Teknik Kimia
Dipublikasikan oleh Muhammad Farhan Fadhil pada 11 Juli 2022
Kimia hijau, juga disebut kimia berkelanjutan, adalah cabang ilmu kimia yang menganjurkan desain produk dan proses kimia untuk mengurangi atau menghilangkan penggunaan dan pembentukan senyawa-senyawa berbahaya.[1] Pada tahun 1990 Pollution Prevention Act (Undang-Undang Pencegahan Pencemaran 1990) telah disahkan di Amerika Serikat. Undang-undang tersebut bertujuan membantu mencegah terjadinya masalah pencemaran lingkungan akibat senyawa atau bahan kimia berbahaya.[2]
Sejarah
Ide kimia hijau pada awalnya dikembangkan sebagai tanggapan terhadap Undang-Undang Pencegahan Polusi tahun 1990, yang menyatakan bahwa kebijakan nasional Amerika Serikat harus membatasi atau mengurangi polusi dengan menggunakan desain proses yang lebih baik (termasuk produksi perubahan dalam biaya produk, proses pembuatan, penggunaan bahan mentah, dan daur ulang). Badan Lingkungan Amerika Serikat (EPA) yang dikenal sebagai badan pengatur kesehatan manusia dan lingkungan, berpindah dari kebijakan command and control policy dan mengimplementasikan ide Kimia Hijau. Pada tahun 1991, EPA telah meluncurkan program hibah penelitian yang mendorong perancangan ulang desain produk dan proses kimia yang ada untuk mengurangi dampak buruk terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. EPA yang kemudian bekerja sama dengan US National Science Foundation (NSF) mendanai penelitian dasar tentang kimia hijau pada awal tahun 1990-an.
Pengenalan Penghargaan Presiden Green Chemistry Challenge tahunan pada tahun 1996 berhasil menarik perhatian akademisi dan industri kimia hijau.[3] Program penghargaan dan teknologi tersebut sekarang menjadi landasan dalam kurikulum pendidikan kimia hijau.
Pada pertengahan hingga akhir tahun 1990-an terjadi peningkatan jumlah pertemuan internasional kimia hijau yang diadakan, seperti Konferensi Penelitian Gordon tentang Kimia Hijau, dan jaringan kimia hijau yang telah berkembang di Amerika Serikat, Britania raya, Spanyol, dan Italia.[4]
Prinsip
Pada tahun 1998, Paul Anastas bersama dengan John C. Warner mengembangkan prinsip yang dijadikan sebagai panduan dalam praktik kimia hijau.[5] Kedua belas prinsip tersebut membahas berbagai cara untuk mengurangi dampak dari produksi bahan-bahan kimia terhadap lingkungan dan kesehatan manusia, serta juga menunjukkan prioritas penelitian dalam pengembangan teknologi kimia hijau.
Dua belas prinsip kimia hijau yang dikembangkan oleh Paul Anastas dan John Warner, yaitu:[6]
Legislasi
Uni Eropa
Pada tahun 2007 Uni Eropa menerapkan program Registration, Evaluation, Authorisation and Restriction of Chemicals (REACH).[7] Program tersebut mewajibakan bagi perusahaan untuk memberikan data yang menunjukkan bahwa produk yang mereka hasilkan aman dan tidak berbahaya.[8] Peraturan tersebut (EC No 1907/2006, tentang REACH) tidak hanya memastikan bahwa bahan kimia yang digunakan aman, tetapi juga melarang atau membatasi izin penggunaan zat atau bahan kimia tertentu.[9] Badan Bahan Kimia Eropa (ECHA) merupakan lembaga Uni Eropa yang mengelola aspek teknis dan administratif pelaksanaan regulasi dari REACH berusaha untuk menerapkan peraturan tersebut. Akan tetapi penegakannya tergantung pada negara anggota Uni Eropa.[10]
Amerika Serikat
Toxic Substances Control Act (TSCA) tahun 1976 merupakan undang-undang Amerika Serikat yang mengatur sebagian besar bahan-bahan kimia industri (tidak termasuk pestisida, makanan, dan obat-obatan).[11] Meneliti peran program regulasi tersebut dalam membentuk pengembangan kimia hijau di Amerika Serikat, analis telah mengungkapkan bahwa terdapat kelemahan struktural pada program TSCA. Misalnya pada laporan tahun 2006 kepada Badan Legislatif California yang menyimpulkan bahwa TSCA telah menghasilkan pasar bahan kimia domestik yang melakukan pengurangan terhadap sifat bahaya bahan kimia (termasuk fungsi, harga, dan juga kinerjanya).[12] Para ahli berpendapat bahwa kondisi pasar seperti itu merupakan penghalang utama bagi keberhasilan ilmiah, teknis, dan komersial kimia hijau di Amerika Serikat. Sehingga perubahan kebijakan mendasar diperlukan untuk memperbaiki kelemahan tersebut.
