanaan, pendanaan, dan pengawasan.
  • Banyak pengguna air tanah—termasuk sekolah, gereja, dan investor—tidak memiliki izin resmi, memandang air tanah sebagai hak atas tanah pribadi.
  • Proses perizinan rumit dan mahal: bisa memakan waktu hingga 9 bulan, biaya perjalanan ke kantor basin hingga 250 km.
  • Kelembagaan terfragmentasi: Terdapat River Basin Offices (RBO) dan Board di setiap basin, namun koordinasi antar dinas, pemerintah lokal, dan asosiasi pengguna air lemah, terutama untuk air tanah.

Studi Kasus Usangu Plains: Kesenjangan Regulasi dan Praktik

Realitas di Lapangan

  • Meski aturan mewajibkan izin untuk sumur dalam, banyak warga dan institusi tetap mengebor tanpa izin karena proses birokrasi yang sulit dan mahal.
  • Asosiasi pengguna air lebih fokus pada air permukaan, sementara pengelolaan air tanah cenderung dibiarkan pada inisiatif individu.
  • Banyak warga menganggap air tanah adalah “anugerah Tuhan” atau hak atas tanah, bukan sumber daya publik yang harus diatur negara.

Dampak Sosial dan Ekonomi

  • Over-abstraction: Pengambilan air tanah tanpa kontrol menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas air, serta potensi konflik antarpengguna.
  • Ketidakadilan akses: Kelompok kaya dan institusi besar lebih mudah mengebor sumur dalam, sementara warga miskin mengandalkan sumur dangkal yang rentan kering dan tercemar.
  • Rendahnya kesadaran: Minimnya edukasi dan sosialisasi menyebabkan rendahnya kepatuhan pada regulasi dan lemahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan air tanah.

Tantangan Utama Tata Kelola Air Tanah di Tanzania

1. Penegakan Hukum Lemah

  • Banyak pelanggaran aturan akibat lemahnya pengawasan dan nepotisme di tingkat desa.
  • Proses perizinan yang lama dan birokratis membuat warga enggan mengurus izin, sehingga banyak sumur tidak terdaftar.

2. Kekurangan Sumber Daya Manusia dan Kapasitas Teknis

  • Rufiji River Basin Office hanya memiliki sekitar 20 staf untuk wilayah seluas 173.000 km².
  • Setiap distrik rata-rata hanya punya satu insinyur air, menyebabkan lemahnya monitoring, inspeksi, dan penegakan aturan.

3. Keterbatasan Data dan Informasi

  • Hanya akuifer Makutupora di Dodoma yang terpetakan dengan baik; data tentang akuifer lain sangat minim.
  • Kurangnya data tentang kualitas, kuantitas, dan pola penggunaan air tanah menyulitkan perencanaan dan pengendalian eksploitasi.

4. Fragmentasi Kelembagaan dan Sentralisasi

  • Koordinasi antara kantor basin, pemerintah daerah, dan asosiasi pengguna air masih lemah.
  • Sentralisasi pengambilan keputusan sering mengabaikan pengetahuan lokal dan kebutuhan masyarakat akar rumput.

Analisis Kritis dan Nilai Tambah

Kelebihan Paper

  • Studi lapangan mendalam: Penulis berhasil menangkap realitas sosial-ekonomi dan kelembagaan secara detail melalui FGD dan wawancara.
  • Analisis kebijakan komprehensif: Paper membedah celah antara regulasi formal dan praktik nyata, serta mengidentifikasi akar masalah tata kelola air tanah.
  • Relevansi global: Temuan dan rekomendasi sangat relevan untuk negara berkembang lain yang menghadapi tantangan serupa.

Kritik dan Tantangan

  • Kurangnya data kuantitatif: Akan lebih kuat jika disertai data tren penurunan muka air tanah, volume eksploitasi, atau dampak ekonomi lebih rinci.
  • Implementasi rekomendasi: Banyak solusi yang diusulkan membutuhkan komitmen politik dan reformasi kelembagaan yang belum tentu mudah diwujudkan.

Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan

  1. Integrasi Regulasi Air Permukaan dan Air Tanah
    Kebijakan dan hukum air harus mengintegrasikan pengelolaan kedua sumber secara setara, bukan hanya fokus pada air permukaan.
  2. Penyederhanaan dan Digitalisasi Perizinan
    Proses izin sumur dalam perlu dipermudah, didukung sistem digital, dan layanan di tingkat kecamatan/desa.
  3. Peningkatan Kapasitas SDM dan Pendanaan
    Investasi pada pelatihan, rekrutmen staf teknis, dan pendanaan monitoring sangat penting untuk pengawasan efektif.
  4. Sosialisasi dan Edukasi Masyarakat
    Kampanye kesadaran tentang pentingnya izin, konservasi, dan pengelolaan kolektif air tanah harus digencarkan, melibatkan tokoh adat dan agama.
  5. Penguatan Kelembagaan Lokal dan Partisipasi
    Asosiasi pengguna air harus diperluas cakupannya ke air tanah, dengan peran aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan.
  6. Pengembangan Data dan Sistem Informasi Terbuka
    Pemetaan akuifer, monitoring kualitas dan kuantitas, serta sistem data terbuka harus menjadi prioritas untuk mendukung pengambilan keputusan berbasis bukti.

Hubungan dengan Tren Global dan Industri

  • Integrated Water Resources Management (IWRM) kini menjadi standar global, menuntut pengelolaan terpadu air permukaan dan air tanah.
  • Teknologi digital dan sistem informasi spasial semakin penting untuk monitoring dan pengelolaan sumber daya air.
  • Sustainable groundwater governance menjadi isu utama di negara berkembang, terutama di kawasan rentan perubahan iklim.

Jalan Panjang Menuju Tata Kelola Air Tanah Berkelanjutan

Paper ini menegaskan bahwa meski Tanzania telah memiliki kerangka hukum dan kelembagaan yang cukup baik, implementasi di lapangan masih lemah akibat fragmentasi, keterbatasan kapasitas, dan rendahnya kesadaran masyarakat. Reformasi tata kelola air tanah harus dimulai dari integrasi kebijakan, penguatan kelembagaan, peningkatan kapasitas, dan edukasi publik. Hanya dengan langkah sistemik dan kolaboratif, air tanah dapat tetap menjadi penyangga ketahanan ekonomi dan sosial Tanzania di masa depan.

Sumber Artikel 

Mosha, D. B. (2024). Water Governance in Tanzania – A Synthesis of Legal and Institutional Frameworks for Groundwater Management in the Upper Great Ruaha River Catchment. East African Journal of Environment and Natural Resources, 7(1), 112-123 .

Selengkapnya
Water Governance in Tanzania – A Synthesis of Legal and Institutional Frameworks for Groundwater Management in the Upper Great Ruaha River Catchment

Sumber Daya Air

Human Right to Water in the Helmand Basin: Setting a Path for the Conflict Settlement between Afghanistan and Iran

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Krisis Air dan Hak Asasi di Perbatasan Afghanistan-Iran

Kawasan Asia Barat Daya, khususnya sepanjang Sungai Helmand yang membentang dari Afghanistan ke Iran, menjadi panggung konflik air lintas negara yang telah berlangsung lebih dari satu abad. Paper ini mengupas secara mendalam bagaimana konflik pengelolaan Sungai Helmand berdampak pada pemenuhan hak asasi manusia atas air bagi jutaan penduduk di kedua negara, serta menelaah instrumen hukum nasional dan internasional yang dapat menjadi solusi damai dan berkeadilan.

Latar Belakang: Sungai Helmand, Sumber Kehidupan dan Sumber Konflik

Data dan Fakta Kunci

  • Helmand River: Mengalir sepanjang 1.150 km dari pegunungan Hindu Kush di Afghanistan ke Delta Sistan di Iran.
  • Debit rata-rata: 2.200 juta m³/tahun.
  • Penduduk terdampak: Lebih dari 400.000 jiwa di provinsi Sistan dan Baluchestan, Iran, serta ratusan ribu petani dan komunitas adat di Afghanistan.
  • Penggunaan air: 93% air Sungai Helmand di Afghanistan digunakan untuk irigasi pertanian, sisanya untuk kebutuhan domestik, industri, dan pembangkit listrik.
  • Dampak kekurangan air: Penurunan produksi pertanian, migrasi petani ke kota, kematian ternak, peningkatan biaya air dan pangan, desertifikasi, badai pasir, dan kerusakan ekosistem Danau Hamoun.

