Pengembangan Karier

Kenapa Kerja Keras Saja Tidak Cukup: Pelajaran Karier Tak Terduga dari Mandor Konstruksi

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 15 Oktober 2025


Pernahkah Kamu Merasa Bekerja Keras, Tapi Hasilnya Kurang Diapresiasi?

Saya mau cerita. Bayangkan seorang desainer grafis yang menghabiskan waktu berjam-jam menyempurnakan gradasi warna dan kerning font pada sebuah logo. Baginya, ini adalah puncak keahlian teknis, sebuah mahakarya detail. Tapi bagi klien atau CEO, yang terpenting adalah apakah logo itu bisa dikenali dari jarak 50 meter di papan reklame jalan tol dan apakah warnanya sesuai dengan citra merek yang ingin dibangun. Keduanya benar, tapi mereka seolah berbicara dalam bahasa yang berbeda.

Si desainer merasa kerja kerasnya pada detail tidak dihargai. Si CEO merasa desainer tidak memahami gambaran besar bisnis.

Kisah ini, dalam berbagai bentuk, terjadi setiap hari di hampir semua industri. Saya menyebutnya The Great Perception Gap—kesenjangan besar antara apa yang kita, sebagai eksekutor, anggap penting dalam pekerjaan kita (keunggulan teknis, kesempurnaan detail) dan apa yang dianggap penting oleh atasan atau organisasi (dampak strategis, efisiensi, hasil akhir). Kesenjangan ini adalah sumber frustrasi, demotivasi, dan perasaan "kerja keras tapi tak dianggap" yang paling umum di dunia profesional. Kita fokus pada input (usaha, jam kerja, kerumitan teknis), sementara mereka fokus pada output (hasil, ketepatan waktu, kesesuaian dengan tujuan besar).

Baru-baru ini, saya tidak sengaja menemukan sebuah paper penelitian dari dunia yang mungkin terdengar jauh dari keseharian kita: konstruksi. Paper ini menganalisis kompetensi para mandor di proyek-proyek konstruksi di Surabaya. Awalnya saya skeptis, apa relevansinya untuk saya? Tapi setelah membacanya, saya sadar bahwa paper ini bukan sekadar bacaan teknis yang kering. Ini adalah "peta harta karun" yang secara tidak sengaja memetakan The Great Perception Gap dengan data yang sangat jernih dan angka yang tidak bisa dibantah.  

Studi ini, meski berlatar belakang debu dan baja, memegang cermin bagi kita semua—para desainer, programmer, penulis, marketer, dan profesional lainnya. Ia mengungkap dinamika tersembunyi di tempat kerja dan menunjukkan dengan tepat di mana letak miskomunikasi antara "pekerja di lapangan" dan "manajer di kantor". Dan yang lebih penting, ia memberi petunjuk tentang cara menjembatani kesenjangan itu.

Dua Dunia yang Berbeda: Apa yang Paling Penting Menurut Mandor vs. Kontraktor

Inti dari penemuan ini terletak pada satu pertanyaan sederhana yang diajukan kepada dua kelompok: para mandor (eksekutor di lapangan) dan para kontraktor (manajer mereka). Pertanyaannya adalah: "Dari 30 kompetensi ini, mana yang paling penting untuk sukses?" Jawaban mereka, seperti yang akan kita lihat, seolah berasal dari dua planet yang berbeda.

Fokus Sang Eksekutor: "Beri Aku Gambar Kerja, Sisanya Aku Urus"

Bagi para mandor, dunia mereka berputar pada eksekusi. Ketika ditanya apa skill terpenting, jawaban nomor satu mereka sangat jelas: "Membaca dan memahami gambar kerja dengan teliti dan tepat". Bagi mereka, keunggulan adalah tentang presisi teknis. Mereka melihat diri mereka sebagai seorang craftsman, seorang seniman lapangan yang tugasnya adalah mengubah cetak biru (gambar kerja) menjadi kenyataan fisik tanpa cacat sedikit pun.  

Pola pikir ini diperkuat oleh dua prioritas utama mereka lainnya: "Memimpin para tukang dengan baik" dan "Memiliki cara komunikasi kerja yang baik dengan tenaga kerja". Semuanya berfokus ke dalam—pada tim internal, pada pelaksanaan tugas, pada kesempurnaan teknis sesuai instruksi yang diberikan. Dunia mereka adalah dunia bagaimana pekerjaan itu dilakukan.  

Pandangan Sang Manajer: "Pahami Gambaran Besarnya, Bukan Hanya Tugasmu"

Sekarang, mari kita beralih ke dunia kontraktor. Apa yang mereka anggap sebagai kompetensi nomor satu? Bukan kemampuan teknis membaca gambar. Prioritas utama mereka adalah "Memiliki pengetahuan tentang jenis dan lingkup pekerjaan".  

Ini adalah sebuah perbedaan yang fundamental. Kontraktor tidak hanya peduli bagaimana sebuah dinding dibangun, tetapi mengapa dinding itu dibangun di sana, apa batasannya, dan bagaimana pembangunan dinding itu memengaruhi jadwal keseluruhan proyek dan anggarannya. Mereka membutuhkan mandor yang memahami konteks, batasan proyek, tujuan komersial, dan bagaimana tugas-tugas individu saling terhubung. Ini adalah pola pikir seorang project manager.

Dunia mereka adalah dunia mengapa dan apa. Mereka sangat menghargai mandor yang "Konsisten dalam menjalankan prosedur pekerjaan yang telah ditentukan". Mengapa? Karena konsistensi dan pemahaman lingkup adalah tentang mitigasi risiko dan prediktabilitas—dua hal yang membuat seorang manajer bisa tidur nyenyak di malam hari.

Dan di sinilah letak bom waktunya. Ada satu kompetensi yang perbedaannya paling drastis: "Memiliki pengetahuan tentang keselamatan dan kesehatan kerja (K3)". Para mandor menempatkan skill ini di peringkat paling buncit, nomor 30 dari 30!. Bagi mereka, K3 mungkin terasa seperti birokrasi yang memperlambat pekerjaan. Namun, bagi kontraktor, K3 adalah prioritas 10 besar. Mengapa? Karena satu kecelakaan kerja bisa menghentikan seluruh proyek, menimbulkan kerugian miliaran, dan merusak reputasi perusahaan.  

Apa yang dianggap "gangguan" oleh eksekutor adalah "keharusan absolut" bagi manajer. Dan kesenjangan inilah yang seringkali membuat karier seseorang mandek.

Satu Lembar Kertas yang Mengubah Segalanya: Kekuatan Tersembunyi dari Sertifikasi

Jadi, kita punya dua dunia dengan prioritas yang berbeda. Apakah mereka ditakdirkan untuk tidak pernah bertemu? Ternyata tidak. Penelitian ini menemukan satu faktor yang secara dramatis mampu menjembatani kesenjangan tersebut: sertifikasi.

Awalnya saya pikir, "Ah, sertifikasi. Cuma selembar kertas, kan?" Tapi data dari studi ini menunjukkan sesuatu yang jauh lebih dalam. Kontraktor secara konsisten menilai mandor yang memiliki sertifikat kompetensi kerja jauh lebih tinggi dalam beberapa area krusial—area yang paling mereka hargai.

Apa yang Bikin Saya Terkejut: Data Bicara Lebih Keras dari Opini

Ketika para peneliti membandingkan mandor bersertifikat dengan yang tidak, perbedaannya sangat signifikan secara statistik. Ini bukan lagi soal opini, ini soal angka.

  • 🚀 Pengetahuan Strategis: Mandor bersertifikat dinilai jauh lebih unggul dalam memiliki pengetahuan tentang jenis dan lingkup pekerjaan dan pengetahuan tentang K3. Ini adalah dua skill yang paling dihargai kontraktor dan paling diremehkan mandor. Sertifikasi, tampaknya, "memaksa" mereka untuk melihat gambaran besar.  

  • 🧠 Pengawasan Presisi: Mereka juga dinilai signifikan lebih baik dalam mengawasi pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan metode kerja, spesifikasi teknis, dan jadwal kerja. Ini bukan lagi sekadar mengawasi, ini tentang mengawasi sesuai standar—bahasa yang dimengerti oleh manajemen.  

  • 🎯 Akurasi Terukur: Mereka terbukti lebih baik dalam mengukur dan menghitung hasil kerja tepat sesuai kenyataan. Ini menunjukkan keandalan, akuntabilitas, dan transparansi—tiga pilar kepercayaan antara manajer dan timnya.  

  • 💡 Mentor Tersembunyi: Dan ini yang paling membuat saya terkesima. Perbedaan paling dramatis dari semuanya ada pada indikator "memiliki keinginan untuk mengajar / mendorong orang lain dalam pekerjaannya". Mandor bersertifikat dinilai jauh, jauh lebih tinggi di sini. Ini adalah sebuah transformasi. Sertifikasi tidak hanya membuat mereka menjadi eksekutor yang lebih baik, tapi mengubah mereka dari seorang individual contributor menjadi seorang force multiplier—seseorang yang membangun kapasitas seluruh tim.  

Sertifikasi, ternyata, bukan hanya tentang belajar skill teknis baru. Ia tentang mengadopsi bahasa dan pola pikir manajemen. Ia mengajari para eksekutor untuk melihat pekerjaan mereka melalui kacamata manajer mereka.

Sebuah Kritik Halus dan Refleksi Pribadi

Meskipun temuan tentang sertifikasi ini luar biasa, saya tidak bisa tidak bertanya-tanya: apa kata para pekerja di bawah mandor? Studi ini dengan bijak menyarankan penelitian di masa depan harus menyertakan perspektif mereka. Apakah mandor bersertifikat yang dinilai "lebih baik" oleh kontraktor ini juga dirasakan sebagai pemimpin yang lebih baik oleh tim yang dipimpinnya setiap hari? Itu adalah kepingan puzzle yang hilang.  

