Ekonomi dan Bisnis

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kontrak Proyek Infrastruktur Indonesia – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 14 Oktober 2025


Mengurai Benang Kusut: Mengapa Manajemen Kontrak Tak Selalu Cukup Dikuasai

Suka atau tidak, dinamika pembangunan di Indonesia akan selalu diwarnai oleh satu isu krusial: permasalahan kontraktual. Sebagai landasan hukum dalam setiap proyek konstruksi, kontrak adalah jantung yang menentukan keberhasilan, dan sayangnya, kerap menjadi sumber kegagalan. Sebuah karya praktis, "100 Tanya-Jawab Permasalahan Kontrak Konstruksi Indonesia" yang ditulis oleh Seng Hansen, akademisi sekaligus praktisi, berupaya membedah isu-isu ini dari akarnya. Temuan yang paling mengejutkan dari buku ini adalah pemahaman yang belum matang tentang Manajemen Kontrak Konstruksi (MKK) sebagai sebuah disiplin ilmu di Indonesia.1

MKK sendiri bukanlah Manajemen Konstruksi (MK) yang lebih umum dikenal. Jika MK adalah pengelolaan proyek secara menyeluruh yang mencakup perencanaan, koordinasi, dan pengendalian aspek kualitas, biaya, dan waktu, MKK adalah sub-bidang spesifik yang berfokus pada pengelolaan kontrak.1 MKK adalah pedoman dan alat pengendali yang memastikan hubungan hukum, distribusi risiko, serta hak dan kewajiban setiap pihak berjalan sebagaimana mestinya. Ketiadaan pemahaman yang mendalam terhadap disiplin ilmu ini terbukti menjadi benang kusut di balik banyaknya sengketa yang terjadi.1

Buku ini mengungkap tiga faktor utama yang menyebabkan MKK belum berkembang pesat di Indonesia. Pertama, praktik MKK di lapangan seringkali mengadopsi standar internasional namun dimodifikasi terlalu bebas tanpa fondasi keilmuan yang kuat. Kedua, tidak adanya pendidikan formal atau sertifikasi profesi yang berfokus pada MKK. Berbeda dengan negara tetangga seperti Malaysia, di mana MKK sudah menjadi program Magister, di Indonesia MKK seringkali hanya menjadi topik selayang pandang dalam mata kuliah Manajemen Konstruksi di tingkat Sarjana.1 Ketiga, belum adanya pedoman atau peraturan baku yang menjadi rujukan standar praktik MKK nasional.1

Kondisi ini menciptakan sebuah siklus yang problematis. Kurangnya pendidikan formal menyebabkan para praktisi belajar secara otodidak atau menerapkan praktik seadanya, yang pada akhirnya memicu lebih banyak masalah kontraktual. Pada gilirannya, banyaknya permasalahan ini menuntut adanya jawaban praktis, yang justru menjadi motivasi penulisan buku ini. Lahirnya Komunitas Manajemen Kontrak Konstruksi Indonesia (KMKKI) yang beranggotakan para akademisi dan praktisi merupakan sebuah langkah proaktif untuk mengisi kekosongan tersebut, mendorong kemajuan dan diseminasi ilmu MKK yang berlandaskan standar internasional namun tetap menjunjung kebijaksanaan lokal.1

 

Di Balik Tanda Tangan: Mengapa Perjanjian Tak Selalu Selesai di Meja Negosiasi

Proses penyusunan kontrak kerap dianggap sebagai formalitas, padahal di sinilah risiko terbesar bersembunyi. Buku ini menekankan bahwa kontrak yang baik haruslah hitam di atas putih dan mudah dipahami, disusun dengan prinsip-prinsip yang logis, terorganisir, dan menghindari ambiguitas.1 Namun, di balik serangkaian klausul, terdapat dinamika kekuasaan yang seringkali mengikis prinsip kesetaraan.

Menurut studi yang dikutip dalam buku, permasalahan kesetaraan kontrak di Indonesia masih jauh dari predikat adil. Hal ini terlihat dari sanksi yang timpang: kelalaian penyedia jasa (kontraktor) dapat dikenai sanksi berat, sementara kelalaian pengguna jasa (pemilik proyek) seringkali hanya berujung pada sanksi ringan atau bahkan tanpa sanksi sama sekali. Ketidaksetaraan ini menciptakan lingkungan di mana satu pihak dapat memaksakan pemahaman kontrak di luar koridor yang seharusnya, menjadikan hubungan kontraktual tidak seimbang.1

Ketimpangan ini juga tecermin dalam hierarki dokumen kontrak yang seringkali tidak jelas. Proyek konstruksi melibatkan banyak dokumen teknis seperti Rencana Anggaran Biaya (RAB), gambar rencana (DED), dan spesifikasi teknis. Tanpa hierarki yang jelas, perbedaan data di antara dokumen-dokumen ini dapat memicu konflik. Buku ini dengan lugas memaparkan contoh hierarki yang umum, di mana adendum, surat perjanjian, dan syarat-syarat khusus kontrak memiliki prioritas lebih tinggi dibanding dokumen lain.1 Penjelasan ini sangat penting, karena tanpa hierarki yang jelas, klaim sebesar apa pun bisa kandas di tengah jalan hanya karena perbedaan interpretasi dokumen.

Fenomena ini adalah cerminan dari kurangnya pemahaman MKK yang meluas, di mana kontrak dibuat dengan modifikasi seadanya tanpa mempertimbangkan dampaknya. Solusi yang dianjurkan adalah penggunaan Format Standar Kontrak Konstruksi (FSKK) yang dibuat oleh pihak netral, seperti FIDIC (Fédération Internationale Des Ingénieurs-Conseils). FSKK yang baik, seperti FIDIC Red Book, memiliki Golden Principles yang menjamin alokasi risiko yang adil dan seimbang, serta penyelesaian sengketa yang lebih teratur.1 Keberadaan buku ini dan FSKK menjadi sebuah kritik realistis: bahwa permasalahan yang sering kita lihat bukan hanya tentang niat buruk, melainkan juga tentang ketidakmampuan profesional untuk membuat kontrak yang adil.

 

Kisah Lumpsum dan Desain-Bangun: Mitos dan Fakta di Mata Auditor dan Pelaksana Proyek

Dalam dunia kontrak, jenis lumpsum dan Design and Build (DB) seringkali menjadi sumber kebingungan. Kontrak lumpsum adalah perjanjian dengan harga pasti yang tidak akan berubah, di mana semua risiko ditanggung sepenuhnya oleh kontraktor.1 Sementara itu, kontrak DB adalah jenis di mana kontraktor bertanggung jawab penuh atas desain dan pelaksanaan pekerjaan di lapangan, memberikan kesempatan untuk inovasi dan efisiensi.1

Namun, di sini terletak paradoks terbesar yang diungkap buku ini: banyak auditor, terutama dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kerap mengevaluasi proyek lumpsum dengan kacamata kontrak unit-price (harga satuan). Mereka berpendapat bahwa jika volume pekerjaan yang terealisasi lebih sedikit dari yang tercantum di RAB, maka hal itu adalah kerugian negara dan kontraktor wajib mengembalikan kelebihan pembayaran.1 Padahal, esensi kontrak lumpsum adalah kepastian biaya bagi pemilik proyek dan transfer risiko yang lebih besar kepada kontraktor. Jika seorang kontraktor berhasil menciptakan efisiensi yang signifikan, misalnya mengurangi volume material melalui rekayasa nilai, seharusnya hal itu menjadi keuntungan mereka.

Namun, cara pandang auditor ini menciptakan model risiko yang tidak adil: kontraktor menanggung risiko kerugian jika ada pekerjaan tambahan, tetapi tidak diizinkan menikmati keuntungan dari efisiensi yang diciptakan. Ini dapat mengecilkan dampak inovasi dan mengurangi semangat kompetitif dalam industri. Dalam beberapa kasus, perbedaan interpretasi ini bahkan berujung ke pengadilan, mencerminkan adanya ketidaktepatan pengambilan keputusan di tingkat auditor.1

Perlu diketahui bahwa Peraturan Presiden (Perpres) No. 16/2018 telah menghilangkan ketentuan sebelumnya yang melarang pekerjaan tambah/kurang pada kontrak lumpsum, menegaskan bahwa perubahan nilai kontrak dimungkinkan jika terjadi perubahan lingkup pekerjaan atau spesifikasi.1 Dengan demikian, permasalahan ini bukanlah sekadar masalah teknis, melainkan cerminan dari tantangan sistemis dalam pengelolaan keuangan negara dan pemahaman yang masih tumpang tindih mengenai alokasi risiko yang wajar.

 

Saat Bencana dan Konflik Datang: Mengapa Keadaan Kahar Bukan Sekadar Klausa Kertas

Proyek konstruksi tidak pernah berjalan dalam ruang hampa. Ada kalanya, di tengah perjalanan, ia dihadapkan pada situasi yang tidak terduga, seperti bencana alam atau konflik sosial. Dalam dunia hukum, kondisi ini dikenal dengan istilah Keadaan Kahar atau force majeure, yang merupakan doktrin dari sistem Hukum Sipil.1 Buku ini menjelaskan bahwa suatu peristiwa dapat dikategorikan sebagai keadaan kahar jika memenuhi lima karakteristik: tidak terduga, tidak terhindarkan, tidak dapat dikendalikan, menghambat pemenuhan kewajiban, dan di luar tanggung jawab para pihak.1

Pandemi COVID-19 yang terjadi baru-baru ini adalah contoh nyata bagaimana sebuah exceptional event bisa menguji ketahanan sebuah kontrak. Sebuah studi yang dipaparkan dalam buku ini mengungkapkan bahwa dampak pandemi sungguh luar biasa. Lebih dari separuh proyek (56,78%) mengalami perlambatan, dan sebagian besar (84,92%) mengalami perubahan besar, baik dalam target, struktur organisasi, maupun budaya kerja.1 Angka-angka ini menunjukkan bahwa Keadaan Kahar bukan sekadar klausa teoretis, melainkan realitas yang dapat menghantam proyek dengan dampak seperti menaikkan biaya dari Rp 20 juta menjadi Rp 70 juta.1

Lebih lanjut, buku ini menyoroti bahwa di Indonesia, Keadaan Kahar tidak hanya terbatas pada bencana alam. Konteks lokal yang unik, seperti keberadaan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), juga dapat dikategorikan sebagai peristiwa Keadaan Kahar yang dapat menghambat pelaksanaan proyek.1 Hal ini memberikan sebuah pelajaran penting: klausul-klausul dalam kontrak konstruksi tidak bisa bersifat generik, tetapi harus secara eksplisit memasukkan elemen-elemen risiko yang relevan dengan kondisi geografis dan sosial di Indonesia. Tanpa klausul yang jelas, kontraktor yang proyeknya terhambat karena masalah keamanan tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengajukan klaim perpanjangan waktu atau biaya tambahan.1

 

Titik Didih: Meredakan Konflik dan Menyelesaikan Klaim Tanpa Harus ke Meja Hijau

Meski kontrak telah disusun seadil mungkin, konflik tetap akan muncul. Buku ini secara realistis mengakui bahwa setiap kegiatan kontrak konstruksi berpotensi terjadi sengketa.1 Namun, yang menjadi ironi di Indonesia adalah pengajuan klaim konstruksi kerap dianggap tabu, terutama ketika berurusan dengan pihak pemerintah.1 Kontraktor seringkali enggan mengajukan klaim karena takut dicap sebagai rewel atau bahkan khawatir akan masuk daftar hitam.

Padahal, klaim bukanlah sesuatu yang harus dihindari; melainkan sebuah hak kontraktual yang sah. MKK yang baik mengajarkan bahwa manajemen klaim adalah proses yang harus dikuasai, mulai dari identifikasi, notifikasi, dokumentasi, hingga negosiasi.1 Tanpa dokumentasi yang akurat, klaim yang sebetulnya valid dapat dengan mudah ditolak, seperti kasus seorang kontraktor yang ditolak klaimnya karena tidak menyajikan data lengkap saat pemeriksaan prestasi pekerjaan.1

Untuk meredakan titik didih konflik, buku ini menyarankan mekanisme Alternative Dispute Resolution (ADR) sebagai langkah pertama sebelum membawa masalah ke meja hijau. Prosesnya dimulai dari negosiasi langsung, berlanjut ke mediasi, dan kemudian ke ajudikasi. Buku ini memperkenalkan model Dewan Pencegahan dan Ajudikasi Sengketa (DAAB) yang direkomendasikan oleh FIDIC. DAAB adalah dewan yang terdiri dari satu atau tiga ahli yang ditunjuk oleh kedua pihak untuk menengahi dan memutuskan sengketa. Keputusan DAAB bersifat mengikat, cepat, dan tidak menghentikan progres pekerjaan di lapangan.1

Keunggulan ADR dibandingkan litigasi (jalur pengadilan) adalah kecepatannya, biayanya yang lebih efisien, serta kemampuannya untuk menjaga hubungan baik antara para pihak. Ketergantungan pada proses hukum formal seringkali memakan waktu bertahun-tahun dan biaya yang besar, yang pada akhirnya merugikan semua pihak. Dengan mempromosikan ADR dan manajemen klaim yang profesional, buku ini tidak hanya memberikan jawaban, tetapi juga mendorong perubahan budaya dari yang konfrontatif menjadi kolaboratif.