Sejarah Konflik dan Upaya Penyelesaian

Kronologi Perjanjian dan Sengketa

  • 1900-an: Perselisihan dimulai, Afghanistan menganggap Helmand sebagai sungai domestik, Iran menuntut hak atas aliran lintas batas.
  • Perjanjian 1950 & 1973: Afghanistan dan Iran menandatangani Helmand Water Agreement, mengatur alokasi air minimum ke Iran. Namun, implementasi sering mandek akibat instabilitas politik dan pembangunan dam di hulu (Kajaki, Kamal Khan).
  • 2001–2013: Iran mengadukan pemblokiran aliran air oleh Afghanistan ke PBB. Afghanistan menegaskan kebutuhan air untuk pertanian dan energi nasional.
  • 2019: Negosiasi baru menghasilkan kesepakatan pemasangan alat ukur debit air, namun distribusi tetap tidak stabil.

Analisis Hukum Nasional: Hak Atas Air di Iran dan Afghanistan

Iran

  • Konstitusi: Tidak secara eksplisit menyebut hak atas air, namun Pasal 45 menyatakan air sebagai milik publik di bawah kendali negara.
  • Charter on Citizens’ Rights (2016): Mengakui hak atas kehidupan layak, termasuk akses air bersih dan lingkungan sehat (Pasal 2 & 113).
  • Fair Distribution of Water Act (1983): Menetapkan kepemilikan publik atas air, pengelolaan oleh Kementerian Energi, dan prioritas penggunaan domestik.
  • Civil Code: Pasal 149-150 mengatur hak akses air untuk konsumsi pribadi.

Afghanistan

  • Konstitusi: Tidak eksplisit menyebut hak atas air, namun Pasal 9 menegaskan kewajiban negara mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan.
  • Civil Code: Menyatakan air sebagai milik publik, setiap orang berhak mengairi lahan pribadi selama tidak merugikan kepentingan umum.
  • Water Act: Prioritas utama alokasi air untuk kebutuhan domestik dan minum, diikuti pertanian, industri, dan energi. Pemerintah wajib melindungi dan mengelola air sebagai sumber daya bersama.

Studi Kasus: Dampak Krisis Air di Sistan dan Baluchestan, Iran

  • Penduduk: >400.000 jiwa sangat bergantung pada air Helmand untuk konsumsi, irigasi, dan sanitasi.
  • Krisis 2002–2013: Penurunan aliran air akibat pembangunan dam di Afghanistan menyebabkan Danau Hamoun mengering, produksi pertanian turun drastis, ribuan petani bermigrasi, dan terjadi badai pasir hebat.
  • Ekosistem: Hilangnya air mengancam keanekaragaman hayati, kematian massal satwa liar, dan rusaknya sistem danau-wetland yang menopang ekonomi lokal.
  • Akses air: Banyak desa harus mengandalkan air tangki keliling atau membeli air dengan harga mahal, meningkatkan beban ekonomi masyarakat miskin.

Instrumen Hukum Internasional dan Prinsip Kunci

Hak Atas Air di Kancah Internasional

  • Resolusi PBB 2010: Hak atas air minum yang aman dan sanitasi diakui sebagai hak asasi manusia.
  • General Comment No. 15 (CESCR, 2002): Negara wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas air, baik di dalam maupun lintas batas.
  • Prinsip-prinsip utama:
    • Equitable and Reasonable Use: Setiap negara berhak menggunakan air lintas batas secara adil, mempertimbangkan kebutuhan vital negara lain.
    • No-Harm Principle: Negara tidak boleh menyebabkan kerugian signifikan pada negara lain akibat pengelolaan air.
    • Duty to Consult & Information Exchange: Negara wajib berkonsultasi dan berbagi data sebelum mengambil tindakan yang berdampak pada negara lain.
    • Prioritas Kebutuhan Dasar: Dalam konflik penggunaan air, kebutuhan dasar manusia (drinking water, sanitasi, pangan) harus diutamakan.

Perjanjian dan Standar Relevan

  • Helmand Water Treaty (1973): Afghanistan wajib tidak mengurangi hak air Iran secara total maupun parsial.
  • UN Convention on the Law of the Non-navigational Uses of International Watercourses (1997): Menekankan prinsip equitable use, no-harm, dan konsultasi.
  • Berlin Rules (2004): Prioritas utama alokasi air untuk kebutuhan vital manusia.

Kewajiban Ekstrateritorial: Tanggung Jawab Lintas Negara

Paper ini menyoroti bahwa pelanggaran hak atas air di negara hilir (Iran) akibat tindakan negara hulu (Afghanistan) dapat menimbulkan tanggung jawab internasional. Negara hulu wajib:

  • Tidak menghalangi aliran air yang menjadi kebutuhan dasar negara hilir.
  • Menghindari pembangunan infrastruktur (dam, kanal) yang merugikan hak hidup dan ekonomi masyarakat di negara lain.
  • Melakukan konsultasi, berbagi data, dan transparansi dalam pengelolaan sungai lintas batas.

Studi Perbandingan: Praktik Global dalam Penyelesaian Konflik Air

  • Kasus AS-Meksiko (Sungai Colorado): Mekanisme komisi bersama, revisi berkala perjanjian, dan sistem monitoring debit air berhasil mengurangi konflik dan meningkatkan keadilan distribusi.
  • Perjanjian Mekong: Penetapan minimum environmental flow dan kewajiban konsultasi lintas negara sebagai syarat pembangunan dam baru.
  • India-Nepal (Mahakali Treaty): Penekanan pada kerjasama teknis, monitoring bersama, dan prioritas kebutuhan domestik.

Solusi dan Rekomendasi Kebijakan

1. Revisi dan Penguatan Perjanjian 1973

Perjanjian Helmand perlu diperbarui agar lebih responsif terhadap perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan kebutuhan ekologis. Komisi Delta Helmand harus diaktifkan dengan mandat yang jelas dan transparan.

2. Penguatan Infrastruktur dan Pengelolaan Bersama

Investasi bersama dalam pembangunan kanal, sistem irigasi efisien, dan pemantauan debit air akan mengurangi pemborosan dan meningkatkan keadilan distribusi.

3. Implementasi Integrated Water Resources Management (IWRM)

Pendekatan IWRM yang melibatkan kedua negara, masyarakat lokal, dan komunitas internasional dapat memaksimalkan manfaat ekonomi, sosial, dan ekologi tanpa mengorbankan hak dasar manusia.

4. Prioritaskan Hak Atas Air dalam Setiap Kebijakan

Setiap kebijakan, baik nasional maupun bilateral, harus menempatkan hak atas air sebagai prioritas utama, di atas kepentingan ekonomi atau politik jangka pendek.

5. Transparansi dan Partisipasi Publik

Kedua negara harus membuka akses data, melibatkan masyarakat terdampak dalam pengambilan keputusan, dan membangun sistem monitoring bersama yang dapat diaudit secara independen.

Analisis Kritis dan Opini

Kelebihan Paper

  • Pendekatan komprehensif: Menggabungkan analisis hukum nasional, internasional, dan studi kasus nyata.
  • Penekanan pada hak asasi manusia: Tidak sekadar membahas konflik air sebagai isu teknis, tapi menempatkan hak hidup dan kesejahteraan manusia sebagai inti solusi.
  • Solusi aplikatif: Rekomendasi berbasis praktik global dan prinsip hukum internasional.

Kritik dan Tantangan

  • Implementasi di lapangan: Meski prinsip hukum jelas, realisasi di kawasan yang rawan konflik dan instabilitas politik tetap menjadi tantangan besar.
  • Kurangnya data kuantitatif: Paper ini bisa lebih kuat dengan menambahkan data terbaru tentang debit air, dampak ekonomi, dan jumlah penduduk terdampak secara lebih rinci.
  • Peran masyarakat lokal: Keterlibatan komunitas lokal dalam negosiasi dan pengawasan masih minim, padahal mereka yang paling terdampak.

Hubungan dengan Tren Global

Konflik air lintas negara kini menjadi isu strategis di banyak kawasan dunia. Paper ini sangat relevan dengan tren global menuju pengakuan hak atas air sebagai hak asasi, integrasi IWRM, dan pentingnya tata kelola kolaboratif dalam menghadapi perubahan iklim dan pertumbuhan penduduk.

Kesimpulan: Hak Atas Air, Keadilan, dan Masa Depan Sungai Helmand

Paper ini menegaskan bahwa penyelesaian konflik air Helmand harus menempatkan hak atas air sebagai prioritas utama, di atas kepentingan politik atau ekonomi sempit. Kerjasama, transparansi, dan pembaruan perjanjian berbasis prinsip keadilan dan hak asasi manusia adalah kunci menuju solusi damai dan berkelanjutan. Pengalaman Helmand dapat menjadi pelajaran penting bagi negara lain yang menghadapi tantangan serupa di era krisis air global.

Sumber Artikel 

Farnaz Shirani Bidabadi and Ladan Afshari, ‘Human Right to Water in the Helmand Basin: Setting a Path for the Conflict Settlement between Afghanistan and Iran’ (2020) 16(2) Utrecht Law Review pp. 150–162.

