Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Tantangan Investasi Air di Era Krisis dan Ketidakpastian
Krisis air global semakin nyata, ditandai dengan kekeringan, banjir, polusi, dan tekanan perubahan iklim yang mengancam keberlanjutan pasokan air bersih. Di Eropa dan dunia, kebutuhan investasi infrastruktur air—baik untuk suplai, sanitasi, irigasi, maupun pengendalian banjir—terus meningkat, sementara sumber pembiayaan publik semakin terbatas, dan biaya modal naik. Paper OECD “Water Investment Planning and Financing” (Helen Laubenstein & Xavier Leflaive, 2024) membedah bagaimana perencanaan investasi air yang strategis, adaptif, dan berbasis pathway dapat meningkatkan efisiensi, ketahanan, dan daya tarik sektor air bagi pembiayaan swasta. Artikel ini sangat relevan di tengah tren global perubahan iklim, urbanisasi, dan kebutuhan akan kolaborasi lintas sektor untuk mencapai target SDG 6 (air bersih dan sanitasi).
Latar Belakang: Skala Tantangan dan Kebutuhan Investasi
Angka-angka Kunci
Perencanaan Investasi dalam Ketidakpastian: Dari Risiko ke Resiliensi
1. Resilience Thinking dan Adaptive Planning
Tradisi lama perencanaan air mengandalkan pendekatan risk-based, yakni membangun infrastruktur tangguh menghadapi skenario ekstrem berdasarkan data historis. Namun, perubahan iklim dan dinamika sosial-ekonomi membuat pola lama tak lagi relevan. Paper ini menekankan pentingnya resilience-based approach: membangun sistem air yang adaptif, mampu pulih dari gangguan, dan fleksibel menghadapi masa depan yang tidak pasti.
Studi Kasus: Delta Programme, Belanda
Belanda mengembangkan Delta Programme dengan horizon perencanaan hingga 2100, didukung Delta Fund (rata-rata EUR 1,4 miliar/tahun untuk 2022–2035). Program ini mengintegrasikan pengelolaan banjir, suplai air, dan perencanaan spasial, serta mengadopsi prinsip solidaritas, fleksibilitas, dan keberlanjutan. Anggaran dialokasikan adaptif, dengan EUR 309 juta pada 2034 untuk prioritas baru yang muncul.
Studi Kasus: Water Resources Strategy, Inggris & Wales
Inggris menggunakan skenario berbasis tata kelola dan permintaan, dikombinasikan proyeksi iklim untuk tiap river basin. Penilaian kebutuhan e-flows (environmental flows) menjadi kunci dalam menentukan berapa banyak air yang harus tetap tersedia untuk ekologi sungai, bukan hanya kebutuhan manusia.
2. Integrasi Iklim dan Ketidakpastian dalam Perencanaan
Banyak negara Eropa belum sepenuhnya memasukkan proyeksi perubahan iklim dalam RBMPs mereka. Hanya sekitar setengah negara yang memasukkan kekeringan sebagai faktor utama, dan sedikit yang punya Drought Management Plans. Analisis biaya-manfaat sering hanya menghitung “avoided damage”, jarang memasukkan nilai ekosistem dan co-benefits dari solusi berbasis alam (nature-based solutions/NbS).
Dari Proyek ke Pathway: Paradigma Baru Investasi Air
1. Pentingnya Investment Pathways
Pendekatan tradisional yang hanya fokus pada proyek individual sering gagal menangkap sinergi, eksternalitas, dan manfaat jangka panjang. Strategic Investment Pathways (SIPs) adalah rangkaian investasi yang dirancang dan dikelola secara adaptif, memperhitungkan urutan, sinergi, dan dampak agregat dari berbagai proyek dalam satu sistem air.
Studi Kasus Global
2. Lima Langkah SIPs
3. Analitik dan Tools Pendukung
Pembiayaan: Menutup Gap dengan Inovasi dan Kolaborasi
1. Tantangan Pembiayaan
2. Solusi dan Inovasi Pembiayaan
a. Monetisasi Manfaat dan Revenue Stream
b. Blended Finance dan De-risking
c. Peran Intermediaries dan Platform
d. Asuransi dan Risk Financing
Studi Kasus dan Angka-angka
Analisis Kritis dan Perbandingan
Kelebihan Paper
Kritik dan Tantangan
Hubungan dengan Tren Global
Rekomendasi Kebijakan dan Implikasi Industri
Kesimpulan: Masa Depan Investasi Air – Adaptif, Inovatif, dan Kolaboratif
Paper ini menegaskan bahwa investasi air di era ketidakpastian membutuhkan pendekatan baru yang adaptif, berbasis pathway, dan kolaboratif. Dengan SIPs, negara dan pelaku industri dapat merancang portofolio investasi yang tangguh, efisien, dan menarik bagi pembiayaan swasta. Inovasi instrumen keuangan, penguatan enabling environment, dan integrasi kebijakan lintas sektor adalah kunci menuju sistem air yang berkelanjutan. Tanpa transformasi ini, gap investasi dan risiko sistemik akan terus membesar. Namun, dengan strategi yang tepat, masa depan air yang tangguh dan inklusif sangat mungkin diwujudkan.
