Analisis Kebijakan

Jalan Maut di Lumbung Pariwisata: Analisis Titik Rawan Kecelakaan dan Krisis Legalitas Pengemudi di Lombok Barat

Dipublikasikan oleh Hansel pada 30 Oktober 2025


Kabupaten Lombok Barat, sebuah wilayah di Provinsi Nusa Tenggara Barat, telah lama dikenal sebagai salah satu etalase utama pariwisata nasional. Diberkahi dengan "pemandangan alam yang menarik", wilayah ini, khususnya di koridor seperti Senggigi, menjadi magnet bagi wisatawan domestik dan internasional.1 Namun, di balik pesona alam tersebut, terdapat sebuah paradoks yang mengkhawatirkan. Peningkatan aktivitas ekonomi dan pariwisata secara langsung menyebabkan "ruas jalan tersebut sangat padat dilalui oleh kendaraan".1 Kepadatan ini, sayangnya, berbanding lurus dengan risiko keselamatan.

Data dari Polres Lombok Barat mengonfirmasi adanya "peningkatan jumlah peristiwa kecelakaan" pada tahun 2018, memicu urgensi untuk membedah akar masalah ini.1 Sebuah studi akademis komprehensif dari Universitas Mataram, berjudul "Analisis Daerah Rawan Kecelakaan Pada Jaringan Jalan Berbasis Peta GIS" (2019) oleh Tati Juliana, menyediakan diagnosis tajam atas krisis keselamatan ini.1 Analisis jurnalistik ini akan mengulas temuan-temuan kunci dari penelitian tersebut, yang memetakan titik-titik paling berbahaya di Lombok Barat dan mengungkap faktor utama di baliknya: sebuah krisis perilaku dan legalitas pengemudi yang sistemik.

 

Skala Krisis: Peringatan di Balik Data Resmi Kecelakaan

Untuk memahami besarnya masalah, penelitian ini mengandalkan data sekunder primer dari instansi resmi, yakni data kecelakaan lalu lintas selama tiga tahun (2016, 2017, dan 2018) yang bersumber dari Polres Lombok Barat.1 Data tersebut mencatat jumlah total peristiwa kecelakaan sebanyak 151 kejadian pada tahun 2016, yang kemudian menurun menjadi 74 kejadian pada tahun 2017, sebelum akhirnya melonjak kembali menjadi 145 kejadian pada tahun 2018.1

Meskipun fluktuasi tahunan terlihat, tren peningkatan di tahun terakhir penelitian (2018) menjadi fokus utama. Namun, temuan yang paling fundamental bukanlah pada angka itu sendiri, melainkan pada pengakuan kritis peneliti mengenai keterbatasan data tersebut. Studi ini dengan jujur menyatakan, "Angka kecelakaan tersebut adalah angka kecelakaan yang tercatat saja, kenyataannya bisa melebihi dari angka kecelakaan tersebut".1

Penyebab dari potensi kesenjangan data ini adalah fenomena under-reporting yang lazim terjadi. Menurut penelitian tersebut, hal ini terjadi "karena pada kenyataannya masyarakat kadang tidak melaporkan kejadian kecelakaan tersebut pada pihak yang berwenang".1 Pengakuan ini sangat penting. Ini menyiratkan bahwa data resmi yang digunakan untuk analisis—yang sudah cukup mengkhawatirkan untuk mengidentifikasi beberapa ruas jalan sebagai "rawan"—kemungkinan besar hanyalah puncak dari gunung es. Tingkat keparahan masalah yang sebenarnya di lapangan bisa jadi jauh lebih buruk. Oleh karena itu, semua temuan dalam studi ini harus dibaca sebagai baseline konservatif dari krisis keselamatan jalan yang sedang dihadapi Lombok Barat.

 

Memetakan 'Titik Hitam': Empat Koridor Maut di Lombok Barat

Penelitian ini tidak berhenti pada penghitungan jumlah kecelakaan. Tujuan utamanya adalah melakukan pemetaan untuk mengidentifikasi "daerah rawan kecelakaan", yang lebih dikenal dengan istilah black spot.1 Dengan menggunakan kombinasi analisis statistik, seperti metode Z-Score, dan teknologi pemetaan geografis melalui software Arc GIS, studi ini berhasil menunjukkan di mana saja titik-titik bahaya paling terkonsentrasi.1

Metode Z-Score digunakan untuk membakukan data angka kecelakaan, mengidentifikasi lokasi-lokasi di mana frekuensi atau pertumbuhan kecelakaan secara statistik signifikan berada di atas nilai rata-rata.1 Hasilnya adalah identifikasi yang jelas terhadap empat ruas jalan utama di Kabupaten Lombok Barat yang memiliki "angka pertumbuhan kecelakaan tertinggi di atas rata-rata".1

Keempat ruas jalan yang diidentifikasi sebagai black spot atau koridor maut tersebut adalah 1:

  1. Jalan Raya Senggigi
  2. Jalan Raya Bypass BIL (The International Airport Bypass Street)
  3. Jalan TGH Ibrahim Al-Khalidy
  4. Jalan Raya Yos Sudarso

Daftar ini sangat mengungkap. Kecelakaan tidak terjadi secara acak di jalan-jalan pedesaan yang terisolasi. Sebaliknya, dua dari empat black spot utama adalah arteri vital ekonomi dan pariwisata. Jalan Raya Senggigi adalah tulang punggung kawasan wisata pantai paling terkenal di Lombok Barat, sementara Jalan Raya Bypass BIL adalah koridor utama yang menghubungkan wisatawan dari Bandara Internasional Lombok (BIL) ke berbagai destinasi.1

Korelasi ini menunjukkan adanya risiko ganda. Tingginya angka kecelakaan di rute-rute ini tidak hanya mengancam keselamatan publik warga lokal dan wisatawan, tetapi juga berpotensi merusak citra pariwisata yang menjadi andalan ekonomi regional. Setiap insiden di koridor Senggigi atau Bypass BIL adalah potensi berita negatif yang dapat berdampak langsung pada kepercayaan wisatawan.

 

Faktor Manusia: 82 Persen Kecelakaan Dimulai dari Kesalahan Pengemudi

Setelah memetakan di mana kecelakaan terjadi, pertanyaan jurnalistik paling penting adalah mengapa kecelakaan itu terjadi. Analisis studi ini terhadap faktor penyebab kecelakaan memberikan jawaban yang tegas dan menunjuk pada satu akar masalah yang dominan.

Penelitian ini mengelompokkan faktor penyebab ke dalam lima kategori: Pengemudi (manusia), Pejalan Kaki, Kendaraan, Jalan Rusak, dan Lingkungan (cuaca, dll.).1 Berdasarkan data yang diolah dari Polres Lombok Barat selama periode 2016-2018, hasilnya sangat tidak proporsional. Faktor "Pengemudi" teridentifikasi sebagai penyebab dari 82,91 persen total kecelakaan.1

Angka ini menjadikan faktor-faktor lain terlihat kerdil. Faktor "Pejalan kaki" berada di urutan kedua dengan porsi 15,05 persen.1 Yang lebih mengejutkan adalah betapa kecilnya kontribusi dari faktor-faktor yang sering dijadikan kambing hitam dalam narasi publik.

