Teknik Sipil

Menggali Transformasi Kompetensi Mahasiswa Teknik Sipil Melalui Magang Vokasi: Studi Kasus, Data, dan Implikasi Masa Depan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 08 Juli 2025


Magang Vokasi, Katalis Kompetensi Profesional di Era Industri 4.0

Di tengah pesatnya perubahan industri konstruksi dan tuntutan globalisasi, lulusan teknik sipil dituntut tidak hanya menguasai teori, tetapi juga mampu mengaplikasikan pengetahuan dalam situasi nyata. Magang vokasi hadir sebagai jembatan vital antara dunia kampus dan dunia kerja. Artikel ini mengupas tuntas hasil penelitian “Competence Development as Part of Professional Growth Through Vocational Apprenticeships among Students of Civil Engineering Program in Indonesia” karya Mohammad Romadhon dkk., menyoroti bagaimana magang vokasi membentuk kompetensi, studi kasus nyata, serta relevansinya terhadap tren industri dan pendidikan masa kini.

Latar Belakang: Kompetensi, Magang, dan Tantangan Dunia Konstruksi

Kesenjangan Kompetensi di Dunia Teknik Sipil

  • Banyak penelitian sebelumnya di Indonesia lebih menyoroti pengembangan kompetensi melalui sertifikasi keahlian, seperti pada bidang keperawatan, akuntansi, dan operator alat berat.
  • Masih terdapat gap riset terkait pengembangan kompetensi berbasis pengalaman langsung (experiential learning), khususnya di bidang teknik sipil.
  • Dunia industri mengeluhkan lulusan yang belum siap praktik, sehingga magang vokasi menjadi solusi untuk memperkuat kesiapan kerja.

Teori Pengembangan Kompetensi: Fondasi Penelitian

Penelitian ini menggunakan Competence Development Theory yang menekankan:

  • Reflective Practice: Pembelajaran melalui refleksi mendalam atas pengalaman.
  • Experiential Learning: Pengetahuan diperoleh lewat pengalaman nyata, bukan sekadar teori.
  • Adaptation of Mental Models: Kemampuan menyesuaikan pola pikir berdasarkan pengalaman baru.
  • Continuous Improvement: Upaya berkelanjutan untuk meningkatkan diri.

Teori ini sangat relevan dengan kebutuhan industri konstruksi yang dinamis dan penuh tantangan.

Metodologi Penelitian: Pendekatan Kualitatif dan Studi Naratif

  • Menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan naratif untuk menggali pengalaman individual mahasiswa teknik sipil selama magang.
  • Informan dipilih secara purposif, yakni mereka yang memiliki pengalaman relevan di proyek konstruksi.
  • Data dikumpulkan melalui wawancara semi-terstruktur, sehingga memungkinkan eksplorasi mendalam namun tetap terarah.
  • Analisis data bersifat deskriptif kualitatif, mengidentifikasi dan mengkategorikan temuan utama untuk memperoleh gambaran utuh proses pengembangan kompetensi.

Studi Kasus: Transformasi Kompetensi Mahasiswa Teknik Sipil Selama Magang

Pengalaman Teknis di Lapangan

Mahasiswa magang terlibat langsung dalam berbagai aktivitas teknis, seperti:

  • Mengukur titik bowplank, menempatkan anchor pada kolom, merevisi shop drawing, dan mengawasi marking serta pembesian.
  • Menggunakan alat ukur presisi seperti theodolite dan prism stick untuk memastikan akurasi.
  • Memastikan setiap tahap pekerjaan sesuai spesifikasi dan standar melalui panduan gambar kerja dari Autocad.

Studi Kasus 1: Supervisi dan Problem Solving di Proyek Konstruksi

Seorang mahasiswa magang bertugas mengawasi proses marking dan pembesian pada proyek gedung bertingkat. Ia harus memastikan hasil pengukuran tepat, merevisi gambar kerja, dan berkoordinasi dengan tim surveyor serta Site Engineer. Tantangan muncul ketika terdapat ketidaksesuaian antara kondisi lapangan dan gambar kerja. Mahasiswa harus mengidentifikasi masalah, mengumpulkan data, menganalisis bersama tim, dan mengevaluasi solusi yang diambil. Proses ini menuntut ketelitian, komunikasi efektif, dan kemampuan problem solving yang kuat.

Pengambilan Keputusan dan Kolaborasi Tim

  • Proses pengambilan keputusan dimulai dari identifikasi masalah, pengumpulan informasi, analisis, hingga pemilihan solusi terbaik.
  • Mahasiswa diberi ruang untuk mengambil keputusan mandiri, namun tetap dikontrol oleh Site Engineer.
  • Diskusi dengan tim surveyor sangat penting, terutama jika ada perbedaan marking di lapangan.

Studi Kasus 2: Kolaborasi dan Komunikasi

Dalam satu proyek, mahasiswa menghadapi kendala pada marking dinding yang tidak sesuai gambar. Diskusi intens dengan surveyor dan Site Engineer menjadi kunci untuk menemukan solusi. Mahasiswa belajar mengintegrasikan pengetahuan akademik dengan praktik lapangan, serta mengasah kemampuan komunikasi agar instruksi kepada pekerja jelas dan efektif.

Adaptasi dan Penyesuaian Mental Model

  • Mahasiswa dihadapkan pada tantangan perubahan dan ketidakpastian di lapangan, seperti revisi gambar dari konsultan yang sering membingungkan.
  • Diperlukan adaptasi pola pikir dan keterampilan negosiasi untuk memahami dan menyampaikan revisi dengan tepat.
  • Pengalaman ini melatih mahasiswa untuk berpikir kritis, terbuka terhadap masukan, dan mampu bernegosiasi secara profesional.

Studi Kasus 3: Negosiasi dan Adaptasi

Ketika menghadapi revisi gambar yang tidak jelas, mahasiswa harus aktif berdiskusi dengan drafter dan Site Engineer. Perbedaan pendapat menjadi peluang untuk mengasah retorika dan kemampuan negosiasi, sekaligus meningkatkan kepercayaan diri dalam menyampaikan ide dan solusi.

Pengembangan Keterampilan Teknis dan Manajerial

  • Mahasiswa ditugaskan melakukan leveling elevasi galian, menggambar proyek kompleks, dan menjadi quantity surveyor dengan deadline ketat.
  • Tantangan ini mengasah keterampilan teknis, manajemen waktu, dan kemampuan menggunakan perangkat lunak seperti Microsoft Excel untuk evaluasi beton.

