Keuangan

Ini Dia Gambaran Uang Digital Bank Indonesia

Dipublikasikan oleh Jovita Aurelia Sugihardja pada 28 Mei 2024


Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) akhirnya menjabarkan mata uang digital rupiah atau Central Bank Digital Currency (CBDC) yang akan digunakan di masa depan dalam transaksi keuangan. BI mengatakan saat ini Bank Indonesia tengah merumuskan pebuatan mata uang digital atau Central Bank Digital Currency (CBDC) apabila nanti dibutuhkan.

"Sehingga akan melihat kondisi ekonomi dan konteks digitalisasi yang sedang didorong oleh Bank Indonesia," tulis BI dalam penjelasan resminya seperti dikutip Senin (31/5/2021).

Produk yang nantinya bernama Digital Rupiah ini merupakan sebuah representasi uang digital yang menjadi simbol kedaulatan negara atau sovereign currency yang diterbitkan bank sentral dan menjadi bagian dari kewajiban moneternya.

Central bank digital currency-Digital Rupiah berbentuk uang digital yang akan diterbitkan dan dikendalikan oleh bank sentral. Pasokannya bisa ditambahkan atau dikurangi oleh bank sentral untuk mencapai tujuan ekonomi. Central bank digital currency-Digital Rupiah berbeda dengan uang elektronik. Digital Rupiah merupakan yang digital yang diterbitkan bank sentra sehingga merupakan kewajiban bank sentral terhadap pemegangnya.

"Sedangkan uang elektronik adalah instrumen pembayaran yang diterbitkan oleh pihak swasta atau industri dan merupakan kewajibana penerbit uang elektronik tersebut terhadap pemegangnya.

Digital Rupiah juga berbeda dengan uang kripto (cryptocurrency) seperti Bitcoin. Di mana cryptocurrency tidak diregulasi oleh regulator manapun dan sebagian pasokannya terbatas.

Sumber: www.cnbcindonesia.com

Selengkapnya
Ini Dia Gambaran Uang Digital Bank Indonesia

Keuangan

BI Kaji Mata Uang Digital, Diprediksi Paling Cepat 3 Tahun Lagi

Dipublikasikan oleh Jovita Aurelia Sugihardja pada 27 Mei 2024


Bisnis.com, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) sedang menggodok rencana untuk menerbitkan mata uang digital atau Central Bank Digital Currency (CBDC). Seperti diketahui, BI sudah mulai melakukan pembahasan serta kajian sebelum implementasi. 

CBDC merupakan sebuah representasi digital dari uang yang menjadi simbol kedaulatan negara atau sovereign currency yang diterbitkan oleh bank sentral dan menjadi bagian dari kewajiban moneternya. 

Saat ini, bank sentral memiliki kewajiban moneter berupa uang kartal (uang kertas dan uang logam) dan rekening giro pihak ketiga.

Ekonom Bank BCA David Sumual memperkirakan kesiapan implementasi mata uang digital belum akan rampung dalam waktu dekat. Setidaknya, kata David, persiapan masih akan memakan waktu hingga 3 tahun ke depan. 

"Perkiraan saya sih mungkin belum [siap] kalaupun dilakukan dalam waktu yang dekat. Mungkin perlu waktu 3 tahun ke depan paling enggak karena perlu persiapan-persiapan," ujar David kepada Bisnis, Senin (29/3/2021). 

Menurut David, menerapkan mata uang digital harus memiliki persiapan matang dari sisi sektor finansial dan perbankan. Dia mengatakan kemungkinan besar BI masih berada di tahap riset. 

Maka itu, David memperkirakan Bank Indonesia baru akan siap secepatnya dalam waktu 3 tahun. Dia mengatakan mayoritas negara-negara lain juga masih berada di tahapan riset atau pilot project CBDC.

"Ada sekitar 85 negara yang sedang riset bahkan sampai pilot project seperti di China, di 4 kota ya," jelasnya. 

Adapun yang perlu diperhatikan, kata David, adalah sisi teknologi yang efisien dan kompatibel dengan sektor perbankan serta finansial, skalabilitas, dan efisiensi. 

Sebelumnya, Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono menyampaikan Bank Sentral saat ini masih terus mengamati perkembangan penggunaan cryptocurrency di dunia dan nasional. Bahkan, selama beberapa tahun terakhir penyusunan regulasi dan desain khusus terkait CBDC semakin intens. 

"Kalau urgensinya belum ada, kami masih akan melihat dulu dari negara lain. Kami memang banyak bekerja sama dengan Bank sentral negara lain. Namun, urgensi penerbitannya belum sebesar itu," katanya, Minggu (22/3/2021).

Sumber: finansial.bisnis.com

Selengkapnya
BI Kaji Mata Uang Digital, Diprediksi Paling Cepat 3 Tahun Lagi

Keuangan

Ini Bedanya Mata Uang Kripto dan Uang Digital BI

Dipublikasikan oleh Jovita Aurelia Sugihardja pada 27 Mei 2024


Bisnis.com, JAKARTA - Mata uang kripto kian populer di Indonesia dan dunia internasional. Bank Indonesia (BI) pun tengah merumuskan pembuatan mata uang digital Central Bank Digital Currency (CBDC) atau yang disebut digital rupiah. 

Kantor akuntan publik dan konsultan RSM Indonesia memandang mata uang kripto merupakan mata uang digital atau virtual yang dijamin dengan kriptografi, yang membuatnya hampir tidak mungkin untuk dipalsukan atau digandakan. 

Managing Partner Audit RSM Indonesia Dedy Sukrisnadi mengatakan mata uang digital bersifat desentralisasi, tidak membutuhkan bank sentral dan bank dalam transaksi karena transaksinya berlangsung secara peer-to-peer dari pengirim ke penerima. 

Beberapa contoh mata uang kripto di antaranya Bitcoin, Litecoin, Peercoin, dan Namecoin, serta Ethereum, Cardano, XRP, dan EOS. Mata uang kripto bukan merupakan alat pembayaran yang sah di berbagai negara, termasuk Indonesia. 

Menurut Dedy, CBDC yang nantinya bernama digital rupiah yang tengah dirumuskan oleh BI tidak sama dengan mata uang kripto. 

“CBDC adalah uang digital yang diterbitkan dan peredarannya dikontrol oleh bank sentral, dan digunakan sebagai alat pembayaran yang sah untuk menggantikan uang kartal,” katanya dalam keterangan resmi, Senin (26/7/2021). 

