Pertahanan

Perlukah RI Investasi Alutsista Ribuan Triliun?

Dipublikasikan oleh Natasya Anggita Saputri pada 16 Mei 2024


Ibu pertiwi menangis lagi pasca kapal selam TNI AL KRI Nanggala-402 subsunk atau tenggelam pada Sabtu, 25 April lalu di perairan laut Bali. 53 prajurit gugur setelah ikan besi yang membawa mereka terbelah, pecah, lumat dihimpit oleh air bah samudera begitu menyayat hati seluruh rakyat Indonesia.

Tragedi itu juga paling tidak membuat banyak orang-orang bertanya-tanya seberapa kuat sistem alat utama sistem persenjataan (alutsista) Indonesia?

Bukanlah kapal selam termasuk alat pertahanan yang sangat penting, dan bila kemudian ia diduga tenggelam karena uzur, alangkah memprihatinkan bangsa ini. Bangsa dengan penduduk terbesar nomor empat dunia, namun memiliki sistem alutsista yang tampak sekadar punya. Miris!

Presiden Joko Widodo dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto tidak tinggal diam. Pemerintah ingin peremajaan alutsista dapat segera dilakukan. Menhan bahkan menjanjikan untuk segera mengajukan skema dan langkah strategis guna percepatan peremajaan alutsista. Selain akan dipresentasikan kepada Presiden, skema ini juga akan disampaikan kepada DPR agar mendukung kebijakan anggaran alutsista ke angka yang ideal.

Kepedulian terhadap ketangguhan alutsista RI sudah muncul dimana-mana. Saya menemukan adanya banyak keprihatinan di masyarakat, bahkan sampai ada aksi penggalangan dana untuk membantu pemerintah. Hal ini patut, diapresiasi meski sebenarnya ini tidak perlu, tetapi membuat terenyuh. Fenomena ini mirip bagaimana masyarakat Aceh harus urunan emas untuk membelikan Presiden Soekarno sebuah pesawat, agar RI layak dipandang sebagai bangsa merdeka.

Tentu Pak Karno akan sedih, bahwa setelah lebih dari setengah abad, kejadian bisa terulang. Bagaimanapun, alutsista adalah hal utama, sehingga ia perlu bersumber dari APBN, yang tak lain juga merupakan uang rakyat. Paling tidak, kesediahan akibat KRI Nanggala di sisi lain, memunculkan secercah harapan untuk memodernisasi alusista RI. Baik pemerintah maupun masyarakat mulai menyadari aspek pertahanan negara tidak boleh diabaikan.

Anggaran Minim

Saat ini, Kemhan RI memang tampak mengantongi anggaran Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) terbesar. Sebagai gambaran, pada 2021 mereka diguyur Rp134,254 triliun. Namun, perlu diketahui, melihat anggaran dari sudut pandang besaran nominal tentu tidak fair, sebab bila dibandingkan dengan nilai produk domestik bruto (PDB) tak menyentuh angka 1 persen.

Parahnya lagi, sebagian terbesar bukan untuk belanja alat perang, melainkan belanja pegawai. Akibatnya, ruang fiskal yang kecil membuat TNI tak bisa mengoperasikan alutsista terbaik.

Pagu anggaran tahun in memang naik 14,12 persen, sekaligus menjadi yang terbesar dalam satu dekade terakhir. Namun, bila dibeda, tetap saja angka-angka itu sepertinya
tidak akan mengubah banyak alutsista kita. Perlu anda tahu, mayoritas anggaran Kemhan 2021 ini dialokasikan untuk program dukungan manajemen. Jumlahnya mencapai Rp74,983 triliun atau 55,2 persen dari total anggaran. Berapa dana untuk membeli senjata?

Adapun alokasi untuk program modernisasi alutsista, non-alutsista, dan sarana serta prasarana pertahanan sebesar Rp39,02 triliun atau 29,06 persen dari total anggaran. Sisanya untuk kebutuhan lain berupa operasi, latihan, dan pendidikan. Keterbatasan mata anggaran untuk modernisasi alutsista ini akan berdampak pada proses maintenance alutsista (perawatan rutin dan berkala) dan kesiapan tempur TNI dalam menjaga kedaulatan negara.

Merujuk data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), per 2020, dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan regional saja, anggaran pertahanan Indonesia termasuk yang terendah. Malaysia mengalokasikan 1,1 persen dari PDB, Singapura 3,2 persen, Thailand 1,5 persen, bahkan Timor Leste juga 1,2 persen dari PDB. Bayangkan, kita negara terbesar di kawasan ini namun memiliki anggaran alutsista paling rendah, tentu publik harus tahu kerentanan ini.

Adapun menurut data SIPRI, negara-negara yang ekonominya maju memiliki belanja pertahanan di atas 3 persen dari PDB.

Misalnya saja, Amerika Serikat sebesar 3,7 persen dari PDB, Rusia 4,3 persen, Arab Saudi 8,4 persen, dan Singapura 3,2 persen. Namun, bila rencana ini tidak terealisasi, maka Indonesia akan perlu waktu lebih lama untuk memodernisasi alutsista. Sementara, negara lain terus berupaya mengklaim wilayah Indonesia sebagai kedaulatannya.

Dorong Perpres Modernisasi Alutsista

Belakangan berhembus kabar bahwa pemerintah tengah merancang Perpres masterplan modernisasi alutsista selama 25 tahun ke depan. Skemanya akan menggunakan pinjaman luar negeri dengan jumlah kurang lebih Rp1.760 triliun. Angka itu pertama kali diungkapkan oleh Anggota Komisi I DPR RI Mayjen TNI (purn) TB Hasanuddin dalam wawancaranya di sebuah stasiun televisi beberapa waktu lalu, meskipun jumlah yang fantastis itu telah dibantah oleh Kemhan.

Masterplan itu sendiri adalah implementasi Menhan Prabowo atas perintah dari Presiden Jokowi yang meminta adanya perencanaan pengadaan alutsista selama 25 tahun sejak diangkat menjadi Menhan di 2019. Meski masih sekadar rancangan, hal ini sudah cukup bisa menjadi angin segar bagi sistem pertahanan negara yang selama ini sulit maju lantaran keterbatasan anggaran.

Meskipun banyak kritik terhadap jumlah jumbo anggaran tersebut, anggaran Rp 1.760 triliun untuk membeli alutsista selama 25 tahun itu nyatanya kecil bila dibandingkan
dengan potensi PDB Indonesia selama 25 tahun, yang besarnya bisa mencapai lebih dari Rp 375 ribu triliun, yaitu hanya 0,5 persen. Menhan Prabowo patut dipuji atas formula ini karena menjawab permasalahan yang ada.

Jika rancangan itu bisa direalisasikan pemerintah, maka target belanja pertahanan maksimal 1,5 persen dari PDB per tahun dapat terkejar, sebab anggaran tersebut akan ditambah dengan anggaran pertahanan rutin sebesar rata-rata 0,78 persen dari PDB per tahun.

