Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 03 Juli 2025
Pendahuluan: Ketika Game Menjadi Alat Perubahan Sosial
Pengelolaan air di komunitas periurban sering kali diwarnai konflik, ketimpangan akses, dan minimnya partisipasi warga. Artikel karya Mariano dan Alves (2020) menawarkan pendekatan inovatif: menggabungkan roleplaying game (RPG) dan agentbased modeling (ABM) untuk memahami dan memperbaiki perilaku kolektif dalam pengelolaan air. Studi ini dilakukan di Canaan Settlement, wilayah pertanian kecil di Distrik Federal Brasil yang mengalami krisis air antara 2015–2017.
Metodologi: Kombinasi Edukasi, Simulasi, dan Partisipasi
Penelitian ini menggunakan dua alat utama:
Studi dilakukan dalam dua sesi RPG dengan total 22 peserta dari komunitas lokal. Model ABM mencakup 100 agen petani, 50x50 petak lahan, dan tiga jenis tanaman utama: jagung (nonirigasi), markisa (irigasi), dan agroforestri.
Studi Kasus: Canaan Settlement dan Krisis Air
Canaan Settlement terdiri dari 67 lahan pertanian kecil (1–5 ha) di DAS Descoberto, yang menyuplai air untuk 60% populasi Distrik Federal. Tantangan utama:
Temuan dari RPG: Realitas Sosial dalam Simulasi
Sesi pertama RPG menunjukkan bahwa:
Sesi kedua menambahkan elemen sumur pribadi dan kolektif. Hasilnya:
Komentar pemain seperti “kalau terus begini, lahan hilir jadi perumahan” menunjukkan kesadaran akan spekulasi properti akibat krisis air.
Model ABM: Prediksi, Validasi, dan Simulasi
Model ABM memvalidasi hasil RPG dan mensimulasikan 6 skenario berdasarkan kombinasi curah hujan (tinggi, sedang, rendah) dan kondisi pasar (baik, buruk). Temuan utama:
AFS menghasilkan 44% dari total profit di skenario terbaik, menunjukkan potensi sebagai solusi berkelanjutan.
Kritik dan Refleksi: Antara Edukasi dan Prediksi
Artikel ini menonjol karena:
Namun, model masih menyederhanakan dinamika sosial seperti konflik internal, gender, dan kekuasaan lokal. Selain itu, asumsi bahwa curah hujan langsung memengaruhi air tanah bisa disempurnakan dengan data hidrogeologi.
Nilai Tambah dan Relevansi Global
Pendekatan ini sangat relevan untuk:
Kesimpulan: Game Bukan Sekadar Hiburan, Tapi Alat Perubahan
Studi ini membuktikan bahwa perubahan perilaku kolektif bisa dimulai dari simulasi sederhana. Ketika petani melihat dampak keputusan mereka secara visual dan langsung, mereka lebih terbuka untuk berdialog dan mengevaluasi strategi. Kombinasi RPG dan ABM bukan hanya alat akademik, tapi juga platform pembelajaran sosial yang kuat.
Sumber Artikel :
Mariano, D. J. K., & Alves, C. M. A. (2020). The application of roleplaying games and agentbased modelling to the collaborative water management in periurban communities. Revista Brasileira de Recursos Hídricos, 25, e25.
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 03 Juli 2025
Pendahuluan: Dari Hidrologi Klasik ke SocioHydrology
Krisis air global saat ini bukan hanya soal kekurangan air, tetapi juga soal kegagalan sistem sosial dalam mengelola sumber daya tersebut secara adil dan berkelanjutan. Artikel karya Xia, Dong, dan Zou (2022) menelusuri evolusi sociohydrology sebagai disiplin baru yang menjembatani ilmu alam dan sosial untuk memahami dinamika timbal balik antara manusia dan sistem hidrologi. Dengan menyoroti empat isu ilmiah utama dan tantangan metodologis, artikel ini menjadi peta jalan penting bagi masa depan pengelolaan air berbasis keberlanjutan.
