Investasi Berkelanjutan

Menyelami Dunia Investasi Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


 Investasi Berkelanjutan, Tren Global, dan Tantangan Masa Kini

Investasi berkelanjutan kini menjadi sorotan utama di tengah krisis iklim, tekanan sosial, dan perubahan paradigma ekonomi global. Tak hanya sekadar tren, pendekatan investasi ini menantang prinsip klasik “wealth maximization” dan menghadirkan konsep “shared value” yang mengintegrasikan tujuan finansial, sosial, dan lingkungan1. Paper “A Systematic Review of Sustainable Investment Approaches” karya Charney S. Akala, Taryn Neuhaus, dan Indrani O’Leary-Govender (2022) mengulas secara sistematis tiga pendekatan utama investasi berkelanjutan: Socially Responsible Investing (SRI), Environmental, Social, and Governance (ESG), dan impact investing. Artikel ini akan membedah temuan utama, studi kasus, angka-angka penting, serta memberikan kritik, opini, dan relevansi dengan tren industri.

Evolusi dan Definisi Investasi Berkelanjutan

Dari Etika Religius ke Inovasi Finansial Modern

Investasi berkelanjutan berakar dari gerakan etika investasi di Gereja Metodis abad ke-18, yang menolak investasi pada bisnis perbudakan, perjudian, dan alkohol1. Seiring waktu, pendekatan ini berkembang menjadi SRI, ESG, dan impact investing, terutama setelah peristiwa besar seperti Perang Dunia II, gerakan hak sipil, krisis keuangan 2008, dan meningkatnya kesadaran akan perubahan iklim1.

  • SRI: Berbasis nilai, fokus pada negative screening (penyaringan negatif) terhadap perusahaan yang dianggap tidak etis.
  • ESG: Integrasi faktor lingkungan, sosial, dan tata kelola dalam pengambilan keputusan investasi.
  • Impact Investing: Investasi yang menargetkan dampak sosial dan lingkungan positif, di samping keuntungan finansial.

Ketiganya kini menjadi mainstream di pasar modal global, didorong oleh inisiatif seperti UNPRI, Paris Agreement, dan COP261.

Kerangka Teoritis: Dari EMH ke Shared Value

Perubahan Paradigma dalam Dunia Keuangan

Tradisi keuangan klasik seperti Efficient Market Hypothesis (EMH) dan Modern Portfolio Theory (MPT) menekankan rasionalitas investor dan optimasi risiko-imbal hasil1. Namun, investasi berkelanjutan memperkenalkan dimensi baru: investor rela mengorbankan sebagian return demi tujuan sosial atau lingkungan1.

  • Sustainable Finance 1.0: Fokus pada screening negatif untuk menghindari risiko ESG.
  • Sustainable Finance 2.0: Integrasi ESG dalam analisis dan keputusan investasi.
  • Sustainable Finance 3.0: Fokus pada penciptaan dampak sosial/lingkungan yang terukur (impact investing)1.

Kerangka ini menandai pergeseran dari “shareholder value” ke “stakeholder value”, menuntut perusahaan bertanggung jawab pada masyarakat dan lingkungan.

Metodologi Studi: Sistematis, Komprehensif, dan Berbasis Data

Penulis melakukan review sistematis atas 40 artikel dan dokumen kebijakan dari UN, OECD, GIIN, Springer Link, SSRN, dan lainnya. Artikel diklasifikasikan berdasarkan pendekatan investasi (SRI, ESG, impact), fokus geografis (developed, emerging, global), metodologi (empiris, review, kebijakan), dan temuan utama1.

  • Rentang waktu analisis: 2010–2022, dengan puncak minat setelah krisis keuangan global.
  • Dominasi studi: 27,5% tentang impact investing, 35% ESG, sisanya SRI dan kombinasi.
  • Fokus geografis: Mayoritas studi pada pasar maju (Eropa, AS), hanya sebagian kecil membahas emerging markets.

Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci

1. Dominasi Pasar Maju & Kesenjangan Pasar Berkembang

  • Kapitalisasi: 80% lebih aset SRI dan ESG terkonsentrasi di Eropa dan AS1.
  • Pasar berkembang: Studi tentang ESG dan impact investing di emerging markets masih minoritas, meski kebutuhan sosial dan lingkungan sangat besar.

2. Kinerja Keuangan: Hasil Campuran dan Tantangan Ukur

  • Return: Studi empiris menunjukkan hasil yang beragam. Beberapa menemukan SRI dan ESG memberikan return sebanding atau sedikit lebih rendah dari portofolio tradisional1.
  • Diversifikasi: SRI dan ESG memberikan manfaat diversifikasi, meski portofolio jadi lebih terbatas karena screening ketat.
  • Impact investing: Return sangat bervariasi, dipengaruhi asimetri informasi, seleksi manajer, dan tujuan investor yang tidak seragam.

3. Studi Kasus Nyata

  • ESG Index: Indeks seperti Dow Jones Sustainability Index (DJSI) dan MSCI KLD 400 kini jadi acuan utama di pasar global, dengan pertumbuhan aset signifikan tiap tahun.
  • Peer-to-peer Impact Platforms: Studi oleh Kollenda (2022) menunjukkan pertumbuhan pesat pinjaman impact investing di negara berkembang, meski return tidak selalu kompetitif.
  • Green Bonds & Social Bonds: Instrumen seperti green bonds dan social impact bonds makin populer, menghubungkan investor dengan proyek ramah lingkungan dan sosial.

Analisis Tematik: Overlap, Tantangan, dan Peluang

1. Overlapping Frameworks: SRI, ESG, dan Impact Investing

Salah satu temuan utama paper adalah tumpang tindih konsep antara SRI, ESG, dan impact investing. Banyak studi dan pelaku pasar menggunakan istilah ini secara bergantian, padahal cakupan dan tujuan tiap pendekatan berbeda1. Misal, SRI sering dianggap subset dari ESG, sementara impact investing sering diposisikan sebagai bagian dari SRI.

2. Standar dan Terminologi yang Belum Konsisten

Kurangnya konsistensi istilah dan standar pengukuran ESG menjadi hambatan utama mainstreaming investasi berkelanjutan1. ESG rating agencies seperti MSCI, Sustainalytics, dan S&P Global menggunakan metodologi berbeda, sehingga skor ESG satu perusahaan bisa sangat bervariasi antar lembaga.

3. Metodologi Penelitian: Dominasi Kuantitatif

Sebagian besar studi menggunakan pendekatan empiris berbasis teori keuangan klasik (CAPM, Fama-French, EMH) untuk mengukur kinerja SRI dan ESG1. Namun, model-model ini dinilai kurang mampu menangkap trade-off antara return finansial dan dampak sosial/lingkungan.

Kritik dan Opini: Di Mana Letak Tantangan Utama?

1. Kinerja Keuangan: Mitos atau Realita?

Banyak investor masih ragu bahwa investasi berkelanjutan bisa memberikan return setara atau lebih baik dari investasi konvensional. Studi dalam paper ini memperlihatkan hasil campuran: beberapa menemukan return positif, beberapa negatif, dan sebagian besar “no effect”1. Hal ini menandakan perlunya model evaluasi baru yang mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan secara lebih komprehensif.

2. ESG di Pasar Berkembang: Peluang atau Risiko?

Pasar berkembang menghadapi tantangan unik: korupsi, instabilitas politik, dan lemahnya regulasi ESG. Namun, justru di pasar inilah peluang dampak sosial dan lingkungan terbesar. Studi Sherwood & Pollard (2018) dan Chen & Yang (2020) menunjukkan bahwa adopsi ESG di emerging markets masih rendah, namun potensi pertumbuhan sangat besar1.

3. Impact Investing: Antara Filantropi dan Keuntungan

Impact investing sering diposisikan di antara filantropi dan investasi murni. Namun, pengukuran dampak sosial/lingkungan (SROI, Theory of Change) masih belum baku, sehingga sulit membandingkan performa antar proyek atau manajer investasi1.

Perbandingan dengan Penelitian Lain

Studi ini sejalan dengan temuan Talan & Sharma (2019) dan Ferreira et al. (2016) yang menyoroti kurangnya konsistensi istilah dan framework di literatur investasi berkelanjutan. Sementara Bernal, Hudon, & Ledru (2021) menegaskan bahwa model keuangan klasik tidak cukup untuk menjelaskan kinerja impact investing, sehingga dibutuhkan pendekatan baru berbasis multi-utility atau willingness-to-pay1.

Relevansi Industri dan Tren Global

1. ESG sebagai Standar Baru di Pasar Modal

ESG kini menjadi syarat utama bagi perusahaan yang ingin mengakses modal global. Bursa saham di Eropa, AS, dan Asia mulai mewajibkan pelaporan ESG sebagai bagian dari disclosure tahunan. Industri keuangan juga berlomba mengembangkan produk berbasis ESG dan impact, seperti green bonds, social bonds, dan thematic funds1.

2. Digitalisasi dan Transparansi

Adopsi teknologi digital untuk pelaporan ESG, pemantauan dampak, dan transparansi proses investasi kini menjadi tren utama. Platform digital seperti peer-to-peer impact investing dan blockchain untuk pelacakan dana semakin banyak diadopsi, terutama di pasar berkembang1.

3. Regulasi dan Standar Global

Uni Eropa, UNPRI, dan GIIN terus mendorong harmonisasi standar ESG dan impact investing. Inisiatif seperti EU Taxonomy dan Sustainable Finance Disclosure Regulation (SFDR) bertujuan menciptakan playing field yang setara dan mencegah greenwashing1.