Sumber Artikel
Helen Laubenstein, Xavier Leflaive. Water investment planning and financing. OECD Environment Working Paper No. 237, ENV/WKP(2024)7, Organisation for Economic Co-operation and Development, 2024.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Krisis Kelangkaan Air di Eropa dan Tantangan Ekonomi Global
Air adalah sumber daya vital yang semakin langka di banyak kawasan dunia, termasuk Eropa. Paper “The Economics of Water Scarcity” karya Xavier Leflaive dari OECD ini membedah secara komprehensif status ketersediaan air, permintaan, dan pengaruh perubahan iklim di Uni Eropa (UE). Dengan menyoroti instrumen ekonomi, kebijakan, serta studi kasus nyata, paper ini menawarkan analisis mendalam tentang bagaimana kelangkaan air dapat dikelola secara efektif melalui kombinasi kebijakan permintaan, alokasi, dan insentif harga. Artikel ini sangat relevan di tengah tren global perubahan iklim, urbanisasi, dan tekanan pada sumber daya air yang semakin intens.
Status Ketersediaan dan Permintaan Air di Eropa: Angka dan Fakta Kunci
Ketersediaan Air: Ketimpangan Regional dan Musiman
Eropa secara umum memiliki sumber air tawar melimpah, namun distribusinya sangat tidak merata. Negara seperti Kroasia, Finlandia, Norwegia, dan Swedia memiliki ketersediaan air per kapita di atas 10.000 m³/tahun, sementara Siprus, Ceko, Malta, dan Polandia sudah masuk kategori water stress dengan ketersediaan di bawah 1.700 m³/kapita/tahun. Di beberapa negara seperti Denmark, lebih dari 99% air yang digunakan berasal dari air tanah, sedangkan Malta sangat bergantung pada air laut yang didesalinasi.
Permintaan Air: Dominasi Sektor Pertanian dan Energi
Dampak Perubahan Iklim: Stres Air dan Kerugian Ekonomi
Studi Kasus: Kebijakan dan Praktik Pengelolaan Air di Eropa dan Dunia
Studi Kasus 1: Efektivitas Harga dan Elastisitas Permintaan Air
Studi Kasus 2: Pengelolaan Air Pertanian dan Kolektif di Prancis
Studi Kasus 3: Inovasi Water Reuse di Israel
Studi Kasus 4: Nature-Based Solutions (NbS) di Polandia
Instrumen Ekonomi dan Kebijakan Pengelolaan Kelangkaan Air
1. Manajemen Permintaan: Kombinasi Harga dan Non-Harga
2. Augmentasi Pasokan: Reuse, Desalinasi, dan NbS
3. Alokasi Air: Regime yang Adaptif dan Berkeadilan
4. Abstraction Charges: Insentif Ekonomi dan Tantangan Implementasi
5. Agro-environmental Schemes dan Payment for Ecosystem Services (PES)
Analisis Kritis dan Nilai Tambah
Kelebihan Paper
Kritik dan Tantangan
Hubungan dengan Tren Global
Paper ini sangat relevan dengan tren ekonomi sirkular, transisi energi bersih (yang justru meningkatkan kebutuhan air di beberapa sektor), dan integrasi kebijakan iklim-lingkungan. Prinsip nature-based solutions dan eco-schemes kini menjadi arus utama dalam kebijakan air dan pertanian global.
Rekomendasi Kebijakan dan Implikasi Industri
Kesimpulan: Menata Ulang Ekonomi Air untuk Masa Depan Berkelanjutan
Paper ini menegaskan bahwa kelangkaan air adalah tantangan multidimensi yang membutuhkan solusi ekonomi, teknis, dan sosial secara terpadu. Kebijakan harga, alokasi adaptif, inovasi reuse, dan nature-based solutions harus menjadi pilar utama pengelolaan air modern. Tanpa reformasi serius, Eropa (dan dunia) akan menghadapi risiko ekonomi, ekologi, dan sosial yang makin besar akibat kelangkaan air. Namun, dengan kombinasi kebijakan berbasis data dan insentif yang tepat, masa depan air yang berkelanjutan masih sangat mungkin diraih.
Sumber Artikel
Xavier Leflaive. The economics of water scarcity. OECD Environment Working Papers No. 239, ENV/WKP(2024)9, Organisation for Economic Co-operation and Development, 2024.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Air Tanah, Kunci Ketahanan di Asia Tengah
Air tanah di Asia Tengah, khususnya Uzbekistan, adalah sumber kehidupan yang menopang kebutuhan domestik, pertanian, dan industri di tengah iklim kering dan ketergantungan pada aliran sungai musiman dari gletser. Namun, pengelolaan air tanah di kawasan ini menghadapi tantangan besar: mulai dari over-ekstraksi, polusi, hingga kegagalan institusi dan lemahnya koordinasi antar lembaga. Paper karya Sylvia Schmidt, Ahmad Hamidov, dan Ulan Kasymov ini membedah kompleksitas tata kelola air tanah Uzbekistan dengan menggabungkan kerangka Social-Ecological Systems (SES) dan Informational Governance. Pendekatan ini menyoroti peran krusial informasi—atau seringnya, ketiadaan informasi—dalam keberhasilan atau kegagalan pengelolaan air tanah.
Kerangka Analisis: Integrasi SES dan Informational Governance
Penulis mengadaptasi kerangka SES Ostrom (2007) untuk menelaah interaksi manusia-lingkungan, dengan fokus pada subsistem: ekosistem terkait, pengaturan ekonomi dan sosial-politik, sistem sumber daya, unit sumber daya, aktor, interaksi, sistem tata kelola, dan outcome. Untuk memperdalam analisis, paper ini mengintegrasikan empat tema utama dari informational governance (Mol 2006):
Metodologi: Tinjauan Sistematis Literatur dan Studi Kasus Uzbekistan
Penelitian ini menggunakan tinjauan sistematis terhadap 54 sumber (artikel, laporan, bab buku) tentang tata kelola air tanah di Asia Tengah, dengan fokus khusus pada 14 sumber relevan untuk Uzbekistan. Analisis konten kualitatif digunakan untuk mengidentifikasi pola, tantangan, dan peluang dalam tata kelola serta penyebaran informasi air tanah.