Satu hal lagi yang menarik perhatian saya adalah temuan bahwa, pada beberapa aspek, kontraktor menilai kompetensi mandor lebih tinggi daripada penilaian mandor terhadap diri mereka sendiri. Ini mengingatkan saya pada imposter syndrome. Mungkin kita seringkali lebih kompeten dari yang kita kira, tapi kita tidak pernah tahu karena tidak ada yang memberi tahu kita, atau karena kita terlalu fokus pada kekurangan teknis kita sendiri dan lupa melihat dampak yang sudah kita hasilkan.  

Pelajaran untuk Kita Semua, Bahkan Jika Kamu Bukan Mandor Konstruksi

Oke, jadi apa artinya semua ini bagi kita yang tidak memakai helm proyek setiap hari? Artinya sangat besar. "Mandor" dan "kontraktor" hanyalah metafora untuk setiap hubungan karyawan-manajer.

Kamu mungkin seorang programmer (mandor) yang terobsesi pada keindahan dan efisiensi kode. Atasanmu adalah manajer produk (kontraktor) yang terobsesi pada jadwal rilis dan tingkat adopsi pengguna. Kamu fokus pada "gambar kerja" (spesifikasi teknis), dia fokus pada "lingkup pekerjaan" (kebutuhan pasar). Kesenjangan itu nyata, dan menjembataninya adalah kunci untuk akselerasi karier.

Dari studi ini, kita bisa menarik tiga pelajaran praktis:

  1. Bicaralah dalam Bahasa Manajermu. Lain kali saat kamu melaporkan progres, jangan hanya bilang, "Saya sudah menyelesaikan tugas A, B, dan C." Coba katakan, "Saya sudah menyelesaikan A, yang akan mengurangi risiko X. Saya juga sudah menyelesaikan B, yang akan membuat kita bisa rilis lebih cepat sesuai jadwal. Dan C akan membantu tim lain untuk bekerja lebih efisien." Alih-alih melaporkan aktivitas (dunia mandor), laporkan dampak (dunia kontraktor).

  2. Cari "Sertifikasi" Versimu. Ini tidak harus berupa sertifikat formal. Ini bisa berarti mengambil kursus online, menghadiri lokakarya, atau bahkan hanya membaca buku tentang manajemen proyek, strategi bisnis, atau keuangan di bidangmu. Tujuannya adalah untuk mendapatkan "pengetahuan tentang jenis dan lingkup pekerjaan" di luar tugas harianmu. Jika Anda ingin mengambil langkah nyata untuk menutup kesenjangan kompetensi ini, mengikuti kursus terstruktur bisa menjadi solusi. Platform seperti(https://diklatkerja.com) menawarkan berbagai program yang dirancang untuk meningkatkan skill manajerial dan teknis Anda, membantu Anda berbicara dalam bahasa yang sama dengan para pengambil keputusan.

  3. Jadilah "Mentor Tersembunyi". Ingat temuan paling mengejutkan tentang mandor bersertifikat? Mereka punya keinginan untuk mengajar. Mulailah secara proaktif berbagi pengetahuan dengan rekan timmu. Buat dokumentasi sederhana. Tawarkan bantuan pada anggota tim yang lebih junior. Ini tidak hanya membantu mereka, tetapi juga mengubah persepsi manajemen tentangmu—dari seorang eksekutor andal menjadi seorang calon pemimpin.

Selami Datanya Sendiri dan Kesimpulan Akhir

Pada akhirnya, keunggulan karier sejati terletak di persimpangan antara keahlian teknis (dunia mandor) dan pemahaman strategis (dunia kontraktor). Menjadi hebat dalam pekerjaanmu itu penting. Tapi memahami mengapa pekerjaanmu penting adalah hal yang akan benar-benar membedakanmu dari yang lain.

Studi tentang para mandor di Surabaya ini, bagi saya, adalah pengingat yang kuat bahwa terkadang wawasan paling berharga datang dari tempat yang paling tidak kita duga. Ia mengajarkan kita untuk sesekali mengangkat kepala dari "gambar kerja" kita dan mencoba melihat "lingkup proyek" yang lebih luas.

Kalau kamu tipe orang yang suka melihat angka di balik cerita, atau jika kamu bekerja di industri terkait dan ingin detail yang lebih dalam, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya. Ini adalah bacaan yang padat tapi sangat mencerahkan.

(https://doi.org/10.9744/petra.v20i1.0000)

Selengkapnya
Kenapa Kerja Keras Saja Tidak Cukup: Pelajaran Karier Tak Terduga dari Mandor Konstruksi

Manajemen Proyek Konstruksi

Membangun Perilaku Aman dalam Konstruksi: Pelajaran dari Studi Malaysia dan Implikasinya bagi Kebijakan Indonesia

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 15 Oktober 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan

Penelitian “Case Studies on the Current Safety Issue and Work Behaviour of Construction Site Workers in Malaysia” menegaskan bahwa sebagian besar kecelakaan di proyek konstruksi disebabkan bukan oleh kerusakan alat atau kegagalan struktur, melainkan perilaku tidak aman (unsafe behaviour) oleh para pekerja. Faktor seperti tekanan jadwal proyek yang ketat, pengawasan lapangan yang lemah, rendahnya kesadaran terhadap risiko, dan kecenderungan pekerja mengabaikan prosedur keselamatan demi efisiensi jangka pendek menjadi penyebab utama.

Temuan ini sangat krusial bagi Indonesia. Industri konstruksi di Indonesia menghadapi tantangan serupa: regulasi K3 tersedia, tetapi kecelakaan tetap tinggi. Oleh karena itu, kebijakan K3 tidak boleh hanya berfokus pada regulasi teknis atau penyediaan alat pelindung diri, melainkan harus menyasar pembentukan budaya keselamatan dan perilaku pekerja.

Sebagaimana dikemukakan dalam kursus Peran Keselamatan Konstruksi dalam Mewujudkan Konstruksi Berkelanjutan (AK3L), keselamatan konstruksi bukan hanya soal alat dan protokol, melainkan upaya integral untuk mencegah cedera dan kerugian melalui manajemen risiko yang sistematis. (sumber: diklatkerja.com)

Oleh karena itu, pembuat kebijakan perlu menggeser paradigma dari “hanya mengatur” menjadi “membangun perilaku aman di semua tingkat tenaga kerja”.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dampak Positif dari Perilaku Aman

Proyek-proyek yang berhasil membangun budaya keselamatan yang kuat mencatat penurunan kecelakaan hingga 50% dan peningkatan produktivitas hingga 20%. Pekerja yang dilatih untuk memahami risiko menjadi lebih disiplin dalam mematuhi prosedur K3, sehingga lost time injury (waktu terganggu kerja akibat kecelakaan) pun berkurang secara signifikan.

Hambatan di Lapangan

  • Kurangnya pelatihan berkelanjutan
    Banyak perusahaan hanya memberi pelatihan awal (toolbox talk) tanpa tindak lanjut atau refresh secara reguler.

  • Budaya kerja permisif
    Pekerja terkadang menganggap pelanggaran kecil (tidak memakai helm, memanjat tangga tanpa pengaman) sebagai hal biasa dan bukan risiko serius.

  • Kurangnya dukungan manajemen dan supervisi K3
    Supervisi K3 masih dianggap beban administratif, bukan prioritas. Padahal, proyek yang manajemennya mendukung K3 menunjukkan angka kecelakaan jauh lebih rendah.

  • Rendahnya adopsi digital safety monitoring
    Hanya sedikit perusahaan memanfaatkan sensor, IoT, atau dashboard untuk memantau kepatuhan APD dan bahaya lapangan. Namun, dalam artikel Digitalisasi Metode Konstruksi dalam Proyek Gedung Tinggi disebutkan bahwa transformasi digital menjadi keniscayaan agar efisiensi dan keamanan proyek meningkat. (sumber: diklatkerja.com)

Peluang yang Bisa Dimanfaatkan

  • Penerapan digitalisasi keselamatan real-time
    Penggunaan aplikasi mobile untuk pelaporan bahaya, sensor kehadiran APD, dan dashboard K3 dapat mempercepat deteksi dan koreksi bahaya.

  • Pelatihan berbasis simulasi / VR
    Dengan teknologi Virtual Reality atau simulasi 3D, pekerja bisa berlatih menghadapi skenario berisiko tanpa ancaman nyata.

  • Integrasi SMKK sebagai standar operasi di proyek
    Modul audit dan praktik SMKK di Diklatkerja dapat dijadikan standar minimal dalam pelaksanaan proyek. Contohnya kursus “Audit SMKK” memungkinkan pengawas dan manajer proyek untuk mengevaluasi penerapan SMKK secara sistematik. (sumber: diklatkerja.com)

  • Kampanye budaya keselamatan jangka panjang
    Melibatkan semua level — dari pekerja lapangan hingga manajemen — untuk membangun budaya yang menghargai keselamatan sebagai bagian dari identitas kerja.

Rekomendasi Kebijakan Praktis

Berdasarkan temuan dan kondisi di lapangan, berikut rekomendasi kebijakan praktis yang bisa diadopsi di Indonesia:

  1. Wajibkan pelatihan perilaku (behaviour-based safety training)
    Semua pekerja konstruksi harus mengikuti pelatihan yang menekankan komunikasi dua arah, studi kasus nyata, dan pembentukan kebiasaan aman.

  2. Perluas cakupan Sertifikasi K3 ke aspek perilaku
    Program seperti Sertifikasi Kompetensi Jasa Konstruksi perlu memasukkan modul perilaku dan psikologi keselamatan, tidak hanya kompetensi teknis.

  3. Audit digital dan pelaporan terbuka
    Pemerintah bisa membangun sistem nasional berbasis cloud untuk memantau status pelatihan, audit K3, dan insiden kecelakaan di proyek-proyek besar.

  4. Insentif & penghargaan bagi proyek berprestasi K3
    Misalnya Green Contractor Award, prioritas tender, atau potongan pajak bagi kontraktor dengan catatan keselamatan tinggi.

  5. Kampanye nasional “Zero Accident Culture”
    Menjadikan keselamatan bukan hanya kewajiban regulasi, tetapi nilai yang dijunjung tinggi dalam industri konstruksi, didukung asosiasi, media, dan lembaga pelatihan seperti Diklatkerja.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Meskipun rekomendasi terdengar kuat, ada potensi kegagalan yang harus diantisipasi:

  • Kepatuhan administratif semata
    Beberapa perusahaan bisa saja hanya “lapor ikut pelatihan” tanpa perubahan nyata perilaku kerja.

