Corporate Engagement in Water Policy and Governance: Water Stewardship dan Water Security di Era Bisnis Global

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

17 Juni 2025, 12.44

pixabay.com

Bisnis, Air, dan Tantangan Tata Kelola Abad ke-21

Air adalah fondasi ekonomi global—dari pertanian, manufaktur, hingga teknologi digital. Namun, selama bertahun-tahun, peran korporasi dalam tata kelola air nyaris terabaikan. Paper “Corporate Engagement in Water Policy and Governance: A Literature Review on Water Stewardship and Water Security” karya Suvi Sojamo dan Thérèse Rudebeck (2024) membongkar bagaimana, dalam 15 tahun terakhir, perusahaan-perusahaan besar mulai aktif membentuk kebijakan air global melalui inisiatif water stewardship dan water security. Artikel ini merangkum temuan utama, menyoroti studi kasus, angka-angka penting, serta memberikan analisis kritis dan relevansi dengan tren industri dan kebijakan kontemporer1.

Evolusi Konsep: Dari Water Stewardship ke Water Security

Water Stewardship: Dari “Footprint” ke Kolektif Aksi

Konsep water stewardship lahir dari kebutuhan untuk melihat air sebagai risiko bisnis dan peluang kolektif. Dimulai dengan ide “water footprint” (jejak air) yang dikembangkan Tony Allan dan WWF pada awal 2000-an, perusahaan mulai menghitung total konsumsi air di sepanjang rantai pasok mereka. Studi landmark WWF dan SABMiller (2009) mengungkap lebih dari setengah konsumsi air Inggris berasal dari produk impor—menyoroti pentingnya melihat air secara lintas negara dan rantai nilai1.

Inisiatif seperti CEO Water Mandate (UN Global Compact, 2007), Water Footprint Network, dan Alliance for Water Stewardship (AWS, 2014) menandai babak baru: perusahaan didorong untuk bertanggung jawab tidak hanya di dalam pagar pabrik, tapi juga di tingkat catchment (DAS) dan komunitas. AWS mendefinisikan stewardship sebagai penggunaan air yang adil, berkelanjutan, dan inklusif, dengan lima pilar: tata kelola, keseimbangan air, kualitas air, perlindungan ekosistem, dan akses WASH (water, sanitation, hygiene)1.

Water Security: Integrasi Bisnis dalam Agenda Publik

Water security, meski tak punya definisi tunggal, kini menjadi tujuan utama manajemen air global—menekankan perlindungan ekonomi, ekosistem, dan masyarakat dari risiko air. Sejak 2009, World Economic Forum (WEF) dan 2030 Water Resources Group (2030 WRG)—diprakarsai CEO Nestlé dan World Bank—menyuarakan bahwa pada 2030, permintaan air global bisa melebihi pasokan hingga 40%. Ini menempatkan perusahaan sebagai aktor utama dalam mengatasi risiko air, bukan sekadar penerima dampak1.

Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci

1. Perusahaan dan Inisiatif Global

  • CDP Water Program: Pada 2023, 13.356 perusahaan terbesar dunia diminta melaporkan data air; 4.815 merespons (naik 23% dari 2022), namun hanya 103 yang masuk “A-list” CDP untuk water security1.
  • CEO Water Mandate: Lebih dari 240 perusahaan multinasional telah menandatangani komitmen ini, meliputi operasi, rantai pasok, aksi kolektif, kebijakan publik, dan transparansi.
  • AWS Certification: Hingga April 2024, 279 lokasi perusahaan telah tersertifikasi AWS, 54 di antaranya meraih level “platinum”—namun mayoritas masih didominasi perusahaan besar, bukan UKM.

2. Sektor Kritis dan Rantai Nilai

  • Agribisnis dan F&B: Sektor agrikultur, makanan, dan minuman adalah pengguna air terbesar dunia. Nestlé, Bunge, Cargill, Coca-Cola, PepsiCo, dan Unilever menjadi pionir water stewardship, seringkali didorong tekanan masyarakat dan regulasi akibat krisis air di lokasi operasi (misal, kasus Coca-Cola di India)1.
  • Teknologi dan Data Center: Perusahaan seperti Meta, Microsoft, Google, dan Amazon kini berkomitmen menjadi “water positive” pada 2030, menyadari kebutuhan air masif untuk pendinginan data center dan produksi hardware.
  • Industri Tekstil dan Pertambangan: Sektor tekstil, pertambangan, dan kimia kini mulai disorot karena jejak air dan polusi yang tinggi, meski literatur dan aksi nyata masih terbatas dibanding sektor agrikultur dan F&B.