Sumber Daya dan Penggunaan Air Tanah di Uzbekistan: Angka-angka Kunci
Studi Kasus: Tata Kelola Air Tanah dan Dampaknya
Aktor dan Interaksi
Aktor utama mencakup rumah tangga, petani, perusahaan industri, serta lembaga pemerintah dan lokal. Di tingkat komunitas, pengetahuan lokal (misal: “wise men” di mahalla) sering lebih diandalkan daripada pengetahuan teknis formal. Namun, interaksi antara aktor seringkali terhambat oleh keterbatasan akses informasi dan minimnya koordinasi.
Studi oleh Karimov dkk. (2022) menunjukkan bahwa irigasi berbasis air tanah memang menjamin ketepatan waktu penyiraman, namun membutuhkan biaya listrik dan tenaga kerja lebih tinggi dibanding irigasi gravitasi, sehingga petani didorong untuk efisiensi.
Sistem Tata Kelola: Regulasi, Monitoring, dan Sanksi
Kebijakan utama meliputi:
Namun, hanya sebagian kecil sumur yang terdaftar resmi. Banyak sumur didaftarkan ke pemerintah lokal atau penyedia listrik, bukan ke otoritas geologi nasional. Sumur kecil (<25 m, <5 m³/hari) tidak diatur secara formal.
Outcome: Over-ekstraksi, Salinisasi, dan Polusi
Informational Governance: Tantangan, Kesenjangan, dan Reformasi
Dinamika dan Mekanisme Informasi
Monitoring air tanah di Uzbekistan masih didominasi sistem negara yang sentralistik, berbasis sains alam, dan cenderung tertutup. Data tahunan hanya didistribusikan ke sekitar 40 lembaga pemerintah, tidak tersedia untuk publik. Sistem pelaporan formal dan informal berjalan paralel, menciptakan redundansi, inefisiensi, dan kebingungan.
Kekurangan data tentang penggunaan industri, tumpang tindih otoritas, dan menurunnya jumlah sumur observasi memperburuk ketidakpastian status air tanah. Distribusi sumur monitoring tidak merata, dan sering tidak cukup spesifik untuk kebutuhan lokal.
Ketidakpastian dan Multiple Knowledges
Variasi data antara sumur monitoring yang berdekatan menunjukkan adanya nugget variance (variabilitas kecil-skala) dan kemungkinan error pengukuran. Metode penilaian yang berbeda, kurangnya pertukaran informasi, serta adanya sistem pelaporan ganda menimbulkan “multiple knowledges” yang saling bertentangan. Hal ini menurunkan kepercayaan pengguna terhadap data dan menyulitkan perencanaan adaptasi.
Informasi tentang kondisi akuifer jarang tersedia bagi pengguna, sehingga masyarakat sulit mengambil tindakan kolektif atau adaptif. Pengetahuan lokal memang ada, namun sering tidak terintegrasi dengan data formal atau teknologi modern.
Power Constellations: Hierarki dan Monopoli Informasi
Penguasaan informasi oleh lembaga negara menciptakan hierarki dan monopoli, baik di tingkat nasional maupun lokal. Water Consumer Associations (WCA) yang seharusnya menjadi jembatan ke petani, justru lemah dalam pengambilan keputusan dan sering diintervensi pemerintah daerah. Sistem pewarisan otoritas dari era Soviet masih terasa, dengan dominasi negara dan minimnya ruang partisipasi masyarakat.
Ketergantungan pada ahli dan birokrasi memperkuat hierarki, sementara akses informal ke informasi hanya tersedia bagi mereka yang punya koneksi. Konflik kepentingan antara petani besar, industri, dan pengguna domestik sering tidak terselesaikan akibat lemahnya mekanisme koordinasi dan transparansi.
Desain Reformasi: Upaya dan Hambatan
Uzbekistan mulai menunjukkan minat pada reformasi tata kelola informasi air tanah, sejalan dengan tren global keterbukaan data dan Integrated Water Resources Management (IWRM). Beberapa langkah reformasi:
Namun, implementasi masih terbatas, koordinasi antarlembaga lemah, dan akses publik terhadap data tetap rendah. Monitoring dan penegakan hukum di sektor pertambangan dan pertanian masih perlu diperkuat.
Studi Kasus: Praktik Lokal dan Inovasi
Analisis Kritis dan Perbandingan
Kelebihan Paper
Kritik dan Tantangan
Hubungan dengan Tren Global
Paper ini sejalan dengan tren global menuju tata kelola air berbasis data terbuka, kolaborasi multi-pihak, dan integrasi teknologi digital. Praktik di Uzbekistan mencerminkan tantangan yang dihadapi banyak negara berkembang: ketergantungan pada sumber air tanah di tengah perubahan iklim, tekanan populasi, dan kebutuhan reformasi institusional.
Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan
Menuju Tata Kelola Air Tanah yang Adaptif dan Inklusif
Paper ini menegaskan bahwa keberhasilan tata kelola air tanah di Uzbekistan (dan Asia Tengah) sangat bergantung pada kualitas, keterbukaan, dan distribusi informasi. Tanpa perbaikan sistem informasi dan kolaborasi lintas aktor, risiko over-ekstraksi, polusi, dan konflik akan terus meningkat. Reformasi informational governance, integrasi pengetahuan lokal, dan digitalisasi adalah kunci menuju sistem air tanah yang tangguh dan berkelanjutan—sebuah pelajaran penting bagi negara-negara lain dengan tantangan serupa.
Sumber Artikel
Schmidt, S., Hamidov, A., & Kasymov, U. (2024). Analysing Groundwater Governance in Uzbekistan through the Lenses of Social-Ecological Systems and Informational Governance. International Journal of the Commons, 18(1), 203–217.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Sungai Brantas, Urat Nadi Sejarah dan Ekonomi Jawa Timur
Sungai Brantas bukan sekadar aliran air yang membelah Jawa Timur, melainkan juga saksi bisu perjalanan sejarah, ekonomi, dan budaya masyarakat di sekitarnya. Buku "Sungai Brantas dalam Sejarah dan Pariwisata" karya Endah Sri Hartatik dan Wasino menghadirkan narasi komprehensif tentang peran vital sungai ini dari masa kerajaan kuno, kolonialisme, hingga era modern. Dengan pendekatan sejarah dan studi kasus nyata, buku ini memperlihatkan bagaimana Brantas menjadi tulang punggung perdagangan, pertanian, dan kini bertransformasi menjadi daya tarik pariwisata.
Sungai Brantas Sebagai Jalur Perdagangan: Dari Kerajaan ke Kolonialisme
Masa Pra-Kolonial: Sungai sebagai Jalan Raya Peradaban
Sejak abad ke-8 Masehi, Sungai Brantas telah menjadi jalur utama penghubung pedalaman Jawa Timur dengan dunia luar. Prasasti Dinoyo (760 M) mencatat keberadaan kerajaan Medang di sekitar mata air Brantas di Batu, Malang. Sungai ini mengalir melewati Blitar, Kediri, hingga Mojokerto, lalu bercabang menjadi Kali Porong dan Kalimas, yang berujung di Surabaya. Di masa Sriwijaya, Brantas menjadi penghubung perdagangan antara Jawa dan Maluku, memperdagangkan beras dan rempah-rempah.
Pada masa Kerajaan Kediri, prasasti Pandelegan (1038 M) dan Waleri (1159 M) menegaskan pentingnya Brantas sebagai jalur niaga. Raja memberikan pembebasan pajak kepada desa-desa yang berperan dalam kelancaran perdagangan di sepanjang sungai. Prasasti Jaring (1181 M) bahkan menyebutkan pejabat Senapati Sarwajala, panglima angkatan laut, menandakan sungai ini juga strategis secara militer.
Masa Majapahit semakin mempertegas peran Brantas. Prasasti Gunung Butak (1294 M) menceritakan bagaimana Raden Wijaya memanfaatkan sungai ini untuk melarikan diri dari kejaran musuh. Prasasti Trowulan (1358 M) menyebutkan desa-desa penyeberangan di sepanjang Brantas yang dibebaskan pajak karena peran vitalnya dalam transportasi dan perdagangan. Catatan Tiongkok dari masa Laksamana Cheng Ho (1413 M) juga mengakui Surabaya sebagai pelabuhan air tawar di muara Brantas yang ramai oleh perahu dagang.
Masa Kolonial: Modernisasi dan Transformasi Ekonomi
Di bawah Belanda, Sungai Brantas dan cabangnya, khususnya Kalimas, menjadi urat nadi perdagangan dan transportasi. Surabaya berkembang sebagai pelabuhan utama, didukung oleh jaringan pelayaran sungai yang menghubungkan pedalaman dengan pelabuhan ekspor-impor. Pada abad ke-19, pelabuhan Kalimas dilengkapi fasilitas modern: dermaga sepanjang 2 km, 20 gudang, dan area penyimpanan seluas 30 hektar.
Pembangunan pelabuhan Surabaya (1911–1925) dengan anggaran f2.000.000,- menjadikannya pelabuhan paling efisien di Asia Tenggara. Data perdagangan menunjukkan surplus ekspor Surabaya mencapai puncak pada 1920, saat harga gula naik tajam, dengan nilai ekspor 447.558 ribu gulden dan impor 228.584 ribu gulden. Surplus perdagangan tahun itu hampir 1% dari total nilai perdagangan, angka yang belum pernah dicapai sebelumnya.
Sungai Brantas dan Pertanian: Irigasi, Modernisasi, dan Konflik
Masa Pra-Kolonial: Infrastruktur Tradisional dan Mitologi
Sejak abad ke-10, Brantas sudah menjadi sumber irigasi utama. Prasasti Turyan (929 M) dan Wulig (935 M) mencatat pembangunan bendungan dan saluran air untuk pertanian. Pada masa Airlangga (abad ke-11), pembangunan bendungan Waringin Sapto untuk mengendalikan banjir dan irigasi sawah menjadi prioritas. Prasasti Kusmala (1350 M) juga menyebut pembangunan empang batu untuk irigasi di daerah Kediri.
Mitologi Jawa, seperti kisah Mpu Bharada yang membelah tanah Jawa dengan kendi air, juga memperkuat posisi Brantas sebagai batas alam dan sumber kehidupan.
