Sumber Daya Air

How is water security conceptualized and practiced for rural livelihoods in the global South? A systematic scoping review

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Isu keamanan air (water security) kini menjadi perhatian utama dalam wacana pembangunan berkelanjutan, terutama di negara-negara Global Selatan yang sangat bergantung pada sumber daya alam untuk menopang kehidupan pedesaan. Paper karya Sameer H. Shah ini melakukan telaah sistematis terhadap 99 artikel jurnal internasional (2000–2019) untuk menjawab pertanyaan mendasar: Bagaimana konsep water security didefinisikan, didorong, dan dipraktikkan dalam konteks penghidupan pedesaan di Global Selatan? Dengan pendekatan scoping review, Shah menyoroti kekuatan, kelemahan, dan peluang riset water security, serta menawarkan agenda riset baru yang sangat relevan untuk kebijakan, riset, dan praktik pembangunan pedesaan.

Konsep Water Security: Dari Ketahanan Fisik ke Dimensi Sosial-Ekologis

Awal mula konsep water security berakar dari upaya negara-negara mengamankan pasokan air demi pertanian, pemukiman, dan keamanan nasional. Namun, sejak Deklarasi Den Haag (2000), definisi water security berkembang menjadi kondisi di mana setiap orang memiliki akses air yang cukup, aman, terjangkau, serta terlindungi dari risiko bencana air. Water security kini dipahami sebagai kerangka yang mengintegrasikan kebutuhan manusia dan ekologi secara simultan, dengan pendekatan sistem sosial-ekologis yang menekankan keterkaitan antara ketersediaan, kualitas, akses, dan risiko air12.

Metodologi Review: Cakupan, Seleksi, dan Analisis

Penulis menelusuri empat basis data besar, menyeleksi artikel peer-reviewed berbahasa Inggris yang terbit antara 2000–2019, dan secara eksplisit membahas water security dalam kaitan dengan penghidupan pedesaan di Global Selatan. Dari 2.359 publikasi awal, setelah proses penyaringan ketat, terpilih 99 artikel yang dianalisis secara tematik dan metodologis. Hasilnya, mayoritas artikel terbit setelah 2010, menandakan meningkatnya perhatian terhadap isu ini seiring menguatnya diskursus nexus air–energi–pangan dan perubahan iklim1.

Bagaimana Water Security Didefinisikan?

Hanya 30,3% publikasi yang secara eksplisit mendefinisikan water security. Mayoritas definisi berfokus pada ketersediaan air yang “memadai”, “cukup”, dan “dapat diterima” untuk kebutuhan kesehatan, penghidupan, ekosistem, dan produksi. Definisi yang benar-benar mengaitkan water security dengan peningkatan produktivitas, kesejahteraan, dan kapabilitas manusia sangat sedikit (hanya 16,7% dari definisi yang ada)12. Sebagian besar publikasi masih menempatkan water security sebagai upaya menghindari risiko atau kekurangan air, bukan sebagai alat untuk membangun kapasitas dan kemakmuran masyarakat pedesaan.

Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci

  • Distribusi Geografis: 86 negara Global Selatan menjadi fokus, dengan dominasi studi di India (21 publikasi), Afrika Selatan (15), dan Tiongkok (13). Sekitar 42,4% artikel menyoroti salah satu dari tiga negara ini, sementara Afrika Utara dan Amerika Selatan Tengah relatif kurang terwakili.
  • Fokus Livelihood: Hampir semua artikel menyoroti pertanian, dari subsisten hingga komoditas ekspor. Hanya 24,2% yang membahas peternakan, dan sangat sedikit yang mengupas perikanan (8,1%) atau akuakultur. Padahal, pastoralism mendukung sekitar 200 juta rumah tangga secara global.
  • Aktor Kunci: Pemerintah menjadi aktor utama yang dianggap bertanggung jawab dalam 81,8% publikasi, diikuti komunitas lokal (20,2%) dan individu (21,2%). Peran LSM dan donor kurang menonjol1.

Dinamika dan Penyebab Water Insecurity

Faktor Penyebab Utama

  • Perubahan Iklim dan Variabilitas Cuaca: 64,7% publikasi menyoroti perubahan pola curah hujan, kekeringan, dan banjir sebagai penyebab utama risiko air.
  • Persaingan Antar Sektor: Kompetisi air antara sektor pertanian, industri, dan kebutuhan domestik muncul di 36,4% publikasi.
  • Ekstraksi dan Degradasi: 32,3% publikasi membahas eksploitasi air tanah berlebihan dan degradasi sumber air akibat pertanian intensif dan ekspansi perkotaan.
  • Ketimpangan Sosial-Ekonomi: Sekitar 20,2% publikasi mengaitkan water insecurity dengan kemiskinan, marginalisasi, dan eksklusi sosial, namun hanya sedikit yang benar-benar menganalisis akar sistemik ketidakadilan distribusi air12.

Studi Kasus Nyata

  • India: Studi di Hyderabad menunjukkan bahwa peningkatan efisiensi distribusi air perkotaan, pemanfaatan air limpasan, dan 500.000 unit panen air hujan rumah tangga dapat secara signifikan meningkatkan keamanan air pertanian dan rumah tangga.
  • Brazil: Di Western Bahia, irigasi meningkat 150 kali lipat dalam beberapa dekade, sementara curah hujan dan aliran sungai menurun. Solusi yang diusulkan adalah pembatasan irigasi saat musim kering dan investasi sistem pemantauan hidroklimatik.
  • Lebanon: Petani di DAS Sungai Litani bersedia membayar lebih untuk pemasangan irigasi tetes dan sistem meter air guna meningkatkan efisiensi dan mengurangi ketidakpastian pasokan air1.

Solusi yang Ditemukan: Antara Teknikal dan Transformasi Sosial

Strategi Umum

  • Peningkatan Pasokan Air: 45,5% publikasi mengusulkan pembangunan bendungan, transfer antar-basin, dan panen air hujan skala rumah tangga sebagai solusi utama.
  • Efisiensi dan Produktivitas: 38,4% publikasi menyoroti irigasi hemat air, varietas tanaman tahan kering, dan pengelolaan lahan sebagai respons terhadap kelangkaan air.
  • Perbaikan Tata Kelola dan Manajemen: 75,8% publikasi menekankan pentingnya tata kelola multi-level, penguatan regulasi, pemantauan, dan transparansi. Namun, solusi yang benar-benar menargetkan perubahan struktural atau pemberdayaan kelompok marginal masih sangat terbatas.
  • Pengurangan Ketimpangan Sosial: Hanya 14,1% publikasi yang secara eksplisit membahas strategi membangun hak atas air, distribusi air yang adil, dan penguatan representasi kelompok termarjinalkan12.

Skala Intervensi

Solusi yang diusulkan tersebar di berbagai level: individu/rumah tangga (24,2%), komunitas (21,2%), DAS (37,4%), negara bagian (21,2%), nasional (35,4%), hingga internasional (23,2%). Namun, intervensi di tingkat internasional sering terbatas pada perjanjian lintas batas atau integrasi pada nexus air–energi–pangan, bukan pada transformasi sistemik1.

Analisis Kritis dan Agenda Riset Masa Depan

Empat Temuan Kunci

  1. Fokus pada “Cukup”, Bukan Kemakmuran: Definisi water security cenderung konservatif, hanya menekankan kecukupan dan pengurangan risiko, bukan peningkatan kapabilitas dan kesejahteraan masyarakat. Padahal, penghidupan berkelanjutan menuntut lebih dari sekadar kecukupan—yaitu kemampuan untuk berkembang dan beradaptasi.
  2. Representasi Livelihood Sempit: Studi terlalu fokus pada pertanian, mengabaikan keberagaman penghidupan seperti peternakan, akuakultur, dan kerja musiman. Padahal, rumah tangga pedesaan sering mengandalkan portofolio livelihood yang kompleks dan saling terkait.
  3. Kurangnya Transformasi Struktural: Solusi yang diusulkan lebih banyak bersifat teknikal dan manajerial, kurang menyasar akar ketidakadilan sosial, ekonomi, dan politik yang melanggengkan water insecurity. Transformasi sistem distribusi, hak atas air, dan pemberdayaan kelompok rentan masih minim.
  4. Kurang Memahami Dinamika Global: Studi tentang dampak globalisasi, perubahan politik, dan interaksi lintas level (local-global) terhadap water security masih sangat terbatas. Padahal, perubahan di satu skala dapat berdampak luas pada sistem penghidupan pedesaan12.