Dia menjelaskan, terdapat tiga model CBDC. Pertama, indirect CBDC, yang mana tagihan (claim) dilakukan ke perantara atau bank komersial, sementara bank sentral hanya melakukan pembayaran ke bank komersial. 

Kedua, direct CBDC, yaitu tagihan dilakukan langsung ke bank sentral. Serta ketiga, yaitu hybrid CBDC, tagihan dilakukan ke bank sentral, tetapi bank komersial yang melakukan pembayaran. 

Dedy mengatakan cryptocurrency memiliki risiko yang merugikan sehingga perlu terus dicermati. Misalnya, populernya penggunaan mata uang kripto berisiko terhadap kestabilan moneter jika masyarakat menggunakannya sebagai private digital currency. 

Risiko lainnya, terdapat risiko underground economy jika pemegang/pemilik mata uang kripto tidak mencatatnya sebagai aset yang dimilikinya. 

“Penambahan kekayaan dari peningkatan nilai mata uang kripto yang tidak tercatat dalam laporan keuangan pada gilirannya akan berdampak pada kecilnya kewajiban perpajakan mereka,” jelas Dedy. 

Mata uang kripto memiliki beberapa karakter, di antaranya distribusinya dicatat menggunakan kriptografi sebagai jaminan, tidak diterbitkan oleh otoritas berwenang, serta tidak ada perjanjian atau akad antara pemegang dengan pihak lainnya. 

Berdasarkan karakteristik tersebut, maka mata uang kripto bukanlah instrumen keuangan karena tidak memenuhi kriteria sebagai aset keuangan. Namun, mata uang kripto memenuhi definisi sebagai aset tak berwujud, yakni merupakan aset nonmoneter teridentifikasi tanpa wujud fisik. Mata uang kripto juga dapat dipisahkan dari pemiliknya serta dapat diperjualbelikan atau ditransfer secara individual. 

Harga pasar mata uang kripto didasarkan pada penawaran dan permintaan, serta mata uang kripto dapat dipertukarkan dengan mata uang lain, sehingga harga pasar tersebut sangat fluktuasi. 

Sementara itu, digital rupiah merupakan uang digital yang diterbitkan dan peredarannya dikontrol oleh bank sentral (BI), dan digunakan sebagai alat pembayaran yang sah untuk menggantikan uang kartal, yang merupakan kewajiban bank sentral kepada pemegangnya. 

“Dengan ciri tersebut, digital rupiah memenuhi definisi sebagai instrumen keuangan. Sehingga Digital Rupiah dapat dicatat sebagai kas,” kata Dedy.

Sumber: finansial.bisnis.com

Selengkapnya
Ini Bedanya Mata Uang Kripto dan Uang Digital BI

Keuangan

Mengenali Devaluasi Mata Uang

Dipublikasikan oleh Jovita Aurelia Sugihardja pada 27 Mei 2024


Devaluasi mata uang adalah tindakan penyesuaian nilai tukar suatu mata uang terhadap mata uang asing lainnya yang dilakukan oleh Bank Sentral atau Otoritas Moneter yang menganut sistem nilai tukar tetap. Devaluasi ini biasanya dilakukan jika rezim yang menganut sistem nilai tukar tetap menganggap bahwa harga mata uangnya dinilai terlalu tinggi dibandingkan dengan nilai mata uang negara lain, di mana nilai mata uang tersebut tidak didukung oleh kekuatan ekonomi negara yang bersangkutan. Mata uang suatu negara dikatakan memiliki nilai lebih, dapat dilihat dari perbedaan inflasi antara kedua negara tersebut. Negara dengan inflasi yang tinggi seharusnya akan segera mengalami penurunan nilai, namun dalam sistem nilai tukar tetap proses penyesuaian ini tidak berlaku secara otomatis karena penyesuaian nilai tukar harus ditentukan oleh pemerintah. Tanda-tanda bahwa suatu mata uang mengalami kenaikan nilai antara lain ekspor yang terus menurun dan industri manufaktur yang mulai mengalami penurunan kinerja.

Devaluasi di Indonesia 

20 Maret 1950 

Pemerintahan Presiden Sukarno, melalui Menteri Keuangan Syafrudin Prawiranegara (Masyumi, Kabinet RIS Hatta) pada tanggal 30 Maret 1950 melakukan devaluasi dengan cara menarik uang. Syafrudin Prawiranegara memotong uang kertas bernilai Rp. 5 ke atas, sehingga nilainya menjadi separuhnya. Tindakan ini dikenal dengan sebutan “Gunting Syafrudin”.

24 Agustus 1959 

Pemerintahan Presiden Sukarno, melalui Menteri Keuangan yang juga menjabat sebagai Menteri Pertama Djuanda, mengurangi nilai mata uang Rp 1.000 bergambar gajah dan Rp 500 bergambar harimau, sehingga nilainya menjadi hanya Rp 100 dan Rp 50. Pemerintah juga membekukan semua simpanan di bank yang melebihi Rp 25.000,-.

Tujuan dari kebijakan devaluasi ini adalah untuk meningkatkan nilai rupiah agar masyarakat kecil tidak dirugikan. Namun, kebijakan pemerintah ini tidak mampu mengatasi penurunan ekonomi secara keseluruhan.

1966 

Akibat embargo yang dilancarkan sekutu Kapitalis dan Imperialis terhadap Indonesia karena berani menentang pembentukan negara boneka di kawasan Asia Tenggara oleh Inggris dan Amerika Serikat, Wakil Panglima Daerah Militer III Chairul Saleh terjebak dalam tindakan ekstrim, mengganti uang lama dengan uang baru dengan kurs Rp. 1000 akan diganti dengan Rp. 1 yang baru. Akibatnya, inflasi tidak terkendali dan segera melonjak 650% dan Bung Karno terpaksa mengeluarkan Supersemar 11 Maret 1966 yang semakin memperkuat pemberontakan Soeharto karena menolak dipanggil ke Halim oleh Panglima Tertinggi pada tanggal 1 Oktober 1965.

21 Agustus 1971 

Terjadi pada masa pemerintahan Presiden Soeharto (Orde Baru) melalui Menteri Keuangan Ali Wardhana. Amerika Serikat pada tanggal 15 Agustus 1971 harus menghentikan penukaran dolar dengan emas. Presiden Nixon khawatir akan menipisnya cadangan emas AS jika dolar dibiarkan terus ditukarkan dengan emas, di mana 1 troy ons emas = US$ 34.00. Maka untuk menjaga cadangan emas AS, pemerintah AS menghapuskan sistem penilaian dolar yang dikaitkan dengan emas. Soeharto yang sangat bergantung pada AS mati kutu dan tidak bisa menghindar dari dampak Nixon dan gebrakan Indonesia dalam mendevaluasi Rupiah pada 21 Agustus 1971 dari Rp. 378 menjadi Rp. 415 per 1 US$.

