Krisis Air di Timur Tengah & Afrika Utara: Ekonomi, Politik, dan Solusi Kelembagaan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

17 Juni 2025, 11.59

pixabay.com

Mengapa Krisis Air di MENA Menjadi Isu Global

Kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA) saat ini menghadapi krisis air paling parah di dunia. Dengan populasi yang melonjak dari 100 juta pada 1960 menjadi lebih dari 450 juta pada 2018, dan diprediksi mencapai 720 juta pada 2050, tekanan terhadap sumber daya air yang terbatas semakin besar. Laporan “The Economics of Water Scarcity in the Middle East and North Africa: Institutional Solutions” karya Dominick de Waal, Stuti Khemani, Andrea Barone, dan Edoardo Borgomeo dari World Bank, membedah akar masalah, dampak ekonomi, hingga solusi kelembagaan yang relevan untuk mengatasi tantangan ini123.

Artikel ini akan mengulas temuan utama laporan tersebut, mengaitkannya dengan tren global, menyoroti studi kasus nyata, serta menawarkan analisis kritis dan perbandingan dengan literatur lain agar pembaca memahami urgensi dan kompleksitas krisis air di MENA.

Gambaran Krisis: Data, Dampak, dan Proyeksi

Fakta dan Angka Kunci

  • Ketersediaan Air: Pada 2030, rata-rata ketersediaan air per kapita di MENA diperkirakan turun di bawah 500 m³/tahun—ambang batas kelangkaan absolut menurut Falkenmark Index12.
  • Pertumbuhan Penduduk: Dari 100 juta (1960) menjadi 450 juta (2018), diproyeksikan 720 juta (2050)12.
  • Kebutuhan Tambahan: Pada 2050, dibutuhkan tambahan 25 miliar m³ air per tahun, setara membangun 65 instalasi desalinasi raksasa seperti Ras Al Khair di Arab Saudi1.
  • Penggunaan Air: 83% air di kawasan digunakan untuk irigasi pertanian, jauh di atas rata-rata global 70%, meski kontribusi sektor ini terhadap PDB terus menurun2.
  • Kerugian Ekonomi: Jika tidak ada perubahan, krisis air dapat memangkas 6–14% PDB kawasan pada 2050, jauh di atas rata-rata global (<1%)24.
  • Kebocoran dan Pemborosan: Lebih dari 30% air yang diproduksi utilitas air hilang akibat kebocoran, meteran rusak, atau pencurian12.

Dampak Sosial dan Politik

  • Migrasi dan Urbanisasi: Kekurangan air mendorong migrasi dari desa ke kota, memperparah tekanan pada infrastruktur perkotaan4.
  • Konflik dan Instabilitas: Persaingan air memicu ketegangan antarnegara, konflik domestik, hingga protes massal terkait kenaikan tarif air54.
  • Ketidaksetaraan: Akses air di perkotaan bisa mencapai 95%, namun di pedesaan hanya 63% (kasus Maroko), memperlebar jurang kesenjangan5.

Studi Kasus: Maroko, Yordania, dan Uni Emirat Arab

1. Maroko: Dilema Antara Dams dan Pertanian

Maroko mengandalkan 140 bendungan besar untuk mengelola air dari tujuh DAS utama. Namun, konsumsi air melebihi pasokan, terutama akibat pertanian intensif (misal, budidaya semangka). Dampaknya, beberapa DAS seperti Tensift nyaris habis, dan akses air di pedesaan jauh tertinggal dibanding perkotaan5. Pemerintah menghadapi dilema antara menjaga ketahanan pangan, mendukung pertanian ekspor, dan memenuhi kebutuhan domestik.

2. Yordania: Ketidakpercayaan dan Protes Tarif

Yordania kerap menjadi contoh negara yang menghadapi tantangan legitimasi kebijakan air. Upaya pemerintah menutup sumur ilegal dihadang perlawanan petani, bahkan petugas pemerintah diusir dari desa. Ketika pemerintah mencoba menaikkan tarif air, protes massal pecah karena masyarakat tidak percaya kenaikan tarif akan diikuti perbaikan layanan12.

3. Uni Emirat Arab: Desentralisasi dan “Cap-and-Trade”

UEA menerapkan model desentralisasi, di mana tiap emirat bertanggung jawab atas pengelolaan airnya. Abu Dhabi, misalnya, mengimpor air dari emirat lain dan mengembangkan kerja sama strategis dalam pertukaran air. Investasi besar pada desalinasi dan daur ulang air limbah memperlihatkan upaya inovatif, meski biaya dan konsumsi energi sangat tinggi1.

Akar Masalah: Kelembagaan, Legitimasi, dan Trust

1. Fokus pada Infrastruktur, Abaikan Efisiensi

Selama puluhan tahun, solusi pemerintah MENA didominasi pembangunan infrastruktur besar (bendungan, desalinasi, jaringan pipa), bukan efisiensi atau pengelolaan permintaan. Akibatnya, masyarakat terbiasa menganggap masalah air hanya soal pasokan, bukan konsumsi123.

2. Kegagalan Regulasi dan Insentif

  • Tarif Air Rendah: Tarif air di MENA termasuk terendah di dunia, didorong keengganan politik menaikkan harga karena takut protes34.
  • Subsidi Membebani Fiskal: Negara menanggung subsidi besar, namun kualitas layanan tetap buruk sehingga masyarakat lebih memilih air kemasan atau truk air mahal24.
  • Utilitas Tidak Mandiri: Hanya dua utilitas air di MENA yang mampu menutupi biaya operasionalnya sendiri, sisanya defisit dan tergantung subsidi pemerintah1.