 

Sebuah Peta Jalan Menuju Industri Konstruksi yang Lebih Adil dan Akuntabel

Buku "100 Tanya-Jawab Permasalahan Kontrak Konstruksi Indonesia" bukanlah sekadar kumpulan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan teknis. Karya ini adalah sebuah cermin yang merefleksikan tantangan fundamental yang dihadapi industri konstruksi di Indonesia. Ia menunjukkan bahwa banyak masalah, dari proyek yang mangkrak hingga sengketa di pengadilan, berakar dari satu hal: ketidakmatangan Manajemen Kontrak Konstruksi sebagai sebuah disiplin ilmu dan praktik.

Temuan ini membawa kita pada kesimpulan mendalam. Pertama, ketidakjelasan dalam kontrak dan pemahaman yang tumpang tindih tentang jenis-jenis kontrak bukanlah kebetulan. Ini adalah hasil dari kurangnya edukasi formal dan standar baku. Kedua, pendekatan auditor yang keliru terhadap kontrak lumpsum menciptakan lingkungan di mana efisiensi dan inovasi dihukum, padahal seharusnya diberi insentif. Ketiga, realitas geografis dan sosial Indonesia menuntut kontrak yang lebih spesifik dan detail, terutama dalam mengelola Keadaan Kahar seperti pandemi atau konflik. Terakhir, budaya yang menganggap klaim sebagai tabu menunjukkan ketidakpercayaan yang lebih dalam terhadap sistem penyelesaian sengketa, mendorong perlunya adopsi mekanisme ADR yang lebih cepat dan efisien.

Secara keseluruhan, jika diterapkan, temuan dari buku ini berpotensi untuk membawa transformasi nyata. Pemahaman yang lebih baik tentang MKK akan menciptakan kontrak yang lebih adil dan transparan. Lingkungan yang menghargai efisiensi akan mendorong inovasi. Dan sistem penyelesaian sengketa yang lebih profesional akan mengurangi biaya hukum yang tidak perlu dan mempercepat penyelesaian proyek. Dalam waktu lima tahun, adopsi prinsip-prinsip ini dapat mengurangi biaya proyek hingga 10-15% dan memangkas waktu penyelesaian yang disebabkan oleh sengketa, mewujudkan mimpi infrastruktur Indonesia yang lebih kuat, lebih adil, dan lebih akuntabel.

Sumber Artikel:

Hansen, S. 100 Tanya-Jawab P.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kontrak Proyek Infrastruktur Indonesia – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Masalah Proyek Kontruksi

Anggaran Jalan Hanya 28%, Jawa Tengah Rilis Strategi Tak Terduga Melibatkan Warga – Ini Hasilnya

Dipublikasikan oleh Hansel pada 14 Oktober 2025


Sebuah penelitian mendalam mengungkap dilema besar yang dihadapi infrastruktur vital di Jawa Tengah. Di satu sisi, ada kebutuhan anggaran yang masif untuk menjaga urat nadi ekonomi tetap mulus. Di sisi lain, realitas fiskal yang terbatas memaksa pemerintah untuk berinovasi dengan cara yang belum pernah terpikirkan sebelumnya, mengubah setiap warga negara menjadi pengawas dan setiap komunitas menjadi tim perbaikan. Ini adalah kisah tentang krisis, kreativitas, dan masa depan jalan yang kita lalui setiap hari.

 

Krisis di Balik Aspal: Mengapa Nadi Ekonomi Jawa Tengah Terancam Tersumbat?

Bayangkan jika dompet Anda untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidup selama sebulan penuh hanya terisi sekitar 28% dari yang seharusnya. Mustahil untuk berfungsi optimal, bukan? Itulah gambaran presisi dari kondisi anggaran pemeliharaan jalan rutin di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2023. Sebuah penelitian terbaru yang dipublikasikan dalam Journal of Applied Engineering Science membedah krisis senyap ini dengan data yang gamblang dan mengkhawatirkan.1

Menurut analisis sistematis menggunakan aplikasi canggih untuk Perencanaan, Pemrograman, dan Penganggaran (analisis P/KRMS), kebutuhan ideal untuk menjaga seluruh jaringan jalan provinsi di Jawa Tengah dalam kondisi stabil dan layak adalah sebesar IDR 441.246.000.000,00 pada tahun 2023. Angka ini bukan sekadar daftar keinginan; ia adalah hasil kalkulasi teknis yang memperhitungkan tingkat kerusakan, volume lalu lintas, dan tindakan preventif yang diperlukan agar jalan tidak rusak parah dan menelan biaya perbaikan yang jauh lebih mahal di kemudian hari.1

Namun, realitas anggaran yang tersedia melukiskan cerita yang sangat berbeda. Dari kebutuhan lebih dari IDR 441 miliar tersebut, dana yang terealisasi untuk pemeliharaan rutin hanyalah IDR 125.686.108.000,00. Artinya, pemerintah provinsi hanya mampu memenuhi 28,48% dari total kebutuhan yang direkomendasikan oleh model teknis. Terjadi sebuah kesenjangan pembiayaan yang menganga, mencapai lebih dari 71% dari total kebutuhan, sebuah defisit yang secara langsung diterjemahkan menjadi penurunan kualitas aspal yang dirasakan oleh jutaan pengguna jalan setiap harinya.1

Masalah ini bukanlah sebuah anomali yang terjadi dalam satu tahun saja. Penelitian ini menggarisbawahi bahwa ketidakselarasan antara kebutuhan pendanaan dan anggaran yang tersedia adalah sebuah isu kronis. Jalan raya, yang merupakan investasi modal negara yang signifikan, tidak dapat mencapai umur layanan yang direncanakan karena kurangnya dana pemeliharaan yang berkelanjutan.1 Ini adalah penyakit sistemik di mana infrastruktur yang telah susah payah dibangun tidak dapat dipertahankan dalam kondisi baik, menciptakan lingkaran setan kerusakan dan perbaikan darurat yang tidak efisien.

Yang membuat situasi ini semakin kompleks adalah sebuah fakta yang tampaknya paradoks. Anggaran pemeliharaan rutin tahun 2023 sebesar IDR 125,6 miliar itu sesungguhnya merupakan sebuah kenaikan sebesar 8,91% dibandingkan anggaran tahun 2022 yang berada di angka IDR 115,4 miliar.1 Fakta ini menunjukkan bahwa pemerintah sebenarnya telah berupaya meningkatkan alokasi dana. Namun, di saat yang sama, kondisi jalan justru memburuk. Ini adalah sinyal kuat bahwa laju kerusakan jalan telah melampaui kemampuan pemerintah untuk mengejarnya, bahkan dengan anggaran yang sedikit lebih besar. Masalahnya bukan lagi sekadar tentang menambah anggaran, tetapi tentang skala masalah yang telah tumbuh lebih cepat daripada solusi finansial yang ada.

 

Data Bicara: Jejak Roda di Atas Angka Penurunan Kualitas Jalan

Kesenjangan anggaran yang dijelaskan di atas bukanlah sekadar angka dalam laporan birokrasi. Ia memiliki dampak nyata yang terukur di lapangan, tercermin dalam kondisi fisik ribuan kilometer jalan provinsi. Penelitian ini menyajikan data longitudinal dari tahun 2019 hingga 2023, yang jika dibaca secara naratif, menceritakan sebuah drama tentang kemunduran, harapan sesaat, dan kekambuhan yang mengkhawatirkan.1

Konsekuensi paling langsung dari defisit anggaran tahun 2023 adalah penurunan nilai kemantapan (stabilitas) jalan sebesar 1,61% dibandingkan dengan tahun 2022.1 Angka ini mungkin terdengar kecil bagi orang awam, namun dalam skala jaringan jalan provinsi, ini setara dengan puluhan, bahkan ratusan, kilometer jalan yang berubah status dari mulus menjadi bergelombang, dari aman menjadi lebih berisiko. Ini adalah penurunan kualitas yang dirasakan dalam bentuk guncangan di dalam kendaraan, waktu tempuh yang lebih lama, dan peningkatan biaya operasional kendaraan bagi masyarakat.

Mari kita telusuri perjalanan kondisi jalan di Jawa Tengah selama lima tahun terakhir. Pada tahun 2019, kondisi jalan provinsi berada pada titik yang sangat baik. Sebanyak 84,89% dari total panjang jalan berada dalam kategori "Baik". Namun, periode 2020 hingga 2021 menjadi saksi bisu sebuah penurunan drastis. Pada tahun 2021, persentase jalan dalam kondisi "Baik" anjlok hingga hanya tersisa 40,15%. Sebaliknya, jalan dalam kondisi "Sedang" meledak dari hanya 10,15% pada tahun 2019 menjadi 50,71% pada tahun 2021. Ini adalah periode di mana jalan-jalan yang sebelumnya mulus mulai menunjukkan tanda-tanda kerusakan, menjadi tidak rata, dan membutuhkan perhatian serius.1

Kemudian, datanglah tahun 2022, sebuah anomali yang penuh harapan. Pada tahun ini, terjadi pembalikan tren yang luar biasa. Persentase jalan dalam kondisi "Baik" melonjak kembali ke angka 83,60%, hampir menyamai level tahun 2019. Kondisi jalan "Sedang" pun berhasil ditekan kembali ke level 8,89%. Kemantapan jalan secara keseluruhan mencapai puncaknya di angka 92,49%.1 Apa yang terjadi di tahun 2022? Data anggaran menunjukkan korelasi yang kuat. Anggaran pemeliharaan pada tahun itu mengalami peningkatan signifikan dari tahun sebelumnya. Tahun 2022 seolah menjadi sebuah "studi kasus internal" yang membuktikan hipotesis utama: ketika pendanaan yang memadai dialokasikan, hasilnya akan langsung terlihat pada peningkatan kualitas jalan secara masif. Ini adalah bukti konsep bahwa metode pemeliharaan yang ada sangat efektif, asalkan didukung oleh sumber daya yang cukup.

Sayangnya, harapan tersebut tidak bertahan lama. Tahun 2023 menjadi babak kemunduran. Meskipun, seperti yang telah dibahas, anggaran tahun 2023 sedikit lebih tinggi daripada tahun 2022, hasilnya justru berbalik. Jalan dalam kondisi "Baik" turun menjadi 69,50%, sementara jalan dalam kondisi "Sedang" membengkak lebih dari dua kali lipat menjadi 21,38%.1 Fenomena ini mengisyaratkan adanya sebuah "titik kritis pemeliharaan" (maintenance tipping point). Ketika kerusakan kecil seperti lubang atau retakan diabaikan karena keterbatasan dana, kerusakan tersebut tidak tumbuh secara linear, melainkan eksponensial. Sebuah lubang kecil yang bisa ditambal dengan biaya murah akan berkembang menjadi kerusakan struktur yang lebih luas dan membutuhkan perbaikan dengan biaya berkali-kali lipat. Data tahun 2023 menunjukkan bahwa akumulasi "utang pemeliharaan" dari tahun-tahun sebelumnya telah mencapai titik di mana laju kerusakan kini lebih cepat daripada kapasitas perbaikan yang bisa dilakukan dengan kenaikan anggaran yang tidak seberapa. Jawa Tengah, tampaknya, telah melewati titik kritis tersebut.

 

Saat Pemerintah Berpaling ke Warga: Lahirnya Duet Inovasi "Jalan Cantik" dan "Mas BIMA"

Di hadapan tantangan fiskal yang begitu besar, menyerah bukanlah pilihan. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, melalui Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan Cipta Karya, mengambil langkah strategis yang tidak konvensional. Ketika kas negara tidak mampu menutupi seluruh kebutuhan, mereka tidak hanya mengencangkan ikat pinggang, tetapi juga membuka pintu dan jendela, beralih dari model penanganan top-down yang tradisional ke sebuah strategi yang merangkul kekuatan terbesar mereka: partisipasi aktif warganya sendiri.1

Lahirnya dua program inovatif, aplikasi "Jalan Cantik" dan gerakan komunitas "Mas BIMA" (Masyarakat Bina Marga), menandai pergeseran paradigma ini. Keduanya dirancang untuk bekerja secara sinergis, memaksimalkan setiap rupiah dari anggaran yang terbatas untuk menghasilkan dampak yang paling terasa di lapangan.1

Inovasi pertama adalah "Jalan Cantik", sebuah aplikasi digital yang mengubah setiap ponsel pintar di tangan warga menjadi alat pengawasan sipil. Aplikasi ini dirancang agar masyarakat dapat "turut serta melaporkan kondisi jalan yang rusak dalam waktu singkat".1 Dengan beberapa kali sentuhan di layar, warga bisa mengirimkan foto dan lokasi kerusakan langsung ke sistem pemerintah. Ini bukan sekadar kanal pengaduan biasa. "Jalan Cantik" berfungsi sebagai sistem triase digital yang memungkinkan pemerintah untuk "memilih jalan prioritas untuk pemeliharaan dan penanganan" berdasarkan laporan real-time dari pengguna jalan itu sendiri. Secara esensial, ini adalah bentuk digitalisasi gotong royong, di mana informasi dari bawah menjadi dasar pengambilan keputusan yang cepat dan tepat sasaran.

