Sumber Daya Air

Konflik dan Kerjasama Atas Perairan Lintas Batas oleh Aaron T. Wolf

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 25 Juni 2025


Air adalah sumber daya vital yang melintasi batas-batas negara, menghubungkan lebih dari 300 sungai dan danau lintas negara di dunia. Dengan 40% populasi global bergantung pada sumber air lintas negara dan 145 negara memiliki wilayah dalam satu atau lebih DAS internasional, potensi konflik maupun kerja sama sangat besar. Paper Aaron T. Wolf “Conflict and Cooperation Over Transboundary Waters” (2006) menjadi salah satu rujukan utama untuk memahami dinamika, tantangan, dan peluang pengelolaan air lintas negara di era modern1.

Mengapa Air Lintas Negara Rentan Konflik?

Fakta dan Tantangan Global

  • Pertumbuhan penduduk, perubahan iklim, dan kebutuhan energi meningkatkan tekanan pada sumber air bersama.
  • Perbedaan kepentingan antarnegara sering kali memicu perselisihan, mulai dari pembangunan bendungan, diversifikasi aliran, hingga polusi lintas batas.
  • Ketimpangan kekuatan politik dan ekonomi antara negara hulu dan hilir memperumit negosiasi.

Wolf menegaskan bahwa walaupun potensi konflik tinggi, sejarah menunjukkan bahwa kerja sama lebih sering terjadi dibanding perang terbuka terkait air1.

Studi Kasus: Konflik dan Kerja Sama di Sungai Lintas Negara

1. Sungai Indus (India–Pakistan)

  • Indus Waters Treaty 1960 menjadi contoh sukses diplomasi air. Meski kedua negara sering berkonflik secara politik, perjanjian ini bertahan lebih dari 60 tahun dan tetap menjadi dasar pengelolaan air bersama.
  • Kunci keberhasilan: Adanya institusi bersama, mekanisme konsultasi, dan keterlibatan pihak ketiga (Bank Dunia) dalam mediasi1.

2. Sungai Ganges-Brahmaputra (India–Bangladesh–Nepal–Bhutan)

  • Persaingan pembangunan bendungan dan distribusi air sering memicu ketegangan, terutama pada musim kering.
  • Upaya kerja sama: Perjanjian dan komisi bersama mulai dibangun, meski implementasi masih menghadapi tantangan teknis dan politik.

3. Tigris-Euphrates (Turki–Suriah–Irak)

  • Pembangunan bendungan GAP di Turki mengurangi aliran ke Suriah dan Irak, menimbulkan ketegangan serius.
  • Belum ada perjanjian formal yang mengikat semua pihak, sehingga negosiasi masih berlangsung dan rawan konflik1.

Data dan Tren: Konflik vs. Kerja Sama

  • Potensi perang air sering dibesar-besarkan. Wolf mencatat bahwa dalam 50 tahun terakhir, insiden konflik bersenjata terkait air sangat jarang, sementara lebih dari 200 perjanjian kerja sama berhasil dicapai.
  • Biaya non-kooperasi sangat tinggi: Konflik air dapat memicu kerugian ekonomi, sosial, dan lingkungan, serta memperburuk ketidakstabilan regional.

Faktor Penentu: Mengapa Ada Konflik, Ada Kerja Sama?

1. Peran Institusi

  • Institusi formal seperti komisi bersama, perjanjian, dan mekanisme konsultasi menjadi kunci pencegah konflik.
  • Contoh: Sungai Indus dan Mekong River Commission menunjukkan pentingnya kelembagaan dalam menjaga stabilitas dan mendorong kolaborasi1.

2. Keadilan dan Persepsi Hak

  • Isu keadilan distribusi air sering menjadi pemicu ketegangan. Negara hilir biasanya menuntut hak historis, sementara negara hulu menuntut hak atas pembangunan.
  • Negosiasi yang adil dan transparan menjadi syarat utama keberlanjutan perjanjian.

3. Data dan Transparansi

  • Pertukaran data dan monitoring bersama menurunkan ketidakpastian, meningkatkan kepercayaan, dan mempercepat respons terhadap krisis.

Solusi dan Inovasi: Menuju Diplomasi Air Modern

1. Penguatan Kelembagaan

  • Pembentukan komisi bersama dan penguatan kapasitas institusi lokal menjadi prioritas utama.
  • Mediasi pihak ketiga (PBB, Bank Dunia) sering kali diperlukan untuk memecah kebuntuan negosiasi.

2. Integrasi Pengetahuan Tradisional

  • Wolf menekankan pentingnya menggabungkan pengetahuan lokal dan sains modern dalam pengelolaan air lintas negara.

3. Early Warning System

  • Pengembangan sistem peringatan dini berbasis data untuk mendeteksi potensi konflik dan peluang kerja sama sebelum krisis membesar.

Kritik dan Opini

  • Wolf mengkritik narasi “water wars” yang terlalu menyederhanakan realitas. Faktanya, kerja sama jauh lebih lazim, meski tantangan tetap besar, terutama di kawasan dengan institusi lemah.
  • Tantangan ke depan: Perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan pembangunan infrastruktur besar tetap menjadi ancaman, terutama di wilayah tanpa perjanjian formal.

Relevansi dengan Tren Global dan Industri

  • SDGs: Manajemen air lintas negara sangat terkait dengan SDG 6 (air bersih), SDG 16 (perdamaian dan keadilan), dan SDG 17 (kemitraan).
  • Digitalisasi: Data sharing, remote sensing, dan big data menjadi fondasi diplomasi air modern.
  • Ekonomi sirkular: Diplomasi air membuka peluang ekonomi baru, seperti perdagangan air virtual dan pasar kualitas air.

Kesimpulan: Air sebagai Jembatan Kolaborasi Global

Aaron T. Wolf melalui paper ini menegaskan bahwa air lintas negara lebih sering menjadi jembatan kolaborasi daripada pemicu perang. Kunci utama adalah kekuatan institusi, keadilan, data sharing, dan diplomasi multi-level. Transformasi konflik air menjadi peluang kolaborasi adalah tantangan dan peluang besar abad ke-21—dan Wolf telah memberikan fondasi konsep, data, dan praktik untuk mewujudkannya.

Sumber Artikel dalam Bahasa Asli (tanpa link):

Wolf, Aaron T. 2006. Conflict and Cooperation Over Transboundary Waters. New York.

Selengkapnya
Konflik dan Kerjasama Atas Perairan Lintas Batas oleh Aaron T. Wolf

Sumber Daya Air

Mengupas Ketahanan Air di Era Perubahan Lingkungan: Konsep, Tantangan, Studi Kasus, dan Solusi Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 25 Juni 2025


Ketahanan air (water security) kini menjadi isu strategis global, terutama di tengah tekanan perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, urbanisasi, dan perubahan sosial ekonomi. Artikel “Water Security in a Changing Environment: Concept, Challenges and Solutions” karya Mishra et al. (2021) memberikan tinjauan komprehensif tentang evolusi konsep ketahanan air, tantangan utama yang dihadapi, serta solusi berkelanjutan yang dapat diadopsi di berbagai skala12. Resensi ini mengupas isi paper, menyoroti studi kasus nyata, data penting, serta membandingkan pendekatan yang diusulkan dengan tren dan praktik di sektor air global.

Konsep Ketahanan Air: Definisi dan Evolusi

Ketahanan air didefinisikan sebagai kapasitas suatu populasi untuk menjamin akses berkelanjutan terhadap air dalam jumlah dan kualitas yang memadai guna mendukung kehidupan, kesejahteraan, pembangunan sosial ekonomi, serta perlindungan terhadap bencana terkait air dan kelestarian ekosistem dalam suasana damai dan stabil12. Konsep ini telah berkembang dari sekadar penyediaan air bersih menjadi pendekatan multidimensi yang meliputi aspek lingkungan, sosial, ekonomi, dan tata kelola.

Data Penting:

  • Lebih dari 1,1 miliar orang di dunia kekurangan akses air minum bersih.
  • Sekitar 2,6 miliar orang tidak memiliki fasilitas sanitasi dasar.
  • 1,2 miliar orang tinggal di wilayah yang mengalami kelangkaan air fisik, dan 1,6 miliar menghadapi kelangkaan air ekonomi12.

Tantangan Ketahanan Air di Era Perubahan Lingkungan

1. Tekanan Populasi dan Urbanisasi
Pertumbuhan penduduk dan urbanisasi pesat meningkatkan permintaan air, memperberat tekanan pada sistem pasokan dan pengelolaan air. Lebih dari 50% populasi dunia kini tinggal di kawasan urban, yang sering kali belum mampu menyediakan layanan air minimum bagi warganya12.

