Kebijakan Infrastruktur Air

Denmark Kembangkan Ekonomi Sirkular untuk Hadapi Krisis Iklim Global

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Pengantar
Transisi menuju ekonomi sirkular menjadi urgensi global untuk menjawab krisis iklim, degradasi lingkungan, dan keterbatasan sumber daya. The Circularity Gap Report: Denmark yang dirilis oleh Circle Economy mengungkap bahwa tingkat sirkularitas ekonomi Denmark hanya mencapai 4%, jauh di bawah rata-rata global sebesar 7,2%, dan sangat jauh dari tingkat berkelanjutan yang diestimasikan sebesar 8 ton per kapita. Artikel ini mengulas secara kritis isi laporan tersebut, termasuk data konsumsi material Denmark, dampak ekologis, serta strategi konkret untuk menutup celah sirkularitas (circularity gap).

Tingginya Konsumsi Material dan Emisi Karbon
Denmark mengonsumsi 142,2 juta ton material per tahun, setara dengan 24,5 ton per kapita, lebih dari tiga kali lipat batas konsumsi berkelanjutan. Mayoritas konsumsi ini berasal dari sumber virgin materials, termasuk bahan tambang, biomassa, dan bahan bakar fosil. Emisi karbon Denmark mencapai 11,1 ton per kapita, di atas rata-rata Uni Eropa (9,5 ton per kapita), dengan 54% emisi berasal dari produk impor.

Sektor Berdampak Tinggi
Tiga sektor penyumbang terbesar jejak material dan karbon adalah:

  • Konstruksi: 31% jejak material dan 17% jejak karbon.
  • Manufaktur: 18% material dan 22% karbon, khususnya dari kilang minyak dan manufaktur kendaraan.
  • Agrifood: 15% material dan 16% karbon, terutama dari peternakan sapi dan produksi susu.

Tantangan dalam Menutup Circularity Gap

  • 49,2% material digunakan sebagai stok jangka panjang (bangunan, infrastruktur, kendaraan), tidak segera tersedia untuk daur ulang.
  • Hanya 4% material yang kembali ke ekonomi sebagai material sekunder (recycled).
  • 27,3% berpotensi sirkular dari biomassa karbon netral.
  • 17,3% adalah input non-sirkular (fossil fuel), dan 0,5% material non-terbarukan belum didaur ulang.

Studi Kasus dan Angka Strategis

  • Limbah makanan di Denmark mencapai 814.000 ton/tahun, atau 140 kg per orang.
  • Konsumsi energi dari mobil pribadi sangat rendah efisiensinya: mobil rata-rata hanya digunakan 5% dari waktu keberadaannya.
  • Program pengembalian botol Denmark mencapai tingkat pengembalian 96%, tertinggi di Eropa.

Skenario Perubahan dan Dampaknya
Circle Economy menawarkan lima skenario transformasi yang dapat meningkatkan tingkat sirkularitas Denmark dari 4% menjadi 7,6%, sekaligus:

  • Mengurangi jejak material sebesar 39% menjadi 86,8 juta ton.
  • Mengurangi emisi karbon sebesar 42% menjadi 35,7 juta ton CO2e.
  • Menurunkan jejak material per kapita dari 24,5 ton menjadi 15 ton, lebih mendekati rata-rata global (11,9 ton).

Lima Skenario Transformasional:

  1. Membangun lingkungan binaan sirkular
  2. Menerapkan gaya hidup sirkular
  3. Transportasi dan mobilitas berkelanjutan
  4. Sistem pangan berputar (circular food system)
  5. Manufaktur sirkular yang maju

Kesiapan Tenaga Kerja dan Pendidikan
Sekitar 9,6% lapangan kerja di Denmark saat ini mendukung ekonomi sirkular. Namun, sebagian besar adalah peran tidak langsung. Diperlukan peningkatan:

  • Pendidikan vokasional dan pembelajaran seumur hidup.
  • Integrasi keterampilan sirkular dalam sistem pendidikan tinggi.
  • Pusat kompetensi dan pelatihan lintas sektor.

Kritik dan Opini Tambahan
Laporan menunjukkan kemajuan Denmark dalam elektrifikasi dan manajemen limbah, namun masih minim dalam pencegahan limbah dan perubahan pola konsumsi. Banyak kebijakan ambisius, seperti Strategi Ekonomi Sirkular Nasional dan Rencana Aksi Limbah, kekurangan pendanaan atau implementasi menyeluruh. Konsumsi berbasis impor masih menjadi titik lemah yang belum tertangani.

Relevansi Global dan Implikasi Kebijakan
Denmark termasuk negara Shift dalam klasifikasi Circle Economy: negara berpendapatan tinggi dengan jejak ekologis besar. Jika seluruh dunia hidup seperti warga Denmark, dibutuhkan lebih dari empat planet untuk menopang gaya hidup tersebut. Ini menegaskan bahwa transisi sirkular di Denmark akan menjadi preseden penting bagi negara maju lainnya.

Kesimpulan dan Rekomendasi
Transisi menuju ekonomi sirkular di Denmark memerlukan reformasi sistemik: koordinasi lintas sektor, kerangka kebijakan yang sesuai, pendanaan untuk UKM, dan pemantauan kinerja yang menyeluruh. Potensi untuk mengurangi konsumsi material dan emisi karbon sangat besar, namun keberhasilan bergantung pada komitmen politik dan partisipasi masyarakat luas.

Sumber: Circle Economy. The Circularity Gap Report: Denmark, 2023.

Selengkapnya
Denmark Kembangkan Ekonomi Sirkular untuk Hadapi Krisis Iklim Global

Sumber Daya Air

Menilai Kemanjuran Tata Kelola Air Pelajaran yang Dipetik dari Penerapan Pendekatan 10 Blok Bangunan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 Juni 2025


Mengapa Tata Kelola Air yang Baik Itu Penting?

Tata kelola air yang efektif menjadi fondasi utama dalam menjawab tantangan perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan kebutuhan pembangunan berkelanjutan. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan “tata kelola air yang baik”? Bagaimana cara menilainya secara objektif dan sistematis? Paper “Assessing the Soundness of Water Governance: Lessons Learned from Applying the 10 Building Blocks Approach” karya Liping Dai, Carel Dieperink, Susanne Wuijts, dan Marleen van Rijswick (2022) menawarkan jawaban melalui kajian mendalam atas pengalaman penerapan pendekatan 10 Building Blocks di berbagai negara dan konteks isu air. Artikel ini akan membedah konsep, studi kasus, angka-angka penting, serta memberikan analisis kritis dan relevansi dengan tren industri dan kebijakan tata kelola air global.

Mengenal 10 Building Blocks Approach: Pilar Penilaian Tata Kelola Air

Apa Itu 10 Building Blocks Approach?

10 Building Blocks Approach adalah kerangka penilaian interdisipliner yang dikembangkan untuk menganalisis tata kelola air secara holistik. Kerangka ini membagi penilaian menjadi tiga dimensi utama—Konten, Organisasi, dan Implementasi—yang dijabarkan dalam 10 blok penilaian (building blocks) berikut:

  1. Water System Knowledge: Pengetahuan tentang sistem air dan dampak perubahan lingkungan.
  2. Values, Principles, and Policy Discourses: Nilai, prinsip, dan diskursus kebijakan yang mendasari pengambilan keputusan air.
  3. Stakeholder Involvement: Keterlibatan pemangku kepentingan dan keseimbangan kepentingan.
  4. Trade-offs Between Social Objectives: Analisis kompromi antara tujuan sosial dan ekonomi.
  5. Responsibility, Authority, and Means: Organisasi kewenangan, tanggung jawab, dan sumber daya.
  6. Regulations and Agreements: Legitimasi dan adaptivitas regulasi serta kesepakatan.
  7. Financing Water Management: Keberlanjutan dan keadilan pembiayaan.
  8. Engineering and Monitoring: Ketersediaan desain teknis, monitoring, dan tindak lanjut.
  9. Enforcement: Penegakan aturan dan ketersediaan mekanisme remediasi.
  10. Conflict Prevention and Resolution: Mekanisme pencegahan dan penyelesaian konflik.

Pendekatan ini telah diterapkan di berbagai konteks—mulai dari pengelolaan banjir di Belanda, kualitas air di China dan Nigeria, hingga program sanitasi di Ghana—dan terbukti mampu mengidentifikasi kekuatan serta kelemahan tata kelola air di berbagai skala dan budaya1.

Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci: Penerapan 10 Building Blocks di Dunia Nyata

1. Skala dan Ragam Aplikasi

  • Jumlah Studi: 9 jurnal ilmiah, 2 buku akademik, dan 67 makalah mahasiswa dianalisis sebagai basis refleksi aplikasi pendekatan ini.
  • Wilayah Studi: Eropa (Belanda, Inggris, Italia), Asia (China, Hong Kong, Indonesia), Afrika (Nigeria, Ghana), Amerika (AS, Kanada, Brasil, Peru), dan Australia.
  • Isu yang Dianalisis: Banjir, kualitas air, kelangkaan air, sanitasi, pengelolaan DAS, hingga pembangunan infrastruktur ramah lingkungan seperti green roofs dan riverbank restoration1.