Bukan Sekadar Beli Senjata

Meskipun belum terealisasi, namun langkah Presiden Jokowi dan mantan rivalnya di Pemilu lalu ini patut diacungi jempol. Sebab, setidaknya ada langkah awal pembenahan, dan tidak hanya berpangku tangan. Lebih lanjut, persepsi lawas bahwa anggaran Kemenhan yang selama ini dianggap sebagai hanya melulu belanja 'hura- hura' tanpa ada efek ekonomi perlu diubah.

Saya mencoba sebuah kalkulasi, dengan asumsi investasi pertahanan Rp1.760 triliun maka Indonesia diperkirakan mampu menjaga kegiatan ekonomi di negara ini selama 25 tahun yang angka perputarannya bisa mencapai Rp375.000 triliun.

Bila rancangan Perpres diteken presiden, lantas akan ada titik temu yang pas, sebab Presiden dan Menhan ke depan tidak lagi dipusingkan dengan dilema yang ada
selama ini: antara pembangunan infrastruktur, kesejahteraan masyarakat, atau menjaga kemampuan pertahanan dan kedaulatan negara dengan modernisasi alutsista. Sebab, kesejahteraan masyarakat tetap harus menjadi fokus pemerintah. Negara dengan jumlah orang miskin banyak akan rentan juga oleh intervensi asing yang berakibat fatal pada sisi pertahanan dan keamanan nasional.

Mau tidak mau, dengan keharusan alokasi APBN yang bersifat kontekstual atau disadarkan pada kebutuhan yang paling mendesak, maka pengorganisiran belanja alutsista seperti yang direncanakan ini perlu untuk dilakukan. Meski demikian, pemerintah perlu memperhatikan tenor dan bunga pinjamannya.

Menhan Prabowo perlu negosiasi dengan negara-negara lenders untuk mendapatkan pinjaman dengan bunga rendah dan tenor yang panjang agar tidak membebani negara. Adapun pemerintah yang perlu memastikan anggaran tersebut akuntabel dan bisa dipertanggungjawabkan.

Dukungan Masyarakat Nyata

Meski belakangan ada sentimen negatif atas rencana ini, nyatanya pemerintah mendapat dukungan dari masyarakat. Survei Litbang Kompas baru-baru ini mengungkapkan bahwa tenggelamnya KRI Nanggala-402 membuka mata publik akan pentingnya penguatan sekaligus modernisasi alat utama sistem persenjataan.

Survei menyatakan bahwa demi meningkatkan pertahanan negara sekaligus menjaga kedaulatan RI, peningkatan kualitas alat utama sistem persenjataan atau alutsista dianggap sangat penting dilakukan.

Mengutip Jajak pendapat Kompas Selasa 25 Mei 2021, mayoritas responden (92,8 persen) menyatakan, untuk menjaga pertahanan dan kedaulatan wilayah Indonesia, pemerintah perlu secara berkala menambah alutsista dengan kualitas mutakhir atau lebih modern.

Penilaian ini juga dibarengi dengan harapan bahwa dari tiga matra TNI, Angkatan Laut (AL) harus lebih diprioritaskan dalam pemutakhiran alutsista. Hampir separuh responden menyatakan sangat perlu penambahan jumlah alutsista untuk matra laut. Penambahan bisa berupa pengadaan kapal perang, kapal selam, kapal patroli, ataupun alutsista lainnya yang mendukung matra laut.

Ada kemungkinan, tingginya harapan responden pada prioritas pengadaan alutsista di matra laut ini tak lepas dari peristiwa tenggelamnya KRI Nanggala-402 beberapa waktu lalu. Selanjutnya, prioritas berikutnya adalah pengadaan alutsista pada matra darat dan udara. Harapan publik akan penguatan alutsista pada kedua matra ini relatif berimbang, yakni masing-masing berkisar 26-27 persen responden.

Hal ini memperlihatkan bahwa bagaimanapun, di mata publik, secara umum TNI merupakan lembaga yang dibanggakan meski keterbatasan sarana dan prasarana
pendukung pertahanan yang dimiliki. Harapan responden dalam jajak pendapat ini memberikan gambaran, publik tak memungkiri bahwa pemerintah seharusnya lebih peduli terhadap penyediaan sarana dan prasarana pertahanan agar lebih memadai.

Terutama terkait pengadaan alutsista yang memiliki deterrence effect (daya penggentaran) yang tinggi dan menjamin keselamatan kerja yang maksimal bagi seluruh anggota TNI.

Sangat diperlukan keseriusan pemerintah membangun kemandirian alutsista. Pasalnya, tidak mudah untuk menyediakan anggaran yang besar dan juga mendapatkan kesepakatan transfer dengan segala keterbatasan pemerintah.

Salah kaprah pemahaman "Indonesia tidak ada perang"

Sangat disayangkan bahwa beberapa pihak perpikir modernisasi alutsista secara menyeluruh tidak dibutuhkan sebab tidak ada perang di Indonesia. Faktanya, China hingga kini masih ngotot menyatakan mempunyai hak dan kedaulatan di laut Natuna. Mereka berkeras menganggap laut Natuna masuk dalam perairan Laut China Selatan. Beberapa kali pun kapal China masuk perairan Indonesia di Natuna.

Bila tidak memiliki pertahanan yang kuat, Indonesia tidak memiliki posisi tawar dalam menghadapi China. Belum lagi kemungkinan akan terjadinya perang di kawasan Asia Pasifik yang melibatkan China dan Australia semakin menguat.

Ini terjadi pasca Australia membatalkan program kerja sama pendanaan negara bagiannya dengan China, melalui konsep Belt and Road Initiative (jalur sutra). Australia dikabarkan akan meningkatkan kapasitas pangkalan militer di ujung utara Negeri Kanguru dan memperluas latihan bersama dengan pasukan Amerika Serikat.

Sebaliknya, China dikabarkan tengah memantau aktivitas sejumlah negara yang tergabung dalam Kemitraan Strategis Kompeherensif (CSP), sebuah kemitraan yang dibuat Australia dengan sejumlah negara, yaitu Amerika, Jepang, Vietnam, India, dan Indonesia.

Melihat ancaman-ancaman nyata di depan mata, sudah saatnya Indonesia memiliki pertahanan dan keamanan yang kuat. Tragedi KRI Nanggala-402 sudah sepantasnya menjadi pembelajaran bagi pemerintah untuk lebih fokus pada agenda modernisasi alat utama sistem pertahanan.

 

Sumber: cnbcindonesia.com

Selengkapnya
Perlukah RI Investasi Alutsista Ribuan Triliun?

Pertahanan

Pengembangan Alutsista sebagai Investasi Pertahanan

Dipublikasikan oleh Natasya Anggita Saputri pada 16 Mei 2024


Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertahanan terus berupaya meningkatkan kekuatan pertahanan militernya dengan modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI dari tiga matra guna menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Berdasarkan catatan Global Fire Power (GFP) pada bulan Januari 2021 menyebutkan Indonesia menduduki posisi ke-16 sebagai negara dengan kekuatan militer terkuat di dunia. Adapun posisi pertama di Asia Tenggara sebagai negara dengan militer terkuat, serta di posisi ke-9 di bawah Iran dan di atas Arab Saudi.

