Limbah Berbahaya dan Beracun
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Maret 2025
Pengelolaan limbah berbahaya dan beracun (B3) di Indonesia merupakan tantangan besar yang memerlukan keterlibatan berbagai pihak, termasuk para ahli keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Penelitian ini menggunakan metode tinjauan pustaka dan analisis regulasi yang berlaku di Indonesia. Data dikumpulkan dari peraturan perundang-undangan, standar pengelolaan limbah industri, serta berbagai penelitian sebelumnya yang membahas efektivitas peran tenaga ahli K3 dalam pengelolaan limbah berbahaya.
Studi Kasus dan Data Empiris
Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, limbah B3 didefinisikan sebagai zat yang dapat mencemari dan membahayakan kesehatan manusia serta ekosistem. Regulasi utama yang mengatur limbah B3 antara lain:
Setiap perusahaan yang memiliki lebih dari 100 karyawan atau tingkat risiko tinggi diwajibkan memiliki tenaga ahli K3 yang bertanggung jawab atas pengelolaan limbah B3.
Beberapa peran utama ahli K3 dalam manajemen limbah beracun:
Studi ini mengungkap beberapa kasus pencemaran limbah B3 yang terjadi di Indonesia:
Beberapa tantangan utama dalam pengelolaan limbah B3 di Indonesia:
Berdasarkan temuan penelitian, beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan limbah B3 adalah:
1. Peningkatan Regulasi dan Pengawasan
2. Penggunaan Teknologi Ramah Lingkungan
3. Pelatihan dan Sertifikasi bagi Ahli K3
4. Mendorong Prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle)
Pentingnya peran ahli K3 dalam memastikan pengelolaan limbah beracun di Indonesia berjalan sesuai dengan regulasi. Dengan penerapan strategi yang lebih efektif, termasuk peningkatan regulasi, pemanfaatan teknologi, serta pelatihan tenaga kerja, diharapkan risiko pencemaran akibat limbah B3 dapat diminimalkan.
Sumber Artikel: Supriyadi, Hadiyanto, "The Role of Health and Safety Experts in the Management of Hazardous and Toxic Wastes in Indonesia", E3S Web of Conferences, Vol. 31, 2018, pp. 07011.
Pertanian
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 13 Maret 2025
Agroindustri adalah sektor ekonomi yang menggunakan hasil pertanian sebagai bahan baku untuk diproses, dirancang, dan disediakan melalui peralatan serta jasa tertentu. Austin (1981) secara eksplisit mengungkapkan bahwa agroindustri adalah perusahaan yang melakukan proses pengolahan bahan nabati atau hewani melalui berbagai metode seperti perlakuan fisik atau kimiawi, penyimpanan, pengemasan, dan distribusi. Agroindustri melibatkan interelasi antara produksi, pengolahan, transportasi, penyimpanan, pendanaan, pemasaran, dan distribusi produk pertanian. Dalam kerangka sosial ekonomi, agroindustri termasuk dalam lima subsistem agribisnis yang terdiri dari penyediaan sarana produksi, usaha tani, pengolahan hasil, pemasaran, serta sarana dan pembinaan.
Industri Pengolahan Hasil Pertanian (IPHP) meliputi sektor-sektor seperti tanaman pangan, tanaman perkebunan, tanaman hasil hutan, perikanan, dan peternakan. Industri Peralatan dan Mesin Pertanian (IPMP) terbagi menjadi budidaya pertanian dan pengolahan. Sementara Industri Jasa Sektor Pertanian (IJSP) meliputi perdagangan, konsultasi, dan komunikasi dalam konteks teknologi perangkat lunak.
Agroindustri memiliki peran strategis sebagai penghubung antara sektor pertanian dan industri. Dengan pengembangan yang baik, agroindustri dapat meningkatkan berbagai aspek ekonomi seperti tenaga kerja, pendapatan petani, ekspor dan devisa, pangsa pasar, nilai tukar produk, dan penyediaan bahan baku industri.
Penerapan teknologi untuk agroindustri
Tantangan utama dalam pengembangan agroindustri di Indonesia adalah rendahnya kemampuan dalam mengolah produk pertanian. Sebagian besar komoditas pertanian yang diekspor masih berupa bahan mentah, hanya sekitar 25-29% yang diekspor dalam bentuk olahan. Hal ini mengurangi nilai tambah yang bisa didapat dari ekspor produk pertanian, sehingga pengolahan lebih lanjut menjadi penting untuk mengembangkan agroindustri di era globalisasi ini.
![]()
proses pengolahan lanjut pada kegiatan agroindustri.
Teknologi yang digunakan dalam agroindustri mencakup teknologi pascapanen dan proses. Teknologi pascapanen terbagi menjadi tiga tahap, yaitu sebelum pengolahan, tahap pengolahan, dan pengolahan lanjut. Perlakuan pada tahap awal termasuk pembersihan, pengeringan, sortasi, pengemasan, transportasi, penyimpanan, pemotongan, dan lainnya. Pada tahap pengolahan, terdapat teknik seperti fermentasi, oksidasi, dan distilasi. Sedangkan tahap lanjut melibatkan pengubahan (kimiawi, biokimiawi, fisik) produk pertanian menjadi produk dengan nilai ekonomi yang lebih tinggi.