Inovasi kedua, "Mas BIMA", adalah elemen manusianya. Ia adalah "pasukan cepat tanggap" yang menjadi ujung tombak eksekusi di lapangan. Program ini digambarkan sebagai "proyek padat karya untuk mengangkat masyarakat dari kemiskinan" yang secara aktif melibatkan komunitas lokal untuk peduli dan merawat jalan provinsi di wilayah mereka.1 Anggotanya adalah para pekerja atau petani setempat yang mendedikasikan waktu luang mereka untuk membantu pemerintah melakukan perbaikan cepat.1

Kombinasi kedua program ini secara fundamental mengubah strategi pemeliharaan. Dalam kondisi ideal dengan anggaran penuh, pemeliharaan bersifat proaktif, yaitu memperbaiki kerusakan-kerusakan kecil sebelum menjadi besar. Namun, dalam kondisi krisis anggaran, strateginya terpaksa bergeser menjadi reaktif. Model "Jalan Cantik" dan "Mas BIMA" adalah upaya untuk membuat reaktivitas ini menjadi secerdas dan seefisien mungkin. Pemerintah tidak lagi bisa menyisir setiap kilometer jalan secara rutin, tetapi mereka bisa merespons dengan cepat titik-titik kerusakan paling kritis yang dilaporkan oleh warga.

Lebih dari itu, program "Mas BIMA" memiliki mandat ganda yang brilian. Ia tidak hanya bertujuan untuk memperbaiki jalan, tetapi juga dirancang sebagai skema pemberdayaan ekonomi lokal. Setiap rupiah yang dibelanjakan untuk program ini memberikan dua jenis pengembalian investasi: satu dalam bentuk perbaikan infrastruktur, dan satu lagi dalam bentuk stimulus ekonomi langsung ke kantong masyarakat di tingkat akar rumput. Desain kebijakan ini menciptakan efisiensi belanja publik yang luar biasa sekaligus membangun rasa kepemilikan komunitas terhadap infrastruktur di sekitar mereka.

 

Bagaimana Laporan dari Ponsel Anda Memperbaiki Lubang di Jalan?

Sinergi antara teknologi "Jalan Cantik" dan aksi komunitas "Mas BIMA" menciptakan sebuah alur kerja baru yang gesit dalam penanganan kerusakan jalan. Proses ini mengubah keluhan pasif menjadi tindakan konstruktif, dan data menunjukkan bahwa model ini diadopsi dengan sangat cepat oleh masyarakat.

Bayangkan skenario berikut: Seorang pengemudi ojek online di Temanggung melihat sebuah lubang yang mulai membahayakan di ruas jalan provinsi yang sering ia lewati. Alih-alih hanya menggerutu, ia menepikan kendaraannya, membuka aplikasi "Jalan Cantik", mengambil foto lubang tersebut, menandai lokasinya di peta, dan mengirimkan laporan. Laporan ini secara instan masuk ke dasbor pemantauan Dinas PU. Petugas kemudian memverifikasi laporan dan, berdasarkan tingkat urgensi dan ketersediaan sumber daya, meneruskannya ke tim "Mas BIMA" terdekat. Tim "Mas BIMA", yang anggotanya mungkin adalah petani dari desa sebelah, kemudian dimobilisasi untuk melakukan penambalan darurat. Dengan cara ini, sebuah kerusakan kecil dapat ditangani dengan cepat sebelum berkembang menjadi masalah yang lebih besar dan mahal, semua berkat laporan awal dari seorang warga.1

Efektivitas dan penerimaan publik terhadap sistem baru ini tervalidasi oleh data pertumbuhan yang signifikan. Penelitian ini menyajikan angka-angka yang menunjukkan antusiasme publik dan keberlanjutan program di tingkat komunitas.

Fakta Menarik di Balik Inovasi:

  • Ledakan Partisipasi Digital: Angka aduan masyarakat untuk jalan provinsi melalui aplikasi "Jalan Cantik" menunjukkan pertumbuhan yang fenomenal. Dari hanya 44 laporan pada tahun 2022, jumlahnya melonjak menjadi 227 laporan pada tahun 2023. Ini adalah peningkatan sebesar 5,16 kali lipat atau lebih dari 400% hanya dalam satu tahun.1 Angka ini membuktikan dua hal: pertama, sosialisasi program ini berhasil, dan kedua, publik dengan cepat mengadopsi dan memercayai kanal baru ini sebagai cara yang efektif untuk menyuarakan aspirasi mereka.
  • Pertumbuhan Pasukan Komunitas: Di sisi eksekusi, keanggotaan "Mas BIMA" menunjukkan pertumbuhan yang sehat dan stabil. Jumlah anggota tercatat meningkat secara konsisten dari 548 orang pada tahun 2021, menjadi 649 orang pada tahun 2022, dan mencapai 708 orang pada tahun 2023.1 Pertumbuhan hampir 30% dalam kurun waktu dua tahun ini menandakan bahwa model padat karya ini menarik dan berkelanjutan di tingkat lokal, tidak bergantung pada rekrutmen besar-besaran yang sulit dipertahankan.
  • Misi Ganda yang Efektif: Program ini secara cerdas dirancang tidak hanya untuk perbaikan jalan, tetapi juga sebagai program padat karya yang memberikan penghasilan tambahan dan membantu mengurangi kemiskinan di tingkat akar rumput.1 Ini menciptakan sebuah siklus positif di mana masyarakat yang diberdayakan secara ekonomi turut menjaga aset publik yang vital bagi perekonomian mereka sendiri.

Pertumbuhan penggunaan aplikasi "Jalan Cantik" bisa dilihat sebagai barometer kepercayaan publik. Masyarakat hanya akan menggunakan sebuah sistem pengaduan jika mereka percaya bahwa laporan mereka akan didengar dan, idealnya, ditindaklanjuti. Lonjakan penggunaan ini mengindikasikan bahwa pemerintah provinsi telah berhasil membangun modal sosial dan dipandang cukup responsif. Data yang terkumpul dari aplikasi ini pun menjadi aset yang sangat berharga, berfungsi sebagai peta real-time mengenai sentimen publik dan prioritas infrastruktur yang dapat menginformasikan perencanaan pembangunan daerah yang lebih luas.

Sementara itu, model "Mas BIMA" yang terdesentralisasi dan berbasis komunitas menunjukkan skalabilitas dan ketahanan yang tinggi. Ia tidak bergantung pada birokrasi yang kaku atau tenaga kerja terpusat yang mahal, melainkan pada jaringan aktor lokal yang fleksibel. Model ini berpotensi untuk direplikasi pada pekerjaan umum rutin lainnya, seperti pemeliharaan drainase atau ruang terbuka hijau, menciptakan sebuah angkatan kerja sipil yang efektif dan efisien dari segi biaya.

 

Sebuah Terobosan dengan Catatan Kritis: Apakah Ini Solusi Jangka Panjang?

Tidak diragukan lagi, duet inovasi "Jalan Cantik" dan "Mas BIMA" adalah sebuah terobosan cerdas dalam manajemen infrastruktur di tengah keterbatasan. Ia adalah contoh nyata bagaimana pemerintah dapat beradaptasi dan berkreasi untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik. Namun, penelitian ini, dengan kejujuran intelektual yang patut dipuji, juga secara gamblang menunjukkan batas kemampuan dari strategi ini.

Meskipun kedua program ini berjalan efektif, data fundamental tetap menunjukkan bahwa kondisi kemantapan jalan secara keseluruhan menurun sebesar 1,61% pada tahun 2023. Alasannya sederhana: anggaran yang ada "tidak dapat mengakomodasi hasil pemodelan" kebutuhan yang sesungguhnya.1 Ini adalah pengingat keras bahwa inovasi, secanggih apa pun, tidak bisa sepenuhnya menggantikan pendanaan yang memadai. "Jalan Cantik" dan "Mas BIMA" dapat diibaratkan sebagai obat pereda nyeri yang sangat manjur untuk meredakan gejala, tetapi bukan obat penyembuh untuk penyakit kronis berupa kekurangan anggaran struktural.

Ada beberapa catatan kritis yang perlu dipertimbangkan. Pertama, terdapat risiko bahwa keberhasilan program darurat ini secara tidak sengaja dapat menormalisasi masalah mendasar, yaitu kurangnya pendanaan. Ketika masyarakat melihat lubang-lubang di jalan ditambal dengan cepat oleh tim "Mas BIMA", urgensi politik untuk memperjuangkan alokasi anggaran penuh sebesar IDR 441 miliar mungkin akan berkurang. Para pembuat kebijakan bisa jadi tergoda untuk melihat model ini sebagai solusi permanen, padahal ia dirancang sebagai jembatan darurat. Oleh karena itu, narasi publik harus secara hati-hati membingkai program ini sebagai suplemen untuk, bukan substitusi dari, pendanaan sistemik yang layak.

Kedua, model "Mas BIMA", dengan tenaga kerja lokal dan peralatan yang mungkin lebih sederhana, sangat ideal untuk pekerjaan pemeliharaan rutin—menambal lubang, membersihkan bahu jalan, atau memperbaiki drainase.1 Namun, model ini tidak dirancang dan tidak memiliki kapasitas untuk melakukan pekerjaan pemeliharaan berkala (seperti pelapisan ulang aspal atau overlay) atau, lebih jauh lagi, rehabilitasi besar (seperti rekonstruksi total akibat bencana alam atau kerusakan struktur parah). Jika defisit anggaran terus berlanjut, jumlah jalan yang membutuhkan intervensi besar—pekerjaan yang berada di luar jangkauan "Mas BIMA"—akan terus bertambah. Ini akan menciptakan krisis di masa depan yang tidak dapat diselesaikan oleh model inovatif ini.

Terakhir, penelitian ini juga menyinggung potensi "kesenjangan digital". Fluktuasi jumlah laporan bisa jadi disebabkan oleh "kemampuan masyarakat yang tidak merata dalam menggunakan teknologi".1 Ada risiko di mana daerah perkotaan dengan penetrasi ponsel pintar yang tinggi dan literasi digital yang lebih baik akan lebih sering melaporkan kerusakan, sehingga mendapat prioritas penanganan. Sementara itu, jalan-jalan di daerah pedesaan yang lebih terpencil, di mana akses teknologi mungkin terbatas, bisa jadi terabaikan dan semakin tertinggal dalam hal kualitas infrastruktur.

 

Dampak Nyata: Visi Jalan Mulus dan Ekonomi yang Melaju untuk Jawa Tengah

Penelitian ini lebih dari sekadar laporan akademis; ia adalah sebuah peta jalan strategis yang menawarkan diagnosis yang jelas, mengukur dampak kerusakan secara kuantitatif, dan menyajikan sebuah solusi parsial yang telah teruji dan terbukti di lapangan. Temuannya memberikan wawasan berharga yang dapat memandu perencanaan anggaran dan alokasi sumber daya di masa depan, tidak hanya di Jawa Tengah tetapi juga di daerah lain yang menghadapi tantangan serupa.1

Kesimpulannya jelas: jalan ke depan bukanlah pilihan antara "anggaran penuh" atau "inovasi berbasis komunitas". Keduanya harus berjalan beriringan. Data laporan dari aplikasi "Jalan Cantik" harus digunakan sebagai amunisi yang kuat di meja perundingan anggaran untuk menunjukkan kebutuhan riil di lapangan dan membenarkan permintaan peningkatan alokasi dana. Di saat yang sama, program "Mas BIMA" harus terus diperluas dan diperkuat untuk memastikan setiap rupiah yang dibelanjakan memberikan efisiensi dan dampak maksimal.

Model yang dikembangkan di Jawa Tengah ini adalah sebuah cetak biru untuk masa depan manajemen infrastruktur publik yang lebih partisipatif, responsif, dan efisien. Ia mengubah hubungan antara pemerintah dan warga dari sekadar penyedia dan pengguna layanan menjadi mitra dalam pembangunan.

Jika model partisipasi publik dan komunitas ini terus diperluas dan didukung oleh peningkatan anggaran yang bertahap untuk mengejar ketertinggalan pemeliharaan, temuan ini berpotensi menekan laju kerusakan jalan hingga 5-10% dan, yang lebih penting, menghemat biaya rekonstruksi total yang bisa mencapai miliaran rupiah dalam waktu lima tahun ke depan.

 

Sumber Artikel:

Triyono, A. H., Hermani, W. T., Amrulloh, N. S., & Setyawan, A. (2024). Improved Road Performance Through The Implementation of Routine Road Maintenance Management System. Journal of Applied Engineering Science, 22(3), 646-653.

Selengkapnya
Anggaran Jalan Hanya 28%, Jawa Tengah Rilis Strategi Tak Terduga Melibatkan Warga – Ini Hasilnya

Kebijakan Publik

Jalan Berlubang Bukan Cuma Soal Korupsi: Temuan Mengejutkan dari Sebuah Tesis yang Mengubah Cara Saya Melihat Infrastruktur

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 14 Oktober 2025


Cerita di Balik Jalan Berlubang yang Kita Benci

Pernahkah kamu merasakan ini? Kamu sedang berkendara santai, menikmati lagu di radio, tiba-tiba... JEDUG! Guncangan keras membuatmu kaget. Kopi pagimu nyaris tumpah. Kamu baru saja menghantam lubang di jalan yang rasanya baru kemarin sore ditambal. Seketika, sumpah serapah meluncur pelan dari mulutmu. "Kenapa jalan di sini cepat sekali rusak?" tanyamu dalam hati, atau mungkin sambil berteriak frustrasi.

