Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 Juni 2025
WEF Nexus, SDGs, dan Tantangan Afrika
Ketahanan air, energi, dan pangan (WEF security) adalah fondasi utama pembangunan berkelanjutan, khususnya di Afrika yang menghadapi pertumbuhan penduduk pesat, perubahan iklim, dan tantangan tata kelola sumber daya. Paper karya Nkiaka et al. (2023) menawarkan analisis kuantitatif komprehensif tentang status, disparitas, dan penentu utama WEF security di seluruh Afrika, dengan membangun indeks komposit dan menguji determinan sosioekonomi secara sistematis. Resensi ini akan membedah temuan utama, menyoroti studi kasus, angka-angka penting, serta memberikan analisis kritis dan relevansi dengan tren global dan industri.
Paradigma WEF Nexus: Mengapa Penting untuk Afrika?
WEF Nexus dan SDGs
Pendekatan WEF nexus menyoroti keterkaitan erat antara air, energi, dan pangan—tiga sektor yang saling mempengaruhi dan menjadi pilar utama SDGs (khususnya SDG 2, 6, dan 7). Di Afrika, satu dari empat orang masih mengalami kekurangan gizi, ratusan juta belum memiliki akses listrik dan air minum layak, sementara tekanan terhadap sumber daya terus meningkat akibat pertumbuhan populasi dan urbanisasi1.
Kesenjangan Pengetahuan dan Implementasi
Penelitian WEF nexus telah berkembang pesat, namun implementasinya di Afrika masih terbatas. Banyak rekomendasi riset belum diterjemahkan menjadi kebijakan konkret, diperparah oleh disparitas spasial, institusional, dan kurangnya data lintas negara. Studi ini mengisi gap dengan analisis kuantitatif lintas sub-wilayah, mengidentifikasi disparitas, dan menawarkan pelajaran untuk strategi terkoordinasi1.
Metodologi: Indeks Komposit dan Analisis Determinan
Pemetaan Sub-Regional dan Data Kunci
Afrika dibagi ke dalam lima blok ekonomi: CEMAC (Afrika Tengah), EAC (Afrika Timur), ECOWAS (Afrika Barat), SADC (Afrika Selatan), dan Afrika Utara. Masing-masing blok memiliki karakteristik ekonomi, demografi, dan sumber daya yang berbeda signifikan—misal, ECOWAS paling padat penduduk, namun GDP per kapita terendah, sementara Afrika Utara unggul dalam GDP per kapita1.
Indeks WEFSI: Menyatukan Tiga Pilar
Penulis membangun Water-Energy-Food Security Index (WEFSI) berbasis 11 indikator utama, meliputi:
Masing-masing indikator dinormalisasi dan diberi bobot proporsional sesuai relevansi terhadap ketahanan sektor terkait1.
Analisis Determinan Sosioekonomi
Tujuh variabel sosioekonomi diuji sebagai penentu WEFSI: GDP per kapita, efektivitas pemerintahan (GEI), urbanisasi, investasi infrastruktur, FDI, ODA (bantuan pembangunan resmi), dan HDI. Analisis regresi dan korelasi digunakan untuk mengidentifikasi hubungan signifikan antara variabel-variabel ini dengan skor WEFSI dan sub-indikatornya1.
Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci: Potret Ketahanan WEF Afrika
1. Ketersediaan Sumber Daya: Melimpah tapi Tidak Merata
2. Skor WEFSI: Siapa Tertinggal, Siapa Melaju?
Contoh Spesifik:
3. Radar Sub-Regional: Siapa Unggul di Sektor Apa?
Determinasi Sosioekonomi: Siapa Penentu Utama Ketahanan WEF?
GDP per Kapita: Faktor Penentu Terkuat
Efektivitas Pemerintahan (GEI): Kunci Tata Kelola
ODA dan FDI: Penopang Investasi Infrastruktur
Urbanisasi dan Infrastruktur: Pengaruh Terbatas
Diskusi Kritis: Tantangan, Peluang, dan Pelajaran untuk Masa Depan
1. Sumber Daya Melimpah, Ketahanan Tidak Otomatis
Afrika secara agregat kaya sumber daya air, energi terbarukan, dan lahan arable. Namun, melimpahnya sumber daya tidak otomatis menjamin ketahanan WEF. Negara dengan sumber daya melimpah tapi GDP dan tata kelola lemah tetap tertinggal dalam WEFSI—menegaskan pentingnya kapasitas ekonomi dan institusi1.
2. Ketimpangan Sub-Regional dan Negara
Disparitas antar sub-wilayah dan negara sangat tajam. Negara di Afrika Utara dan SADC mampu mengatasi keterbatasan sumber daya lewat investasi dan tata kelola, sementara negara di CEMAC dan EAC masih stagnan, terutama di sektor pangan1.