Studi ini secara empiris membantah mitos bahwa kecelakaan di Lombok Barat sering disebabkan oleh infrastruktur yang buruk atau kendaraan yang tidak layak. Data menunjukkan faktor "Jalan rusak" hanya menyumbang 1,53 persen dari total penyebab kecelakaan.1 Demikian pula, faktor "Kendaraan"—yang mencakup masalah teknis kritis seperti "Rem tidak berfungsi" atau "Ban kurang baik"—secara total hanya menyumbang 0,51 persen dari seluruh insiden.1

Implikasi dari temuan ini sangat besar. Ini menunjukkan bahwa upaya perbaikan keselamatan yang semata-mata berfokus pada perbaikan jalan, penambahan penerangan, atau pengetatan uji KIR kendaraan akan gagal mengatasi masalah. Kebijakan semacam itu hanya akan menyentuh kurang dari 3 persen dari total penyebab kecelakaan. Data dengan jelas membuktikan bahwa krisis keselamatan di Lombok Barat bukanlah krisis infrastruktur atau mekanis, melainkan krisis perilaku manusia.

Bukan Sekadar Lengah: Budaya 'Tidak Tertib' sebagai Pembunuh Utama

Menggali lebih dalam kategori 82,91 persen "Faktor Pengemudi", penelitian ini mengungkap rincian perilaku apa yang paling sering memicu kecelakaan. Analisis deskriptif terhadap data kepolisian (Tabel 4.4 dalam studi) memecah human error menjadi beberapa sub-faktor.1

Berlawanan dengan asumsi umum bahwa kelelahan adalah musuh utama di jalan, data menunjukkan penyebab nomor satu dari kesalahan pengemudi adalah "Tidak tertib".1 Perilaku yang dapat dikategorikan sebagai ketidakpatuhan atau pelanggaran aturan yang disengaja ini tercatat sebagai penyebab dalam 175 kejadian selama periode studi.1

Penyebab kedua adalah gabungan dari "Lengah, mengantuk dan lelah", yang menyumbang 88 kejadian.1 Faktor-faktor lain yang sering disorot, seperti "Berkendara dengan kecepatan tinggi" (55 kejadian) dan "Pengaruh alkohol" (7 kejadian), juga berkontribusi tetapi dalam jumlah yang jauh lebih kecil dibandingkan perilaku "Tidak tertib".1

Fakta bahwa "Tidak tertib" adalah kontributor utama, melampaui "Lengah" atau "Lelah" dengan perbandingan hampir 2 banding 1, adalah temuan krusial. "Lengah" bisa jadi adalah kelalaian sesaat, sebuah kesalahan yang tidak disengaja. Namun, "Tidak tertib" menyiratkan sebuah pilihan sadar untuk mengabaikan aturan lalu lintas. Ini bukanlah masalah keterampilan (skill) atau kewaspadaan (alertness), melainkan masalah budaya (culture) dan kepatuhan (compliance). Ini adalah indikasi awal dari adanya sikap abai yang lebih luas terhadap hukum di jalan raya, yang diperkuat oleh temuan demografis dan legalitas.

 

Potret Demografis di Balik Kemudi: Siapa Pelaku dan Korban?

Jika masalah utamanya adalah perilaku "tidak tertib" oleh pengemudi, lantas siapakah profil pengemudi ini? Studi ini memberikan potret demografis yang sangat spesifik dari pelaku dan korban kecelakaan di Lombok Barat, berdasarkan analisis usia dan tingkat pendidikan.

Pertama, dari segi usia. Data (Tabel 4.5 dalam studi) menunjukkan bahwa kecelakaan lalu lintas bukanlah masalah yang tersebar merata di semua kelompok umur. Terdapat satu kelompok yang sangat dominan: usia produktif muda. Kelompok usia 16-30 tahun tercatat sebagai yang paling banyak terlibat, mencakup 46,48 persen dari total individu (pelaku dan korban).1

Dominasi kelompok usia ini sangat signifikan jika dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. Sebagai perbandingan, kelompok usia 31-40 tahun hanya mencakup 14,73 persen, usia 41-50 tahun sebesar 15,38 persen, dan usia 51 tahun ke atas sebesar 13,08 persen.1 Peneliti sendiri mengaitkan temuan ini dengan faktor psikologis, di mana rentang usia 16-30 tahun "masih dipengaruhi labilnya emosi seseorang dalam berkendaraan" dan "masih dalam fase pematangan kedewasaan".1

Kedua, dari segi pendidikan. Data dari (Tabel 4.6 dalam studi) menunjukkan gambaran yang lebih tajam dan bahkan lebih timpang. Latar belakang pendidikan individu yang terlibat kecelakaan sangat didominasi oleh satu tingkat. Sebanyak 80,85 persen dari pelaku dan korban memiliki latar belakang pendidikan SLTA (SMA Sederajat).1

Angka ini membuat tingkat pendidikan lainnya menjadi kerdil secara statistik. Lulusan SLTP hanya 8,13 persen, SD sebesar 6,24 persen, dan ironisnya, mereka dengan pendidikan Perguruan Tinggi adalah yang paling sedikit terlibat, hanya 2,78 persen.1

Ketika dua data ini digabungkan—hampir setengahnya berusia 16-30 tahun dan lebih dari 80 persen berlatar belakang SLTA—profilnya menjadi jelas. Masalah ini secara spesifik terkonsentrasi pada demografi pengendara muda, yang berada di usia atau baru saja lulus dari bangku SMA. Ini adalah usia yang krusial di mana seseorang seharusnya belajar mengemudi dan mendapatkan lisensi resmi. Dominasi masif 80,85 persen ini menunjukkan adanya kemungkinan kegagalan sistemik dalam edukasi keselamatan lalu lintas yang efektif di tingkat pendidikan menengah, tepat pada saat calon-calon pengemudi ini pertama kali memegang kemudi.

 

TEMUAN KUNCI: Krisis Legalitas dan Impunitas di Jalan Raya

Analisis terhadap faktor perilaku ("tidak tertib") dan demografi (muda, lulusan SLTA) mengarah pada temuan paling inti dan paling mengkhawatirkan dari keseluruhan penelitian ini: status legalitas para pengemudi. Bagian ini menghubungkan semua titik dan mengungkap akar masalah yang sebenarnya.

Studi ini membedah data kepemilikan Surat Izin Mengemudi (SIM) baik untuk pelaku maupun korban kecelakaan. Temuannya sangat mengejutkan dan menunjukkan adanya krisis penegakan hukum dan budaya impunitas yang mengakar.

Berdasarkan analisis data (Tabel 4.7 dalam studi), mayoritas besar pelaku kecelakaan di Lombok Barat adalah pengemudi ilegal. Sebanyak 65,14 persen pelaku kecelakaan teridentifikasi "Tanpa SIM".1 Hanya sebagian kecil, 16,97 persen, yang memiliki SIM C (untuk sepeda motor), 9,63 persen memiliki SIM A, dan 8,26 persen memiliki SIM B.1 Artinya, dua dari setiap tiga orang yang menyebabkan kecelakaan seharusnya tidak berada di jalan raya sejak awal.