Rekomendasi Strategis untuk Masa Depan Investasi Berkelanjutan

  1. Pengembangan Terminologi dan Standar Konsisten
    Industri perlu mengadopsi istilah dan framework yang seragam, sehingga investor, regulator, dan akademisi dapat berbicara dalam bahasa yang sama.
  2. Integrasi ESG dalam Model Keuangan Modern
    Diperlukan model evaluasi baru yang menggabungkan aspek finansial, sosial, dan lingkungan, bukan sekadar mengandalkan CAPM atau EMH.
  3. Peningkatan Transparansi dan Kualitas Data ESG
    ESG rating agencies harus menyelaraskan metodologi dan meningkatkan transparansi data agar investor bisa membandingkan perusahaan secara objektif.
  4. Dorong Adopsi di Pasar Berkembang
    Pemerintah dan lembaga keuangan harus memberikan insentif dan dukungan regulasi agar ESG dan impact investing tumbuh di emerging markets.
  5. Kolaborasi Multipihak
    Sinergi antara pemerintah, sektor swasta, LSM, dan masyarakat sangat penting untuk mempercepat adopsi investasi berkelanjutan dan mencapai SDGs.

Investasi Berkelanjutan, Jalan Panjang Menuju Masa Depan Inklusif

Paper ini menegaskan bahwa investasi berkelanjutan bukan sekadar tren, melainkan kebutuhan mendesak untuk menjawab tantangan sosial dan lingkungan global. SRI, ESG, dan impact investing menawarkan peluang besar, namun masih menghadapi tantangan serius: tumpang tindih konsep, standar yang belum konsisten, serta hasil keuangan yang beragam. Untuk mewujudkan potensi penuh investasi berkelanjutan, diperlukan inovasi model evaluasi, harmonisasi standar, dan kolaborasi lintas sektor. Dengan demikian, investasi berkelanjutan dapat menjadi motor penggerak ekonomi inklusif dan masa depan yang lebih hijau.

Sumber artikel :
Charney S. Akala, Taryn Neuhaus & Indrani O’Leary-Govender. “A Systematic Review of Sustainable Investment Approaches.” International Journal of Economics and Finance, Vol. 14, No. 12, 2022, pp. 72–83.

Selengkapnya
Menyelami Dunia Investasi Berkelanjutan

Sumber Daya Air

Achieving Water Security in Global Change: Dealing with Associated Risk in Water Investment

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Mengapa Keamanan Air Menjadi Isu Strategis?

Keamanan air (water security) kini menjadi salah satu isu paling mendesak dalam pembangunan berkelanjutan di seluruh dunia. Tidak hanya karena air adalah kebutuhan dasar manusia, tetapi juga karena air menjadi penentu pertumbuhan ekonomi, kesehatan ekosistem, dan stabilitas sosial. Paper “Achieving Water Security in Global Change: Dealing with Associated Risk in Water Investment” karya Eva Mia Siska dan Kaoru Takara (2015) membedah secara mendalam tantangan dan strategi mencapai water security, khususnya di tengah tekanan perubahan global seperti pertumbuhan penduduk, perubahan iklim, dan degradasi lingkungan. Artikel ini akan mengulas temuan utama paper, menyoroti studi kasus nyata, angka-angka penting, serta memberikan analisis kritis dan relevansi dengan tren industri dan kebijakan.

Konsep Water Security: Dualitas Air sebagai Sumber dan Ancaman

Definisi dan Dimensi Water Security

Water security didefinisikan sebagai kapasitas masyarakat untuk mengamankan akses terhadap air dalam jumlah dan kualitas yang memadai untuk menopang kesehatan manusia dan ekosistem, sekaligus melindungi diri dari bahaya air seperti banjir, longsor, dan kekeringan. Konsep ini menekankan dua sisi air: sebagai sumber pertumbuhan (supportive side) dan sebagai ancaman bila tidak terkelola (destructive side)1.

  • Supportive Side: Air sebagai input utama dalam pertanian, energi, transportasi, industri, hingga pengembangan modal manusia.
  • Destructive Side: Air yang berlebih (banjir) atau kurang (kekeringan) dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan menyebabkan kemiskinan.

Studi Kasus: Ethiopia dan Variabilitas Curah Hujan

Di Ethiopia, keterbatasan kapasitas penyimpanan air membuat negara ini sangat rentan terhadap variabilitas curah hujan. Data World Bank (2006) menunjukkan bahwa fluktuasi pertumbuhan GDP Ethiopia sangat berkorelasi dengan variasi curah hujan tahunan. Ketidakmampuan mengelola variabilitas air menyebabkan pertumbuhan ekonomi terhambat dan memperbesar risiko kemiskinan1.

Investasi Air: Tipping Point, Pertumbuhan Ekonomi, dan Tantangan Politik

Kerangka “Water and Growth S-Curve”

Paper ini menyoroti konsep “tipping point” dalam investasi air: negara harus berinvestasi hingga mencapai platform minimum agar air benar-benar berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Di bawah tipping point, negara dianggap water insecure dan tidak mampu memanfaatkan air untuk pertumbuhan. Setelah tipping point tercapai, investasi tambahan akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkelanjutan1.

  • Negara dengan Hidrologi “Mudah”: Membutuhkan investasi lebih sedikit untuk mencapai water security.
  • Negara dengan Hidrologi “Sulit”: Harus berinvestasi jauh lebih besar agar bisa memanfaatkan air secara optimal.

Dampak Global Change: Populasi, Gaya Hidup, dan Iklim

Pertumbuhan penduduk, perubahan gaya hidup, degradasi ekosistem, dan perubahan iklim memperburuk akses air dan meningkatkan risiko kejadian ekstrem. Negara-negara berkembang menghadapi tantangan ganda: keterbatasan dana dan tekanan politik, karena investasi air jarang langsung meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebelum tipping point tercapai, sehingga seringkali tidak populer secara politik1.

Peran Pemerintah dan Swasta dalam Investasi Air

Dominasi Pemerintah dan Tantangan Investasi

Pemerintah memegang peran sentral dalam investasi awal infrastruktur air melalui sumber daya fiskal. Namun, di negara termiskin, pelaku ekonomi cenderung sangat risk-averse, lebih memilih meminimalkan risiko daripada mengejar potensi keuntungan. Akibatnya, investasi publik dalam air seringkali tertunda atau tidak memadai1.

Promosi Investasi Swasta

Untuk mengatasi keterbatasan fiskal, banyak negara kini mendorong investasi swasta dalam infrastruktur air strategis. Namun, keterlibatan swasta juga menghadapi tantangan risiko, terutama dalam konteks perubahan global yang penuh ketidakpastian1.

Model Hidro-Ekonomi: Jembatan Sains dan Kebijakan

Mengapa Model Hidro-Ekonomi Penting?

Model hidro-ekonomi menjadi alat penting untuk memahami interaksi kompleks antara variabel hidrologi, ekonomi, dan ekologi. Model ini membantu pengambil keputusan untuk:

  • Mensimulasikan dampak perubahan air terhadap ekonomi dan lingkungan.
  • Mengevaluasi berbagai skenario kebijakan dan investasi.
  • Mengidentifikasi strategi investasi “no-regret” atau “low-regret” yang tetap menguntungkan di bawah berbagai skenario perubahan iklim1.

Dimensi Model Hidro-Ekonomi

Model ini mengintegrasikan:

  • Variabel Hidrologi: Ketersediaan air, curah hujan, debit sungai, kualitas air.
  • Variabel Ekonomi: Permintaan air di sektor pertanian, energi, industri, rumah tangga.
  • Variabel Ekologi: Kesehatan ekosistem, jasa lingkungan, risiko bencana.

Studi Kasus Model Hidro-Ekonomi: Ethiopia dan Arkansas River Basin

1. Ethiopia: Dynamic General Equilibrium Model untuk Adaptasi Iklim

Robinson et al. (2012) mengembangkan model equilibrium dinamis multi-sektor yang menggabungkan model hidrologi, pertanian, transportasi, dan energi. Model ini mensimulasikan dampak lima skenario perubahan iklim (tanpa perubahan, basah, kering, global basah, global kering) hingga tahun 20501.

  • Hasil Simulasi: Adaptasi melalui investasi di pertanian, jalan, dan bendungan dapat secara signifikan mengurangi kerugian kesejahteraan dan variabilitas GDP akibat perubahan iklim.
  • Analisis Biaya-Manfaat: Investasi adaptasi yang tepat dapat menghasilkan manfaat sosial yang jauh melebihi biaya investasi, terutama jika dibandingkan dengan kerugian akibat banjir dan kekeringan.
  • Strategi Investasi: Model ini membantu pemerintah menentukan kapan investasi harus dilakukan, misal menunda investasi irreversible jika hasil simulasi antara skenario basah dan kering sangat berbeda.

2. Arkansas River Basin, AS: CGE untuk Pilihan Investasi Air

Goodman (2000) menggunakan model Computable General Equilibrium (CGE) untuk membandingkan dua opsi: membangun reservoir baru atau melakukan transfer air dari kawasan pertanian ke kota1.

  • Hasil Temuan: Transfer air dari pertanian ke kota secara temporer lebih efisien dan menguntungkan dibanding membangun reservoir baru, yang biayanya tinggi dan manfaatnya terbatas.
  • Dampak Sosial-Ekonomi: Model ini menunjukkan bahwa kebijakan yang tidak populer secara politik (misal transfer air) bisa jadi lebih rasional secara ekonomi, jika didukung analisis ilmiah yang komprehensif.
  • Relevansi: Studi ini menegaskan pentingnya basis ilmiah dalam pengambilan keputusan investasi air, terutama untuk keputusan yang berpotensi kontroversial.

