Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Air Tanah sebagai Penyangga Ketahanan di Era Krisis Iklim
Air tanah kini diakui sebagai sumber vital untuk mengatasi kelangkaan air akibat perubahan iklim dan pertumbuhan penduduk, baik di negara maju maupun berkembang. Di Tanzania, khususnya di wilayah Upper Great Ruaha River Catchment (UGRRC), air tanah menjadi tumpuan utama bagi kebutuhan domestik, pertanian, dan ekonomi lokal. Namun, paper karya Devotha Baltazary Mosha ini menyoroti bahwa pengelolaan air tanah di Tanzania masih menghadapi tantangan besar pada level kebijakan, kelembagaan, dan implementasi di lapangan. Dengan studi kasus di Usangu Plains, paper ini membedah detail kerangka hukum, kelembagaan, serta realitas sosial-ekonomi yang membentuk tata kelola air tanah di Tanzania.
Konteks Global dan Regional: Urgensi Tata Kelola Air Tanah
Secara global, air tanah menyumbang lebih dari 50% pasokan air kota, 43% irigasi pertanian, dan 40% kebutuhan industri. Di Sub-Sahara Afrika, 80% pasokan air domestik bersumber dari air tanah, sedangkan di India mencapai 60% untuk irigasi. Di Tanzania sendiri, air tanah memasok lebih dari 25% kebutuhan domestik, dan menjadi sumber utama di kawasan kering seperti Dodoma, Dar es Salaam, Shinyanga, Simiyu, Arusha, Mara, Kilimanjaro selatan, dan Usangu Plains. Namun, eksploitasi air tanah di Tanzania masih rendah, banyak sumber belum dikembangkan, dan mayoritas masyarakat mengandalkan sumur gali sederhana yang rentan tercemar1.
Metodologi: Studi Lapangan dan Analisis Kualitatif
Penelitian ini menggabungkan tinjauan literatur, analisis kebijakan, serta studi kasus lapangan di tiga desa utama Usangu Plains: Nyeregete, Ubaruku, dan Mwaluma. Data dikumpulkan melalui wawancara dengan 15 informan kunci (pejabat desa, pengelola air, tokoh adat, dan pejabat distrik), serta Focus Group Discussions (FGD) di tiap desa dengan total hingga 35 peserta per FGD. Topik diskusi meliputi alokasi, akses, penggunaan, dan pengelolaan air tanah, serta persepsi masyarakat terhadap regulasi dan kelembagaan1.
Temuan Lapangan: Pola Penggunaan, Ketergantungan, dan Praktik Lokal
Pola Penggunaan Air Tanah
Studi Kasus: Mont Fort Secondary School
Sekolah menengah ini, dikelola Gereja Katolik sejak 1998, menggunakan air tanah untuk irigasi hortikultura, menunjukkan potensi pemanfaatan air tanah secara kolektif dan produktif di sektor pendidikan1.
Kerangka Hukum dan Kelembagaan: Kebijakan, Regulasi, dan Fragmentasi
Kebijakan dan Regulasi Utama
Tantangan Implementasi
Studi Kasus Usangu Plains: Kesenjangan Regulasi dan Praktik
Realitas di Lapangan
Dampak Sosial dan Ekonomi
Tantangan Utama Tata Kelola Air Tanah di Tanzania
1. Penegakan Hukum Lemah
2. Kekurangan Sumber Daya Manusia dan Kapasitas Teknis
3. Keterbatasan Data dan Informasi
4. Fragmentasi Kelembagaan dan Sentralisasi
Analisis Kritis dan Nilai Tambah
Kelebihan Paper
Kritik dan Tantangan
Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan
Hubungan dengan Tren Global dan Industri
Jalan Panjang Menuju Tata Kelola Air Tanah Berkelanjutan
Paper ini menegaskan bahwa meski Tanzania telah memiliki kerangka hukum dan kelembagaan yang cukup baik, implementasi di lapangan masih lemah akibat fragmentasi, keterbatasan kapasitas, dan rendahnya kesadaran masyarakat. Reformasi tata kelola air tanah harus dimulai dari integrasi kebijakan, penguatan kelembagaan, peningkatan kapasitas, dan edukasi publik. Hanya dengan langkah sistemik dan kolaboratif, air tanah dapat tetap menjadi penyangga ketahanan ekonomi dan sosial Tanzania di masa depan.