Bahkan, dalam hal anggaran belanja militer, Indonesia mengeluarkan 6,9 miliar dolar AS atau setara Rp98 triliun.

Jumlah tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara dengan nilai anggaran militer terbesar kedua setelah Singapura yang memiliki anggaran 9,7 miliar dolar AS atau sekitar Rp135 triliun.

Alokasi anggaran pertahanan sendiri pada tahun 2021 sekitar Rp 136,9 triliun. Jumlah itu meningkat dibandingkan tahun 2020. Peningkatan anggaran itu diharapkan kekuatan pokok minimum atau minimum essential force (MEF) alutsista dapat tercapai pada tahun 2024.

Data Kementerian Pertahanan menyebutkan pada bulan Oktober 2020 menyebutkan TNI AD memiliki 77 persen kekuatan pokok minimal, TNI AL 67,57 persen, dan TNI AU 45,19 persen.

Jika ingin pemenuhan MEF tetap sesuai dengan rencana, yaitu terpenuhi 100 persen pada tahun 2024, Kementerian Pertahanan harus bisa mencapai pembangunan pemenuhan alutsista sekitar 36,81 persen dalam 5 tahun.

Pengamat pertahanan dan analis LAB45 Andi Widjajanto mengatakan bahwa kalkulasi kebutuhan anggaran untuk pengadaan alutsista sudah baku sejak 2006 saat Undang-Undang Pertahanan, UU TNI, dan UU Industri Pertahanan terbit. Formula tersebut tetap dilakukan sampai sekarang.

Pada tahun 2005 hingga 2006 telah terbit dokumen perencanaan alutsista jangka panjang yang disebut kekuatan pokok minimum (MEF). Hal itu disusun untuk memenuhi kebutuhan hingga 2024.

MEF itu suatu konsep rencana strategis yang dibagi tiga dan berakhir pada tahun 2024. Ada MEF I, II, dan III. Saat ini, Indonesia berada di MEF III. MEF III harus diselesaikan oleh Menteri Pertahanan Prabowo.

Oleh karena itu, Kemhan terus berupaya agar MEF hingga tahun 2024 dapat tercapai, yakni dengan pengadaan alutsista baru, seperti pesawat latih tempur T-50i Golden Eagle, kerja sama pembangunan pesawat tempur Korean Fighter Experimental/Indonesian Fighter Experimental (KFX/IFX) yang hampir batal, pengadaan dua kapal patroli untuk TNI AL, rantis Maung untuk TNI AD dan lainnya.

Kemhan melakukan pengadaan 6 unit pesawat Latih Tempur Lead-In Fighter Training (LIFT) jenis T-50i Golden Eagle dari Korea Selatan untuk TNI Angkatan Udara.

Ini merupakan kontrak pengadaan yang kedua. Kelanjutan kerja sama dengan perusahaan Korea Aerospace Industries (KAI), demikian penjelasan Kepala Biro Hubungan Masyarakat Sekretariat Jenderal Kemhan Marsma TNI Penny Radjendra dalam siaran persnya di Jakarta. 


Pengadaan 6 unit pesawat T-150i dari KAI Korea Selatan ini tetap memperhatikan optimalisasi pemanfaatan komponen industri dalam negeri untuk mendukung penguatan industri strategis dalam negeri.

Nilai kesepakatan itu diprediksi mencapai 240 juta dolar Amerika Serikat, yang mau dipasok dari 16 Desember 2021 hingga 30 Oktober 2024.

Menhan Prabowo Subianto pun menyebutkan banyak alutsista TNI sudah berusia tua dan sangat mendesak untuk diganti. Kebutuhan-kebutuhan ini, menurut Menhan, sangat penting dan Indonesia bersiap menghadapi dinamika lingkungan strategis yang berkembang dengan sangat pesat.

Kementerian Pertahanan pun membuat masterplan atau rencana induk 25 tahun kemampuan pertahanan RI.

Prabowo ketika di Bali, Kamis (22/4), mengatakan bahwa Presiden Jokowi pernah memerintahkan Menhan 1 tahun yang lalu untuk bersama-sama pimpinan TNI menyusun suatu masterplan, rencana induk. Presiden mengkehendaki betul rencana induk 25 tahun yang memberi kepada pihaknya suatu totalitas kemampuan pertahanan.

Raperpres Alpalhankam

Kementerian Pertahanan pun mencari formula terbaik dengan melakukan reorganisasi belanja dan pembiayaan alpalhankam Kemhan dan TNI, seperti tertuang pada Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) tentang Pemenuhan Kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia Tahun ‪2020—2024‬.

Dalam Raperpres Pasal 2 Ayat (1) disebutkan bahwa menteri menyusun Perencanaan Kebutuhan (Renbut) Alpalhankam Kemhan dan TNI untuk 5 Renstra Tahun ‪2020—2044‬ yang pelaksanaannya akan dimulai pada Renstra ‪2020—2024‬ dan membutuhkan renstra jamak dalam pembiayaan dan pengadaannya.

Dalam Pasal 3 Ayat (1) disebutkan bahwa renbut alpalhankam Kemhan/TNI seperti yang diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) sejumlah ‪124.995.000.000‬ dolar AS.

Pasal 3 Ayat (3) dijelaskan bahwa dari kebutuhan anggaran senilai ‪124.995.000.000‬ dolar AS, telah teralokasi sejumlah ‪20.747.882.720‬ dolar AS pada Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah Khusus Tahun ‪2020—2024‬.

Agar Indonesia memiliki alpalhankam yang efektif dan mutakhir guna mengatasi segala ancaman, menurut Juru Bicara Menteri Pertahanan RI Dahnil Anzar Simanjuntak, perlu modernisasi alutsista TNI. Hal itu perlu karena adanya keterbatasan jumlah alpalhankam dan amunisi yang dimiliki saat ini, sebagian besar berusia tua dan tidak beroperasi optimal serta bekal pokok prajurit tidak cukup untuk bertempur dalam waktu lama.

Pengadaan alutsista melalui pinjaman luar negeri itu dinilai tidak akan membebani APBN dan tidak akan mengurangi alokasi belanja lainnya dalam APBN yang menjadi prioritas pembangunan nasional.

Reorganisasi belanja dan pembiayaan alpalhankam ini akan dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan melalui mekanisme belanja alpalhankam lima renstra dibelanjakan pada satu renstra pertama, pada tahun ‪2020—2024‬ sehingga postur pertahanan ideal Indonesia bisa tercapai pada tahun 2025 atau 2026. Postur ideal tersebut bertahan sampai 2044. Dengan formula itu, kata Dahnil, pada tahun 2044 akan dimulai pembelanjaan baru untuk 25 tahun ke depan.

Dengan investasi secara langsung pada tahun ‪2021—2024‬ akan meningkatkan posisi tawar Indonesia agar mendapatkan alat pertahanan dengan harga yang lebih terjangkau.