2. Perubahan Iklim dan Variabilitas Cuaca
Perubahan iklim meningkatkan frekuensi dan intensitas bencana terkait air seperti banjir, kekeringan, dan tanah longsor. Laporan IPCC menyebutkan 87% dampak perubahan iklim akan berpengaruh langsung pada infrastruktur air2.

3. Kualitas Air dan Polusi
Pencemaran air permukaan dan air tanah akibat limbah domestik, industri, dan pertanian memperburuk ketersediaan air layak konsumsi. Banyak kota besar di negara berkembang menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan limbah cair dan perlindungan sumber air12.

4. Tata Kelola dan Keterbatasan Infrastruktur
Kurangnya infrastruktur, lemahnya tata kelola, dan pendekatan sektoral yang kaku menjadi penghambat utama dalam pencapaian ketahanan air. Pendekatan lama yang terfragmentasi dinilai tidak lagi relevan untuk menghadapi tantangan baru2.

Studi Kasus Global: Solusi Praktis dan Angka-angka

1. Huaifang Underground Water Reclamation Plant, Beijing

Proyek ini merupakan fasilitas daur ulang air limbah bawah tanah seluas 31 hektar yang mampu menghasilkan air daur ulang untuk keperluan industri dan kota, serta mengurangi tekanan pada sungai Liangshui. Empat bioreaktor besar digunakan untuk mengolah air limbah hingga standar kualitas lingkungan kelas IV. Proyek ini juga memanfaatkan sludge sebagai pupuk dan penutup lahan, serta mengurangi polusi suara dan bau3.

2. Omdurman Water Supply Optimization, Sudan

Untuk mengatasi kekurangan air minum di Khartoum, Sudan, dibangun instalasi pengolahan air skala besar dengan intake inovatif di Sungai Nil. Struktur intake ini mampu menangani fluktuasi permukaan sungai hingga 8 meter dan beban sedimen besar selama musim hujan, memastikan pasokan air tetap stabil sepanjang tahun3.

3. AICCA Project di Andes (Peru, Bolivia, Kolombia)

Didukung dana $10 juta, proyek ini berfokus pada ketahanan air dan adaptasi perubahan iklim di komunitas Andean, dengan pendekatan berbasis ekosistem dan pelibatan masyarakat lokal untuk pengelolaan sumber daya air berkelanjutan3.

4. Guandu Water Producer Project, Brasil

Melalui mekanisme pembayaran jasa lingkungan, petani dan peternak di hulu Sungai Guandu diberi insentif untuk melakukan reforestasi dan menjaga hutan riparian. Hasilnya, kualitas air di Rio de Janeiro membaik, sekaligus mengurangi emisi karbon dan meningkatkan ketahanan iklim4.

5. Farmer-Led Irrigation Development (FLID) di Afrika

Ratusan ribu petani kecil di Kenya, Somalia, Malawi, dan Rwanda mengembangkan irigasi berbasis inisiatif petani sendiri. FLID didukung panduan praktis dari World Bank dan GWSP, mempercepat perluasan irigasi dengan solusi adaptif berbasis kebutuhan lokal5.

Paradigma Baru dan Solusi Berkelanjutan

Artikel ini menyoroti perlunya pergeseran paradigma dari solusi ad hoc menuju pendekatan terintegrasi berbasis tata kelola adaptif dan kolaboratif (polycentric governance), serta kombinasi solusi teknis (hard) dan non-teknis (soft)12.

Solusi Berbasis Tata Kelola Adaptif dan Kolaboratif

  • Polycentric Governance: Pengambilan keputusan melibatkan berbagai pemangku kepentingan di berbagai level (top-down dan bottom-up).
  • IWRM (Integrated Water Resources Management): Pendekatan lintas sektor yang mengintegrasikan dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan, meski implementasinya masih menjadi tantangan di banyak negara berkembang2.

Solusi Kombinasi Hard dan Soft

  • Daur Ulang dan Reuse Air: Pengolahan air limbah untuk irigasi, kebutuhan industri, dan recharge air tanah.
  • Teknologi Hemat Air: Penerapan irigasi tetes, monitoring cerdas, dan panen air hujan.
  • Modeling dan Forecasting: Penggunaan model hidrologi untuk prediksi dan mitigasi risiko air, dengan dukungan data dan kapasitas SDM yang memadai2.

Solusi Berbasis Alam (Nature-Based Solutions)

  • Restorasi Ekosistem: Reforestasi, perlindungan lahan basah, dan pengelolaan DAS berbasis partisipasi masyarakat.
  • Manajemen Lanskap: Pendekatan berbasis lanskap untuk meningkatkan retensi air, kualitas air, dan ketahanan terhadap bencana24.

Indikator dan Penilaian Ketahanan Air

Penilaian ketahanan air membutuhkan indikator kuantitatif dan kualitatif yang mencakup:

  • Ketersediaan dan akses air
  • Risiko dan variabilitas
  • Keadilan dan penghidupan
  • Ekosistem dan biodiversitas
  • Kelembagaan dan aktor

Framework Asian Water Development Outlook (AWDO) mengukur ketahanan air dalam lima dimensi: rumah tangga, ekonomi, urban, lingkungan, dan resiliensi terhadap bencana air2.

Perbandingan dengan Penelitian Lain dan Tren Industri

Artikel ini sejalan dengan tren global yang menekankan solusi terintegrasi, kolaboratif, dan berbasis alam. World Bank dan GWSP, misalnya, menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor, inovasi pembiayaan, dan peran swasta dalam mempercepat pencapaian SDG 6 (air bersih dan sanitasi)5. Sementara itu, pendekatan FLID di Afrika dan proyek-proyek berbasis ekosistem di Amerika Selatan menegaskan efektivitas solusi partisipatif dan berbasis lokal53.

Kritik dan Opini

Kekuatan utama paper ini adalah pendekatan holistik yang mengintegrasikan berbagai disiplin dan skala, serta penekanan pada solusi berkelanjutan dan adaptif. Namun, implementasi di lapangan seringkali terkendala oleh lemahnya kapasitas institusi, keterbatasan pendanaan, dan resistensi terhadap perubahan tata kelola. Paper ini juga menyoroti perlunya indikator yang lebih sensitif terhadap konteks lokal dan keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Ketahanan air adalah fondasi pembangunan berkelanjutan dan kunci pencapaian SDGs. Tantangan yang dihadapi sangat kompleks dan memerlukan solusi inovatif, adaptif, serta kolaboratif lintas sektor dan skala. Studi kasus global menunjukkan bahwa kombinasi antara tata kelola adaptif, solusi teknis dan non-teknis, serta pendekatan berbasis alam adalah kunci keberhasilan.

Rekomendasi:

  • Pemerintah dan pemangku kepentingan perlu memperkuat tata kelola air berbasis kolaborasi dan partisipasi publik.
  • Investasi pada infrastruktur hijau dan teknologi hemat air harus diprioritaskan.
  • Pengembangan indikator ketahanan air yang kontekstual dan partisipatif sangat penting.
  • Pembelajaran lintas negara dan adaptasi solusi berbasis lokal perlu terus didorong.

Sumber Artikel (Bahasa Asli)

Mishra, B.K.; Kumar, P.; Saraswat, C.; Chakraborty, S.; Gautam, A. Water Security in a Changing Environment: Concept, Challenges and Solutions. Water 2021, 13, 490.

Selengkapnya
Mengupas Ketahanan Air di Era Perubahan Lingkungan: Konsep, Tantangan, Studi Kasus, dan Solusi Berkelanjutan

Sumber Daya Air

Dinamika, Tantangan, dan Masa Depan Tata Kelola Air Global

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 24 Juni 2025


Air adalah sumber daya vital yang menopang kehidupan, ekonomi, dan stabilitas sosial. Namun, tekanan terhadap ketersediaan air bersih, polusi, dan bencana terkait air semakin meningkat akibat pertumbuhan penduduk, urbanisasi, perubahan iklim, dan degradasi lingkungan. Dalam konteks ini, paper “Water Law” karya Niko Soininen, Antti Belinskij, dan Suvi-Tuuli Puharinen (2023) menjadi referensi penting yang mengulas evolusi, keragaman, dan tantangan hukum air di tingkat nasional maupun global. Artikel ini tidak hanya membedah aspek legal formal, tetapi juga membangun jembatan antara hukum, kebijakan, dan tata kelola lintas sektor serta disiplin ilmu.