15 November 1978 

Masa pemerintahan Presiden Soeharto melalui Menteri Keuangan Ali Wardhana. Meskipun Indonesia diuntungkan oleh kenaikan harga minyak sebagai akibat dari Perang Arab-Israel 1973, Pertamina nyaris bangkrut dengan hutang sebesar US$ 10 miliar dan Ibnu Sutowo dipecat pada tahun 1976. Devaluasi kedua yang dilakukan oleh Soeharto pada tanggal 15 November 1978 dari Rp. 415 menjadi Rp. 625 per 1 US$ tetap tidak dapat dihindari.

30 Maret 1983 

Masa pemerintahan Presiden Soeharto melalui Menteri Keuangan Radius Prawiro. Pada saat itu Menkeu Radius Prawiro melakukan devaluasi rupiah sebesar 48%, sehingga hampir sama dengan pemotongan nilai menjadi setengahnya. Nilai tukar untuk 1 dolar AS naik dari Rp 702,50 menjadi Rp 970.

12 September 1986 

Masa pemerintahan Presiden Soeharto melalui Menteri Keuangan Radius Prawiro. Pada 12 September 1986 Radius Prawiro kembali mendevaluasi rupiah sebesar 47%, dari Rp 1.134 menjadi Rp 1.664 per 1 dolar AS. Meskipun Soeharto selalu berpidato tentang tidak ada devaluasi, sepanjang masa pemerintahannya telah terjadi empat kali devaluasi.

Disandur: en.wikipedia.org

Selengkapnya
Mengenali Devaluasi Mata Uang

Keuangan

Mengenali Tentang Kebijakan Moneter

Dipublikasikan oleh Jovita Aurelia Sugihardja pada 27 Mei 2024


Kebijakan moneter adalah kebijakan yang diadopsi oleh otoritas moneter suatu negara untuk memengaruhi kondisi moneter dan kondisi keuangan lainnya untuk mencapai tujuan yang lebih luas seperti lapangan kerja yang tinggi dan stabilitas harga (biasanya ditafsirkan sebagai tingkat inflasi yang rendah dan stabil). Tujuan lebih lanjut dari kebijakan moneter dapat berkontribusi pada stabilitas ekonomi atau mempertahankan nilai tukar yang dapat diprediksi dengan mata uang lain. Saat ini sebagian besar bank sentral di negara-negara maju menjalankan kebijakan moneter mereka dalam kerangka kerja penargetan inflasi, sedangkan kebijakan moneter sebagian besar bank sentral negara-negara berkembang menargetkan semacam sistem nilai tukar tetap. Strategi kebijakan moneter ketiga, yang menargetkan jumlah uang beredar, secara luas diikuti selama tahun 1980an, namun popularitasnya menurun sejak saat itu, meskipun strategi ini masih menjadi strategi resmi di beberapa negara berkembang.

Alat-alat kebijakan moneter bervariasi dari satu bank sentral ke bank sentral lainnya, tergantung pada tahap perkembangan, struktur kelembagaan, tradisi, dan sistem politik negara tersebut. Penargetan suku bunga umumnya merupakan alat utama, yang diperoleh baik secara langsung melalui perubahan suku bunga bank sentral secara administratif atau secara tidak langsung melalui operasi pasar terbuka. Suku bunga mempengaruhi aktivitas ekonomi secara umum dan akibatnya lapangan kerja dan inflasi melalui sejumlah saluran yang berbeda, yang secara kolektif dikenal sebagai mekanisme transmisi moneter, dan juga merupakan faktor penentu penting dari nilai tukar. Alat kebijakan lainnya termasuk strategi komunikasi seperti forward guidance dan di beberapa negara, penetapan cadangan wajib. Kebijakan moneter sering disebut sebagai kebijakan ekspansif (merangsang aktivitas ekonomi dan akibatnya meningkatkan lapangan kerja dan inflasi) atau kebijakan kontraktif (meredam aktivitas ekonomi, sehingga menurunkan lapangan kerja dan inflasi).

Kebijakan moneter mempengaruhi perekonomian melalui jalur finansial seperti suku bunga, nilai tukar, dan harga aset finansial. Hal ini berbeda dengan kebijakan fiskal, yang bergantung pada perubahan perpajakan dan pengeluaran pemerintah sebagai metode bagi pemerintah untuk mengelola fenomena siklus bisnis seperti resesi. Di negara maju, kebijakan moneter umumnya dibentuk secara terpisah dari kebijakan fiskal, bank sentral modern di negara maju tidak tergantung pada kontrol dan arahan pemerintah secara langsung.

Cara terbaik untuk melakukan kebijakan moneter adalah area penelitian yang aktif dan diperdebatkan, mengacu pada bidang-bidang seperti ekonomi moneter serta subbidang lain dalam ekonomi makro.

Sejarah

Menerbitkan koin dan uang kertas

Kebijakan moneter telah berkembang selama berabad-abad, seiring dengan perkembangan ekonomi uang. Para sejarawan, ekonom, antropolog, dan ahli numismatik tidak sepakat mengenai asal-usul uang. Di Barat, pandangan umum adalah bahwa koin pertama kali digunakan di Lydia kuno pada abad ke-8 SM, sedangkan beberapa orang berpendapat bahwa asal-usulnya berasal dari Tiongkok kuno. Pendahulu awal kebijakan moneter tampaknya adalah kebijakan debase, di mana pemerintah akan melebur koin dan mencampurnya dengan logam yang lebih murah. Praktik ini tersebar luas di akhir Kekaisaran Romawi, tetapi mencapai kesempurnaannya di Eropa Barat pada akhir Abad Pertengahan.

Selama berabad-abad, hanya ada dua bentuk kebijakan moneter: mengubah mata uang koin atau mencetak uang kertas. Suku bunga, meskipun sekarang dianggap sebagai bagian dari otoritas moneter, pada umumnya tidak dikoordinasikan dengan bentuk-bentuk kebijakan moneter lainnya pada masa itu. Kebijakan moneter dianggap sebagai keputusan eksekutif, dan umumnya diimplementasikan oleh otoritas yang memiliki seigniorage (kekuasaan untuk mencetak uang). Dengan munculnya jaringan perdagangan yang lebih besar, muncullah kemampuan untuk menentukan nilai mata uang dalam bentuk emas atau perak, dan harga mata uang lokal dalam bentuk mata uang asing. Harga resmi ini dapat ditegakkan oleh hukum, meskipun berbeda dengan harga pasar.