Modernisasi Diapresiasi

Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi) Rizal Darma Putra mengapresiasi komitmen Presiden Joko Widodo dan Menhan Prabowo Subianto untuk memodernisasi alutsista.

Perhatian Presiden Joko Widodo dan Menhan Prabowo Subianto patut diacungi jempol, demikian penilaian Rizal dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (5/6). Rizal menyatakan sepakat dengan rancangan strategis percepatan peremajaan alutsista yang kini sedang disusun Kementerian Pertahanan akan memiliki kepastian investasi pertahanan selama 25 tahun.

Hal yang selama ini tidak pernah bisa dilakukan. Rizal sepakat dengan yang saat ini tengah direncanakan oleh Pemerintah, yakni sistem pengadaan yang digeser ke depan yang dilakukan pada tahun ‪2021—2044.

Pemerintah tengah menyusun strategi pembiayaan investasi alat utama pertahanan. Pertama, persentase anggaran pertahanan terhadap PDB 0,8 persen yang konsisten selama 25 tahun ke depan. Jumlah anggaran pemenuhan alpalhankam prioritas pada ‪tahun 2021—2044‬ disebut-sebut sebesar 125 miliar dolar AS dengan mengupayakan sumber pendanaan alternatif untuk mengurangi beban pemenuhan alpalhankam terhadap keuangan negara.

Meskipun angkanya terdengar fantastis, Rizal beranggapan 125 miliar dolar AS untuk membeli alutsista selama 25 tahun itu kecil, bahkan cenderung konservatif bila dibandingkan dengan potensi PDB Indonesia selama 25 tahun.

Investasi Pertahanan

Sementara itu, pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Kertopati berpendapat bahwa pemenuhan kebutuhan akan alutsista masih banyak yang harus ditingkatkan dan dibenahi pengadaannya.
Pengembangan alutsista saat ini menggunakan paradigma baru yang menyatakan bahwa pembangunan kekuatan pertahanan adalah investasi.

Anggaran yang disediakan pemerintah untuk pengembangan kekuatan tidak dipandang sebagai biaya yang harus dikeluarkan, tetapi justru investasi yang harus memberikan keuntungan bagi masyarakat Indonesia. Pengembangan alutsista sesuai dengan MEF, menurut kata Susaningtyas, adalah investasi untuk keutuhan NKRI dan menjamin keberlangsungan pembangunan nasional. Tanpa alutsista yang andal maka pembangunan nasional dapat terganggu, bahkan terhambat. Maka, Pemerintah perlu memberikan alokasi anggaran pertahanan dengan skema persentase PDB sekitar 1,8 sampai 2 persen.
 

Sumber: antaranews.com

Selengkapnya
Pengembangan Alutsista sebagai Investasi Pertahanan

Pertahanan

Alasan Kemenhan Pilih Rafale dan F-15 IX untuk Perkuat TNI AU

Dipublikasikan oleh Natasya Anggita Saputri pada 16 Mei 2024


Sekjen Kementerian Pertahanan, Marsdya TNI Donny Ermawan Taufanto mengungkapkan alasan Kemenhan RI melakukan rencana pengadaan puluhan pesawat tempur Rafale dan F-15 IX. Ia menyebut, hal tersebut adalah salah satu upaya pemerintah dalam memperkuat matra udara, yakni TNI Angkatan Udara.

"Rencana pengadaan pesawat tempur, baik Rafale dan F-15 IX beserta persenjataannya merupakan salah satu langkah yang dilakukan oleh pemerintah yang harus dilihat dalam konteks pembangunan kekuatan komponen utama khususnya matra udara," kata Donny dalam diskusi virtual yang digelar oleh Pusat Studi Air Power Indonesia.

Donny menjelaskan, kondisi alutsista TNI sebagai komponen utama, baik matra darat, laut, dan udara dalam keadaan yang cukup memprihatinkan. Sehingga, mengakibatkan kesiapan tempur yang rendah.

Dia menuturkan, alat utama sistem senjata, perlengkapan, dan amunisi pun banyak mengalami kerusakan. Bahkan, katanya, sebagian besar alutsista dan persenjataan telah berusia lebih dari 25 tahun dan sudah waktunya untuk diganti.

"Usia yang sudah cukup tua tersebut juga menjadi tolok ukur kualitas dan teknologi yang cukup ketinggalan bila dihadapkan dengan alutsista beberapa negara tetangga," ujar dia.

"Dengan kondisi tersebut, maka pembangunan sistem pertahanan negara baik komponen utama, komponen cadangan, dan komponen pendukung mutlak harus dilakukan," tambahnya menjelaskan.

Donny melanjutkan, kondisi kesiapan pesawat tempur dalam beberapa tahun belakangan ini juga mengalami kemunduran. Ia mencontohkan, pesawat tempur F5 yang sudah tidak dioperasikan dalam beberapa tahun terakhir dan hingg saat ini belum ada penggantinya.

 

"Menyusul pesawat Hawks 100 dan 200 yang sudah berusia lebih dari 25 tahun dan dalam kondisi tingkat kesiapan yang rendah tentunya akan memasuki masa purna tugas beberapa tahun mendatang," ungkap Donny.

Ia menyebut, Indonesia saat ini hanya mengandalkan 33 pesawat F-16 AM, BM, C dan D yang sudah berusia lebih dari 30 tahun serta 16 pesawat Sukhoi 27 dan 30 dengan usia hampir 20 tahun sebagai pesawat tempur utama. Kondisi kesiapan pesawat tempur Indonesia juga diperparah dengan keterbatasan beberapa suku cadang pesawat serta keterbatasan jenis dan jumlah peluru kendali. Hal ini menyebabkan kesiapan tempur pesawat F-16 dan Sukhoi 27, 30 tidak maksimal. 

"Dengan kondisi yang demikian menjadi kewajiban Kementerian Pertahanan untuk merencanakan pesawat tempur yang akan bertugas di tahun 2030 dan 2040-an," jelasnya.

"Proses pengadaan pesawat tempur beserta persenjataannya yang cukup panjang waktunya paling cepat lima tahun mengharuskan pemerintah untuk mengadakannya pada Renstra (Rencana Strategis) 2020-2024, jika pesawat tempur tersebut akan dioperasionalkan pada tahun 2030-an," imbuhnya.

Oleh karena itu, menurut dia, Renstra 2020-2024 dalam pengadaan alutsista baru merupakan hal yang penting. "Kegagalan untuk mengadakan pesawat tempur beserta persenjataannya pada Renstra ini akan menyebabkan semakin berkurangnya jumlah skadron udara yang siap tempur. Dengan demikian, Renstra 2020-2024 merupakan periode yang kritis dalam upaya mempertahankan kesinambungan kemampuan skadron tempur," tutur dia.

Sebelumnya diberitakan, Menteri Pertahanan Republik Indonesia, Prabowo Subianto menerima kunjungan dari Menteri Angkatan Bersenjata Prancis, Florence Parly, di Kantor Kemenhan, Jakarta Pusat, Kamis (10/2/2022). Prabowo menyebut, dalam pertemuan itu, kedua negara membahas beberapa hal secara mendalam, salah satunya adalah terkait kerja sama di bidang alutsista.