Masa Kolonial: Proyek Irigasi Raksasa dan Pengaruh Industri Gula
Kolonialisme Belanda membawa perubahan besar. Sejak Tanam Paksa (1830–1870), pembangunan irigasi menjadi prioritas untuk mendukung pertanian dan industri gula. Proyek Lengkong (1840–1890-an) menjadi salah satu yang terpenting, dengan biaya f10.000.000,- untuk mengairi 47.000 bahu sawah. Total proyek irigasi di Jawa hingga 1899 menelan dana f40.000.000,- dan mengairi lebih dari 1 juta bahu sawah.
Pabrik-pabrik gula berperan besar dalam pembiayaan dan pengelolaan irigasi. Pada 1910–1919, 86 perkebunan tebu mengeluarkan f5.643.336,- untuk irigasi. Waduk-waduk besar seperti Watudakon di Jombang-Mojokerto dan sistem kanal di Sidoarjo memperluas lahan pertanian dan meningkatkan produksi tebu.
Namun, sistem pembagian air sering menimbulkan konflik antara petani dan pengusaha tebu. Sistem "siang-malam" mengutamakan tebu pada siang hari dan petani pada malam hari, sering merugikan petani karena air sulit didapat. Data tahun 1933 menunjukkan dari 533 bahu sawah golongan keempat, 343 bahu (64%) gagal panen akibat sistem irigasi yang tidak adil.
Pasca Kemerdekaan: Rehabilitasi dan Proyek Serbaguna
Setelah kemerdekaan, warisan infrastruktur kolonial yang rusak akibat perang dan bencana alam, seperti letusan Gunung Kelud (1951), menuntut rehabilitasi besar-besaran. Pemerintah Indonesia meluncurkan proyek-proyek pengendalian banjir dan pembangunan bendungan, seperti Karangkates (1961–1973) dan Selorejo (1964–1973). Proyek-proyek ini tidak hanya untuk irigasi, tetapi juga pembangkit listrik, pengendalian banjir, dan penyediaan air baku.
Sungai Brantas untuk Pariwisata: Revitalisasi dan Potensi Ekonomi Baru
Wisata Sungai Kalimas di Surabaya
Di era modern, fungsi perdagangan dan transportasi Brantas menurun, namun potensinya sebagai destinasi wisata mulai digarap. Sungai Kalimas, anak cabang Brantas di Surabaya, menjadi fokus revitalisasi. Pemerintah Kota Surabaya bersama Balai Wilayah Sungai Brantas membuka wisata susur Kalimas, menawarkan pengalaman edukasi, sejarah, kuliner, dan belanja. Pengunjung dapat menikmati pemandangan pintu air kolonial, jembatan bersejarah, hingga monumen kapal selam.
Revitalisasi Kalimas juga melibatkan pembangunan taman-taman tematik di bantaran sungai, seperti Taman Prestasi, Taman Ekspresi, dan Taman BMX, yang menjadi ruang publik kreatif dan edukatif. Festival perahu dan event budaya di Kalimas menghidupkan kembali memori kejayaan sungai sebagai urat nadi kota.
Wisata Sungai Brantas di Malang
Di hulu, Kota Malang mengembangkan wisata pinggir Brantas dengan Festival Kali Brantas yang digelar setiap Hari Sungai Nasional. Acara seperti petik tirto amerto, parade kampung, dan pelepasan ikan endemik menjadi daya tarik tersendiri. Kampung tematik di bantaran Brantas juga menjadi destinasi wisata baru, menggabungkan edukasi lingkungan, seni, dan budaya lokal.
Potensi di Wilayah Lain
Kota-kota lain di sepanjang Brantas, seperti Blitar, Kediri, Mojokerto, dan Jombang, juga mulai mengembangkan wisata sungai dengan konsep heritage, ekowisata, dan festival budaya. Upaya ini tidak hanya meningkatkan ekonomi lokal, tetapi juga menumbuhkan kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian Brantas.
Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci
Analisis Kritis dan Nilai Tambah
Kelebihan Buku
Kritik dan Tantangan
Hubungan dengan Tren Industri dan Global
Revitalisasi sungai untuk pariwisata dan ruang publik kini menjadi tren di banyak kota dunia, dari Seoul (Cheonggyecheon) hingga Singapura (Singapore River). Upaya serupa di Brantas menunjukkan bahwa warisan sejarah dapat menjadi modal ekonomi baru jika dikelola berkelanjutan dan berbasis komunitas.
Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan
Brantas, Sungai Kehidupan yang Tak Pernah Padam
Buku ini membuktikan bahwa Sungai Brantas adalah urat nadi sejarah, ekonomi, dan budaya Jawa Timur. Dari jalur perdagangan kerajaan, tulang punggung pertanian kolonial, hingga destinasi wisata modern, Brantas terus bertransformasi mengikuti zaman. Tantangan masa depan adalah menjaga keberlanjutan sungai ini agar tetap menjadi sumber kehidupan dan inspirasi bagi generasi mendatang.
Sumber Artikel
Endah Sri Hartatik, Wasino. Sungai Brantas dalam Sejarah dan Pariwisata. Undip Press, 2022.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Air, Investasi, dan Tantangan Ketidakpastian
Di tengah perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan tekanan ekonomi, dunia menghadapi tantangan besar dalam memastikan sistem air yang tangguh dan berkelanjutan. Investasi infrastruktur air—mulai dari suplai, sanitasi, irigasi, hingga perlindungan banjir—memerlukan dana besar, umur panjang, dan harus mampu beradaptasi dengan ketidakpastian masa depan. Paper “Strategic Investment Pathways for Resilient Water Systems” karya Casey Brown dkk. menawarkan paradigma baru dalam perencanaan dan pembiayaan infrastruktur air, yaitu pendekatan Strategic Investment Pathways (SIPs). Pendekatan ini menekankan pentingnya perencanaan investasi yang adaptif, berbasis sistem, dan responsif terhadap risiko serta ketidakpastian iklim dan sosial.