Uang kertas berasal dari surat promes yang disebut “jiaozi” pada abad ke-7 di Tiongkok. Jiaozi tidak menggantikan mata uang logam, dan digunakan bersama dengan koin tembaga. Dinasti Yuan yang berkuasa setelahnya adalah pemerintah pertama yang menggunakan mata uang kertas sebagai media sirkulasi utama. Pada masa akhir dinasti ini, karena menghadapi kekurangan besar-besaran dalam mendanai perang dan mempertahankan kekuasaan mereka, mereka mulai mencetak uang kertas tanpa batasan, yang mengakibatkan hiperinflasi.

Bank sentral dan standar emas

Dengan pembentukan Bank of England pada tahun 1694, yang diberi wewenang untuk mencetak uang kertas yang didukung oleh emas, gagasan kebijakan moneter sebagai independen dari tindakan eksekutif [bagaimana?] mulai ditetapkan. Tujuan dari kebijakan moneter adalah untuk mempertahankan nilai mata uang, mencetak uang kertas yang akan diperdagangkan setara dengan specie, dan mencegah uang kertas keluar dari peredaran. Selama periode 1870-1920, negara-negara industri membentuk sistem perbankan sentral, dengan salah satu yang terakhir adalah Federal Reserve pada tahun 1913. Pada saat itu, peran bank sentral sebagai “pemberi pinjaman terakhir” telah ditetapkan. Juga semakin dipahami bahwa suku bunga memiliki efek pada seluruh perekonomian, sebagian besar karena apresiasi terhadap revolusi marjinal dalam ekonomi, yang menunjukkan bahwa orang akan mengubah keputusan mereka berdasarkan perubahan biaya peluang mereka.

Pendirian bank-bank nasional oleh negara-negara industri kemudian dikaitkan dengan keinginan untuk mempertahankan hubungan mata uang dengan standar emas, dan untuk memperdagangkan mata uang dalam rentang mata uang yang sempit dengan mata uang yang didukung emas. Untuk mencapai tujuan ini, bank sentral sebagai bagian dari standar emas mulai menetapkan suku bunga yang mereka kenakan kepada peminjam mereka sendiri dan bank-bank lain yang membutuhkan uang untuk likuiditas. Pemeliharaan standar emas membutuhkan penyesuaian suku bunga hampir setiap bulan.

Standar emas adalah sebuah sistem dimana harga mata uang nasional ditetapkan berdasarkan nilai emas, dan dijaga konstan oleh janji pemerintah untuk membeli atau menjual emas dengan harga tetap dalam mata uang dasar. Standar emas dapat dianggap sebagai kasus khusus dari kebijakan “nilai tukar tetap”, atau sebagai jenis khusus penargetan tingkat harga komoditas. Namun, kebijakan yang diperlukan untuk mempertahankan standar emas mungkin berbahaya bagi lapangan kerja dan aktivitas ekonomi secara umum dan mungkin memperburuk Depresi Besar pada tahun 1930-an di banyak negara, yang pada akhirnya mengarah pada runtuhnya standar emas dan upaya untuk menciptakan kerangka kerja moneter yang lebih memadai secara internasional setelah Perang Dunia II. Saat ini, standar emas tidak lagi digunakan oleh negara mana pun.

Nilai tukar tetap yang berlaku

Pada tahun 1944, sistem Bretton Woods didirikan, yang menciptakan Dana Moneter Internasional dan memperkenalkan sistem nilai tukar tetap yang menghubungkan mata uang sebagian besar negara industri dengan dolar AS, yang sebagai satu-satunya mata uang dalam sistem tersebut dapat dikonversikan secara langsung ke emas. Selama beberapa dekade berikutnya, sistem ini menjamin nilai tukar yang stabil secara internasional, tetapi sistem ini mengalami kerusakan pada tahun 1970-an ketika dolar semakin dianggap terlalu tinggi. Pada tahun 1971, konvertibilitas dolar menjadi emas ditangguhkan. Upaya untuk menghidupkan kembali nilai tukar tetap gagal, dan pada tahun 1973 mata uang utama mulai mengambang satu sama lain. Di Eropa, berbagai upaya dilakukan untuk membangun sistem nilai tukar tetap regional melalui Sistem Moneter Eropa, yang pada akhirnya mengarah pada Persatuan Ekonomi dan Moneter Uni Eropa dan pengenalan mata uang euro.

Target jumlah uang beredar

Para ekonom monetaris telah lama berpendapat bahwa pertumbuhan jumlah uang beredar dapat mempengaruhi ekonomi makro. Ini termasuk Milton Friedman yang pada awal karirnya menganjurkan agar defisit anggaran pemerintah selama resesi dibiayai dengan jumlah yang sama dengan penciptaan uang untuk membantu menstimulasi permintaan agregat untuk produksi. Kemudian ia menganjurkan untuk meningkatkan pasokan moneter pada tingkat yang rendah dan konstan sebagai cara terbaik untuk menjaga inflasi rendah dan pertumbuhan produksi yang stabil. Selama tahun 1970-an inflasi meningkat di banyak negara yang disebabkan oleh krisis energi tahun 1970-an, dan beberapa bank sentral beralih ke target jumlah uang beredar sebagai upaya untuk mengurangi inflasi. Namun, ketika Ketua Federal Reserve AS Paul Volcker mencoba kebijakan ini, dimulai pada Oktober 1979, kebijakan ini terbukti tidak praktis, karena hubungan yang tidak stabil antara agregat moneter dan variabel makroekonomi lainnya, dan hasil yang sama terjadi di negara-negara lain. Bahkan Milton Friedman kemudian mengakui bahwa jumlah uang yang beredar secara langsung tidak sesukses yang ia harapkan.

Penargetan inflasi

Pada tahun 1990, Selandia Baru sebagai negara pertama yang mengadopsi target inflasi resmi sebagai dasar kebijakan moneternya. Idenya adalah bahwa bank sentral mencoba untuk menyesuaikan suku bunga untuk mengarahkan tingkat inflasi negara menuju target resmi daripada mengikuti tujuan tidak langsung seperti stabilitas nilai tukar atau pertumbuhan jumlah uang beredar, yang biasanya juga bertujuan untuk mendapatkan inflasi yang rendah dan stabil. Strategi ini secara umum dianggap berhasil dengan baik, dan bank-bank sentral di sebagian besar negara maju telah mengadaptasi strategi yang sama selama bertahun-tahun.