Evolusi SocioHydrology: Tiga Tahap Paradigma
Penulis menguraikan perkembangan paradigma hidrologi dalam tiga fase:
1. Pra1970an: Fokus pada dampak manusia terhadap air (I=PAT).
2. 1970–2010an: Interaksi dua arah antara manusia dan air (hydrosociology, IWRM).
3. Pasca2012: Coevolution manusiaair melalui pendekatan sociohydrology (Sivapalan et al., 2012).
Transformasi ini mencerminkan pergeseran dari pendekatan eksogen ke endogen, di mana manusia bukan hanya pengguna air, tetapi juga bagian dari sistem dinamis yang saling memengaruhi.
Empat Isu Ilmiah Kunci dalam SocioHydrology
1. Evolusi Jangka Panjang Sistem SosioHidrologi
Studi historis menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan, proyek irigasi besar, dan polusi industri memiliki efek jangka panjang terhadap kualitas dan kuantitas air. Misalnya, proyek bendungan besar dapat mengubah pola aliran sungai selama ratusan tahun.
2. Deskripsi Kuantitatif dan Mekanisme Penggerak
Penulis menekankan pentingnya metode kuantitatif seperti content analysis, mapping knowledge domain, dan model berbasis agen (ABM) untuk memahami dinamika sosialair. Contoh: Wei et al. (2015) menganalisis evolusi isu air di Australia melalui 150 tahun arsip surat kabar.
3. Prediksi Jalur KoEvolusi Sistem SosialAir
Tantangan utama adalah mengakomodasi ketidakpastian perilaku manusia dalam model prediktif. Faktor seperti nilai, kepercayaan, dan pendidikan memengaruhi respons terhadap kebijakan air. Big data dan media sosial mulai digunakan untuk menangkap dinamika ini secara realtime.
4. Manajemen Terintegrasi Sumber Daya Air (IWRM) Berbasis Sistem
Sociohydrology mendukung IWRM dengan menyediakan kerangka kerja untuk mengevaluasi dampak kebijakan dan merancang intervensi adaptif. Contoh sukses: penerapan IWRM di MurrayDarling Basin, Australia.
Studi Kasus dan Model Terapan
Artikel ini menyajikan berbagai studi kasus dari 10 tahun terakhir, termasuk:
Model yang digunakan mencakup system dynamics, Bayesian networks, dan conceptual models, menunjukkan keragaman pendekatan dalam sociohydrology.
Kritik dan Kesenjangan Penelitian
Penulis mengidentifikasi tiga celah utama:
Kurangnya mekanisme interaksi yang jelas antara sistem sosial dan hidrologi.
Dominasi pendekatan kualitatif, padahal prediksi membutuhkan kuantifikasi yang kuat.
Keterbatasan data lintas disiplin, terutama dalam skala spasial dan temporal yang sesuai.
Selain itu, banyak model masih menyederhanakan perilaku manusia dan gagal menangkap dinamika nilai, konflik, dan institusi secara mendalam.
Peluang Masa Depan: Interdisiplin dan Big Data
Sociohydrology memiliki peluang besar untuk berkembang melalui:
Contoh: penggunaan data Twitter untuk memetakan persepsi publik terhadap krisis air di Cape Town (Ren et al., 2019).
Kontribusi terhadap SDGs dan Tata Kelola Global
Sociohydrology berperan penting dalam mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya:
Dengan pendekatan sistemik dan partisipatif, sociohydrology dapat membantu merancang kebijakan air yang lebih adil, adaptif, dan berbasis bukti.
Kesimpulan: Ilmu Baru untuk Dunia yang Berubah
Artikel ini menegaskan bahwa sociohydrology bukan sekadar cabang baru dari hidrologi, tetapi paradigma ilmiah baru yang menjawab kompleksitas dunia modern. Dengan menggabungkan sejarah, prediksi, dan manajemen dalam satu kerangka, disiplin ini menawarkan harapan baru untuk mengatasi krisis air global secara berkelanjutan dan inklusif.