Sumber Artikel
Mosha, D. B. (2024). Water Governance in Tanzania – A Synthesis of Legal and Institutional Frameworks for Groundwater Management in the Upper Great Ruaha River Catchment. East African Journal of Environment and Natural Resources, 7(1), 112-123 .
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Krisis Air dan Hak Asasi di Perbatasan Afghanistan-Iran
Kawasan Asia Barat Daya, khususnya sepanjang Sungai Helmand yang membentang dari Afghanistan ke Iran, menjadi panggung konflik air lintas negara yang telah berlangsung lebih dari satu abad. Paper ini mengupas secara mendalam bagaimana konflik pengelolaan Sungai Helmand berdampak pada pemenuhan hak asasi manusia atas air bagi jutaan penduduk di kedua negara, serta menelaah instrumen hukum nasional dan internasional yang dapat menjadi solusi damai dan berkeadilan.
Latar Belakang: Sungai Helmand, Sumber Kehidupan dan Sumber Konflik
Data dan Fakta Kunci
Sejarah Konflik dan Upaya Penyelesaian
Kronologi Perjanjian dan Sengketa
Analisis Hukum Nasional: Hak Atas Air di Iran dan Afghanistan
Iran
Afghanistan
Studi Kasus: Dampak Krisis Air di Sistan dan Baluchestan, Iran
Instrumen Hukum Internasional dan Prinsip Kunci
Hak Atas Air di Kancah Internasional
Perjanjian dan Standar Relevan
Kewajiban Ekstrateritorial: Tanggung Jawab Lintas Negara
Paper ini menyoroti bahwa pelanggaran hak atas air di negara hilir (Iran) akibat tindakan negara hulu (Afghanistan) dapat menimbulkan tanggung jawab internasional. Negara hulu wajib:
Studi Perbandingan: Praktik Global dalam Penyelesaian Konflik Air
Solusi dan Rekomendasi Kebijakan
1. Revisi dan Penguatan Perjanjian 1973
Perjanjian Helmand perlu diperbarui agar lebih responsif terhadap perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan kebutuhan ekologis. Komisi Delta Helmand harus diaktifkan dengan mandat yang jelas dan transparan.
2. Penguatan Infrastruktur dan Pengelolaan Bersama
Investasi bersama dalam pembangunan kanal, sistem irigasi efisien, dan pemantauan debit air akan mengurangi pemborosan dan meningkatkan keadilan distribusi.
3. Implementasi Integrated Water Resources Management (IWRM)
Pendekatan IWRM yang melibatkan kedua negara, masyarakat lokal, dan komunitas internasional dapat memaksimalkan manfaat ekonomi, sosial, dan ekologi tanpa mengorbankan hak dasar manusia.
4. Prioritaskan Hak Atas Air dalam Setiap Kebijakan
Setiap kebijakan, baik nasional maupun bilateral, harus menempatkan hak atas air sebagai prioritas utama, di atas kepentingan ekonomi atau politik jangka pendek.
5. Transparansi dan Partisipasi Publik
Kedua negara harus membuka akses data, melibatkan masyarakat terdampak dalam pengambilan keputusan, dan membangun sistem monitoring bersama yang dapat diaudit secara independen.
Analisis Kritis dan Opini
Kelebihan Paper
Kritik dan Tantangan
Hubungan dengan Tren Global
Konflik air lintas negara kini menjadi isu strategis di banyak kawasan dunia. Paper ini sangat relevan dengan tren global menuju pengakuan hak atas air sebagai hak asasi, integrasi IWRM, dan pentingnya tata kelola kolaboratif dalam menghadapi perubahan iklim dan pertumbuhan penduduk.
Kesimpulan: Hak Atas Air, Keadilan, dan Masa Depan Sungai Helmand
Paper ini menegaskan bahwa penyelesaian konflik air Helmand harus menempatkan hak atas air sebagai prioritas utama, di atas kepentingan politik atau ekonomi sempit. Kerjasama, transparansi, dan pembaruan perjanjian berbasis prinsip keadilan dan hak asasi manusia adalah kunci menuju solusi damai dan berkelanjutan. Pengalaman Helmand dapat menjadi pelajaran penting bagi negara lain yang menghadapi tantangan serupa di era krisis air global.