Studi Kasus 4: Manajemen Waktu dan Efisiensi

Seorang mahasiswa dipercaya menjadi quantity surveyor untuk proyek besar dengan tenggat waktu sempit. Ia harus belajar mengatur waktu, meminta bantuan supervisor, dan mencari solusi efisien melalui tutorial daring. Hasilnya, mahasiswa berhasil menyelesaikan tugas tepat waktu dan meningkatkan keahlian manajemen proyek.

Proaktif dan Pembelajaran Mandiri

  • Mahasiswa didorong untuk aktif mencari informasi, bertanya pada stakeholder, dan melakukan observasi mandiri.
  • Tutorial online, diskusi dengan supervisor, dan pencatatan pengalaman menjadi bagian dari strategi pembelajaran mandiri.
  • Sikap proaktif ini membantu mahasiswa mengatasi hambatan dan memperluas pengetahuan teknis di lapangan.

Integrasi Pengetahuan Akademik dan Praktik

  • Magang memberikan kesempatan untuk menerapkan teori yang dipelajari di kampus ke situasi nyata di proyek konstruksi.
  • Mahasiswa belajar menyesuaikan teori dengan realitas lapangan, menghadapi perbedaan antara rencana dan pelaksanaan.

Studi Kasus 5: Sinkronisasi Teori dan Praktik

Mahasiswa yang bertugas sebagai drafter merasakan perbedaan besar antara gambar yang dibuat di kampus dan kebutuhan nyata di lapangan. Dengan turun langsung ke proyek, ia dapat melihat hasil pekerjaannya, memahami proses konstruksi, dan memperbaiki gambar sesuai kebutuhan implementasi.

Pengembangan Soft Skills dan Profesionalisme

  • Magang juga menjadi ajang pengembangan soft skills seperti komunikasi, kolaborasi, dan adaptasi terhadap lingkungan kerja yang beragam.
  • Mahasiswa belajar menghadapi dinamika tim, mengelola konflik, dan menjaga fokus pada tujuan proyek.

Studi Kasus 6: Interaksi Multikultural dan Profesionalisme

Dalam proyek yang melibatkan berbagai pihak, mahasiswa harus berinteraksi dengan pekerja, insinyur, dan komunitas lokal. Pengalaman ini memperkuat kemampuan interpersonal, memperluas wawasan, dan membentuk profesionalisme yang adaptif.

Data dan Angka-Angka Penting dari Penelitian

  • Jumlah peserta magang yang dianalisis: Tidak disebutkan secara eksplisit, namun penelitian menggunakan purposive sampling untuk memilih informan dengan pengalaman relevan.
  • Durasi magang: Beragam, tergantung pada proyek dan kebijakan kampus, namun rata-rata berlangsung beberapa bulan.
  • Aktivitas utama: Pengukuran, revisi gambar, quantity survey, evaluasi beton, manajemen waktu, komunikasi tim, dan problem solving.
  • Hasil utama: Mahasiswa mengalami peningkatan signifikan dalam keterampilan teknis, manajerial, soft skills, dan adaptasi pola pikir.

Analisis Kritis: Keunikan, Tantangan, dan Implikasi Magang Vokasi

Keunggulan Magang Vokasi dalam Pengembangan Kompetensi

  • Magang vokasi terbukti menjadi wahana efektif untuk mengembangkan kompetensi holistik, tidak hanya hard skills tetapi juga soft skills.
  • Proses refleksi, pengalaman langsung, dan adaptasi pola pikir mendorong mahasiswa menjadi pembelajar sepanjang hayat.
  • Mahasiswa lebih siap menghadapi tantangan dunia kerja, mampu beradaptasi dengan perubahan, dan memiliki kepercayaan diri tinggi.

Tantangan Implementasi Magang

  • Perbedaan antara teori kampus dan praktik lapangan masih menjadi kendala utama.
  • Tidak semua mahasiswa mendapat pengalaman magang yang optimal, tergantung pada kualitas proyek dan pembimbing.
  • Lingkungan kerja yang monoton atau kurang harmonis dapat menurunkan motivasi, sehingga perlu strategi untuk menjaga semangat belajar.

Perbandingan dengan Penelitian Lain

  • Penelitian ini melengkapi studi sebelumnya yang lebih fokus pada sertifikasi keahlian, dengan menyoroti pentingnya experiential learning dalam membangun kompetensi.
  • Teori kompetensi yang digunakan sejalan dengan konsep Kolb (experiential learning) dan Schön (reflective practice), namun menambahkan dimensi adaptasi mental model dan continuous improvement.
  • Studi serupa di bidang keperawatan, akuntansi, dan teknik alat berat juga menekankan pentingnya integrasi teori dan praktik, namun penelitian ini lebih menonjolkan proses refleksi dan adaptasi sebagai kunci pertumbuhan profesional.

Implikasi untuk Pendidikan Tinggi dan Industri

  • Perguruan tinggi perlu memperkuat program magang vokasi, memastikan pengalaman yang didapat relevan dan bermakna.
  • Kolaborasi dengan industri harus diperluas, agar mahasiswa terlibat dalam proyek-proyek nyata dengan supervisi yang memadai.
  • Evaluasi dan monitoring magang perlu dilakukan secara berkala untuk mengukur dampak terhadap pengembangan kompetensi.

Relevansi dengan Tren Industri dan Pendidikan Global

  • Industri konstruksi kini menuntut lulusan yang adaptif, inovatif, dan siap menghadapi disrupsi teknologi.
  • Magang vokasi menjadi solusi strategis untuk memperkuat link and match antara kampus dan dunia kerja.
  • Digitalisasi dan pembelajaran daring membuka peluang untuk memperluas akses magang, termasuk melalui proyek virtual dan simulasi digital.

Rekomendasi: Strategi Penguatan Magang Vokasi

  1. Desain Kurikulum Berbasis Kompetensi
    • Integrasikan magang sebagai bagian wajib kurikulum, dengan porsi evaluasi yang jelas.
    • Kembangkan modul pembelajaran yang menekankan refleksi, adaptasi, dan continuous improvement.
  2. Kolaborasi Multi-Pihak
    • Bangun kemitraan strategis antara kampus, industri, dan asosiasi profesi untuk memperluas peluang magang.
    • Libatkan alumni dan praktisi sebagai mentor magang.
  3. Digitalisasi dan Inovasi Magang
    • Manfaatkan teknologi untuk monitoring, evaluasi, dan pelaporan magang secara real time.
    • Kembangkan platform daring untuk berbagi pengalaman dan best practice antar mahasiswa.
  4. Penguatan Soft Skills
    • Selenggarakan pelatihan komunikasi, negosiasi, dan problem solving sebelum dan selama magang.
    • Dorong mahasiswa untuk aktif mencari solusi, berkolaborasi, dan berinovasi di lapangan.
  5. Evaluasi Berkelanjutan
    • Lakukan evaluasi dampak magang terhadap peningkatan kompetensi secara periodik.
    • Libatkan industri dalam proses evaluasi untuk memastikan relevansi dengan kebutuhan pasar kerja.

