Investasi Berkelanjutan
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Investasi Berkelanjutan, Tren Global, dan Tantangan Masa Kini
Investasi berkelanjutan kini menjadi sorotan utama di tengah krisis iklim, tekanan sosial, dan perubahan paradigma ekonomi global. Tak hanya sekadar tren, pendekatan investasi ini menantang prinsip klasik “wealth maximization” dan menghadirkan konsep “shared value” yang mengintegrasikan tujuan finansial, sosial, dan lingkungan1. Paper “A Systematic Review of Sustainable Investment Approaches” karya Charney S. Akala, Taryn Neuhaus, dan Indrani O’Leary-Govender (2022) mengulas secara sistematis tiga pendekatan utama investasi berkelanjutan: Socially Responsible Investing (SRI), Environmental, Social, and Governance (ESG), dan impact investing. Artikel ini akan membedah temuan utama, studi kasus, angka-angka penting, serta memberikan kritik, opini, dan relevansi dengan tren industri.
Evolusi dan Definisi Investasi Berkelanjutan
Dari Etika Religius ke Inovasi Finansial Modern
Investasi berkelanjutan berakar dari gerakan etika investasi di Gereja Metodis abad ke-18, yang menolak investasi pada bisnis perbudakan, perjudian, dan alkohol1. Seiring waktu, pendekatan ini berkembang menjadi SRI, ESG, dan impact investing, terutama setelah peristiwa besar seperti Perang Dunia II, gerakan hak sipil, krisis keuangan 2008, dan meningkatnya kesadaran akan perubahan iklim1.
Ketiganya kini menjadi mainstream di pasar modal global, didorong oleh inisiatif seperti UNPRI, Paris Agreement, dan COP261.
Kerangka Teoritis: Dari EMH ke Shared Value
Perubahan Paradigma dalam Dunia Keuangan
Tradisi keuangan klasik seperti Efficient Market Hypothesis (EMH) dan Modern Portfolio Theory (MPT) menekankan rasionalitas investor dan optimasi risiko-imbal hasil1. Namun, investasi berkelanjutan memperkenalkan dimensi baru: investor rela mengorbankan sebagian return demi tujuan sosial atau lingkungan1.
Kerangka ini menandai pergeseran dari “shareholder value” ke “stakeholder value”, menuntut perusahaan bertanggung jawab pada masyarakat dan lingkungan.
Metodologi Studi: Sistematis, Komprehensif, dan Berbasis Data
Penulis melakukan review sistematis atas 40 artikel dan dokumen kebijakan dari UN, OECD, GIIN, Springer Link, SSRN, dan lainnya. Artikel diklasifikasikan berdasarkan pendekatan investasi (SRI, ESG, impact), fokus geografis (developed, emerging, global), metodologi (empiris, review, kebijakan), dan temuan utama1.
Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci
1. Dominasi Pasar Maju & Kesenjangan Pasar Berkembang
2. Kinerja Keuangan: Hasil Campuran dan Tantangan Ukur
3. Studi Kasus Nyata
Analisis Tematik: Overlap, Tantangan, dan Peluang
1. Overlapping Frameworks: SRI, ESG, dan Impact Investing
Salah satu temuan utama paper adalah tumpang tindih konsep antara SRI, ESG, dan impact investing. Banyak studi dan pelaku pasar menggunakan istilah ini secara bergantian, padahal cakupan dan tujuan tiap pendekatan berbeda1. Misal, SRI sering dianggap subset dari ESG, sementara impact investing sering diposisikan sebagai bagian dari SRI.
2. Standar dan Terminologi yang Belum Konsisten
Kurangnya konsistensi istilah dan standar pengukuran ESG menjadi hambatan utama mainstreaming investasi berkelanjutan1. ESG rating agencies seperti MSCI, Sustainalytics, dan S&P Global menggunakan metodologi berbeda, sehingga skor ESG satu perusahaan bisa sangat bervariasi antar lembaga.
3. Metodologi Penelitian: Dominasi Kuantitatif
Sebagian besar studi menggunakan pendekatan empiris berbasis teori keuangan klasik (CAPM, Fama-French, EMH) untuk mengukur kinerja SRI dan ESG1. Namun, model-model ini dinilai kurang mampu menangkap trade-off antara return finansial dan dampak sosial/lingkungan.
Kritik dan Opini: Di Mana Letak Tantangan Utama?
1. Kinerja Keuangan: Mitos atau Realita?
Banyak investor masih ragu bahwa investasi berkelanjutan bisa memberikan return setara atau lebih baik dari investasi konvensional. Studi dalam paper ini memperlihatkan hasil campuran: beberapa menemukan return positif, beberapa negatif, dan sebagian besar “no effect”1. Hal ini menandakan perlunya model evaluasi baru yang mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan secara lebih komprehensif.