Sumber Artikel
Farnaz Shirani Bidabadi and Ladan Afshari, ‘Human Right to Water in the Helmand Basin: Setting a Path for the Conflict Settlement between Afghanistan and Iran’ (2020) 16(2) Utrecht Law Review pp. 150–162.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Tantangan Investasi Air di Era Krisis dan Ketidakpastian
Krisis air global semakin nyata, ditandai dengan kekeringan, banjir, polusi, dan tekanan perubahan iklim yang mengancam keberlanjutan pasokan air bersih. Di Eropa dan dunia, kebutuhan investasi infrastruktur air—baik untuk suplai, sanitasi, irigasi, maupun pengendalian banjir—terus meningkat, sementara sumber pembiayaan publik semakin terbatas, dan biaya modal naik. Paper OECD “Water Investment Planning and Financing” (Helen Laubenstein & Xavier Leflaive, 2024) membedah bagaimana perencanaan investasi air yang strategis, adaptif, dan berbasis pathway dapat meningkatkan efisiensi, ketahanan, dan daya tarik sektor air bagi pembiayaan swasta. Artikel ini sangat relevan di tengah tren global perubahan iklim, urbanisasi, dan kebutuhan akan kolaborasi lintas sektor untuk mencapai target SDG 6 (air bersih dan sanitasi).
Latar Belakang: Skala Tantangan dan Kebutuhan Investasi
Angka-angka Kunci
Perencanaan Investasi dalam Ketidakpastian: Dari Risiko ke Resiliensi
1. Resilience Thinking dan Adaptive Planning
Tradisi lama perencanaan air mengandalkan pendekatan risk-based, yakni membangun infrastruktur tangguh menghadapi skenario ekstrem berdasarkan data historis. Namun, perubahan iklim dan dinamika sosial-ekonomi membuat pola lama tak lagi relevan. Paper ini menekankan pentingnya resilience-based approach: membangun sistem air yang adaptif, mampu pulih dari gangguan, dan fleksibel menghadapi masa depan yang tidak pasti.
Studi Kasus: Delta Programme, Belanda
Belanda mengembangkan Delta Programme dengan horizon perencanaan hingga 2100, didukung Delta Fund (rata-rata EUR 1,4 miliar/tahun untuk 2022–2035). Program ini mengintegrasikan pengelolaan banjir, suplai air, dan perencanaan spasial, serta mengadopsi prinsip solidaritas, fleksibilitas, dan keberlanjutan. Anggaran dialokasikan adaptif, dengan EUR 309 juta pada 2034 untuk prioritas baru yang muncul.
Studi Kasus: Water Resources Strategy, Inggris & Wales
Inggris menggunakan skenario berbasis tata kelola dan permintaan, dikombinasikan proyeksi iklim untuk tiap river basin. Penilaian kebutuhan e-flows (environmental flows) menjadi kunci dalam menentukan berapa banyak air yang harus tetap tersedia untuk ekologi sungai, bukan hanya kebutuhan manusia.
2. Integrasi Iklim dan Ketidakpastian dalam Perencanaan
Banyak negara Eropa belum sepenuhnya memasukkan proyeksi perubahan iklim dalam RBMPs mereka. Hanya sekitar setengah negara yang memasukkan kekeringan sebagai faktor utama, dan sedikit yang punya Drought Management Plans. Analisis biaya-manfaat sering hanya menghitung “avoided damage”, jarang memasukkan nilai ekosistem dan co-benefits dari solusi berbasis alam (nature-based solutions/NbS).
Dari Proyek ke Pathway: Paradigma Baru Investasi Air
1. Pentingnya Investment Pathways
Pendekatan tradisional yang hanya fokus pada proyek individual sering gagal menangkap sinergi, eksternalitas, dan manfaat jangka panjang. Strategic Investment Pathways (SIPs) adalah rangkaian investasi yang dirancang dan dikelola secara adaptif, memperhitungkan urutan, sinergi, dan dampak agregat dari berbagai proyek dalam satu sistem air.
Studi Kasus Global
2. Lima Langkah SIPs
3. Analitik dan Tools Pendukung
Pembiayaan: Menutup Gap dengan Inovasi dan Kolaborasi
1. Tantangan Pembiayaan
2. Solusi dan Inovasi Pembiayaan
a. Monetisasi Manfaat dan Revenue Stream
b. Blended Finance dan De-risking
c. Peran Intermediaries dan Platform
d. Asuransi dan Risk Financing
Studi Kasus dan Angka-angka
Analisis Kritis dan Perbandingan
Kelebihan Paper
Kritik dan Tantangan
Hubungan dengan Tren Global
Rekomendasi Kebijakan dan Implikasi Industri
Kesimpulan: Masa Depan Investasi Air – Adaptif, Inovatif, dan Kolaboratif
Paper ini menegaskan bahwa investasi air di era ketidakpastian membutuhkan pendekatan baru yang adaptif, berbasis pathway, dan kolaboratif. Dengan SIPs, negara dan pelaku industri dapat merancang portofolio investasi yang tangguh, efisien, dan menarik bagi pembiayaan swasta. Inovasi instrumen keuangan, penguatan enabling environment, dan integrasi kebijakan lintas sektor adalah kunci menuju sistem air yang berkelanjutan. Tanpa transformasi ini, gap investasi dan risiko sistemik akan terus membesar. Namun, dengan strategi yang tepat, masa depan air yang tangguh dan inklusif sangat mungkin diwujudkan.