Masalah ini, bagaimanapun, bukanlah pertarungan sederhana antara "pengemudi ilegal" versus "warga taat hukum". Data (Tabel 4.8 dalam studi) menunjukkan bahwa masalah ini bersifat sistemik dan diterima secara sosial. Ketika menganalisis data korban, angkanya justru lebih tinggi: sebanyak 74,23 persen dari korban kecelakaan juga teridentifikasi "Tanpa SIM".1

Ini adalah sintesis krisis yang sesungguhnya. Mari kita hubungkan data-datanya:

  1. Penyebab kecelakaan tertinggi adalah "Faktor Pengemudi" (82,91 persen).1
  2. Perilaku pengemudi yang dominan adalah "Tidak tertib" (175 kasus).1
  3. Status legalitas dominan adalah "Tanpa SIM" (65,14 persen pelaku dan 74,23 persen korban).1

Hubungan sebab-akibatnya menjadi sangat jelas. Perilaku "tidak tertib" bukanlah sekadar kelalaian sesaat seperti tidak menyalakan lampu sein. Perilaku "tidak tertib" yang paling fundamental adalah keputusan sadar untuk mengemudikan kendaraan bermotor tanpa memiliki kualifikasi legal (SIM).

Fakta bahwa dua pertiga pelaku kecelakaan sudah beroperasi secara ilegal sebelum insiden terjadi menunjukkan bahwa penegakan hukum di jalan raya—seperti razia SIM atau checkpoints—tidak berjalan efektif untuk menciptakan efek jera. Ada budaya impunitas. Lebih jauh lagi, fakta bahwa tiga perempat korban juga tidak memiliki SIM menunjukkan bahwa ini telah menjadi norma sosial. Ini adalah masalah di mana mengemudi dianggap sebagai hak umum, bukan sebagai hak istimewa yang diatur oleh lisensi dan menuntut tanggung jawab.

 

Rekomendasi Kebijakan: Solusi Fisik dan Sosial dari Temuan Studi

Sebagai sebuah karya ilmiah terapan, penelitian ini ditutup dengan serangkaian rekomendasi yang ditujukan kepada pihak berwenang. Berdasarkan diagnosis yang telah dibuat, studi ini mengusulkan dua "Saran" utama.1

Rekomendasi pertama adalah intervensi fisik (Engineering). Studi ini menyarankan "untuk daerah rawan kecelakaan perlu dipasang rambu peringatan daerah berbahaya".1 Rambu ini harus ditempatkan "sekurang-kurangnya 50 meter sebelum memasuki ruas jalan yang dianggap berbahaya", dengan mempertimbangkan kondisi lalu lintas dan geometri jalan yang ada.1 Ini adalah solusi rekayasa lalu lintas standar yang ditujukan untuk meningkatkan kewaspadaan pengemudi di empat black spot yang telah diidentifikasi.

Rekomendasi kedua adalah intervensi sosial (Education). Peneliti menyatakan, "Perlu dilakukan penyuluhan dan sosialisasi keselamatan dalam berlalu lintas, baik melalui sekolah-sekolah maupun langsung kepada masyarakat".1 Rekomendasi ini secara khusus menyebut "sekolah-sekolah", yang sangat relevan mengingat temuan data bahwa 80,85 persen pelaku dan korban berlatar belakang pendidikan SLTA.1 Alasan diberikannya saran ini, menurut peneliti, adalah "karena kecelakaan lalu lintas ini didominasi oleh faktor manusia".1

Namun, jika dilihat secara kritis, ada kesenjangan yang signifikan antara diagnosis data dan resep yang ditawarkan. Data dalam studi ini tidak hanya menunjukkan "faktor manusia"; data tersebut meneriakkan "faktor ilegalitas", "impunitas", dan "ketidakpatuhan yang disengaja". Diagnosisnya adalah krisis penegakan hukum.

Sementara rekomendasi untuk rambu (Engineering) dan penyuluhan (Education) tentu bermanfaat, keduanya tidak secara langsung mengatasi akar masalah yang diungkap oleh data. Pertanyaan kritisnya adalah: Apakah rambu peringatan akan efektif menghentikan pengemudi yang secara sadar memilih untuk "tidak tertib" dan sudah berani berkendara "tanpa SIM"? Apakah penyuluhan akan didengar oleh demografi yang sama, yang 65 persen di antaranya sudah beroperasi di luar kerangka hukum?

Rekomendasi studi ini menyentuh dua dari tiga pilar keselamatan jalan (Engineering dan Education), tetapi pilar ketiga, yang justru paling diimplikasikan oleh data, tidak disebutkan secara eksplisit: Enforcement (Penegakan Hukum).

 

Kesimpulan: Peta Jalan untuk Keselamatan di Destinasi Pariwisata

Studi "Analisis Daerah Rawan Kecelakaan Pada Jaringan Jalan Berbasis Peta GIS" (2019) ini adalah sebuah dokumen diagnostik yang sangat penting bagi para pemangku kepentingan di Lombok Barat. Nilai terbesarnya terletak pada kemampuannya mengupas lapisan masalah keselamatan jalan, dari yang paling terlihat hingga ke akarnya.

Penelitian ini memetakan di mana bahaya itu berada (empat black spot, termasuk arteri pariwisata Senggigi dan Bypass BIL).1 Ia mengidentifikasi mengapa kecelakaan terjadi (82,91 persen faktor manusia).1 Ia merinci bagaimana perilaku itu bermanifestasi (dominasi "tidak tertib" di atas kelalaian).1 Ia memprofilkan siapa pelakunya (usia 16-30 tahun, berlatar belakang SLTA).1 Dan yang terpenting, ia mengungkap akar masalah sistemiknya: krisis legalitas di mana mayoritas pelaku (65,14 persen) dan korban (74,23 persen) tidak memiliki kualifikasi dasar untuk mengemudi (SIM).1

Bagi Polres Lombok Barat, Dinas Perhubungan, dan Pemerintah Daerah, laporan ini adalah peta jalan yang jelas. Ia membuktikan bahwa solusi parsial yang berfokus pada perbaikan jalan tidak akan membuahkan hasil. Sebaliknya, strategi yang efektif harus menyeimbangkan tiga pilar:

  1. Engineering: Memasang rambu peringatan di lokasi rawan, seperti yang disarankan studi.1
  2. Education: Melakukan sosialisasi yang ditargetkan secara tajam, khususnya menyasar "sekolah-sekolah" (SLTA), seperti yang juga direkomendasikan.1
  3. Enforcement: Ini adalah elemen yang hilang dari rekomendasi tetapi paling dituntut oleh data. Harus ada kemauan politik untuk menerapkan penegakan hukum yang konsisten dan tanpa pandang bulu terhadap pelanggaran fundamental—berkendara tanpa SIM—untuk memutus budaya impunitas.