3. Keterbatasan Indeks Komposit
Indeks WEFSI memberi gambaran umum, namun bisa menyembunyikan ketimpangan sektoral di dalam negara. Misal, skor air tinggi belum tentu diikuti akses energi atau pangan yang memadai. Penulis menyarankan perlunya analisis sektoral lebih dalam dan monitoring dinamis untuk kebijakan yang lebih presisi1.
4. Keterbatasan Data dan Variabel
Studi ini mengakui keterbatasan data (hanya snapshot saat ini, tidak mempertimbangkan dinamika masa depan) dan variabel (masih ada faktor lain yang belum teruji, seperti konflik, perubahan iklim, atau faktor budaya)1.
Perbandingan dengan Studi Lain dan Tren Global
1. Studi Global: WEFSI dan SDGs
Temuan studi ini sejalan dengan riset global yang menegaskan pentingnya GDP, tata kelola, dan investasi sebagai penentu utama pencapaian SDGs, khususnya SDG 2, 6, dan 7. Studi di Asia dan Amerika Latin juga menunjukkan pola serupa: sumber daya melimpah tidak cukup tanpa kapasitas institusi dan ekonomi yang memadai1.
2. Industri dan Kebijakan: Implikasi Praktis
3. Digitalisasi dan Inovasi
Tren digitalisasi (IoT, big data, AI) dapat meningkatkan monitoring, transparansi, dan efisiensi pengelolaan WEF. Namun, adopsi teknologi masih terkendala kapasitas fiskal dan SDM di banyak negara Afrika1.
Rekomendasi Strategis: Jalan Menuju Ketahanan WEF Afrika
Menuju Ketahanan WEF yang Adil dan Berkelanjutan
Studi Nkiaka et al. (2023) menegaskan bahwa ketahanan air, energi, dan pangan di Afrika bukan sekadar soal sumber daya, melainkan soal kapasitas ekonomi, tata kelola, dan investasi. Disparitas antar negara dan sub-wilayah sangat tajam, menuntut reformasi kebijakan, investasi strategis, dan kolaborasi lintas sektor. Masa depan ketahanan WEF Afrika sangat bergantung pada kemampuan negara-negara untuk membangun institusi yang kuat, memperkuat ekonomi, dan mengoptimalkan sumber daya yang ada demi pencapaian SDGs dan kesejahteraan rakyat.
Sumber artikel :
Nkiaka, E., Bryant, R.G., Manda, S., & Okumah, M. (2023). A quantitative understanding of the state and determinants of water-energy-food security in Africa. Environmental Science & Policy, 140, 250-260.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Hak Atas Air dalam Sorotan Modern
Hak atas air menjadi isu strategis di tengah krisis air dunia, perubahan iklim, dan pertumbuhan populasi. Namun, bagaimana hak atas air berevolusi dari masa feodalisme hingga era modern? Artikel “The Evolution of Water Rights” karya Anthony Scott & Georgina Coustalin (1995) menawarkan analisis komprehensif tentang perubahan rezim hak air di Inggris, Amerika Utara, dan Australia, dari era kepemilikan berbasis tanah hingga sistem berbasis penggunaan (prior appropriation). Resensi ini membedah evolusi tersebut, menyoroti studi kasus, angka-angka penting, serta relevansinya dengan tata kelola air masa kini dan masa depan.
Hak Atas Air: Definisi, Karakteristik, dan Kompleksitas
Apa Itu Hak Atas Air?
Hak atas air didefinisikan sebagai hak untuk menggunakan atau menikmati aliran air di sungai. Hak ini bisa muncul dari kepemilikan lahan di tepi sungai (riparian), atau dari penggunaan aktual atas air (prior-use/appropriation). Hak bisa bersifat kuantitatif (jumlah tetap) atau kualitatif (selama tidak merugikan pihak lain), dan bisa diatur negara atau murni berdasarkan praktik komunitas1.
Karakteristik Hak Atas Air
Scott & Coustalin mengidentifikasi enam karakteristik utama hak atas air:
Tantangan Unik Hak Air
Berbeda dengan hak atas tanah, hak air sangat dipengaruhi oleh sifat fisik air yang mengalir dan interdependensi antar pengguna. Hak air memiliki eksklusivitas lebih rendah dibanding hak tanah, karena setiap pengguna bergantung pada perilaku pengguna lain di hulu dan hilir1.
Evolusi Sistem Hak Atas Air: Dari Feodalisme ke Appropriation
1. Era Hukum Romawi: Res Publica dan Usufruct
Di bawah hukum Romawi, sungai abadi dianggap milik publik (res publici), dengan hak penggunaan (usufruct) yang bisa diperoleh publik melalui izin negara. Hak privat bisa muncul melalui penggunaan jangka panjang (preskripsi/usucapio), dengan prinsip “tidak boleh merugikan hak orang lain” (Lex Aquilia)1.