Sumber Artikel :
Xia, J., Dong, Y., & Zou, L. (2022). Developing sociohydrology: Research progress, opportunities and challenges. Journal of Geographical Sciences, 32(11), 2131–2146.
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 03 Juli 2025
Asia Tengah, wilayah yang bergantung pada dua sungai besar Amudarya dan Syrdaryamenghadapi krisis tata kelola air yang kompleks. Artikel karya Abdullaev et al. (2025) mengupas bagaimana konflik politik, perubahan iklim, dan lemahnya kapasitas riset lokal memperumit pengelolaan air lintas negara. Lebih dari sekadar isu teknis, krisis ini mencerminkan ketegangan antara warisan Soviet, kepentingan nasional, dan kebutuhan akan tata kelola kolaboratif berbasis sains.
Konteks Regional: Sungai yang Membelah Negara dan Kepentingan
Amudarya dan Syrdarya mengalir melintasi lima negara: Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan. Sungaisungai ini menjadi sumber utama irigasi dan energi, namun juga menjadi sumber konflik. Proyek bendungan di hulu seperti Rogun di Tajikistan dan rencana pembangunan di Sungai Naryn oleh Kyrgyzstan memicu kekhawatiran negara hilir akan berkurangnya pasokan air.
Kasus penting:
Pada 2024, Afghanistan memulai pembangunan kanal irigasi besar yang diperkirakan akan menyedot hingga 30% aliran Amudarya, mengancam pertanian di Uzbekistan dan Turkmenistan. Ini menambah tekanan pada sistem yang sudah rapuh akibat perubahan iklim dan eksploitasi berlebih.
Dinamika Politik dan Reformasi: Antara Kolaborasi dan Ketegangan
Meski konflik potensial tinggi, Asia Tengah menunjukkan resiliensi politik melalui berbagai perjanjian dan forum seperti International Fund to Save the Aral Sea (IFAS). Uzbekistan, sejak 2017, mendorong kerja sama regional, termasuk kesepakatan pembangunan PLTA Kambarata I bersama Kazakhstan dan Kyrgyzstan.
Namun, reformasi sektor air masih didominasi pendekatan teknokratis dan efisiensi, bukan ketahanan jangka panjang. Tajikistan telah menjalankan reformasi selama 9 tahun, Kazakhstan membentuk kementerian air baru, dan Uzbekistan memisahkan kementerian air dari pertanian serta memperluas irigasi tetes. Tapi, resiliensi kelembagaan dan adaptasi terhadap ketidakpastian iklim masih minim.
Studi Kasus: Bencana dan Ketegangan Sosial
Peran Riset dan Pendidikan Tinggi: Potensi yang Belum Dioptimalkan
Artikel ini menyoroti bahwa kapasitas riset lokal masih tertinggal. Banyak universitas dan lembaga riset di Asia Tengah belum mengalami reformasi signifikan sejak era Soviet. Keterbatasan dana, ketergantungan pada donor asing, dan minimnya literatur dalam bahasa lokal menjadi hambatan utama.
Catatan penting:
SciencePolicy Interface: Jembatan yang Masih Rawan
Meski ada lembaga seperti Interstate Commission for Water Coordination (ICWC) dan pusat informasinya (SIC), integrasi antara riset dan kebijakan masih terbatas. Hambatan utama:
Inisiatif baru:
Usulan pembentukan Central Asian Expert Platform on Water Security, Sustainable Development, and Future Studies sebagai wadah kolaborasi lintas negara dan institusi untuk menyusun agenda riset jangka panjang dan menghasilkan kebijakan berbasis bukti.