Undang-Undang Pencegahan Polusi (Pollution Prevention Act) disahkan pada tahun 1990.[2] Undang-undang tersebut bertujuan untuk mengurangi terjadinya pencemaran lingkungan akibat bahan kimia berbahaya.
Pada tahun 2008, negara bagian California menyetujui dua undang-undang yang bertujuan untuk mendorong program kimia hijau, yaitu dengan meluncurkan California Green Chemistry Initiative. Salah satu undang-undang ini mengharuskan California Department of Toxic Substances Control (DTSC) untuk mengembangkan peraturan baru agar memprioritaskan bahan kimia yang dapat menimbulkan masalah lingkungan atau kesehatan dan mempromosikan penggantian bahan kimia berbahaya tersebut dengan alternatif yang lebih aman. Peraturan yang dihasilkan tersebut mulai berlaku sejak tahun 2013, mengawali DTSC's Safer Consumer Products Program.[13]
Pendidikan
Banyak institusi yang menawarkan kursus dan gelar terkait bidang Kimia Hijau, diantaranya sebagai berikut:
Selain itu, terdapat juga situs web yang berfokus dalam pembahasan kimia hijau, seperti Michigan Green Chemistry Clearinghouse.[12][19]
Tokoh
Paul T. Anastas dikenal sebagai "Bapak Kimia Hijau" karena penelitiannya yang inovatif mengenai desain, manufaktur, dan penggunaan bahan kimia dengan tingkat racun rendah dan aman bagi lingkungan.[5] Dia bersama dengan John C. Warner mengembangkan dua belas prinsip kimia hijau pada tahun 1991, dengan tujuan mengurangi dampak dari produksi bahan-bahan kimia terhadap lingkungan dan kesehatan manusia.[20]
Jurnal ilmiah kimia hijau
Penghargaan
Beberapa perkumpulan ilmiah telah menciptakan penghargaan untuk mendorong penelitian dalam bidang kimia hijau, diantaranya :
Sumber Artikel: id.wikipedia.org
Teknik Kimia
Dipublikasikan oleh Admin pada 28 Februari 2022
Teknik bioproses atau teknik biokimia (Bahasa Inggris: biochemical engineering) adalah cabang ilmu dari teknik kimia atau teknik biosistem yang berhubungan dengan perancangan dan konstruksi proses produksi yang melibatkan agen biologi. Agensia biologis dapat berupa mikroorganisme atau enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme.[1] Mikroorganisme yang digunakan pada umumnya berupa bakteri, khamir, atau kapang.[1] Teknik bioproses biasanya diajarkan sebagai suplemen teknik kimia karena persamaan mendasar yang dimiliki keduanya.[2] Kesamaan ini meliputi ilmu dasar keduanya dan teknik penyelesaian masalah yang digunakan kedua jurusan. Aplikasi dari teknik bioproses dijumpai pada industri obat-obatan, bioteknologi, dan industri pengolahan air.[2]
Pengolahan limbah secara biologis merupakan salah satu aplikasi teknik bioproses.
Bioreaktor[sunting | sunting sumber]
Sebuah bioreaktor adalah suatu alat atau sistem yang mendukung aktivitas agensia biologis. Dengan kata lain, sebuah bioreaktor adalah tempat berlangsungnya proses kimia yang melibatkan mikroorganisme atau enzim yang dihasilkan oleh suatu mikroorganisme. Bioreaktor dikenal juga dengan nama fermentor.[3] Proses reaksi kimia yang berlangsung dapat bersifat aerobik ataupun anaerobik.[3] Sementara itu, agensia biologis yang digunakan dapat berada dalam keadaan tersuspensi atau terimobilisasi.[3] Contoh reaktor yang menggunakan agensia terimobilisasi adalah bioreaktor dengan unggun atau bioreaktor membran.[3]
Perancangan bioreaktor[sunting | sunting sumber]
Struktur suatu bioreaktor.
Perancangan bioreaktor adalah suatu pekerjaan teknik yang cukup kompleks. Pada keadaan optimum, mikroorganisme atau enzim dapat melakukan aktivitasnya dengan sangat baik. Keadaan yang memengaruhi kinerja agensia biologis terutama temperatur dan pH. Untuk bioreaktor dengan menggunakan mikroorganisme, kebutuhan untuk hidup seperti oksigen, nitrogen, fosfat, dan mineral lainnya perlu diperhatikan. Pada bioreaktor yang agensia biologisnya berada dalam keadaan tersuspensi, sistem pengadukan perlu diperhatikan agar cairan di dalam bioreaktor tercampur merata (homogen). Seluruh parameter ini harus dimonitor dan dijaga agar kinerja agensia biologis tetap optimum.