  • Ketimpangan digital antara perusahaan besar dan kecil
    Perusahaan kecil mungkin tidak mampu memakai teknologi canggih (VR, sensor APD) tanpa subsidi atau dukungan.

  • Kurangnya kapasitas pengawas K3 berkualitas
    Seperti dicatat dalam artikel Perspektif Manusia dalam Digitalisasi Keselamatan Konstruksi bahwa “sikap dan perilaku organisasi” sering menghambat adopsi teknologi keselamatan.

  • Tidak adanya evaluasi berbasis data jangka panjang
    Kebijakan tanpa tolok ukur (KPI) dan evaluasi efektif dalam 1–2 tahun akan kehilangan arah dan gagal mengubah budaya nyata.

Oleh karena itu, strategi kebijakan harus menyertakan capacity building, audit independen, dan sistem penghargaan-sanksi yang jelas agar kebijakan perilaku K3 bisa benar-benar berjalan.

Penutup

Studi IJAFB (2020) memberikan pelajaran penting bahwa inti keselamatan kerja bukan sekadar protokol atau alat, melainkan perilaku aman yang dibangun melalui pemahaman, budaya organisasi, dan dukungan struktural.

Indonesia, dengan kompleksitas proyek konstruksi dan kondisi lapangan yang beragam, perlu mengadopsi pendekatan yang lebih manusiawi dan sistemik dalam kebijakan K3.

Dengan memperkuat pelatihan perilaku, memperluas Sertifikasi K3, menerapkan audit digital, dan membangun budaya keselamatan serta memanfaatkan modul dan kursus dari lembaga seperti Diklatkerja visi Zero Accident Construction Industry dapat diusahakan dengan lebih realistik dan berkelanjutan.

Sumber

IJAFB (2020). Case Studies on the Current Safety Issue and Work Behaviour of Construction Site Workers in Malaysia.

Selengkapnya
Membangun Perilaku Aman dalam Konstruksi: Pelajaran dari Studi Malaysia dan Implikasinya bagi Kebijakan Indonesia

Manajemen Proyek

Membangun Konstruksi Inklusif: Pelajaran dari Studi DEI pada Industri Konstruksi

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 15 Oktober 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan

Studi mengenai inisiatif Diversity, Equity, and Inclusion (DEI) dalam industri konstruksi menyoroti bahwa sektor ini tradisionalnya sangat homogen dalam hal gender, latar belakang etnis, dan status pekerjaan (kontrak vs tetap). Intinya, perusahaan konstruksi yang mengabaikan keragaman berisiko kehilangan potensi bakat, mengalami konflik internal, dan gagal menciptakan lingkungan kerja yang adil.

Temuan ini sangat penting bagi kebijakan publik Indonesia. Di negara kita, sektor konstruksi masih didominasi laki-laki, pekerja dari latar pedesaan, dan pekerja dengan status informal. Tanpa kebijakan DEI, kelompok-kelompok rentan—seperti perempuan, penyandang disabilitas, atau pekerja migran—terus terpinggirkan. Kebijakan yang mendukung inklusi dapat memperkuat keadilan sosial dan produktivitas industri.

Beberapa kursus dan artikel sudah menyentuh tema terkait transformasi keterampilan dan inklusivitas. Misalnya artikel Mendorong Transformasi Skill Pekerja Konstruksi: Studi Kasus Data dan Solusi Inklusif untuk Pemberdayaan Perempuan menunjukkan bahwa pelatihan inklusif dapat membuka peluang kerja lebih luas bagi perempuan di sektor konstruksi.

Dengan demikian, kebijakan konstruksi di Indonesia harus memasukkan DEI sebagai elemen strategis bukan tambahan terutama dalam kebijakan rekrutmen, pelatihan, promosi, dan perlindungan pekerja.

Implementasi Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dampak Positif

Implementasi DEI dalam proyek konstruksi dapat memberikan berbagai manfaat nyata:

  • Diversitas ide dan inovasi: Tim yang terdiri dari latar belakang berbeda cenderung menghasilkan solusi kreatif untuk masalah proyek.

  • Ketersediaan tenaga kerja yang lebih luas: Dengan menarik kelompok yang selama ini terpinggirkan, perusahaan memperluas basis talenta mereka.

  • Reputasi dan citra positif: Proyek yang dikenal adil dan inklusif bisa lebih menarik investor, mitra lokal, dan dukungan masyarakat.

Hambatan di Lapangan

Namun, beberapa hambatan utama sering muncul:

  • Budaya lama dan stereotip gender/etnis: Industri konstruksi di banyak wilayah masih menganggap pekerjaan berat hanya untuk pria, atau pekerja nonlokal sebagai “cadangan”.

  • Kurangnya pelatihan inklusif: Materi pelatihan dan kurikulum sering tidak disesuaikan agar bisa diakses oleh semua—misalnya pekerja dengan latar pendidikan rendah, bahasa lokal, atau disabilitas.

  • Struktur hierarki yang kaku: Sistem promosi dan insentif sering berat sebelah kepada kelompok yang sudah dominan.

  • Keterbatasan kebijakan lokal: Beberapa daerah belum memiliki regulasi anti-diskriminasi atau perlindungan bagi kelompok rentan.

  • Resistensi dari manajer / pemilik: Beberapa pemimpin proyek mungkin merasa bahwa DEI “mengganggu efisiensi” atau “mengubah cara kerja keseharian”.

Peluang

Meski banyak hambatan, peluang untuk memperkuat DEI cukup besar:

  • Pelatihan inklusif dan modul adaptif: Pelatihan berbasis modul, visual, multimedia, dan pengaturan waktu yang fleksibel bisa menjangkau pekerja dengan latar berbeda.

  • Program afirmatif dan beasiswa untuk kelompok rentan: Pemerintah atau pengembang bisa memfasilitasi beasiswa, pelatihan gratis atau prioritas penempatan untuk perempuan atau penyandang disabilitas.

  • Regulasi lokal inklusif: Pemerintah daerah dapat mengadopsi kebijakan insentif bagi proyek yang memenuhi standar inklusi.

  • Kemitraan dengan lembaga sosial dan LSM: Untuk memfasilitasi perekrutan pekerja rentan, membantu pelatihan tambahan, dan monitoring implementasi.

  • Digitalisasi proses HR (rekrutmen dan pelatihan): Sistem penilaian dan pelatihan otomatis bisa meminimalkan bias manusia dalam seleksi dan promosi.

Rekomendasi Kebijakan Praktis

Berdasarkan hambatan dan peluang tersebut, berikut rekomendasi kebijakan yang bisa diterapkan di Indonesia:

  1. Kebijakan rekrutmen inklusif
    Semua proyek pemerintah wajib memiliki kuota atau sasaran untuk perekrutan pekerja perempuan, penyandang disabilitas, atau kelompok terpinggirkan. Rekrutmen harus publik dan transparan.

  2. Pelatihan DEI wajib untuk manajer & pengawas proyek
    Manajer proyek, kontraktor, dan pengawas harus mengikuti pelatihan inklusi agar memahami hambatan dan solusi dalam menjalankan kebijakan DEI.

  3. Modul pelatihan adaptif & multibahasa
    Lembaga seperti Diklatkerja harus menyediakan kursus yang dapat diakses dalam bahasa lokal, disertai konten visual/interaktif agar bisa dijangkau mereka dengan latar pendidikan rendah.

  4. Audit dan sertifikasi proyek inklusif
    Setiap proyek dapat disertifikasi “Proyek Inklusif” jika memenuhi indikator DEI (keberagaman tim, akses pelatihan, keseimbangan gaji, kebijakan anti-diskriminasi).

  5. Insentif / penalti berdasarkan performa inklusif
    Pemerintah bisa memberikan prioritas tender, insentif pajak, atau bonus bagi proyek yang mencapai target inklusi, dan memberikan sanksi administratif bila melanggar kebijakan nondiskriminasi.

  6. Kemitraan dengan institusi pendidikan & masyarakat
    Kerja sama antara politeknik, SMK, universitas, dan komunitas lokal untuk membuka jalur pendidikan dan perekrutan inklusif ke sektor konstruksi.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Beberapa potensi kegagalan yang perlu diantisipasi:

  • Lip service tanpa implementasi nyata
    Proyek bisa mencantumkan DEI di dokumen tapi tidak benar-benar melaksanakan rekrutmen atau pelatihan inklusif secara konsisten.

  • Pemaksaan kuota tanpa dukungan sumber daya
    Bila proyek tidak disertai pelatihan dan adaptasi, kuota bisa menjadi beban dan memicu konflik internal.

  • Bias tersembunyi dan resistensi bawah sadar
    Meski kebijakan formal diterapkan, bias individu (misalnya “pekerjaan keras = laki-laki”) tetap bisa memblokir kemajuan.

  • Keterbatasan anggaran
    Pelatihan tambahan, penyesuaian fasilitas, audit inklusif, dan insentif memerlukan dana — proyek kecil mungkin tidak mampu menanggungnya.

  • Kurangnya indikator terukur dan evaluasi jangka panjang
    Jika tidak ada tolok ukur inklusi (misalnya peningkatan jumlah pekerja perempuan, retensi, promosi), sulit menilai efektivitas kebijakan.

Penutup

Inisiatif DEI dalam perdagangan konstruksi bukan sekadar tren global—melainkan kebutuhan strategis untuk memastikan sektor konstruksi tumbuh adil, produktif, dan berkelanjutan. Kebijakan publik di Indonesia harus lebih dari sekadar retorika — harus diwarnai komitmen nyata dalam rekrutmen, pelatihan, pengawasan, dan evaluasi.

