Perjalanan Pendidikan Delik: Dari Sekolah Dasar hingga Gelar Doktor di Luar Negeri

Dipublikasikan oleh Kania Zulia Ganda Putri

24 April 2024, 11.24

Sumber: itb.ac.id

Delik Hudalah, S.T., M.T., M.Sc., menyampaikan orasi ilmiahnya dalam Forum Guru Besar ITB dengan judul "Urbanisasi Pinggiran Kota di Era Global".

Delik menyelesaikan pendidikan SD, SMP, dan SMA di Bandung. Ia kemudian mendaftar di ITB sebagai mahasiswa program sarjana di program studi Perencanaan Wilayah dan Kota dan lulus pada tahun 2004. Dia melanjutkan studi masternya di ITB juga dan meraih gelarnya pada tahun 2006. Menempuh pendidikan lebih lanjut, ia belajar di luar negeri di University of Groningen di Belanda untuk meraih gelar doktor pada tahun 2010.

Selama karirnya, Prof. Delik bekerja sebagai lektor kepala pada tanggal 1 September 2015. Beliau dikukuhkan sebagai guru besar pada tanggal 1 Agustus 2020. Saat ini, beliau merupakan profesor termuda di ITB.

Sebagai seorang ahli di bidang perencanaan metropolitan dan anggota Kelompok Keahlian Perencanaan Wilayah dan Pedesaan SAPPD ITB, Prof. Delik menyatakan bahwa lebih dari separuh penduduk dunia tinggal di wilayah perkotaan, yang sebagian besar tinggal di wilayah-wilayah perbatasannya yang diamati berkembang di luar kendali administratif dan institusional kota. Dinamisasi dan urbanisasi di daerah-daerah ini mempengaruhi kota untuk terus berkembang dan memenuhi kebutuhan penghuninya

Sumber: itb.ac.id

Menurut skalanya, wilayah perkotaan dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis: kota, metropolitan, megapolitan, dan megegion. Setiap daerah pinggiran kota dianggap sebagai bagian penting dari perencanaan tata ruang secara keseluruhan karena sulit untuk memprediksi pertumbuhannya. "Secara struktural, daerah pinggiran kota dapat membentuk pusat kota baru. Di sisi lain, mereka bisa hadir sebagai zona transisi antara desa dan kota jika kita melihatnya sebagai sebuah tren," jelasnya.

Jika dilihat dari strukturnya, pembentukan pusat kota baru dapat terjadi karena adanya proses dekonsentrasi yang ditandai dengan penurunan atau stagnasi jumlah penduduk dan lapangan pekerjaan di pusat kota. Hal ini menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara pusat kota dan daerah pinggiran kota. Dengan demikian, dekonsentrasi penduduk dan pekerjaan di suatu wilayah menentukan apakah suatu wilayah perkotaan hanya akan memiliki satu pusat (monosentris) atau banyak pusat (polisentris).

"Dalam kasus Jabodetabek dan Metropolitan Surabaya, studi menunjukkan bahwa penyebaran industri pengolahan menjadi salah satu ciri penting dalam dekomposisi pekerjaan. Hal ini ditunjukkan dengan penyebaran kawasan industri dan kota ke arah pinggiran. Tanpa perencanaan yang terintegrasi dalam skala regional, dekonsentrasi ini dapat terjadi secara acak atau dikenal dengan istilah sprawl," jelas Prof. "Fenomena ini membuang-buang lahan, energi, dan biaya."

Secara pola spasial, daerah pinggiran kota merupakan daerah fungsional yang mengalami transformasi perkotaan. Daerah ini cenderung terlalu berkembang dan mencakup wilayah yang lebih luas tanpa memperhatikan batas-batas administratif yang ada. Oleh karena itu, pinggiran kota sering disebut sebagai wilayah abu-abu yang juga mencakup wilayah peri-urban dan desa-kota.

Sumber: itb.ac.id

"Wilayah pinggiran menjadi wilayah abu-abu. Sulit untuk menentukan batas fisik dan nonfisiknya. Biasanya, wilayah ini membentuk gradasi atau spektrum dengan stabilitas yang berbeda-beda antara sifat perkotaan dan pedesaan."

Sumber: itb.ac.id

Model dan implementasi terpadu dari perencanaan dan pengelolaan kawasan pinggiran kota adalah kunci keberhasilan penataan kawasan abu-abu. Konsep ini dibagi menjadi empat domain, yaitu perencanaan wilayah pinggiran kota, pengelolaan wilayah pinggiran kota, perencanaan wilayah perkotaan, dan pengelolaan wilayah perkotaan. Studi dan intervensi difokuskan pada peningkatan kapasitas kelembagaan, kerja sama antar wilayah, perencanaan wilayah yang terintegrasi dan multisektoral, dan rescaling negara.

Disadur dari: itb.ac.id