Kritik dan Rekomendasi: Dari Efisiensi ke Ketahanan
Penulis mengkritik bahwa pendekatan dominan masih berfokus pada efisiensi teknis dan pasar, bukan pada resiliensi sistemik. Untuk menjawab tantangan iklim dan geopolitik, dibutuhkan :
Kesimpulan: Menuju Tata Kelola Air yang Tangguh dan Inklusif
Artikel ini menyajikan gambaran menyeluruh tentang kompleksitas tata kelola air di Asia Tengah. Dari konflik lintas negara hingga lemahnya kapasitas riset, dari reformasi teknokratis hingga kebutuhan akan pendekatan adaptif—semuanya menunjukkan bahwa air bukan hanya soal sumber daya, tapi juga soal politik, pengetahuan, dan masa depan bersama.
Dengan membangun jembatan antara sains dan kebijakan, memperkuat pendidikan tinggi, dan mendorong kolaborasi regional, Asia Tengah memiliki peluang untuk mengubah krisis menjadi momentum transformasi.
Sumber : Abdullaev, I., Assubayeva, A., Bobojonov, I., Djanibekov, N., Dombrowsky, I., Gafurov, A., Hamidov, A., HerrfahrdtPähle, E., JanuszPawletta, B., Ishangulyyeva, R., Kasymov, U., Mirkasimov, B., Petrick, M., Strobehn, K., & Ziganshina, D. (2025). Current challenges in Central Asian water governance and their implications for research, higher education, and sciencepolicy interaction. Central Asian Journal of Water Research, 11(1), 47–58.
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 03 Juli 2025
Air—yang sering dikelola atas nama efisiensi ekonomi—menyimpan makna jauh lebih dalam bagi banyak komunitas. Dalam penelitian Heinrichs dan Rojas (2022), pendekatan budaya menjadi fokus utama dalam memahami bagaimana nilainilai dan cara pandang masyarakat memengaruhi tata kelola serta pengelolaan air secara global. Melalui kajian literatur sistematis terhadap 52 studi dari berbagai belahan dunia, artikel ini menggambarkan peta lengkap teori budaya (theories of culture) yang digunakan dalam ranah tata kelola air.
Yang menarik, pendekatan ini menyoroti bahwa krisis air sering bukan semata krisis fisik, melainkan krisis tata kelola yang abai terhadap pluralitas nilai budaya.
Fokus Kajian: Celah Antara Teori, Nilai Budaya, dan Implementasi Nyata
Penelitian ini bertujuan:
Hasilnya cukup mengejutkan sebagian besar studi hanya mengulas teori tanpa melibatkan praktik konkret di lapangan.
Dominasi Cultural Theory dan Ketimpangan Implementasi
Cultural Theory karya Mary Douglas mendominasi kajian ini. Teori ini mengelompokkan individu ke dalam empat kategori berdasarkan struktur sosial dan cara menghadapi risiko:
Nilainilai ini muncul di mayoritas studi, menunjukkan kecenderungan peneliti memilih pendekatan yang sederhana dan mudah diukur. Namun, studi juga menunjukkan bahwa pendekatan ini cenderung statis dan kurang menangkap dinamika nilainilai lokal atau adat yang kompleks dan kontekstual.
Meningkatnya Pengakuan terhadap Indigenous Knowledges
Meski Cultural Theory dominan, muncul tren baru yang kuat: pengakuan terhadap Indigenous Knowledges sebagai kerangka teoritis dan praksis. Dari 52 studi, 9 menggunakan pendekatan ini—sebagian besar dari konteks Australia.
Nilai nilai yang muncul mencakup:
Namun, dalam praktiknya nilai ini masih lebih sering muncul dalam bentuk wacana budaya, bukan sebagai dasar pengambilan kebijakann
Water Governance vs. Water Management: Mana yang Lebih Responsif Budaya?
Tata Kelola Air (governance) menampilkan nilai seperti lore, country, dan river, mencerminkan keterhubungan manusia dengan lingkungan.