Kritik dan Perbandingan dengan Studi Lain

Temuan Shah sejalan dengan kritik literatur lain yang menilai pendekatan water security masih terlalu teknokratik dan kurang integratif. Studi Jepson et al. (2017) dan Zeitoun et al. (2016) juga menyoroti lemahnya fokus pada kapabilitas dan keadilan sosial dalam program water security. Sementara itu, pendekatan “hydro-social” yang menggabungkan dimensi sosial, ekonomi, dan ekologi mulai berkembang, namun belum menjadi arus utama dalam kebijakan maupun riset di Global Selatan.

Relevansi dengan Tren Industri dan Kebijakan

Isu water security kini menjadi perhatian utama dalam agenda pembangunan berkelanjutan (SDGs), terutama SDG 6 (air bersih dan sanitasi) dan SDG 2 (pengentasan kelaparan). Industri pertanian, pangan, dan energi kini dituntut untuk mengadopsi pendekatan efisiensi air, circular economy, serta pemberdayaan petani kecil. Namun, tanpa transformasi tata kelola dan distribusi air yang adil, inovasi teknologi saja tidak cukup untuk menjamin water security yang inklusif dan berkelanjutan.

Rekomendasi Praktis dan Agenda Riset ke Depan

  1. Redefinisi Water Security: Perlu menggeser fokus dari kecukupan dan mitigasi risiko ke pembangunan kapabilitas, kesejahteraan, dan keadilan sosial.
  2. Diversifikasi Studi Livelihood: Riset dan kebijakan harus memperhitungkan keberagaman penghidupan pedesaan, termasuk peternakan, akuakultur, dan kerja musiman.
  3. Transformasi Tata Kelola: Diperlukan intervensi yang menyasar akar ketidakadilan distribusi air, penguatan hak atas air, dan pemberdayaan kelompok marginal.
  4. Integrasi Skala Lokal-Global: Studi dan kebijakan harus memahami interaksi antara perubahan global (iklim, pasar, politik) dengan dinamika lokal penghidupan pedesaan.
  5. Kolaborasi Multi-Aktor: Pemerintah, komunitas lokal, sektor swasta, dan LSM perlu bersinergi dalam perencanaan, implementasi, dan evaluasi program water security.

 Menuju Water Security yang Inklusif dan Berkeadilan

Paper ini memberikan kontribusi penting dalam memahami bagaimana konsep water security dipraktikkan di Global Selatan. Kelemahan utama terletak pada definisi yang konservatif, fokus livelihood yang sempit, dan minimnya transformasi struktural. Untuk menjawab tantangan masa depan, water security harus didefinisikan ulang sebagai alat untuk membangun kapabilitas, kesejahteraan, dan keadilan sosial, bukan sekadar menghindari risiko. Agenda riset dan kebijakan ke depan harus lebih inklusif, integratif, dan transformatif, agar penghidupan pedesaan di Global Selatan benar-benar tangguh menghadapi krisis air dan perubahan zaman.

Sumber artikel :
Sameer H. Shah. "How is water security conceptualized and practiced for rural livelihoods in the global South? A systematic scoping review." Water Policy, Vol 23 No 5, 2021, pp. 1129–1152.

Selengkapnya
How is water security conceptualized and practiced for rural livelihoods in the global South? A systematic scoping review

Sumber Daya Air

Ketidakjelasan Hukum dan Tantangan Pertukaran Data di DAS Tigris-Efrat dan Indus

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Pentingnya Data dan Informasi dalam Tata Kelola Sungai Lintas Batas

Di tengah krisis air global, pengelolaan sungai lintas negara menjadi isu strategis yang sangat kompleks, terutama di kawasan yang rawan konflik seperti DAS Tigris-Efrat dan Indus. Paper “When the law is unclear: challenges and opportunities for data and information exchange in the Tigris-Euphrates and Indus river basins” karya Qaraman M. Hasan dkk. (2023) membedah secara detail tantangan dan peluang pertukaran data di dua DAS paling dipolitisasi di dunia. Resensi ini mengulas temuan utama paper, studi kasus, angka-angka penting, serta kritik dan rekomendasi, dengan mengaitkan pada tren tata kelola air global dan perkembangan teknologi.

DAS Tigris-Efrat dan Indus—Dua Sungai, Banyak Negara, Banyak Kepentingan

DAS Tigris-Efrat

  • Membentang dari Turki (hulu), melintasi Suriah dan Irak, dengan sebagian kecil di Iran dan Arab Saudi.
  • Panjang Sungai Tigris: 1.800 km, luas DAS 221.000 km² (Iraq 56,1%, Turki 24,5%, Iran 19%, Suriah 0,4%).
  • Panjang Sungai Efrat: 2.786 km, luas DAS 440.000 km² (Iraq 47%, Turki 28%, Suriah 22%, sisanya Arab Saudi dan Yordania)1.
  • Sejak 1970-an, Turki membangun proyek ambisius GAP (22 bendungan besar, 19 PLTA), menurunkan aliran Tigris hingga 33% dan Efrat hingga 50% ke negara hilir1.

DAS Indus

  • Membentang dari Tibet (China), India, Pakistan, hingga Afghanistan.
  • Panjang: 2.900 km, luas DAS 1,1 juta km² (Pakistan 47%, India 39%, China 8%, Afghanistan 6%).
  • Indus Waters Treaty (IWT) 1960 antara India dan Pakistan adalah satu-satunya perjanjian formal, mengatur pembagian air dan pertukaran data bulanan12.
  • Namun, Afghanistan dan China tidak terlibat aktif dalam perjanjian maupun pertukaran data12.

Ketegangan dan Upaya Kerja Sama

Fragmentasi dan Ketidakpastian

  • Joint Technical Committee (JTC): Dibentuk 1980 (Turki-Irak), Suriah bergabung 1983. Selama 13 tahun, hanya 16 pertemuan, lalu terhenti karena gagal mencapai kesepakatan fundamental123.
  • MoU 2009, 2014, 2019: Ada beberapa nota kesepahaman, namun pertukaran data tetap minim dan Suriah sering dikecualikan124.
  • Dampak Proyek Hulu: Bendungan di Turki dan Iran menyebabkan penurunan debit air di Suriah dan Irak, menurunkan kualitas air, memicu krisis listrik di bendungan hilir seperti Tabaq (Suriah) dan Darbandikhan (Irak)12.

Indus: Kerja Sama Formal, Tapi Tidak Inklusif

  • Indus Waters Treaty (IWT) 1960: Mengatur pertukaran data harian debit sungai, penarikan air, dan proyek baru antara India dan Pakistan. Komisi Tetap (PIC) menjadi kanal komunikasi utama125.
  • Keterbatasan IWT: Tidak mengatur keterlibatan Afghanistan dan China, sehingga isu-isu DAS secara keseluruhan tidak terjangkau125.
  • Tekanan Lingkungan: Damming, ekstraksi berlebihan, dan perubahan iklim menyebabkan penurunan debit Indus di delta Pakistan dari 105.000 MCM (1932) menjadi hanya 12.000 MCM (1990-an), menyebabkan penyusutan mangrove, penurunan produksi ikan, dan intrusi air laut1.

Tantangan Utama: Hukum, Politik, dan Teknologi

1. Ketidakjelasan Hukum Internasional

  • Konvensi PBB 1997: Mengatur pertukaran data dan informasi, namun Turki dan China menolak mengikatkan diri pada hukum kebiasaan internasional ini, dengan alasan kedaulatan teritorial atas air di wilayahnya12.
  • Prinsip Persistent Objector: Turki secara eksplisit menyatakan tidak terikat hukum kebiasaan internasional, sementara China memilih pendekatan bilateral1.
  • Ketiadaan Institusi Bersama: Tidak ada lembaga independen lintas negara yang efektif untuk mengelola data dan informasi secara menyeluruh di kedua DAS13.

2. Tantangan Politik dan Sosial

  • Geopolitik dan Nasionalisme: Turki dan Iran menolak berbagi data secara transparan, memprioritaskan proyek nasional dan menyingkirkan komunitas lokal seperti Kurdi dari pengambilan keputusan13.
  • Konflik India-Pakistan: Meski IWT bertahan di tengah perang dan konflik, isu Kashmir dan ketegangan politik menghambat perluasan kerja sama dan pertukaran data lintas negara lain seperti Afghanistan15.
  • Kurangnya Keterlibatan Lokal: Data yang dipertukarkan antarnegara tidak dibuka ke publik atau komunitas lokal, menciptakan defisit transparansi dan kepercayaan12.