2. Contoh Studi Kasus

  • Belanda: Program “Rainproof Cities” di Amsterdam dan Rotterdam menargetkan kota 100% rainproof pada 2050, namun belum memiliki indikator kinerja yang jelas dan mekanisme penilaian periodik yang kuat.
  • Lima, Peru: Analisis SWOT pada tiap blok mengungkap bahwa tata kelola air di Lima masih lemah dalam aspek pendanaan, monitoring, dan penegakan hukum, meski sudah ada kemajuan dalam keterlibatan pemangku kepentingan.
  • Nigeria: Fokus pada pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan sering mengorbankan aspek lingkungan, dengan partisipasi masyarakat sipil yang sangat terbatas.
  • São Paulo, Brasil: Komite DAS Alto Tietê membagi pemangku kepentingan menjadi tiga kelompok (pemerintah negara bagian, pemerintah kota, masyarakat sipil) untuk memastikan representasi yang adil dalam pengambilan keputusan.
  • South Africa (Incomati Catchment): Model tata kelola adaptif diterapkan untuk mengatasi tantangan lintas negara, dengan penekanan pada partisipasi publik dan peningkatan kepatuhan1.

Analisis Setiap Building Block: Temuan, Tantangan, dan Praktik Terbaik

1. Water System Knowledge

  • Tantangan: Data sistem air seringkali hanya tersedia dari pemerintah, yang bisa menjadi masalah di negara dengan tingkat kepercayaan institusi rendah (misal, Nigeria, Bolivia).
  • Studi Kasus: Di Mountain Aquifer (Israel–Palestina), kedua pihak sering memberikan data bias untuk memanipulasi persepsi distribusi air.
  • Rekomendasi: Penilaian harus mengecek sumber, keterbukaan, dan ketidakpastian data, termasuk aspek perubahan iklim dan pertumbuhan penduduk1.

2. Values, Principles, and Policy Discourses

  • Temuan: Perubahan nilai terjadi di banyak negara, misal dari “menghindari air” ke “hidup bersama air” (Belanda, China), atau dari “air sebagai barang sosial gratis” ke “air sebagai barang ekonomi” (Indonesia).
  • Praktik Baik: Mekanisme bridging seperti Water Test (Belanda) dan lembaga koordinasi multilevel (Delaware River Basin, AS) membantu mengurangi konflik nilai dan meningkatkan legitimasi1.

3. Stakeholder Involvement

  • Temuan: Keterlibatan pemangku kepentingan sangat bervariasi. Di negara demokrasi, partisipasi multidireksional lebih mungkin terjadi, sementara di negara otoriter atau dengan struktur pemerintahan sentralistik, partisipasi sering hanya formalitas.
  • Studi Kasus: Melbourne mengembangkan rencana komunikasi dan konsultasi khusus untuk melibatkan pemangku kepentingan dalam rekoneksi reservoir air1.

4. Trade-offs Between Social Objectives

  • Tantangan: Monetisasi manfaat dan biaya seringkali sulit dan subjektif. Banyak pihak belum familiar dengan konsep service-level agreements (SLA), sehingga lebih baik menggunakan istilah “policy targets”.
  • Studi Kasus: Skema pengurangan risiko banjir Leeds, Inggris, menargetkan investasi £112 juta untuk melindungi lebih dari 1.000 rumah dan 474 bisnis secara spesifik—memudahkan penilaian kemajuan implementasi1.

5. Responsibility, Authority, and Means

  • Temuan: Publik sering menganggap pengelolaan air sepenuhnya tanggung jawab pemerintah, padahal peran swasta (misal, asuransi, pemilik rumah) sangat penting dalam mitigasi risiko.
  • Praktik Baik: Keterlibatan swasta dalam pengelolaan banjir, misal pemasangan mobile barriers dan asuransi banjir, dapat mengurangi kerugian secara signifikan1.

6. Regulations and Agreements

  • Temuan: Legitimasi regulasi dipengaruhi oleh proses penyusunan yang partisipatif dan keterbukaan diskusi alternatif kebijakan.
  • Studi Kasus: Inisiatif “Rainproof Cities” di Belanda sulit ditegakkan karena kurangnya mekanisme penegakan hukum yang jelas.
  • Rekomendasi: Perlu integrasi antara peraturan air dan tata ruang, serta antara kebijakan air dan sektor lain (lingkungan, kesehatan, energi, pertanian)1.

7. Financing Water Management

  • Angka Kunci: Di Belanda, lebih dari 95% biaya pengelolaan air bersih dan limbah ditanggung pengguna melalui skema full cost recovery.
  • Tantangan: Ketergantungan pada donor (misal, Bangladesh, Kenya) berisiko bagi keberlanjutan pembiayaan jangka panjang.
  • Rekomendasi: Kombinasi pendanaan pemerintah, pengguna, dan donor harus dikelola agar adil dan berkelanjutan1.

8. Engineering and Monitoring

  • Praktik Baik: Uni Eropa menerapkan sistem monitoring tiga tingkat (surveillance, operational, further investigation) sesuai Water Framework Directive.
  • Tantangan: Banyak program yang targetnya tidak spesifik, sehingga sulit menilai kemajuan dan efektivitas intervensi teknis.
  • Rekomendasi: Monitoring harus diikuti tindak lanjut adaptif jika target belum tercapai1.

9. Compliance and Enforcement

  • Studi Kasus: Kebijakan green roofs di Toronto sukses karena ada sanksi tegas (denda hingga C$100.000), sementara di Belanda gagal karena bersifat sukarela.
  • Tantangan: Korupsi dan resistensi stakeholder dapat menghambat penegakan hukum, seperti pada Riverbank Improvement Program di Bangladesh.
  • Rekomendasi: Penilaian harus mengecek mekanisme monitoring, sanksi, dan peran swasta dalam penegakan1.

10. Conflict Prevention and Resolution

  • Praktik Baik: EPA (AS) membentuk Conflict Prevention and Resolution Centre, sementara Korea Selatan membangun dewan stakeholder lokal untuk konsultasi dan kompensasi.
  • Temuan: Konsensus nilai mengurangi konflik, namun jika terjadi, mekanisme mediasi, arbitrase, dan pengadilan harus tersedia dan efektif1.

Pembaruan: Building Blocks 2.0 dan Inovasi Penilaian

Paper ini memperkenalkan versi baru, “Building Blocks 2.0”, dengan kriteria yang lebih spesifik dan visualisasi diagram sirkular untuk menekankan keterkaitan antarblok. Penilaian dapat menggunakan sistem traffic light (hijau-kuning-merah), skor 1–5, atau analisis SWOT, sehingga hasilnya lebih komunikatif dan mudah dibandingkan lintas kasus atau negara.

  • Kelebihan: Memberikan gambaran terintegrasi, mengidentifikasi gap, dan memfasilitasi dialog lintas sektor.
  • Kekurangan: Masih bersifat normatif dan subjektif, terutama dalam menilai istilah seperti “cukup”, “berkelanjutan”, “adil”. Perlu panel stakeholder untuk memperkuat intersubjektivitas dan transparansi penilaian1.

Kritik, Opini, dan Perbandingan dengan Kerangka Lain

Kritik terhadap 10 Building Blocks Approach

  • Overlapping dan Terminologi: Beberapa blok tumpang tindih (misal, stakeholder involvement dan responsibility), serta penggunaan istilah yang belum seragam dan kadang ambigu.
  • Bias Data: Ketergantungan pada data pemerintah bisa menimbulkan bias, terutama di negara dengan transparansi rendah.
  • Konteks Global Selatan: Beberapa peneliti menilai pendekatan ini lebih cocok untuk negara maju karena blok-bloknya berakar pada persepsi Eropa.

Perbandingan dengan Framework Lain

  • OECD Principles on Water Governance: Lebih menekankan pada transparansi, integritas, dan kapasitas kelembagaan.
  • City Blueprint Framework: Fokus pada indikator kuantitatif dan benchmarking antar kota.
  • Governance Capacity Framework: Menekankan kapasitas institusional dan adaptasi.

Opini Penulis dan Relevansi Industri

  • Industri Air dan Infrastruktur: Pendekatan ini sangat relevan untuk audit tata kelola air di perusahaan air minum, utilitas kota, dan proyek infrastruktur, terutama dalam konteks ESG dan pelaporan keberlanjutan.
  • Tren Digitalisasi: Integrasi data digital, IoT, dan big data dalam monitoring dan penilaian tata kelola air dapat memperkuat transparansi dan kecepatan respon kebijakan.

Rekomendasi Strategis untuk Praktik dan Kebijakan

  1. Mulai dari Tujuan Kebijakan yang Jelas
    Penilaian harus dimulai dengan mendefinisikan target kebijakan secara spesifik agar analisis tiap blok relevan dan terfokus.
  2. Libatkan Panel Stakeholder
    Untuk mengurangi subjektivitas, gunakan panel stakeholder dalam menilai dan memverifikasi skor tiap blok.
  3. Perkuat Integrasi Data dan Transparansi
    Dorong keterbukaan data antar lembaga, adopsi teknologi digital, dan sistem monitoring real-time.
  4. Harmonisasi dengan Framework Global
    Sinkronkan pendekatan 10 Building Blocks dengan prinsip OECD, SDGs, dan kerangka tata kelola air internasional.
  5. Fokus pada Adaptasi dan Inovasi
    Tata kelola air harus adaptif terhadap perubahan iklim, urbanisasi, dan dinamika sosial-ekonomi, dengan inovasi regulasi, pembiayaan, dan teknologi.