Selengkapnya
Human Right to Water in the Helmand Basin: Setting a Path for the Conflict Settlement between Afghanistan and Iran

Sumber Daya Air

Strategi Investasi dan Pembiayaan Air: Menuju Sistem Air Tangguh dan Berkelanjutan di Era Ketidakpastian

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Tantangan Investasi Air di Era Krisis dan Ketidakpastian

Krisis air global semakin nyata, ditandai dengan kekeringan, banjir, polusi, dan tekanan perubahan iklim yang mengancam keberlanjutan pasokan air bersih. Di Eropa dan dunia, kebutuhan investasi infrastruktur air—baik untuk suplai, sanitasi, irigasi, maupun pengendalian banjir—terus meningkat, sementara sumber pembiayaan publik semakin terbatas, dan biaya modal naik. Paper OECD “Water Investment Planning and Financing” (Helen Laubenstein & Xavier Leflaive, 2024) membedah bagaimana perencanaan investasi air yang strategis, adaptif, dan berbasis pathway dapat meningkatkan efisiensi, ketahanan, dan daya tarik sektor air bagi pembiayaan swasta. Artikel ini sangat relevan di tengah tren global perubahan iklim, urbanisasi, dan kebutuhan akan kolaborasi lintas sektor untuk mencapai target SDG 6 (air bersih dan sanitasi).

Latar Belakang: Skala Tantangan dan Kebutuhan Investasi

Angka-angka Kunci

  • Total kebutuhan investasi untuk implementasi River Basin Management Plans (RBMPs) siklus kedua di Uni Eropa: minimal EUR 142 miliar.
  • Biaya mitigasi risiko banjir dalam Flood Risk Management Plans (FRMPs) siklus pertama: minimal EUR 14 miliar.
  • Biaya operasi dan pemeliharaan (2016–2021): minimal EUR 14 miliar per tahun.
  • Kesenjangan investasi sangat besar: di Prancis, gap investasi mencapai EUR 66,65 miliar untuk mencapai status air “baik”.
  • Dampak perubahan iklim: Tanpa adaptasi, kerugian banjir di Eropa diproyeksikan melonjak dari EUR 6,9 miliar/tahun menjadi EUR 45,9 miliar/tahun pada 2050.

Perencanaan Investasi dalam Ketidakpastian: Dari Risiko ke Resiliensi

1. Resilience Thinking dan Adaptive Planning

Tradisi lama perencanaan air mengandalkan pendekatan risk-based, yakni membangun infrastruktur tangguh menghadapi skenario ekstrem berdasarkan data historis. Namun, perubahan iklim dan dinamika sosial-ekonomi membuat pola lama tak lagi relevan. Paper ini menekankan pentingnya resilience-based approach: membangun sistem air yang adaptif, mampu pulih dari gangguan, dan fleksibel menghadapi masa depan yang tidak pasti.

Studi Kasus: Delta Programme, Belanda

Belanda mengembangkan Delta Programme dengan horizon perencanaan hingga 2100, didukung Delta Fund (rata-rata EUR 1,4 miliar/tahun untuk 2022–2035). Program ini mengintegrasikan pengelolaan banjir, suplai air, dan perencanaan spasial, serta mengadopsi prinsip solidaritas, fleksibilitas, dan keberlanjutan. Anggaran dialokasikan adaptif, dengan EUR 309 juta pada 2034 untuk prioritas baru yang muncul.

Studi Kasus: Water Resources Strategy, Inggris & Wales

Inggris menggunakan skenario berbasis tata kelola dan permintaan, dikombinasikan proyeksi iklim untuk tiap river basin. Penilaian kebutuhan e-flows (environmental flows) menjadi kunci dalam menentukan berapa banyak air yang harus tetap tersedia untuk ekologi sungai, bukan hanya kebutuhan manusia.

2. Integrasi Iklim dan Ketidakpastian dalam Perencanaan

Banyak negara Eropa belum sepenuhnya memasukkan proyeksi perubahan iklim dalam RBMPs mereka. Hanya sekitar setengah negara yang memasukkan kekeringan sebagai faktor utama, dan sedikit yang punya Drought Management Plans. Analisis biaya-manfaat sering hanya menghitung “avoided damage”, jarang memasukkan nilai ekosistem dan co-benefits dari solusi berbasis alam (nature-based solutions/NbS).

Dari Proyek ke Pathway: Paradigma Baru Investasi Air

1. Pentingnya Investment Pathways

Pendekatan tradisional yang hanya fokus pada proyek individual sering gagal menangkap sinergi, eksternalitas, dan manfaat jangka panjang. Strategic Investment Pathways (SIPs) adalah rangkaian investasi yang dirancang dan dikelola secara adaptif, memperhitungkan urutan, sinergi, dan dampak agregat dari berbagai proyek dalam satu sistem air.

Studi Kasus Global

  • Nile, Mekong, Indus: Analisis pathway investasi bendungan menunjukkan sinergi dan trade-off antar proyek, serta pentingnya evaluasi multi-skenario dan multi-objektif.
  • Eropa: Implementasi Program of Measures (PoMs) dalam RBMPs sudah menuju pendekatan pathway, namun masih perlu perbaikan dalam integrasi jangka panjang dan prioritas investasi.

2. Lima Langkah SIPs

  1. Setting the Stage: Mendefinisikan sistem air, batas spasial, stakeholder, dan tujuan pengelolaan.
  2. Option Evaluation & Stress Testing: Mengevaluasi opsi investasi dengan simulasi berbagai skenario masa depan (iklim, permintaan, teknologi).
  3. Designing Pathways: Menyusun urutan investasi optimal, memperhitungkan “option value” dan fleksibilitas adaptasi.
  4. Mobilizing Investment: Mengidentifikasi sumber pendanaan (publik, swasta, filantropi), memetakan manfaat dan revenue stream, serta merancang instrumen blended finance.
  5. Navigating & Adaptive Management: Monitoring, evaluasi, dan penyesuaian pathway sesuai perubahan eksternal dan capaian indikator kunci.

3. Analitik dan Tools Pendukung

  • Hydro-economic Models: ECHO, WEAP, RiverWare untuk simulasi skenario air dan ekonomi.
  • Decision Tree Framework, CRIDA, RDM, DAPP: Metodologi pengambilan keputusan di bawah ketidakpastian, digunakan untuk stress testing dan desain pathway adaptif.
  • River Basin Report Card, Water Governance Indicator Framework: Untuk penilaian kinerja sistem air dan tata kelola.

Pembiayaan: Menutup Gap dengan Inovasi dan Kolaborasi

1. Tantangan Pembiayaan

  • Dominasi dana publik: 92% negara Eropa mengandalkan dana publik/EU, 41% melibatkan dana swasta, dan hanya 6% pembiayaan air berasal dari sektor swasta.
  • Karakteristik investasi air: Proyek kecil, fragmented, jangka panjang, dengan revenue stream tidak pasti, membuat sektor ini kurang menarik bagi investor komersial.
  • Kesenjangan investasi: 64% River Basin Districts belum mengamankan dana untuk PoMs kedua, 79% menyebut kekurangan dana sebagai hambatan utama.

2. Solusi dan Inovasi Pembiayaan

a. Monetisasi Manfaat dan Revenue Stream

  • Tarif air, pajak earmarked, offset market: Menerapkan prinsip “beneficiary pays” dan “polluter pays”, seperti pajak air, skema offset nitrogen di Inggris (EnTrade), dan eco-label hidropower di Swedia.
  • Payments for Ecosystem Services (PES): Skema pembayaran jasa lingkungan untuk petani yang menjaga kualitas air, seperti Eau de Paris dan United Utilities di Inggris.
  • Private investment & risk reduction: Perusahaan seperti Mestä Board (Swedia) berinvestasi USD 31 juta untuk perbaikan bendungan, menghindari potensi kerugian hingga USD 218 juta.

b. Blended Finance dan De-risking

  • Blended finance: Kombinasi dana publik, filantropi, dan swasta untuk mengurangi risiko dan meningkatkan daya tarik proyek air.
  • Public guarantees, pooled bonds: Contoh pooled hydro bonds di Italia (Veneto) berhasil menghimpun EUR 500 juta untuk utilitas air kecil.
  • Green bonds, resilience bonds: EBRD menerbitkan resilience bond USD 700 juta untuk proyek air dan ekosistem.

c. Peran Intermediaries dan Platform

  • Water Fund Network, Natural Capital Financing Facility: Lembaga perantara yang menghubungkan penyedia proyek dan investor, menyediakan technical assistance, dan memperkuat ekosistem investasi air.
  • WWF Water Stewardship, pilot PES di Prancis: Kolaborasi multi-pihak untuk memperluas skema pembiayaan inovatif.

d. Asuransi dan Risk Financing

  • Flood insurance, catastrophe bonds: Sistem CatNat di Prancis dan CCS di Spanyol memberikan perlindungan risiko banjir berbasis solidaritas nasional.
  • Crop/weather insurance: Di Italia, asuransi pertanian menjadi alat utama mitigasi risiko kekeringan.