Kritik dan Analisis Kritis: Keterbatasan dan Tantangan Model

Keterbatasan Model Hidro-Ekonomi

  • Keterbatasan Data: Model dinamis dan terintegrasi memerlukan data yang sangat detail dan berkualitas tinggi, yang seringkali sulit diperoleh di negara berkembang.
  • Waktu dan Sumber Daya: Pengembangan dan kalibrasi model memakan waktu dan biaya besar.
  • Keterbatasan Model Statis: Model pertumbuhan jangka panjang kurang mampu menangkap dampak kejadian ekstrem jangka pendek (banjir, kekeringan), sehingga perlu analisis dinamis yang lebih canggih1.

Tantangan Implementasi di Negara Berkembang

  • Kapasitas Teknis: Banyak negara berkembang belum memiliki kapasitas teknis memadai untuk membangun dan mengoperasikan model hidro-ekonomi canggih.
  • Keterbatasan Anggaran: Investasi dalam pengembangan model seringkali dipandang tidak prioritas dibanding kebutuhan infrastruktur fisik.
  • Keterlibatan Stakeholder: Model yang baik harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan (pemerintah, swasta, masyarakat) agar hasilnya relevan dan dapat diimplementasikan.

Relevansi dengan Tren Industri dan Kebijakan Global

1. Water Security sebagai Pilar Pembangunan Berkelanjutan

Keamanan air kini menjadi pilar utama dalam pencapaian SDGs, khususnya SDG 6 (air bersih dan sanitasi) dan SDG 13 (aksi iklim). Industri air, energi, dan pertanian kini didorong untuk mengadopsi pendekatan berbasis risiko dan investasi adaptif, bukan sekadar ekspansi infrastruktur1.

2. Digitalisasi dan Smart Water Management

Tren digitalisasi (IoT, big data, AI) membuka peluang baru untuk pemantauan air secara real-time, prediksi risiko, dan pengambilan keputusan berbasis data. Model hidro-ekonomi dapat diintegrasikan dengan teknologi digital untuk meningkatkan akurasi dan responsivitas kebijakan air.

3. Kolaborasi Multipihak dan Investasi Inovatif

Pendanaan inovatif seperti blended finance, green bonds, dan public-private partnership (PPP) kini semakin banyak digunakan untuk mendanai investasi air, terutama di negara berkembang. Kolaborasi multipihak menjadi kunci keberhasilan investasi air yang adaptif dan berkelanjutan.

Perbandingan dengan Studi Lain

1. Grey & Sadoff (2007): Water Security for Growth and Development

Studi ini menegaskan bahwa negara yang telah mencapai water security mampu menikmati pertumbuhan ekonomi yang lebih stabil dan inklusif. Sebaliknya, negara yang belum mencapai water security cenderung stagnan atau terhambat pertumbuhannya akibat risiko air yang tidak terkelola1.

2. Brouwer et al. (2008): Integrated Hydro-Economic Modelling

Brouwer dkk. menyoroti pentingnya model yang mampu mengintegrasikan dampak langsung dan tidak langsung perubahan kualitas air terhadap ekonomi nasional dan daerah aliran sungai. Studi ini sejalan dengan temuan Siska & Takara bahwa model hidro-ekonomi harus mampu menangkap interaksi lintas sektor dan skala1.

3. Harou et al. (2009): Future Prospects of Hydro-Economic Models

Harou dkk. menekankan perlunya pengembangan model yang lebih fleksibel, modular, dan mampu mengakomodasi ketidakpastian iklim serta kebutuhan adaptasi jangka panjang. Hal ini sejalan dengan rekomendasi paper terkait kebutuhan model yang mampu mendukung investasi “no-regret” dan “low-regret”.

Rekomendasi untuk Masa Depan Investasi Air dan Water Security

  1. Perkuat Kapasitas Teknis dan Data
    Negara berkembang perlu berinvestasi dalam pengembangan kapasitas teknis, sistem data, dan infrastruktur digital untuk mendukung pengembangan model hidro-ekonomi yang andal.
  2. Adopsi Model Dinamis dan Adaptif
    Model harus mampu mensimulasikan dampak jangka pendek dan panjang, serta mengakomodasi ketidakpastian perubahan iklim dan ekonomi.
  3. Kolaborasi Multipihak
    Libatkan pemerintah, swasta, masyarakat, dan lembaga donor dalam pengembangan dan implementasi model serta investasi air.
  4. Fokus pada Investasi “No-Regret” dan “Low-Regret”
    Prioritaskan investasi yang tetap menguntungkan di bawah berbagai skenario perubahan iklim, seperti efisiensi air, konservasi, dan adaptasi berbasis ekosistem.
  5. Integrasi dengan Kebijakan Pembangunan Nasional
    Pastikan hasil model dan rekomendasi investasi air terintegrasi dalam perencanaan pembangunan nasional dan regional.

Menuju Water Security yang Adaptif dan Berkelanjutan

Paper ini menegaskan bahwa mencapai water security di era perubahan global membutuhkan investasi strategis, pengelolaan risiko yang cermat, dan dukungan model hidro-ekonomi yang terintegrasi. Studi kasus di Ethiopia dan Arkansas River Basin memperlihatkan bagaimana model dapat membantu pengambilan keputusan investasi air yang lebih rasional, efisien, dan adaptif terhadap ketidakpastian. Tantangan utama terletak pada keterbatasan data, kapasitas teknis, dan komitmen politik, terutama di negara berkembang. Namun, dengan adopsi teknologi digital, kolaborasi multipihak, dan fokus pada investasi adaptif, masa depan water security yang inklusif dan berkelanjutan sangat mungkin diwujudkan. Paper ini menjadi rujukan penting bagi pembuat kebijakan, peneliti, dan pelaku industri yang ingin membangun masa depan air yang tangguh dan berkeadilan.

Sumber artikel :
Eva Mia Siska & Kaoru Takara. “Achieving water security in global change: dealing with associated risk in water investment.” Procedia Environmental Sciences 28 (2015): 743–749.

Selengkapnya
Achieving Water Security in Global Change: Dealing with Associated Risk in Water Investment

Sumber Daya Air

Corporate Engagement in Water Policy and Governance: Water Stewardship dan Water Security di Era Bisnis Global

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Bisnis, Air, dan Tantangan Tata Kelola Abad ke-21

Air adalah fondasi ekonomi global—dari pertanian, manufaktur, hingga teknologi digital. Namun, selama bertahun-tahun, peran korporasi dalam tata kelola air nyaris terabaikan. Paper “Corporate Engagement in Water Policy and Governance: A Literature Review on Water Stewardship and Water Security” karya Suvi Sojamo dan Thérèse Rudebeck (2024) membongkar bagaimana, dalam 15 tahun terakhir, perusahaan-perusahaan besar mulai aktif membentuk kebijakan air global melalui inisiatif water stewardship dan water security. Artikel ini merangkum temuan utama, menyoroti studi kasus, angka-angka penting, serta memberikan analisis kritis dan relevansi dengan tren industri dan kebijakan kontemporer1.

Evolusi Konsep: Dari Water Stewardship ke Water Security

Water Stewardship: Dari “Footprint” ke Kolektif Aksi

Konsep water stewardship lahir dari kebutuhan untuk melihat air sebagai risiko bisnis dan peluang kolektif. Dimulai dengan ide “water footprint” (jejak air) yang dikembangkan Tony Allan dan WWF pada awal 2000-an, perusahaan mulai menghitung total konsumsi air di sepanjang rantai pasok mereka. Studi landmark WWF dan SABMiller (2009) mengungkap lebih dari setengah konsumsi air Inggris berasal dari produk impor—menyoroti pentingnya melihat air secara lintas negara dan rantai nilai1.

Inisiatif seperti CEO Water Mandate (UN Global Compact, 2007), Water Footprint Network, dan Alliance for Water Stewardship (AWS, 2014) menandai babak baru: perusahaan didorong untuk bertanggung jawab tidak hanya di dalam pagar pabrik, tapi juga di tingkat catchment (DAS) dan komunitas. AWS mendefinisikan stewardship sebagai penggunaan air yang adil, berkelanjutan, dan inklusif, dengan lima pilar: tata kelola, keseimbangan air, kualitas air, perlindungan ekosistem, dan akses WASH (water, sanitation, hygiene)1.

Water Security: Integrasi Bisnis dalam Agenda Publik

Water security, meski tak punya definisi tunggal, kini menjadi tujuan utama manajemen air global—menekankan perlindungan ekonomi, ekosistem, dan masyarakat dari risiko air. Sejak 2009, World Economic Forum (WEF) dan 2030 Water Resources Group (2030 WRG)—diprakarsai CEO Nestlé dan World Bank—menyuarakan bahwa pada 2030, permintaan air global bisa melebihi pasokan hingga 40%. Ini menempatkan perusahaan sebagai aktor utama dalam mengatasi risiko air, bukan sekadar penerima dampak1.

Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci

1. Perusahaan dan Inisiatif Global

  • CDP Water Program: Pada 2023, 13.356 perusahaan terbesar dunia diminta melaporkan data air; 4.815 merespons (naik 23% dari 2022), namun hanya 103 yang masuk “A-list” CDP untuk water security1.
  • CEO Water Mandate: Lebih dari 240 perusahaan multinasional telah menandatangani komitmen ini, meliputi operasi, rantai pasok, aksi kolektif, kebijakan publik, dan transparansi.
  • AWS Certification: Hingga April 2024, 279 lokasi perusahaan telah tersertifikasi AWS, 54 di antaranya meraih level “platinum”—namun mayoritas masih didominasi perusahaan besar, bukan UKM.