Menata Masa Depan Tata Kelola Air yang Adaptif dan Inklusif

Paper ini menegaskan bahwa tidak ada satu pendekatan penilaian tata kelola air yang sempurna, namun 10 Building Blocks Approach menawarkan kerangka kerja yang komprehensif, fleksibel, dan mudah diadaptasi untuk berbagai konteks. Kunci keberhasilan terletak pada kejelasan tujuan, keterlibatan stakeholder, transparansi data, serta keberanian untuk terus berinovasi dan beradaptasi. Dengan demikian, tata kelola air dapat menjadi motor penggerak pembangunan berkelanjutan, ketahanan iklim, dan kesejahteraan masyarakat lintas generasi.

Sumber artikel :
Liping Dai, Carel Dieperink, Susanne Wuijts & Marleen van Rijswick. “Assessing the soundness of water governance: lessons learned from applying the 10 Building Blocks Approach.” Water International, 47:4, 610-631, DOI: 10.1080/02508060.2022.2048487

Selengkapnya
Menilai Kemanjuran Tata Kelola Air Pelajaran yang Dipetik dari Penerapan Pendekatan 10 Blok Bangunan

Sumber Daya Air

Tanggung Jawab Negara atas Hak Air Bersih di Indonesia Selama Pandemi dan Jalan Menuju Tata Kelola Air yang Adil

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 Juni 2025


Hak Air Bersih di Tengah Krisis Global

Pandemi COVID-19 bukan sekadar ujian kesehatan, tetapi juga ujian tata kelola sumber daya dasar—terutama air bersih. Di Indonesia, negara dengan sumber air tawar melimpah, ironi besar terjadi: jutaan rumah tangga masih kesulitan mengakses air layak, terutama saat kebutuhan melonjak akibat pandemi. Studi Nadia Astriani dkk. (2021) membedah secara kritis bagaimana negara memenuhi (atau justru gagal memenuhi) hak atas air bersih selama krisis, menyoroti kebijakan, implementasi, hingga studi kasus nyata seperti Kendeng. Resensi ini mengajak pembaca memahami akar masalah, menelaah data dan studi kasus, serta merefleksikan solusi dan kritik yang relevan dengan tren global tata kelola air1.

1. Hak Atas Air: Fondasi Konstitusi dan Hak Asasi

Air sebagai Hak Asasi dan Mandat Konstitusi

  • Konstitusi Indonesia (UUD 1945 Pasal 33 ayat 3) menegaskan air sebagai sumber daya vital yang dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat. Hak atas air bersih juga diakui sebagai hak asasi manusia, diperkuat oleh adopsi Resolusi PBB 2010 tentang hak air dan sanitasi sebagai hak fundamental1.
  • Tiga Pilar Kewajiban Negara:
    • Menghormati: Tidak menghambat akses masyarakat pada air.
    • Melindungi: Mencegah pihak ketiga (swasta, pencemar) merusak akses air.
    • Memenuhi: Mengupayakan segala sumber daya untuk menjamin hak air bagi semua1.

Regulasi Kunci Tata Kelola Air

  • UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air: Menjamin hak rakyat atas air untuk kebutuhan dasar, pertanian rakyat, dan usaha air minum, dengan prinsip keadilan, keberlanjutan, dan partisipasi masyarakat.
  • UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dan UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman: Memastikan setiap bangunan dan kawasan permukiman wajib menyediakan akses air bersih dan sanitasi layak1.

2. Realitas di Lapangan: Data, Ketimpangan, dan Tantangan Selama Pandemi

Akses Air Bersih: Angka-angka Penting

  • Akses Nasional: Pada 2018, akses air minum layak baru 72% (target 100% di 2019 tidak tercapai). Pada 2019, hanya 76–77% penduduk yang terlayani air minum layak. Artinya, 23% penduduk masih rentan terhadap penyakit akibat air tidak layak1.
  • DKI Jakarta: Cakupan air bersih hanya 60%—artinya 40% warga ibu kota tidak punya akses air layak, dengan kelompok miskin paling terdampak. Di beberapa wilayah, air sumur berwarna hitam, bau, dan tidak layak konsumsi, sementara air PAM tidak selalu mengalir meski sudah dibayar1.
  • Sanitasi: Pada 2018, akses sanitasi layak nasional 70,97%, naik jadi 77,39% di 2019. Namun, hanya 6,8% penduduk yang benar-benar punya akses aman (secure access)1.
  • Kebutuhan Minimum: Rata-rata kebutuhan air rumah tangga 144 liter/hari, dengan kebutuhan minimum 70 liter/orang/hari1.

Dampak Pandemi: Kebutuhan Meningkat, Akses Tertinggal

  • Pandemi COVID-19 meningkatkan kebutuhan air untuk cuci tangan, kebersihan rumah, dan sanitasi. Namun, kelompok miskin dan penghuni kawasan kumuh tetap kesulitan mengakses air layak, bahkan harus membeli dari pedagang keliling tanpa jaminan higienitas1.
  • Pergeseran Konsumsi: Konsumsi air rumah tangga naik signifikan, sementara konsumsi industri turun. PAM Jaya mencatat peningkatan distribusi air melalui mobil tangki dan kios air di wilayah tanpa jaringan pipa1.

3. Studi Kasus: Kendeng dan Perjuangan Hak Air Komunitas Lokal

Kendeng: Karst, Air, dan Perlawanan Warga

  • Latar Belakang: Pegunungan Karst Kendeng di Jawa Tengah adalah “spons” alami yang menyimpan dan mengalirkan air bersih untuk lebih dari 500 ribu warga. Rencana penambangan karst oleh PT Semen Indonesia (BUMN) memicu protes warga, terutama perempuan petani, yang khawatir sumber air akan rusak1.
  • Fakta Lapangan: Kajian pemerintah menemukan permintaan air di Kendeng sudah melebihi pasokan. Penambangan karst mengancam sumber air bawah tanah dan memperparah krisis air, terutama di musim kemarau1.
  • Putusan Mahkamah Agung: Pada 2016, MA membatalkan izin lingkungan PT Semen Indonesia setelah gugatan warga dan WALHI dikabulkan. Presiden memerintahkan moratorium izin baru dan penghentian aktivitas tambang sampai Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) selesai, namun implementasi di lapangan masih lemah—izin baru tetap terbit, penambangan berlanjut, dan akses air warga tetap terancam1.

Refleksi Kasus Kendeng

  • Kasus Kendeng menyoroti konflik antara pembangunan (industri semen) dan hak dasar warga atas air. Keterlibatan perempuan, advokasi komunitas, dan litigasi lingkungan menjadi kunci perlawanan, namun lemahnya implementasi putusan hukum dan inkonsistensi pemerintah daerah memperburuk ketidakadilan akses air1.

4. Kebijakan dan Implementasi: Antara Ambisi dan Realitas

Kebijakan Nasional dan Target SDGs

  • SDGs (Tujuan 6): Pemerintah menargetkan akses air minum layak 100% dan sanitasi 90% pada 2024, serta 15% akses air minum aman. Namun, capaian hingga 2019 masih jauh dari target, terutama di kawasan timur (Papua hanya 32,87% akses sanitasi layak)1.
  • Rencana Strategis Kementerian PUPR: Fokus pada pembangunan infrastruktur dasar (jaringan pipa, bendungan, irigasi), namun pandemi memaksa refocusing anggaran sehingga banyak program air bersih tertunda1.
  • Pendanaan: Rata-rata anggaran air bersih Rp3,5–6,5 triliun/tahun (2015–2020), jauh dari kebutuhan Rp147 triliun (2024) atau Rp238 triliun (2030). Ketergantungan pada APBN/APBD dan minimnya investasi swasta memperlambat ekspansi layanan1.

Respons Pemerintah Selama Pandemi

  • Minim Terobosan: Tidak ada upaya tambahan signifikan selain program yang sudah direncanakan dalam RPJM dan Renstra. Pemerintah pusat dan daerah lebih fokus pada pembatasan sosial daripada mempercepat akses air bersih1.
  • Inovasi Terbatas: Kementerian PUPR meluncurkan inovasi “Kereta MCK” (mobil toilet dan cuci tangan) di DKI Jakarta, dengan kapasitas 7.000 liter air/hari untuk 350 orang. Namun, solusi ini hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan akar masalah akses air1.
  • Peran Daerah dan Swasta: Beberapa pemerintah daerah memberikan keringanan tarif air, namun bantuan air bersih lebih banyak datang dari inisiatif lokal dan swasta, seperti pemasangan wastafel portabel di area publik1.

5. Perbandingan Global: Belajar dari Afrika Selatan dan Ethiopia

Afrika Selatan: Respons Proaktif dan Koordinasi Nasional

  • Komando Nasional Air dan Sanitasi: Pemerintah membentuk pusat komando khusus sejak awal lockdown, mendistribusikan 18.262 tangki air dan 1.299 truk air ke seluruh negeri, termasuk ke sekolah dan permukiman informal. Dana tambahan Rp831 miliar dialokasikan untuk memastikan keberlanjutan layanan1.
  • Kolaborasi Lintas Sektor: Kementerian Air, Pendidikan, dan perusahaan air negara (Rand Water) berkoordinasi memastikan tidak ada sekolah atau komunitas tanpa air selama pandemi. Pendekatan ini menekankan pentingnya kepemimpinan nasional dan sinergi antar lembaga1.