Studi Kasus dan Angka-angka

  • Delta Fund Belanda: Rata-rata EUR 1,4 miliar/tahun (2022–2035), dengan 50% untuk investasi dan 50% untuk operasional.
  • United Utilities Inggris: Investasi GBP 10,6 juta untuk program catchment management, diikuti fase kedua GBP 11,6 juta, dengan grant GBP 2,7 juta dari Natural England dan Forestry Commission.
  • EnTrade platform Inggris: Skema offset nitrogen menghemat 153 ton nitrogen di 3.000 hektar lahan.
  • EIP (Ecosystem Investment Partners), AS: USD 885 juta aset, restorasi 180 km² lahan basah dan 280 km sungai.
  • Pooled hydro bonds Veneto, Italia: EUR 500 juta untuk utilitas air kecil.

Analisis Kritis dan Perbandingan

Kelebihan Paper

  • Komprehensif dan Praktis: Menggabungkan analisis ekonomi, studi kasus, dan rekomendasi kebijakan berbasis data.
  • Paradigma Pathway: Menawarkan kerangka baru yang adaptif dan relevan untuk era ketidakpastian iklim dan ekonomi.
  • Inovasi Pembiayaan: Menjelaskan berbagai instrumen dan skema yang dapat direplikasi di berbagai negara.

Kritik dan Tantangan

  • Implementasi SIPs: Membutuhkan kapasitas analitik, data, dan tata kelola yang kuat. Banyak negara masih lemah dalam enabling environment dan integrasi lintas sektor.
  • Keterbatasan Data: Banyak data kebutuhan dan pembiayaan air masih parsial dan heterogen antar negara.
  • Skala dan Fragmentasi Proyek: Proyek air yang kecil dan tersebar menyulitkan konsolidasi dan efisiensi pembiayaan swasta.

Hubungan dengan Tren Global

  • Nature-based solutions, circular economy, dan green finance kini menjadi mainstream dalam kebijakan air dan lingkungan.
  • Disclosure dan taksonomi keuangan berkelanjutan (misal, TNFD, EU Taxonomy) mulai mewajibkan pelaporan risiko dan dampak air dalam investasi.

Rekomendasi Kebijakan dan Implikasi Industri

  • Adopsi SIPs dalam perencanaan nasional dan daerah untuk mengoptimalkan sinergi proyek, efisiensi biaya, dan ketahanan sistem air.
  • Penguatan enabling environment: Regulasi, institusi, dan mekanisme insentif untuk menarik investasi swasta.
  • Pengembangan blended finance dan risk sharing: Kombinasikan dana publik, filantropi, dan swasta dengan skema de-risking yang adil.
  • Peningkatan kapasitas analitik dan data: Investasi pada tools, pelatihan SDM, dan platform data terbuka untuk mendukung perencanaan dan evaluasi.
  • Kolaborasi multi-pihak dan inovasi intermediaries: Perkuat peran lembaga perantara, platform, dan pilot project untuk menghubungkan proyek dan investor.

Kesimpulan: Masa Depan Investasi Air – Adaptif, Inovatif, dan Kolaboratif

Paper ini menegaskan bahwa investasi air di era ketidakpastian membutuhkan pendekatan baru yang adaptif, berbasis pathway, dan kolaboratif. Dengan SIPs, negara dan pelaku industri dapat merancang portofolio investasi yang tangguh, efisien, dan menarik bagi pembiayaan swasta. Inovasi instrumen keuangan, penguatan enabling environment, dan integrasi kebijakan lintas sektor adalah kunci menuju sistem air yang berkelanjutan. Tanpa transformasi ini, gap investasi dan risiko sistemik akan terus membesar. Namun, dengan strategi yang tepat, masa depan air yang tangguh dan inklusif sangat mungkin diwujudkan.

Sumber Artikel 

Helen Laubenstein, Xavier Leflaive. Water investment planning and financing. OECD Environment Working Paper No. 237, ENV/WKP(2024)7, Organisation for Economic Co-operation and Development, 2024.

Selengkapnya
Strategi Investasi dan Pembiayaan Air: Menuju Sistem Air Tangguh dan Berkelanjutan di Era Ketidakpastian

Sumber Daya Air

The Economics of Water Scarcity

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Krisis Kelangkaan Air di Eropa dan Tantangan Ekonomi Global

Air adalah sumber daya vital yang semakin langka di banyak kawasan dunia, termasuk Eropa. Paper “The Economics of Water Scarcity” karya Xavier Leflaive dari OECD ini membedah secara komprehensif status ketersediaan air, permintaan, dan pengaruh perubahan iklim di Uni Eropa (UE). Dengan menyoroti instrumen ekonomi, kebijakan, serta studi kasus nyata, paper ini menawarkan analisis mendalam tentang bagaimana kelangkaan air dapat dikelola secara efektif melalui kombinasi kebijakan permintaan, alokasi, dan insentif harga. Artikel ini sangat relevan di tengah tren global perubahan iklim, urbanisasi, dan tekanan pada sumber daya air yang semakin intens.

Status Ketersediaan dan Permintaan Air di Eropa: Angka dan Fakta Kunci

Ketersediaan Air: Ketimpangan Regional dan Musiman

Eropa secara umum memiliki sumber air tawar melimpah, namun distribusinya sangat tidak merata. Negara seperti Kroasia, Finlandia, Norwegia, dan Swedia memiliki ketersediaan air per kapita di atas 10.000 m³/tahun, sementara Siprus, Ceko, Malta, dan Polandia sudah masuk kategori water stress dengan ketersediaan di bawah 1.700 m³/kapita/tahun. Di beberapa negara seperti Denmark, lebih dari 99% air yang digunakan berasal dari air tanah, sedangkan Malta sangat bergantung pada air laut yang didesalinasi.

Permintaan Air: Dominasi Sektor Pertanian dan Energi

  • Pertanian menyerap 24% dari seluruh pengambilan air dan sekitar 40% dari total penggunaan air tahunan di Eropa. Meski hanya 6% lahan pertanian yang diairi, sektor ini adalah konsumen air terbesar karena sebagian besar air tidak kembali ke lingkungan, melainkan hilang lewat evapotranspirasi.
  • Energi (terutama untuk pendinginan pembangkit listrik) menggunakan 28% air, diikuti industri/manufaktur (18%), dan rumah tangga (12%).
  • Permintaan air di Eropa meningkat selama 50 tahun terakhir, menyebabkan penurunan ketersediaan air per kapita sebesar 24%. Namun, berkat kebijakan efisiensi, total pengambilan air turun 19% sejak 1990.

Dampak Perubahan Iklim: Stres Air dan Kerugian Ekonomi

  • Sekitar 30% penduduk Eropa mengalami water stress setiap tahun, dengan 10% wilayah mengalami stres permanen dan hingga 30% mengalami stres musiman.
  • Proyeksi menunjukkan, pada skenario pemanasan 1,5°C, 7,4 juta orang dan €134 miliar aktivitas ekonomi tambahan akan terdampak water stress. Pada skenario 3°C, tambahan 7,7 juta orang dan €99 miliar aktivitas ekonomi akan terkena dampak lebih parah.
  • Kerugian akibat kekeringan di Eropa mencapai €9 miliar/tahun, dengan puncaknya pada 2018: kerugian pertanian €1,4 miliar di Belanda dan €770 juta di Jerman. Jika pemanasan global mencapai 3°C, kerugian tahunan akibat kekeringan bisa melonjak hingga €40 miliar/tahun.

Studi Kasus: Kebijakan dan Praktik Pengelolaan Air di Eropa dan Dunia

Studi Kasus 1: Efektivitas Harga dan Elastisitas Permintaan Air

  • Penelitian di Denmark menunjukkan kenaikan tarif air sebesar 54% selama dua dekade menurunkan konsumsi air hingga 20%.
  • Di New Zealand, pengenalan tarif berbasis volume mendorong konsumen mengadopsi kebiasaan hemat air.
  • Namun, elastisitas permintaan air domestik umumnya rendah (kisaran -1,0 hingga -0,1), artinya kenaikan harga hanya sedikit menurunkan konsumsi, kecuali untuk penggunaan non-esensial seperti taman atau kolam renang.

Studi Kasus 2: Pengelolaan Air Pertanian dan Kolektif di Prancis

  • Prancis menerapkan tarif pengambilan air berdasarkan volume dan tingkat kelangkaan air di setiap basin. Petani yang bergabung dalam manajemen kolektif (OUGC) mendapat tarif lebih murah, namun implementasinya menimbulkan kontroversi karena konflik kepentingan dan perubahan hak individu menjadi kuota kolektif.
  • Di Inggris dan Wales, petani irigasi membayar tarif dua komponen (tetap dan variabel), dengan kewajiban meterisasi dan pelaporan penggunaan air.