Prabowo menyebut, Indonesia merencanakan pembelian alutsista yang cukup signifikan untuk multirole combat aircraft. Dia mengungkapkan, rencananya Indonesia akan mengakuisisi 42 jet tempur Dassault Rafale buatan Prancis.

"Kita rencananya akan mengakuisisi 42 pesawat Rafale. Kita mulai hari ini dengan tanda tangan kontrak pertama untuk enam pesawat," kata Prabowo.

Mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim menuturkan, yang harus dipahami terlebih dahulu dalam pengadaan alutsista adalah bahwa pesawat terbang hanyalah salah satu sub sistem dari sebuah sistem besar bernama sistem pertahanan udara. Dia menjelaskan, sistem pertahanan udara merupakan bagian integral dari sistem keamanan nasional dan pertahanan negara.

 

"Dengan demikian proses pengadaan pesawat terbang tempur pada hakikatnya sebuah upaya meningkatkan kemampuan sistem pertahanan udara nasional. Dalam hal ini unsur pesawat terbang tempur sekali lagi hanya merupakan salah satu saja dari sub-sub sistem pertahanan udara nasional lainnya," kata Chappy.

Menurut Chappy, apabila Indonesia memang sedang berupaya meningkatkan kemampuan sistem pertahanan udara, maka masih ada masalah yang lebih mendesak atau urgen dari pengadaan pesawat terbang tempur baru. Sebab, ia mengungkapkan, fakta bahwa beberapa wilayah udara di Tanah Air masih berada di posisi yang rawan karena belum sepenuhnya berada dalam kekuasaan Indonesia.

"Realita dari sebagian wilayah udara kita yang berada di posisi rawan di Perairan Selat Malaka, Natuna, dan Kepulauan Riau misalnya, masih belum berada dalam kekuasaan RI. Wilayah udara tersebut sangat beririsan dengan kawasan rawan konflik di Laut China Selatan sekarang ini," ujarnya. 

Chappy menjelaskan, wilayah udara merupakan subsistem penting dari konsep pertahanan udara sebagai sebuah sistem. Wilayah udara dan sistem pengendaliannya, kata dia, adalah komponen yang menentukan dalam sebuah konsep pertahanan udara. 

"Kedua subsistem yang sangat dominan itu, wilayah udara dan pengendaliannya, justru kini tidak berada di bawah kekuasaan RI. Artinya adalah menyelesaikan terlebih dahulu wilayah udara kedaulatan kita dan wewenang pengendaliannya jauh lebih urgent daripada sekadar pengadaan pesawat terbang tempur baru," ungkap dia.

Chappy melanjutkan, wewenang pengendalian wilayah udara kedaulatan yang kini sudah berbasis satelit akan sangat melekat dengan peran command and control system dalam perang modern. Sebab, jelas dia, kini dunia telah berada di tengah era sistem yang berpusat pada jaringan.

Oleh karena itu, ia menilai, jika wilayah udara dan sistem pengendaliannya belum sepenuhnya berada di tangan Indonesia, maka banyaknya pesawat tempur yang dimiliki pun akan menjadi sia-sia. Sebab, pesawat-pesawat tersebut tidak dapat dengan bebas melakukan latihan dan operasi di wilayah udara Indonesia.

"Ratusan pesawat yang kita miliki pun bila tidak dapat menjalankan latihan dan operasi udara di wilayah kedaulatan kita sendiri dengan bebas, maka akan percuma alias sia-sia belaka. Sebuah masalah rumit yang tengah kita hadapi sebagai akibat dari masalah teknis penerbangan yang diselesaikan pada ranah politik," tutur dia.

 

Sumber: news.republika.co.id

Selengkapnya
Alasan Kemenhan Pilih Rafale dan F-15 IX untuk Perkuat TNI AU

Pertahanan

Finlandia Borong 64 Jet Tempur Siluman F-35, Nilainya Hampir Sama Anggaran Pertahanan RI

Dipublikasikan oleh Natasya Anggita Saputri pada 16 Mei 2024


Finlandia memilih pesawat tempur F-35 untuk menggantikan jet tempur F/A-18 Hornet yang menua. Negara di kawasan Baltik tersebut akan memborong 64 unit jet tempur canggih buatan Lockheed Martin asal AS tersebut beserta sistem senjata. Reuters melaporkan, kesepakatan kontrak pembelian senjata tersebut nilainya mencapai 9,4 miliar dollar AS (Rp 134 triliun).

Jika dibandingkan, kontrak tersebut hampir sama dengan alokasi anggaran Kementerian Pertahanan RI sebesar Rp 133,92 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022. “Ketika membandingkan kinerja militer, F-35 paling sesuai dengan kebutuhan kami,” kata Menteri Pertahanan Finlandia Antti Kaikkonen dalam konferensi pers. Pada 2015, Kementerian Pertahanan Finlandia mulai mencari jet baru untuk menggantikan pesawat tempur Hornet tua yang dibeli pada 1992. Sejak saat itu, produsen senjata di seluruh dunia, termasuk Lockheed Martin, Saab, Rafale, Boeing, Dassault, dan BAE System, berlomba-lomba menarik hati Finlandia.

Namun, pilihan Finlandia akhirnya jatuh pada jet tempur siluman F-35 buatan Lockheed Martin. Finlandia adalah negara ke-14 yang memilih F-35. Komandan Angkatan Udara Finlandia Pasi Jokinen menuturkan, jet tempur tersebut akan ada secara bertahap mulai 2027 dan seterusnya. Pilihan itu memperkuat kerja sama pertahanan Finlandia dengan sekutunya, terutama AS dan Norwegia, kata peneliti Charly Salonius-Pasternak di Institut Urusan Internasional Finlandia. “Finlandia dan Norwegia sudah berlatih bersama di utara sehingga akan menjadi keputusan politik untuk menentukan informasi intelijen apa yang dibagikan dan kapan,” ujar Salonius-Pasternak kepada Reuters. Tidak seperti Norwegia, Finlandia bukan anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

Namun, Finlandia tetapi telah menjalin hubungan kuat dengan organisasi tersebut dalam beberapa tahun terakhir dan memilih peralatan militer yang kompatibel dengan anggota NATO. Pada 2014 Finlandia dan Swedia, yang juga bukan anggota NATO, menandatangani perjanjian untuk berlatih bersama dan mengizinkan NATO memberi bantuan dalam situasi krisis.

“F-35 akan memberikan kemampuan digital unik kepada industri Finlandia yang memanfaatkan rekayasa dan manufaktur generasi ke-5,” kata Bridget Lauderdale, wakil presiden Lockheed Martin dan manajer umum program F-35. “Pekerjaan produksi akan berlanjut selama lebih dari 20 tahun, dan pekerjaan pemeliharaan F-35 akan berlanjut hingga 2070-an,” sambung Lauderdale.
 