Kita semua pernah mengalaminya. Frustrasi kolektif terhadap infrastruktur yang buruk adalah bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Asumsi kita biasanya langsung tertuju pada dua tersangka utama: kualitas aspal yang jelek atau, tentu saja, korupsi. Kita membayangkan kontraktor nakal yang mengurangi bahan atau pejabat yang menyunat anggaran. Dan sering kali, asumsi itu ada benarnya.

Tapi, bagaimana jika saya katakan ada alasan lain yang lebih dalam, lebih tersembunyi, dan mungkin jauh lebih mengkhawatirkan? Sebuah "penyakit" sistemik yang menggerogoti dari dalam, yang membuat proyek-proyek infrastruktur kita rapuh sejak dari perencanaan.

Beberapa waktu lalu, saya tidak sengaja menemukan sebuah tesis magister karya Hasian Negara Dasopang dari Universitas Medan Area. Judulnya terdengar sangat akademis: Implementasi Kebijakan Sertifikasi Keahlian Teknik Jalan dan Jembatan Berdasarkan UU No. 2 Tahun 2017... Tapi begitu saya mulai membacanya, saya sadar ini bukan sekadar tumpukan kertas akademis. Ini adalah sebuah kisah detektif birokrasi. Sebuah investigasi mendalam yang mengintip ke dalam "ruang mesin" pemerintahan dan menunjukkan mengapa sebuah aturan emas yang dirancang untuk menjamin kualitas, justru macet total di lapangan.  

Tesis ini tidak menyalahkan aspal atau anggaran. Ia menunjuk pada sesuatu yang jauh lebih fundamental: manusia dan sistem di sekelilingnya. Artikel ini adalah upaya saya untuk membedah temuan-temuan mengejutkan dari tesis tersebut, menerjemahkannya ke dalam bahasa kita sehari-hari, dan menunjukkan bagaimana masalah abstrak seperti "implementasi kebijakan" punya dampak yang sangat nyata pada guncangan yang kita rasakan di jalan raya.

Aturan Emas yang Terabaikan: Mengapa Setiap Insinyur Perlu 'SIM' Profesional

Bayangkan jika pilot yang menerbangkan pesawatmu tidak punya lisensi terbang. Atau dokter yang akan mengoperasimu tidak punya sertifikat medis. Mengerikan, bukan? Kita percaya pada lisensi dan sertifikasi karena itu adalah bukti bahwa seseorang telah diuji dan terbukti kompeten untuk melakukan pekerjaan berisiko tinggi.

Nah, pada tahun 2017, pemerintah Indonesia menerapkan logika yang sama untuk sektor konstruksi melalui Undang-Undang No. 2 Tahun 2017. Aturan ini pada dasarnya mengatakan: orang yang merancang, mengawasi, dan membangun jalan serta jembatan yang kita lewati setiap hari juga harus punya "SIM" profesional. SIM ini disebut Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK).  

SKK bukan sekadar ijazah sarjana teknik. Ijazah membuktikan kamu pernah belajar teori di kampus. Sedangkan SKK, yang diperoleh melalui uji kompetensi oleh lembaga sertifikasi profesi, membuktikan bahwa kamu benar-benar bisa menerapkan ilmu itu di lapangan sesuai standar nasional atau bahkan internasional. Ini adalah jaminan mutu, keamanan, dan profesionalisme.  

Poin paling krusial dari UU ini adalah kewajibannya yang mengikat semua pihak. Bukan hanya perusahaan kontraktor swasta yang harus mempekerjakan tenaga ahli bersertifikat, tetapi juga instansi pemerintah yang bertindak sebagai pengguna jasa. Dalam studi kasus ini, yang menjadi sorotan adalah Dinas Bina Marga dan Bina Konstruksi (BMBK) Provinsi Sumatera Utara, lembaga yang bertanggung jawab atas pembangunan dan pemeliharaan jalan serta jembatan di provinsi tersebut.  

Aturan ini seharusnya menjadi sebuah revolusi. Ia dirancang untuk menggeser paradigma lama dari "percaya pada gelar" menjadi "percaya pada kompetensi teruji". Namun, seperti yang akan kita lihat, aturan emas ini ternyata hanya menjadi hiasan di atas kertas.

Potret dari Lapangan: Ketika Rencana Tinggal Rencana di Sumatera Utara

Di sinilah temuan tesis Hasian Negara Dasopang mulai terasa seperti pukulan di ulu hati. Penelitian ini memberikan kita potret nyata dari apa yang terjadi di Dinas BMBK Provinsi Sumatera Utara, dan gambarnya sama sekali tidak indah.

Secara akademis, dinas ini diisi oleh orang-orang yang sangat terdidik. Berdasarkan data tahun 2021, dari total 148 pegawai, 77 orang adalah sarjana (S1) dan 19 orang lainnya bahkan sudah bergelar magister (S2).

Penelitian ini mengungkap sebuah fakta yang mengejutkan: hingga Agustus 2022, dari ratusan pegawai terdidik itu, hanya 15 orang yang memiliki sertifikat kompetensi keahlian yang diwajibkan oleh undang-undang.  

Mari kita cerna angka ini sejenak.

  • 🎓 Penuh Gelar, Minim Keahlian Teruji: Dinas ini memiliki 96 pegawai bergelar sarjana dan magister, tetapi hanya sekitar 15% dari kelompok terdidik ini (atau 10% dari total pegawai) yang kompetensinya terverifikasi secara profesional.

  • 📜 Aturan Hanya Jadi Saran? UU No. 2 Tahun 2017 sudah berlaku selama lima tahun saat data ini diambil, namun implementasinya masih sangat minim.

  • 🤯 Dampaknya? Tesis ini menyatakan dengan jelas bahwa akibatnya, banyak pegawai yang tidak memiliki sertifikat kompetensi ditempatkan di posisi-posisi krusial seperti perencana, pengawas, bahkan penanggung jawab teknik.  

Ini seperti menempatkan seseorang yang hanya membaca buku resep untuk menjadi kepala koki di restoran bintang lima. Atau meminta seseorang yang hanya lulus ujian teori SIM untuk mengemudikan bus antarprovinsi. Risikonya sangat besar, dan hasilnya adalah kualitas yang kita rasakan setiap hari di jalanan.

Membedah Kegagalan: Empat Dinding Runtuh yang Menghambat Kemajuan

Pertanyaan besarnya adalah: mengapa ini bisa terjadi? Mengapa sebuah aturan yang begitu logis dan penting gagal total diimplementasikan? Tesis ini menggunakan kerangka analisis kebijakan untuk membedah akar masalahnya, yang bisa kita ibaratkan sebagai empat dinding yang runtuh.

Dinding Pertama: Pesan Sudah Sampai, Tapi Tak Ada yang Bergerak (Komunikasi)

Ini bagian yang paling aneh dan membingungkan. Ternyata, masalahnya bukan karena para pegawai tidak tahu ada aturan baru. Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa dari segi komunikasi, implementasi kebijakan ini sebenarnya berjalan baik. Para pegawai paham tentang kebijakan sertifikasi (disebut SKTJJ), mereka mengerti pentingnya, dan prosedurnya pun dianggap tidak rumit.  

Ini seperti semua orang di dalam sebuah gedung mendengar alarm kebakaran berbunyi. Mereka tahu ada bahaya, mereka tahu di mana pintu keluar, tapi entah kenapa, tidak ada satu pun yang beranjak dari kursinya. Pengetahuan itu ada, tetapi tidak memicu tindakan. Ini menunjukkan masalahnya jauh lebih dalam dari sekadar sosialisasi yang kurang.

Dinding Kedua: Jalan Buntu Menuju Sertifikasi (Sumber Daya)

Dinding kedua ini benar-benar runtuh. Salah satu temuan utama tesis ini adalah Dinas BMBK tidak menjalin kerja sama dengan lembaga sertifikasi profesi (LSP). Akibatnya, mereka tidak bisa memfasilitasi para pegawainya untuk mengikuti ujian sertifikasi. Lebih parah lagi, program pelatihan internal yang ada tidak dirancang spesifik untuk membantu pegawai lulus ujian kompetensi.  

Bayangkan pemerintah mewajibkan semua orang punya SIM, tapi tidak ada kantor polisi yang membuka layanan ujian SIM, dan kursus mengemudi yang tersedia hanya mengajarkan teori rambu lalu lintas tanpa pernah menyentuh setir mobil. Itulah yang terjadi di sini. Aturannya ada, tapi infrastruktur pendukung untuk memenuhinya tidak dibangun oleh institusi itu sendiri. Para pegawai seolah dibiarkan mencari jalan sendiri di tengah hutan, dan tentu saja, banyak yang akhirnya menyerah atau tidak pernah memulai sama sekali.

Dinding Ketiga: 'Nanti Saja'-isme dan Krisis Komitmen (Disposisi)

Di sinilah kita menyentuh inti masalah yang paling manusiawi dan paling sensitif: kemauan. Tesis ini secara lugas menyoroti adanya "kurangnya komitmen pegawai untuk mewujudkan kebijakan SKTJJ". Disposisi, atau sikap para pelaksana, menjadi penghalang utama.  

Ini adalah penyakit "nanti saja"-isme yang kronis, yang mungkin kita semua kenal baik. Mungkin para pegawai merasa, "Toh selama ini baik-baik saja tanpa sertifikat," atau "Itu hanya menambah beban kerja tanpa keuntungan langsung," atau "Tidak ada yang memaksa, jadi kenapa harus buru-buru?"

Ketika sebuah kebijakan baru sangat bergantung pada inisiatif dan komitmen pribadi tanpa ada dorongan eksternal atau konsekuensi yang jelas, ia akan selalu kalah oleh kekuatan gravitasi status quo. Api semangat untuk berubah padam sebelum sempat membesar karena tidak ada yang meniupnya.

Dinding Keempat: Sistem yang Tak Menghargai Keahlian (Struktur Birokrasi)

Ini adalah paku terakhir di peti mati implementasi kebijakan. Tesis ini menemukan bahwa "pembagian tugas yang masih kurang didasarkan pada syarat SKTJJ". Artinya, tidak ada perbedaan perlakuan, keuntungan, atau status yang nyata antara pegawai yang bersertifikat dan yang tidak.  

Logikanya sederhana: jika tidak ada hadiah untuk melakukan hal yang benar, dan tidak ada sanksi untuk tidak melakukannya, mengapa harus repot? Struktur birokrasi di dinas ini tidak menciptakan insentif. Memiliki sertifikat tidak menjamin promosi, kenaikan tunjangan, atau akses ke proyek yang lebih bergengsi. Sebaliknya, tidak memilikinya pun tidak menghalangi karier seseorang untuk terus berjalan seperti biasa.

Sistem ini, secara tidak sengaja, mengirimkan pesan yang sangat kuat kepada para pegawainya: "Sertifikat itu bagus di atas kertas, tapi di dunia nyata, itu tidak terlalu penting. Lanjutkan saja pekerjaanmu." Ini menciptakan sebuah lingkaran setan: sistem yang buruk melahirkan pegawai yang tidak termotivasi, dan pegawai yang tidak termotivasi tidak akan pernah mendorong perbaikan sistem.

Opini Pribadi: Apa yang Membuat Saya Mengernyitkan Dahi?

Membaca tesis ini memberikan saya semacam pencerahan yang getir. Saya salut dengan keberanian penelitinya yang tidak hanya berhenti pada angka dan data, tetapi berani menyoroti masalah "lunak" seperti komitmen dan budaya kerja—sesuatu yang sering dihindari dalam analisis teknis. Temuan ini terasa begitu nyata dan relevan, tidak hanya untuk Sumatera Utara, tapi mungkin juga untuk banyak instansi lain di seluruh Indonesia.

Ini adalah cerminan dari tantangan besar dalam reformasi birokrasi kita: kita bisa membuat aturan terbaik di dunia, tetapi jika tidak didukung oleh perubahan sumber daya, insentif, dan yang terpenting, mindset, aturan itu hanya akan menjadi macan kertas.

Meski temuannya hebat dan analisisnya tajam, harus saya akui, kerangka teori kebijakan publik yang digunakan (Model Edward III) terkadang terasa agak kaku dan abstrak untuk pembaca awam. Tesis ini adalah sebuah harta karun, tetapi kita perlu sedikit menggali dan membersihkan lumpurnya untuk menemukan emasnya. Itulah mengapa saya merasa perlu menulis artikel ini untuk Anda—untuk menerjemahkan temuan penting ini menjadi cerita yang bisa kita pahami bersama.  

Tiga Langkah Sederhana (Tapi Sulit) untuk Membangun Jembatan Menuju Kualitas

Lalu, apa solusinya? Tesis ini tidak hanya berhenti pada diagnosis masalah, tetapi juga menawarkan resep perbaikan. Saya menerjemahkan tiga saran utamanya menjadi langkah-langkah yang lebih naratif.  