Ethiopia: Teknologi dan Partisipasi Komunitas

  • Para-hydrologists: Ethiopia melibatkan warga terlatih untuk mengumpulkan data akses air dan perilaku higienis, membantu pemerintah menyesuaikan intervensi berbasis data lokal.
  • Inovasi Teknologi: Pemerintah dan donor memperluas penggunaan pompa air tenaga surya dan teknologi panen air hujan untuk mengatasi kekurangan air di desa-desa terpencil. Model pembiayaan inovatif (subsidi, kredit mikro) mempercepat adopsi teknologi ini1.

Pelajaran untuk Indonesia

  • Respons Darurat: Negara lain menunjukkan pentingnya respons ekstra-ordinary di masa krisis, bukan sekadar menjalankan program rutin.
  • Kolaborasi dan Inovasi: Keterlibatan komunitas, adopsi teknologi murah, dan sinergi lintas sektor menjadi kunci memperluas akses air secara cepat dan inklusif.

6. Analisis Kritis dan Opini: Di Mana Letak Masalah Utama?

Kelemahan Tata Kelola dan Implementasi

  • Ketimpangan Regional: Akses air bersih sangat timpang antar wilayah (Jakarta vs Papua), memperlebar jurang ketidakadilan sosial dan kesehatan1.
  • Keterbatasan Anggaran dan Prioritas: Pandemi memperparah krisis fiskal, membuat pemerintah menunda banyak proyek air bersih. Namun, minimnya inovasi dan keberanian mengambil langkah darurat memperlihatkan lemahnya sense of crisis1.
  • Dominasi Negara, Peran Swasta dan Komunitas Lemah: Negara masih menjadi aktor utama, sementara swasta dan komunitas belum diberdayakan optimal. Padahal, pengalaman Ethiopia dan Afrika Selatan menunjukkan pentingnya kolaborasi multipihak1.
  • Inkonsistensi Penegakan Hukum: Kasus Kendeng membuktikan bahwa putusan hukum progresif tidak selalu diikuti implementasi di lapangan, akibat lemahnya pengawasan dan konflik kepentingan di tingkat lokal1.

Perbandingan dengan Studi Lain

  • Jepson et al. (2017) dan Zeitoun et al. (2016) menyoroti bahwa hak air sering kali hanya diakui secara normatif, namun gagal diwujudkan dalam kebijakan dan praktik sehari-hari, terutama di Global Selatan.
  • Tren Industri: Sektor air global kini bergerak ke arah digitalisasi (IoT, big data), investasi blended finance, dan standar ESG. Namun, Indonesia masih tertinggal dalam adopsi teknologi dan inovasi pembiayaan air1.

7. Rekomendasi Strategis: Jalan Menuju Tata Kelola Air yang Adil dan Tangguh

  1. Respons Darurat dan Inovasi Kebijakan
    • Pemerintah harus berani mengambil langkah darurat di masa krisis, seperti distribusi air darurat, pemasangan tangki air massal, dan subsidi air bersih untuk kelompok rentan.
    • Adopsi teknologi murah (pompa surya, panen air hujan) dan inovasi pembiayaan (subsidi, kredit mikro) untuk mempercepat akses air di desa dan kawasan kumuh.
  2. Perkuat Kolaborasi Multipihak
    • Libatkan swasta, komunitas, dan LSM dalam perencanaan, implementasi, dan monitoring program air bersih.
    • Dorong investasi swasta dan kemitraan publik-swasta untuk pembangunan infrastruktur air.
  3. Transparansi dan Akuntabilitas
    • Tingkatkan transparansi data akses air, anggaran, dan capaian program. Gunakan platform digital untuk pelaporan dan pengawasan publik.
  4. Reformasi Tata Kelola dan Penegakan Hukum
    • Pastikan implementasi putusan hukum lingkungan berjalan konsisten di lapangan.
    • Perkuat pengawasan dan sanksi bagi pelanggar hak air, termasuk pemerintah daerah dan swasta.
  5. Fokus pada Kelompok Rentan
    • Prioritaskan akses air bersih untuk kelompok miskin, perempuan, anak, dan komunitas adat. Libatkan mereka dalam perumusan kebijakan dan solusi lokal.
  6. Integrasi dengan Agenda SDGs dan Perubahan Iklim
    • Sinkronkan program air bersih dengan target SDGs, aksi iklim, dan agenda pembangunan berkelanjutan.

Hak Air, Pandemi, dan Masa Depan Tata Kelola di Indonesia

Pandemi COVID-19 membuka tabir rapuhnya tata kelola air di Indonesia: regulasi sudah memadai, tetapi implementasi, inovasi, dan keberpihakan pada kelompok rentan masih jauh dari ideal. Studi kasus Kendeng dan data nasional menunjukkan bahwa hak atas air bukan sekadar janji konstitusi, tetapi ujian nyata bagi keberpihakan negara pada rakyat. Belajar dari negara lain, Indonesia harus berani berinovasi, memperkuat kolaborasi, dan memastikan setiap warga, tanpa kecuali, mendapatkan hak dasarnya atas air bersih—bukan hanya di atas kertas, tapi nyata di kehidupan sehari-hari1.

Sumber artikel :
Nadia Astriani, Betty Rubiati, Yulinda Adharani, Siti Sarah Afifah, Rewita Salsabila, Rizkia Diffa. "The Responsibility of the Indonesian Government to Fulfill the Rights to Water During the COVID-19 Pandemic: Some Legal Issues." Environmental Policy and Law 51 (2021): 327–341.

Selengkapnya
Tanggung Jawab Negara atas Hak Air Bersih di Indonesia Selama Pandemi dan Jalan Menuju Tata Kelola Air yang Adil

Sumber Daya Air

Pemahaman Kuantitatif tentang Kondisi dan Faktor Penentu Ketahanan Air-Energi-Pangan di Afrika

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 Juni 2025


WEF Nexus, SDGs, dan Tantangan Afrika

Ketahanan air, energi, dan pangan (WEF security) adalah fondasi utama pembangunan berkelanjutan, khususnya di Afrika yang menghadapi pertumbuhan penduduk pesat, perubahan iklim, dan tantangan tata kelola sumber daya. Paper karya Nkiaka et al. (2023) menawarkan analisis kuantitatif komprehensif tentang status, disparitas, dan penentu utama WEF security di seluruh Afrika, dengan membangun indeks komposit dan menguji determinan sosioekonomi secara sistematis. Resensi ini akan membedah temuan utama, menyoroti studi kasus, angka-angka penting, serta memberikan analisis kritis dan relevansi dengan tren global dan industri.

Paradigma WEF Nexus: Mengapa Penting untuk Afrika?

WEF Nexus dan SDGs

Pendekatan WEF nexus menyoroti keterkaitan erat antara air, energi, dan pangan—tiga sektor yang saling mempengaruhi dan menjadi pilar utama SDGs (khususnya SDG 2, 6, dan 7). Di Afrika, satu dari empat orang masih mengalami kekurangan gizi, ratusan juta belum memiliki akses listrik dan air minum layak, sementara tekanan terhadap sumber daya terus meningkat akibat pertumbuhan populasi dan urbanisasi1.

Kesenjangan Pengetahuan dan Implementasi

Penelitian WEF nexus telah berkembang pesat, namun implementasinya di Afrika masih terbatas. Banyak rekomendasi riset belum diterjemahkan menjadi kebijakan konkret, diperparah oleh disparitas spasial, institusional, dan kurangnya data lintas negara. Studi ini mengisi gap dengan analisis kuantitatif lintas sub-wilayah, mengidentifikasi disparitas, dan menawarkan pelajaran untuk strategi terkoordinasi1.

Metodologi: Indeks Komposit dan Analisis Determinan

Pemetaan Sub-Regional dan Data Kunci

Afrika dibagi ke dalam lima blok ekonomi: CEMAC (Afrika Tengah), EAC (Afrika Timur), ECOWAS (Afrika Barat), SADC (Afrika Selatan), dan Afrika Utara. Masing-masing blok memiliki karakteristik ekonomi, demografi, dan sumber daya yang berbeda signifikan—misal, ECOWAS paling padat penduduk, namun GDP per kapita terendah, sementara Afrika Utara unggul dalam GDP per kapita1.

Indeks WEFSI: Menyatukan Tiga Pilar

Penulis membangun Water-Energy-Food Security Index (WEFSI) berbasis 11 indikator utama, meliputi:

  • Air: Ketersediaan air per kapita, akses air minum, sanitasi, dan implementasi IWRM (Integrated Water Resources Management).
  • Energi: Akses listrik, akses bahan bakar bersih, proporsi energi terbarukan, dan efisiensi energi.
  • Pangan: Ketersediaan lahan, kecukupan pangan, dan hasil panen sereal.

Masing-masing indikator dinormalisasi dan diberi bobot proporsional sesuai relevansi terhadap ketahanan sektor terkait1.

Analisis Determinan Sosioekonomi

Tujuh variabel sosioekonomi diuji sebagai penentu WEFSI: GDP per kapita, efektivitas pemerintahan (GEI), urbanisasi, investasi infrastruktur, FDI, ODA (bantuan pembangunan resmi), dan HDI. Analisis regresi dan korelasi digunakan untuk mengidentifikasi hubungan signifikan antara variabel-variabel ini dengan skor WEFSI dan sub-indikatornya1.

Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci: Potret Ketahanan WEF Afrika

1. Ketersediaan Sumber Daya: Melimpah tapi Tidak Merata

  • Air: Total sumber daya air terbarukan Afrika mencapai 5.000 km³/tahun, namun distribusinya sangat timpang. CEMAC (Afrika Tengah) paling kaya air, EAC dan Afrika Utara paling miskin air. Ironisnya, CEMAC justru memiliki tingkat pengambilan air terendah, sedangkan Afrika Utara tertinggi, didominasi konsumsi pertanian1.
  • Energi: Potensi energi terbarukan Afrika sangat besar (>1,5 juta TWh/tahun), dengan EAC dan SADC unggul pada solar dan angin, sementara CEMAC dan SADC kaya potensi hidro. Namun, pembangkitan listrik masih didominasi bahan bakar fosil, terutama di Afrika Utara dan SADC1.
  • Pangan: Potensi irigasi relatif merata, namun implementasi sangat timpang. Afrika Utara dan SADC paling maju dalam irigasi, sementara negara-negara lain masih tertinggal. Negara seperti Guinea, Mali, Niger, dan Nigeria unggul dalam ketersediaan lahan arable di ECOWAS1.

2. Skor WEFSI: Siapa Tertinggal, Siapa Melaju?

  • WEFSI Tinggi (>0,61): Hanya 8 negara (15%) yang masuk kategori ini, termasuk Gabon, Ethiopia, Maroko, Afrika Selatan, dan Mauritius.
  • WEFSI Sedang (0,41–0,60): 31 negara (57%), termasuk Ghana, Mesir, Zambia, dan Mozambik.
  • WEFSI Rendah (<0,40): 15 negara (28%), seperti Eritrea (0,20), Somalia (0,26), Chad (0,30), dan Guinea Bissau (0,29)1.

Contoh Spesifik:

  • Gabon: Skor air tertinggi (0,81), didukung ketersediaan air melimpah dan akses sanitasi baik.
  • Eritrea: Skor WEFSI terendah (0,20), mencerminkan krisis multidimensi air, energi, dan pangan.
  • Afrika Utara: Meski sumber daya air terbatas, skor WEFSI relatif tinggi karena investasi infrastruktur dan akses air/energi yang baik.
  • CEMAC: Kaya air, tapi skor WEFSI tidak selalu tinggi karena akses air dan sanitasi masih terbatas di banyak negara1.

3. Radar Sub-Regional: Siapa Unggul di Sektor Apa?

  • Afrika Utara & SADC: Progres di semua sektor WEF, berkat investasi besar dan tata kelola relatif baik.
  • CEMAC & EAC: Stagnan di sektor pangan, meski kaya air dan energi.
  • ECOWAS: Stagnan di sektor energi, meski lahan dan air relatif tersedia1.

Determinasi Sosioekonomi: Siapa Penentu Utama Ketahanan WEF?

GDP per Kapita: Faktor Penentu Terkuat

  • Korelasi terkuat antara GDP per kapita dan semua indikator WEFSI. Negara dengan GDP tinggi mampu berinvestasi pada infrastruktur air, energi, dan pangan, sehingga skor WEFSI lebih baik1.
  • Contoh: Seychelles, meski hampir tidak punya lahan arable, mampu menjamin ketahanan air dan energi lewat impor dan desalinasi, berkat GDP tinggi dan FDI besar.

Efektivitas Pemerintahan (GEI): Kunci Tata Kelola

  • Negara dengan GEI tinggi menunjukkan skor WEFSI lebih baik, menandakan pentingnya kapasitas institusi, kebijakan, dan tata kelola dalam mengoptimalkan sumber daya yang ada.
  • Contoh: Negara-negara Afrika Utara dan SADC mampu meningkatkan akses air dan energi meski sumber daya terbatas, berkat tata kelola yang lebih efektif1.

ODA dan FDI: Penopang Investasi Infrastruktur

  • ODA (bantuan pembangunan) dan FDI (investasi asing) berkontribusi signifikan terhadap peningkatan WEFSI, khususnya di negara dengan kapasitas fiskal terbatas.
  • Contoh: Seychelles dan beberapa negara kecil sangat bergantung pada FDI dan ODA untuk membiayai infrastruktur air dan energi1.

Urbanisasi dan Infrastruktur: Pengaruh Terbatas

  • Urbanisasi menunjukkan korelasi lemah dengan WEFSI, menandakan bahwa urbanisasi tanpa investasi dan tata kelola baik tidak otomatis meningkatkan ketahanan WEF.
  • Infrastruktur juga penting, namun sering kali tumpang tindih dengan variabel lain seperti GDP dan GEI1.

Diskusi Kritis: Tantangan, Peluang, dan Pelajaran untuk Masa Depan

1. Sumber Daya Melimpah, Ketahanan Tidak Otomatis

Afrika secara agregat kaya sumber daya air, energi terbarukan, dan lahan arable. Namun, melimpahnya sumber daya tidak otomatis menjamin ketahanan WEF. Negara dengan sumber daya melimpah tapi GDP dan tata kelola lemah tetap tertinggal dalam WEFSI—menegaskan pentingnya kapasitas ekonomi dan institusi1.

2. Ketimpangan Sub-Regional dan Negara

Disparitas antar sub-wilayah dan negara sangat tajam. Negara di Afrika Utara dan SADC mampu mengatasi keterbatasan sumber daya lewat investasi dan tata kelola, sementara negara di CEMAC dan EAC masih stagnan, terutama di sektor pangan1.

3. Keterbatasan Indeks Komposit

Indeks WEFSI memberi gambaran umum, namun bisa menyembunyikan ketimpangan sektoral di dalam negara. Misal, skor air tinggi belum tentu diikuti akses energi atau pangan yang memadai. Penulis menyarankan perlunya analisis sektoral lebih dalam dan monitoring dinamis untuk kebijakan yang lebih presisi1.

4. Keterbatasan Data dan Variabel

Studi ini mengakui keterbatasan data (hanya snapshot saat ini, tidak mempertimbangkan dinamika masa depan) dan variabel (masih ada faktor lain yang belum teruji, seperti konflik, perubahan iklim, atau faktor budaya)1.

Perbandingan dengan Studi Lain dan Tren Global

1. Studi Global: WEFSI dan SDGs

Temuan studi ini sejalan dengan riset global yang menegaskan pentingnya GDP, tata kelola, dan investasi sebagai penentu utama pencapaian SDGs, khususnya SDG 2, 6, dan 7. Studi di Asia dan Amerika Latin juga menunjukkan pola serupa: sumber daya melimpah tidak cukup tanpa kapasitas institusi dan ekonomi yang memadai1.

2. Industri dan Kebijakan: Implikasi Praktis

  • Sektor Energi: Potensi energi terbarukan Afrika sangat besar, namun realisasi butuh investasi, transfer teknologi, dan tata kelola lintas negara (misal, sub-regional power pools).
  • Sektor Air: Pengelolaan lintas batas (transboundary water management) dan investasi infrastruktur menjadi kunci, terutama di negara dengan sumber daya terbatas.
  • Sektor Pangan: Diversifikasi produksi, peningkatan irigasi, dan akses pasar menjadi prioritas di negara dengan skor FSI rendah.

3. Digitalisasi dan Inovasi

Tren digitalisasi (IoT, big data, AI) dapat meningkatkan monitoring, transparansi, dan efisiensi pengelolaan WEF. Namun, adopsi teknologi masih terkendala kapasitas fiskal dan SDM di banyak negara Afrika1.

Rekomendasi Strategis: Jalan Menuju Ketahanan WEF Afrika

  1. Prioritaskan Reformasi Tata Kelola dan Kapasitas Institusi
    • Perkuat efektivitas pemerintahan, transparansi, dan akuntabilitas.
    • Bangun sistem monitoring dan evaluasi berbasis data digital.
  2. Dorong Investasi Infrastruktur dan Diversifikasi Sumber Daya
    • Optimalkan pemanfaatan ODA dan FDI untuk infrastruktur air, energi, dan pangan.
    • Kembangkan strategi energi terbarukan lintas negara dan irigasi cerdas.
  3. Kurangi Ketimpangan Sub-Regional dan Negara
    • Fasilitasi transfer pengetahuan dan teknologi antar negara dan sub-wilayah.
    • Bangun kerjasama regional untuk pengelolaan sumber daya lintas batas.
  4. Integrasikan Kebijakan WEF dengan Agenda SDGs dan Adaptasi Iklim
    • Sinkronkan kebijakan nasional dengan target SDGs dan strategi adaptasi perubahan iklim.
    • Libatkan multipihak (pemerintah, swasta, komunitas) dalam perumusan dan implementasi kebijakan.
  5. Fokus pada Inklusivitas dan Kelompok Rentan
    • Pastikan investasi dan kebijakan WEF menjangkau kelompok miskin, perempuan, dan komunitas adat.
    • Kembangkan program pelatihan dan pemberdayaan untuk meningkatkan kapasitas lokal.