2. Sektor Kritis dan Rantai Nilai

  • Agribisnis dan F&B: Sektor agrikultur, makanan, dan minuman adalah pengguna air terbesar dunia. Nestlé, Bunge, Cargill, Coca-Cola, PepsiCo, dan Unilever menjadi pionir water stewardship, seringkali didorong tekanan masyarakat dan regulasi akibat krisis air di lokasi operasi (misal, kasus Coca-Cola di India)1.
  • Teknologi dan Data Center: Perusahaan seperti Meta, Microsoft, Google, dan Amazon kini berkomitmen menjadi “water positive” pada 2030, menyadari kebutuhan air masif untuk pendinginan data center dan produksi hardware.
  • Industri Tekstil dan Pertambangan: Sektor tekstil, pertambangan, dan kimia kini mulai disorot karena jejak air dan polusi yang tinggi, meski literatur dan aksi nyata masih terbatas dibanding sektor agrikultur dan F&B.

3. Studi Kasus Lapangan

  • South Africa Fruit Industry: Studi di Western Cape menunjukkan strategi mitigasi risiko air industri buah lebih fokus pada efisiensi internal, mengabaikan isu keadilan distribusi air pasca-apartheid—menimbulkan ketimpangan baru di tingkat komunitas1.
  • Ica Valley, Peru: Transformasi menjadi “zona ekstraksi virtual water” untuk agribisnis ekspor memperburuk kondisi sosial-ekologis petani kecil, meski beberapa perusahaan telah mengantongi sertifikasi AWS.
  • Mongolia Mining: Inisiatif Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) belum mampu meredam konflik air antara perusahaan tambang dan komunitas lokal, menyoroti lemahnya peran masyarakat dalam pengawasan1.

Motivasi dan Dinamika Keterlibatan Korporasi

Internal Drivers

  • Nilai dan Budaya Perusahaan: Komitmen pimpinan, champion internal, dan komunikasi efektif antara kantor pusat dan lokasi operasi adalah kunci strategi air yang holistik.
  • Etika vs Motif Ekonomi: Ada ketegangan antara dorongan etis dan motif ekonomi. Banyak perusahaan mengedepankan “water risk” sebagai alasan utama aksi, bukan tanggung jawab intrinsik1.

External Drivers

  • Regulasi dan Investor: Tekanan regulasi (misal, EU CSRD dan CSDDD) dan tuntutan investor besar seperti Norges Bank Investment Management (US$1,7 triliun) mendorong perusahaan mengintegrasikan water management ke strategi bisnis dan pelaporan.
  • Tekanan Konsumen dan LSM: Kampanye LSM dan konsumen mendorong perusahaan lebih transparan dan bertanggung jawab, terutama di sektor yang langsung berhadapan dengan publik.
  • Risiko Bersama (Shared Water Risk): Konsep “shared risk” menekankan bahwa risiko air dialami bersama oleh perusahaan, masyarakat, dan ekosistem, sehingga solusi harus kolektif—meski dalam praktiknya, persepsi dan distribusi risiko sering tidak seimbang1.

Dinamika Implementasi: Dari Komitmen ke Dampak Nyata

1. Komitmen Meningkat, Implementasi Masih Terbatas

  • Data CDP: Meski komitmen perusahaan meningkat, mayoritas aksi masih berupa efisiensi internal, bukan transformasi model bisnis atau aksi di tingkat catchment.
  • Studi 40 Laporan Korporasi: Hanya sedikit perusahaan yang benar-benar mengatasi isu permintaan air melebihi pasokan, polusi, hak pekerja, dan keanekaragaman hayati. Mayoritas masih fokus pada “in-house efficiency”1.

2. Kesenjangan antara Strategi dan Realitas

  • Pendanaan: Sebagian besar pendanaan aksi stewardship masih berasal dari donor publik, bukan dana inti perusahaan. Inisiatif perusahaan sering hanya membawa keahlian, bukan investasi finansial nyata.
  • Keterlibatan UKM dan Petani Kecil: Standar dan inisiatif global masih sulit dijangkau UKM dan produsen kecil, yang justru paling terdampak dan berperan besar di rantai pasok air dunia.

3. Studi Kasus: Equity dan Keadilan

  • Peru & Afrika Selatan: Sertifikasi dan standar global kadang memperparah ketimpangan, karena syarat kepatuhan lebih mudah dipenuhi perusahaan besar. Petani kecil sering kehilangan hak air akibat “teknik visibilisasi” dan “truth production” oleh standar internasional.
  • TNC Water Funds (Amerika Latin): Keberhasilan tergantung pada kepemimpinan publik dan partisipasi transparan. Dominasi perusahaan atau LSM tunggal berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan melemahkan dampak sosial1.

Analisis Kritis: Kontroversi, Peluang, dan Tantangan

1. Water Stewardship: Paradigma Baru atau Sekadar PR?

  • Paradigma Baru: Keterlibatan bisnis mempercepat kolaborasi multipihak, mendorong inovasi, dan memperkuat aksi kolektif di banyak negara.
  • Kritik: Banyak inisiatif stewardship hanya menjadi sarana legitimasi bisnis (social license to operate), tanpa perubahan fundamental dalam tata kelola air atau distribusi manfaat. Studi di India, Peru, dan Afrika Selatan menunjukkan kecenderungan “depolitisasi” isu air demi efisiensi, mengabaikan dimensi keadilan dan hak masyarakat lokal1.

2. Water Security: Risiko Ekonomi atau Kesejahteraan Bersama?

  • Reframing: Perusahaan kini memandang air bukan hanya risiko lingkungan, tapi juga risiko ekonomi dan finansial yang bisa mengancam kelangsungan bisnis dan investasi.
  • Risiko Privatisasi: Keterlibatan korporasi tanpa kendali publik berisiko memperparah “water grabbing” dan “financialisation of water”, terutama di negara berkembang dengan kapasitas regulasi lemah.

3. Peran LSM dan Donor: Kolaborasi atau Fragmentasi?

  • Kolaborasi: LSM seperti WWF, TNC, dan WaterAid berperan penting membangun standar, memfasilitasi aksi kolektif, dan mendorong harmonisasi inisiatif.
  • Fragmentasi: Persaingan antar LSM kadang menimbulkan kebingungan di kalangan perusahaan dan melemahkan dampak. Pendanaan independen dan peran “broker” yang netral sangat dibutuhkan untuk menjaga objektivitas dan legitimasi1.

Studi Kasus dan Praktik Terbaik: Inspirasi dan Pelajaran

1. Mersey Basin Campaign (UK, 1985–2010)

Kolaborasi antara bisnis, pemerintah, dan masyarakat sipil berhasil merevitalisasi sungai Mersey, mengurangi polusi, dan membangun tata kelola air yang inklusif. Keberhasilan ini tak lepas dari peran pemerintah sebagai “principal” yang memastikan tujuan publik tetap utama1.

2. AWS Certification di Ica Valley, Peru

Beberapa perusahaan agribisnis besar telah meraih sertifikasi AWS. Namun, dampak nyata terhadap petani kecil dan lingkungan masih dipertanyakan, menjadi “uji lakmus” apakah standar global benar-benar mampu menghasilkan perubahan berkelanjutan dan adil.

3. Komitmen “Water Positive” di Sektor Teknologi

Meta, Google, Microsoft, dan Amazon berkomitmen menjadi “water positive” pada 2030. Namun, pengukuran dampak dan transparansi aksi di rantai pasok masih menjadi tantangan besar, terutama di negara berkembang yang menjadi basis produksi hardware dan data center1.

Relevansi Industri dan Kebijakan: Tren dan Masa Depan

1. Digitalisasi dan Transparansi

Teknologi digital (IoT, big data, blockchain) membuka peluang pemantauan air real-time, pelaporan ESG, dan transparansi rantai pasok. Platform seperti CDP dan inisiatif seperti Fair Water Footprints Declaration mulai menghubungkan negara konsumen dan produsen air secara global.

2. Regulasi dan Standar Global

Regulasi seperti EU CSRD dan CSDDD mendorong perusahaan multinasional mengadopsi standar pelaporan ESG yang lebih ketat, termasuk aspek air. Namun, harmonisasi standar dan perlindungan hak masyarakat lokal masih menjadi PR besar.

3. Kolaborasi Multipihak dan Inovasi Pendanaan

Pendanaan inovatif (blended finance, green bonds, water funds) dan kolaborasi multipihak menjadi kunci investasi air berkelanjutan, terutama di negara berkembang yang menghadapi kesenjangan infrastruktur dan kapasitas teknis.

Rekomendasi Strategis untuk Tata Kelola Air Masa Depan

  1. Perkuat Kepemimpinan Publik
    Pemerintah harus tetap menjadi penentu arah dan pengawas utama, memastikan kepentingan publik dan keadilan sosial tetap terjaga.
  2. Harmonisasi Standar dan Transparansi
    Perlu harmonisasi standar stewardship dan pelaporan air, serta peningkatan transparansi data dan dampak di seluruh rantai nilai.
  3. Libatkan UKM dan Komunitas Lokal
    Inisiatif dan standar harus lebih inklusif, mudah diakses UKM dan petani kecil, serta melibatkan komunitas lokal dalam perumusan dan pemantauan aksi.
  4. Integrasi dengan Agenda Pembangunan Berkelanjutan
    Integrasikan aksi stewardship dengan SDGs, aksi iklim, dan agenda keadilan sosial untuk memastikan dampak yang berkelanjutan dan inklusif.
  5. Dorong Riset Transdisipliner dan Evaluasi Independen
    Diperlukan riset lintas disiplin dan evaluasi independen untuk menilai dampak nyata inisiatif korporasi di berbagai sektor dan wilayah.