Contoh produk olahan dari teknologi ini termasuk lemak kakao, bubuk kakao, produk coklat dari kakao, kopi bakar, produk-produk kopi, minuman dari kopi, serta produk-produk teh. Selain itu, ada juga produk seperti ekstrak/oleoresin, minyak atsiri, dan aromaterapi yang dihasilkan dari proses pengolahan ini. Produk ini dapat digunakan langsung atau menjadi bahan baku untuk industri makanan, kimia, dan farmasi.
Pengembangan agroindustri
Pengembangan Agroidustri di Indonesia terbukti mampu membentuk pertumbuhan ekonomi nasional. Di tengah krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997-1998, agroindustri ternyata menjadi sebuah aktivitas ekonomi yang mampu berkontribusi secara positif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Selama masa krisis, walaupun sektor lain mengalami kemunduran atau pertumbuhan negatif, agroindustri mampu bertahan dalam jumlah unit usaha yang beroperasi. Kelompok agroindustri yang tetap mengalami pertumbuhan antara lain yang berbasis kelapa sawit, pengolahan ubi kayu dan industri pengolahan ikan. Kelompok agroindustri ini dapat berkembang dalam keadaan krisis karena tidak bergantung pada bahan baku dan bahan tambahan impor serta peluang pasar ekspor yang besar. Sementara kelompok agroindustri yang tetap dapat bertahan pada masa krisis adalah industri mi, pengolahan susu dan industri tembakau yang disebabkan oleh peningkatan permintaan di dalam negeri dan sifat industri yang padat karya. Kelompok agroindustri yang mengalami penurunan adalah industri pakan ternak dan minuman ringan. Penurunan industri pakan ternak disebabkan ketergantungan impor bahan baku (bungkil kedelai, tepung ikan dan obat-obatan).
![]()
Pabrik pembuatan biodisel jarak pagar sebagai pengembangan produk agroindustri non pangan.
Sementara penurunan pada industri makanan ringan lebih disebabkan oleh penurunan daya beli masyarakat sebagai akibat krisis ekonomi. Berdasarkan data perkembangan ekspor tiga tahun setelah krisis moneter 1998-2000, terdapat beberapa kecenderungan komoditas mengalami pertumbuhan yang positif antara lain, minyak sawit dan turunannya, karet alam, hasil laut, bahan penyegar seperti kakao, kopi dan teh, holtikultura serta makanan ringan/kering. Berdasarkan potensi yang dimiliki, beberapa komoditas dan produk agroindustri yang dapat dikembangkan pada masa mendatang antara lain, produk berbasis pati, hasil hutan non kayu, kelapa dan turunannya, minyak atsiri dan flavor alami, bahan polimer non karet serta hasil laut non ikan.
Dengan demikian, agroindustri merupakan langkah strategis untuk meningkatkan nilai tambah hasil pertanian melalui pemanfaatan dan penerapan teknologi, memperluas lapangan pekerjaan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada kenyataannya, perkembangan nilai ekspor agroindustri masih relatif lambat dibandingkan dengan subsektor industri lainnya. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:
Tantangan dan harapan bagi pengembangan agroindustri di Indonesia adalah bagaimana meningkatkan keunggulan komparatif produk pertanian secara kompetitif menjadi produk unggulan yang mampu bersaing di pasar dunia. Dalam lingkup perdagangan, pengolahan hasil pertanian menjadi produk agroindustri ditunjukkan untuk meningkatkan nilai tambah komoditas tersebut. Pengolahan produk dapat meningkatkan nilai mutu suatu produk sehingga nilai jualnya tinggi dengan meraup keuntungan yang tinggi pula. Semakin tinggi nilai produk olahan, diharapkan devisa yang diterima oleh negara juga meningkat serta keuntungan yang diperoleh oleh para pelaku agoindustri juga relatif tinggi. Untuk dapat terus mendorong kemajuan agroindustri di Indonesia antara lain diperlukan:
Pembangunan dan pengembangan agroindustri secara tepat dengan dukungan sumberdaya lain dan menjadi strategi arah kebijakan pemerintah diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan negara, berdasarkan tolok ukur sebagai berikut: Menghasilkan produk agroindustri yang berdaya saing dan memiliki nilai tambah dengan ciri-ciri berkualitas tinggi.
Sumber: id.wikipedia.org
Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 13 Maret 2025
Arsitektur Batak mencakup tradisi dan desain arsitektur dari berbagai suku Batak yang tinggal di Sumatera Utara, Indonesia. Kelompok-kelompok Batak ini, termasuk Angkola, Mandailing, Toba, Pakpak/Dairi, Simalungun, dan Karo, berbicara dalam bahasa yang berbeda namun saling terkait. Meskipun banyak dari kelompok-kelompok ini mengadopsi Islam atau Kristen, sisa-sisa agama Batak kuno masih ada, terutama di antara komunitas Karo.
Jenis bangunan utama yang ditemukan di antara kelompok-kelompok Batak adalah bale (balai pertemuan), rumah, dan sopo (lumbung padi). Rumah secara tradisional berfungsi sebagai tempat tinggal komunal untuk beberapa keluarga, dengan ruang tamu bersama di siang hari dan privasi yang disediakan oleh tirai kain atau anyaman di malam hari. Namun, karena modernisasi, sebagian besar orang Batak sekarang tinggal di rumah-rumah kontemporer, yang menyebabkan ditinggalkannya atau rusaknya banyak rumah tradisional.