Sumber Artikel
Helen Laubenstein, Xavier Leflaive. Water investment planning and financing. OECD Environment Working Paper No. 237, ENV/WKP(2024)7, Organisation for Economic Co-operation and Development, 2024.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Krisis Kelangkaan Air di Eropa dan Tantangan Ekonomi Global
Air adalah sumber daya vital yang semakin langka di banyak kawasan dunia, termasuk Eropa. Paper “The Economics of Water Scarcity” karya Xavier Leflaive dari OECD ini membedah secara komprehensif status ketersediaan air, permintaan, dan pengaruh perubahan iklim di Uni Eropa (UE). Dengan menyoroti instrumen ekonomi, kebijakan, serta studi kasus nyata, paper ini menawarkan analisis mendalam tentang bagaimana kelangkaan air dapat dikelola secara efektif melalui kombinasi kebijakan permintaan, alokasi, dan insentif harga. Artikel ini sangat relevan di tengah tren global perubahan iklim, urbanisasi, dan tekanan pada sumber daya air yang semakin intens.
Status Ketersediaan dan Permintaan Air di Eropa: Angka dan Fakta Kunci
Ketersediaan Air: Ketimpangan Regional dan Musiman
Eropa secara umum memiliki sumber air tawar melimpah, namun distribusinya sangat tidak merata. Negara seperti Kroasia, Finlandia, Norwegia, dan Swedia memiliki ketersediaan air per kapita di atas 10.000 m³/tahun, sementara Siprus, Ceko, Malta, dan Polandia sudah masuk kategori water stress dengan ketersediaan di bawah 1.700 m³/kapita/tahun. Di beberapa negara seperti Denmark, lebih dari 99% air yang digunakan berasal dari air tanah, sedangkan Malta sangat bergantung pada air laut yang didesalinasi.
Permintaan Air: Dominasi Sektor Pertanian dan Energi
Dampak Perubahan Iklim: Stres Air dan Kerugian Ekonomi
Studi Kasus: Kebijakan dan Praktik Pengelolaan Air di Eropa dan Dunia
Studi Kasus 1: Efektivitas Harga dan Elastisitas Permintaan Air
Studi Kasus 2: Pengelolaan Air Pertanian dan Kolektif di Prancis
Studi Kasus 3: Inovasi Water Reuse di Israel
Studi Kasus 4: Nature-Based Solutions (NbS) di Polandia
Instrumen Ekonomi dan Kebijakan Pengelolaan Kelangkaan Air
1. Manajemen Permintaan: Kombinasi Harga dan Non-Harga
2. Augmentasi Pasokan: Reuse, Desalinasi, dan NbS
3. Alokasi Air: Regime yang Adaptif dan Berkeadilan
4. Abstraction Charges: Insentif Ekonomi dan Tantangan Implementasi
5. Agro-environmental Schemes dan Payment for Ecosystem Services (PES)
Analisis Kritis dan Nilai Tambah
Kelebihan Paper
Kritik dan Tantangan
Hubungan dengan Tren Global
Paper ini sangat relevan dengan tren ekonomi sirkular, transisi energi bersih (yang justru meningkatkan kebutuhan air di beberapa sektor), dan integrasi kebijakan iklim-lingkungan. Prinsip nature-based solutions dan eco-schemes kini menjadi arus utama dalam kebijakan air dan pertanian global.
Rekomendasi Kebijakan dan Implikasi Industri
Kesimpulan: Menata Ulang Ekonomi Air untuk Masa Depan Berkelanjutan
Paper ini menegaskan bahwa kelangkaan air adalah tantangan multidimensi yang membutuhkan solusi ekonomi, teknis, dan sosial secara terpadu. Kebijakan harga, alokasi adaptif, inovasi reuse, dan nature-based solutions harus menjadi pilar utama pengelolaan air modern. Tanpa reformasi serius, Eropa (dan dunia) akan menghadapi risiko ekonomi, ekologi, dan sosial yang makin besar akibat kelangkaan air. Namun, dengan kombinasi kebijakan berbasis data dan insentif yang tepat, masa depan air yang berkelanjutan masih sangat mungkin diraih.