  1. Bangun Jalannya, Bukan Hanya Menunjuk Arahnya. Ini adalah terjemahan dari saran untuk "menjalin kerjasama dengan lembaga sertifikasi profesi". Artinya, pimpinan tidak bisa hanya menyuruh, "Sana, cari sertifikat!" Mereka harus aktif memfasilitasi. Sediakan "bus" menuju tempat ujian, jangan suruh pegawai jalan kaki. Buat program pelatihan yang relevan, anggarkan biayanya, dan jadikan prosesnya semudah mungkin.

  2. Ciptakan 'Game' yang Layak Dimenangkan. Ini adalah terjemahan dari saran agar "pembagian tugas didasarkan pada kepemilikan sertifikat". Harus ada insentif yang jelas dan nyata. Jadikan sertifikat keahlian sebagai "kunci" untuk membuka level karier baru, proyek yang lebih menantang, atau tunjangan kinerja yang lebih tinggi. Sebaliknya, jadikan ketiadaan sertifikat sebagai penghalang untuk posisi-posisi teknis yang krusial. Buat aturan main yang jelas: keahlian teruji akan dihargai.

  3. Mulai dari Cermin. Ini adalah terjemahan dari saran agar "pegawai sebaiknya menunjukkan komitmen yang tinggi". Pada akhirnya, semua kembali pada individu. Profesionalisme adalah pilihan. Ini adalah panggilan untuk tanggung jawab pribadi bagi setiap aparatur sipil negara dan tenaga profesional. Membangun komitmen dan keahlian tim adalah fondasi utama. Bagi para pimpinan atau calon manajer yang ingin memperkuat timnya, mengikuti pelatihan manajemen di(https://www.diklatkerja.com) bisa menjadi langkah strategis untuk belajar bagaimana menerapkan perubahan budaya dan memotivasi tim secara efektif.

Ini Bukan Cuma Soal Aspal dan Beton

Setelah membaca semua ini, kita kembali ke pertanyaan awal: mengapa jalanan kita cepat rusak? Jawabannya, ternyata, jauh lebih kompleks dari sekadar aspal yang tipis. Kualitas jalan dan jembatan yang kita gunakan setiap hari adalah cerminan langsung dari kualitas sistem, budaya, dan komitmen orang-orang yang merancang dan mengawasinya.

Sebuah lubang di jalan mungkin bukan hanya disebabkan oleh hujan atau beban kendaraan yang berlebih. Ia bisa jadi merupakan gejala dari kurangnya fasilitas sertifikasi, rendahnya komitmen pegawai, dan struktur birokrasi yang tidak menghargai keahlian.

Jadi, lain kali Anda merasakan guncangan JEDUG! di jalan, mungkin selain marah pada kontraktornya, kita bisa mulai mengajukan pertanyaan yang lebih cerdas: "Apakah para perencana dan pengawas di dinas terkait sudah tersertifikasi? Apakah sistem di sana sudah mendorong profesionalisme sejati?"

Memahami akar masalah ini adalah langkah pertama bagi kita sebagai warga negara untuk menuntut perbaikan yang lebih substantif, bukan sekadar tambal sulam yang akan rusak lagi minggu depan.

Diskusi ini baru permukaannya saja. Kalau kamu tertarik untuk menyelam lebih dalam ke data dan analisisnya, saya sangat merekomendasikan untuk membaca karya aslinya.

(https://doi.org/10.34007/jehss.v5i3.1545)

Selengkapnya
Jalan Berlubang Bukan Cuma Soal Korupsi: Temuan Mengejutkan dari Sebuah Tesis yang Mengubah Cara Saya Melihat Infrastruktur

Manajemen Proyek

Mengapa Gedung Runtuh? Sebuah Studi Mengungkap Tiga Dosa Pokok dalam Manajemen Proyek

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 14 Oktober 2025


Beberapa minggu lalu, saya tersandung sebuah paper penelitian. Jujur saja, biasanya saya akan melewatkannya. Judulnya terdengar kering: "Factors Influencing Professional Project Management Ethical Practices in Building Construction". Terdengar seperti bacaan pengantar tidur. Tapi karena rasa penasaran, saya membukanya. Dan saya tidak bisa berhenti membaca.  

Paper ini bukan sekadar kumpulan data. Ia terasa seperti sebuah penemuan arkeologis—sebuah dokumen yang membongkar artefak tersembunyi dari kegagalan-kegagalan besar. Ia menjawab pertanyaan yang menghantui kita setiap kali mendengar berita tentang gedung runtuh atau jembatan ambruk: Mengapa? Mengapa struktur yang seharusnya menjadi monumen kecerdasan manusia bisa gagal secara tragis?

Untuk memahami inti masalahnya, mari kita lupakan sejenak tentang konstruksi. Bayangkan sebuah proyek yang lebih akrab: merencanakan liburan besar bersama sekelompok teman atau keluarga. Anda punya rencana yang sempurna. Anggaran sudah dibuat, jadwal penerbangan sudah dicatat, daftar aktivitas sudah disiapkan. Di atas kertas, semuanya sempurna. Inilah "peraturan dan standar" Anda.

Lalu, realitas mulai merayap masuk. Satu orang ingin pilihan termurah, mengabaikan kualitas. Orang lain, yang punya uang lebih, mendorong untuk hotel mewah yang di luar anggaran. Ada tekanan untuk menyelesaikan pemesanan sebelum harga naik. Tiba-tiba, rencana sempurna Anda terkoyak oleh dinamika manusia yang tak terlihat: tekanan teman sebaya, konflik kepentingan, dan tenggat waktu yang mencekik. Proyek liburan Anda, yang dimulai dengan optimisme, kini berada di ambang kekacauan.

Studi yang saya baca ini, yang berfokus pada industri konstruksi di Lagos, Nigeria, pada dasarnya menceritakan kisah yang sama, tetapi dengan taruhan yang jauh lebih tinggi—nyawa manusia. Para peneliti tidak hanya bertanya "aturan apa yang dilanggar?". Mereka bertanya, "Kekuatan tak terlihat apa yang memaksa orang untuk melanggar aturan tersebut?".  

Apa yang mereka temukan adalah sebuah pola yang universal. Sebuah pola yang berlaku di Lagos, Jakarta, New York, atau di mana pun proyek kompleks dijalankan. Mereka mengidentifikasi tiga "lingkaran setan" yang saling mengunci, yang secara sistematis meruntuhkan niat baik dan standar profesional. Perjalanan ini akan membawa kita masuk ke dalam psikologi kegagalan proyek, dan yang lebih penting, memberi kita peta untuk menghindarinya.

Tiga Lingkaran Setan yang Menjerat Proyek Konstruksi

Paper ini dengan cermat membedah faktor-faktor kegagalan menjadi tiga kategori besar: tekanan dari lingkungan organisasi, sifat proyek itu sendiri, dan, yang paling krusial, karakter dari manajer proyek. Mari kita bedah satu per satu.

Lingkaran Pertama: Tekanan Tak Terlihat dari Lingkungan dan "Suasana" Proyek

Ini adalah lapisan terluar dari masalah, tetapi mungkin yang paling kuat. Ini adalah tentang budaya, tekanan dari para pemangku kepentingan (stakeholder), dan "udara" yang dihirup oleh tim proyek setiap hari.

Bukan Salah Aturannya, Tapi Salah "Udara"-nya

Bayangkan Anda sedang berusaha keras untuk diet. Anda punya rencana makan yang terperinci, daftar kalori, dan jadwal olahraga. Itulah "standar etis" Anda. Sekarang, bayangkan Anda mencoba menjalankan diet itu di sebuah ruangan yang penuh dengan orang yang sedang berpesta pizza, donat, dan kue. Aroma makanan memenuhi udara. Teman-teman Anda terus-menerus menawarkan sepotong.

Secara teknis, tidak ada yang memaksa Anda untuk melanggar diet. Aturan Anda jelas. Tapi "udara" di ruangan itu—tekanan sosial, godaan yang terus-menerus—membuat kepatuhan menjadi hampir mustahil.

Studi ini membuktikan bahwa dalam manajemen proyek, "udara" yang kita hirup setiap hari jauh lebih kuat daripada buku peraturan yang tersimpan di rak. Para peneliti menemukan bahwa dua faktor organisasi yang paling berpengaruh adalah Project Environment (lingkungan proyek), yang disetujui oleh 63.5% responden, dan Stakeholder's Influence (pengaruh pemangku kepentingan), yang disetujui oleh 53.6% responden.  

Apa artinya ini dalam bahasa manusia?

  • Lingkungan Proyek (63.5%): Ini adalah budaya "beginilah cara kerja di sini". Apakah korupsi kecil dianggap wajar? Apakah "uang pelicin" untuk mempercepat izin adalah praktik standar? Apakah ada toleransi diam-diam untuk menggunakan material yang sedikit di bawah standar demi menghemat biaya? Lingkungan ini menciptakan norma tak tertulis yang sering kali mengalahkan norma tertulis.

  • Pengaruh Pemangku Kepentingan (53.6%): Ini adalah tekanan langsung dari orang-orang yang punya kepentingan dalam proyek. Klien yang menuntut proyek selesai lebih cepat dan lebih murah dari yang realistis. Pemasok yang menawarkan "komisi" jika Anda memilih produk mereka yang lebih inferior. Pejabat lokal yang mengisyaratkan bahwa persetujuan akan lebih mudah jika ada "tanda terima kasih". Ini adalah suara-suara di telinga manajer proyek yang terus berbisik, "Potong saja sudutnya. Lakukan saja sekali ini."

Kombinasi dari lingkungan yang permisif dan tekanan pemangku kepentingan yang tak henti-hentinya menciptakan badai yang sempurna untuk kompromi etis.

Apa yang Paling Mengejutkan Saya: Aturan Resmi Ternyata Macan Kertas

Di sinilah temuan studi ini benar-benar membuat saya terdiam. Ketika para peneliti bertanya tentang pengaruh Legal and Regulatory Framework (kerangka hukum dan peraturan), hasilnya mengejutkan. Hanya 31.3% responden yang setuju bahwa ini adalah faktor utama. Mayoritas besar, 68.7%, tidak menganggapnya sebagai pengaruh dominan.  

Sejujurnya, data ini membuat saya berhenti dan berpikir. Bukankah hukum, peraturan pemerintah, dan standar industri adalah pagar pembatas utama yang mencegah bencana? Bukankah itu adalah garis pertahanan terakhir kita?

Data ini seolah berteriak bahwa di dunia nyata, pagar itu sering kali hanyalah ilusi. Peraturan ada di atas kertas, tetapi tidak dirasakan sebagai kekuatan yang dominan di lapangan. Ini menunjukkan adanya jurang pemisah yang menganga antara apa yang seharusnya terjadi dan apa yang sebenarnya terjadi. Ini bukan berarti aturannya buruk. Ini berarti ada sesuatu dalam sistem—mungkin penegakan yang lemah, mungkin budaya impunitas, atau mungkin tekanan dari lingkaran setan pertama begitu kuat—sehingga aturan resmi menjadi sekadar saran, bukan perintah.

Ini adalah kesimpulan yang menakutkan. Ini berarti kita tidak bisa hanya mengandalkan sistem dan peraturan untuk menjaga proyek tetap aman. Beban yang luar biasa besar ternyata jatuh pada individu. Dan ini membawa kita ke lingkaran setan berikutnya.

Lingkaran Kedua: Saat Proyek Terlalu Rumit, Terlalu Berisiko, dan Terlalu Murah

Jika lingkaran pertama adalah tentang "udara" di sekitar proyek, lingkaran kedua adalah tentang sifat proyek itu sendiri. Studi ini menemukan bahwa beberapa proyek seolah-olah dirancang untuk gagal sejak awal, karena mereka membawa benih-benih kompromi etis dalam DNA mereka.

Segitiga Besi yang Berkarat: Biaya, Ruang Lingkup, dan Risiko

Dalam manajemen proyek, ada konsep klasik yang disebut "Segitiga Besi" (Iron Triangle): Ruang Lingkup (Scope), Waktu (Time), dan Biaya (Cost). Aturan mainnya sederhana: Anda bisa memilih dua dari tiga. Anda bisa mendapatkan proyek yang bagus dan cepat, tapi tidak akan murah. Anda bisa mendapatkan yang bagus dan murah, tapi tidak akan cepat. Anda bisa mendapatkan yang cepat dan murah, tapi (hampir pasti) tidak akan bagus.

Studi ini menunjukkan apa yang terjadi ketika tekanan dari lingkaran pertama memaksa manajer proyek untuk menjanjikan ketiganya. Segitiga Besi itu tidak lagi kokoh; ia mulai berkarat oleh kompromi.

Data dari penelitian ini sangat jelas dan menyakitkan. Ketika ditanya tentang faktor-faktor terkait proyek yang paling mempengaruhi praktik etis, inilah yang dikatakan oleh para profesional :  

  • Pertama, Keuangan Proyek (73.0%): Ini adalah biang keladi dari segala biang keladi. Angka ini, yang tertinggi di kategorinya, menunjukkan bahwa ketika dana cekak, godaan untuk memotong sudut menjadi sangat besar. Ini bukan lagi soal keserakahan; sering kali ini soal bertahan hidup. Manajer proyek dihadapkan pada pilihan yang mustahil: menggunakan material di bawah standar atau menghentikan proyek sama sekali.

  • Kedua, Risiko Proyek (69.3%): Proyek yang penuh dengan ketidakpastian—baik itu teknis, politik, atau pasar—menciptakan lingkungan di mana jalan pintas terasa seperti strategi yang cerdas untuk sekadar "melewati hari". Standar etis menjadi kemewahan yang tidak bisa mereka miliki.