Menuju Ketahanan WEF yang Adil dan Berkelanjutan

Studi Nkiaka et al. (2023) menegaskan bahwa ketahanan air, energi, dan pangan di Afrika bukan sekadar soal sumber daya, melainkan soal kapasitas ekonomi, tata kelola, dan investasi. Disparitas antar negara dan sub-wilayah sangat tajam, menuntut reformasi kebijakan, investasi strategis, dan kolaborasi lintas sektor. Masa depan ketahanan WEF Afrika sangat bergantung pada kemampuan negara-negara untuk membangun institusi yang kuat, memperkuat ekonomi, dan mengoptimalkan sumber daya yang ada demi pencapaian SDGs dan kesejahteraan rakyat.

Sumber artikel :
Nkiaka, E., Bryant, R.G., Manda, S., & Okumah, M. (2023). A quantitative understanding of the state and determinants of water-energy-food security in Africa. Environmental Science & Policy, 140, 250-260.

Selengkapnya
Pemahaman Kuantitatif tentang Kondisi dan Faktor Penentu Ketahanan Air-Energi-Pangan di Afrika

Sumber Daya Air

Evolusi Hak Atas Air: Resensi Kritis & Relevansi Global

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Hak Atas Air dalam Sorotan Modern

Hak atas air menjadi isu strategis di tengah krisis air dunia, perubahan iklim, dan pertumbuhan populasi. Namun, bagaimana hak atas air berevolusi dari masa feodalisme hingga era modern? Artikel “The Evolution of Water Rights” karya Anthony Scott & Georgina Coustalin (1995) menawarkan analisis komprehensif tentang perubahan rezim hak air di Inggris, Amerika Utara, dan Australia, dari era kepemilikan berbasis tanah hingga sistem berbasis penggunaan (prior appropriation). Resensi ini membedah evolusi tersebut, menyoroti studi kasus, angka-angka penting, serta relevansinya dengan tata kelola air masa kini dan masa depan.

Hak Atas Air: Definisi, Karakteristik, dan Kompleksitas

Apa Itu Hak Atas Air?

Hak atas air didefinisikan sebagai hak untuk menggunakan atau menikmati aliran air di sungai. Hak ini bisa muncul dari kepemilikan lahan di tepi sungai (riparian), atau dari penggunaan aktual atas air (prior-use/appropriation). Hak bisa bersifat kuantitatif (jumlah tetap) atau kualitatif (selama tidak merugikan pihak lain), dan bisa diatur negara atau murni berdasarkan praktik komunitas1.

Karakteristik Hak Atas Air

Scott & Coustalin mengidentifikasi enam karakteristik utama hak atas air:

  • Durasi: Seberapa lama hak berlaku.
  • Fleksibilitas: Kemampuan mengubah jenis/mode penggunaan.
  • Eksklusivitas: Sejauh mana hak tersebut eksklusif.
  • Kualitas Titel: Kejelasan dan kepastian hak.
  • Transferabilitas: Kemudahan hak dialihkan ke pihak lain.
  • Divisibilitas: Kemampuan membagi hak menjadi bagian-bagian1.

Tantangan Unik Hak Air

Berbeda dengan hak atas tanah, hak air sangat dipengaruhi oleh sifat fisik air yang mengalir dan interdependensi antar pengguna. Hak air memiliki eksklusivitas lebih rendah dibanding hak tanah, karena setiap pengguna bergantung pada perilaku pengguna lain di hulu dan hilir1.

Evolusi Sistem Hak Atas Air: Dari Feodalisme ke Appropriation

1. Era Hukum Romawi: Res Publica dan Usufruct

Di bawah hukum Romawi, sungai abadi dianggap milik publik (res publici), dengan hak penggunaan (usufruct) yang bisa diperoleh publik melalui izin negara. Hak privat bisa muncul melalui penggunaan jangka panjang (preskripsi/usucapio), dengan prinsip “tidak boleh merugikan hak orang lain” (Lex Aquilia)1.

2. Abad Pertengahan Inggris (1066–1600): Dominasi Hak Berbasis Tanah

  • Konteks Feodal: Raja membagi tanah kepada bangsawan, yang kemudian membagi lagi ke bawahannya. Hak air melekat pada kepemilikan tanah di tepi sungai (riparian).
  • Hak Riparian: Hanya pemilik lahan di tepi sungai yang berhak menggunakan air, asalkan tidak mengurangi hak riparian lain.
  • Preskripsi: Hak penggunaan air bisa diperoleh melalui penggunaan tak terganggu selama 20–40 tahun, menjadi “prescriptive easement” yang sangat kuat1.

Studi Kasus: Sengketa antara Gervase Blohicu dan Nicholas Sonka (1200-an), di mana pengadilan memulihkan hak air kepada pemilik lahan yang dirugikan oleh pengalihan aliran oleh pihak lain1.

3. Periode Prior-Use (1600–1850): Hak Berbasis Penggunaan

  • Revolusi Industri: Pertumbuhan pesat jumlah pabrik dan kebutuhan air untuk tenaga mekanik.
  • Hak Prioritas: Siapa yang lebih dulu menggunakan air, berhak lebih dulu (“seniority”). Hak ini bisa dipindahtangankan tanpa harus memiliki lahan riparian.
  • Kontrak dan Privilege: Munculnya kontrak air antara pemilik hak dan pengguna baru, memperluas akses tanpa harus membeli lahan riparian1.

Studi Kasus: Kasus Bealey v. Shaw (1805), di mana pengguna hilir memenangkan hak atas surplus air yang telah digunakan selama lebih dari 20 tahun, meski tanpa hak preskriptif formal1.

4. Periode Reasonable-Use (1851–1900): Hak Berbasis Kewajaran

  • Krisis Polusi & Urbanisasi: Pencemaran sungai akibat limbah industri dan domestik mendorong perlindungan hak riparian.
  • Doktrin Reasonable-Use: Hak riparian tetap diakui, tapi penggunaannya harus “wajar” dan tidak merugikan pemilik lain. Penggunaan domestik (minum, ternak) mendapat prioritas mutlak.
  • Peran Pengadilan: Pengadilan mulai menyeimbangkan kepentingan ekonomi (industri) dan perlindungan lingkungan, dengan prinsip “de minimis non curat lex” (kerugian kecil diabaikan)1.

Studi Kasus: Embrey v. Owen (1851), pengadilan menegaskan bahwa hak riparian harus digunakan secara wajar, dan tidak semua perubahan aliran air dapat digugat jika kerugiannya tidak signifikan1.

Transisi ke Sistem Appropriation: Amerika Utara & Australia

1. Sistem Appropriation di Amerika Barat

  • Konteks Geografis: Di wilayah kering Amerika Barat, sistem riparian tidak memadai karena lahan riparian terbatas.
  • Hak Appropriation: Hak air diberikan kepada siapa saja yang pertama kali “mengambil” dan “menggunakan” air secara bermanfaat (beneficial use), tanpa harus memiliki lahan di tepi sungai.
  • Seniority & Transferabilitas: Hak senior mendapat prioritas saat kekeringan, dan hak bisa dipindahtangankan secara bebas1.

Angka Penting:

  • Di 8 negara bagian pegunungan AS, hanya sistem appropriation yang berlaku.
  • Di Kanada dan Australia, sistem appropriative dipadukan dengan lisensi administratif dan hak negara atas air1.

2. Studi Kasus: California Gold Rush & Irrigasi

  • California (1850-an): Penambang emas dan petani memperkenalkan sistem appropriation, mengklaim air dari sungai untuk irigasi dan pertambangan, tanpa harus memiliki lahan riparian.
  • Peran Ditch Companies: Perusahaan saluran air (ditch companies) menjadi pionir dalam mengatur distribusi air, memperkenalkan sistem senioritas dan transfer hak air1.

3. Hybrid System: Koeksistensi Hak Riparian dan Appropriation

  • Oregon & California: Kedua sistem hidup berdampingan, dengan prioritas diberikan pada hak appropriation saat air terbatas, namun hak riparian tetap diakui untuk penggunaan domestik1.
  • Tantangan: Sengketa antara pemegang hak riparian dan appropriation sering diselesaikan melalui pengadilan atau legislasi khusus.

Karakteristik Ekonomi & Hukum Hak Air Modern

1. Eksklusivitas dan Senioritas

  • Sistem Appropriation: Eksklusivitas tinggi untuk hak senior, namun hak junior sangat rentan saat kekeringan.
  • Pasar Hak Air: Di negara bagian seperti Colorado, Idaho, Nevada, dan Utah, terjadi lebih dari 300 transfer hak air per tahun, mencerminkan tingginya likuiditas pasar1.

2. Transferabilitas dan Divisibilitas

  • Transfer Hak: Hak appropriation sangat mudah dipindahtangankan, baik permanen maupun sementara (leasing), meski kadang dibatasi untuk melindungi kepentingan pihak ketiga (downstream users).
  • Hambatan Transfer: Proses transfer bisa mahal akibat kebutuhan persetujuan pengadilan/agen pemerintah, potensi dampak sosial-ekonomi, dan perlindungan hak-hak publik (navigasi, ekologi)1.

3. Beneficial Use dan Kualitas Titel

  • Beneficial Use: Hak appropriation hanya berlaku selama air digunakan secara “bermanfaat”. Jika tidak digunakan, hak bisa dicabut (use-it-or-lose-it).
  • Kualitas Titel: Hak appropriation yang didaftarkan dan diakui negara memiliki kualitas titel tinggi, namun tetap rentan terhadap perubahan kebijakan pemerintah1.