Paradoks dan Peluang Keterlibatan Bisnis dalam Tata Kelola Air

Keterlibatan bisnis dalam tata kelola air membawa peluang besar untuk inovasi, kolaborasi, dan percepatan pencapaian water security global. Namun, tanpa kepemimpinan publik yang kuat, harmonisasi standar, dan perlindungan hak-hak kelompok rentan, risiko privatisasi, ketimpangan, dan depolitisasi isu air tetap membayangi. Masa depan tata kelola air yang adil, inklusif, dan berkelanjutan hanya bisa dicapai melalui sinergi antara pemerintah, bisnis, LSM, dan masyarakat sipil—dengan transparansi, akuntabilitas, dan keberanian untuk mengakui serta mengatasi ketimpangan kekuasaan di setiap level1.

Sumber artikel :
Sojamo, S. and Rudebeck, T. 2024. Corporate engagement in water policy and governance: A literature review on water stewardship and water security. Water Alternatives 17(2): 292-324

Selengkapnya
Corporate Engagement in Water Policy and Governance: Water Stewardship dan Water Security di Era Bisnis Global

Tantangan Hukum

Hak Air Transboundary di Indus Basin: Resensi Kritis atas Relevansi Hukum Internasional Kontemporer

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Krisis Air, Politik, dan Hukum di Indus Basin

Di tengah krisis air global dan rivalitas geopolitik Asia Selatan, Sungai Indus menjadi nadi kehidupan sekaligus sumber konflik bagi Pakistan dan India. Paper “Beyond The Indus Waters Treaty: A Study of Pakistan’s Transboundary Water Rights against India under Customary International Law” karya Sana Taha Gondal (2020) menyajikan analisis mendalam tentang bagaimana prinsip hukum internasional adat (Customary International Law/CIL) dapat memperkuat posisi Pakistan sebagai negara hilir (lower riparian) di luar kerangka Indus Waters Treaty (IWT) 1960. Resensi ini membedah argumen utama, studi kasus, angka-angka kunci, serta menawarkan analisis kritis dan relevansi dengan tren tata kelola air lintas negara masa kini.

Latar Belakang: Indus Basin, IWT, dan Keterbatasannya

Indus Basin: Lifeline yang Terancam

  • Pakistan adalah salah satu negara paling rawan air di dunia, mendekati ambang kelangkaan air dengan populasi lebih dari 220 juta jiwa dan pertumbuhan pesat1.
  • Sektor pertanian, tulang punggung ekonomi Pakistan, sangat bergantung pada aliran Sungai Indus dan anak-anak sungainya, yang sebagian besar hulunya berada di India1.
  • Konflik air antara India (upper riparian) dan Pakistan (lower riparian) telah berlangsung sejak kemerdekaan, diperparah oleh perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan persaingan antarprovinsi di Pakistan sendiri1.

Indus Waters Treaty (IWT) 1960: Sejarah dan Kritik

  • IWT ditandatangani pada 1960 dengan mediasi Bank Dunia, membagi sungai menjadi “Western Rivers” (Indus, Jhelum, Chenab) untuk Pakistan dan “Eastern Rivers” (Ravi, Beas, Sutlej) untuk India, namun tetap menyisakan hak terbatas bagi India di sungai barat untuk pembangkit listrik dan irigasi1.
  • IWT bertahan melewati tiga perang besar, namun kini dianggap kaku dan tidak responsif terhadap tantangan modern seperti perubahan iklim, pembangunan dam baru, dan kebutuhan ekosistem1.
  • Kritik utama: IWT hanya membagi volume air, bukan prinsip “equitable sharing”; mekanisme penyelesaian sengketa yang lamban dan sering buntu; serta tidak adanya mekanisme adaptif terhadap perubahan kondisi hidrologi1.

Studi Kasus: Sengketa dan Tantangan di Lapangan

1. Proyek Dam dan Sengketa Data

  • Baglihar Dam (India) dan Kishenganga Project menjadi contoh nyata di mana Pakistan menggugat India atas dugaan pelanggaran IWT. Namun, hasil arbitrase kerap tidak sepenuhnya memuaskan Pakistan, menandakan keterbatasan IWT dalam melindungi kepentingan negara hilir1.
  • India, sebagai negara hulu, mengendalikan headworks dan dapat mempengaruhi aliran air ke Pakistan, menimbulkan kekhawatiran akan “water blackmail” sebagai alat tekanan politik1.
  • Perselisihan data debit, pembangunan dam tanpa konsultasi, dan dugaan pengurangan aliran air ke Pakistan menjadi isu berulang, diperparah oleh minimnya transparansi dan pertukaran data1.

2. Ancaman Perubahan Iklim dan Ketidakpastian

  • Krisis air di Sindh: Provinsi Sindh di Pakistan kerap mengalami kekeringan dan kelangkaan air akibat fluktuasi aliran Indus, diperparah oleh perubahan iklim dan pembangunan dam di India1.
  • Banjir dan kekeringan ekstrim: Variasi curah hujan dan debit sungai yang semakin ekstrem mengancam ketahanan pangan dan ekonomi Pakistan, menuntut mekanisme tata kelola air yang lebih adaptif dan kolaboratif1.

Prinsip Hukum Internasional Adat (CIL) dan Hak Pakistan

1. Hak Berbagi Indus Basin secara Setara

  • CIL menegaskan bahwa negara-negara riparian (baik hulu maupun hilir) berhak berbagi penggunaan sungai internasional secara setara, terlepas ada atau tidaknya perjanjian formal1.
  • Lake Lanoux Arbitration dan putusan ICJ dalam kasus Gabcikovo-Nagymaros menegaskan prinsip “community of interest”—tidak ada satu negara pun yang dapat memveto hak negara lain atas sungai bersama1.
  • India sendiri, dalam perjanjian dengan Nepal (Mahakali Treaty) dan Bangladesh (Ganges Treaty), mengakui prinsip hak setara dan “optimum utilization” air lintas negara, yang secara doktrinal juga berlaku bagi Pakistan1.

2. Prinsip Equitable and Reasonable Utilization

  • CIL, melalui Helsinki Rules, Berlin Rules, dan UN Watercourses Convention, mengatur bahwa setiap negara riparian berhak menggunakan air secara “adil dan wajar” (equitable and reasonable), mempertimbangkan kebutuhan sosial, ekonomi, dan ekologi kedua belah pihak1.
  • Putusan ICJ dalam kasus Hungary v Slovakia (Gabcikovo-Nagymaros) dan Pulp Mills menegaskan bahwa prinsip ini adalah “basic right” dalam hukum internasional1.
  • Dalam praktiknya, “adil” tidak selalu berarti “sama rata” secara kuantitas. Pakistan harus membuktikan bahwa porsi sekitar 80% air Indus yang diterimanya memang adil dan wajar menurut faktor-faktor yang diakui CIL1.

3. Kewajiban Tidak Menyebabkan Kerugian Signifikan (No Harm Rule)

  • Negara hulu (India) wajib mencegah tindakan yang dapat menyebabkan kerugian signifikan (significant harm) pada negara hilir (Pakistan), baik secara sengaja maupun karena kelalaian1.
  • Prinsip ini ditegaskan dalam Trail Smelter Arbitration, ICJ (Pulp Mills, Costa Rica v Nicaragua), Stockholm Declaration, dan Rio Declaration1.
  • Dalam konteks Indus, pembangunan dam atau proyek yang mengurangi debit atau mencemari air ke Pakistan dapat menjadi dasar klaim hukum berdasarkan prinsip ini1.

4. Hak atas Kerja Sama, Konsultasi, dan Pertukaran Data

  • CIL mewajibkan negara-negara riparian untuk saling bekerja sama, berkonsultasi, dan berbagi data secara reguler terkait kondisi sungai, kualitas air, dan rencana pembangunan yang berpotensi berdampak lintas batas1.
  • Watercourses Convention (Pasal 8–9), Helsinki Rules, Berlin Rules, dan berbagai resolusi PBB menegaskan pentingnya mekanisme konsultasi, notifikasi, dan pertukaran data secara transparan1.
  • Dalam praktiknya, India telah menerapkan mekanisme serupa dengan Bhutan dan China untuk berbagi data hidrologi, namun seringkali enggan melakukannya dengan Pakistan, menimbulkan ketimpangan dan kecurigaan1.

5. Hak atas Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Sungai

  • Negara-negara riparian wajib melindungi ekosistem sungai, mencegah polusi, dan menjaga keberlanjutan lingkungan hidup di sepanjang aliran sungai1.
  • India, melalui Water Act 1974 dan putusan Mahkamah Agungnya, bahkan telah memberikan status “legal person” pada Sungai Ganges dan Yamuna, menegaskan pentingnya perlindungan lingkungan1.
  • Dalam konteks Indus, pembangunan dam dan polusi di hulu yang berdampak ke hilir dapat menjadi dasar klaim lingkungan oleh Pakistan1.

6. Hak atas Penyelesaian Sengketa secara Damai

  • CIL dan berbagai konvensi internasional menegaskan kewajiban negara untuk menyelesaikan sengketa air secara damai melalui negosiasi, mediasi, arbitrase, atau forum hukum internasional seperti ICJ1.
  • IWT sendiri menyediakan mekanisme multi-level (negosiasi, arbitrase, panel ahli), namun seringkali prosesnya lambat dan tidak efektif dalam menyelesaikan sengketa kontemporer1.