Sumber Artikel
Xavier Leflaive. The economics of water scarcity. OECD Environment Working Papers No. 239, ENV/WKP(2024)9, Organisation for Economic Co-operation and Development, 2024.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Air Tanah, Kunci Ketahanan di Asia Tengah
Air tanah di Asia Tengah, khususnya Uzbekistan, adalah sumber kehidupan yang menopang kebutuhan domestik, pertanian, dan industri di tengah iklim kering dan ketergantungan pada aliran sungai musiman dari gletser. Namun, pengelolaan air tanah di kawasan ini menghadapi tantangan besar: mulai dari over-ekstraksi, polusi, hingga kegagalan institusi dan lemahnya koordinasi antar lembaga. Paper karya Sylvia Schmidt, Ahmad Hamidov, dan Ulan Kasymov ini membedah kompleksitas tata kelola air tanah Uzbekistan dengan menggabungkan kerangka Social-Ecological Systems (SES) dan Informational Governance. Pendekatan ini menyoroti peran krusial informasi—atau seringnya, ketiadaan informasi—dalam keberhasilan atau kegagalan pengelolaan air tanah.
Kerangka Analisis: Integrasi SES dan Informational Governance
Penulis mengadaptasi kerangka SES Ostrom (2007) untuk menelaah interaksi manusia-lingkungan, dengan fokus pada subsistem: ekosistem terkait, pengaturan ekonomi dan sosial-politik, sistem sumber daya, unit sumber daya, aktor, interaksi, sistem tata kelola, dan outcome. Untuk memperdalam analisis, paper ini mengintegrasikan empat tema utama dari informational governance (Mol 2006):
Metodologi: Tinjauan Sistematis Literatur dan Studi Kasus Uzbekistan
Penelitian ini menggunakan tinjauan sistematis terhadap 54 sumber (artikel, laporan, bab buku) tentang tata kelola air tanah di Asia Tengah, dengan fokus khusus pada 14 sumber relevan untuk Uzbekistan. Analisis konten kualitatif digunakan untuk mengidentifikasi pola, tantangan, dan peluang dalam tata kelola serta penyebaran informasi air tanah.
Sumber Daya dan Penggunaan Air Tanah di Uzbekistan: Angka-angka Kunci
Studi Kasus: Tata Kelola Air Tanah dan Dampaknya
Aktor dan Interaksi
Aktor utama mencakup rumah tangga, petani, perusahaan industri, serta lembaga pemerintah dan lokal. Di tingkat komunitas, pengetahuan lokal (misal: “wise men” di mahalla) sering lebih diandalkan daripada pengetahuan teknis formal. Namun, interaksi antara aktor seringkali terhambat oleh keterbatasan akses informasi dan minimnya koordinasi.
Studi oleh Karimov dkk. (2022) menunjukkan bahwa irigasi berbasis air tanah memang menjamin ketepatan waktu penyiraman, namun membutuhkan biaya listrik dan tenaga kerja lebih tinggi dibanding irigasi gravitasi, sehingga petani didorong untuk efisiensi.
Sistem Tata Kelola: Regulasi, Monitoring, dan Sanksi
Kebijakan utama meliputi:
Namun, hanya sebagian kecil sumur yang terdaftar resmi. Banyak sumur didaftarkan ke pemerintah lokal atau penyedia listrik, bukan ke otoritas geologi nasional. Sumur kecil (<25 m, <5 m³/hari) tidak diatur secara formal.
Outcome: Over-ekstraksi, Salinisasi, dan Polusi
Informational Governance: Tantangan, Kesenjangan, dan Reformasi
Dinamika dan Mekanisme Informasi
Monitoring air tanah di Uzbekistan masih didominasi sistem negara yang sentralistik, berbasis sains alam, dan cenderung tertutup. Data tahunan hanya didistribusikan ke sekitar 40 lembaga pemerintah, tidak tersedia untuk publik. Sistem pelaporan formal dan informal berjalan paralel, menciptakan redundansi, inefisiensi, dan kebingungan.
Kekurangan data tentang penggunaan industri, tumpang tindih otoritas, dan menurunnya jumlah sumur observasi memperburuk ketidakpastian status air tanah. Distribusi sumur monitoring tidak merata, dan sering tidak cukup spesifik untuk kebutuhan lokal.