3. Legitimasi dan Trust: Kunci Reformasi

  • Legitimasi: Negara gagal mendapatkan kepatuhan sukarela masyarakat atas pembatasan atau kenaikan tarif air. Aturan pembatasan irigasi sering diabaikan petani karena dianggap tidak adil atau tidak konsisten12.
  • Trust: Ketidakpercayaan antara masyarakat, utilitas, dan pemerintah memperparah siklus kegagalan. Banyak warga menolak membayar tagihan karena tidak yakin akan ada perbaikan layanan1.

Solusi Kelembagaan: Desentralisasi, Komunikasi, dan Inovasi

1. Desentralisasi Pengambilan Keputusan

Laporan World Bank merekomendasikan pelimpahan sebagian kewenangan pengelolaan air ke pemerintah daerah dan utilitas profesional, bukan hanya kementerian pusat. Model “cap-and-trade” diusulkan, di mana hak pengelolaan air diberikan ke pemerintah lokal dengan batas (cap) nasional, dan transfer air antarwilayah dimungkinkan untuk efisiensi1.

2. Reformasi Manajemen Utilitas

  • Otonomi dan Insentif: Memberikan otonomi lebih ke manajemen utilitas, memperbaiki insentif kinerja, dan membangun budaya profesional berbasis kepercayaan internal dapat meningkatkan efisiensi dan layanan1.
  • Keterbukaan Data: Publikasi laporan keuangan dan kinerja utilitas secara terbuka dapat membangun kepercayaan publik dan menarik investasi1.

3. Komunikasi dan Keterlibatan Publik

Studi kasus Cape Town (Afrika Selatan) dan São Paulo (Brasil) menunjukkan pentingnya komunikasi strategis. Di Cape Town, dashboard air online dan kampanye publik berhasil menurunkan konsumsi dari 183 menjadi 84 liter/orang/hari saat krisis “Day Zero”1. Di MENA, strategi serupa bisa meningkatkan legitimasi kebijakan dan kepatuhan masyarakat.

4. Perlindungan Sosial dan Diversifikasi Ekonomi

Transisi dari pertanian intensif air ke sektor lain perlu didukung perlindungan sosial dan pelatihan ulang tenaga kerja. Diversifikasi ekonomi penting agar masyarakat tidak sepenuhnya bergantung pada pertanian yang boros air14.

Kritik, Opini, dan Perbandingan

Kritik terhadap Pendekatan Infrastruktur

Literatur lain menyoroti bahwa ketergantungan pada solusi teknokratik (bendungan, desalinasi) tanpa reformasi kelembagaan hanya menunda krisis dan memperbesar beban fiskal35. Bahkan, desalinasi air laut memerlukan energi 23 kali lebih banyak dibanding pengolahan air permukaan, dan biaya 4–5 kali lipat lebih mahal1.

Perbandingan dengan Negara Lain

  • Australia dan AS: Negara-negara seperti Australia dan bagian barat AS telah mencoba pasar air (water trading) dengan pengawasan ketat. Namun, penerapan di MENA lebih rumit karena pluralisme hukum dan hak air berbasis adat1.
  • Argentina: Studi privatisasi air di Buenos Aires menunjukkan keberhasilan menurunkan kematian anak, namun hanya jika regulasi dan transparansi kuat. Tanpa pengawasan, privatisasi bisa gagal1.

Opini: Pentingnya “Social Contract” Baru

Krisis air di MENA bukan sekadar masalah teknis, tapi soal kontrak sosial baru antara negara dan rakyat. Legitimasi, trust, dan partisipasi publik harus menjadi fondasi reformasi. Tanpa itu, investasi apa pun akan sia-sia dan risiko konflik sosial akan terus mengintai.

Tantangan Implementasi dan Rekomendasi

Tantangan Utama

  • Resistensi Politik: Pemerintah takut kehilangan dukungan jika menaikkan tarif atau membatasi irigasi.
  • Kapasitas Lokal: Pemerintah daerah sering kekurangan kapasitas teknis dan keuangan.
  • Ketidaksetaraan: Reformasi berisiko memperlebar kesenjangan jika tidak disertai perlindungan sosial.

Rekomendasi Strategis

  • Audit dan Evaluasi Kelembagaan: Lakukan audit menyeluruh atas utilitas air dan sistem distribusi.
  • Peningkatan Kapasitas Lokal: Investasi dalam pelatihan, teknologi, dan sistem informasi untuk pemerintah daerah.
  • Transparansi dan Partisipasi: Libatkan masyarakat dalam perumusan dan pemantauan kebijakan air.
  • Inovasi Teknologi: Kembangkan teknologi hemat air, daur ulang, dan digitalisasi sistem pemantauan.
  • Kolaborasi Regional: Negara-negara MENA perlu memperkuat kerja sama lintas batas dalam pengelolaan air bersama.

Kesimpulan: Jalan Panjang Menuju Ketahanan Air

Krisis air di Timur Tengah dan Afrika Utara adalah tantangan multidimensi yang membutuhkan solusi kelembagaan, inovasi teknologi, dan pembaruan kontrak sosial. Laporan World Bank menegaskan bahwa tanpa reformasi kelembagaan yang membangun legitimasi dan trust, investasi sebesar apa pun tidak akan cukup. Masyarakat harus menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar objek kebijakan.

Melalui desentralisasi, komunikasi strategis, dan perlindungan sosial, kawasan ini dapat membangun ekonomi yang inklusif, berkelanjutan, dan tahan terhadap perubahan iklim. Namun, tanpa keberanian politik dan partisipasi publik, ancaman krisis air akan terus membayangi masa depan MENA—dan dunia.

Sumber artikel :
de Waal, Dominick, Stuti Khemani, Andrea Barone, dan Edoardo Borgomeo. 2023. “The Economics of Water Scarcity in the Middle East and North Africa: Institutional Solutions.” Overview booklet. World Bank, Washington, DC.