Definisi dan Ruang Lingkup Hukum Air: Dari Hak hingga Tata Kelola

Apa Itu Hukum Air?

Hukum air didefinisikan sebagai kumpulan aturan yang mengatur penggunaan, perlindungan, dan distribusi sumber daya air tawar. Cakupannya sangat luas, mencakup hak atas air (water rights), perlindungan lingkungan, pengelolaan bencana (banjir, kekeringan), serta pengaturan layanan air dan sanitasi. Hukum air juga mengatur hubungan antara aktor publik dan privat, serta antara negara dalam konteks lintas batas12.

Dua Perspektif Utama: Internal dan Eksternal

  • Perspektif Internal: Fokus pada interpretasi dan klarifikasi hak serta kewajiban dalam instrumen hukum yang ada, seperti perjanjian multilateral, undang-undang nasional, dan yurisprudensi. Perspektif ini menekankan sistematisasi, konsistensi, dan prediktabilitas hukum untuk otoritas dan pengadilan.
  • Perspektif Eksternal: Menganalisis bagaimana hukum air memfasilitasi atau justru menghambat tercapainya tujuan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Pendekatan ini menilai efektivitas, legitimasi, dan adaptasi hukum air terhadap perubahan sosial-ekologis, serta keterkaitannya dengan tata kelola kolaboratif dan adaptif12.

Sejarah dan Evolusi Hukum Air: Dari Hammurabi hingga Era Modern

Hukum air memiliki sejarah panjang, mulai dari Kode Hammurabi (1700 SM) yang mengatur pembagian air, hingga hukum Romawi yang memengaruhi Eropa. Awalnya, hukum air lebih banyak berakar pada hukum privat (kontrak, hak milik, ganti rugi), namun sejak abad ke-19, hukum publik berkembang pesat seiring meningkatnya persaingan atas sumber daya air dan kebutuhan perlindungan lingkungan12.

Di era modern, hukum air berkembang menjadi sistem multilevel dan multisektor, menggabungkan hukum nasional, regional, dan internasional. Contohnya, Konvensi PBB tentang Air (1997) dan Water Framework Directive Uni Eropa (2000) yang mengatur penggunaan dan perlindungan air lintas batas serta integrasi dengan hukum lingkungan dan kelautan12.

Tema-tema Sentral Hukum Air: Studi Kasus dan Data

1. Penggunaan dan Perlindungan Air

  • Prinsip Pemanfaatan Wajar dan Adil: Konvensi Air PBB 1997 menegaskan prinsip pemanfaatan wajar dan adil (reasonable and equitable utilization) serta aturan “no significant harm” antarnegara. Tidak ada prioritas inheren antarjenis penggunaan (pertanian, air minum, energi), semua faktor harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan.
  • Studi Kasus Murray-Darling, Australia: Sistem water trading dan efisiensi penggunaan air di Murray-Darling Basin menjadi contoh sukses penerapan prinsip alokasi adil dan perlindungan ekosistem, meski tetap menghadapi tantangan kekeringan dan konflik antarnegara bagian3.
  • Kasus Sungai Ebro, Spanyol: Perencanaan air berbasis DAS (daerah aliran sungai) mendukung pertumbuhan hijau dan mengurangi konflik antar sektor3.

2. Kerja Sama Lintas Batas

  • Kewajiban Kerja Sama: Hukum air internasional mewajibkan negara untuk bekerja sama, memberi notifikasi dini, dan membentuk komisi bersama. Contoh: lebih dari 400 perjanjian air lintas negara telah disepakati secara global.
  • Studi Kasus Danau Malawi/Niassa/Nyasa: Pembagian manfaat (benefit-sharing) dan prinsip resiprositas menjadi dasar negosiasi antara negara-negara di sub-basin Zambezi, meski sering terjadi sengketa terkait prioritas dan alokasi air1.
  • Komisi Sungai Internasional: Di Eropa, komisi seperti International Commission for the Protection of the Rhine telah berhasil mengurangi polusi dan meningkatkan kualitas air melalui kerja sama lintas negara.

3. Hak Asasi Manusia atas Air

  • Resolusi PBB 2010: PBB mengakui hak atas air minum dan sanitasi yang aman sebagai hak asasi manusia. Beberapa negara telah mengadopsi hak ini dalam konstitusi atau undang-undang nasional.
  • Studi Kasus Lagos, Nigeria: Implementasi hak atas air menghadapi tantangan besar, terutama di kota-kota besar negara berkembang dengan infrastruktur terbatas dan tata kelola yang lemah1.
  • Isu Investasi dan Privatisasi: Sengketa investasi di sektor air sering kali menimbulkan konflik antara hak publik dan kepentingan investor swasta, menyoroti pentingnya regulasi yang adil dan transparan.

4. Layanan Air dan Sanitasi

  • Tarif dan Biaya: Penetapan tarif air yang adil menjadi isu utama, terkait prinsip cost recovery dan polluter pays. Hanya sepertiga utilitas air di AS yang mampu menutup biaya penuh melalui tarif, sisanya bergantung pada subsidi publik45.
  • Privatisasi dan Dispute: Privatisasi layanan air di Spanyol dan negara lain menimbulkan debat tentang efisiensi, akses, dan keadilan. Sengketa hukum sering muncul terkait hak konsumen dan kewajiban operator swasta1.
  • Circular Economy: Reuse air limbah dan transisi ke ekonomi sirkular menjadi tren baru dalam pengelolaan air perkotaan.

5. Hak Alam (Rights of Nature)

  • Konsep Legal Personhood: Beberapa negara (Ekuador, Selandia Baru) telah mengakui sungai sebagai subjek hukum dengan hak legal, terinspirasi oleh pandangan adat dan kebutuhan perlindungan ekosistem.
  • Studi Kasus Sungai Whanganui, Selandia Baru: Pengakuan sungai sebagai entitas hukum memungkinkan pengelolaan berbasis penjagaan (guardianship) dan memperkuat peran masyarakat adat dalam tata kelola air1.
  • Debat Efektivitas: Masih diperdebatkan apakah pengakuan hak alam benar-benar meningkatkan perlindungan lingkungan atau hanya bersifat simbolik.

6. Keamanan Air (Water Security)

  • Definisi dan Dimensi: Keamanan air mencakup akses, kualitas, dan perlindungan dari bencana (banjir, kekeringan). Pada tingkat internasional, isu ini sering dikaitkan dengan potensi konflik bersenjata, sementara di tingkat lokal lebih pada perlindungan komunitas rentan.
  • Studi Kasus Donbass dan Crimea: Konflik bersenjata dapat menyebabkan blokade air, merusak infrastruktur, dan menimbulkan krisis kemanusiaan1.
  • Adaptasi Iklim: Hukum air harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan iklim yang memperburuk variabilitas hidrologi dan risiko bencana.

7. Koherensi dan Fragmentasi Hukum

  • Koherensi Vertikal dan Horizontal: Tantangan utama adalah memastikan konsistensi antara hukum internasional, regional, dan nasional, serta antara hukum air dengan hukum lingkungan, perdagangan, dan kemanusiaan.
  • Studi Kasus Uni Eropa: Water Framework Directive menuntut integrasi lintas sektor dan negara anggota, namun implementasi sering terhambat oleh perbedaan hukum nasional dan kepentingan sektor.

Pendekatan Eksternal: Efektivitas, Legitimasi, dan Inovasi Tata Kelola

Kolaborasi dan Tata Kelola Adaptif

  • Integrated Water Resources Management (IWRM): Model pengelolaan terpadu berbasis DAS menjadi standar global, namun implementasinya sering terhambat oleh fragmentasi kelembagaan dan konflik kepentingan3.
  • Co-Governance: Kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil (misal: Water Funds di Amerika Latin) terbukti efektif meningkatkan perlindungan hulu sungai dan akses air bersih3.
  • Adaptive Governance: Hukum air perlu fleksibel untuk merespons ketidakpastian ilmiah dan perubahan sosial-ekologis, seperti yang terjadi pada pengelolaan banjir di Jerman dan Belanda.

Pendekatan Ekosistem

  • Ecosystem Approach: Pengelolaan air berbasis ekosistem menuntut regulasi yang holistik, lintas batas administratif, dan berbasis data ilmiah. Konvensi Keanekaragaman Hayati dan Water Framework Directive mendorong pendekatan ini di tingkat global dan regional.
  • Studi Kasus Taehwa River, Korea: Restorasi ekosistem sungai berhasil meningkatkan kualitas air, keanekaragaman hayati, dan ekonomi lokal melalui pariwisata dan rekreasi3.