Studi Kasus Global: Adaptasi & Inovasi Tata Kelola Air

1. Australia & Kanada: Lisensi Administratif

  • Australia: Sistem lisensi air dikelola pemerintah negara bagian, dengan prinsip senioritas dan beneficial use. Transfer hak air diatur ketat untuk mencegah kerugian sosial-ekonomi komunitas lokal.
  • Kanada: Lisensi air berbasis senioritas, namun hak domestik dan kualitas air tetap dilindungi oleh hukum riparian1.

2. Inovasi: Water Trusts & Water Corporations

  • Water Trusts: Organisasi nirlaba yang membeli hak air untuk menjaga aliran minimum sungai, habitat ikan, atau tujuan lingkungan lain. Contoh: Ducks Unlimited di Amerika Utara.
  • Water Corporations: Koperasi air yang mengelola hak air secara kolektif di satu DAS, memfasilitasi transfer internal, dan memastikan keseimbangan antara penggunaan irigasi, domestik, dan lingkungan1.

Kritik, Opini, dan Perbandingan dengan Penelitian Lain

1. Kritik terhadap Sistem Appropriation

  • Kelemahan: Sistem appropriation cenderung mengabaikan kebutuhan in-stream (ekologi, rekreasi), terlalu fokus pada penggunaan konsumtif, dan bisa mendorong spekulasi serta pemborosan air.
  • Tantangan Transfer: Biaya transaksi tinggi, resistensi komunitas lokal, dan perlindungan hak-hak downstream sering memperlambat efisiensi pasar air1.

2. Perbandingan dengan Studi Lain

  • Eckstein & Sindico (2014): Menyoroti pentingnya insentif ekonomi dan tekanan publik agar negara mau membangun kerja sama formal dalam pengelolaan air lintas batas.
  • Zeitoun et al. (2016): Menekankan pentingnya integrasi dimensi sosial, ekonomi, dan ekologi dalam tata kelola air, bukan sekadar efisiensi ekonomi1.

3. Relevansi Industri & Tren Global

  • Digitalisasi & Pasar Air: Adopsi teknologi digital untuk pemantauan, pencatatan, dan transfer hak air menjadi tren utama di negara maju.
  • Sustainable Development Goals (SDGs): Hak air kini dikaitkan dengan SDG 6 (air bersih dan sanitasi) dan SDG 15 (ekosistem daratan), menuntut integrasi antara hak individu dan kepentingan publik1.

Rekomendasi Tata Kelola Hak Air Masa Depan

  1. Integrasi Sistem Hak
    Gabungkan keunggulan sistem appropriation (efisiensi, transferabilitas) dengan perlindungan hak-hak riparian (kualitas air, ekologi, penggunaan domestik).
  2. Penguatan Water Trusts & Water Corporations
    Dorong pembentukan trust dan koperasi air untuk mengelola alokasi air secara kolektif, menjaga keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan lingkungan.
  3. Reformasi Regulasi Transfer Hak Air
    Sederhanakan proses transfer hak air, namun tetap lindungi kepentingan publik, downstream users, dan ekosistem.
  4. Peningkatan Transparansi & Digitalisasi
    Implementasikan sistem digital untuk pencatatan hak air, pemantauan penggunaan, dan fasilitasi pasar air yang transparan.
  5. Kolaborasi Multi-Pihak
    Libatkan pemerintah, komunitas lokal, sektor swasta, dan LSM dalam perumusan dan implementasi kebijakan air.

Menuju Hak Air yang Adaptif dan Berkeadilan

Evolusi hak atas air menunjukkan pola “twists and turns” antara sistem berbasis tanah dan penggunaan, dipengaruhi oleh perubahan teknologi, ekonomi, dan sosial. Sistem appropriation menawarkan efisiensi dan fleksibilitas, namun harus diimbangi dengan perlindungan nilai-nilai ekologi dan sosial yang diwariskan sistem riparian. Masa depan tata kelola air menuntut integrasi kedua sistem, inovasi kelembagaan seperti water trusts dan corporations, serta kolaborasi lintas sektor untuk menghadapi tantangan krisis air global, perubahan iklim, dan tuntutan pembangunan berkelanjutan.

Sumber artikel :
Anthony Scott & Georgina Coustalin, The Evolution of Water Rights, 35 Nat. Resources J. 821 (1995).

Selengkapnya
Evolusi Hak Atas Air: Resensi Kritis & Relevansi Global

Sumber Daya Air

Kerjasama di Daerah Aliran Sungai Afghanistan–Pakistan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Air sebagai Titik Temu dan Sumber Konflik

Di tengah meningkatnya krisis air global, sungai lintas negara kian menjadi sumber ketegangan sekaligus peluang kerja sama. Afghanistan dan Pakistan, dua negara yang berbagi sejarah panjang dan kompleks, juga berbagi tiga sungai utama: Kabul, Kurram, dan Gomal. Namun, hingga kini, belum ada kerangka kerja sama formal untuk mengelola sumber daya air bersama, meski manfaat ekonomi, lingkungan, dan sosial yang bisa diraih sangat besar. Bab “Co-operation in the Afghanistan–Pakistan River Basins” karya Jonathan Lautze, Asadullah Meelad, dan Shakeel Hayat (2023) membedah akar masalah, peluang, dan strategi membangun kerja sama air lintas batas di kawasan ini. Resensi ini mengupas temuan utama, studi kasus, angka-angka penting, serta memberikan analisis kritis dan relevansi dengan tren global.

Mengapa Kerja Sama Air Lintas Batas Penting?

Manfaat Kolektif dan Ancaman Konflik

  • Optimalisasi Manfaat: Pengelolaan air lintas negara secara kolektif memungkinkan kedua negara memaksimalkan manfaat ekonomi (irigasi, listrik, pertanian) dan meminimalkan risiko (banjir, kekeringan)1.
  • Reduksi Potensi Konflik: Sejarah dunia menunjukkan, kerja sama air dapat menurunkan risiko konflik antarnegara dan meningkatkan stabilitas kawasan1.
  • Dorongan Internasional: Konvensi internasional seperti UNECE Water Convention (2016) dan UN Watercourse Convention (1997) secara tegas mendorong kerja sama di perairan lintas batas sebagai bagian dari pencapaian SDGs1.

Studi Kasus: Kabul, Kurram, dan Gomal—Tiga Sungai, Nol Kerja Sama

Gambaran Umum dan Signifikansi

  • Kabul River Basin: Menyediakan lebih dari 20 miliar m³ air per tahun, menopang 34 juta penduduk di area 92.000 km². Menyumbang 26% aliran permukaan tahunan Afghanistan dan menjadi tulang punggung irigasi 506.000 ha lahan di kedua negara2.
  • Kurram River Basin: Mengaliri 5,5 juta jiwa, dengan 70% wilayah dan 87% populasi di Pakistan. Sumber utama air pertanian dan domestik, dengan potensi ekspansi irigasi di dataran Pakistan2.
  • Gomal River Basin: Lebih kecil, namun tetap vital untuk pertanian dan kehidupan masyarakat di kedua negara2.

Fakta Kunci

  • Dari sembilan sungai lintas batas Afghanistan–Pakistan, hanya tiga yang memiliki volume dan signifikansi ekonomi terbesar: Kabul, Kurram, dan Gomal3.
  • Tidak ada satu pun perjanjian formal atau mekanisme pengelolaan bersama di antara kedua negara untuk sungai-sungai ini3.

Sejarah dan Status Quo: Dari Tradisi ke Tantangan Modern

Era Tradisional dan Kolonial

  • Sebelum abad ke-19, pengelolaan air berbasis komunitas (mirab) di Afghanistan dan sistem irigasi tradisional di Pakistan mendominasi, tanpa kebutuhan koordinasi lintas negara karena rendahnya penggunaan air dan belum adanya batas internasional1.
  • Penetapan Durand Line (1893) oleh Inggris memecah DAS Indus dan menginternasionalisasi tiga sungai utama, namun tidak diikuti perjanjian air formal antara Afghanistan dan Pakistan1.

Upaya Kerja Sama yang Gagal

  • Sejak 2003, setidaknya enam inisiatif formal dilakukan, termasuk proposal perjanjian Kabul River Treaty, dialog difasilitasi USAID dan World Bank, hingga MoU pengembangan PLTA Kunar bersama China, namun semua gagal diimplementasikan karena kendala politik dan teknis1.
  • Indus Water Treaty (IWT) 1960 antara India–Pakistan tidak mencakup sungai dari Afghanistan, sehingga fragmentasi pengelolaan DAS Indus tetap terjadi1.

Dampak Ketiadaan Kerja Sama: Ancaman Nyata di Lapangan

Kerugian dan Risiko Aktual

  • Kerusakan Banjir: Banjir 2010 di Kabul River Basin menewaskan sekitar 2.000 orang dan menghancurkan lebih dari 1,6 juta rumah di Afghanistan dan Pakistan1.
  • Inefisiensi Pengelolaan: Tidak adanya pertukaran data debit air membuat perencanaan dan alokasi air tidak optimal, memperbesar risiko gagal panen dan kekeringan1.
  • Risiko Masa Depan: Pembangunan unilateral dam di Afghanistan dapat mengurangi aliran ke Pakistan, mengancam irigasi dan mata pencaharian jutaan petani. Sebaliknya, ekspansi infrastruktur di Pakistan bisa mengunci hak penggunaan air Afghanistan di masa depan1.