3. Tantangan Teknis

  • Keterbatasan Data Tradisional: Data hidrologi, kualitas air, dan dampak proyek seringkali hanya tersedia di institusi nasional dan tidak dibagikan secara lintas batas13.
  • Teknologi Modern: Platform global seperti NASA Reverb, USGS EarthExplorer, Sentinel EO Browser menyediakan data spasial resolusi tinggi (hingga milimeter), namun data kualitas air dan dampak proyek tetap sulit diakses tanpa kerja sama resmi12.
  • Kasus Proyek Tropis Iran: Proyek transfer air di perbatasan Iran-Irak tidak terdeteksi oleh satelit kecuali melalui dampak penurunan debit sungai, menunjukkan keterbatasan remote sensing tanpa data lapangan1.

Dampak Lingkungan dan Sosial: Studi Angka dan Fakta

  • Penurunan Debit Tigris-Efrat: Proyek bendungan di hulu menurunkan debit Tigris hingga 33% dan Efrat hingga 50%, memperparah kekeringan dan krisis air di Irak dan Suriah1.
  • Kerusakan Delta Indus: Debit Indus di delta Pakistan turun drastis, menyebabkan hilangnya 4.856 km² lahan pertanian, penyusutan mangrove, dan intrusi air laut1.
  • Dampak Sosial: GAP di Turki telah menggusur lebih dari 350.000 orang hingga 2004, tanpa konsultasi dengan komunitas lokal seperti Kurdi1.
  • Risiko Bencana: Bendungan di zona seismik (misal Ataturk Dam) meningkatkan risiko gempa dan banjir besar jika terjadi kegagalan struktur1.

Peluang dan Solusi: Teknologi, Reformasi Hukum, dan Inklusi Sosial

1. Reformasi Hukum dan Kelembagaan

  • Reformasi Perjanjian: Pembaruan atau perluasan perjanjian seperti IWT agar melibatkan Afghanistan dan China sangat penting untuk mencakup seluruh DAS Indus15.
  • Revitalisasi JTC: Menghidupkan kembali atau memperluas Joint Technical Committee di Tigris-Efrat dengan melibatkan Iran dan membentuk institusi independen lintas negara16.
  • Contoh Mekong: Vietnam sebagai negara hilir aktif berbagi data dan mendorong kerja sama di Mekong bisa dijadikan model1.

2. Optimalisasi Teknologi

  • Data Spasial dan Real-Time: Penggunaan data satelit, DEM, LiDAR, dan sensor real-time dapat meningkatkan akurasi pemantauan debit, kualitas air, dan dampak lingkungan12.
  • Platform Kolaboratif: ICIMOD’s Upper Indus Basin Network (UIBN) dan Indus Basin Knowledge Forum menyediakan platform berbagi data digital, namun efektivitasnya tergantung pada komitmen negara peserta1.
  • Keterbukaan Data: Data yang dikumpulkan harus dibuka tidak hanya antarnegara, tetapi juga bagi publik dan komunitas lokal untuk membangun kepercayaan dan transparansi12.

3. Inklusi Sosial dan Keterlibatan Lokal

  • Transparansi Data: Keterlibatan masyarakat lokal dalam akses data dan pengambilan keputusan sangat penting untuk membangun legitimasi dan mencegah konflik12.
  • Pendidikan dan Kesadaran: Edukasi masyarakat tentang risiko dan perubahan lingkungan dapat meningkatkan partisipasi dan mitigasi dampak sosial-ekologis1.

Analisis Kritis dan Perbandingan

Paper ini menegaskan bahwa tantangan utama bukan hanya pada aspek teknis, tetapi terutama pada kemauan politik dan kerangka hukum yang jelas. Meski teknologi telah memungkinkan pemantauan lintas batas secara independen, tanpa kerja sama formal dan transparansi, data tersebut sulit diterjemahkan menjadi kebijakan yang adil dan berkelanjutan. Studi lain juga menyoroti pentingnya memperbarui perjanjian lama agar responsif terhadap perubahan iklim dan dinamika geopolitik baru5.

Relevansi dengan Tren Global dan Industri

Isu pertukaran data sungai lintas batas kini menjadi perhatian utama dalam tata kelola air global, sejalan dengan SDG 6.5 tentang kerja sama air lintas negara. Industri energi, pertanian, dan pangan di kawasan ini sangat bergantung pada stabilitas pasokan air, sehingga keterbukaan data menjadi kunci mitigasi risiko bisnis dan lingkungan. Digitalisasi data, sensor real-time, dan platform kolaboratif lintas negara kini menjadi tren utama dalam pengelolaan DAS global.

Rekomendasi Strategis

  1. Perluasan dan Reformasi Perjanjian: Melibatkan seluruh negara riparian dalam perjanjian baru yang responsif terhadap tantangan iklim dan teknologi.
  2. Optimalisasi Teknologi dan Keterbukaan Data: Mengintegrasikan data satelit, sensor real-time, dan platform digital dalam sistem pemantauan bersama yang terbuka.
  3. Peningkatan Kapasitas dan Inklusi Sosial: Melatih dan melibatkan masyarakat lokal dalam pemantauan dan pengambilan keputusan.
  4. Penguatan Lembaga Bersama: Membentuk institusi lintas negara yang independen untuk mengelola data, memediasi konflik, dan merumuskan kebijakan bersama.

Menuju Tata Kelola Sungai Lintas Batas yang Inklusif dan Adaptif

Ketidakjelasan hukum, fragmentasi politik, dan minimnya pertukaran data menjadi akar masalah di DAS Tigris-Efrat dan Indus. Namun, kemajuan teknologi membuka peluang baru untuk membangun kerja sama yang lebih transparan, adil, dan berkelanjutan. Reformasi kelembagaan, optimalisasi teknologi, dan keterlibatan masyarakat lokal menjadi kunci menuju tata kelola sungai lintas batas yang adaptif terhadap tantangan masa depan. Paper ini menjadi referensi penting bagi pembuat kebijakan, peneliti, dan praktisi yang ingin membangun masa depan air yang damai dan berkeadilan di kawasan paling rawan konflik di dunia.

Sumber artikel :
Qaraman M. Hasan, Sarkawt Ghazi Salar, Durgeshree Raman, Sam Campbell, Ibrahim Qasim Palani. "When the law is unclear: challenges and opportunities for data and information exchange in the Tigris-Euphrates and Indus river basins." Water Policy Vol 25 No 8, 2023, pp. 780–796.

Selengkapnya
Ketidakjelasan Hukum dan Tantangan Pertukaran Data di DAS Tigris-Efrat dan Indus

Sumber Daya Air

Menyibak Tantangan dan Peluang Tata Kelola Air untuk Ketahanan Pangan Kanada

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Air, Pangan, dan Masa Depan Kanada

Air adalah fondasi kehidupan dan pilar utama ketahanan pangan. Namun, di tengah perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan tekanan global pada sumber daya alam, tata kelola air menjadi isu strategis yang tidak bisa diabaikan. Laporan “Water 101” yang disusun oleh Nicolas Mesly dan tim dari Canadian Agri-Food Policy Institute (CAPI) ini hadir sebagai referensi komprehensif mengenai status, tantangan, dan implikasi kebijakan air di Kanada—khususnya untuk sektor pertanian dan industri pangan. Dengan memadukan data, studi kasus, dan analisis kebijakan, paper ini sangat relevan untuk pembuat kebijakan, pelaku industri, dan masyarakat luas yang peduli pada masa depan pangan dan lingkungan12.

Latar Belakang: Kanada, Negeri Kaya Air tapi Tak Bebas Risiko

Fakta Kunci

  • Kanada memiliki salah satu cadangan air tawar terbesar di dunia: 76.897 m³/orang/tahun (2018), jauh di atas Amerika Serikat (8.622 m³/orang/tahun) dan rata-rata dunia (5.658 m³/orang/tahun)12.
  • Hanya 1,56% lahan pertanian Kanada yang diairi—bandingkan dengan India (38%) dan AS (5,79%)12.
  • Sektor pertanian hanya menyerap 12% dari total pengambilan air tawar di Kanada, dibandingkan 41% di AS dan 55% di Brasil12.
  • Produksi pangan Kanada sangat efisien, didukung ketersediaan air melimpah dan teknologi modern, sehingga mampu menjadi eksportir pangan utama dunia.

Studi Kasus: Quebec – Krisis dan Kolaborasi dalam Tata Kelola Air

Tantangan di Quebec

Quebec adalah produsen utama susu dan babi di Kanada, dengan 75% hasil jagung dan kedelai digunakan untuk pakan ternak. Namun, intensifikasi pertanian menyebabkan polusi air yang signifikan, terutama oleh limpasan fosfor dan pestisida. Di Missisquoi Bay, Danau Champlain, 630 usaha tani Quebec (menguasai 30% wilayah) dan pertanian Vermont (24%) menyebabkan akumulasi fosfor tinggi, memicu ledakan alga biru-hijau (cyanobacteria) yang merugikan 50.000 penduduk lokal dan wisatawan12.