2. ESG di Pasar Berkembang: Peluang atau Risiko?
Pasar berkembang menghadapi tantangan unik: korupsi, instabilitas politik, dan lemahnya regulasi ESG. Namun, justru di pasar inilah peluang dampak sosial dan lingkungan terbesar. Studi Sherwood & Pollard (2018) dan Chen & Yang (2020) menunjukkan bahwa adopsi ESG di emerging markets masih rendah, namun potensi pertumbuhan sangat besar1.
3. Impact Investing: Antara Filantropi dan Keuntungan
Impact investing sering diposisikan di antara filantropi dan investasi murni. Namun, pengukuran dampak sosial/lingkungan (SROI, Theory of Change) masih belum baku, sehingga sulit membandingkan performa antar proyek atau manajer investasi1.
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Studi ini sejalan dengan temuan Talan & Sharma (2019) dan Ferreira et al. (2016) yang menyoroti kurangnya konsistensi istilah dan framework di literatur investasi berkelanjutan. Sementara Bernal, Hudon, & Ledru (2021) menegaskan bahwa model keuangan klasik tidak cukup untuk menjelaskan kinerja impact investing, sehingga dibutuhkan pendekatan baru berbasis multi-utility atau willingness-to-pay1.
Relevansi Industri dan Tren Global
1. ESG sebagai Standar Baru di Pasar Modal
ESG kini menjadi syarat utama bagi perusahaan yang ingin mengakses modal global. Bursa saham di Eropa, AS, dan Asia mulai mewajibkan pelaporan ESG sebagai bagian dari disclosure tahunan. Industri keuangan juga berlomba mengembangkan produk berbasis ESG dan impact, seperti green bonds, social bonds, dan thematic funds1.
2. Digitalisasi dan Transparansi
Adopsi teknologi digital untuk pelaporan ESG, pemantauan dampak, dan transparansi proses investasi kini menjadi tren utama. Platform digital seperti peer-to-peer impact investing dan blockchain untuk pelacakan dana semakin banyak diadopsi, terutama di pasar berkembang1.
3. Regulasi dan Standar Global
Uni Eropa, UNPRI, dan GIIN terus mendorong harmonisasi standar ESG dan impact investing. Inisiatif seperti EU Taxonomy dan Sustainable Finance Disclosure Regulation (SFDR) bertujuan menciptakan playing field yang setara dan mencegah greenwashing1.
Rekomendasi Strategis untuk Masa Depan Investasi Berkelanjutan
Investasi Berkelanjutan, Jalan Panjang Menuju Masa Depan Inklusif
Paper ini menegaskan bahwa investasi berkelanjutan bukan sekadar tren, melainkan kebutuhan mendesak untuk menjawab tantangan sosial dan lingkungan global. SRI, ESG, dan impact investing menawarkan peluang besar, namun masih menghadapi tantangan serius: tumpang tindih konsep, standar yang belum konsisten, serta hasil keuangan yang beragam. Untuk mewujudkan potensi penuh investasi berkelanjutan, diperlukan inovasi model evaluasi, harmonisasi standar, dan kolaborasi lintas sektor. Dengan demikian, investasi berkelanjutan dapat menjadi motor penggerak ekonomi inklusif dan masa depan yang lebih hijau.
Sumber artikel :
Charney S. Akala, Taryn Neuhaus & Indrani O’Leary-Govender. “A Systematic Review of Sustainable Investment Approaches.” International Journal of Economics and Finance, Vol. 14, No. 12, 2022, pp. 72–83.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Mengapa Keamanan Air Menjadi Isu Strategis?
Keamanan air (water security) kini menjadi salah satu isu paling mendesak dalam pembangunan berkelanjutan di seluruh dunia. Tidak hanya karena air adalah kebutuhan dasar manusia, tetapi juga karena air menjadi penentu pertumbuhan ekonomi, kesehatan ekosistem, dan stabilitas sosial. Paper “Achieving Water Security in Global Change: Dealing with Associated Risk in Water Investment” karya Eva Mia Siska dan Kaoru Takara (2015) membedah secara mendalam tantangan dan strategi mencapai water security, khususnya di tengah tekanan perubahan global seperti pertumbuhan penduduk, perubahan iklim, dan degradasi lingkungan. Artikel ini akan mengulas temuan utama paper, menyoroti studi kasus nyata, angka-angka penting, serta memberikan analisis kritis dan relevansi dengan tren industri dan kebijakan.