Internal & External Linking: Memperluas Wawasan Pembaca

Artikel ini sangat relevan untuk dikaitkan dengan topik lain seperti:

  • Strategi revitalisasi pendidikan vokasi nasional
  • Penguatan link and match kampus–industri di era industri 4.0
  • Digitalisasi pelatihan dan sertifikasi profesi
  • Studi kasus sukses magang di negara maju
  • Pengembangan soft skills dalam pendidikan tinggi

Opini dan Kritik: Menata Ulang Ekosistem Magang di Indonesia

Magang vokasi telah terbukti menjadi katalis pengembangan kompetensi yang efektif, namun implementasinya masih menghadapi tantangan. Penting bagi perguruan tinggi untuk tidak sekadar menjadikan magang sebagai formalitas, tetapi sebagai proses pembelajaran bermakna yang didukung refleksi, evaluasi, dan inovasi berkelanjutan. Industri juga harus lebih aktif berperan sebagai mitra pembelajaran, bukan hanya sebagai pengguna tenaga kerja.

Potensi magang untuk membangun SDM unggul sangat besar, namun perlu sinergi semua pihak agar manfaatnya optimal. Jangan sampai magang hanya menjadi “syarat kelulusan” tanpa dampak nyata pada kesiapan kerja lulusan.

Kesimpulan: Magang Vokasi, Pilar Transformasi Kompetensi Mahasiswa Teknik Sipil

Magang vokasi telah terbukti mempercepat transformasi kompetensi mahasiswa teknik sipil di Indonesia. Melalui pengalaman langsung, refleksi, adaptasi, dan continuous improvement, mahasiswa tidak hanya menguasai keterampilan teknis, tetapi juga soft skills dan pola pikir adaptif yang sangat dibutuhkan industri masa kini. Studi kasus nyata menunjukkan bahwa magang mampu menjembatani gap antara teori dan praktik, sekaligus membentuk profesional muda yang siap bersaing di era global.

Sudah saatnya magang vokasi menjadi arus utama dalam pendidikan tinggi teknik sipil, didukung kurikulum berbasis kompetensi, kolaborasi multi-pihak, dan inovasi digital. Dengan demikian, Indonesia dapat mencetak lulusan teknik sipil yang unggul, adaptif, dan siap menghadapi tantangan industri konstruksi masa depan.

Sumber asli:
Mohammad Romadhon, Anggi Rahmad Zulfikar, Puguh Novi Prasetyono, F. X. Maradona Manteiro, Siti Talitha Rachma, Iklima Faiza, Eliska Y. Silaban. “Competence Development as Part of Professional Growth Through Vocational Apprenticeships among Students of Civil Engineering Program in Indonesia.” Proceedings of the International Joint Conference on Arts and Humanities 2024 (IJCAH 2024), Advances in Social Science, Education and Humanities Research 879, hlm. 2283–2291.

Selengkapnya
Menggali Transformasi Kompetensi Mahasiswa Teknik Sipil Melalui Magang Vokasi: Studi Kasus, Data, dan Implikasi Masa Depan

Teknik Sipil

Menjawab Tantangan Pembelajaran Teknik Sipil: Meningkatkan Kompetensi Konstruksi Balok Sederhana melalui PBL dan Drill

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 28 Mei 2025


Pendahuluan

Dalam dunia pendidikan vokasional, khususnya Teknik Sipil di tingkat SMK, penguasaan materi dasar seperti konstruksi balok sederhana merupakan fondasi penting bagi siswa. Penelitian Windri Eka Candri (2021) yang dilakukan di SMK Negeri 1 Cibinong hadir sebagai respons terhadap rendahnya nilai siswa dalam mata pelajaran Mekanika Teknik, khususnya pada kompetensi menghitung konstruksi balok sederhana. Dengan mengombinasikan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dan metode Drill, penelitian ini memberikan pendekatan baru yang terbukti mampu meningkatkan hasil belajar siswa secara signifikan.

Latar Belakang dan Permasalahan

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa lebih dari 65% siswa tidak memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) pada materi konstruksi balok sederhana. Penyebab utama rendahnya hasil belajar ini di antaranya:

  • Rendahnya pemahaman siswa terhadap konsep dasar.

  • Kurangnya latihan dan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran.

  • Metode ceramah yang monoton dan minim interaksi.
     

Masalah-masalah ini memunculkan kebutuhan mendesak akan strategi pengajaran yang lebih partisipatif dan kontekstual.

Metodologi Penelitian

Penelitian dilakukan dengan pendekatan tindakan kelas (Classroom Action Research) dalam dua siklus yang masing-masing terdiri dari dua pertemuan. Subjek penelitian adalah 34 siswa kelas X BKP 2 SMKN 1 Cibinong yang terdiri dari 18 laki-laki dan 16 perempuan. Penelitian dilaksanakan selama Agustus hingga Desember 2019.

Data dikumpulkan melalui:

  • Lembar observasi aktivitas siswa dan guru

  • Pre-test dan post-test (siklus I dan II) untuk menilai pengetahuan siswa

  • Refleksi dan evaluasi siklus untuk menentukan efektivitas tindakan
     

Hasil Penelitian

Peningkatan Kompetensi Siswa

  • Pre-test menunjukkan hanya 13 dari 34 siswa (38,2%) yang mencapai nilai di atas KKM (76).

  • Setelah siklus I dengan penerapan PBL + Drill, jumlah siswa kompeten meningkat menjadi 21 siswa (58,8%).

  • Pada akhir siklus II, terjadi peningkatan drastis: 29 dari 34 siswa (85,3%) mencapai nilai kompeten.
     

Aktivitas Siswa dan Guru

  • Aktivitas siswa meningkat dari 79% (cukup aktif) di siklus I menjadi 87% (aktif) di siklus II.

  • Aktivitas guru meningkat dari 84% (baik) menjadi 90% (sangat baik).
     

Grafik peningkatan skor siswa dan keaktifan baik siswa maupun guru menunjukkan bahwa strategi pembelajaran ini mendorong keterlibatan dan pemahaman siswa secara menyeluruh.

Studi Kasus: Dampak Langsung di Lapangan

Sebagai contoh nyata, salah satu siswa bernama R, yang sebelumnya hanya mendapatkan nilai 65 pada pre-test, menunjukkan peningkatan hingga 83 setelah siklus II. Melalui diskusi kelompok berbasis masalah dan penguatan soal dengan drill, R menjadi lebih percaya diri dalam memahami perhitungan beban dan gaya pada balok sederhana.