2. Abad Pertengahan Inggris (1066–1600): Dominasi Hak Berbasis Tanah
Studi Kasus: Sengketa antara Gervase Blohicu dan Nicholas Sonka (1200-an), di mana pengadilan memulihkan hak air kepada pemilik lahan yang dirugikan oleh pengalihan aliran oleh pihak lain1.
3. Periode Prior-Use (1600–1850): Hak Berbasis Penggunaan
Studi Kasus: Kasus Bealey v. Shaw (1805), di mana pengguna hilir memenangkan hak atas surplus air yang telah digunakan selama lebih dari 20 tahun, meski tanpa hak preskriptif formal1.
4. Periode Reasonable-Use (1851–1900): Hak Berbasis Kewajaran
Studi Kasus: Embrey v. Owen (1851), pengadilan menegaskan bahwa hak riparian harus digunakan secara wajar, dan tidak semua perubahan aliran air dapat digugat jika kerugiannya tidak signifikan1.
Transisi ke Sistem Appropriation: Amerika Utara & Australia
1. Sistem Appropriation di Amerika Barat
Angka Penting:
2. Studi Kasus: California Gold Rush & Irrigasi
3. Hybrid System: Koeksistensi Hak Riparian dan Appropriation
Karakteristik Ekonomi & Hukum Hak Air Modern
1. Eksklusivitas dan Senioritas
2. Transferabilitas dan Divisibilitas
3. Beneficial Use dan Kualitas Titel
Studi Kasus Global: Adaptasi & Inovasi Tata Kelola Air
1. Australia & Kanada: Lisensi Administratif
2. Inovasi: Water Trusts & Water Corporations
Kritik, Opini, dan Perbandingan dengan Penelitian Lain
1. Kritik terhadap Sistem Appropriation
2. Perbandingan dengan Studi Lain
3. Relevansi Industri & Tren Global
Rekomendasi Tata Kelola Hak Air Masa Depan
Menuju Hak Air yang Adaptif dan Berkeadilan
Evolusi hak atas air menunjukkan pola “twists and turns” antara sistem berbasis tanah dan penggunaan, dipengaruhi oleh perubahan teknologi, ekonomi, dan sosial. Sistem appropriation menawarkan efisiensi dan fleksibilitas, namun harus diimbangi dengan perlindungan nilai-nilai ekologi dan sosial yang diwariskan sistem riparian. Masa depan tata kelola air menuntut integrasi kedua sistem, inovasi kelembagaan seperti water trusts dan corporations, serta kolaborasi lintas sektor untuk menghadapi tantangan krisis air global, perubahan iklim, dan tuntutan pembangunan berkelanjutan.
Sumber artikel :
Anthony Scott & Georgina Coustalin, The Evolution of Water Rights, 35 Nat. Resources J. 821 (1995).
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Air sebagai Titik Temu dan Sumber Konflik
Di tengah meningkatnya krisis air global, sungai lintas negara kian menjadi sumber ketegangan sekaligus peluang kerja sama. Afghanistan dan Pakistan, dua negara yang berbagi sejarah panjang dan kompleks, juga berbagi tiga sungai utama: Kabul, Kurram, dan Gomal. Namun, hingga kini, belum ada kerangka kerja sama formal untuk mengelola sumber daya air bersama, meski manfaat ekonomi, lingkungan, dan sosial yang bisa diraih sangat besar. Bab “Co-operation in the Afghanistan–Pakistan River Basins” karya Jonathan Lautze, Asadullah Meelad, dan Shakeel Hayat (2023) membedah akar masalah, peluang, dan strategi membangun kerja sama air lintas batas di kawasan ini. Resensi ini mengupas temuan utama, studi kasus, angka-angka penting, serta memberikan analisis kritis dan relevansi dengan tren global.
Mengapa Kerja Sama Air Lintas Batas Penting?