Studi Kasus 3: Inovasi Water Reuse di Israel

  • Israel adalah pelopor penggunaan air limbah olahan untuk irigasi. Pada 2017, 97% limbah cair dikumpulkan dan 85% diolah ulang untuk irigasi, setara dengan 21% total konsumsi air nasional dan 45% konsumsi pertanian.
  • Investasi besar pada WWTP (wastewater treatment plant) dan regulasi ketat mendorong efisiensi dan keamanan penggunaan air olahan, dengan tarif air domestik mencapai USD 2,6/m³ dan air limbah olahan untuk irigasi USD 0,3/m³.

Studi Kasus 4: Nature-Based Solutions (NbS) di Polandia

  • Di DAS Odra, Polandia, kombinasi polder alami dan tanggul tradisional terbukti efektif mengurangi risiko banjir besar (1.000 tahunan). NbS juga meningkatkan produksi pertanian, penyerapan karbon, dan nilai rekreasi, dengan manfaat ekonomi €1.400/ha/tahun dibanding sungai yang tidak direstorasi.

Instrumen Ekonomi dan Kebijakan Pengelolaan Kelangkaan Air

1. Manajemen Permintaan: Kombinasi Harga dan Non-Harga

  • Kebijakan permintaan air (demand management) adalah opsi “first best” untuk mengatasi kelangkaan air, karena lebih fleksibel dan murah dibanding menambah pasokan.
  • Instrumen harga (tarif, abstraction charges) harus dikombinasikan dengan regulasi, kampanye edukasi, dan promosi teknologi efisien.
  • Elastisitas permintaan air pertanian umumnya lebih tinggi dibanding rumah tangga, namun tetap rendah di kawasan yang sudah kekurangan air.
  • Di sektor industri, elastisitas lebih bervariasi dan tergantung pada jenis industri serta peluang substitusi air baku dengan air daur ulang.

2. Augmentasi Pasokan: Reuse, Desalinasi, dan NbS

  • Augmentasi pasokan (storage, reuse, desalination) harus diprioritaskan setelah upaya efisiensi permintaan. Pengalaman di Korea Selatan, Brasil, dan Afrika Selatan menunjukkan bahwa penambahan pasokan tanpa manajemen permintaan justru memicu konsumsi baru dan menunda solusi jangka panjang.
  • Water reuse di Eropa masih sangat rendah (2,4% dari total limbah cair diolah ulang; hanya 0,4% dari total pengambilan air), jauh di bawah Israel, Malta (60%), dan Siprus (90%).
  • Regulasi baru UE (2020) mewajibkan standar kualitas minimum untuk reuse air limbah di pertanian, dengan insentif ekonomi dan inovasi teknologi untuk memperluas penerapan.

3. Alokasi Air: Regime yang Adaptif dan Berkeadilan

  • Rezim alokasi air yang efektif harus menyeimbangkan efisiensi ekonomi, keberlanjutan lingkungan, dan keadilan sosial.
  • Prinsip utama: penetapan batas pengambilan (abstraction cap), prioritas kebutuhan ekologis (ecological flows), hak dan kuota air yang fleksibel, serta mekanisme monitoring dan sanksi yang jelas.
  • OECD “health check” menawarkan 14 indikator untuk menilai kesehatan rezim alokasi air, termasuk akuntabilitas, kejelasan hukum, monitoring, dan integrasi lintas sektor.

4. Abstraction Charges: Insentif Ekonomi dan Tantangan Implementasi

  • Abstraction charges (biaya pengambilan air) di banyak negara hanya merefleksikan 2–3% dari nilai ekonomi eksternalitas kelangkaan air (IEEP, 2021).
  • Banyak negara membedakan tarif berdasarkan sektor dan sumber air (permukaan vs air tanah), dengan tarif lebih tinggi untuk groundwater. Namun, sektor pertanian sering mendapat tarif rendah atau bahkan bebas biaya.
  • Di Prancis, tarif pengambilan air naik di kawasan yang kronis kekurangan air, dan insentif diberikan untuk manajemen kolektif.
  • Di Portugal, koefisien kelangkaan diterapkan untuk mencerminkan variasi spasial dan temporal kelangkaan air.

5. Agro-environmental Schemes dan Payment for Ecosystem Services (PES)

  • Skema agro-lingkungan (eco-schemes) dan PES memberi insentif kepada petani untuk praktik ramah air: rotasi tanaman, buffer zone, low-till agriculture, dan konversi ke organik.
  • Di Inggris, PES oleh perusahaan air terbukti lebih efektif dan murah dibanding upgrade instalasi pengolahan air.
  • Tantangan: risiko windfall profit (subsidi melebihi biaya nyata), ketidakadilan jika hanya “rewarding polluters”, dan perlunya baseline regulation yang ketat.

Analisis Kritis dan Nilai Tambah

Kelebihan Paper

  • Komprehensif dan Praktis: Memadukan analisis data, studi kasus, dan rekomendasi kebijakan yang aplikatif untuk berbagai konteks regional di Eropa.
  • Integrasi Ekonomi-Lingkungan: Menekankan pentingnya internalisasi biaya eksternalitas dan penggunaan instrumen ekonomi untuk mencapai tujuan ekologi.
  • Studi Kasus Global: Mengambil pelajaran dari Israel, Korea, Prancis, dan negara lain untuk memperkaya wawasan dan solusi.

Kritik dan Tantangan

  • Keterbatasan Data dan Model: Estimasi biaya kelangkaan air masih parsial dan konservatif, belum sepenuhnya mencakup nilai ekosistem dan dampak jangka panjang.
  • Implementasi Tarif dan Insentif: Banyak negara masih enggan menerapkan tarif yang mencerminkan kelangkaan, terutama untuk sektor pertanian karena alasan politik dan sosial.
  • Reformasi Alokasi Air: Proses reformasi sering lambat, penuh negosiasi, dan rawan resistensi dari kelompok yang sudah diuntungkan.

Hubungan dengan Tren Global

Paper ini sangat relevan dengan tren ekonomi sirkular, transisi energi bersih (yang justru meningkatkan kebutuhan air di beberapa sektor), dan integrasi kebijakan iklim-lingkungan. Prinsip nature-based solutions dan eco-schemes kini menjadi arus utama dalam kebijakan air dan pertanian global.

Rekomendasi Kebijakan dan Implikasi Industri

  • Prioritaskan Manajemen Permintaan: Kombinasikan instrumen harga dan non-harga, edukasi, serta teknologi efisiensi untuk menekan konsumsi.
  • Perkuat Rezim Alokasi Air: Terapkan prinsip cap, ecological flows, monitoring, dan hak air yang adaptif.
  • Tingkatkan Tarif Abstraction Charges: Sesuaikan tarif dengan tingkat kelangkaan dan biaya eksternalitas, serta pastikan dana digunakan untuk pengelolaan air.
  • Dorong Inovasi Water Reuse dan NbS: Berikan insentif investasi dan regulasi untuk memperluas reuse dan nature-based solutions.
  • Integrasikan Kebijakan Pertanian dan Air: Sinkronkan eco-schemes, subsidi, dan regulasi input pertanian dengan tujuan keberlanjutan air.
  • Transparansi dan Partisipasi Publik: Libatkan masyarakat, petani, dan pelaku industri dalam perencanaan dan monitoring kebijakan air.

Kesimpulan: Menata Ulang Ekonomi Air untuk Masa Depan Berkelanjutan

Paper ini menegaskan bahwa kelangkaan air adalah tantangan multidimensi yang membutuhkan solusi ekonomi, teknis, dan sosial secara terpadu. Kebijakan harga, alokasi adaptif, inovasi reuse, dan nature-based solutions harus menjadi pilar utama pengelolaan air modern. Tanpa reformasi serius, Eropa (dan dunia) akan menghadapi risiko ekonomi, ekologi, dan sosial yang makin besar akibat kelangkaan air. Namun, dengan kombinasi kebijakan berbasis data dan insentif yang tepat, masa depan air yang berkelanjutan masih sangat mungkin diraih.

Sumber Artikel 

Xavier Leflaive. The economics of water scarcity. OECD Environment Working Papers No. 239, ENV/WKP(2024)9, Organisation for Economic Co-operation and Development, 2024.