Konsep Water Security: Dualitas Air sebagai Sumber dan Ancaman
Definisi dan Dimensi Water Security
Water security didefinisikan sebagai kapasitas masyarakat untuk mengamankan akses terhadap air dalam jumlah dan kualitas yang memadai untuk menopang kesehatan manusia dan ekosistem, sekaligus melindungi diri dari bahaya air seperti banjir, longsor, dan kekeringan. Konsep ini menekankan dua sisi air: sebagai sumber pertumbuhan (supportive side) dan sebagai ancaman bila tidak terkelola (destructive side)1.
Studi Kasus: Ethiopia dan Variabilitas Curah Hujan
Di Ethiopia, keterbatasan kapasitas penyimpanan air membuat negara ini sangat rentan terhadap variabilitas curah hujan. Data World Bank (2006) menunjukkan bahwa fluktuasi pertumbuhan GDP Ethiopia sangat berkorelasi dengan variasi curah hujan tahunan. Ketidakmampuan mengelola variabilitas air menyebabkan pertumbuhan ekonomi terhambat dan memperbesar risiko kemiskinan1.
Investasi Air: Tipping Point, Pertumbuhan Ekonomi, dan Tantangan Politik
Kerangka “Water and Growth S-Curve”
Paper ini menyoroti konsep “tipping point” dalam investasi air: negara harus berinvestasi hingga mencapai platform minimum agar air benar-benar berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Di bawah tipping point, negara dianggap water insecure dan tidak mampu memanfaatkan air untuk pertumbuhan. Setelah tipping point tercapai, investasi tambahan akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkelanjutan1.
Dampak Global Change: Populasi, Gaya Hidup, dan Iklim
Pertumbuhan penduduk, perubahan gaya hidup, degradasi ekosistem, dan perubahan iklim memperburuk akses air dan meningkatkan risiko kejadian ekstrem. Negara-negara berkembang menghadapi tantangan ganda: keterbatasan dana dan tekanan politik, karena investasi air jarang langsung meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebelum tipping point tercapai, sehingga seringkali tidak populer secara politik1.
Peran Pemerintah dan Swasta dalam Investasi Air
Dominasi Pemerintah dan Tantangan Investasi
Pemerintah memegang peran sentral dalam investasi awal infrastruktur air melalui sumber daya fiskal. Namun, di negara termiskin, pelaku ekonomi cenderung sangat risk-averse, lebih memilih meminimalkan risiko daripada mengejar potensi keuntungan. Akibatnya, investasi publik dalam air seringkali tertunda atau tidak memadai1.
Promosi Investasi Swasta
Untuk mengatasi keterbatasan fiskal, banyak negara kini mendorong investasi swasta dalam infrastruktur air strategis. Namun, keterlibatan swasta juga menghadapi tantangan risiko, terutama dalam konteks perubahan global yang penuh ketidakpastian1.
Model Hidro-Ekonomi: Jembatan Sains dan Kebijakan
Mengapa Model Hidro-Ekonomi Penting?
Model hidro-ekonomi menjadi alat penting untuk memahami interaksi kompleks antara variabel hidrologi, ekonomi, dan ekologi. Model ini membantu pengambil keputusan untuk:
Dimensi Model Hidro-Ekonomi
Model ini mengintegrasikan:
Studi Kasus Model Hidro-Ekonomi: Ethiopia dan Arkansas River Basin
1. Ethiopia: Dynamic General Equilibrium Model untuk Adaptasi Iklim
Robinson et al. (2012) mengembangkan model equilibrium dinamis multi-sektor yang menggabungkan model hidrologi, pertanian, transportasi, dan energi. Model ini mensimulasikan dampak lima skenario perubahan iklim (tanpa perubahan, basah, kering, global basah, global kering) hingga tahun 20501.
2. Arkansas River Basin, AS: CGE untuk Pilihan Investasi Air
Goodman (2000) menggunakan model Computable General Equilibrium (CGE) untuk membandingkan dua opsi: membangun reservoir baru atau melakukan transfer air dari kawasan pertanian ke kota1.
Kritik dan Analisis Kritis: Keterbatasan dan Tantangan Model
Keterbatasan Model Hidro-Ekonomi
Tantangan Implementasi di Negara Berkembang
Relevansi dengan Tren Industri dan Kebijakan Global
1. Water Security sebagai Pilar Pembangunan Berkelanjutan
Keamanan air kini menjadi pilar utama dalam pencapaian SDGs, khususnya SDG 6 (air bersih dan sanitasi) dan SDG 13 (aksi iklim). Industri air, energi, dan pertanian kini didorong untuk mengadopsi pendekatan berbasis risiko dan investasi adaptif, bukan sekadar ekspansi infrastruktur1.