3. Studi Kasus Lapangan

  • South Africa Fruit Industry: Studi di Western Cape menunjukkan strategi mitigasi risiko air industri buah lebih fokus pada efisiensi internal, mengabaikan isu keadilan distribusi air pasca-apartheid—menimbulkan ketimpangan baru di tingkat komunitas1.
  • Ica Valley, Peru: Transformasi menjadi “zona ekstraksi virtual water” untuk agribisnis ekspor memperburuk kondisi sosial-ekologis petani kecil, meski beberapa perusahaan telah mengantongi sertifikasi AWS.
  • Mongolia Mining: Inisiatif Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) belum mampu meredam konflik air antara perusahaan tambang dan komunitas lokal, menyoroti lemahnya peran masyarakat dalam pengawasan1.

Motivasi dan Dinamika Keterlibatan Korporasi

Internal Drivers

  • Nilai dan Budaya Perusahaan: Komitmen pimpinan, champion internal, dan komunikasi efektif antara kantor pusat dan lokasi operasi adalah kunci strategi air yang holistik.
  • Etika vs Motif Ekonomi: Ada ketegangan antara dorongan etis dan motif ekonomi. Banyak perusahaan mengedepankan “water risk” sebagai alasan utama aksi, bukan tanggung jawab intrinsik1.

External Drivers

  • Regulasi dan Investor: Tekanan regulasi (misal, EU CSRD dan CSDDD) dan tuntutan investor besar seperti Norges Bank Investment Management (US$1,7 triliun) mendorong perusahaan mengintegrasikan water management ke strategi bisnis dan pelaporan.
  • Tekanan Konsumen dan LSM: Kampanye LSM dan konsumen mendorong perusahaan lebih transparan dan bertanggung jawab, terutama di sektor yang langsung berhadapan dengan publik.
  • Risiko Bersama (Shared Water Risk): Konsep “shared risk” menekankan bahwa risiko air dialami bersama oleh perusahaan, masyarakat, dan ekosistem, sehingga solusi harus kolektif—meski dalam praktiknya, persepsi dan distribusi risiko sering tidak seimbang1.

Dinamika Implementasi: Dari Komitmen ke Dampak Nyata

1. Komitmen Meningkat, Implementasi Masih Terbatas

  • Data CDP: Meski komitmen perusahaan meningkat, mayoritas aksi masih berupa efisiensi internal, bukan transformasi model bisnis atau aksi di tingkat catchment.
  • Studi 40 Laporan Korporasi: Hanya sedikit perusahaan yang benar-benar mengatasi isu permintaan air melebihi pasokan, polusi, hak pekerja, dan keanekaragaman hayati. Mayoritas masih fokus pada “in-house efficiency”1.

2. Kesenjangan antara Strategi dan Realitas

  • Pendanaan: Sebagian besar pendanaan aksi stewardship masih berasal dari donor publik, bukan dana inti perusahaan. Inisiatif perusahaan sering hanya membawa keahlian, bukan investasi finansial nyata.
  • Keterlibatan UKM dan Petani Kecil: Standar dan inisiatif global masih sulit dijangkau UKM dan produsen kecil, yang justru paling terdampak dan berperan besar di rantai pasok air dunia.

3. Studi Kasus: Equity dan Keadilan

  • Peru & Afrika Selatan: Sertifikasi dan standar global kadang memperparah ketimpangan, karena syarat kepatuhan lebih mudah dipenuhi perusahaan besar. Petani kecil sering kehilangan hak air akibat “teknik visibilisasi” dan “truth production” oleh standar internasional.
  • TNC Water Funds (Amerika Latin): Keberhasilan tergantung pada kepemimpinan publik dan partisipasi transparan. Dominasi perusahaan atau LSM tunggal berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan melemahkan dampak sosial1.

Analisis Kritis: Kontroversi, Peluang, dan Tantangan

1. Water Stewardship: Paradigma Baru atau Sekadar PR?

  • Paradigma Baru: Keterlibatan bisnis mempercepat kolaborasi multipihak, mendorong inovasi, dan memperkuat aksi kolektif di banyak negara.
  • Kritik: Banyak inisiatif stewardship hanya menjadi sarana legitimasi bisnis (social license to operate), tanpa perubahan fundamental dalam tata kelola air atau distribusi manfaat. Studi di India, Peru, dan Afrika Selatan menunjukkan kecenderungan “depolitisasi” isu air demi efisiensi, mengabaikan dimensi keadilan dan hak masyarakat lokal1.

2. Water Security: Risiko Ekonomi atau Kesejahteraan Bersama?

  • Reframing: Perusahaan kini memandang air bukan hanya risiko lingkungan, tapi juga risiko ekonomi dan finansial yang bisa mengancam kelangsungan bisnis dan investasi.
  • Risiko Privatisasi: Keterlibatan korporasi tanpa kendali publik berisiko memperparah “water grabbing” dan “financialisation of water”, terutama di negara berkembang dengan kapasitas regulasi lemah.