Upaya Kolaborasi

Pada 2002, Quebec dan Vermont menandatangani kesepakatan untuk menurunkan kadar fosfor di danau, dengan target 25 mikrogram/liter. Quebec bertanggung jawab atas 40% dan Vermont 60% pengurangan. Meski upaya telah dilakukan, target belum tercapai hingga 2016, dan perjanjian baru diperbarui pada 2021. Kolaborasi lintas batas ini menunjukkan pentingnya tata kelola air bersama untuk mengatasi masalah polusi pertanian dan menjaga ekosistem lintas negara12.

Air dan Industri Pangan: Efisiensi, Energi, dan Daya Saing

Konsumsi Air di Industri Pangan

  • Hanya 7% dari total konsumsi air industri di Kanada digunakan untuk pengolahan makanan12.
  • Sumber utama air di industri pangan adalah air minum kota, diikuti air permukaan yang diambil sendiri.
  • Tren efisiensi: Konsumsi air industri pangan turun dari 733 juta m³ (2013) ke 509 juta m³ (2017), berkat teknologi penghematan air dan target efisiensi perusahaan besar seperti Kraft Heinz dan Maple Leaf Foods.

Peran Energi dan Daya Saing

Kanada memiliki keunggulan biaya listrik rendah, terutama berkat hidroelektrik di Quebec (9,97¢/kWh di Montreal, jauh lebih murah dari Boston/New York yang hampir 30¢/kWh). Hal ini membuat Kanada sangat menarik bagi investasi industri pangan, seperti pabrik protein kacang terbesar dunia di Manitoba milik Roquette12.

Virtual Water Footprint dan Perdagangan Global

Konsep Virtual Water

Virtual water adalah jumlah air yang “terkandung” dalam produk pangan, termasuk proses irigasi, pengolahan, dan air dalam produk akhir. Kanada adalah net exporter virtual water sebesar 63 miliar m³, terutama lewat ekspor canola dan gandum. Sebagai perbandingan, Brasil mengekspor 181 miliar m³ (terbesar dunia), sedangkan Tiongkok adalah net importer terbesar (193 miliar m³)12.

Jejak Air Komoditas

  • Beef: 15.415 liter/kg (tertinggi)
  • Sheep meat: 10.411 liter/kg
  • Cereals: 1.644 liter/kg
  • Oil crops: 2.364 liter/kg
  • Pulses: 4.055 liter/kg

Jejak air tinggi pada daging sapi dan domba disebabkan efisiensi pakan yang rendah. Kanada, dengan ekspor besar biji-bijian dan canola, berkontribusi pada konservasi air global lewat perdagangan virtual water12.

Monitoring dan Kualitas Air: Sistem, Tantangan, dan Inovasi

Monitoring Air Tanah dan Permukaan

  • Ontario: 521 sumur dalam jaringan monitoring air tanah provinsi.
  • Quebec: 263 sumur, terutama di selatan dekat Sungai Saint Lawrence.
  • Nova Scotia: 40 sumur, fokus pada wilayah intensif pertanian.
  • British Columbia: 226 sumur air tanah, 116 titik monitoring air permukaan.

Krisis Walkerton (Ontario, 2000) menyoroti pentingnya monitoring air tanah: kontaminasi E. coli dari limbah ternak menewaskan 7 orang. Sejak itu, monitoring dan regulasi air tanah diperkuat di seluruh provinsi12.

Indeks Kualitas Air

Indeks kualitas air pertanian Kanada menurun dari 92 (“desired”) pada 1981 menjadi 74 (“good”) di 2011. Penurunan terbesar disebabkan oleh peningkatan nitrogen dan fosfor dari pertanian intensif12.

Polusi Nutrien: Nitrogen, Fosfor, dan Eutrofikasi

  • Nitrogen: Skor indeks turun dari 88 (1981) ke 74 (2016); risiko tertinggi di Alberta, Saskatchewan, dan Manitoba.
  • Fosfor: Skor indeks terendah, belum pernah masuk kategori “desired”; risiko tertinggi di Manitoba selatan dan Ontario selatan.
  • Dampak: Eutrofikasi dan ledakan alga di danau-danau besar seperti Lake Erie dan Lake Winnipeg, menyebabkan hipoksia dan krisis air minum (misal, Toledo, Ohio, 2014: 500.000 orang terdampak).

Praktik dan Regulasi

  • Best Management Practices (BMPs): Pengelolaan residu tanaman, konservasi tillage, cover crops, dan rotasi tanaman diadopsi untuk menekan limpasan nutrien.
  • Regulasi provinsi: Variatif, misal, Quebec mewajibkan laporan tahunan fosfor, Alberta mewajibkan inkorporasi pupuk kandang dalam 48 jam, sebagian besar provinsi melarang aplikasi pupuk di musim dingin.

Tata Kelola Air: Fragmentasi, Koordinasi, dan Perjanjian Lintas Batas

Sistem Multi-Level

Air di Kanada adalah urusan bersama: provinsi mengelola air di wilayahnya, pemerintah federal menangani air di tanah federal, cadangan First Nations, dan lintas batas. Banyak perjanjian lintas provinsi dan negara, seperti:

  • Boundary Waters Treaty (1909): Kanada-AS, mengatur sungai lintas negara.
  • Great Lakes Water Quality Agreement (1972): Kanada-AS, memantau 9 indikator prioritas di lima Danau Besar.
  • Master Agreement on Apportionment (1969): Alberta, Saskatchewan, Manitoba, mengatur pembagian air sungai lintas provinsi.
  • Mackenzie River Basin Master Agreement (1997): British Columbia, Alberta, Saskatchewan, NWT, Yukon, dan Kanada.

Studi Kasus: Missisquoi Bay, Danau Champlain

Kerjasama Quebec-Vermont untuk menurunkan fosfor di Missisquoi Bay menjadi contoh penting tata kelola lintas negara. Target 0,025 mg/liter fosfor belum tercapai, namun perjanjian diperbarui pada 2021, menandakan pentingnya komitmen jangka panjang dan adaptasi kebijakan12.

Studi Kasus Tambahan: Inovasi dan Tantangan di Berbagai Provinsi

  • Alberta: 12 distrik irigasi kelola 8.000 km pipa dan kanal, mengairi 625.000 ha, menghasilkan $5,4 miliar aktivitas ekonomi/tahun (28% GDP agri-food Alberta).
  • Saskatchewan: 30 distrik irigasi, 42.000 ha lahan, fokus pada diversifikasi tanaman bernilai tinggi.
  • Manitoba: 16% sumur pedesaan melebihi batas nitrat, risiko kesehatan meningkat.
  • British Columbia: Grant program untuk upgrade fasilitas air kota menurunkan input fosfor ke danau hingga 92,5%.
  • Prince Edward Island: 46% air tanah untuk domestik, hanya 2,2% untuk irigasi pertanian.

Analisis Kritis dan Perbandingan

Kelebihan Laporan

  • Komprehensif: Mengulas aspek teknis, ekonomi, kebijakan, dan sosial tata kelola air di Kanada.
  • Data dan Studi Kasus: Didukung data statistik, peta, dan studi kasus nyata dari berbagai provinsi.
  • Relevansi Global: Menyoroti isu virtual water, perdagangan pangan, dan kolaborasi lintas batas yang juga menjadi perhatian dunia.

Tantangan dan Kritik

  • Fragmentasi kebijakan: Tidak ada strategi nasional tunggal; tiap provinsi punya regulasi dan monitoring berbeda, menyulitkan koordinasi dan standarisasi.
  • Ketimpangan distribusi air: Meski rata-rata per kapita tinggi, distribusi tidak merata—beberapa wilayah sangat rentan kekeringan dan polusi.
  • Krisis kualitas air: Polusi nutrien dan pestisida dari pertanian intensif masih menjadi masalah utama yang belum terselesaikan secara sistemik.

Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan

  1. Perlu Strategi Air Nasional: Kanada perlu menyusun strategi nasional untuk monitoring, pelaporan, dan mitigasi risiko air, terutama terkait pertanian dan perubahan iklim.
  2. Penguatan Kolaborasi Lintas Batas: Perjanjian lintas provinsi dan negara harus diperkuat, diperbarui, dan dilengkapi dengan sistem monitoring bersama.
  3. Inovasi Teknologi dan Praktik Pertanian: Adopsi BMPs, teknologi efisiensi air, dan digitalisasi monitoring harus dipercepat untuk menekan polusi dan meningkatkan efisiensi.
  4. Transparansi dan Edukasi Publik: Data kualitas dan kuantitas air harus terbuka, mudah diakses, dan didukung edukasi publik untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi.
  5. Pendanaan dan Insentif: Program pendanaan seperti SCAP (Sustainable Canadian Agricultural Partnership) harus difokuskan pada inisiatif konservasi air dan inovasi pertanian berkelanjutan.