Analisis dan Nilai Tambah

A. Kekuatan Pendekatan

  • PBL mendorong keterlibatan aktif siswa, bukan sekadar pasif mendengarkan ceramah.

  • Metode Drill memperkuat penguasaan teknis dan rutinitas perhitungan.

  • Kombinasi keduanya menciptakan keseimbangan antara pemahaman konsep dan kemampuan menyelesaikan soal.
     

B. Kelemahan dan Catatan

  • Penelitian hanya mencakup satu kelas dalam satu tahun ajaran, sehingga diperlukan replikasi lebih luas untuk generalisasi.

  • Tidak disebutkan keberlanjutan pemahaman siswa dalam jangka panjang.
     

C. Perbandingan dengan Penelitian Lain

Studi ini sejalan dengan penelitian Priyasudana (2016) dan Mardiah et al. (2016) yang juga menunjukkan bahwa PBL meningkatkan hasil belajar siswa Teknik Sipil. Namun, nilai tambah Candri terletak pada integrasi Drill, yang menjembatani antara pemahaman konseptual dan keterampilan teknis harian.

Implikasi Praktis untuk Pendidikan Teknik

  • Guru Teknik Sipil dapat mengadopsi model ini untuk topik lain seperti struktur rangka atau analisis beban.

  • Sekolah dapat memfasilitasi pelatihan PBL bagi guru, mengingat metode ini mendorong pembelajaran aktif.

  • Kebijakan pendidikan vokasi perlu mendorong riset tindakan kelas sebagai alat peningkatan mutu.
     

Kesimpulan

Penelitian Windri Eka Candri menunjukkan bahwa integrasi Problem Based Learning dan Drill merupakan strategi efektif untuk meningkatkan kompetensi siswa dalam menghitung konstruksi balok sederhana. Peningkatan signifikan baik dari aspek nilai maupun keterlibatan siswa menegaskan pentingnya model pembelajaran aktif dan kontekstual dalam pendidikan kejuruan.

Sebagai penutup, studi ini tidak hanya menyumbang pengetahuan empiris, tetapi juga memberikan inspirasi praktik nyata yang aplikatif bagi guru dan pembuat kebijakan pendidikan vokasional.


Sumber: Windri Eka Candri. (2021). Peningkatan Kompetensi Konstruksi Balok Sederhana melalui Model Pembelajaran Problem Based Learning dipadukan dengan Metode Drill. Jurnal Pensil: Pendidikan Teknik Sipil, 10(1), 34–39. DOI: 10.21009/jpensil.v10i1.18505

Selengkapnya
Menjawab Tantangan Pembelajaran Teknik Sipil: Meningkatkan Kompetensi Konstruksi Balok Sederhana melalui PBL dan Drill

Teknik Sipil

Analisis Kritis dan Resensi Mendalam: Risiko Rembesan dan Intrusi Air Laut pada Perencanaan Struktur Bendungan Vertikal di Muara Cisadane

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 23 Mei 2025


Pendahuluan: Mencari Solusi Air Bersih dan Banjir Jakarta Lewat Inovasi Bendungan

 

Jakarta, sebagai salah satu kota megapolitan, menghadapi krisis air bersih dan banjir yang kian kompleks. Penyebabnya beragam: mulai dari penurunan muka tanah, peningkatan permukaan air laut, hingga eksploitasi air tanah berlebihan. Dalam menghadapi kondisi ini, konsep waduk pantai (coastal reservoir) menjadi solusi potensial. Penelitian oleh Dinar C. Istiyanto dkk. (2023) mengusulkan pendekatan struktur bendungan vertikal di muara Cisadane, dengan fokus pada analisis rembesan (seepage) dan risiko pencemaran air baku akibat intrusi air laut.

 

Rembesan: Ancaman Tersembunyi dalam Konstruksi Bendungan

 

Rembesan air merupakan aliran air melalui pori-pori tanah di bawah bendungan yang jika tidak dikendalikan dapat menyebabkan keruntuhan struktur melalui fenomena piping. Menurut Fry (2016), sekitar 50% kegagalan konstruksi bendungan disebabkan oleh rembesan. Penelitian ini menggunakan perangkat lunak SEEP/W untuk memodelkan perilaku aliran rembesan pada bendungan dengan lebar berbeda (10m, 20m, dan 30m) dan perbedaan tinggi muka air (ΔH) dari 1m hingga 6m.

 

Temuan Utama:

  • Dengan lebar 10m dan ΔH 1m, debit rembesan tercatat 3,14 x 10^-4 m3/s.
  • Semakin besar lebar bendungan, debit rembesan menurun: 20m menghasilkan 2,67 x 10^-4 m3/s dan 30m menjadi 2,50 x 10^-4 m3/s.

 

Namun, peningkatan ΔH justru menaikkan debit rembesan secara linier hingga 91% untuk setiap kenaikan 1m.

 

Faktor Keamanan: Seberapa Aman Desain Bendungan Vertikal?

 

Studi ini mengkaji faktor keamanan (safety factor) terhadap potensi piping. Berdasarkan perhitungan, nilai ambang aman adalah minimal 4. Namun:

  • Tanpa dinding cut-off, nilai safety factor hanya 1.10 (W=10m), 1.34 (W=20m), dan 1.39 (W=30m).
  • Dengan penambahan cut-off wall sedalam 15m, nilai ini meningkat drastis menjadi 4.03 pada W=30m.

 

Interpretasi: Tanpa elemen pengaman tambahan, struktur bendungan berisiko tinggi gagal secara teknis. Kombinasi lebar optimal dan kedalaman cut-off menjadi kunci menghindari keruntuhan.

 

Intrusi Air Laut: Musuh Tersembunyi dalam Waduk Air Baku

 

Masalah besar lain adalah intrusi air laut yang dapat mencemari sumber air tawar. Simulasi menggunakan CTRAN/W menunjukkan:

  • Pada lebar bendungan 10m dan ΔH=1m, konsentrasi garam di dasar waduk mencapai 65,12 g/m3 dalam 10 tahun.
  • Sementara itu, pada lebar 20m dan 30m, konsentrasi tersebut tidak terdeteksi, menandakan sistem cukup aman.

 

Efektivitas Cut-Off Wall:

 

  • Cut-off wall 5m mampu menurunkan konsentrasi hingga 94% pada ΔH=1m.
  • Cut-off wall 15m bahkan mampu menurunkan konsentrasi hingga nol pada ΔH rendah.

 

Perbandingan dengan Studi Lain dan Dampak Industri

 

Temuan ini menguatkan hasil dari Abdoulhalik & Ahmed (2017) yang menunjukkan efektivitas dinding cut-off dalam mencegah intrusi. Juga mendukung argumen Armanuos dkk. (2022) bahwa cut-off ganda memberikan performa optimal untuk menekan gaya angkat dan rembesan.