Sumber

Diversity, Equity, and Inclusion Initiatives in the Construction Trades (ICERES Study)

Selengkapnya
Membangun Konstruksi Inklusif: Pelajaran dari Studi DEI pada Industri Konstruksi

Masalah Proyek Kontruksi

Revolusi Aspal: Penelitian ITS Ungkap Cara Teknologi IoT dan Big Data Bisa Selamatkan Jalanan Indonesia – Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 15 Oktober 2025


Setiap hari, jutaan warga Indonesia merasakan denyut nadi bangsa di atas aspal. Perjalanan ke kantor, pengiriman logistik antar kota, hingga mudik lebaran, semuanya bergantung pada satu hal: kondisi jalan raya. Namun, di bawah roda kendaraan kita, sebuah krisis senyap tengah berlangsung. Jalan berlubang, permukaan bergelombang, dan tambalan yang tak kunjung awet bukan hanya soal ketidaknyamanan, melainkan gejala dari masalah sistemik yang menggerogoti anggaran negara dan menghambat laju pembangunan.

Kini, sebuah penelitian terobosan dari para ahli di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya menawarkan sebuah peta jalan keluar dari labirin masalah ini. Bukan dengan menambah anggaran atau menumpuk aspal, melainkan dengan sebuah revolusi digital. Menggabungkan kekuatan Internet of Things (IoT), Big Data, dan Data Mining, mereka merancang sebuah konsep sistem manajemen perkerasan jalan yang cerdas, prediktif, dan dirancang khusus untuk Indonesia. Ini adalah kisah tentang bagaimana data dapat mengubah aspal menjadi aset infrastruktur yang lebih pintar, aman, dan efisien.

 

Krisis Tak Terlihat di Bawah Roda Anda: Beban Finansial dan Anomali Data yang Melumpuhkan Infrastruktur Indonesia

Di balik setiap keluhan tentang jalan rusak, terdapat angka-angka finansial yang mencengangkan. Penelitian ini menyoroti data dari Direktorat Jenderal Bina Marga (DGH) yang menunjukkan bahwa anggaran untuk preservasi jalan dan jembatan terus membengkak. Dalam tiga tahun terakhir saja, biayanya mencapai lebih dari 20 miliar Rupiah per tahun, atau setara dengan 40% dari total anggaran DGH.1

Bayangkan skala ini: empat dari setiap sepuluh Rupiah yang dialokasikan untuk jalan nasional hanya digunakan untuk menambal kerusakan yang ada, bukan untuk membangun konektivitas baru atau meningkatkan kualitas secara fundamental. Ini adalah beban pemeliharaan masif yang secara efektif menghambat kemajuan infrastruktur nasional. Pertanyaannya, mengapa dana sebesar itu seolah menguap tanpa memberikan solusi permanen?

Para peneliti mengidentifikasi akar masalahnya bukan pada kekurangan material atau tenaga kerja, melainkan pada sebuah kelemahan fundamental dalam sistem: ketergantungan pada inspeksi visual manual.1 Metode tradisional ini memiliki kelemahan fatal:

  • Sangat Subjektif: Penilaian kondisi jalan sangat bergantung pada keahlian dan pengalaman individu inspektur, yang hasilnya bisa "bervariasi dari orang ke orang".1 Sebuah retakan yang dianggap "ringan" oleh satu orang bisa dinilai "parah" oleh orang lain, menciptakan inkonsistensi data.
  • Terbatas dan Lambat: Dengan jaringan jalan nasional yang begitu luas dan kompleks, serta sumber daya manusia yang terbatas, mustahil untuk melakukan inspeksi yang komprehensif dan tepat waktu secara manual.1
  • Menghasilkan "Anomali Data": Kombinasi dari subjektivitas dan keterbatasan ini menghasilkan apa yang disebut peneliti sebagai "anomali data fundamental".1 Ini adalah data yang tidak akurat, tidak lengkap, atau tidak dapat diandalkan, yang menjadi dasar bagi pengambilan keputusan strategis.

Rantai konsekuensinya sangat merugikan. Data yang buruk mengarah pada pengambilan keputusan yang tidak optimal oleh para pembuat kebijakan.1 Dua skenario pemborosan pun terjadi berulang kali. Pertama, jalan yang sudah rusak parah dan mendesak justru terlewat dari prioritas, menyebabkan kerusakan yang "semakin cepat" dan biaya perbaikan yang membengkak di kemudian hari.1 Kedua, jalan yang kondisinya masih relatif baik justru mendapat perawatan berulang kali, sebuah pemborosan sumber daya yang nyata di tengah keterbatasan anggaran.1

Ini membuktikan bahwa masalah pemeliharaan jalan di Indonesia bukanlah sekadar masalah teknis atau sipil, melainkan masalah informasi dan data. Krisis ini berakar pada ketidakmampuan sistem untuk "melihat" dan "memahami" kondisi infrastrukturnya sendiri secara akurat dan real-time. Sistem yang ada saat ini terjebak dalam siklus reaktif yang merugikan. Semakin lama berjalan, semakin besar beban fiskal yang ditimbulkannya, menciptakan sebuah "utang infrastruktur" tak terlihat yang terus bertambah dari tahun ke tahun.

 

Jawaban dari Masa Depan: Membedah Konsep "Pavement Management System" Cerdas

Menghadapi tantangan fundamental ini, penelitian dari ITS tidak menawarkan perbaikan kecil, melainkan sebuah lompatan paradigma: pergeseran dari mode operasi tradisional ke sebuah "Pavement Management System (PMS) yang cerdas dan otomatis".1 Ini bukan sekadar digitalisasi formulir inspeksi, melainkan sebuah revolusi dalam cara negara mengelola salah satu aset paling vitalnya.

Perbedaan utamanya terletak pada filosofi. Sistem tradisional bersifat reaktif, menunggu laporan kerusakan masuk baru kemudian bertindak. Sebaliknya, PMS Cerdas bersifat proaktif dan prediktif. Tujuannya adalah "menemukan kerusakan sejak dini, memperbaiki kerusakan, dan mempertahankan kondisi normal infrastruktur jalan".1 Analogi sederhananya, ini seperti beralih dari praktik pengobatan di unit gawat darurat menuju program pemeriksaan kesehatan rutin yang mampu mencegah penyakit sebelum menjadi parah.

Fondasi dari sistem canggih ini ditopang oleh tiga pilar teknologi modern:

  • Internet of Things (IoT): Berperan sebagai "mata dan telinga" digital di lapangan. Sensor-sensor canggih yang terpasang pada kendaraan survei akan mengumpulkan data kondisi jalan secara nonstop dan real-time.
  • Big Data: Berfungsi sebagai "perpustakaan raksasa" yang mampu menyimpan, mengelola, dan memproses volume data dari seluruh penjuru negeri—sebuah skala yang mustahil ditangani oleh sistem konvensional.
  • Data Mining (DM): Bertindak sebagai "otak analitis" dari keseluruhan sistem. Algoritma cerdas akan menyisir tumpukan data mentah untuk menemukan pola, tren, anomali, dan yang terpenting, membuat prediksi kerusakan di masa depan.1

Konsep yang diusulkan ini, yang disebut "Modern-Integration Concept", membagi sistem menjadi empat sub-sistem utama yang bekerja secara harmonis untuk menciptakan alur kerja yang mulus dari deteksi hingga eksekusi 1:

  1. Smart-Inspection: Otomatisasi penuh proses survei dan pengumpulan data di lapangan.
  2. Smart-Solution: Analisis data mendalam untuk menghasilkan rekomendasi solusi pemeliharaan yang paling efektif dan efisien.
  3. Smart-Automation Tools: Pemanfaatan alat-alat cerdas dalam implementasi perbaikan di lapangan.
  4. Smart-Emergency Response: Sistem respons cepat dan terkoordinasi untuk menangani kerusakan darurat yang membahayakan pengguna jalan.

Secara esensial, konsep PMS Cerdas ini adalah sebuah proposal untuk menerapkan model "tata kelola berbasis algoritma" pada sektor infrastruktur. Proses pengambilan keputusan yang sebelumnya berada di ranah subjektivitas manusia kini digeser ke objektivitas analisis mesin. Keputusan tentang "jalan mana yang lebih mendesak untuk diperbaiki" 1 tidak lagi didasarkan pada laporan anekdotal atau lobi, melainkan pada skor prioritas yang dihitung secara matematis berdasarkan data objektif. Ini adalah pergeseran filosofis menuju manajemen berbasis bukti kuantitatif yang berpotensi meningkatkan transparansi dan akuntabilitas secara drastis.

 

Mata Digital di Jalan Raya: Bagaimana IoT dan Sensor 3D Bekerja

Bagaimana sistem ini "melihat" kondisi jalan dengan presisi yang mustahil dicapai mata manusia? Jawabannya terletak pada modul pertama alur kerja: Survei dan Pemodelan 3D.1 Ujung tombak dari proses ini adalah "Smart Survey-Vehicle" atau kendaraan survei cerdas. Kendaraan ini, yang menurut para peneliti dapat dikembangkan dari platform yang sudah ada di Indonesia seperti mobil Hawkeye, akan menjadi pengganti tim inspektur manusia.1

Di dalam kendaraan ini tersemat serangkaian teknologi canggih yang bekerja serempak:

  • Kamera Super HD: Menangkap citra permukaan jalan dengan resolusi sangat tinggi, mampu mendeteksi retakan rambut yang sering luput dari pandangan.
  • Teknologi Laser Point Cloud 3D: Inilah jantung dari sistem deteksi. Teknologi ini memindai permukaan jalan dengan jutaan titik laser per detik untuk menciptakan model digital tiga dimensi yang luar biasa presisi. Ini seperti membuat "sidik jari digital" untuk setiap meter jalan raya, mencatat setiap retakan, lubang, dan penurunan permukaan dengan akurasi hingga level milimeter.1
  • Sensor Pendukung: Dilengkapi dengan GPS untuk data lokasi yang akurat, encoder untuk pengukuran jarak yang presisi, dan sensor-sensor relevan lainnya untuk data yang komprehensif.1

Data dari berbagai sensor ini kemudian diintegrasikan untuk menciptakan sebuah model 3D jalan yang dinamis dan visual.1 Ini bukan lagi sekadar peta statis, melainkan sebuah replika virtual yang hidup dari kondisi jalan fisik, atau yang dalam dunia teknologi dikenal sebagai "digital twin".