2. Digitalisasi dan Smart Water Management
Tren digitalisasi (IoT, big data, AI) membuka peluang baru untuk pemantauan air secara real-time, prediksi risiko, dan pengambilan keputusan berbasis data. Model hidro-ekonomi dapat diintegrasikan dengan teknologi digital untuk meningkatkan akurasi dan responsivitas kebijakan air.
3. Kolaborasi Multipihak dan Investasi Inovatif
Pendanaan inovatif seperti blended finance, green bonds, dan public-private partnership (PPP) kini semakin banyak digunakan untuk mendanai investasi air, terutama di negara berkembang. Kolaborasi multipihak menjadi kunci keberhasilan investasi air yang adaptif dan berkelanjutan.
Perbandingan dengan Studi Lain
1. Grey & Sadoff (2007): Water Security for Growth and Development
Studi ini menegaskan bahwa negara yang telah mencapai water security mampu menikmati pertumbuhan ekonomi yang lebih stabil dan inklusif. Sebaliknya, negara yang belum mencapai water security cenderung stagnan atau terhambat pertumbuhannya akibat risiko air yang tidak terkelola1.
2. Brouwer et al. (2008): Integrated Hydro-Economic Modelling
Brouwer dkk. menyoroti pentingnya model yang mampu mengintegrasikan dampak langsung dan tidak langsung perubahan kualitas air terhadap ekonomi nasional dan daerah aliran sungai. Studi ini sejalan dengan temuan Siska & Takara bahwa model hidro-ekonomi harus mampu menangkap interaksi lintas sektor dan skala1.
3. Harou et al. (2009): Future Prospects of Hydro-Economic Models
Harou dkk. menekankan perlunya pengembangan model yang lebih fleksibel, modular, dan mampu mengakomodasi ketidakpastian iklim serta kebutuhan adaptasi jangka panjang. Hal ini sejalan dengan rekomendasi paper terkait kebutuhan model yang mampu mendukung investasi “no-regret” dan “low-regret”.
Rekomendasi untuk Masa Depan Investasi Air dan Water Security
Menuju Water Security yang Adaptif dan Berkelanjutan
Paper ini menegaskan bahwa mencapai water security di era perubahan global membutuhkan investasi strategis, pengelolaan risiko yang cermat, dan dukungan model hidro-ekonomi yang terintegrasi. Studi kasus di Ethiopia dan Arkansas River Basin memperlihatkan bagaimana model dapat membantu pengambilan keputusan investasi air yang lebih rasional, efisien, dan adaptif terhadap ketidakpastian. Tantangan utama terletak pada keterbatasan data, kapasitas teknis, dan komitmen politik, terutama di negara berkembang. Namun, dengan adopsi teknologi digital, kolaborasi multipihak, dan fokus pada investasi adaptif, masa depan water security yang inklusif dan berkelanjutan sangat mungkin diwujudkan. Paper ini menjadi rujukan penting bagi pembuat kebijakan, peneliti, dan pelaku industri yang ingin membangun masa depan air yang tangguh dan berkeadilan.
Sumber artikel :
Eva Mia Siska & Kaoru Takara. “Achieving water security in global change: dealing with associated risk in water investment.” Procedia Environmental Sciences 28 (2015): 743–749.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Bisnis, Air, dan Tantangan Tata Kelola Abad ke-21
Air adalah fondasi ekonomi global—dari pertanian, manufaktur, hingga teknologi digital. Namun, selama bertahun-tahun, peran korporasi dalam tata kelola air nyaris terabaikan. Paper “Corporate Engagement in Water Policy and Governance: A Literature Review on Water Stewardship and Water Security” karya Suvi Sojamo dan Thérèse Rudebeck (2024) membongkar bagaimana, dalam 15 tahun terakhir, perusahaan-perusahaan besar mulai aktif membentuk kebijakan air global melalui inisiatif water stewardship dan water security. Artikel ini merangkum temuan utama, menyoroti studi kasus, angka-angka penting, serta memberikan analisis kritis dan relevansi dengan tren industri dan kebijakan kontemporer1.
Evolusi Konsep: Dari Water Stewardship ke Water Security
Water Stewardship: Dari “Footprint” ke Kolektif Aksi
Konsep water stewardship lahir dari kebutuhan untuk melihat air sebagai risiko bisnis dan peluang kolektif. Dimulai dengan ide “water footprint” (jejak air) yang dikembangkan Tony Allan dan WWF pada awal 2000-an, perusahaan mulai menghitung total konsumsi air di sepanjang rantai pasok mereka. Studi landmark WWF dan SABMiller (2009) mengungkap lebih dari setengah konsumsi air Inggris berasal dari produk impor—menyoroti pentingnya melihat air secara lintas negara dan rantai nilai1.