Ancaman Sosial-Politik

  • Sengketa Perbatasan: Perselisihan tentang keabsahan Durand Line membuat kedua negara enggan membangun kepercayaan. Afghanistan menolak mengakui Durand Line sebagai batas internasional, sementara Pakistan menganggapnya sah1.
  • Geopolitik Regional: Rivalitas India–Pakistan dan keterlibatan pihak ketiga (AS, China, Rusia) memperumit negosiasi air. Proyek dam yang didanai India di Afghanistan dipandang sebagai ancaman oleh Pakistan1.
  • Instabilitas Politik: Pergantian rezim yang sering di Afghanistan dan Pakistan menghambat kelanjutan negosiasi air lintas negara1.

Analisis Penyebab Mandeknya Kerja Sama

Empat Faktor Utama

  1. Sengketa Batas Wilayah: Perselisihan Durand Line menjadi akar ketidakpercayaan dan hambatan utama dialog air1.
  2. Geopolitik Global dan Regional: Perang proxy era Perang Dingin dan rivalitas India–Pakistan membayangi setiap negosiasi air1.
  3. Bundling Isu: Elit kedua negara kerap mengaitkan isu air dengan isu lain seperti keamanan, perdagangan, dan politik, sehingga air tidak pernah menjadi prioritas tersendiri1.
  4. Instabilitas Politik Domestik: Pemerintahan yang tidak stabil membuat setiap upaya kerja sama sulit berlanjut secara konsisten1.

Potensi Manfaat Kerja Sama: Studi Kasus dan Angka

Enam Manfaat Utama

  1. Peningkatan Energi: Potensi PLTA di Kabul River Basin mencapai 1.100 MW (World Bank, 2018), namun butuh investasi dan kerja sama internasional1.
  2. Reduksi Risiko Banjir: Sistem peringatan dini banjir bersama dapat menyelamatkan ribuan jiwa dan aset miliaran dolar setiap tahun1.
  3. Kepastian Air untuk Pertanian: Pengaturan aliran air bersama dapat meningkatkan produktivitas pertanian di kedua negara, mengurangi risiko gagal panen akibat fluktuasi aliran sungai1.
  4. Adaptasi Perubahan Iklim: Proyeksi kenaikan suhu 2,6–5,1°C dan peningkatan curah hujan 4,5–12,2% di DAS Kabul, Kurram, dan Gomal pada akhir abad 21 akan meningkatkan risiko banjir dan kekeringan. Kerja sama memungkinkan respons adaptif berbasis data dan infrastruktur bersama1.
  5. Perdamaian dan Stabilitas: Kerja sama air menjadi jalur diplomasi baru yang dapat menurunkan tensi politik dan membuka peluang kerja sama ekonomi lintas sektor1.
  6. Pertumbuhan Ekonomi Regional: Stabilitas dan kepastian pengelolaan air menarik investasi, memperkuat perdagangan, dan membuka akses pasar lintas negara1.

Kerangka Hukum dan Prinsip Kerja Sama

Panduan Global dan Lokal

  • Konvensi UNECE 1992 dan UN Watercourses 1997: Menekankan pertukaran data, pemberitahuan rencana infrastruktur, penyelesaian sengketa, kewajiban kerja sama, dan prinsip pemanfaatan adil-berkelanjutan1.
  • Hukum Adat Internasional: Prinsip “limited territorial sovereignty” menegaskan setiap negara riparian berhak atas pemanfaatan adil, namun wajib memperhatikan hak negara lain1.
  • Hukum Islam: Air adalah milik bersama, dan penggunaan harus adil, tidak merugikan orang lain, serta mendahulukan kebutuhan dasar sebelum komersial1.

Strategi Memulai Kerja Sama: Rekomendasi Praktis

Empat Katalisator Perubahan

  1. Pisahkan Isu Air dari Isu Lain: Belajar dari Indus Water Treaty, fokus pada air tanpa membebani dengan isu politik atau keamanan lain dapat mempercepat tercapainya kesepakatan teknis1.
  2. Bangun Pemahaman Nilai Manajemen DAS: Studi banding ke lembaga pengelola DAS sukses seperti TVA (AS) dan Murray Darling Authority (Australia) dapat membuka wawasan dan membangun buy-in dari kedua negara1.
  3. Fasilitasi Pihak Ketiga: Keterlibatan lembaga seperti World Bank, USAID, atau donor multilateral lain penting untuk mediasi, pendanaan, dan menjaga kontinuitas proses negosiasi1.
  4. Dorong Kerja Sama karena Urgensi Iklim: Adaptasi perubahan iklim dapat menjadi alasan kuat untuk mempercepat kerja sama, sekaligus membuka akses pendanaan internasional1.

Tahapan Implementasi

  • Langkah Awal: Mulai dari pertukaran data, sistem peringatan dini banjir, dan studi bersama tentang perubahan iklim di DAS kecil (Kurram/Gomal) untuk membangun kepercayaan sebelum masuk ke isu besar seperti alokasi air atau pembangunan dam1.
  • Pendekatan Bertahap: Setelah kepercayaan terbentuk, lanjutkan ke kolaborasi teknis, lalu ke joint action seperti pembangunan infrastruktur bersama1.
  • Peluang Pembiayaan: Model multi-donor trust fund seperti pada Nile Basin Initiative dapat diadopsi untuk menjamin keberlanjutan pendanaan kerja sama air lintas negara1.

Analisis Kritis dan Perbandingan dengan Studi Lain

Kelebihan dan Kekurangan

  • Konteks Afghanistan–Pakistan: Berbeda dengan India–Pakistan, Afghanistan belum memiliki kebutuhan mendesak untuk kerja sama air karena tingkat pembangunan irigasi yang masih rendah. Namun, potensi konflik di masa depan sangat besar jika pembangunan dam dilakukan sepihak1.
  • Belajar dari IWT: IWT sukses memisahkan air dari isu politik, namun gagal membangun institusi pengelolaan bersama. Afghanistan–Pakistan sebaiknya menghindari model “pembagian air” dan lebih fokus pada “berbagi manfaat” (benefit sharing) lintas sektor14.
  • Tren Global: Dunia kini bergerak ke arah pengelolaan DAS berbasis manfaat bersama, penggunaan teknologi digital untuk monitoring, dan keterlibatan multipihak (pemerintah, komunitas, swasta, donor)4.

Opini dan Relevansi Industri

  • Industri Energi dan Pertanian: Kerja sama air akan memperkuat ketahanan energi (PLTA) dan pangan (irigasi), sekaligus mengurangi risiko bisnis akibat ketidakpastian pasokan air.
  • Teknologi dan Data: Digitalisasi data hidrologi, penggunaan sensor real-time, dan platform kolaboratif lintas negara menjadi tren baru yang dapat memfasilitasi kerja sama lebih efisien dan transparan4.

Rekomendasi untuk Masa Depan

  1. Bangun Kepercayaan Melalui Quick Wins: Mulai dari pertukaran data, studi bersama, dan sistem peringatan dini banjir di DAS kecil untuk membangun modal sosial sebelum membahas isu besar seperti alokasi air1.
  2. Adopsi Prinsip Benefit Sharing: Fokus pada berbagi manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan, bukan sekadar membagi volume air4.
  3. Perkuat Kelembagaan dan Hukum: Bentuk lembaga bersama yang independen, adopsi prinsip-prinsip hukum internasional dan Islam, serta dorong ratifikasi konvensi global1.
  4. Libatkan Multipihak: Sertakan komunitas lokal, LSM, dan sektor swasta dalam perencanaan, implementasi, dan monitoring kerja sama air4.
  5. Optimalkan Teknologi: Manfaatkan data digital, sensor, dan platform daring untuk monitoring, peringatan dini, dan transparansi pengelolaan air lintas negara4.

Jalan Panjang Menuju Diplomasi Air yang Inklusif

Bab ini menegaskan bahwa kerja sama air Afghanistan–Pakistan bukan sekadar isu teknis, melainkan ujian diplomasi, kepercayaan, dan visi masa depan kedua bangsa. Tanpa reformasi kelembagaan, pemisahan isu air dari politik, dan adopsi prinsip benefit sharing, risiko konflik dan kerugian ekonomi akan terus membayangi. Namun, peluang untuk membangun model kerja sama air yang inklusif, adaptif, dan berkelanjutan sangat terbuka jika kedua negara berani melangkah bersama, dibantu fasilitasi pihak ketiga dan didorong kebutuhan adaptasi perubahan iklim. Masa depan air di kawasan ini akan sangat ditentukan oleh keberanian politik, inovasi kelembagaan, dan partisipasi multipihak dalam membangun tata kelola bersama yang adil dan visioner.

Sumber artikel :
Lautze, Jonathan; Meelad, Asadullah; Hayat, Shakeel. 2023. Co-operation in the Afghanistan–Pakistan River Basins. In: Shah, M.A.A.; Lautze, J.; Meelad, A. (Eds.). Afghanistan–Pakistan Shared Waters: State of the Basins. Wallingford, UK: CABI. pp.143–161.

Selengkapnya
Kerjasama di Daerah Aliran Sungai Afghanistan–Pakistan
« First Previous page 61 of 1.107 Next Last »