Legitimasi dan Keadilan

  • Legitimasi Substantif dan Prosedural: Tata kelola air yang sahih menuntut pembagian manfaat dan beban yang adil, mekanisme koreksi kesalahan masa lalu (misal: redistribusi hak air pasca rezim otoriter), serta partisipasi publik dalam pengambilan keputusan.
  • Studi Kasus Afrika Selatan: Reformasi hukum air pasca-apartheid menekankan keadilan akses dan pengakuan hak masyarakat adat, meski masih menghadapi tantangan implementasi1.

Hukum Air dan Perubahan Iklim

  • Adaptasi dan Mitigasi: Hukum air harus mampu mendukung mitigasi (misal: energi hidro dan angin) dan adaptasi (alokasi air saat kekeringan, perlindungan dari banjir).
  • Studi Kasus Polandia: Adaptasi hukum air di sektor pertanian menjadi kunci ketahanan pangan di tengah perubahan pola curah hujan dan suhu ekstrim1.

Opini, Kritik, dan Perbandingan

Nilai Tambah Artikel

  • Paper ini sangat kuat dalam membedah dua perspektif hukum air (internal dan eksternal), serta menyoroti pentingnya integrasi hukum, sains, dan tata kelola.
  • Penekanan pada hak asasi manusia, hak alam, dan adaptasi iklim sangat relevan dengan tantangan abad ke-21.
  • Studi kasus dan referensi global memperkaya analisis dan memberikan pembelajaran lintas negara.

Kritik dan Keterbatasan

  • Kurangnya pembahasan mendalam tentang peran teknologi digital (IoT, big data) dalam tata kelola air modern.
  • Isu-isu sosial-politik seperti resistensi terhadap privatisasi dan konflik agraria belum dieksplorasi secara detail.
  • Studi kasus lebih banyak berfokus pada negara maju; praktik di negara berkembang perlu lebih diangkat.

Perbandingan dengan Studi Lain

  • Sejalan dengan literatur World Bank, OECD, dan UN Water, artikel ini menekankan pentingnya tata kelola adaptif, kolaborasi lintas sektor, dan integrasi hukum lingkungan.
  • Namun, artikel ini lebih menekankan pada kerangka konseptual dan metodologis, bukan hanya pada solusi teknis atau kebijakan.

Relevansi Industri dan Tren Masa Depan

Tren Industri

  • Green Growth dan Circular Economy: Industri air bergerak ke arah efisiensi, daur ulang, dan integrasi dengan ekonomi hijau.
  • Blended Finance dan PPP: Pembiayaan inovatif dan kemitraan publik-swasta menjadi kunci pembangunan infrastruktur air.
  • Digitalisasi: Teknologi digital mempercepat deteksi kebocoran, monitoring kualitas, dan transparansi layanan air.

Peluang dan Tantangan

  • Peluang: Integrasi hukum air dengan agenda iklim, keanekaragaman hayati, dan pembangunan berkelanjutan.
  • Tantangan: Fragmentasi hukum, minimnya data, dan resistensi politik terhadap reformasi.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Hukum air adalah bidang multidimensi yang terus berevolusi untuk menjawab tantangan krisis air, perubahan iklim, dan kebutuhan keadilan sosial. Ke depan, dibutuhkan pendekatan yang lebih integratif, adaptif, dan berbasis data, dengan kolaborasi lintas sektor, disiplin, dan negara. Reformasi hukum air harus menempatkan hak asasi manusia, perlindungan ekosistem, dan keadilan sosial sebagai fondasi utama, serta membuka ruang bagi inovasi dan partisipasi masyarakat.

Rekomendasi utama:

  • Perkuat integrasi hukum air dengan hukum lingkungan, iklim, dan perdagangan.
  • Dorong tata kelola kolaboratif dan adaptif berbasis DAS dan ekosistem.
  • Tingkatkan partisipasi publik dan pengakuan hak masyarakat adat serta kelompok rentan.
  • Kembangkan model pembiayaan inovatif dan digitalisasi layanan air.
  • Perluas studi kasus dan praktik terbaik dari negara berkembang untuk memperkaya literatur global.

Dengan langkah ini, hukum air dapat menjadi instrumen utama untuk memastikan keberlanjutan, keadilan, dan ketahanan air di masa depan.

Sumber Artikel Asli

Niko Soininen, Antti Belinskij, Suvi-Tuuli Puharinen. “Water law.” Cambridge Prisms: Water, 1, e12, 1–9 (2023).

Selengkapnya
Dinamika, Tantangan, dan Masa Depan Tata Kelola Air Global

Sumber Daya Air

Hak Asasi Manusia atas Alam: Sebuah Studi Perbandingan tentang Hak Hukum yang Muncul bagi Sungai dan Danau di Amerika Serikat dan Meksiko

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 24 Juni 2025


Hak Alam dalam Era Krisis Ekologi

Di tengah krisis lingkungan, perubahan iklim, dan hilangnya keanekaragaman hayati, muncul gerakan global yang mendorong pengakuan hak-hak hukum bagi alam—khususnya sungai dan danau. Paper karya Elizabeth Macpherson ini membedah secara komparatif bagaimana Amerika Serikat dan Meksiko merespons tuntutan tersebut melalui inovasi hukum, studi kasus, dan dinamika sosial-politik. Dengan menyoroti kasus Colorado River dan Lake Erie di AS serta eksperimen konstitusional di beberapa negara bagian Meksiko, Macpherson mengajak kita berpikir ulang: apakah pengakuan hak hukum bagi alam benar-benar mampu melindungi ekosistem vital, atau justru menambah kompleksitas baru dalam tata kelola lingkungan?

Latar Belakang: Dari Antroposentrisme ke Ekosentrisme

Sistem hukum modern, khususnya di Barat, selama ini menempatkan manusia sebagai pemilik dan pengelola alam. Alam dipandang sebagai objek yang dapat dieksploitasi demi kemajuan ekonomi. Namun, sejak 1970-an, muncul kritik terhadap paradigma ini. Christopher Stone, melalui esainya “Should Trees Have Standing?”, menantang asumsi dasar hukum: mengapa hanya manusia (atau korporasi) yang bisa menjadi subjek hukum, sementara sungai, hutan, dan spesies lain tidak?

Gerakan hak-hak alam berkembang pesat di Amerika Latin, dipengaruhi kosmologi adat seperti buen vivir (Ekuador) dan sumak kawsay (Bolivia). Negara-negara ini mengadopsi konstitusi yang mengakui hak alam secara eksplisit. Di Selandia Baru, pengakuan status hukum Whanganui River menjadi preseden global, menginspirasi putusan serupa di Kolombia (Atrato River), India (Ganges dan Yamuna), dan kini merambah Amerika Serikat dan Meksiko.

Studi Kasus Amerika Serikat: Antara Inovasi Hukum dan Resistensi Konstitusional

1. Gerakan Hak Alam di AS: Dari Tamaqua ke Lake Erie

AS dikenal dengan tradisi hukum yang kuat, namun juga sangat antroposentris. Meski demikian, sejak 2006, sejumlah kota kecil mulai menerapkan “ordinance” yang mengakui hak hukum ekosistem. Tamaqua Borough di Pennsylvania menjadi pionir dengan melarang pembuangan limbah tambang ke ekosistem lokal, mengakui hak ekosistem untuk “eksis dan berkembang”. Hingga 2020, lebih dari 36 kota dan 100 distrik di Pennsylvania menerapkan ordinansi serupa.

Di Pittsburgh, ordinansi tahun 2010 melarang fracking dan mengakui hak komunitas alami untuk bebas dari polusi. Santa Monica, California, bahkan memasukkan hak alam dalam Sustainable City Plan, menegaskan hak warga atas air bersih, udara bersih, dan lingkungan yang sehat.

2. Kasus Colorado River: Hak Hukum vs. Realitas Politik

Colorado River adalah urat nadi ekonomi dan sosial AS bagian barat, memasok air ke lebih dari 40 juta orang dan bernilai ekonomi US$1,4 triliun. Namun, sungai ini mengalami degradasi parah akibat over-eksploitasi, polusi, dan perubahan iklim. Pada 2017, kelompok Deep Green Resistance mengajukan gugatan ke pengadilan Colorado agar Colorado River diakui sebagai subjek hukum dengan hak untuk “eksis, berkembang, dan beregenerasi”.

