Air Tanah sebagai Penyangga Ketahanan di Era Krisis Iklim
Air tanah kini diakui sebagai sumber vital untuk mengatasi kelangkaan air akibat perubahan iklim dan pertumbuhan penduduk, baik di negara maju maupun berkembang. Di Tanzania, khususnya di wilayah Upper Great Ruaha River Catchment (UGRRC), air tanah menjadi tumpuan utama bagi kebutuhan domestik, pertanian, dan ekonomi lokal. Namun, paper karya Devotha Baltazary Mosha ini menyoroti bahwa pengelolaan air tanah di Tanzania masih menghadapi tantangan besar pada level kebijakan, kelembagaan, dan implementasi di lapangan. Dengan studi kasus di Usangu Plains, paper ini membedah detail kerangka hukum, kelembagaan, serta realitas sosial-ekonomi yang membentuk tata kelola air tanah di Tanzania.
Konteks Global dan Regional: Urgensi Tata Kelola Air Tanah
Secara global, air tanah menyumbang lebih dari 50% pasokan air kota, 43% irigasi pertanian, dan 40% kebutuhan industri. Di Sub-Sahara Afrika, 80% pasokan air domestik bersumber dari air tanah, sedangkan di India mencapai 60% untuk irigasi. Di Tanzania sendiri, air tanah memasok lebih dari 25% kebutuhan domestik, dan menjadi sumber utama di kawasan kering seperti Dodoma, Dar es Salaam, Shinyanga, Simiyu, Arusha, Mara, Kilimanjaro selatan, dan Usangu Plains. Namun, eksploitasi air tanah di Tanzania masih rendah, banyak sumber belum dikembangkan, dan mayoritas masyarakat mengandalkan sumur gali sederhana yang rentan tercemar1.
Metodologi: Studi Lapangan dan Analisis Kualitatif
Penelitian ini menggabungkan tinjauan literatur, analisis kebijakan, serta studi kasus lapangan di tiga desa utama Usangu Plains: Nyeregete, Ubaruku, dan Mwaluma. Data dikumpulkan melalui wawancara dengan 15 informan kunci (pejabat desa, pengelola air, tokoh adat, dan pejabat distrik), serta Focus Group Discussions (FGD) di tiap desa dengan total hingga 35 peserta per FGD. Topik diskusi meliputi alokasi, akses, penggunaan, dan pengelolaan air tanah, serta persepsi masyarakat terhadap regulasi dan kelembagaan1.
Temuan Lapangan: Pola Penggunaan, Ketergantungan, dan Praktik Lokal
Pola Penggunaan Air Tanah
- 96% rumah tangga menggunakan air tanah untuk kebutuhan domestik.
- 47% untuk ternak, 62% untuk pembuatan batu bata, dan 33% untuk irigasi kebun belakang.
- Hampir 100% warga mengakses air tanah di musim kemarau, baik dari sumur dalam (lebih dari 60 meter, dengan pelindung semen) maupun sumur dangkal.
- Konsumsi air per orang bervariasi: 30–50 liter/hari di Ubaruku, 25–40 liter/hari di Nyeregete dan Mwaluma.
- Penggunaan irigasi air tanah umumnya terbatas untuk pembibitan padi (November–Desember) dan kebun hortikultura.
Studi Kasus: Mont Fort Secondary School
Sekolah menengah ini, dikelola Gereja Katolik sejak 1998, menggunakan air tanah untuk irigasi hortikultura, menunjukkan potensi pemanfaatan air tanah secara kolektif dan produktif di sektor pendidikan1.
Kerangka Hukum dan Kelembagaan: Kebijakan, Regulasi, dan Fragmentasi
Kebijakan dan Regulasi Utama
- National Water Policy (2002) dan Water Resource Management Act No. 11 (2009) menjadi payung utama tata kelola air Tanzania.
- Empat tujuan kebijakan: konservasi, penyediaan air berkualitas, kelembagaan efektif, dan sistem pengelolaan berkelanjutan.
- Regulasi 2013 mewajibkan izin (water permit) untuk sumur dalam, sementara sumur dangkal untuk kebutuhan domestik dibebaskan dari izin.
- Air tanah didefinisikan sebagai aset publik, dikelola negara, dan harus terintegrasi dengan prinsip IWRM (Integrated Water Resources Management).
Tantangan Implementasi
- Regulasi lebih fokus pada air permukaan; air tanah sering diabaikan dalam perencanaan, pendanaan, dan pengawasan.
- Banyak pengguna air tanah—termasuk sekolah, gereja, dan investor—tidak memiliki izin resmi, memandang air tanah sebagai hak atas tanah pribadi.
- Proses perizinan rumit dan mahal: bisa memakan waktu hingga 9 bulan, biaya perjalanan ke kantor basin hingga 250 km.
- Kelembagaan terfragmentasi: Terdapat River Basin Offices (RBO) dan Board di setiap basin, namun koordinasi antar dinas, pemerintah lokal, dan asosiasi pengguna air lemah, terutama untuk air tanah.
Studi Kasus Usangu Plains: Kesenjangan Regulasi dan Praktik
Realitas di Lapangan
- Meski aturan mewajibkan izin untuk sumur dalam, banyak warga dan institusi tetap mengebor tanpa izin karena proses birokrasi yang sulit dan mahal.
- Asosiasi pengguna air lebih fokus pada air permukaan, sementara pengelolaan air tanah cenderung dibiarkan pada inisiatif individu.