Terdapat perbedaan arsitektur dan tata letak yang mencolok di antara keenam kelompok Batak. Sebagai contoh, rumah-rumah Batak Toba memiliki ciri khas bangunan berbentuk perahu yang dihiasi dengan atap pelana yang diukir rumit dan bubungan atap yang menyapu. Di sisi lain, rumah-rumah Batak Karo dibangun bertingkat-tingkat dan ditinggikan di atas tiang-tiang, yang terinspirasi dari model Dong-Son kuno.
Arsitektur Batak mencakup tradisi arsitektur dari beragam suku Batak di Sumatera Utara, Indonesia. Kelompok-kelompok ini, seperti Angkola, Mandailing, Toba, Pakpak/Dairi, Simalungun, dan Karo, berbicara dengan bahasa yang berbeda namun saling terkait. Meskipun mayoritas memeluk agama Islam atau Kristen, elemen-elemen agama Batak kuno, terutama di antara suku Karo, tetap ada.
Jenis bangunan utama di antara orang Batak adalah bale (balai pertemuan), rumah, dan sopo (lumbung padi). Secara tradisional, rumah berfungsi sebagai tempat tinggal komunal, menyediakan ruang hidup bersama di siang hari dan privasi dengan tirai kain atau anyaman di malam hari. Namun, modernisasi telah membuat banyak orang Batak tinggal di rumah-rumah kontemporer, membuat rumah-rumah tradisional ditinggalkan atau diabaikan.
Setiap kelompok Batak memiliki gaya arsitektur dan tata letak desa yang unik. Rumah-rumah Batak Toba, misalnya, memiliki struktur berbentuk perahu dengan ukiran yang rumit dan bubungan atap yang menyapu. Sebaliknya, rumah-rumah Batak Karo bertingkat dan ditinggikan di atas tiang, terinspirasi oleh desain Dong-Son kuno.
Arsitektur Toba
Budaya Batak Toba berpusat di Danau Toba dan pulau suci Samosir. Jabu adalah rumah adat. Rumah ini terdiri dari tiga bagian dengan struktur dasar menggunakan tiang kayu besar yang bertumpu pada batu datar atau beton untuk mencegah naiknya kelembaban. Beberapa tiang mendukung tiang labe-labe, yang berjalan sepanjang rumah untuk atap besar. Ada juga tiang dengan kepala singa yang membentuk bar cincin besar untuk area tinggal kecil. Struktur diperkuat dengan tiang dimortise ke tumpukan, berfungsi ganda sebagai tempat tidur ternak. Dinding ringan dan miring keluar, memberi stabilitas lebih. Dinding dan pelat dinding yang menopang genteng digantung dari labe-labe dengan tali rotan, sementara dasar dinding duduk di atas bar cincin. Genteng meloncat dari pelat dinding dan membentuk lengkungan atap.
Pengencang rata digantikan dengan ikatan diagonal, yang memberikan penguatan. Atap belakang tunggal yang curam mendominasi struktur. Atap tertutup, tanpa kerangka internal, memberi ruang dalam yang luas, dengan puncak berbentuk segitiga menutupi struktur dasar. Puncak depan lebih jauh dari puncak belakang, diukir dan dicat dengan motif matahari, bintang, ayam jantan, dan motif geometris dalam warna merah, putih, dan hitam, sementara atap belakang tetap polos. Area tinggal memiliki bentuk kecil dan gelap dengan dukungan batang horizontal dan transversal. Cahaya memasuki ruangan melalui jendela-jendela kecil di setiap sisi. Penghuni banyak di luar, rumah digunakan untuk istirahat. Ada loteng di atas area tinggal. Harta keluarga dan tempat ibadah disimpan di sini. Orang Batak Toba memasak di depan ruang tamu sehingga membuat area tinggal berasap. Dalam praktik kebersihan berubah, dapur seringkali di bagian belakang rumah. Rumah Batak Toba dulu besar tapi sekarang langka, banyak rumah dibangun gaya Melayu dengan bahan modern dan tradisional.
Meskipun lebih luas, lebih baik ventilasi, lebih terang, dan lebih murah untuk dibangun, jabu dianggap lebih bergengsi. Namun, di tempat-tempat di mana jabu masih dihuni, mereka sekarang biasanya rumah tangga tunggal yang lebih kecil. Jabu sekarang lebih aman dengan akses melalui tangga kayu depan rumah. Gudang beras Batak Toba juga dibangun serupa. Beras disimpan di atap dengan enam tiang kayu besar yang dilengkapi dengan lingkaran kayu untuk mencegah tikus masuk. Platform terbuka di bawah atap digunakan sebagai ruang kerja, penyimpanan, dan tempat istirahat. Gudang beras jarang digunakan sebagai penyimpanan biji-bijian, banyak yang telah diubah menjadi area tinggal dengan memagari bagian luar antara struktur dasar dan atap dan menambah pintu.