Argumen utama: hukum lingkungan yang ada gagal melindungi sungai, sehingga perlu pendekatan baru yang mengakui hak sungai secara langsung. Namun, negara bagian Colorado menolak keras, menuding penggugat tidak memiliki standing (legal standing), dan menegaskan bahwa sungai bukan subjek hukum. Gugatan akhirnya ditarik setelah ancaman sanksi hukum, menandai betapa kuatnya resistensi institusional dan politik terhadap inovasi hukum berbasis hak alam.

3. Lake Erie Bill of Rights: Demokrasi Radikal vs. Kepentingan Industri

Lake Erie, danau terbesar ke-11 di dunia, menopang 12 juta orang dan 17 kota metropolitan di AS dan Kanada. Namun, sejak 1960-an, danau ini mengalami eutrofikasi parah, “dead zones”, dan polusi akibat limbah pertanian dan industri. Pada 2019, warga Toledo, Ohio, menginisiasi “Lake Erie Bill of Rights” (LEBOR), mengakui hak danau untuk eksis dan berkembang, serta memberi hak warga untuk menggugat atas nama danau.

LEBOR disahkan lewat referendum dengan 61% suara. Namun, keesokan harinya, petani lokal menggugat LEBOR, menudingnya inkonstitusional dan mengancam kelangsungan usaha tani. Negara bagian Ohio dan pelaku industri juga melawan, dan akhirnya pengadilan federal membatalkan LEBOR, menyatakan hak hukum danau bertentangan dengan hak konstitusional manusia dan korporasi.

Studi Kasus Meksiko: Eksperimen Konstitusional dan Tantangan Implementasi

1. Konteks Sosial dan Hukum

Meksiko adalah negara federal dengan 120 juta penduduk, namun 43,6% hidup dalam kemiskinan dan akses air bersih masih rendah menurut standar internasional. Sistem air diatur secara kompleks: pemerintah federal, negara bagian, dan kota berbagi kewenangan, sementara hak atas air diakui sebagai hak asasi manusia dalam Konstitusi (Pasal 4).

Namun, realitas di lapangan jauh dari ideal. Data menunjukkan pengambilan air di Meksiko mencapai 1,8 kali tingkat pembaruan alami, sementara polusi dan over-eksploitasi merajalela. Wilayah adat (ejido) sering terpinggirkan, padahal hampir 13% penduduk Meksiko adalah masyarakat adat.

2. Hak Alam dalam Konstitusi Negara Bagian

  • Guerrero (2014): Menjadi negara bagian pertama yang mengadopsi prinsip hak alam dalam konstitusi, meski tanpa elaborasi dalam undang-undang turunan.
  • Mexico City (2018): Konstitusi baru mengakui hak alam sebagai subjek hukum kolektif, hasil konsultasi publik besar-besaran. Namun, hingga kini belum ada undang-undang pelaksana yang mengatur detail perlindungan hak alam.
  • Colima (2019): Mengadopsi model Ekuador, menegaskan alam sebagai subjek hukum yang berhak atas eksistensi, restorasi, dan regenerasi siklus alaminya. Namun, seperti di negara bagian lain, implementasi masih minim.

3. Tantangan Implementasi

Di Meksiko, pengakuan hak alam seringkali bersifat deklaratif. Undang-undang pelaksana belum tersedia, dan institusi pelaksana belum terbentuk. Kompleksitas yurisdiksi antara federal, negara bagian, dan kota memperburuk koordinasi. Di wilayah adat, hak atas air dan tanah sering diabaikan atau direduksi oleh kepentingan privat dan negara.

Analisis Kritis: Kekuatan, Tantangan, dan Pelajaran Global

Kekuatan Paper

  • Komparatif dan kontekstual: Membandingkan dua negara dengan tradisi hukum berbeda, menyoroti variasi model dan tantangan.
  • Studi kasus konkret: Colorado River dan Lake Erie di AS, serta eksperimen konstitusional di Meksiko, memberi gambaran nyata dinamika hukum dan politik.
  • Koneksi global: Menunjukkan bagaimana preseden di Selandia Baru, Kolombia, dan Ekuador mempengaruhi perkembangan hukum di AS dan Meksiko.

Tantangan dan Kritik

  • Resistensi sistemik: Upaya pengakuan hak alam sering berbenturan dengan hak konstitusional manusia dan korporasi, serta kepentingan ekonomi.
  • Implementasi lemah: Banyak pengakuan hak alam tidak diikuti institusi, mekanisme pengawasan, atau pendanaan yang memadai.
  • Ambiguitas hukum: Tanpa definisi operasional dan standar implementasi, hak alam rawan menjadi simbolis, bukan protektif.
  • Potensi backlash: Kasus LEBOR menunjukkan bahwa pengakuan hak alam bisa memicu reaksi balik politik dan hukum yang justru memperlemah perlindungan lingkungan.

Studi Komparatif: Pelajaran dari Global South dan Indigenous Law

Macpherson menyoroti bahwa gerakan hak alam sering dipengaruhi kosmologi adat, yang memandang manusia sebagai bagian dari alam, bukan penguasa. Model Selandia Baru (Whanganui River) dan Kolombia (Atrato River) menempatkan komunitas adat sebagai penjaga dan representasi hukum sungai, dengan mekanisme kolaboratif antara negara dan masyarakat lokal.

Di Amerika Latin, pengakuan hak alam di Ekuador dan Bolivia didorong oleh gerakan sosial dan adat, namun implementasi sering terhambat oleh konflik kepentingan dan lemahnya institusi. Di AS, pengakuan hak alam lebih didorong oleh inisiatif lokal dan frustrasi terhadap kegagalan hukum lingkungan konvensional.

Opini dan Rekomendasi

  1. Perlu Integrasi Multilevel: Pengakuan hak alam harus diikuti dengan pembentukan institusi pelaksana, mekanisme pengawasan, dan pendanaan yang jelas di semua level pemerintahan.
  2. Kolaborasi dengan Komunitas Adat: Model guardian atau co-governance seperti di Selandia Baru dan Kolombia dapat meningkatkan efektivitas perlindungan sungai dan danau.
  3. Harmonisasi dengan Hak Manusia: Perlu dialog hukum untuk menghindari konflik antara hak alam dan hak konstitusional manusia/korporasi.
  4. Edukasi dan Partisipasi Publik: Pengakuan hak alam harus dibarengi edukasi publik dan pelibatan warga dalam pengawasan dan advokasi lingkungan.
  5. Reformasi Hukum Lingkungan: Hak alam bisa menjadi katalis untuk mereformasi hukum lingkungan yang selama ini terlalu permisif terhadap eksploitasi.

Relevansi Industri dan Kebijakan Global

  • SDGs dan ESG: Pengakuan hak alam relevan dengan SDG 6, 14, 15, dan tren ESG (Environmental, Social, Governance) dalam investasi global.
  • Industri ekstraktif dan agribisnis: Perlu memperhatikan hak alam dalam perencanaan bisnis, mitigasi risiko hukum, dan tanggung jawab sosial.
  • Kebijakan publik: Negara harus memastikan bahwa pengakuan hak alam tidak hanya deklaratif, tapi juga operasional dalam tata kelola sumber daya.

Hak Alam—Antara Harapan dan Realitas

Paper ini menunjukkan bahwa pengakuan hak hukum bagi sungai dan danau adalah inovasi hukum yang penting di era krisis ekologi. Namun, tanpa institusi pelaksana, mekanisme penegakan, dan harmonisasi dengan hak manusia, hak alam rawan menjadi simbolis. Studi kasus di AS dan Meksiko mengajarkan bahwa perubahan hukum harus diikuti perubahan politik, sosial, dan budaya. Masa depan hak alam akan sangat ditentukan oleh kemampuan masyarakat dan negara untuk berinovasi, berkolaborasi, dan beradaptasi di tengah kompleksitas tantangan lingkungan.

Sumber Artikel Asli

Elizabeth Macpherson, "The (Human) Rights of Nature: A Comparative Study of Emerging Legal Rights for Rivers and Lakes in the United States of America and Mexico," Duke Environmental Law & Policy Forum, Vol. XXXI:327, Spring 2021.