Selengkapnya
The Economics of Water Scarcity

Sumber Daya Air

Analysing Groundwater Governance in Uzbekistan through the Lenses of Social-Ecological Systems and Informational Governance

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Air Tanah, Kunci Ketahanan di Asia Tengah

Air tanah di Asia Tengah, khususnya Uzbekistan, adalah sumber kehidupan yang menopang kebutuhan domestik, pertanian, dan industri di tengah iklim kering dan ketergantungan pada aliran sungai musiman dari gletser. Namun, pengelolaan air tanah di kawasan ini menghadapi tantangan besar: mulai dari over-ekstraksi, polusi, hingga kegagalan institusi dan lemahnya koordinasi antar lembaga. Paper karya Sylvia Schmidt, Ahmad Hamidov, dan Ulan Kasymov ini membedah kompleksitas tata kelola air tanah Uzbekistan dengan menggabungkan kerangka Social-Ecological Systems (SES) dan Informational Governance. Pendekatan ini menyoroti peran krusial informasi—atau seringnya, ketiadaan informasi—dalam keberhasilan atau kegagalan pengelolaan air tanah.

Kerangka Analisis: Integrasi SES dan Informational Governance

Penulis mengadaptasi kerangka SES Ostrom (2007) untuk menelaah interaksi manusia-lingkungan, dengan fokus pada subsistem: ekosistem terkait, pengaturan ekonomi dan sosial-politik, sistem sumber daya, unit sumber daya, aktor, interaksi, sistem tata kelola, dan outcome. Untuk memperdalam analisis, paper ini mengintegrasikan empat tema utama dari informational governance (Mol 2006):

  • Dinamika dan Mekanisme Informasi: Bagaimana informasi dikumpulkan, diproses, dan dibagikan.
  • Ketidakpastian dan Multiple Knowledges: Tantangan akibat data yang tidak lengkap, metode berbeda, dan pengetahuan lokal vs. formal.
  • Power Constellations: Siapa yang mengendalikan informasi dan bagaimana hierarki mempengaruhi akses serta pengambilan keputusan.
  • Desain Reformasi Informasi: Upaya dan hambatan dalam memperbaiki sistem informasi untuk tata kelola yang lebih demokratis dan efektif.

Metodologi: Tinjauan Sistematis Literatur dan Studi Kasus Uzbekistan

Penelitian ini menggunakan tinjauan sistematis terhadap 54 sumber (artikel, laporan, bab buku) tentang tata kelola air tanah di Asia Tengah, dengan fokus khusus pada 14 sumber relevan untuk Uzbekistan. Analisis konten kualitatif digunakan untuk mengidentifikasi pola, tantangan, dan peluang dalam tata kelola serta penyebaran informasi air tanah.

Sumber Daya dan Penggunaan Air Tanah di Uzbekistan: Angka-angka Kunci

  • Cadangan air tanah Uzbekistan: 18,5 km³, dengan ekstraksi aktual 7,7 km³/tahun.
  • Recharge tahunan: 23–27 km³ (berbeda tergantung sumber).
  • Jumlah akuifer utama: 99, dengan 77 di antaranya berisi air tawar layak minum.
  • Jumlah sumur air tanah: >25.000 sumur.
  • Kontribusi air tanah untuk air minum: 50% kebutuhan domestik (3,4 km³/tahun).
  • Penggunaan untuk irigasi: 2,1 km³/tahun (28% dari total ekstraksi).
  • Penggunaan industri: 0,7 km³/tahun (10% dari total ekstraksi), termasuk untuk wisata kesehatan dan pabrik air mineral.

Studi Kasus: Tata Kelola Air Tanah dan Dampaknya

Aktor dan Interaksi

Aktor utama mencakup rumah tangga, petani, perusahaan industri, serta lembaga pemerintah dan lokal. Di tingkat komunitas, pengetahuan lokal (misal: “wise men” di mahalla) sering lebih diandalkan daripada pengetahuan teknis formal. Namun, interaksi antara aktor seringkali terhambat oleh keterbatasan akses informasi dan minimnya koordinasi.

Studi oleh Karimov dkk. (2022) menunjukkan bahwa irigasi berbasis air tanah memang menjamin ketepatan waktu penyiraman, namun membutuhkan biaya listrik dan tenaga kerja lebih tinggi dibanding irigasi gravitasi, sehingga petani didorong untuk efisiensi.

Sistem Tata Kelola: Regulasi, Monitoring, dan Sanksi

Kebijakan utama meliputi:

  • Water Sector Development Concept 2020–2030: Menargetkan pengurangan lahan irigasi dengan air tanah kritis dari 1.051.000 ha menjadi 773.000 ha, pengembangan sistem informasi status lahan dan air, serta perlindungan air tanah strategis.
  • Undang-Undang Air dan Penggunaan Air (1993): Menjamin keberlanjutan, perlindungan, dan hak kepemilikan air.
  • Regulasi Teknis: Syarat izin pengeboran untuk sumur >25 m atau ekstraksi >5 m³/hari, harga resmi air tanah untuk irigasi UZS 124,8/m³ (sekitar US$0,01).
  • Monitoring: 1.465 stasiun monitoring air tanah (2017), namun distribusi dan cakupan masih terbatas.

Namun, hanya sebagian kecil sumur yang terdaftar resmi. Banyak sumur didaftarkan ke pemerintah lokal atau penyedia listrik, bukan ke otoritas geologi nasional. Sumur kecil (<25 m, <5 m³/hari) tidak diatur secara formal.

Outcome: Over-ekstraksi, Salinisasi, dan Polusi

  • Salinisasi: 70% lahan irigasi tidak memiliki drainase bebas, menyebabkan peningkatan salinitas. Lahan dengan muka air tanah 1–2 m naik dari 743.500 ha (17,4%) pada 2008 menjadi 1.182.900 ha (27,5%) pada 2010. Lebih dari 46,6% lahan irigasi terdampak salinisasi (2,5% sangat asin, 13,3% sedang, 30,9% ringan).
  • Penurunan cadangan air tanah: Turun 40% antara 1965–2002; 35% cadangan hilang dalam 30–40 tahun terakhir.
  • Polusi: Kontaminasi oleh nitrat, pestisida, dan bahan kimia pertanian. Air tanah di Bukhara, Khorezm, dan Karakalpakstan tidak memenuhi standar air minum negara.
  • Kerugian ekonomi: Salinisasi dan air tanah dangkal menyebabkan kerusakan infrastruktur dan permukiman, dengan kerugian antara US$2,5–10 juta.

Informational Governance: Tantangan, Kesenjangan, dan Reformasi

Dinamika dan Mekanisme Informasi

Monitoring air tanah di Uzbekistan masih didominasi sistem negara yang sentralistik, berbasis sains alam, dan cenderung tertutup. Data tahunan hanya didistribusikan ke sekitar 40 lembaga pemerintah, tidak tersedia untuk publik. Sistem pelaporan formal dan informal berjalan paralel, menciptakan redundansi, inefisiensi, dan kebingungan.

Kekurangan data tentang penggunaan industri, tumpang tindih otoritas, dan menurunnya jumlah sumur observasi memperburuk ketidakpastian status air tanah. Distribusi sumur monitoring tidak merata, dan sering tidak cukup spesifik untuk kebutuhan lokal.

Ketidakpastian dan Multiple Knowledges

Variasi data antara sumur monitoring yang berdekatan menunjukkan adanya nugget variance (variabilitas kecil-skala) dan kemungkinan error pengukuran. Metode penilaian yang berbeda, kurangnya pertukaran informasi, serta adanya sistem pelaporan ganda menimbulkan “multiple knowledges” yang saling bertentangan. Hal ini menurunkan kepercayaan pengguna terhadap data dan menyulitkan perencanaan adaptasi.

Informasi tentang kondisi akuifer jarang tersedia bagi pengguna, sehingga masyarakat sulit mengambil tindakan kolektif atau adaptif. Pengetahuan lokal memang ada, namun sering tidak terintegrasi dengan data formal atau teknologi modern.

Power Constellations: Hierarki dan Monopoli Informasi

Penguasaan informasi oleh lembaga negara menciptakan hierarki dan monopoli, baik di tingkat nasional maupun lokal. Water Consumer Associations (WCA) yang seharusnya menjadi jembatan ke petani, justru lemah dalam pengambilan keputusan dan sering diintervensi pemerintah daerah. Sistem pewarisan otoritas dari era Soviet masih terasa, dengan dominasi negara dan minimnya ruang partisipasi masyarakat.

Ketergantungan pada ahli dan birokrasi memperkuat hierarki, sementara akses informal ke informasi hanya tersedia bagi mereka yang punya koneksi. Konflik kepentingan antara petani besar, industri, dan pengguna domestik sering tidak terselesaikan akibat lemahnya mekanisme koordinasi dan transparansi.