 

Dari perspektif industri, pendekatan ini membuka peluang besar dalam pembangunan infrastruktur pesisir yang adaptif terhadap perubahan iklim. Jakarta, yang mengalami penurunan muka tanah 8-13 cm/tahun (Minardi et al., 2014), sangat membutuhkan desain yang adaptif dan tangguh.

 

Kelebihan dan Catatan Kritis

 

Kelebihan Studi:

 

  • Pemanfaatan simulasi numerik mutakhir (SEEP/W dan CTRAN/W).
  • Penyesuaian terhadap data lokal dari Jakarta Utara.
  • Evaluasi lengkap dari segi rembesan, intrusi, dan faktor keamanan.

 

Catatan Kritis:

 

  • Studi ini menggunakan data sekunder dan simulasi; pengujian lapangan nyata tetap diperlukan.
  • Tidak membahas biaya implementasi cut-off wall secara rinci.
  • Efektivitas dalam skenario ΔH ekstrem (misal tsunami) belum dikaji.

 

Rekomendasi Implementatif

 

1. Wajibkan cut-off wall pada desain bendungan vertikal.

2. Pilih lebar bendungan minimum 20m untuk menghindari pencemaran garam.

3. Integrasikan sistem monitoring kualitas air berbasis sensor salinitas di reservoir.

 

 

Kesimpulan

 

Penelitian ini memberikan kontribusi nyata bagi dunia rekayasa sipil dan manajemen sumber daya air di wilayah pesisir. Pendekatan vertikal dengan sistem cut-off wall terbukti mampu mengurangi risiko rembesan dan pencemaran garam secara signifikan. Dengan tetap memperhatikan kondisi lokal dan dinamika iklim, desain ini dapat menjadi prototipe penting untuk daerah pesisir lain di Indonesia.

 

 

Sumber:

 

Istiyanto, D. C., Wulandari, I., Aziiz, S. A., Yuniardi, R. C., Suranto, Harita, Y. T. D., Hamid, A., & Widagdo, A. B. (2023). Seepage Analysis and the Reservoir Water Pollution Potential under Vertical Dam Structure Planning. Journal of the Civil Engineering Forum, 9(3), 263-276. https://doi.org/10.22146/jcef.6266

Selengkapnya
Analisis Kritis dan Resensi Mendalam: Risiko Rembesan dan Intrusi Air Laut pada Perencanaan Struktur Bendungan Vertikal di Muara Cisadane

Teknik Sipil

Pentingnya Etika Profesi Teknik Sipil dalam Pengambilan Keputusan K3L

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025


Pembangunan infrastruktur memegang peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara. Namun, sektor ini juga memiliki risiko tinggi terkait keselamatan, kesehatan kerja, dan lingkungan (K3L). Paper "Pentingnya Penerapan Etika Profesi Teknik Sipil dalam Pengambilan Keputusan Resiko Keselamatan dan Kesehatan Kerja & Lingkungan (K3L)" oleh Aditya Imam Wibisono dan Albani Musyafa menyoroti bagaimana penerapan etika profesi dapat meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dalam proyek konstruksi, terutama dalam memitigasi risiko K3L.

Industri konstruksi adalah salah satu sektor dengan tingkat kecelakaan kerja yang tinggi. Menurut penelitian ini:

  • 70% kecelakaan kerja di sektor konstruksi disebabkan oleh faktor manusia, termasuk kesalahan dalam pengambilan keputusan.
  • 30% lainnya berasal dari faktor teknis, seperti kesalahan desain atau penggunaan material yang tidak sesuai standar.
  • Kurangnya kepatuhan terhadap prosedur K3L menyumbang lebih dari 50% kecelakaan kerja.

Angka ini menunjukkan bahwa pengambilan keputusan yang tepat dalam mempertimbangkan aspek keselamatan sangat penting untuk menekan risiko dalam proyek konstruksi.

Peran Etika Profesi dalam Pengambilan Keputusan

Kode etik profesi insinyur berfungsi sebagai panduan moral bagi para profesional teknik sipil dalam menjalankan tugasnya. Prinsip utama yang ditekankan dalam kode etik ini meliputi:

  • Keselamatan dan kesejahteraan publik sebagai prioritas utama.
  • Integritas dan transparansi dalam semua tahapan proyek.
  • Tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam praktik teknik sipil.

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa insinyur yang memahami dan menerapkan kode etik profesi lebih cenderung membuat keputusan yang tepat dalam situasi berisiko dibandingkan mereka yang hanya berfokus pada aspek teknis.

Kecerdasan Emosional dan Pengaruhnya terhadap Keputusan Insinyur

Salah satu temuan menarik dari penelitian ini adalah hubungan antara kecerdasan emosional (EQ) dan kualitas pengambilan keputusan dalam mitigasi risiko K3L. Studi ini menemukan bahwa:

  • Insinyur dengan EQ tinggi lebih mampu menahan tekanan dan membuat keputusan yang lebih rasional dalam kondisi darurat.
  • Pemimpin proyek dengan kecerdasan emosional tinggi memiliki tingkat keberhasilan proyek 40% lebih tinggi dibandingkan yang memiliki EQ rendah.
  • Tim konstruksi yang dipimpin oleh individu dengan EQ tinggi mengalami penurunan kecelakaan kerja hingga 25%.

EQ mencakup kemampuan mengenali emosi diri sendiri dan orang lain, mengelola stres, serta berkomunikasi secara efektif dalam tim. Kemampuan ini sangat penting bagi insinyur dalam menghadapi tekanan di lapangan.

Dampak Penerapan Kode Etik terhadap Keberlanjutan Infrastruktur

Keberlanjutan menjadi aspek yang semakin diperhatikan dalam industri konstruksi. Penelitian ini menyoroti bahwa insinyur yang menerapkan kode etik profesi cenderung:

  • Menggunakan material yang lebih ramah lingkungan.
  • Memastikan desain bangunan sesuai dengan prinsip keberlanjutan.
  • Menerapkan teknologi hemat energi dalam proyek infrastruktur.

80% proyek yang menerapkan prinsip keberlanjutan mengalami peningkatan efisiensi operasional hingga 20% dibandingkan proyek konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa etika profesi tidak hanya berdampak pada keselamatan kerja, tetapi juga pada keberlanjutan proyek jangka panjang.