Selengkapnya
Hak Asasi Manusia atas Alam: Sebuah Studi Perbandingan tentang Hak Hukum yang Muncul bagi Sungai dan Danau di Amerika Serikat dan Meksiko

Sumber Daya Air

Permainan Dua Level di Sungai Indus: Hambatan Kerja Sama Air antara India dan Pakistan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 24 Juni 2025


Sungai Indus, Hidropolitik, dan Tantangan Kerja Sama Regional

Sungai Indus bukan hanya urat nadi bagi Pakistan dan India, tetapi juga simbol kompleksitas hubungan lintas batas di Asia Selatan. Sejak pembagian India dan Pakistan pada 1947, pengelolaan Indus telah menjadi sumber sengketa, kerja sama, dan ketegangan geopolitik. Paper “Two-level games on the trans-boundary river Indus: obstacles to cooperation” karya Hanifeh Rigi dan Jeroen F. Warner (2020) menawarkan analisis mendalam tentang mengapa, meski ada perjanjian formal seperti Indus Waters Treaty (IWT), kerja sama air antara kedua negara tetap rapuh dan sering berujung pada kebuntuan.

Artikel ini sangat penting di tengah meningkatnya tekanan perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan krisis air bersih di kawasan. Dengan menyoroti peran aktor domestik dan internasional, serta strategi negosiasi yang digunakan kedua negara, paper ini memberikan wawasan segar tentang dinamika “permainan dua level” (two-level game) dalam diplomasi air lintas batas.

Kerangka Teori: Realisme, Liberalisme, dan Permainan Dua Level

Realisme vs Liberalisme dalam Hidropolitik

Dalam studi hubungan internasional, realisme menekankan persaingan, konflik, dan kepentingan nasional sebagai pendorong utama kebijakan luar negeri. Air, dalam perspektif ini, dipandang sebagai sumber daya strategis yang dapat digunakan untuk memperkuat posisi negara, bahkan sebagai alat tekanan politik atau militer. Sebaliknya, liberalisme (atau institusionalisme) menyoroti pentingnya institusi internasional, aktor non-negara, dan potensi kerja sama melalui rezim multilateral, seperti IWT.

Permainan Dua Level (Two-Level Game Theory)

Robert Putnam mengembangkan teori “permainan dua level” untuk menjelaskan bagaimana negosiator negara harus menyeimbangkan kepentingan domestik (Level II) dan internasional (Level I). Keberhasilan negosiasi sangat bergantung pada “win-set”—yaitu himpunan solusi yang bisa diterima baik oleh aktor domestik maupun mitra internasional. Semakin kecil win-set, semakin sulit tercapai kesepakatan. Paper ini menyoroti bahwa di Indus, win-set kedua negara sangat sempit akibat tekanan domestik, politisasi isu air, dan strategi negosiasi yang saling mengunci123.

Studi Kasus: Konflik dan Negosiasi di Sungai Indus

Latar Belakang: Indus Waters Treaty (IWT) dan Realitas Lapangan

IWT yang ditandatangani pada 1960, membagi enam sungai utama di Indus Basin: tiga sungai barat (Indus, Jhelum, Chenab) untuk Pakistan, dan tiga sungai timur (Ravi, Beas, Sutlej) untuk India. Perjanjian ini dianggap sukses bertahan lebih dari 60 tahun, bahkan melewati tiga perang besar antara kedua negara45. Namun, implementasinya terus diwarnai sengketa, terutama terkait pembangunan bendungan dan proyek pembangkit listrik India di sungai-sungai barat yang dianggap mengancam pasokan air Pakistan.

Angka-angka Kunci:

  • Pakistan mendapat 80% aliran air Indus, namun 90% lahan irigasi Pakistan bergantung pada air yang bersumber dari wilayah India, terutama Kashmir16.
  • Proyek besar India yang dipermasalahkan Pakistan antara lain: Kishanganga Dam (330 MW), Baglihar Dam (850 MW), Ratle Dam (810 MW), dan Tulbul/Wullar Project. Pakistan menuding proyek-proyek ini mengurangi debit air ke wilayahnya, menyebabkan kekeringan atau banjir ekstrem15.

Politik Domestik dan Securitization di Pakistan

Air di Pakistan sangat dipolitisasi dan disecuritasi—artinya diposisikan sebagai ancaman eksistensial, bukan sekadar isu kebijakan publik. Aktor-aktor domestik seperti militer, partai Islamis, kelompok tani, dan teknokrat menggunakan narasi anti-India untuk memperkuat posisi tawar mereka. Misalnya, laporan Engineers Study Forum menuduh India “mencuri” 15–20% air, menyebabkan kerugian US$12 miliar per tahun bagi sektor pertanian Pakistan. Demonstrasi massal oleh kelompok tani dan aksi protes di berbagai kota menambah tekanan pada pemerintah untuk tidak berkompromi dengan India1.

Militer Pakistan, yang memiliki pengaruh kuat dalam politik luar negeri, memandang isu air tak terpisahkan dari konflik Kashmir. Setiap upaya kompromi dengan India sering digagalkan oleh tekanan kelompok ekstremis dan militer yang menganggap air adalah bagian dari “perjuangan” melawan India. Ketidakharmonisan antara pemerintah sipil, militer, dan kelompok agama memperkecil win-set domestik, sehingga negosiator sulit mengambil keputusan yang pragmatis1.

Politik Domestik dan Tekanan di India

Di India, tekanan datang dari politisi nasionalis, pemerintah negara bagian Jammu & Kashmir, dan masyarakat lokal yang merasa IWT terlalu menguntungkan Pakistan. Setelah serangan teror di Kashmir (seperti insiden Uri 2016 dan Pulwama 2019), pemerintah India mendapat tekanan untuk mengambil sikap keras, termasuk mengancam meninjau ulang atau bahkan membatalkan IWT57. Pemerintah negara bagian Jammu & Kashmir secara resmi menuntut revisi atau bahkan pembatalan IWT, karena dianggap membatasi pembangunan ekonomi dan energi lokal.

Tekanan domestik ini membuat pemerintah India cenderung mengambil posisi negosiasi yang kaku, khawatir dianggap lemah di mata publik dan oposisi. Akibatnya, setiap upaya kompromi dengan Pakistan dianggap berisiko secara politik1.

Strategi Negosiasi: Securitization, Issue-Linkage, dan Aliansi

  1. Securitization: Kedua negara memframing isu air sebagai ancaman keamanan nasional. Di Pakistan, narasi “India akan mengeringkan sungai kami” digunakan untuk memobilisasi dukungan publik dan menekan pemerintah agar tidak berkompromi. Di India, isu air dikaitkan dengan keamanan nasional, terutama setelah serangan teror12.
  2. Issue-Linkage: India beberapa kali mengaitkan negosiasi air dengan isu terorisme. Setelah serangan di Uri, India menangguhkan pertemuan Komisi Indus dan menyatakan “darah dan air tidak bisa mengalir bersama.” Strategi ini membuat negosiasi air menjadi sandera isu lain, memperkecil kemungkinan win-set yang tumpang tindih17.
  3. Aliansi: Pakistan memperkuat aliansi dengan China, termasuk melalui pembangunan bendungan di wilayah Indus yang didukung Beijing. China juga menekan India melalui proyek bendungan di Sungai Brahmaputra, menciptakan tekanan geopolitik tambahan. Aliansi ini digunakan Pakistan untuk menyeimbangkan kekuatan India dan memperkecil tekanan dalam negosiasi18.

Dampak Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan

Ketergantungan Ekonomi Pakistan pada Indus

  • 94% pengambilan air di Pakistan digunakan untuk pertanian, yang menyumbang 22,9% PDB dan menyediakan mata pencaharian bagi dua pertiga penduduk pedesaan6.
  • 90% produksi pangan Pakistan bergantung pada irigasi Indus.
  • 20% listrik nasional dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga air di Indus.

Namun, kapasitas penyimpanan air Pakistan sangat terbatas—kurang dari 10% aliran tahunan sungai, jauh di bawah standar internasional. Ini membuat Pakistan sangat rentan terhadap fluktuasi debit air akibat pembangunan bendungan di India atau perubahan iklim6.

Studi Kasus: Krisis dan Deadlock Negosiasi

  • Baglihar Dam: Pakistan memprotes desain dan kapasitas bendungan ini, menuding India melanggar IWT. Setelah dua putaran negosiasi gagal, kasus ini dibawa ke ahli netral sesuai prosedur IWT, yang akhirnya memutuskan sebagian besar proyek India tetap berjalan45.
  • Kishanganga Dam: Pakistan mengajukan enam protes formal, termasuk soal desain dan pengalihan air. Kasus ini akhirnya diputuskan oleh Permanent Court of Arbitration di Den Haag, yang mengizinkan proyek India dengan beberapa syarat teknis45.
  • Ratle Dam: Pakistan menuntut pengurangan kapasitas dan perubahan desain, namun negosiasi kembali berakhir buntu, dengan kedua negara saling membawa kasus ke forum internasional45.