Pada akhirnya, Lombok Barat tidak dapat secara berkelanjutan memproyeksikan citranya sebagai destinasi wisata kelas dunia jika jalan-jalan arteri yang mengantarkan wisatawan ke destinasi tersebut tetap menjadi zona rawan kecelakaan yang didominasi oleh pengemudi yang tidak disiplin dan tidak berlisensi. Studi ini telah menyediakan data dan menyalakan lampu peringatan; tindak lanjutnya kini berada di tangan para pembuat kebijakan.

 

Sumber Artikel:

Artikel Ilmiah "Analisis Daerah Rawan Kecelakaan pada Jaringan Jalan Berbasis Peta GIS" (Tati Juliana, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Mataram, 2019).

Selengkapnya
Jalan Maut di Lumbung Pariwisata: Analisis Titik Rawan Kecelakaan dan Krisis Legalitas Pengemudi di Lombok Barat

Analisis Kebijakan

Penelitian Ini Mengungkap Paradoks Anggaran Jalan Rp980 Miliar di Kendari – dan Ini Pelajaran Pentingnya bagi Kota Anda!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 20 Oktober 2025


Setiap pengemudi di perkotaan Indonesia pasti akrab dengan sensasi ini: desahan kolektif saat roda mobil menghantam lubang yang tak terlihat, getaran halus pada suspensi yang menandakan jalanan yang tak mulus, dan rasa frustrasi yang menumpuk dalam perjalanan sehari-hari. Ini adalah realitas infrastruktur yang kita hadapi. Namun, di balik setiap lubang dan retakan aspal di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, sebuah penelitian mendalam mengungkap sebuah cerita yang jauh lebih kompleks—sebuah paradoks anggaran yang mengejutkan.

Sebuah studi yang dipimpin oleh Mahmud Buburanda dari Universitas Halu Oleo baru-baru ini membongkar apa yang terjadi ketika dana infrastruktur yang masif tidak diiringi dengan strategi yang tepat. Selama periode lima tahun terakhir, Pemerintah Kota Kendari telah mengalokasikan dana yang sangat besar, mencapai total Rp 980 Miliar, untuk jaringan jalannya.1 Dengan angka sebesar itu, publik berhak mengharapkan jalanan yang mulus dan terawat. Namun, temuan penelitian ini menunjukkan gambaran yang berbeda. Sebagian besar jalan di kota tersebut berada dalam kondisi "Kerusakan Ringan hingga Sedang".1

Ini memunculkan pertanyaan kritis yang bergema jauh melampaui batas kota Kendari: Jika masalahnya bukan kekurangan uang, lalu apa? Penelitian ini berfungsi sebagai audit independen terhadap kebijakan publik, memegang cermin di hadapan tata kelola kota dan mengungkap sebuah kekeliruan fundamental dalam cara kita berpikir tentang pembangunan. Ini adalah kisah tentang bagaimana niat baik dan anggaran besar bisa tersesat tanpa strategi yang cerdas, sebuah pelajaran penting bagi setiap pemerintah daerah di Indonesia.

 

Potret Infrastruktur Kendari: Salah Alokasi Anggaran yang Mengejutkan

Untuk memahami skala masalahnya, penting untuk melihat lanskap infrastruktur Kota Kendari. Pemerintah kota bertanggung jawab atas jaringan jalan sepanjang 489,199 km, yang merupakan bagian dari total 584,709 km jalan jika digabungkan dengan jalan nasional dan provinsi yang melintasinya.1 Ini adalah aset vital yang menjadi urat nadi perekonomian, mobilitas penduduk, serta akses terhadap layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan.

Sekilas, data kondisi jalan dari tahun 2018 hingga 2022 menunjukkan adanya kemajuan. Panjang jalan dalam kondisi "Baik" berhasil meningkat dari 248 km menjadi 314 km, sementara jalan yang "Rusak Berat" berkurang drastis dari 111 km menjadi hanya 59 km.1 Di atas kertas, ini tampak seperti sebuah keberhasilan. Namun, penelitian Buburanda dan timnya menggali lebih dalam dan menemukan biaya tersembunyi di balik angka-angka ini—sebuah pemulihan yang berjalan lambat dan luar biasa mahal.

Pusat dari temuan ini adalah alokasi anggaran yang sangat tidak seimbang. Dari total Rp 980 Miliar yang digelontorkan selama lima tahun, sebagian besar—sebesar Rp 858,4 Miliar atau 87,6%—dihabiskan untuk program "Peningkatan Jalan dan Pembangunan Jalan Baru".1 Ini adalah tindakan reaktif, seperti rekonstruksi total atau pembangunan dari awal, yang pada dasarnya dilakukan setelah jalan mencapai kondisi rusak parah. Sebaliknya, alokasi untuk program "Pemeliharaan Jalan dan Rehabilitasi Jalan"—tindakan preventif yang menjaga jalan bagus tetap dalam kondisi prima—hanya mendapatkan porsi remah, yaitu sebesar Rp 121,6 Miliar atau hanya 12,4% dari total anggaran.1

Untuk memahaminya dengan lebih mudah, bayangkan ini seperti seorang pemilik rumah yang mengabaikan atap yang bocor sedikit demi sedikit. Alih-alih memanggil tukang untuk perbaikan kecil yang murah, ia menunggu hingga seluruh langit-langit ambruk dan struktur rumah rusak parah oleh air hujan. Baru setelah itu, ia menghabiskan ratusan juta rupiah untuk renovasi total. Strategi Pemerintah Kota Kendari, seperti yang diungkap penelitian ini, adalah menunggu "rumah" infrastrukturnya nyaris roboh sebelum bertindak.

Pendekatan ini, yang oleh para peneliti disebut sebagai penanganan yang tidak tepat waktu dan tidak berdasarkan skala prioritas, menjadi akar dari segala masalah. Pemerintah kota cenderung menunggu hingga kondisi jalan berada pada level "Tidak Mantap atau Rusak Berat" sebelum mengintervensi.1 Padahal, Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan secara eksplisit menyatakan bahwa pemeliharaan jalan adalah prioritas tertinggi dari semua jenis pengelolaan jalan.1 Dengan mengabaikan mandat ini, siklus perbaikan mahal yang tak berkesudahan terus berlanjut, menguras anggaran publik dan mengorbankan kenyamanan serta keselamatan warga.

 

Tiga Pilar Keberlanjutan yang Rapuh: Hasil Audit Kinerja Manajemen Jalan

Untuk mengukur dampak dari strategi yang keliru ini, para peneliti menggunakan sebuah alat analisis canggih yang disebut RAT-HMM (Rapid Assessment Techniques for Highway Maintenance Management). Metode ini memberikan semacam "kartu rapor" atau audit kesehatan terhadap sistem manajemen jalan kota, menilainya berdasarkan tiga dimensi krusial: Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan. Hasilnya, secara keseluruhan, manajemen jalan di Kendari dinilai "Cukup Berkelanjutan".1 Namun, istilah ini menipu. Di balik label yang terdengar memadai itu, tersembunyi kelemahan-kelemahan signifikan yang berdampak langsung pada kehidupan warga.