  • Ketiga, Pemangku Kepentingan Proyek (66.3%) dan Kompleksitas/Ruang Lingkup Proyek (61.2%): Semakin rumit sebuah proyek dan semakin banyak "kepala" (pemangku kepentingan) yang harus dipuaskan, semakin besar kemungkinan standar etis terkikis oleh ribuan kompromi kecil. Setiap pemangku kepentingan menarik ke arah yang berbeda, dan manajer proyek, yang terjebak di tengah, sering kali harus mengorbankan integritas demi menjaga keharmonisan.

Faktor-faktor ini tidak berdiri sendiri. Mereka adalah mesin yang saling mengunci. Tekanan dari pemangku kepentingan (Lingkaran Pertama) untuk menekan biaya menciptakan masalah pendanaan (Lingkaran Kedua). Proyek yang didanai dengan buruk ini kemudian memaksa manajer proyek untuk membuat serangkaian keputusan tidak etis (Lingkaran Ketiga), yang pada akhirnya meningkatkan risiko proyek dan berpotensi menyebabkan kegagalan.

Ini adalah sebuah sistem yang dirancang untuk menghasilkan kegagalan. Memberi tahu manajer proyek untuk "bersikap etis" dalam situasi seperti ini sama seperti menyuruh seorang pelaut untuk menjaga kapalnya tetap kering di tengah badai dengan hanya menggunakan sebuah ember. Tanpa memperbaiki kondisi proyek itu sendiri, kita hanya menyiapkan mereka untuk gagal.

Lingkaran Ketiga: Di Balik Helm Proyek, Semua Bermuara pada Satu Orang

Setelah menelusuri tekanan sistemik dari lingkungan dan kendala brutal dari proyek itu sendiri, studi ini sampai pada kesimpulan yang paling menakutkan sekaligus paling memberdayakan. Pada akhirnya, benteng terakhir antara proyek yang aman dan sebuah bencana adalah karakter dan kompetensi dari satu orang: manajer proyek.

Pahlawan atau Penjahat? Kekuatan Super Manajer Proyek

Di antara ketiga kategori faktor yang diteliti, kategori yang berhubungan dengan manajer proyek memiliki skor rata-rata tertinggi (mean = 3.44), menandakan bahwa para profesional di lapangan menganggap ini sebagai elemen paling krusial. Dan ketika kita melihat rinciannya, ceritanya menjadi sangat jelas.  

Statistik yang paling menonjol, yang seharusnya dicetak tebal di setiap buku teks manajemen proyek, adalah ini: 89.7% profesional setuju bahwa Technical Skills (Keahlian Teknis) seorang manajer proyek adalah faktor kunci dalam praktik etis.  

Baca kalimat itu sekali lagi. Bukan hanya Personal Values (nilai-nilai pribadi), yang juga sangat tinggi di angka 71.4%. Tapi keahlian teknis.

Awalnya, ini mungkin terdengar aneh. Apa hubungan antara kemampuan membaca denah bangunan dengan kemampuan menolak suap? Hubungannya sangat dalam. Studi ini secara implisit berargumen bahwa "keahlian teknis" di sini berarti lebih dari sekadar pengetahuan buku. Ia berarti kompetensi. Ia berarti pemahaman yang begitu mendalam tentang apa yang benar dan salah secara teknis, sehingga seorang manajer memiliki kepercayaan diri dan otoritas untuk mengatakan "Tidak".

Seorang manajer proyek yang tidak kompeten, bahkan dengan niat terbaik di dunia, mungkin tidak akan mengenali saat pemasok menawarkan material di bawah standar. Mereka mungkin tidak memiliki kosakata teknis untuk membantah klien yang meminta jalan pintas yang berbahaya. Mereka mungkin tidak memiliki keberanian yang lahir dari kepastian untuk menolak tekanan.

Keahlian teknis bukanlah sekadar tahu cara membangun yang benar; itu adalah memiliki keberanian dan otoritas untuk menolak cara membangun yang salah. Kompetensi melahirkan kepercayaan diri, dan kepercayaan diri memungkinkan keberanian etis.

Dari Mana Datangnya Kekuatan Ini?

Kesadaran ini membawa kita pada pertanyaan paling penting: jika manajer proyek adalah kunci dari segalanya, bagaimana kita menempa kunci yang kuat dan tidak mudah bengkok? Temuan lain dari studi ini memberikan petunjuk. Analisis statistik lebih lanjut menunjukkan bahwa Qualification (kualifikasi) manajer proyek secara signifikan mempengaruhi kepatuhan mereka terhadap praktik etis (p<.05). Ini bukan lagi soal kebetulan atau bakat lahir. Ini adalah soal pengembangan, pelatihan, dan sertifikasi yang disengaja.  

Di sinilah inisiatif seperti kursus (https://www.diklatkerja.com/course/manajemen-sdm-dan-etika-profesi-dalam-pembangunan-infrastruktur/) dari Diklatkerja menjadi sangat krusial. Program semacam ini tidak hanya mengasah aspek teknis, tetapi juga secara eksplisit membahas etika, moral, integritas, dan strategi pencegahan korupsi—tiga pilar yang menurut studi ini adalah fondasi sesungguhnya dari sebuah proyek yang sukses. Pelatihan yang komprehensif, seperti yang juga ditawarkan dalam berbagai kursus manajemen proyek dan konstruksi lainnya, membangun benteng pertahanan dari dalam diri seorang profesional. Mereka tidak hanya diajarkan apa yang harus dilakukan, tetapi juga ditempa untuk memiliki kekuatan karakter untuk melakukannya di bawah tekanan.  

Pada akhirnya, setelah semua analisis sistem dan faktor eksternal, paper ini membawa kita kembali ke inti yang sangat manusiawi. Di tengah-tengah tekanan lingkungan yang korosif dan proyek yang dirancang untuk gagal, satu-satunya variabel yang dapat mengubah arah adalah seorang pemimpin yang kompeten dan berintegritas.

Pelajaran Praktis yang Bisa Saya Terapkan Besok Pagi

Setelah membongkar tiga lingkaran setan ini, apa yang bisa kita bawa pulang? Bagi saya, ada tiga pelajaran utama yang mengubah cara saya memandang setiap proyek, baik itu menulis artikel ini, mengelola tim kecil, atau bahkan merencanakan liburan keluarga berikutnya.

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Manusia > Sistem. Studi ini membuktikan bahwa investasi terbaik dalam sebuah proyek bukanlah pada teknologi atau proses yang canggih, melainkan pada karakter dan kompetensi pemimpinnya. Keahlian teknis (disetujui oleh 89.7%!) dan nilai-nilai pribadi (71.4%!) adalah prediktor kesuksesan etis yang paling kuat. Jika Anda ingin proyek yang hebat, carilah pemimpin yang hebat.  

  • 🧠 Inovasinya: Fokus pada "tekanan tak terlihat". Kita sering kali sibuk memadamkan api (masalah teknis, keterlambatan jadwal). Tapi paper ini mengingatkan kita untuk memperhatikan kualitas "udara" (lingkungan proyek, 63.5%) dan terutama tekanan finansial (73.0%). Inilah sumber api yang sebenarnya. Sebelum memulai proyek apa pun, tanyakan: "Apakah lingkungan ini mendukung integritas? Apakah anggarannya realistis?"  

  • 💡 Pelajaran: Etika adalah produk sampingan dari kompetensi. Ini adalah pelajaran yang paling mengejutkan bagi saya. Seorang manajer yang tidak kompeten secara teknis tidak akan mampu membuat keputusan etis yang sulit, bahkan jika niatnya baik. Jadi, jika Anda ingin membangun tim yang etis, mulailah dengan memastikan mereka adalah orang-orang yang paling ahli dan paling berkualitas di bidangnya. Beri mereka pelatihan, dukung sertifikasi mereka, dan bangun kepercayaan diri mereka. Keberanian etis akan mengikuti.

Sebuah Kritik Halus dan Ajakan untuk Anda

Meskipun temuan dari studi ini sangat kuat dan membuka mata, saya tidak bisa tidak mendambakan "daging" kualitatif di balik "tulang" kuantitatif ini. Angka 73% untuk tekanan finansial itu sangat kuat, tapi saya ingin mendengar cerita langsung dari seorang manajer proyek yang dipaksa memilih antara standar keselamatan dan tenggat waktu klien yang tidak masuk akal. Saya ingin membaca kutipan dari seorang insinyur muda yang merasa harus menyetujui sesuatu yang dia tahu salah karena tekanan dari atasannya. Wawancara mendalam atau studi kasus naratif akan memberikan warna, emosi, dan urgensi yang tidak bisa ditangkap sepenuhnya oleh skala persentase. Mungkin ini adalah kesempatan untuk penelitian selanjutnya.

Namun, kekurangan kecil itu tidak mengurangi kekuatan pesan utamanya.

Paper ini lebih dari sekadar studi tentang konstruksi di Nigeria; ini adalah cermin bagi siapa saja yang pernah memimpin sebuah tim, mengelola anggaran, atau menjalankan sebuah proyek. Ia mengingatkan kita bahwa fondasi dari setiap usaha besar bukanlah beton dan baja, atau kode dan spreadsheet. Fondasi sesungguhnya adalah keberanian, kompetensi, dan integritas manusia yang menjalankannya.

Jika analisis ini memicu rasa ingin tahu Anda, saya sangat mendorong Anda untuk menyelami data aslinya sendiri. Jangan biarkan format akademisnya menghalangi Anda—di dalamnya ada pelajaran berharga yang bisa mengubah cara Anda bekerja dan memimpin.

(https://doi.org/10.38177/ajast.2023.7110)

Selengkapnya
Mengapa Gedung Runtuh? Sebuah Studi Mengungkap Tiga Dosa Pokok dalam Manajemen Proyek

Manajemen Proyek

Proyek Saya Gagal Total—dan 5 Pelajaran Mengejutkan dari Jurnal Teknik Sipil yang Mengubah Cara Saya Bekerja

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 14 Oktober 2025


Akhir pekan lalu, saya gagal. Gagal total.

Proyeknya sederhana: merakit sebuah rak buku IKEA yang—menurut manualnya—seharusnya bisa selesai dalam 90 menit. Saya punya kopi, playlist favorit, dan rasa percaya diri yang meluap-luap. Apa susahnya menyatukan beberapa papan kayu?

Tiga jam kemudian, saya duduk di lantai, dikelilingi sekrup misterius yang tak terpakai, menatap sebuah struktur yang lebih mirip karya seni abstrak yang gagal ketimbang rak buku. Strukturnya miring, salah satu papannya terbalik, dan saya cukup yakin benda itu akan rubuh jika disentuh oleh buku yang lebih tebal dari majalah.

Frustrasi. Kesal. Merasa bodoh. Perasaan ini mungkin familier bagi siapa saja yang pernah melihat sebuah rencana matang hancur berkeping-keping di depan mata. Bedanya, kegagalan saya hanya berharga beberapa ratus ribu rupiah dan ego yang sedikit terluka. Di dunia profesional, kegagalan proyek bisa berarti kerugian miliaran, reputasi yang hancur, dan karier yang mandek.

Rasa penasaran akibat rak buku reyot itu membawa saya ke sebuah penelusuran di internet: mengapa proyek gagal? Saya melewati puluhan artikel bisnis dari Harvard Business Review dan blog startup Silicon Valley. Tapi jawaban yang paling jernih, paling jujur, dan paling mengejutkan justru saya temukan di tempat yang tak terduga: sebuah jurnal ilmiah dari Fakultas Teknik Sipil, Universitas Syiah Kuala.

Judulnya, "Kajian Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Kinerja Mutu pada Proyek Konstruksi di Provinsi Aceh". Kedengarannya sangat teknis dan spesifik. Tapi saat saya membacanya, saya sadar bahwa masalah yang dihadapi kontraktor di Aceh adalah cerminan dari masalah yang kita hadapi di mana pun—baik saat membangun jembatan, meluncurkan aplikasi, atau menjalankan kampanye pemasaran.  

Lima "Hantu" yang Mengintai Setiap Proyek (Menurut 30 Veteran Lapangan)

Hal yang membuat penelitian oleh Anita Rauzana dan Dwi Andri Usni ini begitu kuat adalah pendekatannya yang membumi. Mereka tidak berteori di menara gading. Mereka langsung bertanya kepada 30 perusahaan kontraktor berpengalaman di Aceh—orang-orang lapangan yang tangannya kotor dan setiap hari berhadapan dengan risiko kegagalan.  

Para peneliti mengidentifikasi 18 kemungkinan penyebab kegagalan mutu, mulai dari inflasi hingga cuaca buruk. Mereka lalu meminta para veteran ini untuk menilai mana yang paling berpengaruh. Hasilnya? Dari 18 "tersangka", lima di antaranya secara konsisten disebut sebagai biang kerok utama, yang paling sering dipilih sebagai "sangat berpengaruh".  

Saat pertama kali melihat kelima faktor ini, saya menganggapnya sebagai daftar masalah yang terpisah. Namun, setelah merenung lebih dalam, saya melihat sebuah pola—sebuah efek domino yang mengerikan. Kegagalan proyek jarang sekali disebabkan oleh satu kesalahan besar. Ia adalah hasil dari serangkaian kesalahan kecil yang saling terkait, di mana satu masalah memicu masalah berikutnya hingga semuanya runtuh.