Manfaat Kolektif dan Ancaman Konflik
Studi Kasus: Kabul, Kurram, dan Gomal—Tiga Sungai, Nol Kerja Sama
Gambaran Umum dan Signifikansi
Fakta Kunci
Sejarah dan Status Quo: Dari Tradisi ke Tantangan Modern
Era Tradisional dan Kolonial
Upaya Kerja Sama yang Gagal
Dampak Ketiadaan Kerja Sama: Ancaman Nyata di Lapangan
Kerugian dan Risiko Aktual
Ancaman Sosial-Politik
Analisis Penyebab Mandeknya Kerja Sama
Empat Faktor Utama
Potensi Manfaat Kerja Sama: Studi Kasus dan Angka
Enam Manfaat Utama
Kerangka Hukum dan Prinsip Kerja Sama
Panduan Global dan Lokal
Strategi Memulai Kerja Sama: Rekomendasi Praktis
Empat Katalisator Perubahan
Tahapan Implementasi
Analisis Kritis dan Perbandingan dengan Studi Lain
Kelebihan dan Kekurangan
Opini dan Relevansi Industri
Rekomendasi untuk Masa Depan
Jalan Panjang Menuju Diplomasi Air yang Inklusif
Bab ini menegaskan bahwa kerja sama air Afghanistan–Pakistan bukan sekadar isu teknis, melainkan ujian diplomasi, kepercayaan, dan visi masa depan kedua bangsa. Tanpa reformasi kelembagaan, pemisahan isu air dari politik, dan adopsi prinsip benefit sharing, risiko konflik dan kerugian ekonomi akan terus membayangi. Namun, peluang untuk membangun model kerja sama air yang inklusif, adaptif, dan berkelanjutan sangat terbuka jika kedua negara berani melangkah bersama, dibantu fasilitasi pihak ketiga dan didorong kebutuhan adaptasi perubahan iklim. Masa depan air di kawasan ini akan sangat ditentukan oleh keberanian politik, inovasi kelembagaan, dan partisipasi multipihak dalam membangun tata kelola bersama yang adil dan visioner.
Sumber artikel :
Lautze, Jonathan; Meelad, Asadullah; Hayat, Shakeel. 2023. Co-operation in the Afghanistan–Pakistan River Basins. In: Shah, M.A.A.; Lautze, J.; Meelad, A. (Eds.). Afghanistan–Pakistan Shared Waters: State of the Basins. Wallingford, UK: CABI. pp.143–161.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Mengapa Keamanan Air Menjadi Isu Strategis?
Keamanan air (water security) kini menjadi salah satu isu paling mendesak dalam pembangunan berkelanjutan di seluruh dunia. Tidak hanya karena air adalah kebutuhan dasar manusia, tetapi juga karena air menjadi penentu pertumbuhan ekonomi, kesehatan ekosistem, dan stabilitas sosial. Paper “Achieving Water Security in Global Change: Dealing with Associated Risk in Water Investment” karya Eva Mia Siska dan Kaoru Takara (2015) membedah secara mendalam tantangan dan strategi mencapai water security, khususnya di tengah tekanan perubahan global seperti pertumbuhan penduduk, perubahan iklim, dan degradasi lingkungan. Artikel ini akan mengulas temuan utama paper, menyoroti studi kasus nyata, angka-angka penting, serta memberikan analisis kritis dan relevansi dengan tren industri dan kebijakan.
Konsep Water Security: Dualitas Air sebagai Sumber dan Ancaman
Definisi dan Dimensi Water Security
Water security didefinisikan sebagai kapasitas masyarakat untuk mengamankan akses terhadap air dalam jumlah dan kualitas yang memadai untuk menopang kesehatan manusia dan ekosistem, sekaligus melindungi diri dari bahaya air seperti banjir, longsor, dan kekeringan. Konsep ini menekankan dua sisi air: sebagai sumber pertumbuhan (supportive side) dan sebagai ancaman bila tidak terkelola (destructive side)1.
Studi Kasus: Ethiopia dan Variabilitas Curah Hujan
Di Ethiopia, keterbatasan kapasitas penyimpanan air membuat negara ini sangat rentan terhadap variabilitas curah hujan. Data World Bank (2006) menunjukkan bahwa fluktuasi pertumbuhan GDP Ethiopia sangat berkorelasi dengan variasi curah hujan tahunan. Ketidakmampuan mengelola variabilitas air menyebabkan pertumbuhan ekonomi terhambat dan memperbesar risiko kemiskinan1.
Investasi Air: Tipping Point, Pertumbuhan Ekonomi, dan Tantangan Politik
Kerangka “Water and Growth S-Curve”
Paper ini menyoroti konsep “tipping point” dalam investasi air: negara harus berinvestasi hingga mencapai platform minimum agar air benar-benar berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Di bawah tipping point, negara dianggap water insecure dan tidak mampu memanfaatkan air untuk pertumbuhan. Setelah tipping point tercapai, investasi tambahan akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkelanjutan1.
Dampak Global Change: Populasi, Gaya Hidup, dan Iklim
Pertumbuhan penduduk, perubahan gaya hidup, degradasi ekosistem, dan perubahan iklim memperburuk akses air dan meningkatkan risiko kejadian ekstrem. Negara-negara berkembang menghadapi tantangan ganda: keterbatasan dana dan tekanan politik, karena investasi air jarang langsung meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebelum tipping point tercapai, sehingga seringkali tidak populer secara politik1.
Peran Pemerintah dan Swasta dalam Investasi Air
Dominasi Pemerintah dan Tantangan Investasi
Pemerintah memegang peran sentral dalam investasi awal infrastruktur air melalui sumber daya fiskal. Namun, di negara termiskin, pelaku ekonomi cenderung sangat risk-averse, lebih memilih meminimalkan risiko daripada mengejar potensi keuntungan. Akibatnya, investasi publik dalam air seringkali tertunda atau tidak memadai1.