Sumber: kompas.com

Selengkapnya
Finlandia Borong 64 Jet Tempur Siluman F-35, Nilainya Hampir Sama Anggaran Pertahanan RI

Pertahanan

Jet Tempur Rafale Buatan Prancis dan Rencana Indonesia untuk Perkuat Alutsista, Apa Istimewanya?

Dipublikasikan oleh Natasya Anggita Saputri pada 16 Mei 2024


Kesepakatan untuk membeli sejumlah pesawat jet tempur Rafale dari Prancis merupakan langkah terbaru Kementerian Pertahanan dalam meremajakan alat utama sistem senjata (alutsista) Indonesia.

Pembelian pertama jet tempur dari Prancis ini dilakukan Indonesia di tengah upaya merombak kekuatan alutsista udara yang menua - mencakup jet tempur F-16 buatan Amerika Serikat dan Su-27, Su-30 Sukhoi buatan Rusia. Pembelian itu diumumkan di tengah pengumuman Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat yang telah menyepakati kemungkinan penjualan pesawat F-15ID dan perlengkapan terkait senilai US$13.9 miliar (Rp200 triliun), kata Pentagon Kamis (10/02). Menteri Pertahanan Prabowo Subianto telah berencana berbelanja alutsista dengan anggaran sekitar Rp1.760 triliun hingga 2024.

Menurut pengamat pertahanan, pembelian pesawat-pesawat itu dilakukan ketika Indonesia sedang berusaha memperkuat pertahanannya untuk meningkatkan posisi tawar di kawasan Asia Pasifik.

Menteri urusan angkaan bersenjata Prancis, Florence Parly mengatakan setelah bertemu Prabowo di Jakarta bahwa "kemitraan strategis akan meningkatkan hubungan pertahanan kedua negara". Parly juga mengatakan Indonesia adalah negara kedua di kawasan Pasifik setelah India yang membeli jet dari Dassault Aviation.

Apa istimewanya pesawat tempur Rafale?

Rafale adalah jet tempur yang diproduksi oleh perusahaan Prancis Dassault Aviation. Pesawat yang memiliki mesin kembar ini dirancang sebagai pesawat serbaguna yang dapat menjalankan berbagai misi atau omnirole.

Rafale dibekali dengan beragam sistem persenjataan, antara lain:

  • Rudal serangan udara-ke-udara MICA dan METEOR
  • Rudal serangan udara-ke-darat HAMMER
  • Rudal anti kapal laut AM39 EXOCET
  • Bom berpemandu laser
  • Meriam internal 30mm dengan kemampuan 2500 putaran per menit.

Jet tempur ini juga mampu menampung senjata hingga sembilan ton. Kecepatan maksimalnya mencapai 1.384 kilometer per jam. Dengan kemampuan untuk membawa banyak jenis senjata dan sistem misi yang canggih, Rafale disebut dapat melakukan serangan udara-ke-darat, serta serangan udara-ke-udara dan pencegatan pesawat musuh dalam satu misi.

Kehadiran Rafale akan memperkuat postur pertahanan Indonesia di tengah keterbatasan alutsista dan anggaran, kata Khairul Fahmi Direktur Institute for Security and Strategic Studies (ISESS).

"Dalam kondisi keterbatasan kita ini, ini menjadi penting - bisa digunakan untuk patroli, serangan spesifik, serangan kapal, ke darat, kemudian menghadapi pertempuran udara jarak dekat. Jadi banyak hal yang bisa dilakukan dan ini layak untuk kita miliki karena kita nggak mungkin belanja satu-satu .. kondisi keuangan kita terbatas," katanya kepada BBC News Indonesia.

Rafale bawa tantangan baru?

Namun kedatangan Rafale juga membawa tantangan baru, menurut pengamat pertahanan dan alutsista, Chappy Hakim. Karena sistem Rafale tidak sama dengan pesawat buatan Rusia atau Amerika, Indonesia harus "memulai dari nol" dalam hal pemeliharaannya, kata mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) itu.

"Kita musti mendidik dari awal lagi para pilot dan teknisi. Kita harus menyiapkan laboratorium pemeliharaan untuk kalibrasi peralatan-peralatan elektronik yang super canggih itu dan sebagainya," ujarnya. Chappy juga mengatakan bahwa jet tempur hanyalah satu bagian dalam sistem pertahanan udara. Meskipun ia memiliki teknologi yang canggih, kemampuannya tetap akan tergantung pada sistem pertahanan udara - radar, pangkalan, command and control, dan sebagainya. "Fighter jet itu hanya salah satu saja dari sistem besar," katanya.

Apa lagi isi kesepakatan dengan Prancis?

Selain sepakat untuk membeli 42 unit jet tempur Rafale, Indonesia juga menandatangani berbagai kerja sama dengan Prancis dalam kesepakatan bernilai Rp8,1 miliar dolar atau setara Rp116,2 triliun. Kerja sama itu termasuk pengembangan kapal selam sampai komunikasi, seperti dilaporkan kantor berita Reuters.

Secara rinci, kerja sama di bidang penelitian dan pengembangan kapal selam akan terjalin antara PT PAL dengan Naval Grup, MoU kerja sama Program Offset dan ToT antara Dassault dan PT DI, MoU kerjasama di bidang telekomunikasi antara PT LEN dan Thales Group, dan kerja sama pembuatan munisi kaliber besar antara PT Pindad dan Nexter Munition. "Kami membahas secara mendalam beberapa hal, sebagaimana diketahui Indonesia dan Prancis telah menjalin kerjasama pertahanan cukup lama sejak 1950," kata Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dalam keterangan pers.

Dalam kunjungannya ke Indonesia 10 Februari 2022, Menteri Pertahanan Prancis, Florence Parly mencuit "Prancis bangga berkontribusi untuk memodernisasi angkatan bersenjata dari mitra, yang memainkan peran kunci di ASEAN dan kawasan Indo-Pasifik."

Mengapa kerja sama dengan Prancis?

Khairul Fahmi dari ISESS mengatakan berbagai kerja sama tersebut menjadi "poin plus" kesepakatan dengan Prancis karena Indonesia punya target mengembangkan industri pertahanan dalam negeri. Menurut Fahmi, target itu juga berarti Indonesia harus memperbanyak kemitraan dengan berbagai negara agar punya peluang untuk meningkatkan kemampuan dengan berbagai teknologi. Diharapkan dengan sistem pertahanan yang kuat, Indonesia bisa meningkatkan posisi tawarnya dalam menghadapi berbagai tantangan keamanan di kawasan, termasuk di Laut Natuna Utara yang secara sepihak diklaim China sebagai bagian dari Laut China Selatan.

"Kalau dalam konteks politik kawasan, kehadiran alutsista baru ini akan membuat Indonesia mungkin lebih diperhitungkan dan mungkin juga mampu memberikan tekanan-tekanan terhadap negara lain di kawasan," kata Fahmi.

Apa latar belakang kesepakatan ini?