Menuju Ketahanan Air dan Pangan Berkelanjutan

“Water 101” menegaskan bahwa Kanada, meski kaya air, tidak kebal terhadap risiko kelangkaan, polusi, dan fragmentasi tata kelola. Dengan tantangan perubahan iklim dan tekanan global pada pangan, strategi nasional, inovasi, dan kolaborasi lintas sektor menjadi kunci untuk menjaga ketahanan air dan pangan. Laporan ini menjadi panggilan bagi pembuat kebijakan, pelaku industri, dan masyarakat untuk bergerak bersama menuju masa depan yang lebih aman, adil, dan berkelanjutan.

Sumber Artikel 

Nicolas Mesly, Al Mussell, Angèle Poirier. Water 101 Research Report. Canadian Agri-Food Policy Institute (CAPI), March 2023.

Selengkapnya
Menyibak Tantangan dan Peluang Tata Kelola Air untuk Ketahanan Pangan Kanada

Sumber Daya Air

Mengurai Keterkaitan Keamanan Air, Risiko, dan Pertumbuhan Ekonomi: Wawasan dari Model Sistem Dinamis

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Air, Risiko, dan Perangkap Kemiskinan

Air adalah fondasi pembangunan peradaban, namun kelangkaan dan risiko terkait air—seperti banjir, kekeringan, dan penyakit—masih menjadi ancaman utama bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan manusia. Paper ini menawarkan terobosan pemikiran dengan mengembangkan model sistem dinamis yang mengintegrasikan investasi air, risiko lingkungan, dan pertumbuhan ekonomi dalam satu kerangka analitis. Dengan menggabungkan aspek produktif dan protektif dari investasi air, penulis mengajak pembaca memahami bagaimana negara-negara bisa terjebak dalam “poverty trap” atau justru melesat menuju pertumbuhan berkelanjutan, tergantung pada strategi investasinya.

Kerangka Teoritis: Investasi Air sebagai Penggerak Ganda Ekonomi

Dualitas Investasi Air

Investasi air berdampak pada ekonomi melalui dua jalur utama:

  • Meningkatkan produktivitas sektor-sektor intensif air (pertanian, energi, industri).
  • Mengurangi kerugian akibat bahaya air (banjir, kekeringan, penyakit).

Studi empiris menunjukkan bahwa infrastruktur air menyumbang 10–15% dari total infrastruktur di Amerika Serikat. Namun, kontribusi nyata investasi air terhadap pertumbuhan ekonomi seringkali sulit diukur secara statistik karena interaksi kompleks antara investasi, risiko, dan pertumbuhan.

Definisi Water Security

Mengacu pada Grey & Sadoff (2007), keamanan air adalah “ketersediaan air dengan kuantitas dan kualitas yang dapat diterima untuk kesehatan, mata pencaharian, ekosistem, dan produksi, disertai tingkat risiko air yang dapat diterima bagi manusia, lingkungan, dan ekonomi.”

Model Sistem Dinamis: Menyatukan Produktivitas, Risiko, dan Pertumbuhan

Struktur Model

Model ini terdiri dari dua persamaan diferensial nonlinier yang melacak:

  • K(t): Kekayaan nasional pada waktu t.
  • N(t): Investasi pada aset terkait air pada waktu t.

Model memperhitungkan:

  • Return on investment dari aset air (meningkatkan produktivitas).
  • Kerugian akibat risiko air (mengurangi kekayaan dan aset).
  • Trade-off investasi: Modal yang diinvestasikan pada air tidak bisa digunakan di sektor lain pada periode yang sama.

Fungsi Investasi Optimal

Penulis menguji tiga bentuk fungsi investasi, namun menemukan bahwa fungsi berbentuk inverted-U (parabola terbalik) paling realistis:

  • Pada tahap awal, investasi air meningkat seiring kebutuhan produktivitas dan mitigasi risiko.
  • Setelah titik optimal tercapai, tambahan investasi air justru menurunkan pertumbuhan ekonomi karena marginal return menurun.

Studi Kasus dan Simulasi: Trajektori Negara dan Perangkap Kemiskinan

Studi Kasus 1: Colorado River Basin, Amerika Serikat

  • Kondisi awal: Kekayaan dan endowmen air sedang.
  • Intervensi: Investasi besar pada irigasi dan bendungan sejak awal 1900-an (Newlands Reclamation Act, proyek Bureau of Reclamation).
  • Hasil: Pembangunan 180 proyek, mendukung 31 juta penduduk, biaya >$20 miliar, irigasi 4,5 juta acre, pertumbuhan kota besar (Denver, LA, Phoenix).
  • Dampak: Menstabilkan variabilitas iklim, mendukung pertumbuhan ekonomi, tapi juga menimbulkan degradasi lingkungan (delta Colorado di Meksiko tinggal <10% luas aslinya).
  • Pelajaran: Investasi air yang terarah mampu mengangkat ekonomi dari stagnasi menuju pertumbuhan, namun perlu diimbangi dengan perlindungan lingkungan.

Studi Kasus 2: Indus River Basin, Pakistan

  • Kondisi awal: Kekayaan dan endowmen air rendah, risiko tinggi.
  • Fakta: Sistem irigasi terbesar di dunia (60.000 km kanal, 16,45 juta ha lahan). Irigasi menyumbang 22% GDP, 54% tenaga kerja, 70% ekspor.
  • Masalah: Penurunan stok air per kapita dari 5.260 (1951) ke 1.032 m³ (2016), hanya 10% potensi hydropower dikembangkan, sering terjadi banjir besar (2010: 20 juta terdampak, 2.500 tewas, GDP turun 6%).
  • Konflik: Ketergantungan pada air dari India (Indus Waters Treaty 1960), persaingan pembangunan bendungan dan PLTA.
  • Pelajaran: Tanpa investasi besar dan kerjasama lintas negara, risiko air dapat menyeret ekonomi ke perangkap kemiskinan.

Studi Kasus 3: Rhine Basin, Eropa

  • Kondisi awal: Endowmen air cukup, kekayaan rendah (abad ke-18–19).
  • Strategi: Investasi awal pada navigasi dan land reclamation, diikuti industrialisasi dan pengembangan infrastruktur air.
  • Dampak: Pertumbuhan ekonomi pesat, namun meningkatkan risiko banjir dan polusi.
  • Adaptasi: Setelah banjir besar (1993, 1995), Belanda mengadopsi pendekatan Adaptation Tipping Points (ATP) untuk menilai efektivitas strategi air di bawah perubahan iklim.
  • Pelajaran: Investasi air yang cerdas dan adaptif mendorong pertumbuhan, namun harus terus dievaluasi agar tidak menciptakan risiko baru.

Hasil Model: S-Curve, Tipping Point, dan Poverty Trap

S-Curve Pertumbuhan

Model menunjukkan bahwa dengan fungsi investasi inverted-U, pertumbuhan ekonomi dan keamanan air mengikuti pola S-curve:

  • Fase awal: Pertumbuhan lambat karena investasi awal besar dibutuhkan untuk keluar dari risiko air.
  • Fase menengah: Pertumbuhan cepat saat investasi air dan ekonomi saling memperkuat.
  • Fase matang: Pertumbuhan melambat karena marginal return menurun, kebutuhan investasi air berkurang.

Poverty Trap (Perangkap Kemiskinan)

  • Negara dengan kekayaan dan endowmen air rendah, serta risiko tinggi, sangat rentan jatuh ke perangkap kemiskinan.
  • Tanpa investasi eksternal atau inovasi besar, ekonomi akan stagnan, kerentanan terhadap bencana air meningkat, dan kesejahteraan tidak membaik.
  • Lokasi tipping point (batas antara pertumbuhan dan stagnasi) sangat sensitif terhadap parameter seperti biaya investasi air, efisiensi, dan besarnya risiko.

Sensitivitas Model

  • Semakin besar kebutuhan investasi air (N₀/K₀), semakin besar peluang negara terjebak poverty trap.
  • Semakin tinggi return investasi air (rₘₐₓ), semakin mudah keluar dari perangkap.
  • Mengurangi kerugian akibat risiko air (kₑ, k_w) sangat efektif menggeser tipping point ke arah pertumbuhan.

Implikasi Kebijakan: Investasi Air sebagai Strategi Pertumbuhan dan Ketahanan

1. Kombinasi Investasi Fisik dan Institusional

  • Investasi air tidak hanya soal infrastruktur fisik, tetapi juga penguatan institusi, human capital, dan sistem informasi.
  • Contoh: Sistem distribusi air kota yang baik meningkatkan kesehatan, produktivitas, dan daya saing industri.