Promosi Investasi Swasta
Untuk mengatasi keterbatasan fiskal, banyak negara kini mendorong investasi swasta dalam infrastruktur air strategis. Namun, keterlibatan swasta juga menghadapi tantangan risiko, terutama dalam konteks perubahan global yang penuh ketidakpastian1.
Model Hidro-Ekonomi: Jembatan Sains dan Kebijakan
Mengapa Model Hidro-Ekonomi Penting?
Model hidro-ekonomi menjadi alat penting untuk memahami interaksi kompleks antara variabel hidrologi, ekonomi, dan ekologi. Model ini membantu pengambil keputusan untuk:
Dimensi Model Hidro-Ekonomi
Model ini mengintegrasikan:
Studi Kasus Model Hidro-Ekonomi: Ethiopia dan Arkansas River Basin
1. Ethiopia: Dynamic General Equilibrium Model untuk Adaptasi Iklim
Robinson et al. (2012) mengembangkan model equilibrium dinamis multi-sektor yang menggabungkan model hidrologi, pertanian, transportasi, dan energi. Model ini mensimulasikan dampak lima skenario perubahan iklim (tanpa perubahan, basah, kering, global basah, global kering) hingga tahun 20501.
2. Arkansas River Basin, AS: CGE untuk Pilihan Investasi Air
Goodman (2000) menggunakan model Computable General Equilibrium (CGE) untuk membandingkan dua opsi: membangun reservoir baru atau melakukan transfer air dari kawasan pertanian ke kota1.
Kritik dan Analisis Kritis: Keterbatasan dan Tantangan Model
Keterbatasan Model Hidro-Ekonomi
Tantangan Implementasi di Negara Berkembang
Relevansi dengan Tren Industri dan Kebijakan Global
1. Water Security sebagai Pilar Pembangunan Berkelanjutan
Keamanan air kini menjadi pilar utama dalam pencapaian SDGs, khususnya SDG 6 (air bersih dan sanitasi) dan SDG 13 (aksi iklim). Industri air, energi, dan pertanian kini didorong untuk mengadopsi pendekatan berbasis risiko dan investasi adaptif, bukan sekadar ekspansi infrastruktur1.
2. Digitalisasi dan Smart Water Management
Tren digitalisasi (IoT, big data, AI) membuka peluang baru untuk pemantauan air secara real-time, prediksi risiko, dan pengambilan keputusan berbasis data. Model hidro-ekonomi dapat diintegrasikan dengan teknologi digital untuk meningkatkan akurasi dan responsivitas kebijakan air.
3. Kolaborasi Multipihak dan Investasi Inovatif
Pendanaan inovatif seperti blended finance, green bonds, dan public-private partnership (PPP) kini semakin banyak digunakan untuk mendanai investasi air, terutama di negara berkembang. Kolaborasi multipihak menjadi kunci keberhasilan investasi air yang adaptif dan berkelanjutan.
Perbandingan dengan Studi Lain
1. Grey & Sadoff (2007): Water Security for Growth and Development
Studi ini menegaskan bahwa negara yang telah mencapai water security mampu menikmati pertumbuhan ekonomi yang lebih stabil dan inklusif. Sebaliknya, negara yang belum mencapai water security cenderung stagnan atau terhambat pertumbuhannya akibat risiko air yang tidak terkelola1.
2. Brouwer et al. (2008): Integrated Hydro-Economic Modelling
Brouwer dkk. menyoroti pentingnya model yang mampu mengintegrasikan dampak langsung dan tidak langsung perubahan kualitas air terhadap ekonomi nasional dan daerah aliran sungai. Studi ini sejalan dengan temuan Siska & Takara bahwa model hidro-ekonomi harus mampu menangkap interaksi lintas sektor dan skala1.
3. Harou et al. (2009): Future Prospects of Hydro-Economic Models
Harou dkk. menekankan perlunya pengembangan model yang lebih fleksibel, modular, dan mampu mengakomodasi ketidakpastian iklim serta kebutuhan adaptasi jangka panjang. Hal ini sejalan dengan rekomendasi paper terkait kebutuhan model yang mampu mendukung investasi “no-regret” dan “low-regret”.