Inisiatif seperti CEO Water Mandate (UN Global Compact, 2007), Water Footprint Network, dan Alliance for Water Stewardship (AWS, 2014) menandai babak baru: perusahaan didorong untuk bertanggung jawab tidak hanya di dalam pagar pabrik, tapi juga di tingkat catchment (DAS) dan komunitas. AWS mendefinisikan stewardship sebagai penggunaan air yang adil, berkelanjutan, dan inklusif, dengan lima pilar: tata kelola, keseimbangan air, kualitas air, perlindungan ekosistem, dan akses WASH (water, sanitation, hygiene)1.
Water Security: Integrasi Bisnis dalam Agenda Publik
Water security, meski tak punya definisi tunggal, kini menjadi tujuan utama manajemen air global—menekankan perlindungan ekonomi, ekosistem, dan masyarakat dari risiko air. Sejak 2009, World Economic Forum (WEF) dan 2030 Water Resources Group (2030 WRG)—diprakarsai CEO Nestlé dan World Bank—menyuarakan bahwa pada 2030, permintaan air global bisa melebihi pasokan hingga 40%. Ini menempatkan perusahaan sebagai aktor utama dalam mengatasi risiko air, bukan sekadar penerima dampak1.
Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci
1. Perusahaan dan Inisiatif Global
2. Sektor Kritis dan Rantai Nilai
3. Studi Kasus Lapangan
Motivasi dan Dinamika Keterlibatan Korporasi
Internal Drivers
External Drivers
Dinamika Implementasi: Dari Komitmen ke Dampak Nyata
1. Komitmen Meningkat, Implementasi Masih Terbatas
2. Kesenjangan antara Strategi dan Realitas
3. Studi Kasus: Equity dan Keadilan
Analisis Kritis: Kontroversi, Peluang, dan Tantangan
1. Water Stewardship: Paradigma Baru atau Sekadar PR?
2. Water Security: Risiko Ekonomi atau Kesejahteraan Bersama?
3. Peran LSM dan Donor: Kolaborasi atau Fragmentasi?
Studi Kasus dan Praktik Terbaik: Inspirasi dan Pelajaran
1. Mersey Basin Campaign (UK, 1985–2010)
Kolaborasi antara bisnis, pemerintah, dan masyarakat sipil berhasil merevitalisasi sungai Mersey, mengurangi polusi, dan membangun tata kelola air yang inklusif. Keberhasilan ini tak lepas dari peran pemerintah sebagai “principal” yang memastikan tujuan publik tetap utama1.
2. AWS Certification di Ica Valley, Peru
Beberapa perusahaan agribisnis besar telah meraih sertifikasi AWS. Namun, dampak nyata terhadap petani kecil dan lingkungan masih dipertanyakan, menjadi “uji lakmus” apakah standar global benar-benar mampu menghasilkan perubahan berkelanjutan dan adil.
3. Komitmen “Water Positive” di Sektor Teknologi
Meta, Google, Microsoft, dan Amazon berkomitmen menjadi “water positive” pada 2030. Namun, pengukuran dampak dan transparansi aksi di rantai pasok masih menjadi tantangan besar, terutama di negara berkembang yang menjadi basis produksi hardware dan data center1.
Relevansi Industri dan Kebijakan: Tren dan Masa Depan
1. Digitalisasi dan Transparansi
Teknologi digital (IoT, big data, blockchain) membuka peluang pemantauan air real-time, pelaporan ESG, dan transparansi rantai pasok. Platform seperti CDP dan inisiatif seperti Fair Water Footprints Declaration mulai menghubungkan negara konsumen dan produsen air secara global.
2. Regulasi dan Standar Global
Regulasi seperti EU CSRD dan CSDDD mendorong perusahaan multinasional mengadopsi standar pelaporan ESG yang lebih ketat, termasuk aspek air. Namun, harmonisasi standar dan perlindungan hak masyarakat lokal masih menjadi PR besar.
3. Kolaborasi Multipihak dan Inovasi Pendanaan
Pendanaan inovatif (blended finance, green bonds, water funds) dan kolaborasi multipihak menjadi kunci investasi air berkelanjutan, terutama di negara berkembang yang menghadapi kesenjangan infrastruktur dan kapasitas teknis.
Rekomendasi Strategis untuk Tata Kelola Air Masa Depan
Paradoks dan Peluang Keterlibatan Bisnis dalam Tata Kelola Air
Keterlibatan bisnis dalam tata kelola air membawa peluang besar untuk inovasi, kolaborasi, dan percepatan pencapaian water security global. Namun, tanpa kepemimpinan publik yang kuat, harmonisasi standar, dan perlindungan hak-hak kelompok rentan, risiko privatisasi, ketimpangan, dan depolitisasi isu air tetap membayangi. Masa depan tata kelola air yang adil, inklusif, dan berkelanjutan hanya bisa dicapai melalui sinergi antara pemerintah, bisnis, LSM, dan masyarakat sipil—dengan transparansi, akuntabilitas, dan keberanian untuk mengakui serta mengatasi ketimpangan kekuasaan di setiap level1.