Krisis Keuangan Global 2008 memicu kontroversi mengenai penggunaan dan fleksibilitas penargetan inflasi yang digunakan. Banyak ekonom berpendapat bahwa target inflasi aktual yang diputuskan ditetapkan terlalu rendah oleh banyak rezim moneter. Selama krisis, banyak negara penahan inflasi mencapai batas bawah suku bunga nol, yang mengakibatkan tingkat inflasi menurun hingga hampir nol atau bahkan deflasi.

Pada tahun 2023, bank sentral dari semua negara anggota G7 dapat dikatakan mengikuti target inflasi, termasuk Bank Sentral Eropa dan Federal Reserve, yang telah mengadopsi elemen-elemen utama penargetan inflasi tanpa secara resmi menyebut diri mereka sebagai penarget inflasi. Di negara-negara berkembang, rezim nilai tukar tetap masih merupakan kebijakan moneter yang paling umum.

Instrumen kebijakan moneter

Instrumen yang tersedia bagi bank sentral untuk melakukan kebijakan moneter berbeda-beda di setiap negara, tergantung pada tahap perkembangan, struktur kelembagaan, dan sistem politik negara tersebut. Instrumen kebijakan moneter utama yang tersedia bagi bank sentral adalah kebijakan suku bunga, yaitu menetapkan suku bunga (yang diatur) secara langsung, operasi pasar terbuka, panduan ke depan (forward guidance) dan kegiatan komunikasi lainnya, persyaratan cadangan bank, dan pinjaman ulang dan diskon ulang (termasuk menggunakan istilah pasar pembelian kembali. Meskipun kecukupan modal penting, namun hal ini didefinisikan dan diatur oleh Bank for International Settlements, dan bank-bank sentral pada umumnya tidak menerapkan aturan yang lebih ketat.

Kebijakan ekspansif terjadi ketika otoritas moneter menggunakan instrumennya untuk menstimulasi perekonomian. Kebijakan ekspansif menurunkan suku bunga jangka pendek, mempengaruhi kondisi keuangan yang lebih luas untuk mendorong belanja barang dan jasa, yang pada gilirannya mengarah pada peningkatan lapangan kerja. Dengan mempengaruhi nilai tukar, kebijakan ini juga dapat menstimulasi ekspor neto.21 Kebijakan kontraktif bekerja dalam arah yang berlawanan: Peningkatan suku bunga akan menekan pinjaman dan pengeluaran oleh konsumen dan bisnis, sehingga mengurangi tekanan inflasi dalam perekonomian dan juga lapangan kerja.

Suku bunga utama

Untuk sebagian besar bank sentral di negara maju, instrumen kebijakan moneter utama mereka adalah suku bunga jangka pendek. Untuk kerangka kerja kebijakan moneter yang beroperasi di bawah jangkar nilai tukar, menyesuaikan suku bunga, bersama dengan intervensi langsung di pasar valuta asing (misalnya operasi pasar terbuka), merupakan alat yang penting untuk mempertahankan nilai tukar yang diinginkan. Untuk bank sentral yang menargetkan inflasi secara langsung, menyesuaikan suku bunga sangat penting untuk mekanisme transmisi moneter yang pada akhirnya mempengaruhi inflasi. Perubahan suku bunga kebijakan bank sentral biasanya mempengaruhi suku bunga yang dibebankan oleh bank dan pemberi pinjaman lainnya pada pinjaman kepada perusahaan dan rumah tangga, yang pada gilirannya akan mempengaruhi investasi dan konsumsi swasta. Perubahan suku bunga juga mempengaruhi harga aset seperti harga saham dan harga rumah, yang sekali lagi mempengaruhi keputusan konsumsi rumah tangga melalui efek kekayaan. Selain itu, perbedaan suku bunga internasional mempengaruhi nilai tukar dan akibatnya ekspor dan impor AS. Konsumsi, investasi, dan ekspor neto merupakan komponen penting dari permintaan agregat. Menstimulasi atau menekan permintaan barang dan jasa secara keseluruhan dalam perekonomian akan cenderung meningkatkan dan menurunkan inflasi.

Mekanisme implementasi konkrit yang digunakan untuk menyesuaikan suku bunga jangka pendek berbeda antara satu bank sentral dengan bank sentral lainnya. “Suku bunga kebijakan” itu sendiri, yaitu suku bunga utama yang digunakan bank sentral untuk mengkomunikasikan kebijakannya, dapat berupa suku bunga yang diatur (yaitu ditetapkan secara langsung oleh bank sentral) atau suku bunga pasar yang hanya dipengaruhi oleh bank sentral secara tidak langsung.  Dengan menetapkan suku bunga yang diatur yang akan diterima oleh bank-bank komersial dan mungkin lembaga keuangan lainnya untuk simpanan mereka di bank sentral, masing-masing membayar pinjaman dari bank sentral, otoritas moneter sentral dapat menciptakan sebuah band (atau “koridor”) di mana suku bunga pasar jangka pendek antar bank biasanya akan bergerak. Bergantung pada detail spesifik, suku bunga pasar spesifik yang dihasilkan dapat dibuat oleh operasi pasar terbuka oleh bank sentral (yang disebut “sistem koridor”) atau dalam praktiknya sama dengan suku bunga yang ditetapkan (sistem “floor”, yang dipraktekkan oleh Federal Reserve ).

Sebagai contoh bagaimana cara kerjanya, Bank of Canada menetapkan target suku bunga semalam, dan band plus atau minus 0,25%. Bank-bank yang memenuhi syarat meminjam satu sama lain dalam band ini, tetapi tidak pernah di atas atau di bawah, karena bank sentral akan selalu meminjamkan kepada mereka di bagian atas band, dan menerima deposito di bagian bawah band; pada prinsipnya, kapasitas untuk meminjam dan meminjamkan di ujung band tidak terbatas.

Suku bunga target umumnya adalah suku bunga jangka pendek. Suku bunga aktual yang diterima oleh peminjam dan pemberi pinjaman di pasar akan bergantung pada (persepsi) risiko kredit, jatuh tempo, dan faktor lainnya. Sebagai contoh, bank sentral dapat menetapkan suku bunga target untuk pinjaman semalam sebesar 4,5%, namun suku bunga untuk obligasi lima tahun (dengan risiko yang setara) dapat mencapai 5%, 4,75%, atau dalam kasus kurva imbal hasil yang terbalik, bahkan di bawah suku bunga jangka pendek.