Kritik, Opini, dan Perbandingan dengan Studi Lain

Nilai Tambah Artikel

Paper ini menonjol karena:

  • Menggunakan kerangka “permainan dua level” untuk menganalisis hambatan kerja sama air, bukan sekadar melihat konflik sebagai hasil pertentangan negara.
  • Menunjukkan bahwa aktor domestik (militer, politisi, kelompok agama, masyarakat lokal) sama pentingnya dengan aktor negara dalam menentukan hasil negosiasi.
  • Mengidentifikasi strategi negosiasi (securitization, issue-linkage, aliansi) sebagai penghambat utama, bukan hanya perbedaan teknis atau kekurangan institusi123.

Kritik dan Keterbatasan

  • Paper ini kurang membahas secara mendalam dampak perubahan iklim terhadap ketersediaan air dan relevansi IWT ke depan, padahal isu ini makin krusial98.
  • Tidak banyak mengulas potensi reformasi kelembagaan atau mekanisme baru yang dapat memperluas win-set dan membuka jalan bagi kerja sama yang lebih adaptif dan inklusif.
  • Kurang menyoroti peran masyarakat sipil lintas negara atau inisiatif lokal yang bisa menjadi jembatan di tengah kebuntuan politik tingkat tinggi.

Perbandingan dengan Penelitian Lain

Studi Astha Nahar (2023) menyoroti perlunya modernisasi IWT agar lebih responsif terhadap tantangan perubahan iklim, pengelolaan air tanah, dan kebutuhan adaptasi kelembagaan9. Sementara laporan-laporan lain menyoroti bahwa IWT masih terlalu negara-sentris dan kurang melibatkan komunitas lokal atau mekanisme partisipatif dalam pengambilan keputusan8.

Relevansi dengan Tren Regional dan Global

Konteks Asia Selatan dan Global

  • Ketegangan India-Pakistan: Suspensi IWT oleh India pada 2025 setelah serangan teror di Kashmir menandai titik balik dalam diplomasi air Asia Selatan, dengan risiko eskalasi konflik terbuka dan ketidakpastian pasokan air lintas negara7.
  • Perubahan Iklim: Perubahan pola curah hujan, mencairnya gletser Himalaya, dan meningkatnya frekuensi banjir/kekeringan menambah tekanan pada sistem Indus, membuat mekanisme kerja sama yang adaptif semakin mendesak98.
  • Dinamika Global: Sengketa Indus menjadi studi kasus penting bagi tata kelola sungai lintas batas di dunia, menyoroti perlunya kerangka hukum internasional yang lebih kuat dan inklusif, seperti Konvensi Hukum Air PBB8.

Rekomendasi dan Jalan ke Depan

  1. Perluasan Win-Set melalui Reformasi Kelembagaan: Memperkuat peran Komisi Indus Permanen (PIC), memperluas mandat IWT untuk mencakup air tanah, adaptasi iklim, dan partisipasi masyarakat sipil9.
  2. Dekonstruksi Securitization: Mengurangi narasi ancaman eksistensial dan membuka ruang dialog berbasis data, sains, dan kepentingan bersama.
  3. Pengelolaan Isu-Linkage secara Bijak: Memisahkan isu air dari isu politik/keamanan lain agar negosiasi tidak selalu terjebak deadlock.
  4. Kolaborasi Regional dan Internasional: Melibatkan pihak ketiga secara lebih aktif, baik dari lembaga internasional maupun negara-negara tetangga, untuk memediasi dan memfasilitasi dialog.
  5. Modernisasi dan Adaptasi Perjanjian: Menyesuaikan IWT dengan tantangan abad ke-21, termasuk perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan dinamika geopolitik baru.

Kesimpulan

Paper ini menunjukkan bahwa kerja sama air lintas batas di Indus tidak hanya soal teknis atau hukum, melainkan juga soal politik domestik, identitas, dan strategi negosiasi yang kompleks. Selama win-set tetap sempit akibat tekanan domestik, politisasi, dan aliansi geopolitik, peluang kerja sama substantif akan tetap kecil. Namun, dengan reformasi kelembagaan, depolitisasi isu air, dan pendekatan adaptif, masih ada harapan untuk membangun tata kelola air yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan di Indus—dan kawasan lain di dunia.

Sumber Artikel Asli

Hanifeh Rigi and Jeroen F. Warner. “Two-level games on the trans-boundary river Indus: obstacles to cooperation.” Water Policy 22 (2020): 972–990.

Selengkapnya
Permainan Dua Level di Sungai Indus: Hambatan Kerja Sama Air antara India dan Pakistan

Sumber Daya Air

Hak Sungai dan Keadilan Lingkungan : Studi Kasus Sungai Tamiraparani, Tamil Nadu, India

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 22 Juni 2025


Sungai Tamiraparani dalam Pusaran Krisis Lingkungan dan Sosial

Sungai Tamiraparani di Tamil Nadu, India, bukan sekadar badan air, melainkan urat nadi peradaban, sumber penghidupan, dan simbol spiritual bagi jutaan orang. Namun, dalam dua dekade terakhir, sungai ini menghadapi degradasi hebat akibat polusi, eksploitasi, dan tata kelola yang lemah. Dalam tesis magister Janet Evangeline Sheebha Jeyakumar (2024), isu ini diangkat melalui lensa “Rights of River” (RoR) dan keadilan lingkungan, dengan pertanyaan sentral: apakah pemberian hak hukum pada sungai dapat menjadi jalan menuju keadilan lingkungan dan sosial?

Artikel ini mengulas secara kritis temuan utama, memperkaya dengan analisis, studi kasus, serta membandingkan dengan tren global dan diskursus keadilan lingkungan kontemporer.

Sungai Tamiraparani: Sejarah, Ekologi, dan Signifikansi Sosial

Tamiraparani, dikenal juga sebagai Porunai, mengalir sejauh 128 km dari Periya Pothigai Hills menuju Teluk Bengal, melewati distrik Tirunelveli dan Thoothukudi. Sungai ini menopang lebih dari 86.000 hektar lahan pertanian, menjadi sumber air minum bagi sekitar 7,5 juta jiwa, serta habitat bagi ratusan spesies flora dan fauna, termasuk spesies endemik dan langka. Selain itu, sungai ini menjadi tulang punggung ekonomi lokal—mulai dari petani, nelayan, pengumpul tanaman obat, hingga pengrajin.

Namun, modernisasi dan pertumbuhan penduduk telah mengubah wajah Tamiraparani. Eksploitasi berlebihan, polusi domestik dan industri, serta perubahan tata guna lahan telah menurunkan kualitas air, mengancam ekosistem, dan memperburuk ketimpangan sosial.

Polusi dan Eksploitasi: Potret Krisis Nyata

Penelitian ini mengidentifikasi berbagai sumber polusi yang membebani Tamiraparani:

  • Aktivitas Ritual dan Religius: Tradisi membuang abu jenazah, pakaian, dan limbah upacara ke sungai telah menambah beban limbah padat. Sebagai contoh, dalam satu tahun, lebih dari 100 ton pakaian bekas diangkat dari sungai.
  • Limbah Domestik dan Industri: Kota Tirunelveli dan Thoothukudi membuang limbah rumah tangga dan industri secara langsung ke sungai di lebih dari 680 titik, dengan 180 ton sampah domestik setiap hari menumpuk di bantaran sungai.
  • Sand Mining dan Encroachment: Penambangan pasir ilegal dan legal menyebabkan “death pits”, menurunkan kualitas air tanah, memperlemah bantaran, dan memicu banjir. Lebih dari 200 kilang batu bata mengambil tanah liat dan pasir tanpa izin, membuang limbah ke sungai.
  • Limbah Medis dan Hewan: Limbah medis, daging, dan botol minuman keras juga ditemukan di sungai, memperparah pencemaran.
  • Penggunaan Pupuk Kimia: Peralihan ke pupuk anorganik meningkatkan limpasan kimia ke sungai, merusak populasi ikan dan tanaman obat.

Dampak nyata dari polusi ini adalah menurunnya kualitas air hingga tidak layak konsumsi, punahnya spesies ikan lokal, berkurangnya tanaman obat, dan meningkatnya penyakit pada masyarakat sekitar.