- Banyak warga menganggap air tanah adalah “anugerah Tuhan” atau hak atas tanah, bukan sumber daya publik yang harus diatur negara.
Dampak Sosial dan Ekonomi
- Over-abstraction: Pengambilan air tanah tanpa kontrol menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas air, serta potensi konflik antarpengguna.
- Ketidakadilan akses: Kelompok kaya dan institusi besar lebih mudah mengebor sumur dalam, sementara warga miskin mengandalkan sumur dangkal yang rentan kering dan tercemar.
- Rendahnya kesadaran: Minimnya edukasi dan sosialisasi menyebabkan rendahnya kepatuhan pada regulasi dan lemahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan air tanah.
Tantangan Utama Tata Kelola Air Tanah di Tanzania
1. Penegakan Hukum Lemah
- Banyak pelanggaran aturan akibat lemahnya pengawasan dan nepotisme di tingkat desa.
- Proses perizinan yang lama dan birokratis membuat warga enggan mengurus izin, sehingga banyak sumur tidak terdaftar.
2. Kekurangan Sumber Daya Manusia dan Kapasitas Teknis
- Rufiji River Basin Office hanya memiliki sekitar 20 staf untuk wilayah seluas 173.000 km².
- Setiap distrik rata-rata hanya punya satu insinyur air, menyebabkan lemahnya monitoring, inspeksi, dan penegakan aturan.
3. Keterbatasan Data dan Informasi
- Hanya akuifer Makutupora di Dodoma yang terpetakan dengan baik; data tentang akuifer lain sangat minim.
- Kurangnya data tentang kualitas, kuantitas, dan pola penggunaan air tanah menyulitkan perencanaan dan pengendalian eksploitasi.
4. Fragmentasi Kelembagaan dan Sentralisasi
- Koordinasi antara kantor basin, pemerintah daerah, dan asosiasi pengguna air masih lemah.
- Sentralisasi pengambilan keputusan sering mengabaikan pengetahuan lokal dan kebutuhan masyarakat akar rumput.
Analisis Kritis dan Nilai Tambah
Kelebihan Paper
- Studi lapangan mendalam: Penulis berhasil menangkap realitas sosial-ekonomi dan kelembagaan secara detail melalui FGD dan wawancara.
- Analisis kebijakan komprehensif: Paper membedah celah antara regulasi formal dan praktik nyata, serta mengidentifikasi akar masalah tata kelola air tanah.
- Relevansi global: Temuan dan rekomendasi sangat relevan untuk negara berkembang lain yang menghadapi tantangan serupa.
Kritik dan Tantangan
- Kurangnya data kuantitatif: Akan lebih kuat jika disertai data tren penurunan muka air tanah, volume eksploitasi, atau dampak ekonomi lebih rinci.
- Implementasi rekomendasi: Banyak solusi yang diusulkan membutuhkan komitmen politik dan reformasi kelembagaan yang belum tentu mudah diwujudkan.
Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan
- Integrasi Regulasi Air Permukaan dan Air Tanah
Kebijakan dan hukum air harus mengintegrasikan pengelolaan kedua sumber secara setara, bukan hanya fokus pada air permukaan. - Penyederhanaan dan Digitalisasi Perizinan
Proses izin sumur dalam perlu dipermudah, didukung sistem digital, dan layanan di tingkat kecamatan/desa. - Peningkatan Kapasitas SDM dan Pendanaan
Investasi pada pelatihan, rekrutmen staf teknis, dan pendanaan monitoring sangat penting untuk pengawasan efektif. - Sosialisasi dan Edukasi Masyarakat
Kampanye kesadaran tentang pentingnya izin, konservasi, dan pengelolaan kolektif air tanah harus digencarkan, melibatkan tokoh adat dan agama. - Penguatan Kelembagaan Lokal dan Partisipasi
Asosiasi pengguna air harus diperluas cakupannya ke air tanah, dengan peran aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan. - Pengembangan Data dan Sistem Informasi Terbuka
Pemetaan akuifer, monitoring kualitas dan kuantitas, serta sistem data terbuka harus menjadi prioritas untuk mendukung pengambilan keputusan berbasis bukti.
Hubungan dengan Tren Global dan Industri
- Integrated Water Resources Management (IWRM) kini menjadi standar global, menuntut pengelolaan terpadu air permukaan dan air tanah.
- Teknologi digital dan sistem informasi spasial semakin penting untuk monitoring dan pengelolaan sumber daya air.
- Sustainable groundwater governance menjadi isu utama di negara berkembang, terutama di kawasan rentan perubahan iklim.
Jalan Panjang Menuju Tata Kelola Air Tanah Berkelanjutan
Paper ini menegaskan bahwa meski Tanzania telah memiliki kerangka hukum dan kelembagaan yang cukup baik, implementasi di lapangan masih lemah akibat fragmentasi, keterbatasan kapasitas, dan rendahnya kesadaran masyarakat. Reformasi tata kelola air tanah harus dimulai dari integrasi kebijakan, penguatan kelembagaan, peningkatan kapasitas, dan edukasi publik. Hanya dengan langkah sistemik dan kolaboratif, air tanah dapat tetap menjadi penyangga ketahanan ekonomi dan sosial Tanzania di masa depan.
Sumber Artikel
Mosha, D. B. (2024). Water Governance in Tanzania – A Synthesis of Legal and Institutional Frameworks for Groundwater Management in the Upper Great Ruaha River Catchment. East African Journal of Environment and Natural Resources, 7(1), 112-123 .