Analisis Kritis: Kelebihan, Kekurangan, dan Relevansi Praktis

Kekuatan Argumen dan Studi Kasus

  • Paper ini secara meyakinkan menegaskan bahwa Pakistan memiliki hak-hak kuat di bawah CIL yang tetap berlaku meski IWT dianggap usang atau tidak memadai1.
  • Studi kasus Baglihar dan Kishenganga menunjukkan bahwa meski arbitrase internasional cenderung menafsirkan IWT secara sempit, prinsip-prinsip CIL tetap menjadi rujukan utama dalam interpretasi dan pengambilan keputusan1.
  • Praktik India dalam perjanjian air dengan negara lain (Nepal, Bangladesh, Bhutan) memperkuat argumen bahwa prinsip CIL bersifat universal dan berlaku timbal balik (prinsip estoppel)1.

Kritik terhadap Implementasi dan Keterbatasan CIL

  • Kelemahan utama: CIL tidak memiliki mekanisme penegakan yang kuat. Tanpa persetujuan kedua negara untuk membawa sengketa ke ICJ atau arbitrase, implementasi hak-hak CIL sangat bergantung pada goodwill dan diplomasi1.
  • Konteks politik: Sengketa Kashmir, rivalitas militer, dan sentimen nasionalisme sering membayangi negosiasi air, membuat kerja sama dan kompromi sulit tercapai1.
  • Keterbatasan IWT: Meski IWT dianggap outdated, kekuatan utamanya justru pada mekanisme penyelesaian sengketa yang tetap terbuka, meski lambat. Tanpa IWT, implementasi CIL akan jauh lebih sulit dan rawan deadlock1.

Perbandingan dengan Studi dan Tren Global

  • Tren global: Negara-negara lain seperti di Mekong, Danube, dan Nil mulai beralih ke model “benefit sharing” dan pengelolaan adaptif berbasis ekosistem, bukan sekadar pembagian volume air1.
  • Studi lain: Penelitian Eckstein & Sindico (2014) dan Zeitoun et al. (2016) menekankan pentingnya insentif ekonomi, tekanan publik, dan kolaborasi multipihak untuk memperkuat implementasi CIL dalam tata kelola air lintas negara1.

Opini dan Rekomendasi Penulis

  • Pakistan sebaiknya mendorong amandemen atau renegosiasi IWT agar lebih responsif terhadap prinsip CIL dan tantangan modern (perubahan iklim, ekosistem, kebutuhan sosial-ekonomi)1.
  • Ratifikasi konvensi global seperti UN Watercourses Convention dan UNECE Water Convention dapat memperkuat posisi hukum Pakistan di forum internasional1.
  • Diplomasi air yang proaktif, transparansi data, dan kolaborasi multipihak (pemerintah, masyarakat, LSM, sektor swasta) menjadi kunci menuju tata kelola air yang adil dan berkelanjutan di Indus Basin1.

Relevansi Industri dan Tren Kebijakan

1. Industri Pertanian dan Energi

  • Ketergantungan Pakistan pada sektor pertanian dan PLTA berbasis Indus menuntut kepastian pasokan air jangka panjang. Sengketa air dapat berdampak langsung pada ketahanan pangan dan energi nasional1.
  • Industri agribisnis dan manufaktur di Pakistan juga sangat rentan terhadap fluktuasi debit sungai akibat pembangunan dam di hulu1.

2. Digitalisasi dan Transparansi Data

  • Tren global menuju digitalisasi data hidrologi, pemantauan real-time, dan platform kolaboratif lintas negara dapat memperkuat transparansi dan mitigasi risiko sengketa air1.
  • Pakistan dan India perlu mengadopsi teknologi ini untuk membangun kepercayaan dan meminimalkan kecurigaan1.

3. Kolaborasi Multipihak dan Diplomasi Air

  • Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, komunitas lokal, dan LSM sangat penting untuk mendorong solusi inovatif dalam pengelolaan air lintas negara1.
  • Diplomasi air yang mengedepankan “benefit sharing” dan perlindungan ekosistem dapat menjadi jalan keluar dari deadlock politik yang berkepanjangan1.

Rekomendasi Strategis: Jalan ke Depan untuk Indus Basin

  1. Amandemen atau Renegosiasi IWT
    Dorong pembaruan IWT agar mengadopsi prinsip CIL, memperkuat mekanisme penyelesaian sengketa, dan memperhatikan kebutuhan ekosistem serta perubahan iklim1.
  2. Ratifikasi Konvensi Global
    Pakistan dan India sebaiknya meratifikasi UN Watercourses Convention dan UNECE Water Convention untuk memperkuat kerangka hukum dan mekanisme implementasi1.
  3. Transparansi dan Pertukaran Data
    Bangun sistem pertukaran data hidrologi yang real-time, transparan, dan dapat diakses kedua negara serta publik untuk membangun kepercayaan dan mitigasi risiko1.
  4. Kolaborasi Multipihak dan Diplomasi Proaktif
    Libatkan semua pemangku kepentingan (pemerintah, masyarakat, LSM, sektor swasta) dalam perumusan kebijakan dan implementasi tata kelola air lintas negara1.
  5. Fokus pada Perlindungan Ekosistem
    Integrasikan perlindungan ekosistem dan adaptasi perubahan iklim dalam setiap kebijakan dan proyek pembangunan di Indus Basin1.

Menuju Tata Kelola Air yang Adil dan Adaptif di Indus Basin

Paper ini menegaskan bahwa hak-hak Pakistan atas Indus Basin tidak hanya bergantung pada IWT, tetapi juga diperkuat oleh prinsip-prinsip hukum internasional adat yang diakui secara universal. Namun, tantangan utama terletak pada implementasi dan penegakan hak-hak tersebut di tengah rivalitas politik dan keterbatasan mekanisme hukum internasional. Masa depan Indus Basin sangat ditentukan oleh kemampuan kedua negara untuk beradaptasi, berkolaborasi, dan membangun tata kelola air yang adil, transparan, dan berkelanjutan—mengutamakan kepentingan rakyat dan ekosistem di atas politik jangka pendek.

Sumber artikel :
Sana Taha Gondal. "Beyond The Indus Waters Treaty: A Study of Pakistan’s Transboundary Water Rights against India under Customary International Law." IPRI Journal XX (1): 88-117.

Selengkapnya
Hak Air Transboundary di Indus Basin: Resensi Kritis atas Relevansi Hukum Internasional Kontemporer

Tantangan Hukum

Skandal Wood Pellet Gorontalo: Deforestasi, Hukum, dan Masa Depan Bioenergi Indonesia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Wood Pellet, Energi Terbarukan, dan Ancaman Deforestasi

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia gencar mempromosikan biomassa—khususnya wood pellet—sebagai solusi energi terbarukan yang dianggap lebih ramah lingkungan dan mampu menurunkan emisi karbon dari sektor pembangkit listrik. Program co-firing biomassa di PLTU, dengan target penggunaan biomassa 5–10% di 52 PLTU hingga 2025, membutuhkan pasokan wood pellet hingga 8–14 juta ton per tahun. Namun, di balik narasi hijau ini, tersembunyi praktik-praktik yang mengancam keberlanjutan lingkungan dan menimbulkan masalah hukum serius, seperti yang terungkap dalam kasus PT Biomassa Gorontalo1.

Studi Kasus: PT Biomassa Gorontalo dan Deforestasi Pohuwato

Fakta Lapangan dan Angka-Angka Penting

  • Deforestasi Masif: Analisis Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan bahwa antara 2021–2023, PT Banyan Tumbuh Lestari (BTL) melakukan deforestasi 1.105 hektare hutan alam, sementara PT Inti Global Laksana (IGL) membabat 36 hektare hutan alam di Gorontalo. Kedua perusahaan ini memasok bahan baku utama untuk PT Biomassa Jaya Abadi (BJA), produsen wood pellet terbesar di Gorontalo1.
  • Volume dan Nilai Ekspor: Data PT Equality Indonesia mencatat, sepanjang Februari–Desember 2023, PT BJA mengekspor 95.253.282 kg wood pellet senilai USD 12.990.019. Pada Februari–Agustus 2024, ekspor melonjak ke 124.980.503 kg dengan nilai USD 17.052.6751.
  • Ekspor ke Luar Negeri: Ekspor wood pellet Gorontalo mayoritas menuju Jepang dan Korea Selatan, dua negara yang tengah agresif mengadopsi biomassa untuk transisi energi mereka. Jepang menargetkan 3,7–4,6% bauran energi 2030 berasal dari biomassa, sedangkan Korea Selatan menargetkan 20% energi terbarukan pada 20301.
  • Transhipment Ilegal: Pelet kayu diekspor melalui pelabuhan khusus BJA di Desa Trikora, Pohuwato, lalu dipindahkan (transhipment) ke kapal asing di tengah laut, di zona inti kawasan konservasi perairan—wilayah penting bagi perlindungan gurita dan mata pencaharian Suku Bajo Torosiaje1.

Modus Pelanggaran dan Unreported Logging

  • Pemalsuan Dokumen: Investigasi menemukan pemalsuan dokumen angkutan kayu, manipulasi jenis kayu, serta penggunaan perusahaan “pinjam bendera” tanpa sertifikat legalitas (V-Legal) untuk mengekspor kayu olahan1.
  • Unreported Export: Ekspor wood pellet tidak tercatat dalam Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sehingga diduga kuat terjadi praktik unreported logging dan penghindaran pajak1.
  • Transhipment di Wilayah Konservasi: Proses pemindahan muatan di tengah laut, tanpa pemeriksaan bea cukai resmi (port to port), menambah indikasi pelanggaran hukum nasional dan internasional (UNCLOS)1.