Untuk bioreaktor skala laboratorium yang berukuran 1,5-2,5 L umumnya terbuat dari bahan kaca atau borosilikat, tetapi untuk skala industri, umunya digunakan bahan baja tahan karat (stainless steel) yang tahan karat.[4] Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi kontaminasi senyawa metal pada saat fermentasi terjadi di dalamnya.[4] Bahan baja yang mengandung < 4% kromium disebut juga baja ringan, sedangkan bila kadar kromium di dalamnya >4% maka disebut stainless steel. Bioreaktor yang umum digunakan terbuat dari bahan baja 316 yang mengandung 18% kromium, 2-2,5% molibdenum, dan 10% nikel.[4] Bahan yang dipilih harus bersifat non-toksik dan tahan terhadap sterilisasi berulang-ulang menggunakan uap tekanan tinggi.[4] Untuk mencegah kontaminasi, bagian atas biorektor dapat ditambahkan dengan segel aseptis (aseptic seal) yang terbuat dari campuran metal-kaca atau metal-metal, seperti O-ring dan gasket.[5] Untuk meratakan media di dalam bioreaktor digunakan alat pengaduk yang disebut agitator atau impeler.[5] Sementara itu, untuk asupan udara dari luar ke dalam sistem biorektor digunakan sistem aerasi yang berupa sparger.[5] Untuk bioreaktor aerob, biasanya digunakan kombinasi sparger-agitator sehingga pertumbuhan mikrooganisme dapat berlangsung dengan baik.[5]
Pada bagian dalam bioreaktor, dipasang suatu sekat yang disebut baffle untuk mecegah vorteks dan meningkatkan efisiensi aerasi.[6] Baffle ini merupakan metal dengan ukuran 1/10 diameter bioreaktor dan menempel secara radial di dindingnya.[6] Bagian lain yang harus dimiliki oleh suatu bioreaktor adalah kondensor untuk mengeluarkan hasil kondensasi saat terjadi sterilisasi dan filter (0,2 μm) untuk menyaring udara yang masuk dan keluar tangki.[6] Untuk proses inokulasi kultur, pengambilan sampel, dan pemanenan, diperlukan adanya saluran khusus dan pengambilannya harus dilakukan dengan hati-hati dan aseptis agar tidak terjadi kontaminasi.[1] Untuk menjaga kondisi dalam bioreaktor agar tetap terkontrol, digunakan sensor pH, suhu, anti-buih, dan oksigen terlarut (DO).[1] Apabila kondisi di dalam sel mengalami perubahan, sensor akan memperingatkan dan harus dilakukan perlakuan tertentu untuk mempertahankan kondisi di dalam bioreaktor.[1] Misalkan terjadi perubahan pH maka harus ditambahkan larutan asam atau basa untuk menjaga kestabilan pH.[1] Penambahan zat ini dapat dilakukan secara manual namun juga dapat dilakukan secara otomatis menggunakan bantuan pompa peristaltik.[1] Selain asam dan basa, pompa peristaltik juga membantu penambahan anti-buih dan substrat ke dalam bioreaktor.[1]
Aplikasi bioreaktor[sunting | sunting sumber]
Awalnya bioreaktor hanya digunakan untuk memproduksi ragi, ekstrak khamir, cuka, dan alkohol.[2] Namun, alat ini telah digunakan secara luas untuk menghasilkan berbagai macam produk dari makhluk hidup seperti antibiotik, berbagai jenis enzim, protein sel tunggal, asam amino, dan senyawa metabolit sekunder lainnya.[2] Selain itu, suatu senyawa juga dapat dimodifikasi dengan bantuan mikroorganisme sehingga menghasilkan senyawa hasil transformasi yang berguna bagi manusia.[2] Pengolahan limbah buangan industri ataupun rumah tangga pun sudah dapat menggunakan bioreaktor untuk memperoleh hasil buangan yang lebih ramah lingkungan.[7]
Sumber: id.wikipedia.org
Teknik Kimia
Dipublikasikan oleh Admin pada 28 Februari 2022
Kampus ITS, ITS News – Kebutuhan suplemen ekstrak jintan hitam sebagai penjaga imunitas di tengah pandemi ini semakin meningkat. Hal tersebut berhasil menginspirasi salah satu tim dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) untuk berinovasi dengan cara menemukan proses ekstraksi jintan hitam yang optimal, efisien, dan ramah lingkungan sekaligus dapat menjadi rujukan bagi industri produksi skala besar.