Ketidakpastian dan Multiple Knowledges
Variasi data antara sumur monitoring yang berdekatan menunjukkan adanya nugget variance (variabilitas kecil-skala) dan kemungkinan error pengukuran. Metode penilaian yang berbeda, kurangnya pertukaran informasi, serta adanya sistem pelaporan ganda menimbulkan “multiple knowledges” yang saling bertentangan. Hal ini menurunkan kepercayaan pengguna terhadap data dan menyulitkan perencanaan adaptasi.
Informasi tentang kondisi akuifer jarang tersedia bagi pengguna, sehingga masyarakat sulit mengambil tindakan kolektif atau adaptif. Pengetahuan lokal memang ada, namun sering tidak terintegrasi dengan data formal atau teknologi modern.
Power Constellations: Hierarki dan Monopoli Informasi
Penguasaan informasi oleh lembaga negara menciptakan hierarki dan monopoli, baik di tingkat nasional maupun lokal. Water Consumer Associations (WCA) yang seharusnya menjadi jembatan ke petani, justru lemah dalam pengambilan keputusan dan sering diintervensi pemerintah daerah. Sistem pewarisan otoritas dari era Soviet masih terasa, dengan dominasi negara dan minimnya ruang partisipasi masyarakat.
Ketergantungan pada ahli dan birokrasi memperkuat hierarki, sementara akses informal ke informasi hanya tersedia bagi mereka yang punya koneksi. Konflik kepentingan antara petani besar, industri, dan pengguna domestik sering tidak terselesaikan akibat lemahnya mekanisme koordinasi dan transparansi.
Desain Reformasi: Upaya dan Hambatan
Uzbekistan mulai menunjukkan minat pada reformasi tata kelola informasi air tanah, sejalan dengan tren global keterbukaan data dan Integrated Water Resources Management (IWRM). Beberapa langkah reformasi:
Namun, implementasi masih terbatas, koordinasi antarlembaga lemah, dan akses publik terhadap data tetap rendah. Monitoring dan penegakan hukum di sektor pertambangan dan pertanian masih perlu diperkuat.
Studi Kasus: Praktik Lokal dan Inovasi
Analisis Kritis dan Perbandingan
Kelebihan Paper
Kritik dan Tantangan
Hubungan dengan Tren Global
Paper ini sejalan dengan tren global menuju tata kelola air berbasis data terbuka, kolaborasi multi-pihak, dan integrasi teknologi digital. Praktik di Uzbekistan mencerminkan tantangan yang dihadapi banyak negara berkembang: ketergantungan pada sumber air tanah di tengah perubahan iklim, tekanan populasi, dan kebutuhan reformasi institusional.
Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan
Menuju Tata Kelola Air Tanah yang Adaptif dan Inklusif
Paper ini menegaskan bahwa keberhasilan tata kelola air tanah di Uzbekistan (dan Asia Tengah) sangat bergantung pada kualitas, keterbukaan, dan distribusi informasi. Tanpa perbaikan sistem informasi dan kolaborasi lintas aktor, risiko over-ekstraksi, polusi, dan konflik akan terus meningkat. Reformasi informational governance, integrasi pengetahuan lokal, dan digitalisasi adalah kunci menuju sistem air tanah yang tangguh dan berkelanjutan—sebuah pelajaran penting bagi negara-negara lain dengan tantangan serupa.
Sumber Artikel
Schmidt, S., Hamidov, A., & Kasymov, U. (2024). Analysing Groundwater Governance in Uzbekistan through the Lenses of Social-Ecological Systems and Informational Governance. International Journal of the Commons, 18(1), 203–217.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Sungai Brantas, Urat Nadi Sejarah dan Ekonomi Jawa Timur
Sungai Brantas bukan sekadar aliran air yang membelah Jawa Timur, melainkan juga saksi bisu perjalanan sejarah, ekonomi, dan budaya masyarakat di sekitarnya. Buku "Sungai Brantas dalam Sejarah dan Pariwisata" karya Endah Sri Hartatik dan Wasino menghadirkan narasi komprehensif tentang peran vital sungai ini dari masa kerajaan kuno, kolonialisme, hingga era modern. Dengan pendekatan sejarah dan studi kasus nyata, buku ini memperlihatkan bagaimana Brantas menjadi tulang punggung perdagangan, pertanian, dan kini bertransformasi menjadi daya tarik pariwisata.