Sebaliknya, Manajemen Air (management) cenderung lebih antroposentris—menekankan nilai seperti health, use, dan productivity. Hal ini menunjukkan bias ekonomi dalam pendekatan manajemen teknokratis, sekaligus memperkuat tantangan menjembatani nilainilai lokal dengan kebutuhan perencanaan operasional.
Studi Kasus & Implementasi: Di Mana Nilai Budaya Berperan Nyata?
Hanya 30 dari 52 studi yang mengimplementasikan teori budaya ke dalam praktik, antara lain lewat:
Contohnya, penelitian oleh CastillaRho et al. menggunakan model sosial berbasis Cultural Theory untuk memodelkan risiko reputasi petani dalam pelaporan pencurian air tanah. Penelitian ini mengintegrasikan data nilainilai budaya ke dalam perhitungan model manajemen akuifer di AS, Australia, dan India.
Masalah dan Kritik: Statis, BaratSentris, dan Kurang Kontekstual
Beberapa kritik penting terhadap pendekatan dominan:
Cultural Theory cenderung mengabaikan keragaman nilai komunitas adat dan lokal yang lebih dinamis.
Banyak studi tidak menyebut secara jelas dari disiplin mana teori budaya itu berasal, sehingga pendekatannya kurang reflektif terhadap paradigma asalnya (misal: positivistik vs. kritikal).
Implementasi nyata masih terbatas pada analisis statistik—jarang yang masuk ke ranah desain kebijakan.
Rekomendasi: Bergerak ke ‘Theories of Culture’ yang Plural dan Adaptif
Penulis menyarankan agar pendekatan ke depan berpindah dari mencari “the best cultural theory” ke pendekatan yang lebih fleksibel—“theories of culture” yang bisa disesuaikan dengan konteks spesifik.
Salah satu alternatif adalah Schwartz’s Cultural Value Theory, yang menawarkan sepuluh nilai lintas budaya, antara lain:
Model ini lebih adaptif dan bisa diterapkan dalam pemodelan kebijakan serta telah divalidasi lintas negara.
Koneksi Global dan Implikasi Masa Depan
Dengan tantangan air global yang semakin akut—dari konflik sungai lintas negara hingga akses air bersih—pemahaman lintas budaya menjadi fondasi untuk menciptakan tata kelola yang inklusif dan adil.
Konteks negara berkembang seperti Indonesia, dengan keberagaman nilai lokal, kepercayaan adat, serta kesenjangan akses air, sangat membutuhkan pendekatan yang mampu menjembatani sains, kebijakan, dan nilai komunitas.
Kesimpulan
Artikel Heinrichs dan Rojas mengingatkan bahwa air adalah refleksi dari relasi sosial, bukan semata sumber daya teknis. Untuk menciptakan tata kelola yang berkelanjutan, kita butuh lebih dari sekadar pipa dan kebijakan—kita butuh nilai, narasi, dan sensitivitas budaya.
Sumber Artikel :
Heinrichs, D. H., & Rojas, R. (2022). Cultural values in water management and governance: Where do we stand? Water, 14(803), 1–22.
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 03 Juli 2025
Kualitas air tidak hanya ditentukan oleh curah hujan atau kondisi tanah, tetapi juga oleh keputusan sosial—kesadaran petani, dukungan lembaga lokal, dan arah kebijakan publik. Inilah titik tolak pendekatan sociohydrology, yang dikembangkan untuk menggabungkan aspek manusia dan alam dalam satu sistem dinamis. Melalui studi kasus di Daerah Aliran Sungai (DAS) Black Volta, Burkina Faso, artikel karya Carr et al. (2022) menawarkan narasi transformatif tentang bagaimana kelembagaan lokal dan perilaku masyarakat memainkan peran krusial dalam mengelola kualitas air.