Dimensi Sosial (Skor: 64,64%) – Keselamatan dan Suara Warga yang Terpinggirkan

Dengan nilai indeks sebesar $64,64\%$, dimensi sosial menjadi pilar terlemah dalam sistem manajemen jalan Kendari.1 Skor ini nyaris tidak mencapai standar kelulusan, sebuah sinyal kuat bahwa aspek kemanusiaan menjadi korban utama dari strategi infrastruktur yang ada. Ini bukan sekadar angka; ini adalah cerminan dari biaya sosial yang harus ditanggung oleh masyarakat.

Penelitian ini secara gamblang menghubungkan strategi reaktif pemerintah dengan munculnya "keresahan sosial di masyarakat akibat meningkatnya angka kecelakaan karena menghindari kerusakan jalan".1 Ketika jalan dibiarkan rusak, kenyamanan dan keselamatan pengendara terganggu. Namun, masalahnya lebih dalam dari sekadar lubang di jalan. Analisis sensitivitas menemukan beberapa titik lemah yang paling berpengaruh:

  • Tingginya frekuensi kecelakaan kerja: Keselamatan para pekerja yang melakukan perbaikan jalan di tengah lalu lintas padat menjadi perhatian utama yang belum teratasi dengan baik.
  • Minimnya partisipasi publik: Suara warga, terutama masukan dari pertemuan di tingkat kelurahan, sering kali tidak didengar dalam proses perencanaan dan pelaksanaan proyek konstruksi.
  • Aksesibilitas yang belum merata: Kemudahan akses bagi semua pengguna jalan, termasuk pejalan kaki, penyandang disabilitas, dan pengendara kendaraan non-motor, masih menjadi isu krusial.
  • Risiko kecelakaan pengguna jalan: Selama proyek konstruksi besar berlangsung, keselamatan pengguna jalan raya lainnya juga menjadi titik kritis yang sering terabaikan.1

Ketika partisipasi publik minim, proyek yang dihasilkan mungkin tidak menjawab kebutuhan nyata atau kekhawatiran keselamatan warga. Ini menciptakan lingkaran setan: pengeluaran yang tidak efisien menghasilkan infrastruktur yang tidak memuaskan, yang pada gilirannya memicu ketidakpuasan publik.

Dimensi Ekonomi (Skor: 72,19%) – Efisiensi di Atas Kertas, Boros dalam Praktik

Pada pandangan pertama, skor ekonomi sebesar $72,19\%$ tampak menjadi yang paling positif di antara ketiganya.1 Namun, skor ini menipu. Argumen inti dari penelitian ini adalah bahwa strategi yang dijalankan saat ini secara fundamental boros dan tidak efisien secara ekonomi. Skor yang relatif tinggi ini kemungkinan besar mencerminkan aspek-aspek prosedural yang sudah berjalan cukup baik, seperti mekanisme pemilihan kontraktor. Akan tetapi, ia gagal menangkap inefisiensi strategis yang lebih besar.

Kebijakan menunggu jalan rusak parah sebelum diperbaiki menciptakan dua jenis kerugian ekonomi. Pertama, ia "meningkatkan biaya pemeliharaan" bagi pemerintah dalam jangka panjang, karena biaya rekonstruksi total jauh lebih mahal daripada pemeliharaan rutin. Kedua, ia secara langsung "meningkatkan Biaya Operasional Kendaraan" bagi setiap warga.1 Jalan yang rusak berarti konsumsi bahan bakar yang lebih boros akibat kemacetan, serta biaya perbaikan kendaraan yang lebih sering untuk komponen seperti suspensi dan ban.

Kelemahan utama dalam dimensi ekonomi ini, menurut analisis, terletak pada beberapa faktor kunci:

  • Ketiadaan kajian biaya pemeliharaan: Salah satu kelalaian paling fatal adalah tidak adanya studi mendalam yang menghitung biaya operasional dan pemeliharaan jangka panjang sebagai dasar pengambilan keputusan.
  • Keterlibatan kontraktor dan pemasok yang belum optimal: Belum ada dorongan sistematis agar kontraktor dan pemasok material lebih proaktif dalam merancang dan menyediakan solusi yang lebih efisien dari segi sumber daya.
  • Pentingnya kontrak berbasis keberlanjutan: Klausul yang mewajibkan penerapan praktik-praktik berkelanjutan belum menjadi standar dalam setiap kontrak kerja konstruksi jalan.1

Dimensi Lingkungan (Skor: 65,82%) – Dari Genangan Banjir hingga Kebisingan Kota

Dengan skor hanya $65,82\%$, dimensi lingkungan jelas menjadi pertimbangan sekunder dalam sistem manajemen jalan di Kendari.1 Dampak ekologis dari infrastruktur yang tidak terawat sering kali tidak terlihat, tetapi sangat nyata. Penelitian ini menyoroti hubungan langsung antara pemeliharaan jalan yang buruk dengan masalah lingkungan yang konkret dan meresahkan.

Contoh paling gamblang adalah terjadinya "bencana banjir akibat drainase tidak berfungsi karena banyaknya endapan lumpur yang menumpuk".1 Ketika saluran air di sisi jalan tersumbat oleh sedimen dan sampah, fungsinya untuk mengalirkan air hujan hilang. Akibatnya, genangan air tidak hanya merusak badan jalan lebih cepat, tetapi juga menyebabkan banjir lokal yang mengganggu aktivitas warga.

Selain itu, beberapa isu lingkungan lain yang menjadi titik lemah adalah:

  • Masalah kebisingan: Tingkat kebisingan lalu lintas yang tinggi menjadi bentuk polusi suara yang mengganggu kualitas hidup warga yang tinggal di dekat jalan-jalan utama.
  • Sampah padat: Tumpukan sampah yang masih terlihat di sisi jalan menunjukkan pengelolaan kebersihan yang belum terintegrasi dengan pemeliharaan infrastruktur.
  • Rembesan air hujan: Sistem drainase yang buruk menyebabkan air hujan sering menggenangi pinggir jalan, yang tidak hanya menyebabkan banjir tetapi juga mempercepat kerusakan struktur aspal.
  • Hewan liar: Keberadaan hewan yang berkeliaran di beberapa ruas jalan juga diidentifikasi sebagai isu lingkungan sekaligus ancaman keselamatan.1

Ketiga dimensi ini saling terkait dalam sebuah lingkaran setan negatif. Strategi ekonomi yang reaktif menyebabkan jalan dibiarkan rusak. Kerusakan ini memicu masalah lingkungan seperti drainase tersumbat dan banjir. Pada gilirannya, jalan rusak dan proyek perbaikan besar yang mengganggu menimbulkan masalah sosial seperti kecelakaan dan keluhan publik. Semua ini kembali menciptakan biaya ekonomi tambahan, memperkuat pola pikir "hanya ada dana untuk darurat" yang melanggengkan strategi reaktif tersebut.