Sungai Brantas Sebagai Jalur Perdagangan: Dari Kerajaan ke Kolonialisme
Masa Pra-Kolonial: Sungai sebagai Jalan Raya Peradaban
Sejak abad ke-8 Masehi, Sungai Brantas telah menjadi jalur utama penghubung pedalaman Jawa Timur dengan dunia luar. Prasasti Dinoyo (760 M) mencatat keberadaan kerajaan Medang di sekitar mata air Brantas di Batu, Malang. Sungai ini mengalir melewati Blitar, Kediri, hingga Mojokerto, lalu bercabang menjadi Kali Porong dan Kalimas, yang berujung di Surabaya. Di masa Sriwijaya, Brantas menjadi penghubung perdagangan antara Jawa dan Maluku, memperdagangkan beras dan rempah-rempah.
Pada masa Kerajaan Kediri, prasasti Pandelegan (1038 M) dan Waleri (1159 M) menegaskan pentingnya Brantas sebagai jalur niaga. Raja memberikan pembebasan pajak kepada desa-desa yang berperan dalam kelancaran perdagangan di sepanjang sungai. Prasasti Jaring (1181 M) bahkan menyebutkan pejabat Senapati Sarwajala, panglima angkatan laut, menandakan sungai ini juga strategis secara militer.
Masa Majapahit semakin mempertegas peran Brantas. Prasasti Gunung Butak (1294 M) menceritakan bagaimana Raden Wijaya memanfaatkan sungai ini untuk melarikan diri dari kejaran musuh. Prasasti Trowulan (1358 M) menyebutkan desa-desa penyeberangan di sepanjang Brantas yang dibebaskan pajak karena peran vitalnya dalam transportasi dan perdagangan. Catatan Tiongkok dari masa Laksamana Cheng Ho (1413 M) juga mengakui Surabaya sebagai pelabuhan air tawar di muara Brantas yang ramai oleh perahu dagang.
Masa Kolonial: Modernisasi dan Transformasi Ekonomi
Di bawah Belanda, Sungai Brantas dan cabangnya, khususnya Kalimas, menjadi urat nadi perdagangan dan transportasi. Surabaya berkembang sebagai pelabuhan utama, didukung oleh jaringan pelayaran sungai yang menghubungkan pedalaman dengan pelabuhan ekspor-impor. Pada abad ke-19, pelabuhan Kalimas dilengkapi fasilitas modern: dermaga sepanjang 2 km, 20 gudang, dan area penyimpanan seluas 30 hektar.
Pembangunan pelabuhan Surabaya (1911–1925) dengan anggaran f2.000.000,- menjadikannya pelabuhan paling efisien di Asia Tenggara. Data perdagangan menunjukkan surplus ekspor Surabaya mencapai puncak pada 1920, saat harga gula naik tajam, dengan nilai ekspor 447.558 ribu gulden dan impor 228.584 ribu gulden. Surplus perdagangan tahun itu hampir 1% dari total nilai perdagangan, angka yang belum pernah dicapai sebelumnya.
Sungai Brantas dan Pertanian: Irigasi, Modernisasi, dan Konflik
Masa Pra-Kolonial: Infrastruktur Tradisional dan Mitologi
Sejak abad ke-10, Brantas sudah menjadi sumber irigasi utama. Prasasti Turyan (929 M) dan Wulig (935 M) mencatat pembangunan bendungan dan saluran air untuk pertanian. Pada masa Airlangga (abad ke-11), pembangunan bendungan Waringin Sapto untuk mengendalikan banjir dan irigasi sawah menjadi prioritas. Prasasti Kusmala (1350 M) juga menyebut pembangunan empang batu untuk irigasi di daerah Kediri.
Mitologi Jawa, seperti kisah Mpu Bharada yang membelah tanah Jawa dengan kendi air, juga memperkuat posisi Brantas sebagai batas alam dan sumber kehidupan.
Masa Kolonial: Proyek Irigasi Raksasa dan Pengaruh Industri Gula
Kolonialisme Belanda membawa perubahan besar. Sejak Tanam Paksa (1830–1870), pembangunan irigasi menjadi prioritas untuk mendukung pertanian dan industri gula. Proyek Lengkong (1840–1890-an) menjadi salah satu yang terpenting, dengan biaya f10.000.000,- untuk mengairi 47.000 bahu sawah. Total proyek irigasi di Jawa hingga 1899 menelan dana f40.000.000,- dan mengairi lebih dari 1 juta bahu sawah.