2. Pentingnya Risk Reduction

  • Investasi pada sanitasi, pengelolaan limbah, dan perlindungan ekosistem sama pentingnya dengan bendungan dan irigasi.
  • Asuransi, re-asuransi, dan catastrophe bonds dapat membantu mendistribusikan risiko secara finansial.

3. Adaptasi terhadap Perubahan Iklim

  • Negara dengan variabilitas iklim tinggi harus berinvestasi lebih besar pada infrastruktur adaptif dan sistem peringatan dini.
  • Inovasi teknologi dan efisiensi penggunaan air dapat menurunkan biaya investasi air.

4. Kebijakan Pro-Growth dan Pro-Resilience

  • Kebijakan optimal menggabungkan investasi di sektor air dan non-air untuk mempercepat pertumbuhan dan memperkuat ketahanan.
  • Negara yang hanya fokus pada satu sisi (produktivitas atau proteksi) rentan stagnasi atau kerentanan baru.

Opini, Kritik, dan Perbandingan dengan Penelitian Lain

Kelebihan Paper

  • Model inovatif: Mengintegrasikan produktivitas dan risiko dalam satu kerangka dinamis.
  • Studi kasus nyata: Colorado, Indus, dan Rhine memperkaya pemahaman kontekstual.
  • Relevansi kebijakan: Memberi panduan konkret bagi negara berkembang dan maju dalam merancang investasi air.

Kritik

  • Kurang data kuantitatif mikro: Model masih bersifat makro dan normatif, belum membedah dinamika di tingkat rumah tangga atau komunitas.
  • Tidak membahas aspek sosial-politik secara mendalam: Konflik distribusi, peran gender, dan dinamika politik lokal hanya disentuh sekilas.
  • Tidak mengakomodasi eksternalitas lingkungan jangka panjang secara penuh: Degradasi ekosistem akibat investasi air besar-besaran perlu kajian lebih lanjut.

Perbandingan

  • Sejalan dengan studi Barbier (2004) tentang hubungan inverted-U antara investasi air dan pertumbuhan.
  • Memperluas pemikiran Grey & Sadoff (2007) soal water security dengan menambahkan aspek dinamika risiko dan tipping point.
  • Melengkapi literatur poverty trap (Dasgupta, Sachs) dengan fokus pada sektor air.

Hubungan dengan Tren Industri dan Global

  • SDG 6 (Air Bersih dan Sanitasi): Paper ini sangat relevan untuk strategi pencapaian SDG 6 dan integrasi air dalam agenda pembangunan nasional.
  • Nature-based Solutions dan Adaptasi Iklim: Model ini dapat dikembangkan untuk menguji efektivitas investasi pada solusi berbasis alam.
  • Finansialisasi risiko air: Asuransi, re-asuransi, dan catastrophe bonds kini makin penting dalam manajemen risiko air global.

Jalan Menuju Pertumbuhan Inklusif dan Tangguh

Paper ini menegaskan bahwa investasi air—baik fisik maupun institusional—adalah kunci keluar dari perangkap kemiskinan dan mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Namun, investasi harus dirancang adaptif, berbasis risiko, dan mempertimbangkan trade-off antara produktivitas dan perlindungan lingkungan. Negara yang gagal mengelola risiko air akan terjebak stagnasi, sementara yang cerdas berinvestasi dapat melesat menuju kemakmuran dan ketahanan.

Sumber Artikel

Simon Dadson, Jim W. Hall, Dustin Garrick, Claudia Sadoff, David Grey, Dale Whittington. Water security, risk, and economic growth: Insights from a dynamical systems model. Water Resources Research, 53, 6425–6438, 2017. doi:10.1002/2017WR020640

Selengkapnya
Mengurai Keterkaitan Keamanan Air, Risiko, dan Pertumbuhan Ekonomi: Wawasan dari Model Sistem Dinamis

Sumber Daya Air

Water Governance in Tanzania – A Synthesis of Legal and Institutional Frameworks for Groundwater Management in the Upper Great Ruaha River Catchment

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Air Tanah sebagai Penyangga Ketahanan di Era Krisis Iklim

Air tanah kini diakui sebagai sumber vital untuk mengatasi kelangkaan air akibat perubahan iklim dan pertumbuhan penduduk, baik di negara maju maupun berkembang. Di Tanzania, khususnya di wilayah Upper Great Ruaha River Catchment (UGRRC), air tanah menjadi tumpuan utama bagi kebutuhan domestik, pertanian, dan ekonomi lokal. Namun, paper karya Devotha Baltazary Mosha ini menyoroti bahwa pengelolaan air tanah di Tanzania masih menghadapi tantangan besar pada level kebijakan, kelembagaan, dan implementasi di lapangan. Dengan studi kasus di Usangu Plains, paper ini membedah detail kerangka hukum, kelembagaan, serta realitas sosial-ekonomi yang membentuk tata kelola air tanah di Tanzania.

Konteks Global dan Regional: Urgensi Tata Kelola Air Tanah

Secara global, air tanah menyumbang lebih dari 50% pasokan air kota, 43% irigasi pertanian, dan 40% kebutuhan industri. Di Sub-Sahara Afrika, 80% pasokan air domestik bersumber dari air tanah, sedangkan di India mencapai 60% untuk irigasi. Di Tanzania sendiri, air tanah memasok lebih dari 25% kebutuhan domestik, dan menjadi sumber utama di kawasan kering seperti Dodoma, Dar es Salaam, Shinyanga, Simiyu, Arusha, Mara, Kilimanjaro selatan, dan Usangu Plains. Namun, eksploitasi air tanah di Tanzania masih rendah, banyak sumber belum dikembangkan, dan mayoritas masyarakat mengandalkan sumur gali sederhana yang rentan tercemar1.

Metodologi: Studi Lapangan dan Analisis Kualitatif

Penelitian ini menggabungkan tinjauan literatur, analisis kebijakan, serta studi kasus lapangan di tiga desa utama Usangu Plains: Nyeregete, Ubaruku, dan Mwaluma. Data dikumpulkan melalui wawancara dengan 15 informan kunci (pejabat desa, pengelola air, tokoh adat, dan pejabat distrik), serta Focus Group Discussions (FGD) di tiap desa dengan total hingga 35 peserta per FGD. Topik diskusi meliputi alokasi, akses, penggunaan, dan pengelolaan air tanah, serta persepsi masyarakat terhadap regulasi dan kelembagaan1.

Temuan Lapangan: Pola Penggunaan, Ketergantungan, dan Praktik Lokal

Pola Penggunaan Air Tanah

  • 96% rumah tangga menggunakan air tanah untuk kebutuhan domestik.
  • 47% untuk ternak, 62% untuk pembuatan batu bata, dan 33% untuk irigasi kebun belakang.
  • Hampir 100% warga mengakses air tanah di musim kemarau, baik dari sumur dalam (lebih dari 60 meter, dengan pelindung semen) maupun sumur dangkal.
  • Konsumsi air per orang bervariasi: 30–50 liter/hari di Ubaruku, 25–40 liter/hari di Nyeregete dan Mwaluma.
  • Penggunaan irigasi air tanah umumnya terbatas untuk pembibitan padi (November–Desember) dan kebun hortikultura.

Studi Kasus: Mont Fort Secondary School

Sekolah menengah ini, dikelola Gereja Katolik sejak 1998, menggunakan air tanah untuk irigasi hortikultura, menunjukkan potensi pemanfaatan air tanah secara kolektif dan produktif di sektor pendidikan1.

Kerangka Hukum dan Kelembagaan: Kebijakan, Regulasi, dan Fragmentasi

Kebijakan dan Regulasi Utama

  • National Water Policy (2002) dan Water Resource Management Act No. 11 (2009) menjadi payung utama tata kelola air Tanzania.
  • Empat tujuan kebijakan: konservasi, penyediaan air berkualitas, kelembagaan efektif, dan sistem pengelolaan berkelanjutan.
  • Regulasi 2013 mewajibkan izin (water permit) untuk sumur dalam, sementara sumur dangkal untuk kebutuhan domestik dibebaskan dari izin.
  • Air tanah didefinisikan sebagai aset publik, dikelola negara, dan harus terintegrasi dengan prinsip IWRM (Integrated Water Resources Management).

Tantangan Implementasi

  • Regulasi lebih fokus pada air permukaan; air tanah sering diabaikan dalam perencanaan, pendanaan, dan pengawasan.
  • Banyak pengguna air tanah—termasuk sekolah, gereja, dan investor—tidak memiliki izin resmi, memandang air tanah sebagai hak atas tanah pribadi.
  • Proses perizinan rumit dan mahal: bisa memakan waktu hingga 9 bulan, biaya perjalanan ke kantor basin hingga 250 km.
  • Kelembagaan terfragmentasi: Terdapat River Basin Offices (RBO) dan Board di setiap basin, namun koordinasi antar dinas, pemerintah lokal, dan asosiasi pengguna air lemah, terutama untuk air tanah.