Analisis Yuridis: Pelanggaran Hukum dan Lemahnya Penegakan

Kerangka Hukum Nasional

  • UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) menjadi dasar hukum utama pencegahan illegal logging. Pasal 12 UU P3H melarang penebangan, pengangkutan, dan perdagangan hasil hutan tanpa izin serta tanpa dokumen sah (SKSHH)1.
  • Sanksi Berat: Pelaku illegal logging, termasuk korporasi, terancam pidana penjara 10–15 tahun dan denda hingga Rp 10 miliar. Untuk pelanggaran pengangkutan tanpa SKSHH, ancaman penjara 1–5 tahun dan denda Rp 500 juta–2,5 miliar; untuk korporasi, 5–15 tahun dan denda Rp 5–15 miliar1.
  • Penyelundupan dan Pemalsuan: Modus pemalsuan dokumen diatur dalam KUHP Pasal 263–276, sedangkan pengangkutan kayu tanpa dokumen sah masuk dalam delik pidana kehutanan khusus1.

Masalah Penegakan Hukum

  • Jaringan Terorganisir: Perdagangan kayu ilegal termasuk kejahatan terorganisir (organized crime) yang melibatkan banyak pihak, mulai dari perusahaan, oknum pejabat, hingga jaringan internasional. Penegakan hukum kerap terhambat oleh lemahnya pengawasan, kolusi, dan celah regulasi1.
  • Kasus Unreported Logging: Praktik unreported logging sulit diberantas karena pengawasan lemah, dokumen mudah dimanipulasi, dan sistem pelaporan ekspor tidak transparan. Modus seperti “dokumen terbang” dan transhipment di laut lepas memperburuk situasi1.
  • Kerugian Negara: Kerugian akibat illegal logging di Indonesia diperkirakan mencapai Rp 30,42 triliun per tahun, belum termasuk kerugian ekologis dan sosial1.

Aspek Hukum Internasional

  • UNCLOS dan Transhipment: Menurut UNCLOS, negara pantai berhak melakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran di wilayah yurisdiksinya, termasuk menaiki, memeriksa, dan menangkap kapal pelaku transhipment ilegal. Namun, yurisdiksi di laut lepas tetap menjadi tantangan, sehingga penegakan hukum harus melibatkan negara bendera kapal dan kerja sama internasional1.

Dampak Sosial-Ekologis: Dari Konflik Agraria hingga Krisis Biodiversitas

Kerusakan Ekologis

  • Deforestasi dan Hilangnya Biodiversitas: Sepanjang 2017–2023, Gorontalo kehilangan 35.770,36 hektare hutan alam. Dari 693.795 hektare hutan alam yang tersisa (57% dari luas daratan), 10 izin konsesi hutan (282.100 hektare) disiapkan untuk proyek bioenergi. Deforestasi ini mengancam keanekaragaman hayati, fungsi hidrologis, dan ketahanan ekosistem1.
  • Emisi Karbon: Alih-alih menurunkan emisi, produksi wood pellet dari hutan alam justru menghasilkan emisi karbon baru akibat deforestasi, bertentangan dengan prinsip transisi energi berkelanjutan1.

Dampak Sosial dan Konflik Agraria

  • Konflik Lahan: Data Walhi 2018 mencatat 85 konflik SDA di bidang kehutanan di enam provinsi, dengan 91,14% melibatkan masyarakat versus perusahaan/pemerintah. Sengketa agraria di Gorontalo berpotensi meningkat seiring ekspansi konsesi untuk wood pellet1.
  • Kehilangan Mata Pencaharian: Zona konservasi perairan yang menjadi lokasi transhipment adalah wilayah tangkap gurita Suku Bajo Torosiaje. Aktivitas ekspor ilegal mengancam ekonomi lokal dan keberlanjutan komunitas pesisir1.

Kritik dan Opini: Antara Greenwashing dan Keberlanjutan

Greenwashing dalam Transisi Energi

Kasus PT Biomassa Gorontalo menyoroti bahaya greenwashing—menggunakan narasi “energi hijau” untuk menutupi praktik destruktif. Alih-alih mendorong energi terbarukan yang berkelanjutan, proyek biomassa berbasis deforestasi justru mempercepat krisis lingkungan. Praktik ini bertentangan dengan tren global yang menuntut transparansi rantai pasok dan legalitas produk bioenergi.

Perbandingan dengan Studi Lain

Fenomena serupa terjadi di Sumatra dan Kalimantan, di mana produksi wood pellet dan ekspor kayu sering melibatkan manipulasi dokumen, kolusi pejabat, dan lemahnya penegakan hukum. Penelitian Sembiring et al. (2024) menegaskan bahwa sistem pengawasan dan sertifikasi legalitas kayu di Indonesia masih memiliki banyak celah, sehingga korporasi besar bisa mengakali regulasi demi keuntungan ekspor1.

Rekomendasi: Jalan Menuju Tata Kelola Hutan yang Berkelanjutan

Langkah Preventif

  • Audit dan Moratorium: Pemerintah harus segera mengaudit seluruh aktivitas produksi wood pellet, terutama yang berbasis hutan alam, dan memberlakukan moratorium ekspansi hingga ada jaminan legalitas dan keberlanjutan1.
  • Reformasi Sistem Legalitas: Perbaiki sistem SILK dan sertifikasi V-Legal agar tidak mudah dimanipulasi; pastikan seluruh rantai pasok kayu tercatat dan transparan.
  • Peningkatan Peran Masyarakat: Libatkan masyarakat lokal dalam pengawasan, pelaporan, dan pengelolaan hutan lestari.

Langkah Represif

  • Penegakan Hukum Tegas: Proses hukum harus menyasar korporasi, bukan hanya pelaku lapangan. Sanksi pidana dan denda maksimal harus diterapkan, termasuk pencabutan izin dan sertifikat legalitas bagi perusahaan pelanggar1.
  • Patroli dan Pengawasan Terpadu: Tingkatkan patroli hutan dan pengawasan pelabuhan, serta perkuat kerja sama dengan lembaga internasional untuk memberantas transhipment ilegal.

Transformasi Kebijakan Energi

  • Transisi Energi yang Adil: Hentikan program biomassa yang berbasis deforestasi. Fokus pada pengembangan energi terbarukan lain seperti surya, angin, dan hutan tanaman energi yang benar-benar berkelanjutan1.
  • Kolaborasi Multi Pihak: Bangun kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, LSM, dan sektor swasta untuk memastikan tata kelola hutan yang adil, transparan, dan berkelanjutan.

Kesimpulan

Kasus PT Biomassa Gorontalo adalah cermin problematika tata kelola hutan dan transisi energi di Indonesia. Deforestasi masif, praktik unreported dan illegal logging, serta lemahnya penegakan hukum menunjukkan bahwa narasi energi terbarukan bisa menjadi pedang bermata dua: solusi atau bencana. Tanpa reformasi sistemik, Indonesia berisiko kehilangan hutan alam tersisa dan gagal mewujudkan transisi energi yang benar-benar berkelanjutan.

Sumber artikel :
Juniar Sidiki. "Analisis Yuridis Praktik Unreported Serta Ilegal logging (Studi Kasus Perdagangan Kayu (Eksport) Wood Pellet PT Biomassa Gorontalo)." QISTINA: Jurnal Multidisiplin Indonesia, Vol. 3 No. 2 Desember 2024, P-ISSN: 2964-6278, E-ISSN: 2964-1268

Selengkapnya
Skandal Wood Pellet Gorontalo: Deforestasi, Hukum, dan Masa Depan Bioenergi Indonesia

Sumber Daya Air

Krisis Air di Timur Tengah & Afrika Utara: Ekonomi, Politik, dan Solusi Kelembagaan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Mengapa Krisis Air di MENA Menjadi Isu Global

Kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA) saat ini menghadapi krisis air paling parah di dunia. Dengan populasi yang melonjak dari 100 juta pada 1960 menjadi lebih dari 450 juta pada 2018, dan diprediksi mencapai 720 juta pada 2050, tekanan terhadap sumber daya air yang terbatas semakin besar. Laporan “The Economics of Water Scarcity in the Middle East and North Africa: Institutional Solutions” karya Dominick de Waal, Stuti Khemani, Andrea Barone, dan Edoardo Borgomeo dari World Bank, membedah akar masalah, dampak ekonomi, hingga solusi kelembagaan yang relevan untuk mengatasi tantangan ini123.

Artikel ini akan mengulas temuan utama laporan tersebut, mengaitkannya dengan tren global, menyoroti studi kasus nyata, serta menawarkan analisis kritis dan perbandingan dengan literatur lain agar pembaca memahami urgensi dan kompleksitas krisis air di MENA.

Gambaran Krisis: Data, Dampak, dan Proyeksi

Fakta dan Angka Kunci

  • Ketersediaan Air: Pada 2030, rata-rata ketersediaan air per kapita di MENA diperkirakan turun di bawah 500 m³/tahun—ambang batas kelangkaan absolut menurut Falkenmark Index12.
  • Pertumbuhan Penduduk: Dari 100 juta (1960) menjadi 450 juta (2018), diproyeksikan 720 juta (2050)12.
  • Kebutuhan Tambahan: Pada 2050, dibutuhkan tambahan 25 miliar m³ air per tahun, setara membangun 65 instalasi desalinasi raksasa seperti Ras Al Khair di Arab Saudi1.
  • Penggunaan Air: 83% air di kawasan digunakan untuk irigasi pertanian, jauh di atas rata-rata global 70%, meski kontribusi sektor ini terhadap PDB terus menurun2.
  • Kerugian Ekonomi: Jika tidak ada perubahan, krisis air dapat memangkas 6–14% PDB kawasan pada 2050, jauh di atas rata-rata global (<1%)24.
  • Kebocoran dan Pemborosan: Lebih dari 30% air yang diproduksi utilitas air hilang akibat kebocoran, meteran rusak, atau pencurian12.