Kesepakatan dengan Indonesia diteken saat Prancis berusaha mempererat hubungannya dengan negara-negara di Indo-Pasifik, setelah AS, Inggris, dan Australia membentuk aliansi strategis baru bernama AUKUS tahun lalu untuk mengonter pengaruh China yang semakin besar.

Pakta itu, yang mencakup pembangunan kapal selam bertenaga nuklir untuk Australia, membuat Prancis geram. Sebelumnya, Paris sudah meneken kontrak pembelian kapal selam bernilai miliaran dolar dengan Canberra.

Alutsista apa lagi yang akan dibeli Indonesia?

Indonesia juga berencana membeli 36 unit jet tempur F-15 serta peralatan militer lainnya dari AS senilai US$14 miliar atau sekitar Rp200 triliun. Departemen Luar Negeri AS sudah menyetujui rencana tersebut. Penjualan yang diusulkan akan meningkatkan "keamanan mitra regional penting yang merupakan kekuatan untuk kestabilan politik, dan kemajuan ekonomi di kawasan Asia-Pasifik," dalam sebuah pernyataan dari Pentagon. Kesepakatan ini disebut "tidak akan mengubah keseimbangan dasar militer di kawasan tersebut."

Boeing menjadi kontraktor utama untuk jet tempur F-15, menurut rilis dari Badan Kerjasama Keamanan Pertahanan Pentagon, seperti dilansir Reuters. Paket tersebut termasuk 36 jet tempur, mesin cadangan, radar, pelatihan untuk kacamata mode malam, dan dukungan teknis, kata Pentagon. Badan Kerjasama Keamanan Pertahanan Pentagon telah memberi tahu Kongres mengenai kemungkinan penjualan ini, Kamis waktu setempat.

Meskipun sejauh ini sudah mendapat persetujuan dari Departemen Luar Negeri, pemberitahuan ini tidak mengindikasikan bahwa kontrak telah ditandatangani atau negosiasi telah selsai.

Sumber: bbc.com

Selengkapnya
Jet Tempur Rafale Buatan Prancis dan Rencana Indonesia untuk Perkuat Alutsista, Apa Istimewanya?

Pertahanan

Pertahanan Udara

Dipublikasikan oleh Natasya Anggita Saputri pada 16 Mei 2024


Peperangan antipesawat atau Pertahanan Udara didefinisikan oleh NATO sebagai "semua tindakan yang dirancang untuk membatalkan atau mengurangi efektivitas aksi udara musuh". Pertahanan udara termasuk yang berbasis permukaan, bawah permukaan (diluncurkan kapal selam), dan sistem senjata berbasis udara, sistem sensor yang terkait, pengaturan perintah dan kontrol dan langkah-langkah pasif (misalnya balon rentetan).

Pertahanan udara dapat digunakan untuk melindungi angkatan laut, darat, dan udara di lokasi mana pun. Namun, bagi sebagian besar negara upaya utama cenderung menjadi 'pertahanan tanah air'. NATO mengacu pada pertahanan udara berbasis udara sebagai pertahanan udara dan pertahanan udara angkatan laut sebagai peperangan antipesawat. Pertahanan Rudal adalah perpanjangan dari pertahanan udara sebagaimana inisiatif untuk mengadaptasi pertahanan udara untuk tugas mencegat setiap proyektil yang terbang.

Di beberapa negara, seperti Inggris dan Jerman selama Perang Dunia II, Uni Soviet, NATO, dan Amerika Serikat, pertahanan udara darat dan pesawat pertahanan udara telah berada di bawah komando dan kontrol terpadu. Namun, sementara pertahanan udara secara keseluruhan mungkin ditugaskan untuk pertahanan tanah air termasuk fasilitas militer, pasukan di lapangan di mana pun mereka berada selalu menggunakan kemampuan pertahanan udara mereka sendiri jika ada ancaman udara. Kemampuan pertahanan udara berbasis permukaan juga dapat digunakan secara ofensif untuk memblokir penggunaan ruang udara untuk lawan.

Hingga tahun 1950-an, meriam yang menembakkan amunisi balistik mulai dari kaliber 7,62 mm hingga 152,4 mm adalah senjata standar. Kemudian peluru kendali menjadi dominan, kecuali pada jarak yang sangat pendek (seperti pada close-in weapon system, yang biasanya menggunakan meriam otomatis berputar atau adaptasi darat ke udara dari peluru kendalic udara ke udara jarak pendek, sering kali dikombinasikan dengan meriam berputar dalam satu sistem).

Terminologi

Istilah pertahanan udara mungkin pertama kali digunakan oleh Inggris ketika Pertahanan Udara Britania Raya (ADGB) diciptakan sebagai komando Angkatan Udara Kerajaan pada tahun 1925. Namun, pengaturan di Inggris juga disebut 'antipesawat', disingkat sebagai AA (anti-aircraft), sebuah Istilah itu tetap digunakan secara umum hingga 1950-an. Setelah Perang Dunia Pertama, kadang-kadang diawali dengan sisipan kata 'Ringan' atau 'Berat' (LAA atau HAA) untuk mengklasifikasikan jenis senjata atau unit. Julukan untuk senjata antipesawat udara mencakup AA, AAA atau triple-A, singkatan dari artileri antipesawat, "ack-ack" (dari abjad ejaan yang digunakan oleh Inggris untuk transmisi suara "AA") dan archie (istilah Perang Dunia I Inggris yang mungkin diciptakan oleh Amyas Borton, dan diyakini diturunkan melalui Royal Flying Corps, dari perkataan komedian balai musik komedian George Robey "Archibald, tentu saja tidak!").

NATO mendefinisikan perang antipesawat udara (AAW) sebagai "langkah-langkah yang diambil untuk mempertahankan pasukan maritim terhadap serangan-serangan oleh senjata-senjata udara yang diluncurkan dari pesawat, kapal, kapal selam dan situs-situs berbasis darat". Di beberapa tentara negara lain, istilah All-Arms Air Defence (AAAD) digunakan untuk pertahanan udara oleh pasukan nonspesialis. Istilah lain dari akhir abad ke-20 termasuk GBAD (Ground Based AD) dengan istilah terkait SHORAD (Short Range AD) dan MANPADS ("Man Portable AD Systems", biasanya rudal yang diluncurkan melalui bahu). Rudal antipesawat terbang disebut berbagai rudal darat ke udara, disingkat dan diucapkan "SAM" dan Senjata Pemandu Permukaan ke Udara (SAGW). Contohnya adalah Raytheon Standard Missile 2, Raytheon Standard Missile 6, atau MBDA Aster Missile.

Istilah non-bahasa Inggris untuk pertahanan udara termasuk FlaK Jerman (FliegerabwehrKanone, "meriam pertahanan pesawat", juga dikutip sebagai Flugabwehrkanone), dan istilah Rusia Protivovozdushnaya oborona (Cyrillic : Противовозду́шная оборо́на), terjemahan literal "pertahanan antiudara", disingkat PVO. Dalam bahasa Rusia sistem AA disebut sistem zenitnye (yaitu "menunjuk ke arah zenith") (senjata, misil, dll.). Di Perancis, pertahanan udara disebut DCA (Défense contre les aÉronefs, "aéronef" menjadi istilah umum untuk semua jenis perangkat yang ada di udara (pesawat terbang, pesawat, balon udara, rudal, roket, dll.)).