 

Sebuah Kritik Realistis: Pelajaran dari Kendari untuk Seluruh Indonesia

Penting untuk menyajikan temuan ini dengan perspektif yang seimbang. Studi ini adalah sebuah studi kasus yang mendalam dan spesifik untuk Kota Kendari. Angka-angka persis, alokasi anggaran, dan skor keberlanjutan mungkin tidak dapat diterapkan secara langsung ke kota-kota lain seperti Jakarta, Surabaya, atau Makassar, yang memiliki skala, kepadatan lalu lintas, dan struktur tata kelola yang berbeda.

Namun, di sinilah letak kekuatan universal dari penelitian ini. Meskipun datanya bersifat lokal, pelajarannya bersifat global. Kekeliruan strategis yang diidentifikasi—memprioritaskan rekonstruksi reaktif yang mahal di atas pemeliharaan proaktif yang hemat biaya—adalah penyakit umum dalam manajemen pekerjaan umum di seluruh Indonesia, bahkan di dunia. Seringkali, secara politis, proyek-proyek besar seperti pembangunan jalan baru atau jembatan lebih menarik karena terlihat sebagai "warisan" pembangunan yang nyata. Pemeliharaan rutin, sebaliknya, adalah pekerjaan sunyi yang tidak terlihat saat berhasil, sehingga kurang memberikan imbalan politik.

Dengan demikian, Kendari berfungsi sebagai sebuah mikrokosmos, sebuah laboratorium nyata yang didukung oleh data kuat, yang memberikan cetak biru bagi pemerintah kota lain untuk melakukan introspeksi. Temuan ini seharusnya mendorong para pembuat kebijakan di daerah lain untuk bertanya pada diri mereka sendiri: Apakah kota kami juga terjebak dalam siklus "gali-tutup" yang mahal dan tidak efisien ini?

 

Kesimpulan: Jalan Baru Menuju Efisiensi dan Dampak Nyata bagi Warga

Pesan utama dari penelitian Buburanda dan timnya sangat jelas dan kuat: masalah jalan di Kendari bukanlah krisis uang, melainkan krisis strategi. Studi ini tidak hanya memberikan diagnosis yang akurat, tetapi secara implisit juga menawarkan resep untuk penyembuhannya.

Solusinya menuntut sebuah pergeseran paradigma fundamental, dari pendekatan reaktif menuju proaktif. Ini berarti keberanian untuk merealokasikan sebagian besar dari anggaran infrastruktur yang masif itu, dari proyek-proyek rekonstruksi besar ke pekerjaan pemeliharaan rutin, berkala, dan preventif yang seringkali dianggap sepele. Ini adalah tentang menambal lubang kecil hari ini untuk mencegah retakan besar besok.

Jika diterapkan, pergeseran strategis ini dapat membawa dampak transformatif. Dalam lima tahun ke depan, kebijakan yang memprioritaskan pemeliharaan preventif tidak hanya berpotensi menghemat ratusan miliar Rupiah dari anggaran publik, tetapi juga akan secara langsung mengurangi angka kecelakaan lalu lintas, menekan biaya operasional kendaraan bagi setiap warga, dan mencegah bencana ekologis skala kecil seperti banjir lokal yang selama ini mengganggu kehidupan kota. Ini adalah jalan menuju infrastruktur yang tidak hanya kuat, tetapi juga cerdas dan berkelanjutan.

 

Sumber Artikel:

Buburanda, M., Rianse, U., Alwi, L. O., & Putra, A. A. (2023). Road maintenance management system in Kendari City, Southeast Sulawesi, Indonesia. Technium Social Sciences Journal, 45, 437-448.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Paradoks Anggaran Jalan Rp980 Miliar di Kendari – dan Ini Pelajaran Pentingnya bagi Kota Anda!

Analisis Kebijakan

Revolusi Aspal di Jantung Jawa: Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Jalan Nasional yang Makin Mulus – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 Oktober 2025


Jalan Rusak, Anggaran Terkuras: Sebuah Dilema Nasional yang Akrab

Bagi jutaan masyarakat Indonesia, kondisi jalan nasional adalah cerminan langsung dari denyut nadi negara. Ia adalah jalur kehidupan ekonomi, urat nadi mobilitas, dan panggung bagi rutinitas sehari-hari. Namun, ia juga sering kali menjadi sumber frustrasi kolektif. Pemandangan jalan yang baru saja mulus diaspal, namun kembali berlubang hanya dalam hitungan bulan, adalah sebuah ironi yang terlalu akrab. Proyek perbaikan yang terkesan seperti siklus "tambal sulam" tanpa akhir memunculkan pertanyaan yang sama di benak publik: ke mana larinya miliaran rupiah anggaran infrastruktur?

Keluhan ini bukan tanpa dasar. Di tengah masifnya pembangunan, tantangan terbesar justru terletak pada preservasi atau pemeliharaan aset yang sudah ada. Selama ini, banyak yang menduga masalahnya terletak pada kualitas material, pengawasan yang lemah, atau beban kendaraan yang berlebih. Namun, sebuah penelitian mendalam dari Universitas Sebelas Maret menyingkap sebuah jawaban yang lebih fundamental. Tesis yang mengkaji preservasi jalan nasional di Surakarta dan Sragen ini menunjukkan bahwa akar masalahnya mungkin bukan pada aspalnya, melainkan pada sistem di baliknya: metode kontrak yang digunakan untuk merawat jalan itu sendiri.1

Penelitian ini menggali lebih dalam, membandingkan dua filosofi yang sangat berbeda dalam memandang pemeliharaan jalan. Hasilnya bukan hanya sekumpulan data akademis, melainkan sebuah peta jalan menuju solusi yang lebih efektif dan efisien, sebuah terobosan yang berpotensi mengubah cara Indonesia merawat infrastruktur vitalnya untuk selamanya.

 

Dua Filosofi Perawatan Jalan: Membedah Kontrak 'Tambal Sulam' vs. 'Manajer Ruas'

Untuk memahami mengapa sebuah sistem bisa lebih unggul dari yang lain, kita perlu membedah dua pendekatan yang menjadi inti dari penelitian ini: metode kontrak konvensional yang telah lama digunakan, dan metode kontrak longsegment yang menjadi angin segar perubahan.1 Keduanya bukan sekadar prosedur administrasi, melainkan cerminan dari dua cara pandang yang berbeda secara fundamental.

Metode Konvensional – Pendekatan Reaktif

Bayangkan Anda memiliki mobil dan hanya membawanya ke bengkel setiap kali ada komponen yang rusak parah. Pendekatan inilah yang mencerminkan filosofi di balik kontrak konvensional. Dalam sistem ini, pemerintah membuka tender untuk pekerjaan spesifik di lokasi tertentu, misalnya, pengaspalan ulang jalan sepanjang lima kilometer atau perbaikan drainase di satu titik.2 Kontraktor dibayar setelah menyelesaikan volume pekerjaan yang disepakati dalam jangka waktu tertentu.