Arsitektur Karo
Rumah adat Karo, yang dikenal sebagai 'Siwaluh Jabu', sama seperti Rumah Aceh, berorientasi Utara-Selatan, mungkin untuk perlindungan dari matahari. Rumah adat Karo adalah rumah panjang, untuk hunian beberapa keluarga, hingga dua belas keluarga di beberapa daerah, meskipun biasanya delapan. Sebuah rumah panjang Karo akan besar, untuk menampung begitu banyak keluarga, dan dibangun di atas tiang.
Rumah-rumah tersebut dibangun dari kayu, dan bambu, menggunakan serat ijuk untuk mengikat (tanpa menggunakan paku atau sekrup) dan untuk atap rumbia. Desainnya secara alami tahan gempa. Untuk memilih lokasi yang cocok untuk rumah, guru (dukun) akan dikonsultasikan, yang akan menentukan apakah tanah itu buruk atau baik. Sebidang tanah akan ditandai dengan daun kelapa, dan penduduk desa lainnya diberi waktu empat hari untuk keberatan terhadap konstruksi yang diusulkan.
Setelah masa empat hari berlalu, lubang digali di tengah tanah, di mana pisau, daun sirih, dan beras diletakkan. Guru dan kalimbubu serta anak beru akan melakukan ritual untuk menentukan bahwa tanah itu cocok. Setelah lokasi siap, upacara tujuh hari dilakukan, dengan berkonsultasi kepada roh-roh hutan (untuk kayu) dan mengatur pembayaran bagi para pengrajin yang bertanggung jawab atas dekorasi rumah.
Semua penduduk desa kemudian akan mendirikan tiang-tiang yang menopang rumah, setelah itu mereka akan makan bersama. Warna yang digunakan dalam desain Karo adalah merah, putih, dan hitam. Merah melambangkan semangat hidup, hitam adalah warna kematian, ketidaktahuan manusia akan kehendak Dibata (Tuhan), dan putih, warna kekudusan Tuhan.
Ornamen adalah hal yang mendasar dalam rumah Karo, dengan tanduk kerbau menjadi dekorasi penting dari rumah adat, dan dua tanduk yang dicat putih dipasang di setiap ujung atap. Ornamen dalam rumah Karo secara tradisional berfungsi untuk melindungi penghuni dari roh jahat, dan untuk menunjukkan status pemiliknya. Dengan meredupnya kepercayaan keagamaan tradisional, mereka sekarang sebagian besar hanya bersifat dekoratif dan sebagai pengingat akan tradisi budaya masa lalu.
Disadur dari: en.wikipedia.org
Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 13 Maret 2025
Rumah adat adalah rumah konvensional yang dibangun dengan gaya arsitektur vernakular Indonesia, yang secara kolektif memiliki tempat pada arsitektur Austronesia. Rumah-rumah dan pemukiman konvensional dari beberapa ratus suku bangsa di Indonesia telah mengalami banyak perubahan dan semuanya memiliki sejarah tersendiri. Ini adalah variasi Indonesia dari teknik Austronesia yang lengkap yang ditemukan di seluruh tempat yang diduduki oleh orang-orang Austronesia dari Pasifik hingga Madagaskar yang masing-masing memiliki sejarah, budaya, dan mode.
Kelompok-kelompok etnis di Indonesia sering dikaitkan dengan klaim mereka yang tidak salah lagi yaitu rumah adat. Rumah-rumah tersebut berada di tengah-tengah jaringan tradisi, hubungan sosial, hukum konvensional, tabu, mitos, dan agama yang mengikat penduduk desa bersama-sama. Rumah menjadi pusat bagi keluarga dan komunitasnya, dan menjadi titik tolak berbagai kegiatan penghuninya. Penduduk desa membangun rumah klaim mereka, atau sebuah komunitas mengumpulkan asetnya untuk sebuah struktur yang dibangun di bawah arahan seorang ahli bangunan atau tukang kayu.
Sebagian besar penduduk Indonesia tidak tinggal di rumah adat, dan jumlahnya menurun dengan cepat karena perubahan finansial, mekanis, dan sosial.
Bentuk umum
Rumah-rumah tradisional di Indonesia, dengan sedikit pengecualian, memiliki kesamaan ciri-ciri karena nenek moyang Austronesia atau hubungannya dengan Sundalandia, sebuah wilayah cekung di Asia Tenggara. Rumah-rumah ini biasanya menampilkan konstruksi kayu dan struktur atap yang rumit. Bangunan Austronesia awal merupakan rumah panjang komunal yang berbentuk panggung, ditandai dengan atap miring yang curam dan atap pelana yang berat, seperti yang terlihat pada rumah adat Batak dan Tongkonan Toraja. Variasi serupa dari rumah panjang komunal juga ditemukan di antara masyarakat Dayak di Kalimantan dan masyarakat Mentawai.
Sistem struktur pada umumnya melibatkan tiang, balok, dan ambang pintu yang memikul beban langsung ke tanah, dengan dinding terbuat dari kayu atau bambu yang tidak menahan beban. Teknik pertukangan kayu tradisional seperti sambungan tanggam dan duri, serta pasak kayu, digunakan sebagai pengganti paku. Bahan alami seperti kayu, bambu, jerami, dan ijuk biasa digunakan dalam pembangunan rumah adat. Kayu keras yang kokoh sering digunakan untuk tiang pancang, sedangkan kombinasi kayu lunak dan keras digunakan untuk dinding bagian atas tanpa beban, yang biasanya terbuat dari kayu ringan atau jerami. Bahan ilalang dapat berupa daun kelapa dan daun enau, rumput alang alang, dan jerami padi.