Sumber artikel :
Sojamo, S. and Rudebeck, T. 2024. Corporate engagement in water policy and governance: A literature review on water stewardship and water security. Water Alternatives 17(2): 292-324
Tantangan Hukum
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Krisis Air, Politik, dan Hukum di Indus Basin
Di tengah krisis air global dan rivalitas geopolitik Asia Selatan, Sungai Indus menjadi nadi kehidupan sekaligus sumber konflik bagi Pakistan dan India. Paper “Beyond The Indus Waters Treaty: A Study of Pakistan’s Transboundary Water Rights against India under Customary International Law” karya Sana Taha Gondal (2020) menyajikan analisis mendalam tentang bagaimana prinsip hukum internasional adat (Customary International Law/CIL) dapat memperkuat posisi Pakistan sebagai negara hilir (lower riparian) di luar kerangka Indus Waters Treaty (IWT) 1960. Resensi ini membedah argumen utama, studi kasus, angka-angka kunci, serta menawarkan analisis kritis dan relevansi dengan tren tata kelola air lintas negara masa kini.
Latar Belakang: Indus Basin, IWT, dan Keterbatasannya
Indus Basin: Lifeline yang Terancam
Indus Waters Treaty (IWT) 1960: Sejarah dan Kritik
Studi Kasus: Sengketa dan Tantangan di Lapangan
1. Proyek Dam dan Sengketa Data
2. Ancaman Perubahan Iklim dan Ketidakpastian
Prinsip Hukum Internasional Adat (CIL) dan Hak Pakistan
1. Hak Berbagi Indus Basin secara Setara
2. Prinsip Equitable and Reasonable Utilization
3. Kewajiban Tidak Menyebabkan Kerugian Signifikan (No Harm Rule)
4. Hak atas Kerja Sama, Konsultasi, dan Pertukaran Data
5. Hak atas Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Sungai
6. Hak atas Penyelesaian Sengketa secara Damai
Analisis Kritis: Kelebihan, Kekurangan, dan Relevansi Praktis
Kekuatan Argumen dan Studi Kasus
Kritik terhadap Implementasi dan Keterbatasan CIL
Perbandingan dengan Studi dan Tren Global
Opini dan Rekomendasi Penulis
Relevansi Industri dan Tren Kebijakan
1. Industri Pertanian dan Energi
2. Digitalisasi dan Transparansi Data
3. Kolaborasi Multipihak dan Diplomasi Air
Rekomendasi Strategis: Jalan ke Depan untuk Indus Basin
Menuju Tata Kelola Air yang Adil dan Adaptif di Indus Basin
Paper ini menegaskan bahwa hak-hak Pakistan atas Indus Basin tidak hanya bergantung pada IWT, tetapi juga diperkuat oleh prinsip-prinsip hukum internasional adat yang diakui secara universal. Namun, tantangan utama terletak pada implementasi dan penegakan hak-hak tersebut di tengah rivalitas politik dan keterbatasan mekanisme hukum internasional. Masa depan Indus Basin sangat ditentukan oleh kemampuan kedua negara untuk beradaptasi, berkolaborasi, dan membangun tata kelola air yang adil, transparan, dan berkelanjutan—mengutamakan kepentingan rakyat dan ekosistem di atas politik jangka pendek.
Sumber artikel :
Sana Taha Gondal. "Beyond The Indus Waters Treaty: A Study of Pakistan’s Transboundary Water Rights against India under Customary International Law." IPRI Journal XX (1): 88-117.
Tantangan Hukum
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Wood Pellet, Energi Terbarukan, dan Ancaman Deforestasi
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia gencar mempromosikan biomassa—khususnya wood pellet—sebagai solusi energi terbarukan yang dianggap lebih ramah lingkungan dan mampu menurunkan emisi karbon dari sektor pembangkit listrik. Program co-firing biomassa di PLTU, dengan target penggunaan biomassa 5–10% di 52 PLTU hingga 2025, membutuhkan pasokan wood pellet hingga 8–14 juta ton per tahun. Namun, di balik narasi hijau ini, tersembunyi praktik-praktik yang mengancam keberlanjutan lingkungan dan menimbulkan masalah hukum serius, seperti yang terungkap dalam kasus PT Biomassa Gorontalo1.