Pendekatan ini secara fundamental mengubah definisi "data kondisi jalan". Data bukan lagi sekadar angka indeks tunggal dalam spreadsheet (seperti nilai IRI atau PCI), melainkan representasi spasial yang kaya dan multidimensional. Dari "awan titik" data 3D ini, berbagai jenis informasi dapat diekstraksi—bukan hanya satu indeks. Sistem dapat menghitung volume lubang secara akurat untuk estimasi material tambalan, mengukur kedalaman alur bekas roda (rutting) untuk menganalisis risiko genangan air (aquaplaning), atau bahkan menganalisis tekstur permukaan untuk memprediksi tingkat kekesatan (skid resistance).

Semua informasi ini disajikan melalui sebuah "platform visualisasi", yang dapat dibayangkan sebagai "Google Maps super" untuk para manajer infrastruktur.1 Melalui dasbor ini, pengambil keputusan dapat mengklik segmen jalan mana pun di Indonesia dan secara instan melihat model 3D-nya, riwayat inspeksi, jenis kerusakan yang terkuantifikasi, dan parameter relevan lainnya secara real-time. Ini memberikan tingkat pengawasan dan pemahaman yang belum pernah ada sebelumnya.

 

Dari Tumpukan Data Menjadi Strategi Jitu: Keajaiban Analisis Big Data dan Data Mining

Setelah berhasil mengumpulkan data dengan volume dan detail yang luar biasa, tantangan berikutnya muncul: bagaimana mengubah "tsunami data" ini menjadi wawasan yang dapat ditindaklanjuti? Di sinilah peran Modul Analisis Data dan keajaiban Data Mining (DM) menjadi pusat perhatian. Data Mining adalah proses "mengekstrak informasi yang tersembunyi" dari kumpulan data raksasa, menggunakan kombinasi teknik statistik, matematika, dan kecerdasan buatan (AI) untuk menemukan pola yang tidak terlihat oleh analisis konvensional.1

Alur kerja analisis dalam PMS Cerdas ini berjalan secara otomatis dan sistematis:

  1. Klasifikasi Kerusakan Otomatis: Algoritma pengenalan gambar (image recognition) akan memproses model 3D dan secara otomatis mengidentifikasi serta mengklasifikasikan setiap jenis kerusakan—apakah itu retak buaya, lubang, atau depresi—sesuai dengan standar yang berlaku di Indonesia. Proses ini sepenuhnya menghilangkan unsur subjektivitas manusia.1
  2. Evaluasi Kondisi Jalan Kuantitatif: Berdasarkan data kerusakan yang telah terklasifikasi, sistem akan secara otomatis menghitung indeks-indeks kinerja jalan yang sudah dikenal luas, seperti Surface Distress Index (SDI), International Roughness Index (IRI), dan Pavement Condition Index (PCI).1 Setiap ruas jalan akan memiliki skor kesehatan yang objektif dan terukur.
  3. Analisis Kebutuhan dan Prioritas Pemeliharaan: Inilah langkah krusial. Dengan membandingkan skor kondisi jalan di seluruh jaringan nasional, sistem dapat menyusun daftar prioritas penanganan. Algoritma akan menentukan ruas jalan mana yang memerlukan tindakan paling mendesak, memastikan sumber daya yang terbatas dialokasikan ke titik yang paling kritis dan memberikan dampak terbesar.1

Namun, kekuatan sejati dari sistem ini terletak pada kemampuannya untuk melihat ke masa depan. Dengan memanfaatkan teknik seperti "Time Series Analysis" (Analisis Runtun Waktu), sistem dapat mempelajari data historis untuk "mengetahui tren dan aturan yang terjadi pada gangguan dan kerusakan jalan".1

Bayangkan kemampuannya: dengan menganalisis data kerusakan dari ribuan ruas jalan selama bertahun-tahun, sistem dapat belajar dan membuat prediksi. Misalnya, ia bisa menemukan pola bahwa jenis retakan tertentu di lokasi dengan curah hujan tinggi dan volume lalu lintas berat memiliki probabilitas 85% untuk berkembang menjadi lubang berbahaya dalam waktu enam bulan. Berbekal prediksi ini, DGH dapat mengirim tim untuk melakukan penambalan preventif pada retakan kecil hari ini, sebuah tindakan yang jauh lebih cepat dan murah daripada harus memperbaiki lubang besar enam bulan dari sekarang.

Seiring berjalannya waktu, sistem ini akan menciptakan sebuah lingkaran umpan balik (feedback loop) yang terus belajar. Setiap kali sebuah tindakan pemeliharaan dilakukan, hasilnya akan dimasukkan kembali ke dalam sistem. Algoritma kemudian dapat membandingkan prediksinya dengan hasil di dunia nyata, dan secara otomatis menyesuaikan modelnya untuk menjadi lebih akurat di masa depan. Sistem ini tidak statis; ia berevolusi dan menjadi semakin pintar.

 

Mengapa Ini Bukan Sekadar Teknologi? Menjembatani Kesenjangan Implementasi

Para peneliti di balik konsep ini menunjukkan kedewasaan dan realisme dengan secara jujur mengakui sebuah tantangan besar: "sampai sekarang masih ada kesenjangan antara penelitian dan implementasi aktual".1 Banyak ide teknologi canggih di dunia yang gagal bukan karena teknologinya buruk, tetapi karena tidak ada jembatan yang kokoh untuk menghubungkannya dengan realitas kebijakan, birokrasi, dan praktik di lapangan.

Di sinilah letak kontribusi paling signifikan dari penelitian ini. Ia tidak hanya memamerkan kecanggihan teknologi, tetapi juga menyajikan sebuah blueprint strategis yang dirancang khusus untuk konteks Indonesia.1 Para peneliti secara eksplisit menyatakan bahwa masalah utama selama ini adalah "belum adanya konsep yang menghubungkan teknik AI dan IoT dengan PMS yang disesuaikan dengan kebijakan otoritas di Indonesia".1 Konsep yang mereka tawarkan adalah jawaban langsung untuk mengisi kekosongan tersebut.

Salah satu pilar penting dalam blueprint ini adalah penekanan pada Analisis Biaya Siklus Hidup atau Life-Cycle Cost Analysis (LCCA).1 Ini adalah alat pengambilan keputusan ekonomi yang krusial. LCCA mengajarkan untuk tidak hanya melihat biaya konstruksi awal yang murah, tetapi menghitung semua biaya yang akan timbul selama umur rencana jalan tersebut—termasuk biaya pemeliharaan rutin, rehabilitasi berkala, dan bahkan biaya yang ditanggung pengguna jalan akibat gangguan lalu lintas. Seringkali, opsi dengan biaya awal terendah justru menjadi yang paling mahal dalam jangka panjang.1 PMS Cerdas menyediakan data akurat yang dibutuhkan untuk membuat keputusan yang bijaksana secara fiskal untuk puluhan tahun ke depan.

Namun, tantangan implementasi terbesar mungkin bukanlah soal teknis atau finansial, melainkan organisasional dan kultural. Adopsi sistem ini menuntut perubahan signifikan dalam keterampilan dan budaya kerja di lembaga-lembaga terkait. Peran "inspektur lapangan" akan bergeser dari pengamat visual menjadi operator teknologi dan analis data. Manajer dan pembuat kebijakan perlu menjadi lebih "melek data" (data-literate), mampu memahami dan bahkan menantang output dari model AI. Keberhasilan jangka panjang akan sangat bergantung pada program pelatihan, pengembangan kapasitas, dan kemauan untuk beradaptasi dengan cara kerja yang baru dan berbasis data.

 

Dampak Nyata: Visi Infrastruktur Indonesia Lima Tahun ke Depan

Jika berhasil diimplementasikan, konsep PMS Cerdas ini bukan hanya akan mengubah cara kita menambal jalan, tetapi juga berpotensi mentransformasi lanskap infrastruktur dan ekonomi Indonesia. Para peneliti menyimpulkan beberapa keunggulan utama dari sistem yang mereka rancang 1:

  • Deteksi kerusakan otomatis dengan presisi tinggi.
  • Kuantifikasi jenis dan tingkat kerusakan berbasis data 3D yang objektif.
  • Ekstraksi informasi berkelanjutan dari data menggunakan algoritma cerdas yang terus disempurnakan.
  • Kemampuan untuk sinkronisasi dan kolaborasi dengan sistem infrastruktur lain seperti sistem lalu lintas cerdas.
  • Menawarkan sebuah sistem standar untuk memprediksi tren kerusakan dan merencanakan kebutuhan pemeliharaan.

Dalam jangka waktu lima hingga sepuluh tahun, dampaknya bisa sangat signifikan. Anggaran pemeliharaan yang saat ini mencapai 40% dapat ditekan secara drastis, membebaskan dana miliaran Rupiah yang bisa dialihkan untuk pembangunan infrastruktur baru. Jalanan yang lebih aman dan nyaman akan mengurangi angka kecelakaan dan meningkatkan kualitas hidup. Jaringan logistik nasional yang lebih andal akan menurunkan biaya transportasi barang, membuat produk-produk Indonesia lebih kompetitif di pasar.

Pada akhirnya, konsep yang lahir dari para pemikir di ITS ini lebih dari sekadar sebuah makalah akademis. Ini adalah peta jalan yang praktis dan dapat dicapai untuk mentransformasikan salah satu aset paling vital bangsa. Sebagaimana disimpulkan dalam penelitian, "PMS harus mulai menerapkan teknologi inovatif dan fokus pada digitalisasi infrastruktur, jaringan, intelijen, dan pengembangan terpadu peralatan dan fasilitas".1 Inilah langkah pertama untuk memastikan infrastruktur Indonesia tidak hanya menyambungkan kota, tetapi juga siap menyongsong tantangan masa depan.

 

Sumber Artikel:

https://doi.org/10.1051/e3sconf/202451701001

Selengkapnya
Revolusi Aspal: Penelitian ITS Ungkap Cara Teknologi IoT dan Big Data Bisa Selamatkan Jalanan Indonesia – Ini yang Harus Anda Ketahui!