Pabrik-pabrik gula berperan besar dalam pembiayaan dan pengelolaan irigasi. Pada 1910–1919, 86 perkebunan tebu mengeluarkan f5.643.336,- untuk irigasi. Waduk-waduk besar seperti Watudakon di Jombang-Mojokerto dan sistem kanal di Sidoarjo memperluas lahan pertanian dan meningkatkan produksi tebu.
Namun, sistem pembagian air sering menimbulkan konflik antara petani dan pengusaha tebu. Sistem "siang-malam" mengutamakan tebu pada siang hari dan petani pada malam hari, sering merugikan petani karena air sulit didapat. Data tahun 1933 menunjukkan dari 533 bahu sawah golongan keempat, 343 bahu (64%) gagal panen akibat sistem irigasi yang tidak adil.
Pasca Kemerdekaan: Rehabilitasi dan Proyek Serbaguna
Setelah kemerdekaan, warisan infrastruktur kolonial yang rusak akibat perang dan bencana alam, seperti letusan Gunung Kelud (1951), menuntut rehabilitasi besar-besaran. Pemerintah Indonesia meluncurkan proyek-proyek pengendalian banjir dan pembangunan bendungan, seperti Karangkates (1961–1973) dan Selorejo (1964–1973). Proyek-proyek ini tidak hanya untuk irigasi, tetapi juga pembangkit listrik, pengendalian banjir, dan penyediaan air baku.
Sungai Brantas untuk Pariwisata: Revitalisasi dan Potensi Ekonomi Baru
Wisata Sungai Kalimas di Surabaya
Di era modern, fungsi perdagangan dan transportasi Brantas menurun, namun potensinya sebagai destinasi wisata mulai digarap. Sungai Kalimas, anak cabang Brantas di Surabaya, menjadi fokus revitalisasi. Pemerintah Kota Surabaya bersama Balai Wilayah Sungai Brantas membuka wisata susur Kalimas, menawarkan pengalaman edukasi, sejarah, kuliner, dan belanja. Pengunjung dapat menikmati pemandangan pintu air kolonial, jembatan bersejarah, hingga monumen kapal selam.
Revitalisasi Kalimas juga melibatkan pembangunan taman-taman tematik di bantaran sungai, seperti Taman Prestasi, Taman Ekspresi, dan Taman BMX, yang menjadi ruang publik kreatif dan edukatif. Festival perahu dan event budaya di Kalimas menghidupkan kembali memori kejayaan sungai sebagai urat nadi kota.
Wisata Sungai Brantas di Malang
Di hulu, Kota Malang mengembangkan wisata pinggir Brantas dengan Festival Kali Brantas yang digelar setiap Hari Sungai Nasional. Acara seperti petik tirto amerto, parade kampung, dan pelepasan ikan endemik menjadi daya tarik tersendiri. Kampung tematik di bantaran Brantas juga menjadi destinasi wisata baru, menggabungkan edukasi lingkungan, seni, dan budaya lokal.
Potensi di Wilayah Lain
Kota-kota lain di sepanjang Brantas, seperti Blitar, Kediri, Mojokerto, dan Jombang, juga mulai mengembangkan wisata sungai dengan konsep heritage, ekowisata, dan festival budaya. Upaya ini tidak hanya meningkatkan ekonomi lokal, tetapi juga menumbuhkan kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian Brantas.
Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci
Analisis Kritis dan Nilai Tambah
Kelebihan Buku
Kritik dan Tantangan
Hubungan dengan Tren Industri dan Global
Revitalisasi sungai untuk pariwisata dan ruang publik kini menjadi tren di banyak kota dunia, dari Seoul (Cheonggyecheon) hingga Singapura (Singapore River). Upaya serupa di Brantas menunjukkan bahwa warisan sejarah dapat menjadi modal ekonomi baru jika dikelola berkelanjutan dan berbasis komunitas.
Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan
Brantas, Sungai Kehidupan yang Tak Pernah Padam
Buku ini membuktikan bahwa Sungai Brantas adalah urat nadi sejarah, ekonomi, dan budaya Jawa Timur. Dari jalur perdagangan kerajaan, tulang punggung pertanian kolonial, hingga destinasi wisata modern, Brantas terus bertransformasi mengikuti zaman. Tantangan masa depan adalah menjaga keberlanjutan sungai ini agar tetap menjadi sumber kehidupan dan inspirasi bagi generasi mendatang.
Sumber Artikel
Endah Sri Hartatik, Wasino. Sungai Brantas dalam Sejarah dan Pariwisata. Undip Press, 2022.