Banyak bank sentral memiliki satu suku bunga “utama” yang dikutip sebagai “suku bunga bank sentral”. Dalam praktiknya, mereka akan memiliki alat dan suku bunga lain yang digunakan, tetapi hanya satu yang ditargetkan dan ditegakkan secara ketat. Oleh karena itu, bank sentral biasanya memiliki beberapa suku bunga atau alat kebijakan moneter yang dapat digunakan untuk mempengaruhi pasar.

  • Suku bunga pinjaman marjinal - suku bunga tetap bagi institusi untuk meminjam uang dari bank sentral. (Di Amerika Serikat, ini disebut tingkat diskonto).
  • Suku bunga pembiayaan kembali utama - suku bunga yang dapat dilihat oleh publik yang diumumkan oleh bank sentral. Suku bunga ini juga dikenal sebagai suku bunga penawaran minimum dan berfungsi sebagai dasar penawaran untuk pembiayaan kembali pinjaman. (Di Amerika Serikat, suku bunga ini disebut suku bunga dana federal).
  • Suku bunga deposito, umumnya terdiri dari bunga cadangan - suku bunga yang diterima oleh pihak-pihak yang menyimpan deposito di bank sentral.

Operasi pasar terbuka

Melalui operasi pasar terbuka, bank sentral dapat mempengaruhi tingkat suku bunga, nilai tukar dan/atau jumlah uang beredar dalam suatu perekonomian. Operasi pasar terbuka dapat mempengaruhi suku bunga dengan memperluas atau mengurangi basis moneter, yang terdiri dari mata uang yang beredar dan cadangan bank yang disimpan di bank sentral. Setiap kali bank sentral membeli sekuritas (seperti obligasi pemerintah atau surat utang negara), bank sentral menciptakan uang. Bank sentral menukar uang dengan sekuritas, meningkatkan basis moneter sambil menurunkan pasokan sekuritas tertentu. Sebaliknya, penjualan sekuritas oleh bank sentral mengurangi basis moneter.

Operasi pasar terbuka biasanya berbentuk:

  • Membeli atau menjual sekuritas (“operasi langsung”).
  • Meminjamkan uang untuk sementara waktu dengan jaminan sekuritas (“Reverse Operations” atau “operasi pembelian kembali”, atau dikenal sebagai pasar “repo”). Operasi ini dilakukan secara teratur, di mana pinjaman yang jatuh tempo tetap (satu minggu dan satu bulan untuk ECB) dilelang.
  • Operasi valuta asing seperti swap valuta asing.

Panduan ke depan

Forward guidance adalah sebuah praktik komunikasi di mana bank sentral mengumumkan prakiraan dan niatnya di masa depan untuk mempengaruhi ekspektasi pasar terhadap tingkat suku bunga di masa depan. Karena pembentukan ekspektasi adalah unsur penting dalam perubahan inflasi aktual, komunikasi yang kredibel adalah penting bagi bank sentral modern.

Persyaratan cadangan

Secara historis, cadangan bank hanya membentuk sebagian kecil dari deposito, sebuah sistem yang disebut fractional-reserve banking. Bank hanya menyimpan sebagian kecil dari aset mereka dalam bentuk cadangan kas sebagai jaminan terhadap bank runs. Seiring berjalannya waktu, proses ini telah diatur dan diasuransikan oleh bank sentral. Persyaratan cadangan legal tersebut diperkenalkan pada abad ke-19 sebagai upaya untuk mengurangi risiko bank-bank yang memberikan pinjaman secara berlebihan dan mengalami bank runs, karena hal ini dapat menyebabkan efek berantai pada bank-bank lain yang memberikan pinjaman secara berlebihan.

Sejumlah bank sentral telah menghapuskan persyaratan cadangan mereka selama beberapa dekade terakhir, dimulai dengan Reserve Bank of New Zealand pada tahun 1985 dan berlanjut dengan Federal Reserve pada tahun 2020. Untuk masing-masing sistem perbankan, persyaratan modal bank memberikan pemeriksaan terhadap pertumbuhan jumlah uang beredar.

People's Bank of China mempertahankan (dan menggunakan) lebih banyak kekuasaan atas cadangan karena yuan yang dikelolanya adalah mata uang yang tidak dapat dikonversi.

Aktivitas pinjaman oleh bank memainkan peran fundamental dalam menentukan jumlah uang beredar. Uang bank sentral setelah penyelesaian agregat - “uang akhir” - hanya dapat mengambil salah satu dari dua bentuk:

  • uang tunai fisik, yang jarang digunakan di pasar keuangan grosir,
  • uang bank sentral yang jarang digunakan oleh masyarakat

Komponen mata uang dari jumlah uang beredar jauh lebih kecil daripada komponen deposito. Mata uang, cadangan bank, dan perjanjian pinjaman institusional bersama-sama membentuk basis moneter, yang disebut M1, M2, dan M3. Federal Reserve Bank berhenti menerbitkan M3 dan menghitungnya sebagai bagian dari jumlah uang beredar pada tahun 2006.

Panduan kredit

Bank sentral dapat secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi alokasi pinjaman bank di sektor-sektor ekonomi tertentu dengan menerapkan kuota, batasan atau suku bunga yang berbeda. Hal ini memungkinkan bank sentral untuk mengontrol jumlah pinjaman dan alokasinya ke sektor-sektor strategis tertentu dalam perekonomian, misalnya untuk mendukung kebijakan industri nasional, atau investasi lingkungan seperti renovasi rumah.

Bank of Japan pernah menerapkan kebijakan tersebut (“window guidance”) antara tahun 1962 dan 1991. Banque de France juga banyak menggunakan pedoman kredit selama periode pasca perang tahun 1948 sampai 1973.

Operasi TLTROs Bank Sentral Eropa yang sedang berlangsung juga dapat digambarkan sebagai bentuk panduan kredit sejauh tingkat suku bunga yang pada akhirnya dibayarkan oleh bank dibedakan berdasarkan volume pinjaman yang diberikan oleh bank-bank komersial pada akhir periode pemeliharaan. Jika bank-bank komersial mencapai ambang batas kinerja pinjaman tertentu, mereka mendapatkan suku bunga diskon, yang lebih rendah dari suku bunga acuan. Karena alasan ini, beberapa ekonom menggambarkan TLTRO sebagai kebijakan “suku bunga ganda.”

Tiongkok juga menerapkan bentuk kebijakan suku bunga ganda.