Konteks Wilayah: Tantangan MultiSumber di DAS Black Volta
Wilayah penelitian berlokasi di barat daya Burkina Faso, meliputi tiga unit kelembagaan bernama CLE (Comité Local de l’Eau): Mouhoun Tâ, Kou, dan Bougouriba 7. Ancaman utama di wilayah ini mencakup sedimentasi sungai, pencemaran air akibat penggunaan pupuk dan pestisida, penggembalaan liar, serta penambangan emas. Sekitar 50% petani dalam survei mengaku menggarap lahan di tepi sungai, dan lebih dari 80% menggunakan pestisida serta pupuk kimia (Balana et al., 2019).
Kebijakan mitigasi utama adalah zona larangan tanam 100 meter dari sempadan sungai yang diperkenalkan tahun 2009. Namun, implementasi terbentur dengan keterbatasan sosialekonomi serta lemahnya kapasitas lembaga pengawas seperti Water Police.
Model SosioHidrologi: Skema Dinamis Interaksi Sosial dan Alam
Model ini dibangun berbasis pendekatan sistem dinamis, dikode dalam R, dengan asumsi dasar bahwa peningkatan sedimentasi ⇒ kesadaran petani dan institusi meningkat ⇒ perubahan tindakan (berhenti tanam, tanam pohon, mengurangi polusi) ⇒ peningkatan kualitas air.
Variabel utamanya mencakup:
Skema ini berhasil mensimulasikan perubahan sosial dan ekologis selama 30 tahun terakhir (1990–2020) berdasarkan data empirik dan wawancara lapangan. Misalnya, pada tahun 2010 terjadi insiden sungai tercemar hingga ikan dan kuda nil mati, yang memicu peningkatan kesadaran dan pemberlakuan hukum, meskipun sayangnya tidak berlangsung lama karena perpindahan pejabat lokal.
Hasil Simulasi: Apa yang Bekerja, Apa yang Tidak
Skenario dasar (baseline) menunjukkan bahwa meskipun kesadaran meningkat secara perlahan, tidak terjadi perbaikan signifikan karena keterbatasan kapasitas dan dukungan kelembagaan.
Skenario simulasi lainnya antara lain:
Gabungan ketiganya + peningkatan kapasitas CLE tiga kali lipat ⇒ dampak tertinggi dan konsisten menurunkan sedimen ke level sebelum 1990.
Gabungan kebijakan moderat + penegakan hukum lewat denda dari Water Police ⇒ efektif cepat, tapi kesadaran petani naik karena tekanan bukan pemahaman jangka panjang.
Manfaat Tambahan & Implikasi Kebijakan
Studi ini menyajikan beberapa pelajaran penting:
1. Kesadaran saja tidak cukup, harus disertai dukungan dana dan pelatihan.
2. Penurunan kualitas air selalu melibatkan tradeoff ekonomi: pendapatan petani turun 42–62% bila berpindah ke praktik ramah lingkungan.
3. Model ini bisa digunakan sebagai alat interaktif kebijakan, misalnya untuk menentukan level insentif finansial minimum agar petani mau berhenti menggarap zona sempadan.
4. Kapasitas kelembagaan adalah titik tumpu transformasi: peningkatan efisiensi CLE dan Water Police lebih efektif ketimbang kampanye kesadaran saja.
Kritik, Opini, dan Koneksi Global
Artikel ini unggul dalam menjembatani pendekatan akademik dan implementasi lapangan. Namun, beberapa keterbatasan patut dicatat:
Meski begitu, pendekatan ini sangat relevan bagi negara tropis lainnya seperti Indonesia, di mana pendekatan koproduksi pengetahuan, penyuluhan petani, dan pemberdayaan lembaga desa bisa disimulasikan dengan kerangka serupa.
Penutup
Dengan merangkul paradigma impairthenrepair, model ini membantu kita memahami bahwa krisis kualitas air bukan sekadar masalah teknis, tapi sosial dan institusional. Peningkatan kualitas air bergantung pada keberanian berinovasi di level kebijakan, keberdayaan aktor lokal, dan desain kelembagaan yang inklusif dan visioner.