Analisis dan Kritik

1. Pentingnya Kombinasi Keterampilan Teknis dan Soft Skill

Dalam praktiknya, insinyur sering kali lebih fokus pada aspek teknis dibandingkan aspek non-teknis seperti kecerdasan emosional dan etika profesi. Padahal, penelitian ini membuktikan bahwa:

  • Keputusan yang buruk dalam proyek konstruksi lebih sering dipengaruhi oleh kurangnya pengelolaan emosi dibandingkan kekurangan keterampilan teknis.
  • Pelatihan soft skill bagi insinyur dapat mengurangi kesalahan pengambilan keputusan hingga 30%.

Dengan demikian, kurikulum pendidikan teknik sipil sebaiknya tidak hanya menekankan pada kompetensi teknis, tetapi juga pengembangan soft skill seperti kepemimpinan, komunikasi, dan manajemen stres.

2. Perlunya Regulasi yang Lebih Ketat terhadap Penerapan Etika Profesi

Saat ini, penerapan kode etik profesi masih bersifat sukarela dan kurang memiliki mekanisme penegakan yang jelas. Beberapa rekomendasi yang diusulkan dalam penelitian ini meliputi:

  • Pemberian sanksi bagi insinyur yang terbukti melanggar kode etik profesi.
  • Insentif bagi perusahaan konstruksi yang menerapkan standar etika tinggi dalam proyek mereka.
  • Peningkatan peran asosiasi profesi dalam mengawasi kepatuhan terhadap kode etik.

Langkah-langkah ini diharapkan dapat meningkatkan standar keselamatan dan kualitas proyek infrastruktur di Indonesia.

Penelitian ini menegaskan bahwa penerapan kode etik profesi dalam teknik sipil memiliki dampak yang signifikan terhadap pengambilan keputusan terkait risiko K3L. Temuan utama yang dapat disimpulkan adalah:

  • Insinyur dengan pemahaman etika profesi yang baik lebih cenderung membuat keputusan yang mempertimbangkan keselamatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan publik.
  • Kecerdasan emosional memainkan peran penting dalam meningkatkan kualitas pengambilan keputusan di lingkungan kerja yang penuh tekanan.
  • Regulasi dan mekanisme penegakan kode etik perlu diperkuat untuk memastikan implementasi yang lebih luas dalam industri konstruksi.

Sebagai rekomendasi, beberapa langkah yang dapat diambil untuk meningkatkan penerapan etika profesi dalam teknik sipil adalah:

  1. Integrasi pelatihan kecerdasan emosional dalam pendidikan teknik sipil, untuk meningkatkan keterampilan pengambilan keputusan di lapangan.
  2. Peningkatan regulasi dan sanksi bagi pelanggaran kode etik, guna memastikan kepatuhan yang lebih ketat di industri konstruksi.
  3. Mendorong penggunaan teknologi ramah lingkungan dalam proyek infrastruktur, sesuai dengan prinsip keberlanjutan.
  4. Peningkatan kolaborasi antara asosiasi profesi, pemerintah, dan perusahaan konstruksi untuk menciptakan standar etika yang lebih jelas dan dapat ditegakkan.

Dengan langkah-langkah ini, diharapkan pembangunan infrastruktur dapat berjalan dengan lebih aman, efisien, dan berkelanjutan.

Sumber Artikel:
Aditya Imam Wibisono, Albani Musyafa. "Pentingnya Penerapan Etika Profesi Teknik Sipil dalam Pengambilan Keputusan Resiko Keselamatan dan Kesehatan Kerja & Lingkungan (K3L)." Jurnal Teknik Mesin, Industri, Elektro dan Informatika, Vol. 3 No. 3, September 2024, Hal 279-290.

Selengkapnya
Pentingnya Etika Profesi Teknik Sipil dalam Pengambilan Keputusan K3L

Teknik Sipil

Mempersiapkan Lulusan Teknik Sipil Indonesia untuk Dunia Kerja: Apa yang Sebenarnya Dibutuhkan Industri?

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 09 Mei 2025


Mengapa Kompetensi Lulusan Teknik Sipil Masih Dipertanyakan?

Industri konstruksi di Indonesia memang terus berkembang, menyumbang sekitar 6% terhadap PDB dan mempekerjakan lebih dari 8,3 juta orang. Namun, hanya sekitar 20% dari jumlah tersebut yang benar-benar dianggap sebagai ahli konstruksi. Bahkan, hanya 17% yang memiliki sertifikat keahlian resmi dari Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional. Ini mengindikasikan adanya kesenjangan kompetensi yang cukup serius. Di sinilah letak masalah utamanya: bagaimana universitas dapat meluluskan mahasiswa yang benar-benar siap kerja?

Studi Ini dan Pendekatan Penelitiannya

Penelitian oleh Fitriani dan Ajayi menggunakan pendekatan mixed method—gabungan kualitatif dan kuantitatif—untuk mengeksplorasi apa saja kompetensi yang paling dibutuhkan industri dari lulusan teknik sipil. Mereka melakukan wawancara dengan enam perusahaan yang secara aktif merekrut lulusan baru dan menyebarkan kuesioner kepada 500 profesional, dengan tingkat respons mencapai 63% (313 orang).

Setelah dianalisis dengan exploratory factor analysis, ditemukan 10 kelompok kompetensi utama yang dianggap sangat krusial.

10 Kompetensi Inti yang Harus Dimiliki Lulusan Teknik Sipil

1. Interpersonal Management Skills (16,23% varian total)

Kompetensi ini termasuk kemampuan bekerja dalam tim, kepemimpinan, loyalitas, dan tanggung jawab. Menariknya, justru kompetensi lunak seperti ini yang paling diutamakan dibanding keterampilan teknis. Model Iceberg dari Spencer & Spencer (2008) mendukung temuan ini—sekitar 80% keberhasilan kerja ditentukan oleh karakter, motivasi, dan sikap, bukan sekadar pengetahuan teknis.

2. Kepribadian Positif (8,83%)

Termasuk di dalamnya motivasi diri, integritas, dan rasa hormat. Ini menunjukkan bahwa perusahaan lebih memilih pekerja yang bisa beradaptasi dan menciptakan lingkungan kerja nyaman, dibandingkan mereka yang hanya jago secara teknis.

3. Kemampuan Wirausaha dan Bisnis (8,8%)

Di tengah minimnya pendidikan kewirausahaan di kampus, kompetensi ini justru dianggap vital. Lulusan yang mampu membuat perencanaan bisnis, mengembangkan produk baru, dan berkontribusi pada pertumbuhan usaha akan lebih mudah direkrut, atau bahkan menjadi entrepreneur sendiri.

4. Literasi Digital dan Teknologi (8,2%)

Kemampuan menggunakan BIM (Building Information Modeling), AutoCAD, dan pemahaman digitalisasi data sangat dihargai. Di era industri 4.0, teknologi sudah menjadi syarat wajib untuk berkarier di sektor konstruksi.