Persyaratan pertukaran

Untuk mempengaruhi jumlah uang beredar, beberapa bank sentral dapat mensyaratkan bahwa sebagian atau seluruh penerimaan valuta asing (umumnya dari ekspor) harus ditukarkan dengan mata uang lokal. Kurs yang digunakan untuk membeli mata uang lokal dapat berbasis pasar atau ditetapkan secara sewenang-wenang oleh bank. Alat ini umumnya digunakan di negara-negara dengan mata uang yang tidak dapat dikonversi atau mata uang yang dapat dikonversi sebagian. Penerima mata uang lokal dapat diizinkan untuk secara bebas menggunakan dana tersebut, diharuskan untuk menyimpan dana di bank sentral untuk beberapa periode waktu, atau diizinkan untuk menggunakan dana tersebut dengan batasan tertentu. Dalam kasus lain, kemampuan untuk memegang atau menggunakan valuta asing mungkin dibatasi.

Dalam metode ini, jumlah uang beredar ditingkatkan oleh bank sentral ketika bank sentral membeli mata uang asing dengan menerbitkan (menjual) mata uang lokal. Bank sentral kemudian dapat mengurangi jumlah uang beredar dengan berbagai cara, termasuk menjual obligasi atau intervensi valuta asing.

Kebijakan jaminan

Di beberapa negara, bank sentral mungkin memiliki alat lain yang bekerja secara tidak langsung untuk membatasi praktik peminjaman dan membatasi atau mengatur pasar modal. Contohnya, bank sentral dapat mengatur pinjaman marjin, di mana individu atau perusahaan dapat meminjam dengan menjaminkan sekuritas. Persyaratan margin menetapkan rasio minimum nilai sekuritas terhadap jumlah yang dipinjam.

Bank sentral sering kali memiliki persyaratan untuk kualitas aset yang dapat dipegang oleh lembaga keuangan; persyaratan ini dapat bertindak sebagai batasan jumlah risiko dan leverage yang diciptakan oleh sistem keuangan. Persyaratan ini dapat bersifat langsung, seperti mengharuskan aset tertentu untuk memiliki peringkat kredit minimum tertentu, atau tidak langsung, oleh bank sentral yang memberikan pinjaman kepada pihak lain hanya jika keamanan dengan kualitas tertentu dijaminkan sebagai jaminan.

Kebijakan moneter non-konvensional pada batas nol

Bentuk-bentuk kebijakan moneter lainnya, terutama yang digunakan ketika suku bunga berada pada atau mendekati 0% dan ada kekhawatiran tentang deflasi atau deflasi yang terjadi, disebut sebagai kebijakan moneter non-konvensional. Kebijakan-kebijakan ini meliputi pelonggaran kredit, pelonggaran kuantitatif, forward guidance, dan pemberian sinyal (signalling). Dalam pelonggaran kredit, bank sentral membeli aset-aset sektor swasta untuk meningkatkan likuiditas dan memperbaiki akses terhadap kredit. Sinyal dapat digunakan untuk menurunkan ekspektasi pasar untuk suku bunga yang lebih rendah di masa depan. Contohnya, selama krisis kredit tahun 2008, Federal Reserve AS mengindikasikan suku bunga akan rendah untuk “jangka waktu yang lama”, dan Bank of Canada membuat “komitmen bersyarat” untuk mempertahankan suku bunga pada batas bawah 25 basis poin (0,25%) hingga akhir kuartal kedua 2010.

Uang helikopter

Proposal kebijakan moneter yang serupa lainnya termasuk ide uang helikopter dimana bank-bank sentral akan menciptakan uang tanpa aset sebagai counterpart dalam neraca mereka. Uang yang diciptakan dapat didistribusikan secara langsung kepada penduduk sebagai dividen warga negara. Manfaat dari guncangan uang seperti ini termasuk penurunan penghindaran risiko rumah tangga dan peningkatan permintaan, meningkatkan inflasi dan kesenjangan output. Opsi ini semakin sering didiskusikan sejak Maret 2016 setelah presiden ECB Mario Draghi mengatakan bahwa ia menemukan konsep ini “sangat menarik.” Gagasan ini juga dipromosikan oleh mantan bankir bank sentral terkemuka, Stanley Fischer dan Philipp Hildebrand, dalam sebuah makalah yang diterbitkan oleh BlackRock, dan di Perancis oleh ekonom Philippe Martin dan Xavier Ragot dari Dewan Analisis Ekonomi Perancis, sebuah wadah pemikir yang melekat pada kantor Perdana Menteri.

Beberapa orang telah membayangkan penggunaan apa yang pernah disebut Milton Friedman sebagai “uang helikopter” di mana bank sentral akan melakukan transfer langsung ke warga negara dalam rangka mengangkat inflasi ke target yang diinginkan oleh bank sentral. Opsi kebijakan ini bisa sangat efektif pada batas bawah nol..

Disandur: en.wikipedia.org

Selengkapnya
Mengenali Tentang Kebijakan Moneter

Keuangan

Mengenali Bank Indonesia: Landasan Hukum, Status, Tujuannya

Dipublikasikan oleh Jovita Aurelia Sugihardja pada 27 Mei 2024


Bank Indonesia (BI) adalah lembaga yang diatur oleh Pasal 23D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia. Awalnya dikenal sebagai De Javasche Bank N.V. (DJB), bank ini didirikan di bawah kekuasaan Hindia Belanda sebelum seluruh sahamnya dibeli oleh Pemerintah Indonesia.

Sebagai bank sentral, BI memiliki tujuan utama untuk mencapai dan menjaga stabilitas nilai rupiah. Stabilitas nilai rupiah ini mencakup dua aspek, yakni stabilitas nilai mata uang terhadap barang dan jasa domestik (inflasi), serta stabilitas nilai terhadap mata uang negara lain (kurs).

Untuk mencapai tujuan tersebut, BI menjalankan tiga pilar tugas utama:
1. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter.
2. Mengatur dan memastikan kelancaran sistem pembayaran.
3. Mengatur dan mengawasi sektor perbankan, dengan fokus pada aspek makroprudensial pasca-UU OJK untuk menjaga stabilitas sistem keuangan di Indonesia.

Tiga tugas ini dijalankan secara terintegrasi untuk efektivitas dan efisiensi dalam mencapai dan memelihara stabilitas nilai rupiah. Meskipun tugas pengaturan dan pengawasan perbankan secara mikroprudensial dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan, BI tetap memiliki peran dalam mengatur dan mengawasi sektor perbankan, terutama dalam aspek makroprudensial.