Sumber : Carr, G., Barendrecht, M. H., Balana, B. B., & Debevec, L. (2022). Exploring water quality management with a sociohydrological model: A case study from Burkina Faso. Hydrological Sciences Journal, 67(6), 831–846.
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 03 Juli 2025
Dalam konteks perubahan iklim yang semakin ekstrem, kelangkaan air menjadi tantangan utama terutama di wilayah kering seperti Arizona. Artikel karya York et al. (2020) membedah secara mendalam bagaimana sektor pertanian irigasi di Central Arizona menavigasi risiko yang kian kompleks melalui dinamika kelembagaan, interaksi sosialhidrologi, serta benturan kepentingan antara petani, penduduk asli, dan otoritas negara.
Fokus utama studi ini adalah memahami bagaimana keputusan para petani dipengaruhi oleh sistem infrastruktur sosial dan fisik yang terhubung dengan narasi, model mental, dan institusi yang membentuk lanskap kebijakan air Arizona selama beberapa dekade.
Konteks: Drought Contingency Plan dan Krisis Sungai Colorado
Sebagai latar belakang, krisis air yang dihadapi Arizona diperkuat oleh Drought Contingency Plan (DCP) yang disahkan tahun 2019 untuk menanggulangi ancaman menyusutnya level danau Mead akibat pengambilan berlebih dari Sungai Colorado. Salah satu kebijakan kunci adalah aktivasi Tier Zero, yang mulai memotong pasokan air untuk sektor pertanian di Arizona tengah—khususnya di Pinal County.
Kondisi ini memperuncing konflik lama mengenai hak air antara komunitas penduduk asli seperti Gila River Indian Community (GRIC) dan Colorado River Indian Tribes (CRIT), dan petani Anglo yang selama ini mendapat dukungan lewat berbagai insentif dan kelembagaan.
Studi Kasus: Pinal County, Perubahan Sumber Air & Efek Ekonomi
Pinal County menjadi titik sentral dalam studi kasus. Di wilayah ini, ketergantungan terhadap air Sungai Colorado diperparah oleh menurunnya cadangan akuifer. Dengan luas lahan pertanian mencapai 425.737 hektare, komoditas utama adalah kapas, alfalfa, dan gandum. Pada 2016, sektor pertanian menyumbang US$1,1 miliar terhadap ekonomi lokal.
Namun, setelah diberlakukannya Tier Zero, petani harus kembali menggunakan air tanah, yang menyebabkan risiko overdraft akuifer meningkat. Tanpa infrastruktur sumur yang memadai (banyak tidak aktif sejak bergantung pada proyek CAP), pemerintah Arizona menganggarkan US$20 juta untuk restorasi infrastruktur air tanah di wilayah ini.
Tata Kelola dan Kompleksitas Hak Adat atas Air
Salah satu kekuatan studi ini adalah pembahasan mendalam tentang hak air adat berdasarkan putusan pengadilan Winters v. United States (1908), yang mengakui hak tak terhapuskan bagi komunitas adat untuk mendapatkan air sesuai dengan kebutuhan mereka. Di Arizona, GRIC memegang alokasi 740 juta m³ dari proyek CAP (46% dari total pasokan CAP). Namun, tidak semua komunitas diizinkan menyewakan air keluar dari wilayah adatnya, seperti yang dialami CRIT.
Contoh penting: GRIC menyewakan 40,9 juta m³ per tahun selama 25 tahun kepada Central Arizona Groundwater Replenishment District, memungkinkan pengembang perumahan tetap mematuhi aturan Assured Water Supply tanpa mengganggu pasokan kota besar—hal ini sekaligus menjadikan GRIC aktor penting dalam negosiasi DCP.