Jarak maksimum di mana senjata atau misil dapat menembak pesawat terbang adalah angka yang penting. Namun, banyak definisi yang berbeda digunakan, sehingga kinerja senjata atau rudal yang berbeda tidak dapat dibandingkan. Untuk senjata AA, hanya bagian menanjak dari lintasan peluru yang dapat dibandingkan. Istilahnya adalah "plafon", ketinggian maksimum yang merupakan ketinggian yang akan dicapai oleh proyektil jika ditembakkan secara vertikal, tidak praktis berguna karena hanya sedikit senjata AA yang mampu menembak secara vertikal, dan durasi maksimum sumbu peluru mungkin terlalu pendek, tetapi berpotensi berguna sebagai standar untuk membandingkan senjata yang berbeda.

Sejarah

Penggunaan terawal

Penggunaan balon oleh Angkatan Darat AS selama Perang Saudara Amerika memaksa Konfederasi untuk mengembangkan metode untuk melawannya. Ini termasuk penggunaan artileri, senjata ringan, dan penyabot. Mereka tidak berhasil, tetapi politik internal membuat Korps Balon Angkatan Darat Amerika Serikat dibubarkan pada pertengahan perang. Konfederasi sendiri juga bereksperimen dengan balon.

Penggunaan senjata paling awal yang diketahui secara khusus dibuat untuk peran antipesawat terjadi selama Perang Perancis-Prusia tahun 1870. Setelah bencana di Sedan, Paris dikepung dan pasukan Prancis di luar kota memulai upaya komunikasi melalui balon. Gustav Krupp memasang meriam 1-pounder (37mm) yang dimodifikasi - Ballonabwehrkanone (Meriam pertahanan balon) atau BaK - di atas kereta yang ditarik kuda untuk tujuan menembak jatuh balon-balon ini.

Pada awal abad ke-20 balon atau kapal udara, meriam untuk penggunaan darat dan laut mulai menarik perhatian banyak negara. Berbagai jenis amunisi diusulkan, seperti berdayaledak tinggi, pembakar, rantai peluru, peluru batang dan peluru pecahan. Kebutuhan akan beberapa bentuk penjejak atau jejak asap telah diusulkan. Opsi sumbu juga diperiksa, baik jenis tumbukan maupun waktu. Dudukan umumnya berupa jenis tumpuan tetapi bisa juga pada platform lapangan

Percobaan berlangsung di sebagian besar negara di Eropa tetapi hanya Krupp, Erhardt, Vickers Maxim, dan Schneider yang telah mempublikasikan informasi pada tahun 1910. Desain Krupp termasuk adaptasi dari meriam 65 mm 9-pon, 75 mm 12-pon, dan bahkan 105 mm mereka. Erhardt juga memiliki meriam 12-pon, sementara Vickers Maxim menawarkan meriam 3-pon dan Schneider 47 mm. Meriam balon Prancis muncul pada tahun 1910, itu adalah meriam 11-pon tetapi dipasang pada kendaraan dengan berat total 2 ton. Namun, karena balon bergerak lambat, bidikannya sederhana. Tetapi tantangan penembakan terhadap pesawat terbang yang bergerak lebih cepat telah diakui.

Pada tahun 1913 hanya Perancis dan Jerman yang mengembangkan meriam lapangan yang cocok untuk melawan balon dan pesawat terbang serta membahas masalah organisasi militer. Angkatan Laut Kerajaan Inggris akan segera memperkenalkan meriam AA 3-inci dan QF 4-inci QF dan juga memiliki meriam tembak cepat Vickers 1-pounder "pom-pom" yang dapat digunakan pada berbagai dudukan.

Meriam antipesawat AS pertama adalah desain konsep meriam 1-pounder oleh Admiral Twining pada tahun 1911 untuk memenuhi ancaman yang dirasakan dari kapal udara, yang akhirnya digunakan sebagai dasar untuk meriam antipesawat operasional pertama Angkatan Laut AS: meriam 3"/23.

Perang Dunia I

Pada 30 September 1915, pasukan Angkatan Darat Serbia mengamati tiga pesawat musuh yang mendekati Kragujevac. Para tentara menembaki mereka dengan senapan dan senapan mesin tetapi gagal mencegah mereka menjatuhkan 45 bom di atas kota, mengenai instalasi militer, stasiun kereta api dan banyak target lainnya, kebanyakan warga sipil, di kota.

Selama serangan pemboman, prajurit Radoje Ljutovac menembakkan meriamnya ke pesawat musuh dan berhasil menembak jatuh satu pesawat. Pesawat itu jatuh di kota dan kedua pilot meninggal karena luka-lukanya. Meriam Ljutovac yang digunakan tidak dirancang sebagai senjata antipesawat, itu adalah meriam Turki yang sedikit dimodifikasi yang ditangkap selama Perang Balkan Pertama pada tahun 1912. Ini adalah kesempatan pertama dalam sejarah militer bahwa sebuah pesawat militer ditembak jatuh dengan tembakan dari darat ke udara.

Inggris mengakui perlunya kemampuan antipesawat beberapa minggu sebelum Perang Dunia I pecah. Pada tanggal 8 Juli 1914, New York Times melaporkan bahwa pemerintah Inggris telah memutuskan untuk "memperkuat pesisir Kepulauan Inggris dengan serangkaian menara, yang masing-masing dipersenjatai dengan dua meriam tembak cepat dengan desain khusus," sementara "susunan menara yang membentuk lingkaran" harus dibangun di sekitar "instalasi angkatan laut " dan "di titik-titik rentan lainnya". Pada bulan Desember 1914, Cadangan Relawan Angkatan Laut Kerajaan (RNVR) mengoperasikan senjata AA dan lampu sorot yang dikumpulkan dari berbagai sumber di sekitar sembilan pelabuhan. Garnisun Artileri Kerajaan (RGA) diberi tanggung jawab untuk pertahanan AA di lapangan, menggunakan dua seksi senapan bermotor. RNVR secara resmi dibentuk pada November 1914. Awalnya mereka menggunakan QF 1-pounder "pom-pom" (sebuah versi 37 mm dari Senapan Maxim).

Kawasan pertahanan udara

Kawasan pertahanan udara ditentukan oleh Zona identifikasi pertahanan udara (ADIZ - Air Defense Identification Zone), Daerah Terlarang, Daerah Terbatas dan Daerah Berbahaya. Wilayah udara adalah ruangan udara di atas wilayah teritorial sebuah negara.

Tokoh pertahanan udara

  • Giulio Douhet
  • Takijiro Onishi
  • Aydoğan Babaoğlu
  • Hosni Mubarak
  • Abdulrahman Saleh

 

Sumber: id.wikipedia.org

Selengkapnya
Pertahanan Udara
« First Previous page 3 of 6 Next Last »