Studi Kasus: PT Biomassa Gorontalo dan Deforestasi Pohuwato
Fakta Lapangan dan Angka-Angka Penting
Modus Pelanggaran dan Unreported Logging
Analisis Yuridis: Pelanggaran Hukum dan Lemahnya Penegakan
Kerangka Hukum Nasional
Masalah Penegakan Hukum
Aspek Hukum Internasional
Dampak Sosial-Ekologis: Dari Konflik Agraria hingga Krisis Biodiversitas
Kerusakan Ekologis
Dampak Sosial dan Konflik Agraria
Kritik dan Opini: Antara Greenwashing dan Keberlanjutan
Greenwashing dalam Transisi Energi
Kasus PT Biomassa Gorontalo menyoroti bahaya greenwashing—menggunakan narasi “energi hijau” untuk menutupi praktik destruktif. Alih-alih mendorong energi terbarukan yang berkelanjutan, proyek biomassa berbasis deforestasi justru mempercepat krisis lingkungan. Praktik ini bertentangan dengan tren global yang menuntut transparansi rantai pasok dan legalitas produk bioenergi.
Perbandingan dengan Studi Lain
Fenomena serupa terjadi di Sumatra dan Kalimantan, di mana produksi wood pellet dan ekspor kayu sering melibatkan manipulasi dokumen, kolusi pejabat, dan lemahnya penegakan hukum. Penelitian Sembiring et al. (2024) menegaskan bahwa sistem pengawasan dan sertifikasi legalitas kayu di Indonesia masih memiliki banyak celah, sehingga korporasi besar bisa mengakali regulasi demi keuntungan ekspor1.
Rekomendasi: Jalan Menuju Tata Kelola Hutan yang Berkelanjutan
Langkah Preventif
Langkah Represif
Transformasi Kebijakan Energi
Kesimpulan
Kasus PT Biomassa Gorontalo adalah cermin problematika tata kelola hutan dan transisi energi di Indonesia. Deforestasi masif, praktik unreported dan illegal logging, serta lemahnya penegakan hukum menunjukkan bahwa narasi energi terbarukan bisa menjadi pedang bermata dua: solusi atau bencana. Tanpa reformasi sistemik, Indonesia berisiko kehilangan hutan alam tersisa dan gagal mewujudkan transisi energi yang benar-benar berkelanjutan.
Sumber artikel :
Juniar Sidiki. "Analisis Yuridis Praktik Unreported Serta Ilegal logging (Studi Kasus Perdagangan Kayu (Eksport) Wood Pellet PT Biomassa Gorontalo)." QISTINA: Jurnal Multidisiplin Indonesia, Vol. 3 No. 2 Desember 2024, P-ISSN: 2964-6278, E-ISSN: 2964-1268
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Mengapa Krisis Air di MENA Menjadi Isu Global
Kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA) saat ini menghadapi krisis air paling parah di dunia. Dengan populasi yang melonjak dari 100 juta pada 1960 menjadi lebih dari 450 juta pada 2018, dan diprediksi mencapai 720 juta pada 2050, tekanan terhadap sumber daya air yang terbatas semakin besar. Laporan “The Economics of Water Scarcity in the Middle East and North Africa: Institutional Solutions” karya Dominick de Waal, Stuti Khemani, Andrea Barone, dan Edoardo Borgomeo dari World Bank, membedah akar masalah, dampak ekonomi, hingga solusi kelembagaan yang relevan untuk mengatasi tantangan ini123.
Artikel ini akan mengulas temuan utama laporan tersebut, mengaitkannya dengan tren global, menyoroti studi kasus nyata, serta menawarkan analisis kritis dan perbandingan dengan literatur lain agar pembaca memahami urgensi dan kompleksitas krisis air di MENA.
Gambaran Krisis: Data, Dampak, dan Proyeksi
Fakta dan Angka Kunci
Dampak Sosial dan Politik
Studi Kasus: Maroko, Yordania, dan Uni Emirat Arab
1. Maroko: Dilema Antara Dams dan Pertanian
Maroko mengandalkan 140 bendungan besar untuk mengelola air dari tujuh DAS utama. Namun, konsumsi air melebihi pasokan, terutama akibat pertanian intensif (misal, budidaya semangka). Dampaknya, beberapa DAS seperti Tensift nyaris habis, dan akses air di pedesaan jauh tertinggal dibanding perkotaan5. Pemerintah menghadapi dilema antara menjaga ketahanan pangan, mendukung pertanian ekspor, dan memenuhi kebutuhan domestik.
2. Yordania: Ketidakpercayaan dan Protes Tarif
Yordania kerap menjadi contoh negara yang menghadapi tantangan legitimasi kebijakan air. Upaya pemerintah menutup sumur ilegal dihadang perlawanan petani, bahkan petugas pemerintah diusir dari desa. Ketika pemerintah mencoba menaikkan tarif air, protes massal pecah karena masyarakat tidak percaya kenaikan tarif akan diikuti perbaikan layanan12.