Studi Kasus Usangu Plains: Kesenjangan Regulasi dan Praktik

Realitas di Lapangan

  • Meski aturan mewajibkan izin untuk sumur dalam, banyak warga dan institusi tetap mengebor tanpa izin karena proses birokrasi yang sulit dan mahal.
  • Asosiasi pengguna air lebih fokus pada air permukaan, sementara pengelolaan air tanah cenderung dibiarkan pada inisiatif individu.
  • Banyak warga menganggap air tanah adalah “anugerah Tuhan” atau hak atas tanah, bukan sumber daya publik yang harus diatur negara.

Dampak Sosial dan Ekonomi

  • Over-abstraction: Pengambilan air tanah tanpa kontrol menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas air, serta potensi konflik antarpengguna.
  • Ketidakadilan akses: Kelompok kaya dan institusi besar lebih mudah mengebor sumur dalam, sementara warga miskin mengandalkan sumur dangkal yang rentan kering dan tercemar.
  • Rendahnya kesadaran: Minimnya edukasi dan sosialisasi menyebabkan rendahnya kepatuhan pada regulasi dan lemahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan air tanah.

Tantangan Utama Tata Kelola Air Tanah di Tanzania

1. Penegakan Hukum Lemah

  • Banyak pelanggaran aturan akibat lemahnya pengawasan dan nepotisme di tingkat desa.
  • Proses perizinan yang lama dan birokratis membuat warga enggan mengurus izin, sehingga banyak sumur tidak terdaftar.

2. Kekurangan Sumber Daya Manusia dan Kapasitas Teknis

  • Rufiji River Basin Office hanya memiliki sekitar 20 staf untuk wilayah seluas 173.000 km².
  • Setiap distrik rata-rata hanya punya satu insinyur air, menyebabkan lemahnya monitoring, inspeksi, dan penegakan aturan.

3. Keterbatasan Data dan Informasi

  • Hanya akuifer Makutupora di Dodoma yang terpetakan dengan baik; data tentang akuifer lain sangat minim.
  • Kurangnya data tentang kualitas, kuantitas, dan pola penggunaan air tanah menyulitkan perencanaan dan pengendalian eksploitasi.

4. Fragmentasi Kelembagaan dan Sentralisasi

  • Koordinasi antara kantor basin, pemerintah daerah, dan asosiasi pengguna air masih lemah.
  • Sentralisasi pengambilan keputusan sering mengabaikan pengetahuan lokal dan kebutuhan masyarakat akar rumput.

Analisis Kritis dan Nilai Tambah

Kelebihan Paper

  • Studi lapangan mendalam: Penulis berhasil menangkap realitas sosial-ekonomi dan kelembagaan secara detail melalui FGD dan wawancara.
  • Analisis kebijakan komprehensif: Paper membedah celah antara regulasi formal dan praktik nyata, serta mengidentifikasi akar masalah tata kelola air tanah.
  • Relevansi global: Temuan dan rekomendasi sangat relevan untuk negara berkembang lain yang menghadapi tantangan serupa.

Kritik dan Tantangan

  • Kurangnya data kuantitatif: Akan lebih kuat jika disertai data tren penurunan muka air tanah, volume eksploitasi, atau dampak ekonomi lebih rinci.
  • Implementasi rekomendasi: Banyak solusi yang diusulkan membutuhkan komitmen politik dan reformasi kelembagaan yang belum tentu mudah diwujudkan.

Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan

  1. Integrasi Regulasi Air Permukaan dan Air Tanah
    Kebijakan dan hukum air harus mengintegrasikan pengelolaan kedua sumber secara setara, bukan hanya fokus pada air permukaan.
  2. Penyederhanaan dan Digitalisasi Perizinan
    Proses izin sumur dalam perlu dipermudah, didukung sistem digital, dan layanan di tingkat kecamatan/desa.
  3. Peningkatan Kapasitas SDM dan Pendanaan
    Investasi pada pelatihan, rekrutmen staf teknis, dan pendanaan monitoring sangat penting untuk pengawasan efektif.
  4. Sosialisasi dan Edukasi Masyarakat
    Kampanye kesadaran tentang pentingnya izin, konservasi, dan pengelolaan kolektif air tanah harus digencarkan, melibatkan tokoh adat dan agama.
  5. Penguatan Kelembagaan Lokal dan Partisipasi
    Asosiasi pengguna air harus diperluas cakupannya ke air tanah, dengan peran aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan.
  6. Pengembangan Data dan Sistem Informasi Terbuka
    Pemetaan akuifer, monitoring kualitas dan kuantitas, serta sistem data terbuka harus menjadi prioritas untuk mendukung pengambilan keputusan berbasis bukti.

Hubungan dengan Tren Global dan Industri

  • Integrated Water Resources Management (IWRM) kini menjadi standar global, menuntut pengelolaan terpadu air permukaan dan air tanah.
  • Teknologi digital dan sistem informasi spasial semakin penting untuk monitoring dan pengelolaan sumber daya air.
  • Sustainable groundwater governance menjadi isu utama di negara berkembang, terutama di kawasan rentan perubahan iklim.

Jalan Panjang Menuju Tata Kelola Air Tanah Berkelanjutan

Paper ini menegaskan bahwa meski Tanzania telah memiliki kerangka hukum dan kelembagaan yang cukup baik, implementasi di lapangan masih lemah akibat fragmentasi, keterbatasan kapasitas, dan rendahnya kesadaran masyarakat. Reformasi tata kelola air tanah harus dimulai dari integrasi kebijakan, penguatan kelembagaan, peningkatan kapasitas, dan edukasi publik. Hanya dengan langkah sistemik dan kolaboratif, air tanah dapat tetap menjadi penyangga ketahanan ekonomi dan sosial Tanzania di masa depan.

Sumber Artikel 

Mosha, D. B. (2024). Water Governance in Tanzania – A Synthesis of Legal and Institutional Frameworks for Groundwater Management in the Upper Great Ruaha River Catchment. East African Journal of Environment and Natural Resources, 7(1), 112-123 .

Selengkapnya
Water Governance in Tanzania – A Synthesis of Legal and Institutional Frameworks for Groundwater Management in the Upper Great Ruaha River Catchment

Sumber Daya Air

Human Right to Water in the Helmand Basin: Setting a Path for the Conflict Settlement between Afghanistan and Iran

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Krisis Air dan Hak Asasi di Perbatasan Afghanistan-Iran

Kawasan Asia Barat Daya, khususnya sepanjang Sungai Helmand yang membentang dari Afghanistan ke Iran, menjadi panggung konflik air lintas negara yang telah berlangsung lebih dari satu abad. Paper ini mengupas secara mendalam bagaimana konflik pengelolaan Sungai Helmand berdampak pada pemenuhan hak asasi manusia atas air bagi jutaan penduduk di kedua negara, serta menelaah instrumen hukum nasional dan internasional yang dapat menjadi solusi damai dan berkeadilan.

Latar Belakang: Sungai Helmand, Sumber Kehidupan dan Sumber Konflik

Data dan Fakta Kunci

  • Helmand River: Mengalir sepanjang 1.150 km dari pegunungan Hindu Kush di Afghanistan ke Delta Sistan di Iran.
  • Debit rata-rata: 2.200 juta m³/tahun.
  • Penduduk terdampak: Lebih dari 400.000 jiwa di provinsi Sistan dan Baluchestan, Iran, serta ratusan ribu petani dan komunitas adat di Afghanistan.
  • Penggunaan air: 93% air Sungai Helmand di Afghanistan digunakan untuk irigasi pertanian, sisanya untuk kebutuhan domestik, industri, dan pembangkit listrik.
  • Dampak kekurangan air: Penurunan produksi pertanian, migrasi petani ke kota, kematian ternak, peningkatan biaya air dan pangan, desertifikasi, badai pasir, dan kerusakan ekosistem Danau Hamoun.

Sejarah Konflik dan Upaya Penyelesaian

Kronologi Perjanjian dan Sengketa

  • 1900-an: Perselisihan dimulai, Afghanistan menganggap Helmand sebagai sungai domestik, Iran menuntut hak atas aliran lintas batas.
  • Perjanjian 1950 & 1973: Afghanistan dan Iran menandatangani Helmand Water Agreement, mengatur alokasi air minimum ke Iran. Namun, implementasi sering mandek akibat instabilitas politik dan pembangunan dam di hulu (Kajaki, Kamal Khan).
  • 2001–2013: Iran mengadukan pemblokiran aliran air oleh Afghanistan ke PBB. Afghanistan menegaskan kebutuhan air untuk pertanian dan energi nasional.
  • 2019: Negosiasi baru menghasilkan kesepakatan pemasangan alat ukur debit air, namun distribusi tetap tidak stabil.