Tempat tinggal tradisional ini dirancang untuk beradaptasi dengan iklim monsun yang panas dan basah di Indonesia. Kebanyakan rumah adat dibangun di atas panggung, kecuali di Jawa, Bali, dan wilayah lain di Indonesia Timur. Meninggikan rumah panggung mempunyai beberapa tujuan, termasuk mengatur suhu tropis, melindungi dari limpasan air hujan dan lumpur, memungkinkan pembangunan di area lahan basah, mencegah kelembapan dan kelembapan, mengurangi risiko nyamuk pembawa malaria, dan meminimalkan kerusakan akibat busuk kering dan rayap. Atap yang miring dan curam memudahkan limpasan air hujan dengan cepat, sedangkan atap besar yang menjorok menghalangi masuknya air dan memberikan keteduhan. Di daerah pesisir, rumah sering kali memiliki banyak jendela untuk ventilasi silang, sedangkan rumah di daerah pegunungan yang lebih sejuk biasanya memiliki atap yang luas dan jendela yang lebih sedikit.
Contoh-contoh rumah tradisional Indonesia antara lain:
Contoh gambar
Kemunduran Rumah Adat
Kemunduran rumah adat di seluruh Indonesia dimulai pada masa kolonial, ketika pemerintah Belanda menganggap arsitektur tradisional tidak higienis dan tidak sesuai dengan standar modern. Rumah multi-keluarga tidak disukai oleh otoritas agama, sehingga menyebabkan program pembongkaran besar-besaran di beberapa daerah. Otoritas kolonial mengganti rumah tradisional dengan konstruksi gaya Barat yang menggunakan batu bata dan atap besi bergelombang, sehingga meningkatkan sanitasi dan ventilasi yang lebih baik. Pengrajin tradisional dilatih teknik bangunan Barat.
Sejak kemerdekaan, pemerintah Indonesia lebih memilih mempromosikan 'rumah sederhana sehat' dibandingkan rumah adat. Pergeseran ke arah ekonomi pasar membuat pembangunan rumah adat yang bersifat padat karya menjadi mahal, terutama dengan menipisnya sumber daya kayu keras akibat penggundulan hutan dan pertumbuhan penduduk. Akibatnya, mayoritas masyarakat Indonesia kini tinggal di bangunan modern dibandingkan rumah adat tradisional.
Di daerah yang banyak dikunjungi wisatawan seperti Tanah Toraja, rumah adat dipertahankan sebagai tempat wisata, namun bekas penghuninya sering kali tinggal di tempat lain. Namun di daerah terpencil, beberapa rumah adat masih ada, sedangkan di daerah lain, bangunan bergaya rumah adat dipertahankan untuk keperluan upacara atau resmi.
Adaptasi kontemporer
Pada masa kolonial Hindia Belanda, gaya rumah adat Indonesia sengaja diciptakan kembali dan ditiru untuk mewakili keragaman budaya koloni. Acara meriah seperti Pasar Gambir tahunan menampilkan paviliun dan bangunan yang dibangun dengan gaya rumah adat dari berbagai daerah di nusantara. Demikian pula, paviliun kolonial Belanda pada Pameran Kolonial Paris tahun 1931 memamerkan sintesis arsitektur vernakular Indonesia, yang menggabungkan unsur-unsur dari berbagai budaya di Hindia Belanda.
Saat ini, bangunan modern terkadang memasukkan unsur gaya dari rumah adat, seperti Rumah Panca Indera di Belanda, yang meniru model rumah gadang Minangkabau. Beberapa orang Eropa pada masa kolonial juga membangun rumah dengan desain hibrida adat Barat.
Di banyak tempat, elemen atau ornamen rumah adat telah menjadi bagian dari identitas daerah, sehingga bangunan pemerintahan dan publik didorong untuk menampilkan elemen arsitektur asli tersebut. Meski dibangun menggunakan teknik kontemporer seperti rangka beton dan dinding bata, bangunan ini sering kali menggunakan atap tradisional, seperti bagonjong Minang atau tongkonan Toraja, yang memberikan perpaduan estetika modern dan tradisional.
Namun, pembangunan rumah adat modern berbingkai beton dan berdinding bata telah menimbulkan kekhawatiran akan ketahanan terhadap gempa. Rumah kayu tradisional umumnya lebih tahan terhadap gempa bumi, sedangkan struktur beton dapat runtuh akibat tekanan gempa, seperti yang terjadi pada gempa Padang tahun 2009. Beberapa komunitas telah mengadopsi konsep rumah adat 'semi-modern', yang menggabungkan elemen tradisional dengan cangkang beton untuk mengatasi permasalahan ini.
Disadur dari: en.wikipedia.org
Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 13 Maret 2025
Rumah Gadang, juga dikenal sebagai Rumah Bagonjong, adalah rumah adat tradisional orang Minangkabau di Sumatera Barat, Indonesia. Desain, konstruksi, dekorasi dalam dan luar, serta fungsi rumah tersebut mencerminkan budaya dan nilai-nilai masyarakat Minangkabau. Rumah Gadang berfungsi sebagai tempat tinggal, ruang pertemuan keluarga, dan untuk kegiatan seremonial. Di dalam masyarakat matrilineal Minangkabau, Rumah Gadang dimiliki oleh perempuan yang tinggal di sana; kepemilikan dialihkan dari ibu kepada anak perempuan.