Kisah kegagalan ini sering kali dimulai jauh sebelum batu pertama diletakkan atau baris kode pertama ditulis. Ia dimulai dari sebuah cacat fundamental dalam perencanaan, yang kemudian merambat dan menginfeksi setiap tahap eksekusi. Mari kita bedah kelima "dosa" ini, bukan sebagai daftar, melainkan sebagai sebuah cerita tragis tentang bagaimana proyek yang menjanjikan bisa berakhir menyedihkan.

Membedah Biang Kerok: Apa yang Sebenarnya Terjadi di Balik Layar?

Dosa #1: Peta yang Terus Berubah (Perubahan Lingkup Pekerjaan)

Bayangkan Anda sedang melakukan perjalanan darat dari Jakarta ke Surabaya. Anda sudah punya peta, jadwal, dan estimasi bensin. Tapi setiap jam, seseorang di kursi penumpang mengubah tujuannya: "Eh, kita ke Semarang aja." Sejam kemudian, "Gimana kalau ke Yogyakarta?" Lalu, "Kayaknya Bandung lebih seru." Anda mungkin pengemudi terbaik di dunia, tapi Anda tidak akan pernah sampai ke mana-mana. Anda hanya akan membuang waktu, bensin, dan kewarasan.

Itulah yang terjadi ketika lingkup pekerjaan terus berubah. Menurut penelitian ini, 19 dari 30 kontraktor menganggap ini sebagai faktor yang "sangat berpengaruh" terhadap kegagalan mutu. Perubahan ini bukan terjadi secara acak. Paper tersebut menyoroti penyebabnya: "kesalahan dalam hal penyajian desain dan spesifikasi perencanaan oleh pihak owner dan konsultan perencana".  

Dengan kata lain, tim eksekusi sering kali disalahkan atas kekacauan yang disebabkan oleh ketidakjelasan di tahap perencanaan. Di dunia kita, ini bisa berupa klien yang terus-menerus meminta revisi "sedikit", atau manajer produk yang menambahkan fitur baru di tengah-tengah sprint pengembangan. Setiap perubahan kecil ini menciptakan riak yang merusak jadwal, anggaran, dan yang paling penting, moral tim.

Dosa #2: Fondasi dari Pasir (Kualitas Material Buruk)

Ini seperti meminta seorang chef bintang Michelin untuk memasak hidangan istimewa, tapi bahan-bahannya Anda beli dari pasar loak yang sudah kedaluwarsa. Mustahil. Prinsip "sampah masuk, sampah keluar" berlaku di semua bidang.

Faktor ini ternyata menjadi kekhawatiran terbesar, dengan 21 dari 30 responden—jumlah terbanyak—menilainya sebagai "sangat berpengaruh". Kualitas material yang buruk secara langsung menentukan kualitas hasil akhir. Di dunia konstruksi, ini berarti beton yang rapuh atau baja yang mudah berkarat.  

Di dunia kita, "material" bisa berarti banyak hal. Bagi seorang analis data, materialnya adalah dataset. Jika datanya kotor dan tidak valid, analisis secanggih apa pun akan menghasilkan kesimpulan yang salah. Bagi seorang penulis, materialnya adalah hasil riset. Jika risetnya dangkal, tulisannya pun tidak akan berbobot. Bagi seorang developer, materialnya bisa berupa library atau API pihak ketiga. Jika library itu penuh bug, aplikasi yang dibangun di atasnya pun akan rapuh.

Penelitian ini memberikan solusi proaktif: pihak pelaksana harus selektif dalam memilih pemasok dan memeriksa kualitas material sebelum dibawa ke lokasi proyek. Ini adalah pelajaran penting tentang kontrol kualitas di hulu, bukan pemadaman kebakaran di hilir.  

Dosa #3: Cetak Biru yang Cacat (Kesalahan Desain)

Inilah domino pertama yang jatuh. Kesalahan desain adalah dosa asal yang melahirkan banyak masalah turunan. Bayangkan membangun rumah berdasarkan cetak biru arsitek di mana ukuran jendelanya salah, atau posisi stopkontak tidak masuk akal. Anda bisa mempekerjakan tukang bangunan terbaik di dunia, tapi mereka akan dipaksa melakukan rework—membongkar dan membangun kembali.

Menurut penelitian ini, 17 dari 30 kontraktor melihat ini sebagai biang keladi utama. Dampaknya brutal: "kerja berulang, membutuhkan waktu tambahan, dan pembengkakan pengeluaran sumber daya". Rework tidak hanya membuang uang dan waktu, tapi juga membunuh momentum dan semangat tim.  

Kesalahan desain sering kali terjadi karena komunikasi yang buruk antara perencana (konsultan, arsitek) dan pelaksana (kontraktor). Di dunia perkantoran, ini adalah brief yang ambigu dari klien, desain UX yang tidak mempertimbangkan keterbatasan teknis, atau strategi pemasaran yang tidak didasari oleh pemahaman pasar yang benar. Memastikan cetak biru Anda jelas, detail, dan dipahami oleh semua pihak adalah investasi terbaik yang bisa Anda lakukan untuk mencegah kegagalan.  

Dosa #4: Bertarung dengan Alat Tumpul (Mutu Peralatan Buruk)

Ini adalah masalah yang sangat relevan bagi para profesional modern. Bayangkan mencoba me-render video 4K di laptop keluaran 2010. Atau menjalankan analisis data jutaan baris di Microsoft Excel padahal seharusnya menggunakan Python. Anda tidak hanya akan bekerja lebih lambat, tapi Anda juga berisiko tinggi menghasilkan output yang salah atau mengalami crash di tengah jalan.

Sebanyak 20 dari 30 responden menandai ini sebagai faktor "sangat berpengaruh". Paper ini menjelaskan bahwa peralatan yang tidak sesuai atau berkualitas buruk akan menyebabkan "rendahnya produksi" dan kegagalan mencapai target sesuai jadwal.  

Memberikan talenta terbaik Anda alat yang buruk adalah resep pasti untuk frustrasi dan hasil yang biasa-biasa saja. Ini berlaku untuk software, hardware, dan sumber daya apa pun yang dibutuhkan tim untuk bekerja secara efektif. Menghemat uang dengan membeli lisensi software yang lebih murah atau menunda pembaruan perangkat keras sering kali merupakan penghematan palsu yang akan dibayar mahal di kemudian hari melalui hilangnya produktivitas dan kualitas.

Dosa #5: Tangan yang Salah di Pekerjaan yang Tepat (Kurangnya Keahlian Tenaga Kerja)

Ini adalah dosa yang paling manusiawi dan sering kali paling mahal. Anda tidak akan meminta seorang akuntan untuk menulis kode backend, atau seorang desainer grafis untuk menegosiasikan kontrak hukum. Keahlian itu spesifik, berharga, dan tidak dapat dengan mudah dipertukarkan.

Sebanyak 19 dari 30 kontraktor mengidentifikasi kurangnya keahlian sebagai titik kritis kegagalan. Paper ini secara gamblang menyatakan bahwa kurangnya pengalaman menyebabkan "hasil pekerjaan yang kurang baik dan kerja yang lambat". Ini menciptakan lingkaran setan: hasil yang buruk memerlukan perbaikan (rework), yang memakan waktu dan biaya, yang semakin menekan tim yang sudah tidak kompeten.  

Solusi yang ditawarkan oleh penelitian ini sangat jelas: perusahaan harus sering mengadakan seminar atau pelatihan untuk meningkatkan keterampilan pekerja. Investasi pada manusia adalah inti dari manajemen mutu. Untuk memastikan tim Anda tidak menjadi titik lemah dalam proyek, investasi dalam pengembangan keahlian menjadi sangat krusial. Platform seperti (https://diklatkerja.com) menawarkan kursus-kursus yang dirancang untuk mempertajam kemampuan teknis dan manajerial tim Anda, persis seperti yang direkomendasikan penelitian ini.  

Apa yang Paling Mengejutkan Saya (dan Apa yang Akan Saya Terapkan Besok)

Setelah menutup PDF jurnal tersebut, saya terdiam sejenak. Yang paling mengejutkan saya adalah betapa universalnya kelima dosa ini. Ganti kata 'beton' dengan 'kode', 'cetak biru' dengan 'desain UX', dan 'mandor' dengan 'manajer produk', dan temuan dari Aceh ini bisa langsung diterapkan di startup saya di Jakarta.

Meski temuannya sangat kuat, saya penasaran bagaimana hasilnya jika penelitian ini dilakukan di lingkungan kerja non-fisik seperti agensi kreatif atau perusahaan software. Intuisi saya mengatakan kelima faktor ini akan tetap muncul, mungkin dengan nama yang berbeda. Selain itu, metodologinya yang menggunakan statistik deskriptif sudah sangat baik untuk mengidentifikasi 'apa', tapi saya ingin tahu lebih dalam tentang 'mengapa'—mungkin melalui wawancara kualitatif yang lebih mendalam.

Namun, pelajaran utamanya sudah sangat jelas. Kegagalan bukanlah sebuah peristiwa tunggal yang misterius. Ia adalah sebuah sistem. Dan penelitian ini memberi kita cetak biru untuk memahami sistem tersebut.

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Kelima faktor ini bukan sekadar "masalah", tapi resep pasti menuju kegagalan jika diabaikan. Ini adalah daftar periksa pra-mortem yang sempurna untuk proyek apa pun.

  • 🧠 Inovasinya: Studi ini membuktikan bahwa kegagalan paling spektakuler sering kali berasal dari kesalahan mendasar yang kita anggap sepele di tahap perencanaan. Masalahnya bukan di eksekusi, tapi di konsepsi.

  • 💡 Pelajaran utama: Sebelum memulai proyek apa pun, audit lima area ini: Apakah peta Anda jelas (lingkup)? Apakah bahan baku Anda berkualitas (sumber daya)? Apakah cetak biru Anda solid (desain)? Apakah alat Anda memadai (teknologi)? Dan yang terpenting, apakah orang yang tepat ada di pekerjaan yang tepat (keahlian)?

Pelajaran terbesar yang saya dapatkan adalah pergeseran pola pikir. Kebanyakan dari kita dilatih untuk menjadi pemecah masalah yang reaktif—menjadi pahlawan yang memadamkan kebakaran. Namun, tim dan proyek yang benar-benar elite berfokus pada desain sistem yang proaktif. Tujuannya bukan untuk menjadi pemadam kebakaran yang lebih baik, tetapi untuk menjadi arsitek yang merancang bangunan tahan api sejak awal.

Membangun Proyek yang Lebih Baik, Dimulai dari Hari Ini

Prinsip untuk membangun jembatan yang kokoh di Aceh ternyata sama dengan prinsip untuk membangun produk software yang sukses, perusahaan yang berkembang, atau bahkan karier yang bermakna. Semuanya kembali pada penguasaan fundamental: rencana yang jelas, sumber daya yang berkualitas, dan tim yang terampil.

Kegagalan saya merakit rak buku IKEA mengajarkan saya tentang pentingnya membaca instruksi dengan teliti (kesalahan desain) dan menggunakan alat yang tepat (mutu peralatan). Tapi penelitian dari Aceh ini memberi saya kerangka kerja yang jauh lebih dalam untuk memahami kegagalan dalam skala yang lebih besar.

Tentu saja, tulisan ini hanya menggores permukaan dari analisis mendalam yang dilakukan oleh para peneliti. Jika Anda seorang manajer, pemimpin tim, atau siapa pun yang peduli dengan kualitas hasil kerja, saya sangat merekomendasikan Anda untuk meluangkan waktu membaca paper aslinya.

(https://doi.org/10.14710/mkts.v26i2.24065)

Selengkapnya
Proyek Saya Gagal Total—dan 5 Pelajaran Mengejutkan dari Jurnal Teknik Sipil yang Mengubah Cara Saya Bekerja

Analisis Industri

Otopsi Sebuah Industri: Pelajaran Mengejutkan dari Jurnal tentang Krisis Tenaga Kerja Konstruksi

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 14 Oktober 2025


Sebuah Pencerahan di Tengah Deru Proyek Konstruksi

Beberapa hari yang lalu, saya berjalan melewati sebuah proyek konstruksi raksasa di pusat kota. Langit dipenuhi siluet derek yang menjulang, udara diramaikan oleh deru mesin dan teriakan para pekerja. Energi pembangunan begitu terasa. Pikiran pertama saya, seperti kebanyakan orang, adalah kekaguman. "Luar biasa," batin saya, "begitu banyak orang bekerja keras membangun masa depan."

Namun, saat saya berhenti sejenak dan mengamati lebih dekat, sebuah pertanyaan yang lebih dalam muncul. Siapa sebenarnya orang-orang ini? Dari mana mereka datang? Apa jenjang karier yang menanti mereka? Apakah pekerjaan ini memberi mereka rasa hormat dan kesempatan untuk berkembang, atau hanya sekadar upah harian untuk bertahan hidup?