Hak Sungai (Rights of River): Konsep, Potensi, dan Kontroversi

Konsep RoR dan Praktik Global

RoR adalah paradigma hukum dan etika yang mengusulkan sungai sebagai entitas hukum dengan hak inheren—seperti hak untuk tetap mengalir, bebas polusi, dan dipulihkan. Konsep ini telah diadopsi di berbagai negara, seperti Te Awa Tupua Act (Whanganui River, Selandia Baru) dan kasus Río Atrato (Kolombia). Namun, di India, upaya memberi status hukum pada Sungai Ganga dan Yamuna gagal karena kompleksitas transboundary dan lemahnya implementasi.

Kritik dan Tantangan

  • Ecocentrism vs. Socio-Cultural Context: RoR sering dipandang terlalu berorientasi “alam untuk alam”, mengabaikan relasi manusia—khususnya komunitas lokal—dengan sungai. Di India, relasi ini sangat erat dan saling bergantung.
  • Implementasi Hukum: Tanpa lembaga independen dan sumber daya, hak sungai kerap hanya menjadi retorika. Di Tamiraparani, masyarakat melihat perlindungan sungai lebih sebagai tanggung jawab manusia, bukan hak sungai itu sendiri.
  • Risiko Pengurangan Tanggung Jawab Manusia: Jika sungai dianggap bertanggung jawab atas dirinya sendiri, masyarakat bisa kehilangan sense of stewardship.
  • Distribusi dan Keadilan Sosial: RoR bisa menimbulkan konflik baru jika tidak mengakui kebutuhan kelompok rentan yang bergantung pada sungai untuk penghidupan.

Studi Kasus: Perspektif Aktor Lokal

Penelitian ini menggunakan 32 wawancara semi-terstruktur dengan berbagai aktor: pengumpul tanaman obat, nelayan, petani, pekerja sosial, LSM, dan pejabat pemerintah.

Pengumpul Tanaman Obat

Kelompok ini sangat bergantung pada kualitas air sungai. Polusi menyebabkan penurunan jumlah dan kualitas tanaman obat, mengancam pendapatan dan kesehatan mereka. Mereka menekankan pentingnya air bersih sebagai syarat keadilan sosial dan lingkungan. Namun, mereka memandang “hak sungai” lebih sebagai tanggung jawab manusia untuk menjaga kebersihan dan kelestarian, bukan sekadar hak legal sungai.

Nelayan

Nelayan darat dan pesisir menghadapi penurunan drastis populasi ikan akibat polusi dan praktik penangkapan ikan yang merusak (misal penggunaan bleaching powder). Banyak keluarga nelayan terpaksa meninggalkan profesi ini. Selain itu, terjadi konflik distribusi air antara petani hulu dan nelayan hilir—air yang seharusnya mengalir ke muara untuk menjaga siklus hidup ikan kini lebih banyak dialihkan untuk irigasi dan industri. Nelayan juga menyoroti ketidakadilan sosial akibat diskriminasi kasta dan kurangnya perlindungan hukum.

Petani

Petani di sepanjang Tamiraparani mengalami penurunan produktivitas akibat polusi, perubahan pola distribusi air, dan perubahan iklim. Prioritas distribusi air kini lebih condong ke kebutuhan domestik dan industri, bukan pertanian. Banyak petani hanya bisa menanam satu kali setahun, padahal sebelumnya bisa dua hingga tiga kali. Harga hasil panen yang tidak sebanding dengan biaya produksi, serta kenaikan harga pupuk dan upah buruh, makin memperburuk kesejahteraan mereka. Petani juga mengeluhkan penurunan kualitas air yang menyebabkan penyakit kulit dan masalah kesehatan lain.

LSM, Pekerja Sosial, dan Pemerintah

Kelompok ini aktif mengadvokasi perlindungan sungai, namun menghadapi tantangan besar: rendahnya kesadaran publik, lemahnya penegakan hukum, serta kurangnya koordinasi antarinstansi. Program pemerintah seperti proyek drainase bawah tanah hanya berjalan sebagian, dan penegakan hukum terhadap penambangan pasir ilegal serta pembuangan limbah belum efektif.

Keadilan Lingkungan dan “Environmentalism of the Poor”

Penelitian ini menempatkan perdebatan RoR dalam kerangka “environmentalism of the poor” (Guha & Martinez-Alier, 1997): gerakan yang menuntut keadilan lingkungan bukan demi kelestarian alam semata, tetapi demi keberlanjutan hidup kelompok miskin dan marjinal yang paling terdampak degradasi lingkungan. Di Tamiraparani, keadilan lingkungan tidak bisa dilepaskan dari keadilan sosial—perlindungan sungai harus berjalan seiring dengan perlindungan hak hidup, penghidupan, dan partisipasi komunitas lokal.

Analisis Kritis: Apa yang Bisa Dipelajari dari Kasus Tamiraparani?

Kekuatan Studi

  • Pendekatan Partisipatif: Studi ini menonjolkan suara komunitas lokal, memperlihatkan keragaman persepsi tentang hak sungai dan keadilan lingkungan.
  • Kontekstualisasi Lokal: Penulis berhasil membumikan konsep RoR dalam konteks India Selatan, menyoroti pentingnya pengakuan relasi manusia-alam yang khas.
  • Data Empiris Kuat: Wawancara mendalam mengungkap realitas sehari-hari, dampak polusi, dan dinamika kekuasaan di tingkat akar rumput.

Kritik dan Tantangan

  • Implementasi RoR: Tanpa reformasi kelembagaan dan partisipasi masyarakat, pemberian hak hukum pada sungai berisiko menjadi simbolis belaka.
  • Konflik Distribusi: RoR perlu dirancang agar tidak mengorbankan kelompok rentan yang bergantung pada sungai, melalui mekanisme distribusi air yang adil.
  • Keterbatasan Pemerintah: Lemahnya penegakan hukum dan koordinasi antarinstansi menjadi hambatan utama. Keterlibatan LSM dan komunitas lokal harus diperkuat.
  • Ketergantungan pada “Stewardship” Manusia: Sebagian besar aktor lokal lebih menekankan tanggung jawab manusia daripada “hak” sungai secara legal-formal.

Relevansi Global dan Tren Masa Kini

Kasus Tamiraparani mencerminkan tantangan universal dalam pengelolaan sungai di negara berkembang: konflik antara kebutuhan pembangunan, perlindungan lingkungan, dan keadilan sosial. Tren global menunjukkan bahwa pendekatan RoR baru efektif jika:

  • Mengakui dan melibatkan komunitas lokal sebagai penjaga sungai.
  • Memastikan mekanisme hukum yang jelas, independen, dan didukung sumber daya.
  • Mengintegrasikan keadilan distribusi, partisipasi, dan pengakuan dalam desain kebijakan.
  • Menghubungkan perlindungan sungai dengan agenda pembangunan berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan.

Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan

  1. Reformasi Kelembagaan: Bentuk lembaga independen yang mewakili sungai dan komunitas lokal, dengan kewenangan nyata.
  2. Pendidikan dan Kesadaran Publik: Kampanye edukasi untuk membangun sense of stewardship dan tanggung jawab kolektif.
  3. Penegakan Hukum yang Tegas: Sanksi nyata bagi pelaku pencemaran dan eksploitasi ilegal.
  4. Keadilan Distribusi Air: Kebijakan distribusi air harus mempertimbangkan kebutuhan kelompok rentan, bukan hanya sektor industri dan domestik.
  5. Integrasi RoR dengan Keadilan Sosial: Perlindungan sungai harus berjalan seiring dengan perlindungan hak hidup dan penghidupan komunitas lokal.

Kesimpulan: Hak Sungai sebagai Jalan Menuju Keadilan Lingkungan dan Sosial

Studi ini menegaskan bahwa keadilan lingkungan di Tamiraparani hanya bisa dicapai jika hak sungai dipahami sebagai bagian tak terpisahkan dari hak komunitas lokal. RoR bukan sekadar instrumen hukum, melainkan kerangka etika, sosial, dan politik yang menuntut perubahan paradigma: dari eksploitasi menuju harmoni, dari dominasi menuju kemitraan manusia-alam. Tanpa pengakuan dan partisipasi komunitas lokal, RoR akan gagal memenuhi janji keadilan lingkungan yang sejati.

Sumber Artikel 

RIGHTS OF RIVER AND ENVIRONMENTAL JUSTICE: A CASE STUDY OF RIVER TAMIRAPARANI, TAMIL NADU, INDIA. Janet Evangeline Sheebha Jeyakumar. MSc Thesis, Wageningen University, April 2024.

Selengkapnya
Hak Sungai dan Keadilan Lingkungan : Studi Kasus Sungai Tamiraparani, Tamil Nadu, India
page 1 of 22 Next Last »