Rekomendasi untuk Masa Depan Investasi Air dan Water Security
Menuju Water Security yang Adaptif dan Berkelanjutan
Paper ini menegaskan bahwa mencapai water security di era perubahan global membutuhkan investasi strategis, pengelolaan risiko yang cermat, dan dukungan model hidro-ekonomi yang terintegrasi. Studi kasus di Ethiopia dan Arkansas River Basin memperlihatkan bagaimana model dapat membantu pengambilan keputusan investasi air yang lebih rasional, efisien, dan adaptif terhadap ketidakpastian. Tantangan utama terletak pada keterbatasan data, kapasitas teknis, dan komitmen politik, terutama di negara berkembang. Namun, dengan adopsi teknologi digital, kolaborasi multipihak, dan fokus pada investasi adaptif, masa depan water security yang inklusif dan berkelanjutan sangat mungkin diwujudkan. Paper ini menjadi rujukan penting bagi pembuat kebijakan, peneliti, dan pelaku industri yang ingin membangun masa depan air yang tangguh dan berkeadilan.
Sumber artikel :
Eva Mia Siska & Kaoru Takara. “Achieving water security in global change: dealing with associated risk in water investment.” Procedia Environmental Sciences 28 (2015): 743–749.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Bisnis, Air, dan Tantangan Tata Kelola Abad ke-21
Air adalah fondasi ekonomi global—dari pertanian, manufaktur, hingga teknologi digital. Namun, selama bertahun-tahun, peran korporasi dalam tata kelola air nyaris terabaikan. Paper “Corporate Engagement in Water Policy and Governance: A Literature Review on Water Stewardship and Water Security” karya Suvi Sojamo dan Thérèse Rudebeck (2024) membongkar bagaimana, dalam 15 tahun terakhir, perusahaan-perusahaan besar mulai aktif membentuk kebijakan air global melalui inisiatif water stewardship dan water security. Artikel ini merangkum temuan utama, menyoroti studi kasus, angka-angka penting, serta memberikan analisis kritis dan relevansi dengan tren industri dan kebijakan kontemporer1.
Evolusi Konsep: Dari Water Stewardship ke Water Security
Water Stewardship: Dari “Footprint” ke Kolektif Aksi
Konsep water stewardship lahir dari kebutuhan untuk melihat air sebagai risiko bisnis dan peluang kolektif. Dimulai dengan ide “water footprint” (jejak air) yang dikembangkan Tony Allan dan WWF pada awal 2000-an, perusahaan mulai menghitung total konsumsi air di sepanjang rantai pasok mereka. Studi landmark WWF dan SABMiller (2009) mengungkap lebih dari setengah konsumsi air Inggris berasal dari produk impor—menyoroti pentingnya melihat air secara lintas negara dan rantai nilai1.
Inisiatif seperti CEO Water Mandate (UN Global Compact, 2007), Water Footprint Network, dan Alliance for Water Stewardship (AWS, 2014) menandai babak baru: perusahaan didorong untuk bertanggung jawab tidak hanya di dalam pagar pabrik, tapi juga di tingkat catchment (DAS) dan komunitas. AWS mendefinisikan stewardship sebagai penggunaan air yang adil, berkelanjutan, dan inklusif, dengan lima pilar: tata kelola, keseimbangan air, kualitas air, perlindungan ekosistem, dan akses WASH (water, sanitation, hygiene)1.
Water Security: Integrasi Bisnis dalam Agenda Publik
Water security, meski tak punya definisi tunggal, kini menjadi tujuan utama manajemen air global—menekankan perlindungan ekonomi, ekosistem, dan masyarakat dari risiko air. Sejak 2009, World Economic Forum (WEF) dan 2030 Water Resources Group (2030 WRG)—diprakarsai CEO Nestlé dan World Bank—menyuarakan bahwa pada 2030, permintaan air global bisa melebihi pasokan hingga 40%. Ini menempatkan perusahaan sebagai aktor utama dalam mengatasi risiko air, bukan sekadar penerima dampak1.
Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci
1. Perusahaan dan Inisiatif Global
2. Sektor Kritis dan Rantai Nilai
3. Studi Kasus Lapangan
Motivasi dan Dinamika Keterlibatan Korporasi
Internal Drivers
External Drivers
Dinamika Implementasi: Dari Komitmen ke Dampak Nyata
1. Komitmen Meningkat, Implementasi Masih Terbatas
2. Kesenjangan antara Strategi dan Realitas
3. Studi Kasus: Equity dan Keadilan
Analisis Kritis: Kontroversi, Peluang, dan Tantangan
1. Water Stewardship: Paradigma Baru atau Sekadar PR?
2. Water Security: Risiko Ekonomi atau Kesejahteraan Bersama?
3. Peran LSM dan Donor: Kolaborasi atau Fragmentasi?
Studi Kasus dan Praktik Terbaik: Inspirasi dan Pelajaran
1. Mersey Basin Campaign (UK, 1985–2010)
Kolaborasi antara bisnis, pemerintah, dan masyarakat sipil berhasil merevitalisasi sungai Mersey, mengurangi polusi, dan membangun tata kelola air yang inklusif. Keberhasilan ini tak lepas dari peran pemerintah sebagai “principal” yang memastikan tujuan publik tetap utama1.