Secara inheren, filosofi ini bersifat reaktif. Penanganan baru dilakukan setelah kerusakan cukup signifikan untuk masuk dalam program perbaikan. Ini menciptakan sebuah lingkaran setan. Kontraktor tidak memiliki insentif untuk memastikan kualitas jangka panjang di luar masa garansi proyek yang relatif singkat. Fokus mereka adalah menyelesaikan output (volume pekerjaan), bukan menjaga outcome (kualitas layanan jalan secara keseluruhan).2 Akibatnya, pemerintah terjebak dalam mode "pemadam kebakaran"—selalu mengejar ketertinggalan untuk menambal kerusakan yang terus muncul di berbagai titik.

Metode Kontrak Longsegment – Sebuah Paradigma Baru

Sekarang, bayangkan skenario kedua. Alih-alih pergi ke bengkel yang berbeda untuk setiap masalah, Anda menyewa satu manajer mekanik pribadi yang bertanggung jawab penuh atas kesehatan mobil Anda secara keseluruhan, mulai dari penggantian oli rutin hingga perbaikan besar. Inilah analogi yang paling tepat untuk menggambarkan metode kontrak longsegment.

Longsegment adalah penanganan preservasi jalan secara terpadu dan menerus dalam satu segmen yang panjang, biasanya berkisar antara 50 hingga 150 kilometer.3 Ini bukan lagi sekadar perubahan teknis, melainkan sebuah revolusi filosofis dalam pengadaan publik. Model ini secara fundamental mengubah peran kontraktor. Mereka tidak lagi dipandang sebagai "pelaksana konstruksi", melainkan sebagai "manajer ruas jalan".5

Pembayaran tidak lagi murni berdasarkan volume aspal yang digelar, tetapi berdasarkan kinerja. Kontraktor diwajibkan untuk memenuhi serangkaian Indikator Kinerja Utama (IKU) yang ketat, mencakup segala aspek dari tingkat kerataan permukaan jalan (diukur dengan International Roughness Index atau IRI), kondisi bahu jalan, fungsionalitas sistem drainase, hingga kelengkapan rambu lalu lintas.7 Jika mereka gagal memenuhi standar layanan ini dalam waktu tanggap yang ditentukan, mereka akan dikenai sanksi finansial berupa pemotongan pembayaran.8

Mekanisme ini menciptakan insentif ekonomi yang sangat kuat. Kontraktor didorong untuk berpikir proaktif dan melakukan pemeliharaan preventif. Bagi mereka, menambal satu lubang kecil hari ini jauh lebih menguntungkan daripada harus melakukan perbaikan besar-besaran enam bulan kemudian akibat kerusakan yang meluas. Pemerintah, di sisi lain, berhasil mengalihkan risiko pemeliharaan harian kepada pihak yang paling mampu mengelolanya, seraya memastikan setiap rupiah yang dibelanjakan menghasilkan layanan jalan yang andal dan berkelanjutan. Ini adalah lompatan dari sekadar membeli barang dan jasa menjadi membeli hasil.

 

Laboratorium Nyata di Surakarta-Sragen: Data Membuktikan Terobosan

Teori dan konsep adalah satu hal, tetapi bukti di lapangan adalah segalanya. Koridor jalan nasional di Surakarta dan Sragen menjadi laboratorium nyata yang sempurna untuk menguji kedua filosofi ini. Penelitian ini membedah data selama enam tahun, terbagi menjadi dua era yang kontras: periode 2014-2016 saat metode konvensional masih diterapkan, dan periode 2017-2019 setelah transisi ke kontrak longsegment. Data yang tersaji bukan sekadar angka, melainkan sebuah narasi dramatis tentang sebuah terobosan.

Era Konvensional (2014-2016) – Kinerja yang Stagnan dengan Biaya Membengkak

Selama tiga tahun di bawah sistem lama, kualitas jalan nasional di wilayah studi menunjukkan perbaikan, namun terasa lamban dan seolah mencapai batas atas kemampuannya. Data menunjukkan persentase "Kondisi Jalan Mantap" bergerak dari 86,22% pada 2014, naik sedikit ke 88,33% pada 2015, dan hampir tidak bergerak di angka 88,41% pada 2016.1

Yang lebih mengejutkan adalah dinamika anggarannya. Untuk mencapai peningkatan kualitas yang hanya sekitar dua poin persentase selama tiga tahun tersebut, biaya yang digelontorkan melonjak drastis. Dimulai dari Rp 18 miliar pada 2014, anggaran membengkak menjadi Rp 28 miliar pada 2015, dan mencapai lebih dari Rp 31,3 miliar pada 2016.1 Ini adalah gambaran klasik dari efisiensi yang menurun: semakin banyak uang yang diinvestasikan, semakin kecil hasil tambahan yang didapat. Kinerja yang dihasilkan baik, tetapi tidak sepadan dengan lonjakan biayanya.

Era Longsegment (2017-2019) – Lompatan Kualitas yang Signifikan

Titik balik terjadi pada tahun 2017, saat kontrak longsegment mulai diterapkan. Perubahan yang terjadi seketika dan sangat signifikan. Pada tahun pertama penerapan model baru, tingkat kemantapan jalan melonjak drastis dari 88,41% ke angka 92,56%.1 Ini bukan lagi peningkatan inkremental, melainkan sebuah lompatan kuantum dalam kualitas layanan publik.

Tren positif ini terus berlanjut dengan meyakinkan. Tingkat kemantapan jalan naik menjadi 93,22% pada 2018 dan mencapai puncaknya di 95,12% pada 2019.1 Dalam tiga tahun, model longsegment berhasil mendongkrak kualitas jalan hampir tujuh poin persentase, sebuah pencapaian yang jauh melampaui apa yang bisa diraih model konvensional.

Namun, cerita yang paling mengejutkan terungkap ketika kita membandingkan pencapaian ini dengan biayanya. Sekilas, anggaran di era longsegment terlihat terus naik, dari sekitar Rp 31,7 miliar pada 2017 menjadi Rp 33,7 miliar pada 2019.1 Akan tetapi, data mengungkap sebuah efisiensi tersembunyi yang luar biasa. Lompatan kualitas terbesar dalam sejarah enam tahun studi ini—dari 88,41% ke 92,56%, atau peningkatan sebesar 4,15 poin persentase—terjadi pada tahun 2017 dengan kenaikan anggaran yang sangat minimal, hanya sekitar 1,5% dari biaya tahun sebelumnya.

Ini adalah bukti nyata dari konsep value for money. Model longsegment tidak hanya terbukti mampu menghasilkan jalan yang jauh lebih baik, tetapi juga mampu memaksimalkan setiap rupiah yang dibelanjakan. Dengan sedikit tambahan investasi, hasil yang didapat oleh publik ternyata bisa berlipat ganda.

 

Di Balik Angka: Mengapa Model Longsegment Begitu Unggul?

Keberhasilan dramatis di Surakarta dan Sragen tentu memunculkan pertanyaan penting: mengapa model longsegment bisa begitu efektif? Analisis mendalam terhadap mekanisme kontrak ini mengungkapkan beberapa pilar fundamental yang menjadi kunci keunggulannya.