5. Kemampuan Kerja Tim (6,23%)

Skill ini mencakup kemampuan berkolaborasi, menerima keputusan kelompok, dan menyelesaikan konflik. Kampus dapat mendorong keterampilan ini lewat tugas kelompok dan simulasi proyek.

6. Kemampuan Teknik Sipil Dasar (5,65%)

Meskipun esensial, pengetahuan teknis seperti prinsip desain dan formulasi masalah hanya menduduki peringkat ke-6. Ini menegaskan bahwa keterampilan teknis diasumsikan sudah menjadi "modal awal", namun belum cukup tanpa soft skills.

7. Pengetahuan Geoteknik (4,83%)

Dalam proyek konstruksi, pemahaman tentang struktur tanah, stabilitas lereng, dan kapasitas beban sangat diperlukan. Ini sering menjadi titik lemah lulusan karena kurang praktik lapangan.

8. Komunikasi Efektif (4,59%)

Perusahaan mengeluhkan lemahnya kemampuan komunikasi teknis, baik lisan maupun tertulis. Lulusan harus mampu mempresentasikan ide dan berkomunikasi dengan berbagai pihak, termasuk lintas budaya.

9. Client-Oriented Thinking (3,24%)

Memahami kebutuhan dan harapan klien sangat penting dalam proyek berbasis tender. Kepuasan klien bisa menjadi tolok ukur keberhasilan proyek dan peluang proyek berikutnya.

10. Mental Kuat dan Sikap Positif (2,13%)

Tekanan pekerjaan di dunia konstruksi sangat tinggi. Kemampuan mengelola stres dan tetap positif menjadi nilai tambah yang tidak boleh diabaikan.

Studi Kasus: Apa yang Terjadi di Dunia Nyata?

Data dari BPS (2018) menunjukkan bahwa 83% pekerja konstruksi belum bersertifikasi. Ini menunjukkan tantangan besar dalam peningkatan kualitas SDM. Sementara itu, hasil survei terhadap 313 responden menunjukkan bahwa integritas menjadi kompetensi yang paling sering disebut, meski akhirnya dihapus dalam analisis karena tidak memenuhi uji reliabilitas (Cronbach Alpha jika dihapus = 0,984).

Menariknya, walau universitas masih fokus pada aspek akademis dan teori, perusahaan justru menaruh bobot lebih pada kepribadian dan fleksibilitas individu. Seorang lulusan dengan nilai bagus tapi lemah dalam komunikasi dan kerja tim bisa kalah bersaing dengan kandidat lain yang secara akademik lebih biasa tapi memiliki soft skills kuat.

Apa yang Harus Dilakukan Kampus dan Mahasiswa?

Penelitian ini menyarankan transformasi kurikulum dari yang semata-mata berbasis teori menuju pendekatan praktikal dan berbasis kebutuhan industri. Beberapa rekomendasi strategis yang bisa dilakukan:

  • Integrasi tugas bisnis dalam mata kuliah teknik.
  • Penggunaan BIM dan teknologi digital dalam pembelajaran proyek.
  • Kolaborasi lebih erat dengan industri melalui program magang yang berbobot.
  • Kegiatan yang mendorong pembentukan karakter, seperti pelatihan kepemimpinan dan kerja sosial.
  • Mata kuliah komunikasi teknis dan pengembangan diri secara eksplisit.

Bandingkan dengan Penelitian Sebelumnya

Penelitian ini menegaskan temuan dari Male et al. (2011) di Australia dan Zaheer et al. (2020) di Inggris, yang menyebutkan bahwa kompetensi generik seperti komunikasi, kerja tim, dan manajemen diri adalah kunci kesuksesan karier. Namun, pendekatan Fitriani dan Ajayi lebih kontekstual dengan fokus di Indonesia dan menyasar data kuantitatif langsung dari pelaku industri, sehingga hasilnya lebih relevan secara lokal.

Kesimpulan: Soft Skills Lebih Mahal daripada Nilai IPK?

Jelas terlihat bahwa IPK tinggi bukan jaminan sukses di dunia kerja teknik sipil. Justru soft skills—yang selama ini mungkin dianggap "tambahan"—menjadi pembeda utama. Ini menjadi pengingat keras bagi universitas dan mahasiswa bahwa penguasaan teknis saja tidak cukup. Dibutuhkan karakter yang kuat, sikap positif, serta kemampuan bekerja sama dan berinovasi.

Dengan adanya hasil studi ini, diharapkan universitas di Indonesia tidak lagi terpaku pada metode konvensional. Pembelajaran teknik sipil masa kini harus berbasis proyek nyata, kolaboratif, dan berorientasi pada dunia kerja. Mahasiswa pun harus proaktif membangun kapasitas diri di luar kelas—ikut organisasi, pelatihan digital, hingga proyek kewirausahaan.

Sumber artikel asli:
Fitriani, H. & Ajayi, S.O. (2021). Preparing Indonesian Civil Engineering Graduates for the World of Work. Industry and Higher Education. ISSN 0950-4222.

 

Selengkapnya
Mempersiapkan Lulusan Teknik Sipil Indonesia untuk Dunia Kerja: Apa yang Sebenarnya Dibutuhkan Industri?

Teknik Sipil

Potensi Inovasi dalam Proyek Infrastruktur Besar: Menelisik Sistem Design and Build

Dipublikasikan oleh Anisa pada 08 Mei 2025


Mengapa Design and Build Semakin Dilirik dalam Proyek Infrastruktur?

Dalam dua dekade terakhir, sistem pengadaan Design and Build (D&B) menjadi sorotan di sektor konstruksi, khususnya dalam proyek-proyek infrastruktur berskala besar. Dibandingkan metode tradisional seperti Design-Bid-Build, pendekatan D&B menyatukan proses perancangan dan pembangunan ke dalam satu kontrak terintegrasi. Namun, apakah model ini benar-benar mampu mendorong inovasi, efisiensi, dan kolaborasi lebih baik? Inilah yang coba dijawab Ann-Sophie Bormann dalam tesisnya yang mendalam dan berbasis studi kasus konkret.

Tujuan dan Fokus Penelitian

Bormann mengeksplorasi hubungan antara model kontrak D&B dan peluang untuk berinovasi dalam proyek infrastruktur besar. Penelitiannya menyoroti aspek organisasi, kontraktual, dan hubungan antarpemangku kepentingan. Fokusnya adalah pada bagaimana desain dan konstruksi yang dilakukan secara paralel dalam satu tim dapat memengaruhi hasil proyek – tidak hanya dari segi teknis, tetapi juga dari segi sosial dan ekonomi.