Rumah-rumah ini memiliki struktur atap melengkung dramatis dengan puncak bertingkat, membentuk gonjong yang menyerupai tanduk. Jendela-jendela tertutup dibangun ke dalam dinding yang diukir dengan ukiran bunga yang kaya dan dihias dengan lukisan. Istilah Rumah Gadang biasanya merujuk kepada rumah komunal yang lebih besar, namun rumah-rumah kecil juga memiliki banyak elemen arsitektur yang sama.
Di Sumatera Barat, Rumah Gadang tradisional mencerminkan masyarakat Minangkabau, dan telah menjadi simbol budaya Minangkabau dan Sumatera Barat. Di seluruh wilayah, berbagai bangunan menggambarkan elemen-elemen desain Rumah Gadang, mulai dari struktur kayu vernakular yang dibangun untuk upacara adat, hingga bangunan modern seperti kantor pemerintah dan fasilitas umum. Saat ini, elemen arsitektur Rumah Gadang, terutama atap melengkungnya yang menyerupai tanduk, dapat ditemukan dalam bangunan modern, seperti kantor pemerintahan, pasar, hotel, fasad restoran di Padang, dan Bandara Internasional Minangkabau. Istano Basa, bagaimanapun, adalah contoh terbesar dan paling indah dari gaya tradisional ini.
Latar Belakang Rumah Gadang
Sumatera, pulau terbesar keenam di dunia, telah lama dikenal sebagai "pulau emas" karena sumber dayanya yang melimpah, termasuk teh, lada, karet, minyak, timah, dan mineral lainnya. Meskipun menghadapi deforestasi berskala besar, Sumatera masih memiliki jutaan hektar hutan hujan yang belum terjamah, yang menyediakan bahan bangunan penting. Namun, pasokan pohon kayu keras yang diperlukan untuk konstruksi ekstensif sekarang sangat terbatas.
Pulau ini merupakan rumah bagi beragam masyarakat, yang tercermin dalam berbagai rumah tradisional yang dikenal sebagai rumah adat. Rumah-rumah ini biasanya dibangun dari bahan-bahan lokal, dengan atap yang miring dan ditinggikan di atas panggung. Di antara gaya yang terkenal adalah rumah gadang Minangkabau, rumah jabu berbentuk perahu milik orang Batak di wilayah Danau Toba, dan rumah omo sebua yang ditegakkan oleh orang Nias.
Suku Minangkabau, yang merupakan penduduk asli Sumatera Tengah, memiliki budaya matrilineal di mana harta benda diwariskan dari ibu ke anak perempuannya, sementara urusan agama dan politik didominasi oleh kaum pria. Meskipun sangat Islami, mereka juga menganut tradisi etnis atau adat, yang berasal dari kepercayaan animisme dan Hindu-Buddha. Wanita biasanya memiliki properti, dan suami hanya diperbolehkan berada di dalam rumah dalam kondisi tertentu, dan sering kali kembali ke rumah saudara perempuan mereka untuk tidur. Banyak pria yang merantau, bepergian ke luar negeri untuk bekerja dan mengirimkan uang kembali ke rumah untuk pembangunan rumah adat yang baru.
Bentuk Rumah Gadang
Rumah Gadang, atau Rumah Bagonjong, adalah rumah adat tradisional orang Minangkabau di Sumatera Barat, Indonesia. Bangunan ini mencerminkan budaya dan nilai-nilai masyarakat Minangkabau. Rumah Gadang berfungsi sebagai tempat tinggal, ruang pertemuan keluarga, dan untuk kegiatan seremonial. Dalam masyarakat matrilineal Minangkabau, rumah ini dimiliki oleh perempuan yang tinggal di sana, dengan kepemilikan dialihkan dari ibu kepada anak perempuan.
Rumah Gadang memiliki atap melengkung dengan puncak bertingkat, membentuk ujung yang menyerupai tanduk kerbau. Biasanya memiliki tiga proyeksi bertingkat dengan tingkat lantai yang bervariasi. Bangunan ini didukung oleh tiang kayu yang tingginya bisa mencapai 3 meter dari permukaan tanah, seringkali dengan sebuah serambi di depan rumah yang digunakan sebagai area resepsi, ruang makan, dan tempat tidur untuk tamu. Berbeda dengan rumah-rumah Batak Toba yang atapnya menciptakan ruang tinggal, atap rumah Minangkabau ini beristirahat pada dinding konvensional. Area memasak dan penyimpanan seringkali berada di bangunan terpisah.
Material utama bangunan ini adalah kayu, dengan pengecualian dinding belakang yang terbuat dari anyaman bambu. Atapnya terdiri dari konstruksi kerangka dan balok silang, biasanya ditutupi dengan daun lontar yang kuat dan dikatakan tahan hingga seratus tahun. Ornamen atap terbuat dari anyaman daun lontar yang diikat dengan hiasan logam, membentuk puncak yang menyerupai tanduk kerbau. Tiang-tiang rumah disusun dalam lima baris yang membagi ruangan dalam menjadi empat ruang panjang yang disebut lanjar.