Selain itu, BI memiliki wewenang tunggal dalam pengedaran uang di Indonesia. Lembaga ini dipimpin oleh Dewan Gubernur yang dipimpin oleh seorang Gubernur Bank Indonesia. Perry Warjiyo saat ini menjabat sebagai Gubernur BI sejak 24 Mei 2018, menggantikan Agus Martowardojo.

Dasar Hukum Pendirian Bank Indonesia

Proses pendirian Bank Indonesia dimulai dengan proses nasionalisasi De Javasche Bank NV (DJB) pada Desember 1951, yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1951 Tentang Nasionalisasi De Javasche Bank NV. Setelah DJB dinasionalisasi, Bank Indonesia didirikan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953 Tentang Penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia, yang disahkan pada 19 Mei 1953 dan mulai berlaku pada 1 Juli 1953. Tanggal tersebut juga ditetapkan sebagai hari lahir Bank Indonesia. Melalui undang-undang tersebut, Bank Indonesia diresmikan sebagai bank sentral Indonesia.

Seiring dengan perkembangan ekonomi, sosial, dan politik, peran Bank Indonesia telah mengalami berbagai perubahan. Hal ini tercermin dalam serangkaian perubahan dan penyempurnaan Undang-Undang yang mengatur eksistensi Bank Indonesia. UU yang saat ini menjadi dasar hukum Bank Indonesia adalah UU Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, yang telah mengalami beberapa kali penyempurnaan, yang terakhir adalah dengan UU No. 6 Tahun 2009.

Perubahan tidak hanya terjadi dalam ranah undang-undang, tetapi juga pada tingkat konstitusional. Amandemen Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyisipkan Pasal 23D, yang menegaskan bahwa negara memiliki bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur oleh Undang-Undang.

Sejarah

Pada tahun 1827-28, Raja Willem I memberikan izin eksklusif untuk pendirian De Javasche Bank (DJB) sebagai respons terhadap masalah ekonomi dan keuangan di Hindia Belanda setelah kebangkrutan VOC. DJB berperan sebagai bank sirkulasi dengan hak monopoli dalam penerbitan dan peredaran uang rupiah, serta sebagai bank komersial yang menyediakan layanan keuangan umum. Tujuan utama pendirian DJB adalah untuk melakukan reformasi keuangan dan mengimplementasikan sistem moneter yang seragam di seluruh Hindia Belanda.

Selama periode Oktroi, DJB berhasil menyelesaikan masalah moneter yang disebabkan oleh penerbitan mata uang berlebihan, seperti koin tembaga, dan menerapkan standar nilai tukar emas. Meskipun mata uang di Belanda dan Hindia Belanda berbeda, kurs antara keduanya tetap stabil. Selama Perang Dunia I, Belanda sementara menghentikan standar nilai tukar emas karena kekurangan cadangan emas di Eropa. Pada tahun 1922, tata kelola DJB diubah secara signifikan dengan diberlakukannya Undang-Undang DJB, yang mengharuskan DJB untuk berkoordinasi dengan pemerintah kolonial dalam menjalankan kebijakan dan memperoleh persetujuan untuk operasional tertentu.

Setelah Revolusi Indonesia pada tahun 1952, DJB diubah menjadi Bank Indonesia, dengan fokus sebagai bank sentral. Pada tahun 1953, Undang-Undang Pokok Bank Indonesia menetapkan tugas Bank Indonesia dalam bidang moneter, perbankan, dan sistem pembayaran. Pada tahun 1968, diterbitkan Undang-Undang Bank Sentral yang mengatur peran Bank Indonesia sebagai bank sentral terpisah dari bank-bank komersial.

Pada tahun 1999, UU No.23/1999 menetapkan tujuan tunggal Bank Indonesia yaitu menjaga stabilitas nilai rupiah. Kemudian, pada tahun 2004, UU Bank Indonesia diamendemen untuk memperkuat tugas dan wewenang Bank Indonesia serta penguatan tata kelola. Pada tahun 2008, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang untuk meningkatkan ketahanan perbankan nasional dalam menghadapi krisis global.

Status dan Kedudukan Bank Indonesia

Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia dimulai pada 17 Mei 1999 dengan berlakunya Undang-Undang No. 23/1999 tentang Bank Indonesia. Undang-undang ini memberikan Bank Indonesia status sebagai lembaga negara independen yang tidak terpengaruh oleh campur tangan pemerintah atau pihak lainnya. Bank Indonesia memiliki otonomi penuh dalam merumuskan dan melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan undang-undang tersebut, dan tidak boleh diintervensi oleh pihak luar. Untuk memastikan independensinya, Bank Indonesia diberikan kedudukan khusus dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia, tidak sejajar dengan Lembaga Tinggi Negara atau Departemen, melainkan berada di luar Pemerintah.

Selain itu, Bank Indonesia juga memiliki status sebagai badan hukum baik sebagai badan hukum publik maupun badan hukum perdata sesuai dengan undang-undang. Sebagai badan hukum publik, Bank Indonesia berwenang menetapkan peraturan hukum yang mengikat seluruh masyarakat sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Sebagai badan hukum perdata, Bank Indonesia dapat bertindak untuk dan atas nama sendiri di dalam maupun di luar pengadilan. Hal ini memungkinkan Bank Indonesia untuk melaksanakan peran dan fungsinya sebagai otoritas moneter dengan lebih efektif dan efisien.

Tujuan dan Tugas Bank Indonesia

Bank Indonesia memiliki satu tujuan tunggal sebagai bank sentral, yaitu menjaga kestabilan nilai rupiah. Kestabilan ini mencakup dua aspek, yaitu stabilitas nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta stabilitas terhadap mata uang asing. Aspek pertama tercermin dalam kontrol inflasi, sementara aspek kedua tercermin dalam nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Tujuan tunggal ini memberikan kejelasan pada sasaran Bank Indonesia dan tanggung jawabnya yang terbatas.

Bank Indonesia didukung oleh tiga pilar utama dalam mencapai tujuan tersebut, yaitu:
1. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter.
2. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran.
3. Menjaga stabilitas sistem keuangan.

Dengan dukungan dari ketiga bidang tugas ini, Bank Indonesia dapat bekerja efektif untuk mencapai tujuan tunggalnya dan menjaga stabilitas ekonomi negara.

Disandur: en.wikipedia.org
 

Selengkapnya
Mengenali Bank Indonesia: Landasan Hukum, Status, Tujuannya
« First Previous page 3 of 4 Next Last »