Tim yang menggagas ide ini diketuai oleh Elisabeth Ratnani Wahyu Hapsari. Ia bersama tiga rekannya yaitu Achmad Haris Sofani, Serli Dwi Rahayu, dan Arin Pashadiera Mellina melagakan gagasan idenya pada ajang Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) ke-34. Mahasiswa Departemen Teknik Kimia Industri ini akhirnya berhasil meraih medali perak pada kategori presentasi terbaik.
Perempuan yang akrab disapa Elisa ini mengatakan, inovasi tim diwujudkan dalam penelitian berjudul Optimasi Proses Pemisahan Minyak Biji Jintan Hitam secara Foodgrade dengan Metode Hydrodistillation melalui Variasi Treatment Pra-Ekstraksi. Penelitian ini menggunakan metode hydrodistillation melalui variasi perlakuan pra ekstraksi dalam pengambilan minyak biji jintan hitam. “Singkatnya, ini adalah gabungan proses ekstraksi (hydrodistillation) dan praekstraksi,” jelasnya.
Elisa menambahkan biasanya pada penelitian lain, cenderung hanya menerapkan salah satu macam perlakuan praekstraksi saja seperti microwave, ultrasonik, atau maserasi yang bagus untuk pemisahan bahan. “Tetapi belum ada penelitian yang pernah menggabungkan tiga perlakuan sekaligus,” terangnya.
Keutamaan dari penelitian ini yaitu limbah bekas percobaan terhitung zero waste karena ampas biji jintan dapat didaur ulang menjadi pupuk, khususnya untuk tanaman jintan hitam itu sendiri. Sementara untuk pelarut bekas percobaan bisa digunakan kembali menjadi aquades.
Proses pra ekstraksi dan hydrodistillation ini dilakukan untuk mengoptimalkan hasil ekstrak yang didapat serta menghemat energi berlebihan dari proses praekstraksi. Adapun treatment praekstraksi adalah metode perlakuan bahan sebelum ekstraksi. Sedangkan hydrodistillation sendiri adalah metode ekstraksi standar berdasarkan Food and Drug Administration (FDA) yang harus bebas bahan kimia dan aman dikonsumsi.
Di sisi lain, proses tersebut juga bisa menghemat biaya apabila diterapkan di industri besar. Karena terjadi peningkatan permintaan menuntut industri untuk memproduksi lebih banyak. Maka dari itu mereka (industri, red) harus bisa mengontrol biaya dengan memperhatikan kualitas agar tetap optimal. “Sehingga penelitian ini dapat menjadi rujukan bagi industri produksi skala besar,” terang mahasiwa angkatan 2017 ini.
Adapun runtutan proses untuk mendapatkan minyak dari biji jintan hitam ini adalah melakukan pra ekstraksi pada biji tersebut dengan aquades menggunakan beragam variabel waktu, yakni 10, 20, 30, 40, 50 hingga 60 menit. Selanjutnya dilakukan ekstraksi hidrodestilasi selama 9 jam.
Jintan hitam yang digunakan adalah jenis tanpa selaput dan harus dalam keadaan segar. Apabila ekstrak jintan hitam telah didapatkan, selanjutnya diproses dalam alat rotary vacuum evaporator. Hal tersebut bertujuan guna memisahkan pelarut dalam kandungan ekstrak jintan hitam hingga didapatkan hasil berupa minyak.
Hasil yang diperoleh kemudian akan melewati serangkaian analisa minyak seperti uji warna, densitas, Gas Chromatography and Mass Spectroscopy (GCMS), Scanning Electron Microscope (SEM), efisiensi energi konsumsi, dan lain-lain. “Selepas menganalisis dan melihat morfologinya, tahap terakhir adalah menghitung perbandingan bahan kering dan hasil minyak (yield),” imbuh mahasiswi kelahiran 18 April ini.
Tim yang dibimbing oleh Achmad Ferdiansyah P P ST MT ini melakukan riset sejak bulan Januari hingga September 2021. Selama waktu tersebut Elisa berujar jika penelitian ini sekaligus menjadi topik untuk tugas akhirnya. Apabila ada kesempatan untuk menempuh pendidikan magister, perempuan asal Blitar ini akan mengembangkan penelitian ini karena ingin mencoba dengan rentang waktu yang berbeda serta mencari akurasi efektifitas energi yang lebih baik.
Setelah membawa pulang prestasi, Elisa dan tim berharap riset ini kedepannya dapat dimanfaatkan dalam berbagai bidang, terutama untuk membantu tenaga medis dan masyarakat dalam penyediaan suplemen dan aman dikonsumsi. “Semoga keprihatinan kita terhadap kasus covid-19, juga dapat bermanfaat bagi industri dengan menggunakan energi yang ramah lingkungan,” tandasnya. (*)
Sumber: www.its.ac.id