  • Fokus pada Hasil, Bukan Proses: Pilar utama keberhasilan longsegment adalah pergeseran fokus dari penyelesaian daftar pekerjaan menjadi pemenuhan tingkat layanan secara berkelanjutan. Kontraktor tidak lagi dinilai dari berapa kilometer jalan yang mereka aspal, tetapi dari seberapa baik mereka menjaga kondisi jalan tersebut sepanjang tahun. Tesis ini menemukan hubungan statistik yang sangat kuat antara biaya pelaksanaan dan nilai kemantapan jalan (), yang mengindikasikan bahwa investasi yang dikelola dengan baik di bawah skema berbasis kinerja ini akan langsung berbuah hasil yang terukur dan dapat diandalkan.1
  • Penanganan Terpadu dan Holistik: Dengan mengelola segmen jalan yang panjang dan tanpa putus, kontraktor dapat merencanakan pekerjaan secara lebih strategis dan efisien. Tidak ada lagi "area abu-abu" di antara proyek-proyek kecil yang terfragmentasi, di mana kerusakan sering kali terabaikan. Pendekatan holistik ini memastikan kondisi jalan yang seragam dan mantap di sepanjang koridor, sesuai dengan tujuan utama dari skema longsegment.3
  • Mendorong Budaya Pemeliharaan Preventif: Ini adalah perubahan budaya yang paling transformatif. Karena kontraktor akan merugi jika harus melakukan perbaikan besar akibat kerusakan yang meluas, mereka termotivasi secara finansial untuk mengatasi masalah kecil sebelum menjadi besar. Lubang kecil segera ditambal, saluran drainase yang tersumbat segera dibersihkan, dan bahu jalan yang terkikis segera diperbaiki. Ini adalah pergeseran krusial dari budaya "memperbaiki" yang reaktif menjadi budaya "merawat" yang proaktif.5
  • Akuntabilitas yang Jelas dan Terpusat: Di bawah model konvensional yang terfragmentasi, sering kali sulit untuk menunjuk siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan di titik tertentu. Dengan skema longsegment, hanya ada satu entitas—satu "manajer ruas"—yang bertanggung jawab penuh atas kondisi keseluruhan segmen jalan tersebut. Ini menyederhanakan proses pengawasan bagi pemerintah dan menghilangkan kemungkinan saling lempar tanggung jawab yang kerap menghambat penanganan masalah.

 

Catatan Kritis: Apakah Ini Peluru Perak untuk Infrastruktur Indonesia?

Meskipun hasil dari studi kasus Surakarta-Sragen sangat menjanjikan, penting untuk melihatnya dengan kacamata yang kritis dan realistis. Kontrak longsegment bukanlah sebuah peluru perak yang secara otomatis akan menyelesaikan semua masalah infrastruktur jalan di Indonesia.

Pertama, penelitian ini sendiri mengakui beberapa keterbatasan penting. Studi ini hanya berlokasi di Surakarta dan Sragen, dua wilayah di Pulau Jawa dengan akses logistik yang relatif mudah dan kondisi lalu lintas yang dapat diprediksi.1 Ini memunculkan pertanyaan valid: apakah keberhasilan serupa dapat direplikasi dengan mudah di wilayah dengan tantangan geografis yang lebih ekstrem, seperti di daerah pegunungan Papua atau kepulauan di Maluku?

Kedua, ada sebuah blind spot yang signifikan dalam analisis ini. Data mengenai pemeliharaan jembatan, yang merupakan komponen kritis dalam setiap koridor jalan, tidak dapat diikutsertakan karena sifat kerahasiaan dokumennya.1 Kinerja pemeliharaan jalan yang sangat baik bisa menjadi kurang optimal jika tidak diimbangi dengan keandalan jembatan di sepanjang ruas yang sama.

Lebih jauh lagi, keberhasilan implementasi longsegment sangat bergantung pada faktor manusia. Sebuah studi kasus lain di lokasi berbeda justru menemukan bahwa kontrak tradisional berkinerja lebih baik, dengan hipotesis penyebabnya adalah "kurangnya pemahaman para pihak yang terlibat dalam kontrak longsegment terhadap prinsip-prinsip pemenuhan kinerja layanan jalan".2 Ini adalah pengingat penting bahwa secanggih apa pun sebuah model kontrak, ia hanyalah alat. Keberhasilannya sangat ditentukan oleh kesiapan, kapasitas, dan pemahaman mendalam dari semua pihak yang terlibat—mulai dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di pemerintahan hingga tim kontraktor di lapangan. Tanpa adanya perubahan budaya kerja dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia, formula yang sukses di satu tempat bisa saja gagal di tempat lain.

 

Dampak Nyata: Jalan Mulus untuk Ekonomi yang Mulus

Terlepas dari tantangan implementasinya, penelitian di Surakarta dan Sragen telah memberikan bukti yang sangat kuat dan meyakinkan: jika diterapkan dengan benar, kontrak longsegment secara signifikan lebih efektif dan efisien dalam meningkatkan serta mempertahankan kualitas jalan nasional. Temuan ini memiliki implikasi yang sangat luas, jauh melampaui sekadar permukaan aspal yang lebih rata.

Bagi pengguna jalan sehari-hari, jalan yang lebih mulus dan andal berarti biaya perawatan kendaraan—terutama untuk ban dan suspensi—yang lebih rendah. Waktu tempuh menjadi lebih singkat dan dapat diprediksi, yang pada akhirnya meningkatkan produktivitas dan mengurangi stres. Yang terpenting, ini berarti peningkatan kenyamanan dan keselamatan bagi jutaan pengendara.

Bagi perekonomian nasional, dampaknya bahkan lebih besar. Kelancaran logistik adalah tulang punggung dari ekonomi yang sehat. Jalan yang andal dan bebas hambatan akan mengurangi biaya transportasi barang secara signifikan. Efisiensi ini akan merambat ke seluruh rantai pasok, yang pada akhirnya berpotensi menekan harga-harga kebutuhan pokok dan meningkatkan daya saing produk-produk lokal di pasar yang lebih luas.

Jika model yang terbukti berhasil di jantung Jawa ini dapat diadopsi dan diimplementasikan dengan benar di seluruh penjuru negeri, Indonesia berpotensi memasuki era baru dalam preservasi aset nasional. Fokusnya bukan lagi sekadar membangun jalan baru, tetapi tentang memastikan setiap kilometer jalan yang ada memberikan layanan maksimal bagi publik secara berkelanjutan. Jika diterapkan secara masif, dalam lima tahun ke depan model ini bisa secara signifikan mengurangi biaya logistik nasional dan menghemat miliaran rupiah dari kantong masyarakat melalui pengurangan biaya operasional kendaraan.

 

Sumber Artikel:

Widyanitya, A. (2022). Efektifitas sistem pemeliharaan jalan dalam metode kontrak longsegment (Studi kasus: Preservasi jalan nasional di Surakarta dan Sragen). UNS Institutional Repository.

Selengkapnya