Rumah Gadang secara tradisional dihiasi dengan motif ukiran kayu yang mencerminkan adat dan budaya Minangkabau. Motif-motifnya meliputi desain bunga yang melimpah, seringkali didasarkan pada struktur geometris sederhana. Motif-motif ini didasarkan pada konsep estetika Minangkabau yang merupakan bagian dari pandangan dunia mereka, di mana ekspresi selalu didasarkan pada lingkungan alam. Ada sekitar 94 motif yang ditemukan pada rumah gadang, termasuk motif flora, fauna, dan manusia.
Rumah Gadang memiliki variasi desain, seperti koto piliang yang mencerminkan struktur sosial aristokratik, dan bodi caniago yang mencerminkan struktur sosial demokratis. Bangunan-bangunan ini juga diadopsi dalam berbagai bangunan modern, seperti kantor pemerintahan dan rumah-rumah modern. Meskipun demikian, pengaruh Islam yang lebih ortodoks telah membawa variasi, seperti modifikasi pada tata letak interior. Di Negeri Sembilan, pemukiman Minangkabau telah mengadopsi konstruksi atap gaya Melayu, namun masih dianggap sebagai bangunan yang anggun dan indah.
Disadur dari: en.wikipedia.org
Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 13 Maret 2025
Desain vernakular, juga dikenal sebagai arsitektur rakyat atau arsitektur tradisional, mengacu pada praktik bangunan yang dilakukan tanpa bimbingan profesional atau kepatuhan terhadap konvensi ilmiah. Ini mencakup berbagai jenis bangunan dari seluruh dunia, baik bersejarah maupun kontemporer, dan mencakup beragam metode konstruksi. Arsitektur vernakular merupakan sebagian besar lingkungan binaan di dunia, yang mencerminkan kebutuhan lokal, material yang tersedia, dan tradisi budaya.
Studi arsitektur vernakular berfokus pada keterampilan desain dan tradisi pembangun lokal daripada arsitek yang terlatih secara formal. Baru-baru ini, terdapat minat untuk mengkaji arsitektur vernakular untuk mengetahui efisiensi dan keberlanjutan energinya, selaras dengan praktik desain dan konstruksi modern.
Namun, mendefinisikan arsitektur vernakular secara tepat terbukti menantang, dan masih terdapat perdebatan di kalangan pakar mengenai batasannya. Hal ini sering digambarkan dalam istilah-istilah negatif, seperti fashion yang tidak bermutu, biasa-biasa saja, atau tidak canggih, meskipun beberapa menggunakan istilah-istilah seperti tradisional atau biasa. Arsitektur vernakular biasanya diabaikan dalam sejarah desain konvensional karena kurangnya gaya tertentu atau karakteristik yang mudah diidentifikasi.
Bangunan vernakular dianggap sebagai ekspresi budaya, yang mencerminkan identitas lokal, regional, atau etnis, dan dipandang sebagai artefak sosial dan juga sebagai artefak arsitektur.
Evolusi frasa
Istilah vernakular berarti 'domestik, asli, pribumi', berasal dari kata verna yang berarti 'budak asli' atau 'budak yang lahir di rumah'. Kemungkinan kata tersebut berasal dari kata Etruscan yang lebih tua. Kata tersebut dipinjam dari bidang linguistik, di mana vernakular mengacu pada penggunaan bahasa yang khas untuk suatu waktu, tempat, atau kelompok.
Penggunaan frasa ini dapat ditelusuri setidaknya sejak tahun 1857, ketika digunakan oleh Sir George Gilbert Scott dalam bab pertama bukunya "Remarks on Secular & Domestic Architecture, Present & Future", serta dalam makalah yang dibacakan di sebuah masyarakat arsitektur di Leicester pada bulan Oktober tahun tersebut. Scott menggunakan istilah ini sebagai ejekan untuk merujuk pada "arsitektur yang berlaku" di Inggris pada saat itu, dibandingkan dengan gaya Gothic yang ingin dia perkenalkan. Dalam kategori "vernakular" ini, Scott termasuk St Paul's Cathedral, Greenwich Hospital, London, dan Castle Howard, meskipun mengakui kebangsawanan relatif mereka.
Istilah ini dipopulerkan dengan konotasi positif dalam pameran tahun 1964 di Museum of Modern Art, New York, yang dirancang oleh arsitek Bernard Rudofsky, dengan buku berikutnya yang berjudul Architecture Without Architects. Pameran tersebut menampilkan fotografi hitam-putih dramatis dari bangunan vernakular di seluruh dunia, dan Rudofsky membawa konsep ini ke mata publik dan arsitektur mainstream. Dia juga menjaga definisi longgar, dan menulis bahwa pameran tersebut "berusaha untuk memecahkan konsep sempit kita tentang seni bangunan dengan memperkenalkan dunia yang tidak biasa dari arsitektur nonpedigree." Buku tersebut mengingatkan akan legitimasi dan pengetahuan yang ada dalam bangunan vernakular, dari gua-gua garam Polandia hingga roda air raksasa di Suriah hingga benteng-benteng gurun Maroko, dan dianggap kontroversial pada saat itu.