3. Peran LSM dan Donor: Kolaborasi atau Fragmentasi?

  • Kolaborasi: LSM seperti WWF, TNC, dan WaterAid berperan penting membangun standar, memfasilitasi aksi kolektif, dan mendorong harmonisasi inisiatif.
  • Fragmentasi: Persaingan antar LSM kadang menimbulkan kebingungan di kalangan perusahaan dan melemahkan dampak. Pendanaan independen dan peran “broker” yang netral sangat dibutuhkan untuk menjaga objektivitas dan legitimasi1.

Studi Kasus dan Praktik Terbaik: Inspirasi dan Pelajaran

1. Mersey Basin Campaign (UK, 1985–2010)

Kolaborasi antara bisnis, pemerintah, dan masyarakat sipil berhasil merevitalisasi sungai Mersey, mengurangi polusi, dan membangun tata kelola air yang inklusif. Keberhasilan ini tak lepas dari peran pemerintah sebagai “principal” yang memastikan tujuan publik tetap utama1.

2. AWS Certification di Ica Valley, Peru

Beberapa perusahaan agribisnis besar telah meraih sertifikasi AWS. Namun, dampak nyata terhadap petani kecil dan lingkungan masih dipertanyakan, menjadi “uji lakmus” apakah standar global benar-benar mampu menghasilkan perubahan berkelanjutan dan adil.

3. Komitmen “Water Positive” di Sektor Teknologi

Meta, Google, Microsoft, dan Amazon berkomitmen menjadi “water positive” pada 2030. Namun, pengukuran dampak dan transparansi aksi di rantai pasok masih menjadi tantangan besar, terutama di negara berkembang yang menjadi basis produksi hardware dan data center1.

Relevansi Industri dan Kebijakan: Tren dan Masa Depan

1. Digitalisasi dan Transparansi

Teknologi digital (IoT, big data, blockchain) membuka peluang pemantauan air real-time, pelaporan ESG, dan transparansi rantai pasok. Platform seperti CDP dan inisiatif seperti Fair Water Footprints Declaration mulai menghubungkan negara konsumen dan produsen air secara global.

2. Regulasi dan Standar Global

Regulasi seperti EU CSRD dan CSDDD mendorong perusahaan multinasional mengadopsi standar pelaporan ESG yang lebih ketat, termasuk aspek air. Namun, harmonisasi standar dan perlindungan hak masyarakat lokal masih menjadi PR besar.

3. Kolaborasi Multipihak dan Inovasi Pendanaan

Pendanaan inovatif (blended finance, green bonds, water funds) dan kolaborasi multipihak menjadi kunci investasi air berkelanjutan, terutama di negara berkembang yang menghadapi kesenjangan infrastruktur dan kapasitas teknis.

Rekomendasi Strategis untuk Tata Kelola Air Masa Depan

  1. Perkuat Kepemimpinan Publik
    Pemerintah harus tetap menjadi penentu arah dan pengawas utama, memastikan kepentingan publik dan keadilan sosial tetap terjaga.
  2. Harmonisasi Standar dan Transparansi
    Perlu harmonisasi standar stewardship dan pelaporan air, serta peningkatan transparansi data dan dampak di seluruh rantai nilai.
  3. Libatkan UKM dan Komunitas Lokal
    Inisiatif dan standar harus lebih inklusif, mudah diakses UKM dan petani kecil, serta melibatkan komunitas lokal dalam perumusan dan pemantauan aksi.
  4. Integrasi dengan Agenda Pembangunan Berkelanjutan
    Integrasikan aksi stewardship dengan SDGs, aksi iklim, dan agenda keadilan sosial untuk memastikan dampak yang berkelanjutan dan inklusif.
  5. Dorong Riset Transdisipliner dan Evaluasi Independen
    Diperlukan riset lintas disiplin dan evaluasi independen untuk menilai dampak nyata inisiatif korporasi di berbagai sektor dan wilayah.

Paradoks dan Peluang Keterlibatan Bisnis dalam Tata Kelola Air

Keterlibatan bisnis dalam tata kelola air membawa peluang besar untuk inovasi, kolaborasi, dan percepatan pencapaian water security global. Namun, tanpa kepemimpinan publik yang kuat, harmonisasi standar, dan perlindungan hak-hak kelompok rentan, risiko privatisasi, ketimpangan, dan depolitisasi isu air tetap membayangi. Masa depan tata kelola air yang adil, inklusif, dan berkelanjutan hanya bisa dicapai melalui sinergi antara pemerintah, bisnis, LSM, dan masyarakat sipil—dengan transparansi, akuntabilitas, dan keberanian untuk mengakui serta mengatasi ketimpangan kekuasaan di setiap level1.

Sumber artikel :
Sojamo, S. and Rudebeck, T. 2024. Corporate engagement in water policy and governance: A literature review on water stewardship and water security. Water Alternatives 17(2): 292-324