Jalan di Indonesia

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Inspeksi Jalan Cerdas – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 15 Oktober 2025


Di tengah deru lalu lintas jalan tol yang tak pernah berhenti, seorang insinyur berdiri di bahu jalan, mencatat setiap retakan, lubang, dan deformasi aspal dengan saksama. Pekerjaan ini, meski krusial untuk keselamatan jutaan pengendara, adalah sebuah pertaruhan. Setiap detik, ia berhadapan dengan risiko terserempet kendaraan yang melaju kencang. Metode ini, yang telah menjadi tulang punggung pemeliharaan jalan selama puluhan tahun, ternyata menyimpan kelemahan yang fundamental.

Sebuah tim peneliti internasional baru-baru ini mempublikasikan sebuah studi terobosan yang menantang status quo ini. Mereka mengembangkan sebuah sistem cerdas yang mampu "mendengarkan" kondisi kesehatan jalan dari dalam, tanpa perlu menempatkan satu orang pun dalam bahaya. Dengan memanfaatkan data getaran dan kecerdasan buatan (AI), metode ini tidak hanya menjanjikan inspeksi yang lebih aman, tetapi juga jauh lebih akurat dan efisien. Temuan ini bisa menjadi awal dari sebuah revolusi dalam cara kita merawat arteri vital perekonomian bangsa: jalan raya.

 

Di Tepi Jalan Raya yang Sibuk: Risiko Tersembunyi di Balik Inspeksi Jalan Tradisional

Untuk memahami betapa pentingnya inovasi ini, kita perlu melihat lebih dekat betapa rumit dan berbahayanya proses inspeksi jalan konvensional. Selama ini, otoritas jalan raya di seluruh dunia, termasuk di Iran di mana studi ini dilakukan, bergantung pada metode visual untuk menghitung Pavement Condition Index (PCI).1 PCI adalah skor numerik dari 0 hingga 100 yang merepresentasikan kondisi fungsional dan integritas struktural sebuah ruas jalan. Skor 100 berarti sempurna, sementara skor di bawah 10 menunjukkan jalan yang gagal total dan berbahaya.1

Proses untuk mendapatkan skor ini secara tradisional sangat bergantung pada manusia. Insinyur harus secara fisik memeriksa setiap segmen jalan, mengidentifikasi jenis kerusakan, mengukur tingkat keparahan, dan mencatat kuantitasnya. Para peneliti dalam studi ini melabeli proses tersebut dengan serangkaian kata yang gamblang: "memakan waktu, subjektif, berbahaya, membosankan, padat karya, dan sangat mahal".1

Rangkaian masalah ini saling terkait dan menciptakan efek domino yang merugikan. Sifatnya yang "padat karya" dan "memakan waktu" secara langsung membuatnya "sangat mahal". Faktor "berbahaya" menambah lapisan biaya lain melalui premi asuransi dan protokol keselamatan yang ketat. Namun, masalah yang paling mengkhawatirkan mungkin adalah sifatnya yang "subjektif". Dua inspektur yang berbeda, dengan pengalaman dan tingkat kelelahan yang berbeda, bisa memberikan skor PCI yang berbeda untuk ruas jalan yang sama. Inkonsistensi ini, atau yang disebut peneliti sebagai "potensi kesalahan manusia", dapat merusak seluruh fondasi sistem manajemen perkerasan jalan.1

Dampaknya sangat nyata. Kesalahan dalam penilaian PCI dapat menyebabkan keputusan pemeliharaan yang keliru. Sebuah jalan yang sebenarnya mengalami "Kerusakan Berat" (kerusakan >15%) dan membutuhkan "Rekonstruksi" total mungkin salah diklasifikasikan sebagai "Kerusakan Ringan" (kerusakan 11-15%) yang hanya menerima "Rehabilitasi Mayor".1 Kesalahan seperti ini tidak hanya membuang-buang anggaran publik yang terbatas, tetapi juga menunda penanganan yang semestinya dan pada akhirnya membahayakan keselamatan pengguna jalan.

 

Revolusi Senyap di Bawah Aspal: Ketika Getaran Mengungkapkan Apa yang Tak Terlihat Mata

Menghadapi tantangan sistemik ini, para peneliti mengajukan sebuah ide yang radikal. Bagaimana jika kita bisa menilai kondisi permukaan jalan tanpa harus melihatnya sama sekali? Bagaimana jika kita bisa mendiagnosis "kesehatan" jalan dengan cara yang sama seperti dokter mendengarkan detak jantung pasien untuk memahami kondisi tubuh secara keseluruhan?

Inilah inti dari inovasi mereka: menggunakan data dari tes Falling Weight Deflectometer (FWD) untuk memprediksi skor PCI.1 FWD adalah sebuah perangkat non-destruktif yang sudah umum digunakan oleh insinyur sipil. Cara kerjanya adalah dengan menjatuhkan beban berat ke permukaan jalan untuk mensimulasikan tekanan dari roda kendaraan yang lewat. Serangkaian sensor super-sensitif kemudian mengukur bagaimana permukaan aspal melendut atau berdefleksi sebagai respons terhadap tumbukan tersebut.1

Secara tradisional, data FWD digunakan untuk mengevaluasi kapasitas struktural jalan—kekuatan lapisan fondasi yang tersembunyi di bawah aspal. Data ini membantu insinyur menentukan sisa umur layanan jalan atau ketebalan lapisan aspal baru yang dibutuhkan.1 Di sisi lain, PCI adalah indeks kondisi fungsional permukaan. Keduanya selama ini dianggap sebagai dua dunia yang terpisah dalam manajemen perkerasan.

Studi ini dengan brilian menjembatani kedua dunia tersebut. Para peneliti berhipotesis bahwa kesehatan struktural internal sebuah jalan pasti akan termanifestasi dalam bentuk-bentuk halus di permukaannya. Jalan yang fondasinya kuat akan merespons tekanan secara berbeda dari jalan yang strukturnya sudah mulai rapuh. Mereka menyadari adanya "kelangkaan penelitian" yang menghubungkan data defleksi FWD secara langsung dengan indeks PCI, yang menyoroti kebaruan dan orisinalitas pendekatan mereka.1

Dengan kata lain, FWD tidak hanya mengukur kekuatan, tetapi juga merekam "denyut nadi" jalan. AI kemudian bertindak sebagai "penerjemah" ahli yang mengubah bahasa getaran dan lendutan struktural ini menjadi skor PCI yang mudah dipahami. Hal ini menciptakan sinergi yang luar biasa. Otoritas jalan raya yang sudah rutin melakukan tes FWD untuk perencanaan jangka panjang kini bisa mendapatkan data operasional jangka pendek (PCI) secara bersamaan, tanpa biaya tambahan, tanpa risiko keselamatan, dan tanpa subjektivitas manusia. Ini adalah sebuah lompatan efisiensi, terutama bagi negara atau lembaga dengan anggaran terbatas yang tidak mampu membeli teknologi inspeksi canggih lainnya seperti pemindaian laser 3D.1

 

Membedah Otak Digital: Bagaimana Mesin Belajar Membaca 'Denyut Nadi' Jalanan

Untuk mewujudkan ide ini, para peneliti melakukan eksperimen di dunia nyata. Mereka memilih 236 segmen jalan di sepanjang jalan tol Teheran-Qom di Iran sebagai laboratorium mereka.1 Di setiap segmen, mereka melakukan dua hal: pertama, menghitung PCI secara tradisional melalui inspeksi visual. Kedua, mereka melakukan tes FWD.

Tes FWD menghasilkan tujuh titik data untuk setiap segmen: lendutan yang diukur oleh tujuh sensor (geofon) yang ditempatkan pada jarak berbeda dari pusat tumbukan, yaitu di 0 cm, 20 cm, 40 cm, 60 cm, 90 cm, 120 cm, dan 150 cm.1 Tujuh angka inilah yang menjadi "input" bagi otak digital mereka. "Output"-nya adalah prediksi skor PCI.

Para peneliti tidak hanya menggunakan satu model AI, melainkan mengadu beberapa pendekatan berbeda untuk menemukan yang terbaik. Mereka menggunakan dua jenis jaringan saraf utama, Multi-Layer Perceptron (MLP) dan Radial Basis Function (RBF), yang masing-masing dioptimalkan dengan algoritma yang berbeda.1 Namun, terobosan sesungguhnya datang dari sebuah pendekatan yang lebih canggih: Committee Machine Intelligent Systems (CMIS).1

Bayangkan CMIS sebagai sebuah dewan direksi yang terdiri dari para ahli AI. Alih-alih hanya mengandalkan pendapat satu ahli, dewan ini mendengarkan masukan dari keempat model (MLP-LM, MLP-SCG, RBF-GA, dan RBF-ICA) dan menggabungkannya untuk menghasilkan keputusan akhir yang lebih bijaksana. Namun, ini bukan sekadar pemungutan suara atau pengambilan rata-rata sederhana. CMIS secara cerdas memberikan "bobot" pada setiap pendapat berdasarkan seberapa akurat ahli tersebut.

Sebuah detail menarik terungkap dalam hasil pembobotan ini. Model MLP-LM diberi bobot 0, sementara model MLP-SCG menerima bobot tertinggi sebesar 0.657.1 Ini adalah momen yang menakjubkan. Secara efektif, dewan AI ini menyimpulkan bahwa masukan dari salah satu anggotanya (MLP-LM) tidak memberikan nilai tambah, bahkan mungkin menambah "kebisingan" pada prediksi. Jadi, dewan tersebut memutuskan untuk sepenuhnya mengabaikan pendapatnya. Ini menunjukkan tingkat evaluasi kritis otomatis yang jauh melampaui penggabungan model sederhana; ini adalah mesin yang belajar untuk mengetahui siapa yang harus didengarkan.