Desain Reformasi: Upaya dan Hambatan

Uzbekistan mulai menunjukkan minat pada reformasi tata kelola informasi air tanah, sejalan dengan tren global keterbukaan data dan Integrated Water Resources Management (IWRM). Beberapa langkah reformasi:

  • Moratorium pengeboran dan penggunaan air tanah di wilayah dengan penurunan muka air >5 m.
  • Kewajiban pemasangan meter air dan pelaporan tahunan untuk semua pengguna.
  • Pengembangan database lingkungan terpusat dan pengadaan alat monitoring baru.
  • Kerjasama internasional untuk observasi akuifer lintas negara dan adopsi teknologi digital (GIS, digital agriculture).

Namun, implementasi masih terbatas, koordinasi antarlembaga lemah, dan akses publik terhadap data tetap rendah. Monitoring dan penegakan hukum di sektor pertambangan dan pertanian masih perlu diperkuat.

Studi Kasus: Praktik Lokal dan Inovasi

  • Irigasi kolektif di masa kekeringan: Petani kecil (dehkan farms) mengembangkan aturan informal untuk berbagi biaya listrik dan pemeliharaan sumur, serta mengatur giliran penggunaan air tanah.
  • Penggunaan energi terbarukan: Beberapa komunitas mulai mengadopsi pompa air berbasis energi surya untuk mengurangi biaya listrik dan meningkatkan efisiensi.
  • Proyek Managed Aquifer Recharge: Studi di Fergana Valley menunjukkan potensi recharge terkelola untuk meningkatkan cadangan air tanah melalui kolaborasi lintas negara.

Analisis Kritis dan Perbandingan

Kelebihan Paper

  • Pendekatan Interdisipliner: Integrasi SES dan informational governance memberikan analisis mendalam tentang hubungan manusia-lingkungan dan peran informasi dalam tata kelola sumber daya.
  • Studi Kasus Konkrit: Data empiris dan contoh nyata dari Uzbekistan memperkuat argumen dan relevansi hasil penelitian.
  • Rekomendasi Kebijakan: Penulis tidak hanya mengidentifikasi masalah, tetapi juga menawarkan solusi berbasis data dan pengalaman global.

Kritik dan Tantangan

  • Keterbatasan Data Primer: Mayoritas analisis berbasis tinjauan literatur; penelitian lapangan lebih lanjut dibutuhkan untuk memahami praktik lokal dan dinamika sosial secara mendalam.
  • Implementasi Reformasi: Meskipun ada kemajuan kebijakan, hambatan birokrasi dan budaya hierarkis masih menjadi tantangan utama.
  • Kurangnya Integrasi Pengetahuan Lokal: Potensi pengetahuan tradisional belum sepenuhnya dimanfaatkan dalam tata kelola air tanah.

Hubungan dengan Tren Global

Paper ini sejalan dengan tren global menuju tata kelola air berbasis data terbuka, kolaborasi multi-pihak, dan integrasi teknologi digital. Praktik di Uzbekistan mencerminkan tantangan yang dihadapi banyak negara berkembang: ketergantungan pada sumber air tanah di tengah perubahan iklim, tekanan populasi, dan kebutuhan reformasi institusional.

Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan

  • Penguatan Informational Governance: Transparansi data, pertukaran informasi antarlembaga, dan akses publik harus diperluas untuk mendukung aksi kolektif dan pengambilan keputusan berbasis bukti.
  • Integrasi Pengetahuan Lokal dan Formal: Kolaborasi antara komunitas, akademisi, dan pemerintah penting untuk menggabungkan keunggulan pengetahuan lokal dan teknologi modern.
  • Monitoring dan Penegakan Hukum: Penegakan aturan, pemasangan meter air, dan monitoring polusi harus diperkuat, terutama di sektor pertanian dan pertambangan.
  • Pengembangan Database Terbuka dan Digitalisasi: Investasi pada sistem informasi digital dan pelatihan SDM menjadi kunci untuk memperbaiki tata kelola.
  • Kerjasama Regional: Koordinasi lintas negara di Asia Tengah sangat penting untuk mengelola akuifer bersama dan menghadapi tantangan perubahan iklim.

Menuju Tata Kelola Air Tanah yang Adaptif dan Inklusif

Paper ini menegaskan bahwa keberhasilan tata kelola air tanah di Uzbekistan (dan Asia Tengah) sangat bergantung pada kualitas, keterbukaan, dan distribusi informasi. Tanpa perbaikan sistem informasi dan kolaborasi lintas aktor, risiko over-ekstraksi, polusi, dan konflik akan terus meningkat. Reformasi informational governance, integrasi pengetahuan lokal, dan digitalisasi adalah kunci menuju sistem air tanah yang tangguh dan berkelanjutan—sebuah pelajaran penting bagi negara-negara lain dengan tantangan serupa.

Sumber Artikel 

Schmidt, S., Hamidov, A., & Kasymov, U. (2024). Analysing Groundwater Governance in Uzbekistan through the Lenses of Social-Ecological Systems and Informational Governance. International Journal of the Commons, 18(1), 203–217.

Selengkapnya
Analysing Groundwater Governance in Uzbekistan through the Lenses of Social-Ecological Systems and Informational Governance

Sumber Daya Air

Sungai Brantas dalam Sejarah dan Pariwisata

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Sungai Brantas, Urat Nadi Sejarah dan Ekonomi Jawa Timur

Sungai Brantas bukan sekadar aliran air yang membelah Jawa Timur, melainkan juga saksi bisu perjalanan sejarah, ekonomi, dan budaya masyarakat di sekitarnya. Buku "Sungai Brantas dalam Sejarah dan Pariwisata" karya Endah Sri Hartatik dan Wasino menghadirkan narasi komprehensif tentang peran vital sungai ini dari masa kerajaan kuno, kolonialisme, hingga era modern. Dengan pendekatan sejarah dan studi kasus nyata, buku ini memperlihatkan bagaimana Brantas menjadi tulang punggung perdagangan, pertanian, dan kini bertransformasi menjadi daya tarik pariwisata.

Sungai Brantas Sebagai Jalur Perdagangan: Dari Kerajaan ke Kolonialisme

Masa Pra-Kolonial: Sungai sebagai Jalan Raya Peradaban

Sejak abad ke-8 Masehi, Sungai Brantas telah menjadi jalur utama penghubung pedalaman Jawa Timur dengan dunia luar. Prasasti Dinoyo (760 M) mencatat keberadaan kerajaan Medang di sekitar mata air Brantas di Batu, Malang. Sungai ini mengalir melewati Blitar, Kediri, hingga Mojokerto, lalu bercabang menjadi Kali Porong dan Kalimas, yang berujung di Surabaya. Di masa Sriwijaya, Brantas menjadi penghubung perdagangan antara Jawa dan Maluku, memperdagangkan beras dan rempah-rempah.

Pada masa Kerajaan Kediri, prasasti Pandelegan (1038 M) dan Waleri (1159 M) menegaskan pentingnya Brantas sebagai jalur niaga. Raja memberikan pembebasan pajak kepada desa-desa yang berperan dalam kelancaran perdagangan di sepanjang sungai. Prasasti Jaring (1181 M) bahkan menyebutkan pejabat Senapati Sarwajala, panglima angkatan laut, menandakan sungai ini juga strategis secara militer.

Masa Majapahit semakin mempertegas peran Brantas. Prasasti Gunung Butak (1294 M) menceritakan bagaimana Raden Wijaya memanfaatkan sungai ini untuk melarikan diri dari kejaran musuh. Prasasti Trowulan (1358 M) menyebutkan desa-desa penyeberangan di sepanjang Brantas yang dibebaskan pajak karena peran vitalnya dalam transportasi dan perdagangan. Catatan Tiongkok dari masa Laksamana Cheng Ho (1413 M) juga mengakui Surabaya sebagai pelabuhan air tawar di muara Brantas yang ramai oleh perahu dagang.

Masa Kolonial: Modernisasi dan Transformasi Ekonomi

Di bawah Belanda, Sungai Brantas dan cabangnya, khususnya Kalimas, menjadi urat nadi perdagangan dan transportasi. Surabaya berkembang sebagai pelabuhan utama, didukung oleh jaringan pelayaran sungai yang menghubungkan pedalaman dengan pelabuhan ekspor-impor. Pada abad ke-19, pelabuhan Kalimas dilengkapi fasilitas modern: dermaga sepanjang 2 km, 20 gudang, dan area penyimpanan seluas 30 hektar.

Pembangunan pelabuhan Surabaya (1911–1925) dengan anggaran f2.000.000,- menjadikannya pelabuhan paling efisien di Asia Tenggara. Data perdagangan menunjukkan surplus ekspor Surabaya mencapai puncak pada 1920, saat harga gula naik tajam, dengan nilai ekspor 447.558 ribu gulden dan impor 228.584 ribu gulden. Surplus perdagangan tahun itu hampir 1% dari total nilai perdagangan, angka yang belum pernah dicapai sebelumnya.