Konsep Dasar: Apa Itu Resiliensi Sistem Air?
Resiliensi sistem air adalah kemampuan sistem untuk tetap menjalankan fungsi utamanya di tengah tekanan, gangguan, dan perubahan. Tiga pilar utama resiliensi menurut paper ini adalah:
Resiliensi tidak hanya soal infrastruktur, tapi juga mencakup aspek sosial (keterlibatan masyarakat, tata kelola, ekonomi air), ekologi (konektivitas hidrologi, keanekaragaman, kualitas air), dan teknologi (kapasitas infrastruktur, sistem manajemen, dan pengetahuan).
Tantangan Investasi Air: Dari Path Dependency ke Adaptasi
Investasi air tradisional sering terjebak dalam path dependency—ketergantungan pada kebijakan dan infrastruktur lama yang sulit diubah meski sudah tidak relevan dengan tantangan masa kini. Contoh klasik adalah pembangunan bendungan besar yang dulu dianggap solusi utama, namun kini justru menimbulkan masalah lingkungan dan sosial baru.
Pendekatan baru yang diusulkan adalah resilience-based approach, yaitu perencanaan dan investasi yang tidak hanya memperkuat pertahanan terhadap risiko, tetapi juga meningkatkan fleksibilitas dan kapasitas adaptasi sistem air.
Strategic Investment Pathways (SIPs): Kerangka dan Prinsip
Definisi dan Prinsip SIPs
SIPs adalah rangkaian investasi yang dirancang dan dikelola secara adaptif untuk memperkuat resiliensi sistem air dalam jangka panjang. Lima prinsip utama SIPs:
Pendekatan Analitik SIPs: Lima Langkah Menuju Investasi Tangguh
1. Menetapkan Sistem dan Tujuan
Langkah awal adalah mendefinisikan sistem air yang dianalisis, mencakup batas spasial (misal: satu DAS atau multi-basin), identifikasi pemangku kepentingan, dan penetapan tujuan serta indikator kinerja (misal: volume air, kualitas, jumlah penerima manfaat, pengurangan risiko banjir).
2. Evaluasi Opsi dan Stress Testing
Setiap opsi investasi dievaluasi melalui simulasi dan stress testing terhadap berbagai skenario masa depan (misal: perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, perubahan permintaan air). Evaluasi tidak hanya berdasarkan rata-rata kinerja, tapi juga ketahanan (robustness), kemampuan adaptasi, dan titik “sunset” di mana proyek harus diubah atau dihentikan.
Studi Kasus: Mexico City
Mexico City menghadapi krisis air akibat over-eksploitasi akuifer dan kebutuhan pasokan air alternatif. Pemerintah mengevaluasi berbagai opsi investasi, termasuk ekspansi sistem Cutzamala. Setiap opsi dinilai berdasarkan yield (tambahan air), biaya, kemampuan pulih dari gangguan, dan robustness terhadap perubahan iklim. Hasil stress test menunjukkan bahwa beberapa opsi menawarkan yield tinggi namun mahal dan kurang adaptif, sementara opsi lain lebih murah dan fleksibel namun yield lebih kecil. Dengan SIPs, pemerintah dapat memilih kombinasi investasi yang paling tangguh terhadap ketidakpastian masa depan.
Studi Kasus: Koshi River Basin, Nepal
World Bank melakukan stress test pada portofolio investasi hydropower di DAS Koshi. Analisis trade-off antara tujuan finansial (energi listrik) dan lingkungan (jumlah pelanggaran aliran lingkungan) menunjukkan bahwa portofolio investasi yang optimal berbeda tergantung pada prioritas stakeholder dan skenario iklim masa depan.
3. Merancang dan Menyusun Pathways
Setelah stress testing, langkah berikutnya adalah menyusun urutan dan kombinasi investasi (portofolio) yang paling efisien dan adaptif. Proses ini mempertimbangkan “option value”—yaitu nilai dari menjaga opsi investasi terbuka untuk masa depan, bukan langsung mengunci pada satu jalur saja.
4. Mobilisasi Investasi
Mobilisasi dana menjadi tantangan utama karena investasi air sering tidak menarik secara komersial (low risk-adjusted return, payback period panjang). SIPs mendorong penggunaan blended finance (kombinasi dana publik, swasta, filantropi), penerapan prinsip user pays dan polluter pays, serta pemanfaatan instrumen seperti green bonds, credit enhancement, dan payment for ecosystem services.
Contoh Nyata:
Di beberapa negara, penerapan pajak polusi dan tarif air digunakan untuk mengumpulkan dana investasi. Di sisi lain, proyek-proyek air publik yang memberikan manfaat luas (misal: pengendalian banjir, konservasi ekosistem) tetap memerlukan dukungan dana pemerintah dan donor internasional.
5. Navigasi dan Adaptasi Pathways
SIPs bukan perencanaan statis, melainkan proses dinamis yang terus dievaluasi dan disesuaikan dengan kondisi terbaru. Monitoring indikator kunci dan penggunaan futures map membantu pemerintah dan investor untuk mengubah urutan dan jenis investasi sesuai perkembangan risiko, teknologi, dan kebutuhan masyarakat.
Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci
Analisis Kritis dan Nilai Tambah
Kelebihan Pendekatan SIPs
Tantangan Implementasi
Perbandingan dengan Penelitian Lain
SIPs melengkapi pendekatan seperti Dynamic Adaptive Policy Pathways (DAPP) yang sudah diterapkan di Belanda dan Inggris. Namun, SIPs lebih menekankan pada urutan investasi dan sinergi antar proyek, bukan hanya adaptasi kebijakan. Pendekatan ini juga sejalan dengan tren global seperti nature-based solutions, circular economy, dan integrasi SDGs dalam perencanaan infrastruktur.
Implikasi Industri dan Kebijakan
Rekomendasi Praktis
Masa Depan Investasi Air yang Tangguh dan Adaptif
Paper ini menawarkan kerangka kerja inovatif untuk mengatasi tantangan investasi air di era ketidakpastian. Dengan mengadopsi SIPs, pemerintah dan pelaku industri dapat merancang investasi yang tidak hanya efisien secara ekonomi, tetapi juga tangguh terhadap risiko iklim, sosial, dan teknologi. SIPs adalah jawaban atas kebutuhan perencanaan investasi air yang dinamis, inklusif, dan berorientasi masa depan—sebuah paradigma baru yang sangat relevan untuk Indonesia dan dunia.
Sumber Artikel
Casey Brown, Fred Boltz, Kathleen Dominique. Strategic Investment Pathways for resilient water systems. OECD Environment Working Papers No. 202, 2022.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Krisis Air dan Urgensi Cleaner Production
Air adalah fondasi kehidupan dan pilar utama pembangunan ekonomi, sosial, dan ekologi. Namun, dunia kini menghadapi ancaman serius dari kelangkaan air, polusi, dan pengelolaan air yang buruk. Paper “Towards global water security: The role of cleaner production” karya Love Opeyemi David dkk. membedah secara komprehensif bagaimana cleaner production (produksi bersih) menjadi kunci strategis menuju keamanan air global. Dengan pendekatan bibliometrik dan analisis kebijakan, artikel ini tidak hanya memetakan tren riset, tetapi juga menawarkan tiga intervensi kebijakan konkret untuk memperkuat keamanan air dunia1.
Cleaner Production: Definisi, Prinsip, dan Manfaat
Cleaner production adalah paradigma produksi yang menekankan pencegahan polusi, efisiensi sumber daya, dan pengurangan limbah sejak awal proses, bukan sekadar mengelola limbah di akhir1. Menurut UNIDO, cleaner production bertujuan meningkatkan efisiensi, mengurangi risiko lingkungan dan sosial, serta memastikan keberlanjutan ekonomi melalui penghematan biaya dan sumber daya.
Prinsip-prinsip cleaner production meliputi:
Cleaner production terbukti meningkatkan efisiensi, menurunkan biaya produksi, memperbaiki kualitas produk, dan mengurangi dampak lingkungan. Studi di Zimbabwe menunjukkan penerapan cleaner production di industri galvanisasi kawat mampu menghemat 17% konsumsi air, mengurangi penggunaan asam klorida hingga 50%, dan menurunkan limbah industri minuman ringan sebesar 5%1.
Analisis Bibliometrik dan Pemetaan Ilmiah
Penelitian ini menggunakan alat Biblioshiny berbasis R untuk menganalisis 207 publikasi dari database Scopus (1982–2023) terkait cleaner production, air, dan kebijakan1. Protokol PICO dan pedoman PRISM digunakan untuk memastikan kualitas dan relevansi data. Analisis ini memetakan tren, penulis, institusi, negara, kata kunci, serta klaster tematik dalam riset cleaner production dan keamanan air.
Temuan Utama: Tren, Studi Kasus, dan Angka Kunci
1. Tren Riset dan Kontribusi Global
2. Studi Kasus dan Dampak Cleaner Production
a. Industri Galvanisasi dan Minuman di Zimbabwe
Studi Gumbo dkk. (2003) menunjukkan:
b. Industri Tekstil di Tiongkok
Tong dkk. (2012) mengembangkan indikator cleaner production berbasis AHP dan Delphi untuk industri tekstil, yang dikenal boros air dan menghasilkan polutan tinggi. Penerapan cleaner production mampu menekan konsumsi air dan limbah secara signifikan.
c. Desalinasi di Arab Saudi
Alshammari dkk. (2021) menggunakan teknologi solar still berbasis cleaner production, meningkatkan produktivitas air tawar hingga 122,4% (quadruple TSS) dan menurunkan biaya produksi air per liter secara drastis.
d. Pengolahan Air Limbah di Harare, Zimbabwe
Nhapi dan Hoko (2004) membuktikan cleaner production mampu menurunkan air limbah 27%, meningkatkan kualitas air, dan memperkuat keamanan air kota.
e. Industri Pulp dan Kertas di Tiongkok
Industri pulp & paper adalah penyumbang limbah cair terbesar (18% dari total industri). Cleaner production dan regulasi ketat di Shandong menurunkan emisi limbah dan meningkatkan efisiensi produksi, terbukti melalui pengukuran eco-efficiency dan indeks Malmquist–Luenberger1.