2. AWS Certification di Ica Valley, Peru
Beberapa perusahaan agribisnis besar telah meraih sertifikasi AWS. Namun, dampak nyata terhadap petani kecil dan lingkungan masih dipertanyakan, menjadi “uji lakmus” apakah standar global benar-benar mampu menghasilkan perubahan berkelanjutan dan adil.
3. Komitmen “Water Positive” di Sektor Teknologi
Meta, Google, Microsoft, dan Amazon berkomitmen menjadi “water positive” pada 2030. Namun, pengukuran dampak dan transparansi aksi di rantai pasok masih menjadi tantangan besar, terutama di negara berkembang yang menjadi basis produksi hardware dan data center1.
Relevansi Industri dan Kebijakan: Tren dan Masa Depan
1. Digitalisasi dan Transparansi
Teknologi digital (IoT, big data, blockchain) membuka peluang pemantauan air real-time, pelaporan ESG, dan transparansi rantai pasok. Platform seperti CDP dan inisiatif seperti Fair Water Footprints Declaration mulai menghubungkan negara konsumen dan produsen air secara global.
2. Regulasi dan Standar Global
Regulasi seperti EU CSRD dan CSDDD mendorong perusahaan multinasional mengadopsi standar pelaporan ESG yang lebih ketat, termasuk aspek air. Namun, harmonisasi standar dan perlindungan hak masyarakat lokal masih menjadi PR besar.
3. Kolaborasi Multipihak dan Inovasi Pendanaan
Pendanaan inovatif (blended finance, green bonds, water funds) dan kolaborasi multipihak menjadi kunci investasi air berkelanjutan, terutama di negara berkembang yang menghadapi kesenjangan infrastruktur dan kapasitas teknis.
Rekomendasi Strategis untuk Tata Kelola Air Masa Depan
Paradoks dan Peluang Keterlibatan Bisnis dalam Tata Kelola Air
Keterlibatan bisnis dalam tata kelola air membawa peluang besar untuk inovasi, kolaborasi, dan percepatan pencapaian water security global. Namun, tanpa kepemimpinan publik yang kuat, harmonisasi standar, dan perlindungan hak-hak kelompok rentan, risiko privatisasi, ketimpangan, dan depolitisasi isu air tetap membayangi. Masa depan tata kelola air yang adil, inklusif, dan berkelanjutan hanya bisa dicapai melalui sinergi antara pemerintah, bisnis, LSM, dan masyarakat sipil—dengan transparansi, akuntabilitas, dan keberanian untuk mengakui serta mengatasi ketimpangan kekuasaan di setiap level1.
Sumber artikel :
Sojamo, S. and Rudebeck, T. 2024. Corporate engagement in water policy and governance: A literature review on water stewardship and water security. Water Alternatives 17(2): 292-324
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Mengapa Krisis Air di MENA Menjadi Isu Global
Kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA) saat ini menghadapi krisis air paling parah di dunia. Dengan populasi yang melonjak dari 100 juta pada 1960 menjadi lebih dari 450 juta pada 2018, dan diprediksi mencapai 720 juta pada 2050, tekanan terhadap sumber daya air yang terbatas semakin besar. Laporan “The Economics of Water Scarcity in the Middle East and North Africa: Institutional Solutions” karya Dominick de Waal, Stuti Khemani, Andrea Barone, dan Edoardo Borgomeo dari World Bank, membedah akar masalah, dampak ekonomi, hingga solusi kelembagaan yang relevan untuk mengatasi tantangan ini123.
Artikel ini akan mengulas temuan utama laporan tersebut, mengaitkannya dengan tren global, menyoroti studi kasus nyata, serta menawarkan analisis kritis dan perbandingan dengan literatur lain agar pembaca memahami urgensi dan kompleksitas krisis air di MENA.
Gambaran Krisis: Data, Dampak, dan Proyeksi
Fakta dan Angka Kunci
Dampak Sosial dan Politik
Studi Kasus: Maroko, Yordania, dan Uni Emirat Arab
1. Maroko: Dilema Antara Dams dan Pertanian
Maroko mengandalkan 140 bendungan besar untuk mengelola air dari tujuh DAS utama. Namun, konsumsi air melebihi pasokan, terutama akibat pertanian intensif (misal, budidaya semangka). Dampaknya, beberapa DAS seperti Tensift nyaris habis, dan akses air di pedesaan jauh tertinggal dibanding perkotaan5. Pemerintah menghadapi dilema antara menjaga ketahanan pangan, mendukung pertanian ekspor, dan memenuhi kebutuhan domestik.