Analisis AI juga mengungkap sebuah wawasan fisika yang mengejutkan. Ternyata, parameter yang memiliki pengaruh positif paling tinggi terhadap skor PCI adalah lendutan yang diukur oleh sensor terjauh, yaitu D7 pada jarak 150 cm dari pusat tumbukan.1 Ini terasa berlawanan dengan intuisi. Mengapa getaran kecil yang jauh lebih informatif daripada lendutan besar tepat di bawah beban? Jawabannya terletak pada pemahaman holistik tentang kesehatan jalan. Jalan yang sehat dan terintegrasi dengan baik akan bertindak seperti lempengan kokoh yang menyebarkan energi tumbukan ke area yang luas. Oleh karena itu, lendutan yang terukur bahkan pada jarak 1.5 meter menunjukkan bahwa struktur jalan secara kohesif mentransfer energi. Sebaliknya, jalan yang retak parah (PCI rendah) akan menyerap dampak secara lokal, dengan retakan berfungsi sebagai peredam yang mencegah energi merambat jauh. AI, hanya dengan melihat data, berhasil menemukan prinsip fisika yang fundamental ini.

 

Kontes Para Algoritma di Jalan Tol Teheran-Qom: Siapa Pemenangnya?

Setelah semua model dilatih dan diuji menggunakan data dari 236 segmen jalan, hasilnya sangat jelas. Model CMIS keluar sebagai juara tak terbantahkan, mengungguli semua model individu di setiap metrik evaluasi.1

Untuk mengukur kinerja, para peneliti menggunakan empat kriteria statistik, termasuk Average Absolute Percent Relative Error (AAPRE) dan Root Mean Square Error (RMSE).1 Mari kita terjemahkan angka-angka ini ke dalam bahasa yang lebih mudah dipahami. Skor AAPRE untuk CMIS adalah 11.67%, dengan RMSE 12.00.1 Bayangkan jika kondisi jalan dinilai pada skala 0 hingga 100. Ini berarti, secara rata-rata, prediksi model CMIS hanya meleset sekitar 11 hingga 12 poin dari skor sebenarnya yang diukur secara manual. Ini adalah tingkat akurasi yang sangat tinggi, layaknya seorang juri ahli yang tebakannya hampir selalu mendekati nilai sempurna, jauh lebih presisi dibandingkan para juniornya yang bekerja sendirian.

Bukti visualnya bahkan lebih meyakinkan. Ketika para peneliti memetakan hasil prediksi terhadap nilai observasi aktual, data untuk model CMIS membentuk gugusan titik yang rapat dan rapi di sekitar garis diagonal ideal, di mana prediksi sama persis dengan kenyataan. Sebaliknya, prediksi dari model-model lain tampak lebih tersebar dan acak.1 Ini adalah gambaran visual dari presisi dan keandalan yang superior. Model CMIS tidak hanya akurat secara rata-rata, tetapi juga konsisten di berbagai kondisi jalan. Kurva kesalahan relatif juga menunjukkan bahwa sebagian besar prediksi CMIS memiliki tingkat kesalahan di bawah 33%, sebuah margin yang jauh lebih baik dibandingkan para pesaingnya.1

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia (dan Penting bagi Dompet Anda)?

Hasil penelitian ini lebih dari sekadar pencapaian akademis; ia menawarkan peta jalan menuju sistem pemeliharaan infrastruktur yang lebih cerdas, lebih aman, dan lebih hemat. Implikasinya bagi pemerintah, pekerja, dan masyarakat umum sangatlah besar.

  • Peningkatan Keselamatan Drastis: Manfaat yang paling langsung dan tak ternilai adalah eliminasi total kebutuhan inspeksi visual di lapangan. Petugas tidak lagi harus mempertaruhkan nyawa berjalan di bahu jalan tol yang sibuk. Pekerjaan berisiko tinggi ini dapat diubah menjadi analisis data yang aman di dalam kantor, secara efektif mencegah potensi kecelakaan fatal.1
  • Akurasi Data yang Objektif: Dengan menghilangkan faktor manusia yang subjektif, keputusan perbaikan jalan akan didasarkan pada data mesin yang dingin, keras, dan konsisten. Setiap ruas jalan akan dievaluasi dengan standar yang sama persis setiap saat. Hal ini memastikan bahwa dana publik yang berharga dialokasikan ke ruas jalan yang paling kritis secara adil dan efisien, bukan berdasarkan interpretasi yang bisa bervariasi.1
  • Efisiensi Anggaran yang Signifikan: Metode ini memungkinkan otoritas jalan raya untuk menggabungkan dua tugas penting—evaluasi struktural jangka panjang dan penilaian kondisi permukaan jangka pendek—menjadi satu kegiatan tunggal. Ini ibarat seorang pasien yang bisa mendapatkan hasil medical check-up lengkap dan tes darah hanya dari satu kali kunjungan ke dokter. Dengan "tumpang tindih dalam kegiatan pemeliharaan" ini, pemerintah dapat memangkas biaya operasional, waktu, dan tenaga kerja secara dramatis, menghemat uang pembayar pajak.1

 

Sebuah Langkah Maju, Bukan Lompatan Raksasa: Kritik Realistis dan Arah Masa Depan

Meskipun hasilnya sangat menjanjikan, para peneliti sendiri bersikap realistis dan mengakui bahwa ini adalah langkah pertama dalam sebuah perjalanan panjang. Mereka menyoroti beberapa keterbatasan dan mengusulkan arah untuk penelitian di masa depan, menunjukkan integritas ilmiah yang tinggi.

Kritik yang paling utama adalah bahwa model AI ini dilatih secara eksklusif menggunakan data dari satu koridor jalan tol, yaitu Teheran-Qom di Iran.1 Kinerjanya mungkin perlu dikalibrasi ulang untuk bisa diterapkan di lokasi dengan karakteristik yang berbeda. Misalnya, bagaimana model ini akan berkinerja di bawah iklim tropis Indonesia yang curah hujannya tinggi, atau di bawah beban lalu lintas ekstrem di jalur Pantura Jawa? Ini adalah sebuah bukti konsep yang luar biasa, tetapi belum menjadi solusi universal yang siap pakai.

Oleh karena itu, para peneliti menyarankan untuk memperkuat model di masa depan dengan memasukkan dataset yang lebih beragam, mencakup lebih banyak segmen jalan dengan "berbagai karakteristik cuaca dan lalu lintas".1 Mereka juga membayangkan sistem yang lebih komprehensif yang tidak hanya mengandalkan data FWD, tetapi juga menggabungkannya dengan informasi dari tes non-destruktif lain seperti Ground Penetrating Radar (GPR) yang bisa "melihat" ke dalam lapisan bawah aspal.1

Visi jangka panjangnya adalah menuju otomatisasi yang lebih mulus. Setelah model terbukti andal, tes FWD yang stasioner dapat digantikan oleh teknologi yang lebih baru seperti Traffic Speed Deflectometer (TSD), perangkat yang dapat mengumpulkan data lendutan sambil bergerak dengan kecepatan lalu lintas normal. Ini akan meminimalkan gangguan pada arus lalu lintas dan memungkinkan pengumpulan data yang jauh lebih cepat dan efisien.1

 

Kesimpulan: Dampak Nyata untuk Infrastruktur Lima Tahun ke Depan

Temuan dari penelitian ini bukanlah sekadar wacana akademis yang akan berakhir di perpustakaan. Ini adalah cetak biru untuk sebuah perubahan nyata dalam manajemen aset publik yang paling vital. Potensi dampaknya dalam jangka menengah sangatlah besar.

Jika diterapkan secara luas oleh kementerian terkait dan otoritas jalan raya, metode inspeksi cerdas ini berpotensi memangkas biaya tahunan pemeliharaan jalan nasional secara signifikan dalam waktu lima tahun ke depan. Dana yang berhasil dihemat dapat dialihkan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur baru atau meningkatkan kualitas jalan di daerah-daerah terpencil. Lebih penting lagi, ini akan mempercepat siklus identifikasi-perbaikan, memastikan jalan-jalan yang lebih aman dan lebih lancar bagi jutaan pengendara setiap hari, sekaligus melindungi nyawa para insinyur dan teknisi yang bekerja di garis depan untuk menjaga kita tetap terhubung.

 

Sumber Artikel:

https://doi.org/10.3390/en13071718

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Inspeksi Jalan Cerdas – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Teknologi dan Inovasi

Revolusi Digital di Jalan Raya Tanzania: Kerangka TI Ini Bisa Mengakhiri Era Pothole—dan Inilah Dampaknya bagi Ekonomi Bangsa!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 15 Oktober 2025


Di seluruh Tanzania, terbentang jaringan jalan sepanjang 86.472 kilometer, sebuah sistem peredaran darah yang vital bagi kehidupan ekonomi bangsa. Dari jumlah tersebut, 33.891 kilometer jalan utama dan regional berada di bawah pengawasan Tanzania National Roads Agency (TANROADS), menjadikannya arteri utama yang mengalirkan barang dan jasa, menghubungkan masyarakat, dan menjadi fondasi bagi pengentasan kemiskinan.1 Namun, sebuah penelitian mendalam yang dilakukan di jantung operasi TANROADS mengungkap sebuah krisis yang tersembunyi di bawah permukaan aspal: sistem pemeliharaan jalan yang diandalkan negara ini ternyata sudah usang, tidak efisien, dan secara sistematis menghambat kemajuan yang seharusnya ia dukung.

Penelitian yang dipimpin oleh Rose Kapinga dan Benson James Lyimo ini tidak hanya menyoroti beberapa retakan di jalan, tetapi juga retakan fundamental dalam proses, kebijakan, dan teknologi yang menopang infrastruktur paling krusial di Tanzania. Temuan mereka melukiskan gambaran sebuah agensi yang berjuang melawan tantangan abad ke-21 dengan alat-alat dari abad ke-20, sebuah pertarungan yang sejak awal sudah tidak seimbang. Namun, dari analisis yang tajam ini, lahir sebuah cetak biru—sebuah kerangka kerja Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang berpotensi merevolusi cara Tanzania merawat arteri ekonominya, menjanjikan era baru efisiensi, transparansi, dan pertumbuhan.