Analisis Hukum Nasional: Hak Atas Air di Iran dan Afghanistan

Iran

  • Konstitusi: Tidak secara eksplisit menyebut hak atas air, namun Pasal 45 menyatakan air sebagai milik publik di bawah kendali negara.
  • Charter on Citizens’ Rights (2016): Mengakui hak atas kehidupan layak, termasuk akses air bersih dan lingkungan sehat (Pasal 2 & 113).
  • Fair Distribution of Water Act (1983): Menetapkan kepemilikan publik atas air, pengelolaan oleh Kementerian Energi, dan prioritas penggunaan domestik.
  • Civil Code: Pasal 149-150 mengatur hak akses air untuk konsumsi pribadi.

Afghanistan

  • Konstitusi: Tidak eksplisit menyebut hak atas air, namun Pasal 9 menegaskan kewajiban negara mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan.
  • Civil Code: Menyatakan air sebagai milik publik, setiap orang berhak mengairi lahan pribadi selama tidak merugikan kepentingan umum.
  • Water Act: Prioritas utama alokasi air untuk kebutuhan domestik dan minum, diikuti pertanian, industri, dan energi. Pemerintah wajib melindungi dan mengelola air sebagai sumber daya bersama.

Studi Kasus: Dampak Krisis Air di Sistan dan Baluchestan, Iran

  • Penduduk: >400.000 jiwa sangat bergantung pada air Helmand untuk konsumsi, irigasi, dan sanitasi.
  • Krisis 2002–2013: Penurunan aliran air akibat pembangunan dam di Afghanistan menyebabkan Danau Hamoun mengering, produksi pertanian turun drastis, ribuan petani bermigrasi, dan terjadi badai pasir hebat.
  • Ekosistem: Hilangnya air mengancam keanekaragaman hayati, kematian massal satwa liar, dan rusaknya sistem danau-wetland yang menopang ekonomi lokal.
  • Akses air: Banyak desa harus mengandalkan air tangki keliling atau membeli air dengan harga mahal, meningkatkan beban ekonomi masyarakat miskin.

Instrumen Hukum Internasional dan Prinsip Kunci

Hak Atas Air di Kancah Internasional

  • Resolusi PBB 2010: Hak atas air minum yang aman dan sanitasi diakui sebagai hak asasi manusia.
  • General Comment No. 15 (CESCR, 2002): Negara wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas air, baik di dalam maupun lintas batas.
  • Prinsip-prinsip utama:
    • Equitable and Reasonable Use: Setiap negara berhak menggunakan air lintas batas secara adil, mempertimbangkan kebutuhan vital negara lain.
    • No-Harm Principle: Negara tidak boleh menyebabkan kerugian signifikan pada negara lain akibat pengelolaan air.
    • Duty to Consult & Information Exchange: Negara wajib berkonsultasi dan berbagi data sebelum mengambil tindakan yang berdampak pada negara lain.
    • Prioritas Kebutuhan Dasar: Dalam konflik penggunaan air, kebutuhan dasar manusia (drinking water, sanitasi, pangan) harus diutamakan.

Perjanjian dan Standar Relevan

  • Helmand Water Treaty (1973): Afghanistan wajib tidak mengurangi hak air Iran secara total maupun parsial.
  • UN Convention on the Law of the Non-navigational Uses of International Watercourses (1997): Menekankan prinsip equitable use, no-harm, dan konsultasi.
  • Berlin Rules (2004): Prioritas utama alokasi air untuk kebutuhan vital manusia.

Kewajiban Ekstrateritorial: Tanggung Jawab Lintas Negara

Paper ini menyoroti bahwa pelanggaran hak atas air di negara hilir (Iran) akibat tindakan negara hulu (Afghanistan) dapat menimbulkan tanggung jawab internasional. Negara hulu wajib:

  • Tidak menghalangi aliran air yang menjadi kebutuhan dasar negara hilir.
  • Menghindari pembangunan infrastruktur (dam, kanal) yang merugikan hak hidup dan ekonomi masyarakat di negara lain.
  • Melakukan konsultasi, berbagi data, dan transparansi dalam pengelolaan sungai lintas batas.

Studi Perbandingan: Praktik Global dalam Penyelesaian Konflik Air

  • Kasus AS-Meksiko (Sungai Colorado): Mekanisme komisi bersama, revisi berkala perjanjian, dan sistem monitoring debit air berhasil mengurangi konflik dan meningkatkan keadilan distribusi.
  • Perjanjian Mekong: Penetapan minimum environmental flow dan kewajiban konsultasi lintas negara sebagai syarat pembangunan dam baru.
  • India-Nepal (Mahakali Treaty): Penekanan pada kerjasama teknis, monitoring bersama, dan prioritas kebutuhan domestik.

Solusi dan Rekomendasi Kebijakan

1. Revisi dan Penguatan Perjanjian 1973

Perjanjian Helmand perlu diperbarui agar lebih responsif terhadap perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan kebutuhan ekologis. Komisi Delta Helmand harus diaktifkan dengan mandat yang jelas dan transparan.

2. Penguatan Infrastruktur dan Pengelolaan Bersama

Investasi bersama dalam pembangunan kanal, sistem irigasi efisien, dan pemantauan debit air akan mengurangi pemborosan dan meningkatkan keadilan distribusi.

3. Implementasi Integrated Water Resources Management (IWRM)

Pendekatan IWRM yang melibatkan kedua negara, masyarakat lokal, dan komunitas internasional dapat memaksimalkan manfaat ekonomi, sosial, dan ekologi tanpa mengorbankan hak dasar manusia.

4. Prioritaskan Hak Atas Air dalam Setiap Kebijakan

Setiap kebijakan, baik nasional maupun bilateral, harus menempatkan hak atas air sebagai prioritas utama, di atas kepentingan ekonomi atau politik jangka pendek.

5. Transparansi dan Partisipasi Publik

Kedua negara harus membuka akses data, melibatkan masyarakat terdampak dalam pengambilan keputusan, dan membangun sistem monitoring bersama yang dapat diaudit secara independen.

Analisis Kritis dan Opini

Kelebihan Paper

  • Pendekatan komprehensif: Menggabungkan analisis hukum nasional, internasional, dan studi kasus nyata.
  • Penekanan pada hak asasi manusia: Tidak sekadar membahas konflik air sebagai isu teknis, tapi menempatkan hak hidup dan kesejahteraan manusia sebagai inti solusi.
  • Solusi aplikatif: Rekomendasi berbasis praktik global dan prinsip hukum internasional.

Kritik dan Tantangan

  • Implementasi di lapangan: Meski prinsip hukum jelas, realisasi di kawasan yang rawan konflik dan instabilitas politik tetap menjadi tantangan besar.
  • Kurangnya data kuantitatif: Paper ini bisa lebih kuat dengan menambahkan data terbaru tentang debit air, dampak ekonomi, dan jumlah penduduk terdampak secara lebih rinci.
  • Peran masyarakat lokal: Keterlibatan komunitas lokal dalam negosiasi dan pengawasan masih minim, padahal mereka yang paling terdampak.

Hubungan dengan Tren Global

Konflik air lintas negara kini menjadi isu strategis di banyak kawasan dunia. Paper ini sangat relevan dengan tren global menuju pengakuan hak atas air sebagai hak asasi, integrasi IWRM, dan pentingnya tata kelola kolaboratif dalam menghadapi perubahan iklim dan pertumbuhan penduduk.

Kesimpulan: Hak Atas Air, Keadilan, dan Masa Depan Sungai Helmand

Paper ini menegaskan bahwa penyelesaian konflik air Helmand harus menempatkan hak atas air sebagai prioritas utama, di atas kepentingan politik atau ekonomi sempit. Kerjasama, transparansi, dan pembaruan perjanjian berbasis prinsip keadilan dan hak asasi manusia adalah kunci menuju solusi damai dan berkelanjutan. Pengalaman Helmand dapat menjadi pelajaran penting bagi negara lain yang menghadapi tantangan serupa di era krisis air global.

Sumber Artikel 

Farnaz Shirani Bidabadi and Ladan Afshari, ‘Human Right to Water in the Helmand Basin: Setting a Path for the Conflict Settlement between Afghanistan and Iran’ (2020) 16(2) Utrecht Law Review pp. 150–162.

Selengkapnya
Human Right to Water in the Helmand Basin: Setting a Path for the Conflict Settlement between Afghanistan and Iran
« First Previous page 8 of 23 Next Last »