Metodologi: Studi Kasus Multi-Level

Penelitian ini mengandalkan studi kasus dari dua proyek besar di Eropa, yaitu:

  • Jernbanedirektoratet (Norwegia) – pembangunan rel ganda untuk proyek kereta api berkecepatan tinggi.

  • Projekt Hallandsås (Swedia) – pembangunan terowongan rel melalui pegunungan, proyek yang sempat mengalami krisis besar dan berganti model kontrak ke D&B.
     

Kedua proyek ini memberikan kerangka komparatif yang kuat untuk menilai efektivitas pendekatan D&B dari berbagai dimensi.

Temuan Utama: D&B Sebagai Ruang untuk Inovasi—Dengan Catatan

Inovasi Proses Lebih Umum daripada Inovasi Produk

Salah satu temuan penting dari penelitian ini adalah bahwa inovasi dalam proyek D&B cenderung bersifat proses—seperti efisiensi manajemen, metode kerja yang lebih kolaboratif, atau teknik perencanaan digital (BIM). Namun, inovasi produk seperti material baru atau teknologi revolusioner lebih jarang muncul. Hal ini disebabkan oleh tekanan terhadap biaya dan waktu, yang justru mendorong risk-averse behavior.

"Rather than pushing the envelope, design and build contracts often result in optimizing existing solutions rather than inventing new ones."

Kolaborasi Meningkat, Tapi Tidak Otomatis

Meskipun struktur D&B memungkinkan pemilik proyek dan kontraktor utama untuk bekerja sama lebih erat, kolaborasi yang baik tetap tergantung pada budaya organisasi dan kesiapan pihak-pihak terkait. Dalam beberapa kasus, kontraktor tidak mendapatkan ruang nyata untuk menawarkan solusi inovatif karena dokumen awal dari pemilik proyek terlalu ketat.

Risiko Dipindahkan, Bukan Dikelola Bersama

Model D&B sering kali digunakan untuk mentransfer risiko kepada kontraktor. Ini menciptakan motivasi untuk efisiensi, tetapi bisa menghambat eksperimen karena kontraktor enggan mengambil risiko yang bisa berdampak pada margin keuntungan mereka. Dengan kata lain, “inovasi butuh ruang untuk gagal”, tetapi dalam kontrak D&B, ruang ini sering kali sangat sempit.

Studi Kasus: Antara Harapan dan Realita

Kasus Jernbanedirektoratet – Efisiensi yang Terstruktur

Dalam proyek rel ganda Norwegia, kontrak D&B menghasilkan percepatan jadwal dan pengurangan koordinasi lintas entitas. Namun, pemilik proyek tetap sangat terlibat dalam spesifikasi awal, sehingga ruang inovasi dari pihak kontraktor sangat terbatas. Meski berhasil secara logistik, proyek ini menunjukkan bahwa D&B tidak otomatis menghasilkan terobosan baru.

Kasus Hallandsås – Pelajaran dari Kegagalan Awal

Proyek Hallandsås sempat menjadi "mimpi buruk" karena kegagalan teknik dan gangguan lingkungan. Setelah beralih ke sistem D&B, proyek ini berhasil kembali ke jalur yang lebih stabil, namun masih mengandalkan pendekatan konservatif. D&B dalam kasus ini bukanlah alat inovasi, tetapi alat kontrol.

Data dan Statistik: Fakta Kritis

  • 86% dari kontraktor dalam proyek yang dianalisis menyatakan bahwa mereka lebih fokus pada efisiensi proses dibanding penciptaan teknologi baru.

  • 60% proyek D&B dalam sektor infrastruktur Eropa gagal mencapai efisiensi biaya yang dijanjikan karena kendala birokrasi dan spesifikasi awal yang terlalu sempit.

  • 40% responden menganggap sistem ini mendorong kolaborasi lebih tinggi, namun hanya 23% yang merasa diberi ruang untuk berinovasi secara bebas.

Opini Kritis: D&B Bukan Formula Ajaib

Kelebihan Sistem D&B

  • Penyatuan tanggung jawab membuat komunikasi antar tim lebih cepat.

  • Potensi efisiensi biaya dan waktu yang lebih tinggi dalam proyek besar.

  • Kemampuan untuk memulai konstruksi lebih awal, sebelum desain akhir selesai 100%.

Kekurangan & Kritik

  • D&B bisa mematikan inovasi jika pemilik proyek terlalu mengunci spesifikasi teknis.

  • Kontraktor lebih memilih solusi yang telah teruji untuk menghindari risiko finansial.

  • Desain dapat dikompromikan untuk mengejar efisiensi, mengorbankan kualitas jangka panjang.

Bandingkan dengan Pendekatan Lain

Jika dibandingkan dengan model Integrated Project Delivery (IPD) atau Public-Private Partnership (PPP), D&B masih kurang memberi ruang partisipasi aktif dari semua pihak sejak awal. IPD, misalnya, mengusung prinsip shared risk-shared reward yang lebih mendorong keberanian berinovasi. Sementara PPP lebih kuat dalam aspek finansial dan pembagian risiko jangka panjang.

Implikasi Praktis untuk Industri Konstruksi

  1. Rekomendasi untuk Pemerintah & Pemilik Proyek:

    • Hindari spesifikasi terlalu rigid dalam dokumen tender D&B.

    • Ciptakan insentif inovasi, seperti bonus untuk efisiensi energi atau keberlanjutan.

    • Terapkan performance-based specifications alih-alih prescriptive specs.
       

  2. Untuk Kontraktor:

    • Bangun kapabilitas inovasi internal, termasuk divisi R&D yang aktif.

    • Dorong kolaborasi lintas fungsi sejak awal tender hingga eksekusi.

  3. Untuk Dunia Akademik:

    • Masih terbuka ruang riset terkait bagaimana D&B bisa lebih inklusif terhadap inovasi teknologi dan keberlanjutan jangka panjang.

Kesimpulan: D&B Adalah Alat, Bukan Tujuan

Model Design and Build dalam proyek infrastruktur besar menawarkan peluang efisiensi dan integrasi, tetapi tidak secara otomatis menghasilkan inovasi. Ruang inovasi hanya akan terbuka jika semua pihak—terutama pemilik proyek—mau memberi kepercayaan dan fleksibilitas. Tanpa itu, D&B hanya menjadi alat percepatan, bukan lompatan transformasi.

Sumber

Bormann, Ann-Sophie. Design and Build in Large Infrastructure Projects and the Possibilities of Innovation. Thesis, Chalmers University of Technology, 2019. Dapat diakses melalui https://hdl.handle.net/20.500.12380/257207

Selengkapnya
Potensi Inovasi dalam Proyek Infrastruktur Besar: Menelisik Sistem Design and Build
page 1 of 3 Next Last »