Istilah "vernakular komersial" menjadi populer pada akhir tahun 1960-an melalui publikasi Learning from Las Vegas oleh Robert Venturi dan Denise Scott Brown, yang merujuk pada arsitektur pinggiran kota dan komersial Amerika abad ke-20. Meskipun arsitektur vernakular mungkin dirancang oleh orang-orang yang memiliki pelatihan dalam desain, pada tahun 1971 Ronald Brunskill mendefinisikan arsitektur vernakular sebagai bangunan yang dirancang oleh seorang amatir tanpa pelatihan dalam desain, yang dipandu oleh serangkaian konvensi yang dibangun di lokasinya, dengan sedikit memperhatikan mode. Fungsi bangunan menjadi faktor dominan, sementara pertimbangan estetika minimal. Bahan lokal digunakan secara alami, sementara bahan lain dipilih dan diimpor secara terbatas.
Menurut Ensiklopedia Arsitektur Vernakular Dunia yang disunting pada tahun 1997 oleh Paul Oliver dari Oxford Institute for Sustainable Development, arsitektur vernakular terdiri dari tempat tinggal dan semua bangunan lain dari rakyat, yang dibangun sesuai dengan konteks lingkungan dan sumber daya yang tersedia mereka, dengan menggunakan teknologi tradisional dan memenuhi kebutuhan spesifik dari budaya yang memproduksinya.
Pada tahun 2007, Allen Noble menulis diskusi panjang tentang istilah yang relevan, dan menyimpulkan bahwa "arsitektur rakyat" dibangun oleh orang-orang yang tidak memiliki pelatihan profesional dalam seni bangunan. "Arsitektur vernakular" adalah bangunan yang berasal dari masyarakat umum, tetapi mungkin dibangun oleh profesional yang terlatih, menggunakan desain dan bahan lokal yang tradisional. "Arsitektur tradisional" adalah arsitektur yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, terutama secara lisan, dan "arsitektur primitif" adalah istilah yang kurang disarankan untuk digunakan. Istilah "arsitektur populer" digunakan lebih banyak di Eropa Timur dan merupakan sinonim dari arsitektur rakyat atau vernakular.
Vernakular dan arsitek
Rekayasa yang dirancang oleh para perencana terlatih seringkali tidak dianggap sebagai vernakular. Bahkan, dapat diperdebatkan bahwa proses yang sangat disengaja dalam merancang sebuah bangunan membuatnya bukanlah vernakular. Paul Oliver, dalam bukunya yang berjudul Residences, menyatakan bahwa "arsitektur populer" yang dirancang oleh perancang profesional atau pembangun komersial untuk penggunaan umum, tidak masuk dalam lingkup vernakular. Oliver juga menawarkan definisi sederhana berikut dari arsitektur vernakular: "desain dari masyarakat, dan oleh masyarakat, tetapi tidak untuk masyarakat."
Frank Lloyd Wright menggambarkan arsitektur vernakular sebagai "bangunan masyarakat yang berkembang sebagai respons terhadap kebutuhan nyata, disesuaikan dengan lingkungan oleh orang-orang yang tidak tahu cara lain selain menyesuaikannya dengan perasaan lokal." Ini mengisyaratkan bahwa itu adalah bentuk primitif dari desain, tanpa pemikiran yang cermat, tetapi dia juga menyatakan bahwa itu "lebih berharga bagi kita untuk mempertimbangkan daripada semua upaya intelektual yang sangat disadari secara tinggi di Eropa."
Sejak gerakan Arsitektur dan Seni Rupa, banyak arsitek modern yang telah mempelajari bangunan vernakular dan mengklaim mendapatkan inspirasi dari mereka, termasuk aspek-aspek vernakular dalam desain mereka. Pada tahun 1946, arsitek Mesir Hassan Fathy ditugaskan untuk merancang desa Modern Gourna dekat Luxor. Setelah mempelajari pemukiman dan teknologi tradisional Nubia, ia menggabungkan kubah bata lumpur tradisional dari pemukiman Nubia dalam desainnya. Namun, upaya ini gagal karena berbagai alasan sosial dan ekonomi.
Arsitek Sri Lanka, Geoffrey Bawa, dianggap sebagai perintis teknologi regional di Asia Selatan. Bersama dengannya, pendukung modern penggunaan vernakular dalam desain arsitektur termasuk Charles Correa, arsitek India terkenal; Muzharul Islam dan Bashirul Haq, arsitek Bangladesh yang dikenal secara internasional; Balkrishna Doshi, arsitek India lainnya, yang mendirikan Vastu-Shilpa Institute di Ahmedabad untuk meneliti arsitektur vernakular di wilayah tersebut; dan Sheila Sri Prakash yang telah menggunakan arsitektur India pedesaan sebagai inspirasi untuk pembangunan dalam desain dan perencanaan yang ramah lingkungan dan sosio-ekonomi.
Oliver mengklaim bahwa meskipun belum ada disiplin yang jelas dan teknis untuk mempelajari tempat tinggal atau lingkup arsitektur vernakular, arsitektur vernakular menjadi semakin populer sebagai contoh arsitektur yang berkelanjutan. Desain komplementer modern banyak dipengaruhi oleh arsitektur vernakular.
Disadur dari: en.wikipedia.org