Analisis Kata Kunci dan Tema Riset
Dari 2.046 kata kunci, “pollution control”, “cleaner production”, dan “sustainable development” paling dominan. Tema riset terkini meliputi:
Klaster tematik utama:
Cleaner Production dan Kebijakan: Studi Kasus China
China menjadi pelopor cleaner production dengan 56 standar industri dan legislasi khusus, seperti Cleaner Production Promotion Law (2002). Lebih dari 16.000 peserta mengikuti 550 pelatihan, dan 700 demonstrasi cleaner production digelar di 24 provinsi1. Hasilnya, terjadi penurunan signifikan emisi limbah cair dan peningkatan efisiensi sumber daya di berbagai sektor.
Kebijakan kredit hijau (green credit policy) di China, yang mewajibkan perusahaan menerapkan cleaner production untuk mendapatkan pembiayaan, terbukti efektif menekan polusi SO2 dan limbah cair di 945 perusahaan di 30 provinsi1. Pendekatan ini menjadi model bagi negara lain dalam mengintegrasikan insentif keuangan dengan kebijakan lingkungan.
Tantangan Global: Wastewater dan Ketimpangan Pengolahan
Setiap tahun, dunia menghasilkan 380 miliar m³ air limbah, diperkirakan naik 24% pada 2030 dan 51% pada 20501. Namun, hanya 15% air limbah global yang didaur ulang. Negara maju mampu mengolah 70% air limbah, negara menengah atas 38%, menengah bawah 28%, dan negara miskin hanya 8%. Ketimpangan ini memperparah krisis air dan menuntut adopsi cleaner production secara luas.
Intervensi Kebijakan: Tiga Pilar Menuju Keamanan Air
1. Industrial Cleaner Production Policy
Kebijakan ini wajib diterapkan di seluruh sektor industri, meliputi:
Kebijakan ini harus didukung riset, edukasi, dan kolaborasi lintas sektor, serta insentif keuangan dari lembaga pembiayaan. Studi di China membuktikan kebijakan cleaner production mendorong efisiensi dan menurunkan polusi secara signifikan1.
2. Water Eutrophication Prevention Policy
Eutrofikasi akibat limpasan pupuk, polusi industri, dan limbah domestik menjadi ancaman utama kualitas air. Kebijakan ini menargetkan:
Studi di berbagai negara menunjukkan eutrofikasi menurunkan kualitas air minum, memicu pertumbuhan alga beracun, dan mengancam kesehatan masyarakat. Kebijakan pencegahan eutrofikasi sangat krusial untuk menjaga keberlanjutan sumber air1.
3. Environmental Sustainability Club Policy
Kebijakan ini menekankan peran komunitas, edukasi, dan kolaborasi lintas sektor:
Klub ini menjadi motor penggerak perubahan budaya dan perilaku, memperkuat kesadaran kolektif akan pentingnya cleaner production dan keamanan air.
Opini dan Perbandingan dengan Penelitian Lain
Paper ini menegaskan cleaner production bukan sekadar solusi teknis, tetapi juga strategi kebijakan dan perubahan budaya. Studi ini sejalan dengan riset Tortajada (2021) dan Grant dkk. (2012) yang menekankan pentingnya daur ulang air limbah dan inovasi teknologi untuk keamanan air. Namun, David dkk. menambahkan dimensi kebijakan dan edukasi publik yang lebih komprehensif.
Kelebihan utama paper ini adalah pendekatan multi-disiplin: menggabungkan analisis data, studi kasus, dan rekomendasi kebijakan yang aplikatif. Namun, penulis juga mengakui keterbatasan skalabilitas kebijakan di berbagai negara dengan kondisi sosial-ekonomi dan regulasi berbeda. Penelitian lanjutan diperlukan untuk menyesuaikan cleaner production dengan konteks lokal dan tantangan spesifik tiap wilayah1.
Implikasi Industri dan Tren Masa Depan
Cleaner production kini menjadi standar baru di industri global, terutama di sektor air, energi, dan pangan. Perusahaan multinasional mulai mensyaratkan sertifikasi cleaner production dalam rantai pasok mereka. Di Indonesia, peluang adopsi cleaner production sangat besar, terutama di industri tekstil, makanan-minuman, dan pertanian, yang selama ini menjadi penyumbang limbah terbesar.
Tren masa depan mengarah pada integrasi cleaner production dengan teknologi digital (IoT, AI), circular economy, dan green finance. Kolaborasi pemerintah, industri, dan masyarakat menjadi kunci sukses implementasi cleaner production untuk keamanan air berkelanjutan.
Cleaner Production sebagai Pilar Utama Keamanan Air Global
Cleaner production terbukti menjadi strategi efektif untuk mengatasi krisis air global. Dengan mengurangi polusi, mendaur ulang limbah, dan meningkatkan efisiensi, cleaner production memperkuat ketahanan air, mendukung SDG 6, dan mendorong pembangunan berkelanjutan. Tiga kebijakan utama—industrial cleaner production, pencegahan eutrofikasi, dan klub keberlanjutan lingkungan—harus diadopsi secara luas dan didukung insentif keuangan serta edukasi publik.
Keberhasilan cleaner production membutuhkan komitmen politik, kolaborasi internasional, dan adaptasi kebijakan sesuai konteks lokal. Dengan pendekatan holistik dan inovatif, cleaner production dapat mewujudkan keamanan air yang inklusif dan berkelanjutan bagi seluruh umat manusia.
Sumber Artikel
Love Opeyemi David, Nnamdi Nwulu, Clinton Aigbavboa, Omoseni Adepoju. Towards global water security: The role of cleaner production. Cleaner Engineering and Technology 17 (2023) 100695. Available online 17 November 2023. 2666-7908/© 2023 The Authors. Published by Elsevier Ltd.