Sungai Brantas dan Pertanian: Irigasi, Modernisasi, dan Konflik

Masa Pra-Kolonial: Infrastruktur Tradisional dan Mitologi

Sejak abad ke-10, Brantas sudah menjadi sumber irigasi utama. Prasasti Turyan (929 M) dan Wulig (935 M) mencatat pembangunan bendungan dan saluran air untuk pertanian. Pada masa Airlangga (abad ke-11), pembangunan bendungan Waringin Sapto untuk mengendalikan banjir dan irigasi sawah menjadi prioritas. Prasasti Kusmala (1350 M) juga menyebut pembangunan empang batu untuk irigasi di daerah Kediri.

Mitologi Jawa, seperti kisah Mpu Bharada yang membelah tanah Jawa dengan kendi air, juga memperkuat posisi Brantas sebagai batas alam dan sumber kehidupan.

Masa Kolonial: Proyek Irigasi Raksasa dan Pengaruh Industri Gula

Kolonialisme Belanda membawa perubahan besar. Sejak Tanam Paksa (1830–1870), pembangunan irigasi menjadi prioritas untuk mendukung pertanian dan industri gula. Proyek Lengkong (1840–1890-an) menjadi salah satu yang terpenting, dengan biaya f10.000.000,- untuk mengairi 47.000 bahu sawah. Total proyek irigasi di Jawa hingga 1899 menelan dana f40.000.000,- dan mengairi lebih dari 1 juta bahu sawah.

Pabrik-pabrik gula berperan besar dalam pembiayaan dan pengelolaan irigasi. Pada 1910–1919, 86 perkebunan tebu mengeluarkan f5.643.336,- untuk irigasi. Waduk-waduk besar seperti Watudakon di Jombang-Mojokerto dan sistem kanal di Sidoarjo memperluas lahan pertanian dan meningkatkan produksi tebu.

Namun, sistem pembagian air sering menimbulkan konflik antara petani dan pengusaha tebu. Sistem "siang-malam" mengutamakan tebu pada siang hari dan petani pada malam hari, sering merugikan petani karena air sulit didapat. Data tahun 1933 menunjukkan dari 533 bahu sawah golongan keempat, 343 bahu (64%) gagal panen akibat sistem irigasi yang tidak adil.

Pasca Kemerdekaan: Rehabilitasi dan Proyek Serbaguna

Setelah kemerdekaan, warisan infrastruktur kolonial yang rusak akibat perang dan bencana alam, seperti letusan Gunung Kelud (1951), menuntut rehabilitasi besar-besaran. Pemerintah Indonesia meluncurkan proyek-proyek pengendalian banjir dan pembangunan bendungan, seperti Karangkates (1961–1973) dan Selorejo (1964–1973). Proyek-proyek ini tidak hanya untuk irigasi, tetapi juga pembangkit listrik, pengendalian banjir, dan penyediaan air baku.

Sungai Brantas untuk Pariwisata: Revitalisasi dan Potensi Ekonomi Baru

Wisata Sungai Kalimas di Surabaya

Di era modern, fungsi perdagangan dan transportasi Brantas menurun, namun potensinya sebagai destinasi wisata mulai digarap. Sungai Kalimas, anak cabang Brantas di Surabaya, menjadi fokus revitalisasi. Pemerintah Kota Surabaya bersama Balai Wilayah Sungai Brantas membuka wisata susur Kalimas, menawarkan pengalaman edukasi, sejarah, kuliner, dan belanja. Pengunjung dapat menikmati pemandangan pintu air kolonial, jembatan bersejarah, hingga monumen kapal selam.

Revitalisasi Kalimas juga melibatkan pembangunan taman-taman tematik di bantaran sungai, seperti Taman Prestasi, Taman Ekspresi, dan Taman BMX, yang menjadi ruang publik kreatif dan edukatif. Festival perahu dan event budaya di Kalimas menghidupkan kembali memori kejayaan sungai sebagai urat nadi kota.

Wisata Sungai Brantas di Malang

Di hulu, Kota Malang mengembangkan wisata pinggir Brantas dengan Festival Kali Brantas yang digelar setiap Hari Sungai Nasional. Acara seperti petik tirto amerto, parade kampung, dan pelepasan ikan endemik menjadi daya tarik tersendiri. Kampung tematik di bantaran Brantas juga menjadi destinasi wisata baru, menggabungkan edukasi lingkungan, seni, dan budaya lokal.

Potensi di Wilayah Lain

Kota-kota lain di sepanjang Brantas, seperti Blitar, Kediri, Mojokerto, dan Jombang, juga mulai mengembangkan wisata sungai dengan konsep heritage, ekowisata, dan festival budaya. Upaya ini tidak hanya meningkatkan ekonomi lokal, tetapi juga menumbuhkan kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian Brantas.

Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci

  • Nilai ekspor Surabaya tahun 1920: 447.558 ribu gulden, impor 228.584 ribu gulden, surplus hampir 1%.
  • Proyek irigasi Lengkong (1840–1890): Biaya f10.000.000,-, mengairi 47.000 bahu sawah.
  • Total proyek irigasi Jawa hingga 1899: f40.000.000,-, 1.002.000 bahu sawah.
  • Biaya irigasi oleh 86 perkebunan tebu (1910–1919): f5.643.336,-.
  • Waduk Watudakon: Mengubah rawa-rawa menjadi 14.000 bahu sawah subur.
  • Sistem irigasi Sidoarjo tahun 1933: Dari 533 bahu sawah golongan keempat, 343 bahu (64%) gagal panen.
  • Proyek Karangkates (1961–1973): Bendungan multifungsi, termasuk pembangkit listrik dan pengendalian banjir.
  • Revitalisasi wisata Kalimas Surabaya (2022): Wisata susur sungai, taman tematik, festival budaya.

Analisis Kritis dan Nilai Tambah

Kelebihan Buku

  • Pendekatan Historis dan Multidimensi: Buku ini tidak hanya mengulas sejarah, tetapi juga aspek ekonomi, sosial, dan budaya, memperkaya pemahaman tentang peran sungai dalam kehidupan masyarakat.
  • Studi Kasus Konkret: Penggunaan data sejarah, prasasti, dan angka-angka ekonomi membuat narasi lebih hidup dan faktual.
  • Relevansi Kontemporer: Dengan membahas revitalisasi wisata sungai, buku ini menghubungkan sejarah dengan tantangan dan peluang masa kini.

Kritik dan Tantangan

  • Kurangnya Data Terkini: Buku ini lebih fokus pada sejarah hingga awal era modern, sementara tantangan lingkungan dan urbanisasi mutakhir belum dibahas mendalam.
  • Perlu Pendalaman Isu Sosial: Konflik distribusi air, dampak lingkungan, dan perubahan sosial akibat industrialisasi dan urbanisasi masih bisa digali lebih dalam.

Hubungan dengan Tren Industri dan Global

Revitalisasi sungai untuk pariwisata dan ruang publik kini menjadi tren di banyak kota dunia, dari Seoul (Cheonggyecheon) hingga Singapura (Singapore River). Upaya serupa di Brantas menunjukkan bahwa warisan sejarah dapat menjadi modal ekonomi baru jika dikelola berkelanjutan dan berbasis komunitas.

Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan

  • Pengelolaan Terpadu: Pengembangan Brantas harus melibatkan kolaborasi lintas sektor—pemerintah, swasta, komunitas, dan akademisi—untuk memastikan keberlanjutan ekologis dan sosial.
  • Edukasi dan Partisipasi Publik: Revitalisasi sungai harus diiringi edukasi lingkungan dan pelibatan masyarakat agar tercipta rasa memiliki dan tanggung jawab bersama.
  • Inovasi Pariwisata: Pengembangan wisata sungai perlu mengintegrasikan teknologi, seni, dan budaya lokal agar menarik generasi muda dan wisatawan global.
  • Konservasi dan Restorasi: Perlindungan hulu sungai, penghijauan, dan pengendalian polusi mutlak diperlukan agar fungsi sungai tetap lestari.

Brantas, Sungai Kehidupan yang Tak Pernah Padam

Buku ini membuktikan bahwa Sungai Brantas adalah urat nadi sejarah, ekonomi, dan budaya Jawa Timur. Dari jalur perdagangan kerajaan, tulang punggung pertanian kolonial, hingga destinasi wisata modern, Brantas terus bertransformasi mengikuti zaman. Tantangan masa depan adalah menjaga keberlanjutan sungai ini agar tetap menjadi sumber kehidupan dan inspirasi bagi generasi mendatang.

Sumber Artikel 

Endah Sri Hartatik, Wasino. Sungai Brantas dalam Sejarah dan Pariwisata. Undip Press, 2022.

Selengkapnya
Sungai Brantas dalam Sejarah dan Pariwisata
« First Previous page 8 of 22 Next Last »