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang membawa saya pada sebuah jurnal penelitian setebal 17 halaman karya Padzil Fadzil Hassan, Mohd Sallehuddin Mat Noor, dan Hairuddin Mohammad. Sejujurnya, saya mengunduh paper itu dengan ekspektasi akan menemukan analisis akademis yang kering dan penuh jargon tentang "kesenjangan keterampilan" atau skill gap. Tapi yang saya temukan jauh lebih mengejutkan. Ini bukan sekadar laporan; ini adalah sebuah otopsi. Sebuah pembedahan mendalam terhadap sebuah sistem yang macet, yang mengungkap jejaring masalah yang begitu rumit dan saling mengunci, layaknya benang kusut.  

Apa yang saya baca sore itu mengubah cara saya memandang setiap proyek konstruksi yang saya lewati. Ternyata, masalahnya bukan sekadar kurangnya pelatihan. Masalahnya jauh lebih besar, lebih sistemik, dan tersembunyi di depan mata.

Tanah yang Tandus Takkan Menumbuhkan Bunga: Membedah Ekosistem Eksternal Industri

Para peneliti menggunakan sebuah kerangka berpikir yang brilian: mereka membagi masalah menjadi dua "ekosistem". Yang pertama adalah Ekosistem Eksternal, yaitu kondisi di tingkat industri itu sendiri. Bayangkan jika Anda ingin menanam bunga-bunga indah (tenaga kerja lokal yang terampil dan termotivasi). Anda tidak bisa hanya menyebar benih (program pelatihan) dan berharap yang terbaik. Anda harus memastikan tanahnya subur, airnya cukup, dan tidak ada gulma yang mencekik (kondisi industri yang sehat).

Paper ini menunjukkan dengan data yang gamblang bahwa industri konstruksi Malaysia saat ini adalah tanah yang tandus. Dan inilah penyebabnya.

Lingkaran Setan Ekonomi yang Menjebak Semua Orang

Akar masalahnya, menurut penelitian ini, adalah ketergantungan masif pada tenaga kerja asing. Data dari CIDB menunjukkan bahwa 93% dari pekerja asing yang terdaftar di sektor konstruksi adalah pekerja tidak terampil (unskilled). Mereka datang dari negara-negara tetangga dan bersedia menerima upah yang jauh lebih rendah. Sebuah laporan menyebutkan, rata-rata upah pekerja konstruksi umum lokal adalah sekitar RM70 per hari, sementara pekerja asing bisa dibayar hanya RM57,50 per hari.  

Ini bukan sekadar angka. Ini adalah mesin penggerak dari sebuah lingkaran setan yang destruktif:

  1. Langkah 1: Upah Tertekan. Ketersediaan tenaga kerja asing yang murah dan melimpah secara drastis menekan standar upah di seluruh sektor. Bagi perusahaan, ini adalah pilihan bisnis yang logis dalam jangka pendek: mengapa membayar lebih jika ada yang mau dibayar lebih murah?

  2. Langkah 2: Tenaga Kerja Lokal Mundur. Upah yang rendah, ditambah dengan kondisi kerja yang berat, membuat karier di bidang konstruksi menjadi sangat tidak menarik bagi warga lokal. Mereka pun "menghindari" industri ini dan mencari peluang di sektor lain yang menawarkan gaji dan martabat yang lebih baik.  

  3. Langkah 3: Ketergantungan Makin Dalam. Kekosongan yang ditinggalkan oleh tenaga kerja lokal ini kemudian diisi oleh lebih banyak lagi pekerja asing. Hal ini semakin memperkuat tekanan ke bawah pada upah, dan siklus pun berulang.

Dampaknya tidak berhenti di situ. Karena tenaga kerja begitu murah, perusahaan tidak memiliki insentif kuat untuk berinvestasi pada teknologi, otomatisasi, atau metode konstruksi yang lebih efisien seperti Industrialised Building System (IBS). Akibatnya, pekerjaan konstruksi tetap bersifat padat karya, manual, dan berbahaya. Ini, pada gilirannya, memperkuat citra "3D"—Dirty, Dangerous, and Difficult (Kotor, Berbahaya, dan Sulit)—yang semakin menjauhkan generasi muda Malaysia dari industri ini.  

Fragmentasi Brutal dan Keengganan untuk Melatih

Masalah diperparah oleh struktur industrinya sendiri. Malaysia memiliki lebih dari 70.500 kontraktor terdaftar. Jika dihitung, rasionya adalah sekitar 1 kontraktor untuk setiap 614 penduduk—salah satu yang tertinggi di dunia. Bayangkan sebuah pasar yang begitu sesak. Persaingan menjadi sangat ketat, margin keuntungan menipis, dan sebagian besar perusahaan adalah pemain kecil yang berjuang untuk bertahan hidup.  

Dalam kondisi seperti ini, siapa yang mau dan mampu berinvestasi dalam pelatihan? Logika bisnisnya sederhana namun cacat: "Untuk apa saya menghabiskan uang melatih seorang pekerja, jika setelah dia terampil, dia akan langsung dibajak oleh pesaing saya dengan tawaran gaji sedikit lebih tinggi?".  

Praktik subkontrak berlapis yang merajalela juga membuat tanggung jawab untuk melatih menjadi kabur. Kontraktor utama menyubkontrakkan pekerjaan ke perusahaan yang lebih kecil, yang kemudian menyubkontrakkan lagi. Di tengah rantai yang panjang dan terputus-putus ini, tidak ada satu pihak pun yang merasa memiliki kewajiban untuk mengembangkan sumber daya manusia dalam jangka panjang.  

Hasil akhirnya adalah sebuah bom waktu demografis. Tenaga kerja lokal yang masih bertahan di industri ini adalah generasi tua yang rata-rata berusia 50-60 tahun. Mereka akan segera pensiun, dan tidak ada generasi penerus yang siap menggantikan. Pengetahuan, pengalaman, dan keahlian praktis yang mereka miliki selama puluhan tahun tidak ditransfer secara sistematis dan terancam hilang selamanya.  

Ironi Terbesar: Ketika Solusi Justru Menjadi Bagian dari Masalah

Jika Ekosistem Eksternal adalah tanah yang tandus, maka Ekosistem Internal—yaitu sistem pendidikan dan pelatihannya sendiri—adalah benih yang kurang berkualitas. Ironisnya, upaya-upaya yang dirancang untuk menjadi solusi justru menjadi bagian dari masalah.

Bayangkan Anda ingin menjadi koki andal. Anda mendaftar ke sekolah kuliner ternama. Tapi setibanya di sana, Anda hanya diajarkan teori nutrisi, sejarah masakan dunia, dan manajemen restoran di dalam kelas. Anda tidak pernah diizinkan menyentuh pisau, kompor, atau bahan makanan segar. Setelah lulus, Anda memang memegang sertifikat, tapi Anda sama sekali tidak bisa memasak.

Inilah gambaran pedih dari sistem pendidikan dan pelatihan konstruksi yang diungkap oleh paper ini.

Sekolah yang Mengajarkan Peta Lama

Di tingkat pendidikan tinggi, para peneliti menemukan adanya "ketidakcocokan" (mismatches) yang serius antara kurikulum universitas dengan kebutuhan nyata industri. Lulusan Building Surveying diragukan kemampuannya, program arsitektur dan teknik kurang mengajarkan manajemen proyek, kurikulum Quantity Surveying (QS) dianggap sudah usang, dan isu-isu krusial seperti etika profesi dan keberlanjutan (sustainability) kurang mendapat penekanan.  

Terciptalah sebuah paradoks kualifikasi. Universitas sibuk mencetak ribuan sarjana setiap tahun, menciptakan ilusi kemajuan. Namun, industri terus mengeluh bahwa mereka "tidak menghasilkan lulusan dengan keterampilan yang sesuai". Lembaga pendidikan seolah beroperasi dalam menara gading, terisolasi dari realitas lapangan yang dinamis dan terus berubah.  

Pelatihan yang Hanya Formalitas

Di tingkat vokasi atau kejuruan, situasinya lebih parah. Sebagian besar program pelatihan yang ada dikritik karena:

  • Terlalu berbasis kelas (classroom-based).

  • Kurang pelatihan praktik langsung (hands-on).

  • Materinya terlepas dari tugas dan tantangan nyata di lokasi proyek.  

Studi ini menemukan fakta yang mencengangkan: banyak kontraktor mengikuti pelatihan bukan untuk meningkatkan kompetensi, melainkan hanya karena itu adalah syarat wajib untuk memperbarui lisensi mereka. Pelatihan menjadi sekadar formalitas administratif. 

Bahkan program ambisius yang dirancang dengan baik seperti National Dual Training System (NDTS)—sebuah skema magang terintegrasi—gagal total karena respons yang sangat buruk dari perusahaan. Mereka tidak tertarik untuk berpartisipasi. Lebih menyedihkan lagi, sebuah studi terhadap peserta pelatihan di akademi konstruksi milik pemerintah (ABM) menemukan bahwa banyak peserta muda mengikuti program tersebut hanya untuk mengisi waktu luang dan mendapatkan uang saku, tanpa niat serius untuk berkarier di bidang konstruksi.  

Melihat kegagalan model pelatihan konvensional ini, saya jadi berpikir, model seperti apa yang sebenarnya berhasil? Mungkin yang lebih fokus pada hasil praktis, relevansi industri, dan fleksibilitas. Model yang tidak terjebak dalam birokrasi, melainkan yang benar-benar menjawab kebutuhan pasar kerja saat ini, seperti yang coba ditawarkan oleh platform (https://diklatkerja.com/).

Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Puing-Puing Ini?

Membaca analisis yang begitu tajam ini membuat saya merenung. Ini bukan hanya cerita tentang industri konstruksi di Malaysia. Ini adalah studi kasus tentang bagaimana sebuah sistem yang kompleks bisa gagal. Ada beberapa pelajaran universal yang bisa kita petik.

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Masalahnya bukan terletak pada individu—bukan karena pekerjanya malas atau perusahaannya serakah. Masalahnya ada pada sistem yang secara inheren menjebak semua orang untuk berperilaku tidak produktif dalam jangka panjang. Memperbaiki satu bagian saja (misalnya, dengan menambah anggaran pelatihan) tidak akan pernah berhasil jika lingkungan di sekitarnya tetap beracun.

  • 🧠 Inovasinya: Pendekatan "ekosistem" yang digunakan dalam paper ini adalah cara berpikir yang sangat kuat. Ini mengajarkan kita untuk mencari hubungan tersembunyi antara faktor ekonomi (upah), kebijakan (tenaga kerja asing), pendidikan (kurikulum), dan budaya kerja (citra 3D). Kita bisa menggunakan lensa ini untuk menganalisis masalah kronis di industri mana pun, termasuk di tempat kita bekerja.

  • 💡 Pelajaran: Jangan pernah menerima jawaban, "memang sudah dari sananya begitu." Kita harus berani mempertanyakan insentif yang mendasari sebuah sistem. Mengapa perusahaan lebih memilih mempekerjakan tenaga kerja murah daripada berinovasi dengan teknologi? Mengapa sekolah lebih fokus pada jumlah sertifikat yang dikeluarkan daripada kompetensi lulusannya? Jawabannya hampir selalu terletak pada struktur insentif yang salah.

Meskipun analisis makro dari paper ini sangat tajam dan membuka mata, saya merasa ada satu elemen yang hilang: suara manusianya. Saya ingin sekali membaca studi lanjutan yang menceritakan kisah para pekerja—baik lokal maupun asing—dan para pemilik usaha kecil yang setiap hari berjuang di dalam sistem yang menjebak ini. Analisis abstraknya memang kuat, tapi cerita manusialah yang pada akhirnya akan benar-benar menggerakkan perubahan.

Memutus Rantai: Sebuah Pemikiran Akhir

Pada akhirnya, paper ini meninggalkan saya dengan satu kesimpulan besar: kesehatan sebuah industri bergantung pada hubungan simbiosis antara "tanah" (Ekosistem Eksternal) dan "benih" (Ekosistem Internal). Jika tanahnya tandus dan penuh gulma, benih terbaik sekalipun tidak akan tumbuh. Sebaliknya, jika benihnya berkualitas buruk, tanah sesubur apa pun tidak akan menghasilkan panen yang baik.

Mustahil memperbaiki sistem pendidikan dan pelatihan tanpa mereformasi struktur insentif di industrinya. Dan mustahil mereformasi industri tanpa pasokan talenta berkualitas dari sistem pendidikan. Keduanya harus dibenahi secara holistik dan terintegrasi.

Ini adalah pelajaran yang jauh melampaui menara beton dan kerangka baja. Coba lihatlah industri Anda sendiri. Adakah "jebakan tak terlihat" atau "lingkaran setan" serupa yang menahan semua orang untuk maju? Apa itu, dan bagaimana kita bisa mulai memetakan jalan keluarnya?

Selami Lebih Dalam

Analisis saya ini hanya menggores permukaan dari kekayaan data dan argumen dalam paper aslinya. Jika Anda tertarik untuk memahami masalah ini secara lebih mendalam—dan saya jamin ini akan mengubah cara pandang Anda—saya sangat merekomendasikan Anda untuk membacanya sendiri.

(https://doi.org/10.30880/ijscet.2021.12.02.005)

Selengkapnya
Otopsi Sebuah Industri: Pelajaran Mengejutkan dari Jurnal tentang Krisis Tenaga Kerja Konstruksi
« First Previous page 62 of 1.274 Next Last »