3. Uni Emirat Arab: Desentralisasi dan “Cap-and-Trade”
UEA menerapkan model desentralisasi, di mana tiap emirat bertanggung jawab atas pengelolaan airnya. Abu Dhabi, misalnya, mengimpor air dari emirat lain dan mengembangkan kerja sama strategis dalam pertukaran air. Investasi besar pada desalinasi dan daur ulang air limbah memperlihatkan upaya inovatif, meski biaya dan konsumsi energi sangat tinggi1.
Akar Masalah: Kelembagaan, Legitimasi, dan Trust
1. Fokus pada Infrastruktur, Abaikan Efisiensi
Selama puluhan tahun, solusi pemerintah MENA didominasi pembangunan infrastruktur besar (bendungan, desalinasi, jaringan pipa), bukan efisiensi atau pengelolaan permintaan. Akibatnya, masyarakat terbiasa menganggap masalah air hanya soal pasokan, bukan konsumsi123.
2. Kegagalan Regulasi dan Insentif
3. Legitimasi dan Trust: Kunci Reformasi
Solusi Kelembagaan: Desentralisasi, Komunikasi, dan Inovasi
1. Desentralisasi Pengambilan Keputusan
Laporan World Bank merekomendasikan pelimpahan sebagian kewenangan pengelolaan air ke pemerintah daerah dan utilitas profesional, bukan hanya kementerian pusat. Model “cap-and-trade” diusulkan, di mana hak pengelolaan air diberikan ke pemerintah lokal dengan batas (cap) nasional, dan transfer air antarwilayah dimungkinkan untuk efisiensi1.
2. Reformasi Manajemen Utilitas
3. Komunikasi dan Keterlibatan Publik
Studi kasus Cape Town (Afrika Selatan) dan São Paulo (Brasil) menunjukkan pentingnya komunikasi strategis. Di Cape Town, dashboard air online dan kampanye publik berhasil menurunkan konsumsi dari 183 menjadi 84 liter/orang/hari saat krisis “Day Zero”1. Di MENA, strategi serupa bisa meningkatkan legitimasi kebijakan dan kepatuhan masyarakat.
4. Perlindungan Sosial dan Diversifikasi Ekonomi
Transisi dari pertanian intensif air ke sektor lain perlu didukung perlindungan sosial dan pelatihan ulang tenaga kerja. Diversifikasi ekonomi penting agar masyarakat tidak sepenuhnya bergantung pada pertanian yang boros air14.
Kritik, Opini, dan Perbandingan
Kritik terhadap Pendekatan Infrastruktur
Literatur lain menyoroti bahwa ketergantungan pada solusi teknokratik (bendungan, desalinasi) tanpa reformasi kelembagaan hanya menunda krisis dan memperbesar beban fiskal35. Bahkan, desalinasi air laut memerlukan energi 23 kali lebih banyak dibanding pengolahan air permukaan, dan biaya 4–5 kali lipat lebih mahal1.
Perbandingan dengan Negara Lain
Opini: Pentingnya “Social Contract” Baru
Krisis air di MENA bukan sekadar masalah teknis, tapi soal kontrak sosial baru antara negara dan rakyat. Legitimasi, trust, dan partisipasi publik harus menjadi fondasi reformasi. Tanpa itu, investasi apa pun akan sia-sia dan risiko konflik sosial akan terus mengintai.
Tantangan Implementasi dan Rekomendasi
Tantangan Utama
Rekomendasi Strategis
Kesimpulan: Jalan Panjang Menuju Ketahanan Air
Krisis air di Timur Tengah dan Afrika Utara adalah tantangan multidimensi yang membutuhkan solusi kelembagaan, inovasi teknologi, dan pembaruan kontrak sosial. Laporan World Bank menegaskan bahwa tanpa reformasi kelembagaan yang membangun legitimasi dan trust, investasi sebesar apa pun tidak akan cukup. Masyarakat harus menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar objek kebijakan.
Melalui desentralisasi, komunikasi strategis, dan perlindungan sosial, kawasan ini dapat membangun ekonomi yang inklusif, berkelanjutan, dan tahan terhadap perubahan iklim. Namun, tanpa keberanian politik dan partisipasi publik, ancaman krisis air akan terus membayangi masa depan MENA—dan dunia.
Sumber artikel :
de Waal, Dominick, Stuti Khemani, Andrea Barone, dan Edoardo Borgomeo. 2023. “The Economics of Water Scarcity in the Middle East and North Africa: Institutional Solutions.” Overview booklet. World Bank, Washington, DC.