Namun, konflik muncul ketika GRIC menolak menjual air kepada petani Pinal karena benturan kepentingan atas hak sungai Gila. Ketegangan politik meningkat dengan pernyataan anggota legislatif yang menyudutkan GRIC, mencerminkan narasi dominan dari kelompok Anglo yang cenderung memandang komunitas adat sebagai penghalang alihalih mitra sejajar.
Kebijakan Lama yang Tidak Adaptif: Flex Credit dan BMP Program
Sistem seperti Flex Credit, yang memungkinkan petani menyimpan hak air yang tidak terpakai dan menggunakannya di kemudian hari, justru menciptakan surplus virtual yang besar (hingga 6,1 miliar m³ di Pinal per 2011). Hal ini berpotensi menyuburkan eksploitasi berlebih ketika permintaan melonjak.
Begitu pula dengan Best Management Practices (BMP) Program, yang awalnya dirancang untuk mendorong konservasi air, namun dalam praktiknya membuka celah bagi penggunaan air lebih besar—terutama oleh sektor peternakan sapi perah dan produksi alfalfa.
Para petani yang memenuhi standar teknologi (misalnya irigasi tetes, laser leveling) dibebaskan dari batasan penggunaan air (water duty). Namun, seperti dicatat dalam wawancara lapangan, kebijakan ini seringkali tidak diikuti oleh perubahan signifikan dalam pola tanam, melainkan digunakan untuk “melegalkan” konsumsi tinggi.
Kritik terhadap Institusi & Ketidaksiapan terhadap Perubahan Iklim
York dkk. menyimpulkan bahwa kebijakan air Arizona lebih fokus pada pelestarian status quo dan stabilitas politik daripada ketahanan terhadap perubahan iklim. Adaptasi sejati, seperti transisi ke tanaman hemat air, pengembangan sistem pasar air antar sektor, atau transformasi sistemik justru minim dukungan. Narasi konservasi dibingkai dalam konteks "menghindari krisis antar negara bagian"—bukan sebagai respon terhadap ketidakstabilan iklim jangka panjang.
Artikel ini juga memaparkan bagaimana model mental para petani didominasi oleh pemahaman bahwa perubahan iklim bukan sumber risiko utama. Perhatian mereka lebih pada perebutan hak dengan komunitas adat, kekhawatiran terhadap dominasi California, dan intervensi pemerintah.
Masa Depan: Narasi Baru dan Rekomendasi Transformasi
Penulis merekomendasikan pendekatan kolaboratif berbasis cogovernance yang benarbenar menyertakan aktor adat sebagai mitra strategis. Mereka menggarisbawahi pentingnya:
Mengembangkan narasi baru yang tidak memosisikan komunitas adat sebagai pesaing, melainkan sebagai pemangku hak yang sah.
Memfasilitasi pergeseran mental dari pertanian sebagai “penerima subsidi” menjadi “penyedia jasa ekosistem” seperti pendingin kota, ketahanan pangan lokal, dan mitigasi efek pulau panas.
Menciptakan skema kompensasi berbasis pasar untuk mendorong pengurangan konsumsi air pertanian (mirip dengan Conservation Reserve Program untuk lahan).
Catatan Penutup: Pelajaran Bagi Dunia Global
Dengan banyak wilayah kering dunia menghadapi tantangan serupa (seperti MurrayDarling Basin di Australia atau lembah sungai di Spanyol dan Afrika Selatan), studi ini memberikan kerangka sistemik berbasis sociohydrological systems yang bisa direplikasi secara global.
Arizona hanyalah gambaran kecil dari konflik antara modernitas, ekologi, dan keadilan sosial. Di situlah letak kekuatan artikel ini—mengajak kita memikirkan ulang arti keberlanjutan, dan siapa yang berhak menentukannya.
Sumber:
York, A. M., Eakin, H., Bausch, J. C., SmithHeisters, S., Anderies, J. M., Aggarwal, R., Leonard, B., & Wright, K. (2020). Agricultural water governance in the desert: Shifting risks in central Arizona. Water Alternatives, 13(2), 418–445.