2. Yordania: Ketidakpercayaan dan Protes Tarif
Yordania kerap menjadi contoh negara yang menghadapi tantangan legitimasi kebijakan air. Upaya pemerintah menutup sumur ilegal dihadang perlawanan petani, bahkan petugas pemerintah diusir dari desa. Ketika pemerintah mencoba menaikkan tarif air, protes massal pecah karena masyarakat tidak percaya kenaikan tarif akan diikuti perbaikan layanan12.
3. Uni Emirat Arab: Desentralisasi dan “Cap-and-Trade”
UEA menerapkan model desentralisasi, di mana tiap emirat bertanggung jawab atas pengelolaan airnya. Abu Dhabi, misalnya, mengimpor air dari emirat lain dan mengembangkan kerja sama strategis dalam pertukaran air. Investasi besar pada desalinasi dan daur ulang air limbah memperlihatkan upaya inovatif, meski biaya dan konsumsi energi sangat tinggi1.
Akar Masalah: Kelembagaan, Legitimasi, dan Trust
1. Fokus pada Infrastruktur, Abaikan Efisiensi
Selama puluhan tahun, solusi pemerintah MENA didominasi pembangunan infrastruktur besar (bendungan, desalinasi, jaringan pipa), bukan efisiensi atau pengelolaan permintaan. Akibatnya, masyarakat terbiasa menganggap masalah air hanya soal pasokan, bukan konsumsi123.
2. Kegagalan Regulasi dan Insentif
3. Legitimasi dan Trust: Kunci Reformasi
Solusi Kelembagaan: Desentralisasi, Komunikasi, dan Inovasi
1. Desentralisasi Pengambilan Keputusan
Laporan World Bank merekomendasikan pelimpahan sebagian kewenangan pengelolaan air ke pemerintah daerah dan utilitas profesional, bukan hanya kementerian pusat. Model “cap-and-trade” diusulkan, di mana hak pengelolaan air diberikan ke pemerintah lokal dengan batas (cap) nasional, dan transfer air antarwilayah dimungkinkan untuk efisiensi1.
2. Reformasi Manajemen Utilitas
3. Komunikasi dan Keterlibatan Publik
Studi kasus Cape Town (Afrika Selatan) dan São Paulo (Brasil) menunjukkan pentingnya komunikasi strategis. Di Cape Town, dashboard air online dan kampanye publik berhasil menurunkan konsumsi dari 183 menjadi 84 liter/orang/hari saat krisis “Day Zero”1. Di MENA, strategi serupa bisa meningkatkan legitimasi kebijakan dan kepatuhan masyarakat.
4. Perlindungan Sosial dan Diversifikasi Ekonomi
Transisi dari pertanian intensif air ke sektor lain perlu didukung perlindungan sosial dan pelatihan ulang tenaga kerja. Diversifikasi ekonomi penting agar masyarakat tidak sepenuhnya bergantung pada pertanian yang boros air14.
Kritik, Opini, dan Perbandingan
Kritik terhadap Pendekatan Infrastruktur
Literatur lain menyoroti bahwa ketergantungan pada solusi teknokratik (bendungan, desalinasi) tanpa reformasi kelembagaan hanya menunda krisis dan memperbesar beban fiskal35. Bahkan, desalinasi air laut memerlukan energi 23 kali lebih banyak dibanding pengolahan air permukaan, dan biaya 4–5 kali lipat lebih mahal1.
Perbandingan dengan Negara Lain
Opini: Pentingnya “Social Contract” Baru
Krisis air di MENA bukan sekadar masalah teknis, tapi soal kontrak sosial baru antara negara dan rakyat. Legitimasi, trust, dan partisipasi publik harus menjadi fondasi reformasi. Tanpa itu, investasi apa pun akan sia-sia dan risiko konflik sosial akan terus mengintai.
Tantangan Implementasi dan Rekomendasi
Tantangan Utama
Rekomendasi Strategis
Kesimpulan: Jalan Panjang Menuju Ketahanan Air
Krisis air di Timur Tengah dan Afrika Utara adalah tantangan multidimensi yang membutuhkan solusi kelembagaan, inovasi teknologi, dan pembaruan kontrak sosial. Laporan World Bank menegaskan bahwa tanpa reformasi kelembagaan yang membangun legitimasi dan trust, investasi sebesar apa pun tidak akan cukup. Masyarakat harus menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar objek kebijakan.
Melalui desentralisasi, komunikasi strategis, dan perlindungan sosial, kawasan ini dapat membangun ekonomi yang inklusif, berkelanjutan, dan tahan terhadap perubahan iklim. Namun, tanpa keberanian politik dan partisipasi publik, ancaman krisis air akan terus membayangi masa depan MENA—dan dunia.
Sumber artikel :
de Waal, Dominick, Stuti Khemani, Andrea Barone, dan Edoardo Borgomeo. 2023. “The Economics of Water Scarcity in the Middle East and North Africa: Institutional Solutions.” Overview booklet. World Bank, Washington, DC.