Dampak Sosial dan Politik

  • Migrasi dan Urbanisasi: Kekurangan air mendorong migrasi dari desa ke kota, memperparah tekanan pada infrastruktur perkotaan4.
  • Konflik dan Instabilitas: Persaingan air memicu ketegangan antarnegara, konflik domestik, hingga protes massal terkait kenaikan tarif air54.
  • Ketidaksetaraan: Akses air di perkotaan bisa mencapai 95%, namun di pedesaan hanya 63% (kasus Maroko), memperlebar jurang kesenjangan5.

Studi Kasus: Maroko, Yordania, dan Uni Emirat Arab

1. Maroko: Dilema Antara Dams dan Pertanian

Maroko mengandalkan 140 bendungan besar untuk mengelola air dari tujuh DAS utama. Namun, konsumsi air melebihi pasokan, terutama akibat pertanian intensif (misal, budidaya semangka). Dampaknya, beberapa DAS seperti Tensift nyaris habis, dan akses air di pedesaan jauh tertinggal dibanding perkotaan5. Pemerintah menghadapi dilema antara menjaga ketahanan pangan, mendukung pertanian ekspor, dan memenuhi kebutuhan domestik.

2. Yordania: Ketidakpercayaan dan Protes Tarif

Yordania kerap menjadi contoh negara yang menghadapi tantangan legitimasi kebijakan air. Upaya pemerintah menutup sumur ilegal dihadang perlawanan petani, bahkan petugas pemerintah diusir dari desa. Ketika pemerintah mencoba menaikkan tarif air, protes massal pecah karena masyarakat tidak percaya kenaikan tarif akan diikuti perbaikan layanan12.

3. Uni Emirat Arab: Desentralisasi dan “Cap-and-Trade”

UEA menerapkan model desentralisasi, di mana tiap emirat bertanggung jawab atas pengelolaan airnya. Abu Dhabi, misalnya, mengimpor air dari emirat lain dan mengembangkan kerja sama strategis dalam pertukaran air. Investasi besar pada desalinasi dan daur ulang air limbah memperlihatkan upaya inovatif, meski biaya dan konsumsi energi sangat tinggi1.

Akar Masalah: Kelembagaan, Legitimasi, dan Trust

1. Fokus pada Infrastruktur, Abaikan Efisiensi

Selama puluhan tahun, solusi pemerintah MENA didominasi pembangunan infrastruktur besar (bendungan, desalinasi, jaringan pipa), bukan efisiensi atau pengelolaan permintaan. Akibatnya, masyarakat terbiasa menganggap masalah air hanya soal pasokan, bukan konsumsi123.

2. Kegagalan Regulasi dan Insentif

  • Tarif Air Rendah: Tarif air di MENA termasuk terendah di dunia, didorong keengganan politik menaikkan harga karena takut protes34.
  • Subsidi Membebani Fiskal: Negara menanggung subsidi besar, namun kualitas layanan tetap buruk sehingga masyarakat lebih memilih air kemasan atau truk air mahal24.
  • Utilitas Tidak Mandiri: Hanya dua utilitas air di MENA yang mampu menutupi biaya operasionalnya sendiri, sisanya defisit dan tergantung subsidi pemerintah1.

3. Legitimasi dan Trust: Kunci Reformasi

  • Legitimasi: Negara gagal mendapatkan kepatuhan sukarela masyarakat atas pembatasan atau kenaikan tarif air. Aturan pembatasan irigasi sering diabaikan petani karena dianggap tidak adil atau tidak konsisten12.
  • Trust: Ketidakpercayaan antara masyarakat, utilitas, dan pemerintah memperparah siklus kegagalan. Banyak warga menolak membayar tagihan karena tidak yakin akan ada perbaikan layanan1.

Solusi Kelembagaan: Desentralisasi, Komunikasi, dan Inovasi

1. Desentralisasi Pengambilan Keputusan

Laporan World Bank merekomendasikan pelimpahan sebagian kewenangan pengelolaan air ke pemerintah daerah dan utilitas profesional, bukan hanya kementerian pusat. Model “cap-and-trade” diusulkan, di mana hak pengelolaan air diberikan ke pemerintah lokal dengan batas (cap) nasional, dan transfer air antarwilayah dimungkinkan untuk efisiensi1.

2. Reformasi Manajemen Utilitas

  • Otonomi dan Insentif: Memberikan otonomi lebih ke manajemen utilitas, memperbaiki insentif kinerja, dan membangun budaya profesional berbasis kepercayaan internal dapat meningkatkan efisiensi dan layanan1.
  • Keterbukaan Data: Publikasi laporan keuangan dan kinerja utilitas secara terbuka dapat membangun kepercayaan publik dan menarik investasi1.

3. Komunikasi dan Keterlibatan Publik

Studi kasus Cape Town (Afrika Selatan) dan São Paulo (Brasil) menunjukkan pentingnya komunikasi strategis. Di Cape Town, dashboard air online dan kampanye publik berhasil menurunkan konsumsi dari 183 menjadi 84 liter/orang/hari saat krisis “Day Zero”1. Di MENA, strategi serupa bisa meningkatkan legitimasi kebijakan dan kepatuhan masyarakat.

4. Perlindungan Sosial dan Diversifikasi Ekonomi

Transisi dari pertanian intensif air ke sektor lain perlu didukung perlindungan sosial dan pelatihan ulang tenaga kerja. Diversifikasi ekonomi penting agar masyarakat tidak sepenuhnya bergantung pada pertanian yang boros air14.

Kritik, Opini, dan Perbandingan

Kritik terhadap Pendekatan Infrastruktur

Literatur lain menyoroti bahwa ketergantungan pada solusi teknokratik (bendungan, desalinasi) tanpa reformasi kelembagaan hanya menunda krisis dan memperbesar beban fiskal35. Bahkan, desalinasi air laut memerlukan energi 23 kali lebih banyak dibanding pengolahan air permukaan, dan biaya 4–5 kali lipat lebih mahal1.

Perbandingan dengan Negara Lain

  • Australia dan AS: Negara-negara seperti Australia dan bagian barat AS telah mencoba pasar air (water trading) dengan pengawasan ketat. Namun, penerapan di MENA lebih rumit karena pluralisme hukum dan hak air berbasis adat1.
  • Argentina: Studi privatisasi air di Buenos Aires menunjukkan keberhasilan menurunkan kematian anak, namun hanya jika regulasi dan transparansi kuat. Tanpa pengawasan, privatisasi bisa gagal1.

Opini: Pentingnya “Social Contract” Baru

Krisis air di MENA bukan sekadar masalah teknis, tapi soal kontrak sosial baru antara negara dan rakyat. Legitimasi, trust, dan partisipasi publik harus menjadi fondasi reformasi. Tanpa itu, investasi apa pun akan sia-sia dan risiko konflik sosial akan terus mengintai.

Tantangan Implementasi dan Rekomendasi

Tantangan Utama

  • Resistensi Politik: Pemerintah takut kehilangan dukungan jika menaikkan tarif atau membatasi irigasi.
  • Kapasitas Lokal: Pemerintah daerah sering kekurangan kapasitas teknis dan keuangan.
  • Ketidaksetaraan: Reformasi berisiko memperlebar kesenjangan jika tidak disertai perlindungan sosial.

Rekomendasi Strategis

  • Audit dan Evaluasi Kelembagaan: Lakukan audit menyeluruh atas utilitas air dan sistem distribusi.
  • Peningkatan Kapasitas Lokal: Investasi dalam pelatihan, teknologi, dan sistem informasi untuk pemerintah daerah.
  • Transparansi dan Partisipasi: Libatkan masyarakat dalam perumusan dan pemantauan kebijakan air.
  • Inovasi Teknologi: Kembangkan teknologi hemat air, daur ulang, dan digitalisasi sistem pemantauan.
  • Kolaborasi Regional: Negara-negara MENA perlu memperkuat kerja sama lintas batas dalam pengelolaan air bersama.

Kesimpulan: Jalan Panjang Menuju Ketahanan Air

Krisis air di Timur Tengah dan Afrika Utara adalah tantangan multidimensi yang membutuhkan solusi kelembagaan, inovasi teknologi, dan pembaruan kontrak sosial. Laporan World Bank menegaskan bahwa tanpa reformasi kelembagaan yang membangun legitimasi dan trust, investasi sebesar apa pun tidak akan cukup. Masyarakat harus menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar objek kebijakan.

Melalui desentralisasi, komunikasi strategis, dan perlindungan sosial, kawasan ini dapat membangun ekonomi yang inklusif, berkelanjutan, dan tahan terhadap perubahan iklim. Namun, tanpa keberanian politik dan partisipasi publik, ancaman krisis air akan terus membayangi masa depan MENA—dan dunia.

Sumber artikel :
de Waal, Dominick, Stuti Khemani, Andrea Barone, dan Edoardo Borgomeo. 2023. “The Economics of Water Scarcity in the Middle East and North Africa: Institutional Solutions.” Overview booklet. World Bank, Washington, DC.

Selengkapnya
Krisis Air di Timur Tengah & Afrika Utara: Ekonomi, Politik, dan Solusi Kelembagaan
« First Previous page 62 of 1.107 Next Last »