 

Krisis Tak Terlihat di Bawah Roda: Potret Sistem Perawatan Jalan yang Sekarat

Inti dari masalah yang diidentifikasi oleh penelitian ini terletak pada sebuah praktik yang tampaknya sederhana namun sangat bermasalah: ketergantungan total pada inspeksi fisik manual. Para inspektur jalan TANROADS saat ini harus secara fisik mendatangi setiap kilometer jalan untuk memeriksa kerusakan, melakukan inventarisasi, dan memverifikasi kondisi.1 Dalam teori, ini adalah pendekatan yang teliti. Dalam praktiknya, penelitian ini menyatakannya sebagai metode yang "tidak efektif".1

Alasannya sederhana namun berdampak besar: "beberapa area tidak dapat diidentifikasi dan dijangkau dengan mudah," tulis para peneliti.1 Bayangkan medan Tanzania yang luas dan beragam, dari dataran pesisir yang lembap hingga pegunungan yang terjal. Mengandalkan mata manusia dan papan klip untuk mencatat setiap lubang, retakan, atau erosi adalah tugas yang sangat besar dan rawan kesalahan.

Vonis terhadap sistem ini tidak datang dari luar, tetapi dari para profesional di garis depan—para insinyur, inspektur, dan staf teknis di dalam TANROADS sendiri. Ketika disurvei, suara mereka sangat jelas dan memberatkan. Separuh penuh (50%) dari responden profesional tidak setuju dengan pernyataan bahwa proses inventarisasi jalan fisik saat ini efektif. Angka yang lebih mengejutkan muncul saat ditanya tentang verifikasi kondisi jalan: 60% dari mereka menyatakan bahwa prosedur verifikasi fisik yang ada saat ini "tidak efektif".1 Ini bukan sekadar keluhan; ini adalah pengakuan dari dalam bahwa fondasi dari seluruh strategi pemeliharaan jalan di Tanzania goyah.

Inefisiensi ini bukan sekadar masalah administrasi. Ia menciptakan efek domino yang merusak dan mahal. Penelitian ini secara eksplisit menghubungkan metode manual yang gagal ini dengan serangkaian konsekuensi nyata: "penundaan laporan perawatan jalan, penundaan perawatan, penundaan waktu penyelesaian proyek, dan pembengkakan biaya".1 Setiap langkah dalam proses ini terhambat. Laporan yang terlambat berarti keputusan yang tertunda. Keputusan yang tertunda berarti lubang kecil menjadi kawah besar, dan perbaikan kecil menjadi rekonstruksi mahal.

Ini adalah sebuah siklus stagnasi infrastruktur yang merugikan diri sendiri. Metode yang buruk menghasilkan data yang buruk. Data yang buruk mengarah pada keputusan prioritas yang buruk. Keputusan yang buruk mengakibatkan alokasi sumber daya yang tidak efisien, di mana jalan yang paling membutuhkan perbaikan mungkin terlewatkan sementara sumber daya yang langka dihabiskan di tempat lain. Akibatnya, infrastruktur terus memburuk, biaya perbaikan membengkak, dan beban kerja pada sistem yang sudah tertekan semakin berat. Secara efektif, siklus ini berfungsi sebagai rem tangan darurat yang ditarik pada kemajuan ekonomi Tanzania, membebankan pajak tak terlihat pada setiap bisnis, petani, dan warga negara yang bergantung pada jalan yang andal.

 

Dari Dana Terbatas Hingga Data yang Buta: Mengurai Benang Kusut Tantangan TANROADS

Masalah yang melumpuhkan TANROADS jauh lebih dalam dari sekadar metode inspeksi yang usang. Penelitian ini menggali lebih dalam untuk mengungkap jaringan tantangan sistemik yang saling terkait, melukiskan gambaran sebuah agensi yang beroperasi dengan satu tangan terikat di belakang punggungnya.

Pertama, proses manual itu sendiri bukan hanya tidak efektif, tetapi juga sangat rumit. Sebagian besar responden, yaitu 71%, setuju dengan pernyataan bahwa "proses inspeksi jalan fisik itu rumit".1 Ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan hanya konseptual tetapi juga praktis. Staf di lapangan terbebani oleh prosedur yang sulit dilakukan dengan benar, yang secara inheren meningkatkan kemungkinan kesalahan dan penundaan.

Kedua, ada kesenjangan teknologi yang menganga. Ketika ditanya tentang ketersediaan alat modern, hampir separuh staf (49%) merasa mereka tidak memiliki "alat teknologi informasi yang memadai" untuk melakukan pekerjaan mereka secara efektif. Hanya 41% yang merasa sebaliknya, sementara sisanya netral.1 Ini adalah pengakuan yang gamblang akan kurangnya persenjataan digital yang kritis. Di era di mana data adalah raja, TANROADS beroperasi dalam kondisi miskin data, dipaksa membuat keputusan penting tanpa wawasan yang dapat diberikan oleh teknologi modern.

Ketiga, dan mungkin yang paling mendasar, adalah kendala finansial. Para peneliti menemukan bahwa alokasi dana dari pemerintah untuk pemeliharaan jalan dianggap "tidak memuaskan".1 Kekurangan dana ini kemungkinan besar menjadi akar penyebab mengapa investasi dalam teknologi yang sangat dibutuhkan belum pernah terwujud. Agensi terjebak dalam dilema: tidak mampu berinvestasi dalam efisiensi karena kekurangan dana, namun pemborosan terus terjadi karena inefisiensi.

Di atas semua tantangan internal ini, TANROADS juga harus menghadapi realitas dunia nyata yang keras. Faktor-faktor seperti "kerusakan peralatan" yang tak terduga, dampak "perubahan iklim" yang semakin tak terduga seperti banjir dan tanah longsor, serta tantangan logistik untuk "menjaga jalan tetap terbuka" selama pekerjaan perbaikan, semuanya menambah lapisan kompleksitas.1 Solusi apa pun yang diusulkan harus cukup tangguh untuk menghadapi variabel-variabel yang tidak dapat dikendalikan ini.

Kombinasi dari proses manual yang rumit, kurangnya alat TIK, data yang tidak akurat, dan dana yang terbatas telah menciptakan kondisi yang oleh para ahli disebut sebagai "kebutaan data". TANROADS, sebagai penjaga aset infrastruktur paling vital di negara itu, pada dasarnya tidak dapat melihat kondisi aset tersebut secara jelas dan real-time. Ketika para pemimpin harus membuat pilihan sulit tentang jalan mana yang harus diprioritaskan dengan anggaran yang terbatas, mereka terpaksa melakukannya tanpa gambaran yang lengkap. Keputusan mungkin didasarkan pada laporan yang sudah usang, tekanan politik, atau sekadar anekdot, bukan pada analisis data yang solid tentang di mana investasi akan memberikan dampak ekonomi terbesar. Ini mengubah masalah teknis menjadi masalah tata kelola yang serius, di mana dana publik yang langka berisiko salah dialokasikan, memperburuk masalah alih-alih menyelesaikannya.

 

Cetak Biru Digital untuk Arteri Bangsa: Membedah Kerangka Kerja ICT yang Diusulkan

Menanggapi krisis yang teridentifikasi ini, para peneliti tidak hanya berhenti pada diagnosis. Mereka merancang sebuah solusi: cetak biru holistik untuk memodernisasi seluruh siklus hidup pemeliharaan jalan melalui integrasi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Kerangka kerja yang diusulkan ini bukanlah sekadar pembelian perangkat lunak baru; ini adalah desain ulang fundamental dari proses bisnis dan tata kelola di TANROADS, yang dirancang untuk mengatasi setiap titik lemah yang ditemukan dalam analisis mereka.1

Kerangka kerja ini terdiri dari enam tahap yang saling berhubungan, yang secara kolektif mengubah pemeliharaan jalan dari proses manual dan reaktif menjadi sistem yang terintegrasi, otomatis, dan berbasis data.

  1. Pra-Desain: Mata Digital di Lapangan
    Tahap pertama secara langsung menyerang inefisiensi inspeksi manual. Kerangka kerja ini mengusulkan penggunaan sistem informasi modern seperti GPS, sensor, dan perangkat otomatis untuk melakukan inventarisasi jalan, verifikasi kondisi, dan penghitungan lalu lintas.1 Ini adalah langkah untuk menggantikan papan klip dan mata manusia dengan data digital yang akurat dan dapat diandalkan—sebuah respons langsung terhadap proses yang oleh 60% staf dianggap tidak efektif.
  2. Perencanaan (Desain & Penganggaran Jalan): Keputusan Berbasis Bukti
    Setelah data akurat terkumpul, tahap kedua memanfaatkannya. Sistem informasi akan digunakan untuk merencanakan, merancang, dan menganggarkan proyek pemeliharaan. Yang terpenting, ini akan memungkinkan TANROADS untuk "memprioritaskan perbaikan dan pemeliharaan jalan berdasarkan informasi yang dikumpulkan dan dana yang tersedia".1 Ini adalah obat untuk "kebutaan data", memastikan bahwa setiap shilling yang langka dialokasikan ke proyek yang paling mendesak dan berdampak.
  3. Pengadaan (Procurement): Transparansi dan Efisiensi
    Kerangka kerja ini menyerukan otomatisasi proses pengadaan, termasuk proses penawaran, evaluasi, dan negosiasi kontrak melalui sistem e-procurement.1 Ini adalah langkah signifikan menuju transparansi dalam area yang secara tradisional rentan terhadap inefisiensi, penundaan, dan potensi korupsi. Dengan mendigitalkan pengadaan, proses menjadi lebih cepat, lebih adil, dan lebih mudah diaudit.
  4. Konstruksi Jalan: Pengawasan Cerdas
    Selama fase konstruksi, perangkat lunak manajemen proyek seperti Microsoft Project akan digunakan untuk mengawasi operasi dan jadwal pemeliharaan.1 Ini memberikan manajer proyek visibilitas yang lebih baik terhadap kemajuan di lapangan, memungkinkan mereka untuk mengidentifikasi potensi masalah lebih awal dan memastikan proyek berjalan sesuai jadwal dan anggaran.
  5. Pemantauan & Evaluasi Jalan: Umpan Balik Berkelanjutan
    Untuk memastikan kualitas dan umur panjang pekerjaan, tahap ini memanfaatkan teknologi canggih seperti pemindai untuk "mendeteksi lebar retakan internal" dan menentukan apakah sebuah struktur aman.1 Selain itu, laporan kemajuan, persetujuan, dan sertifikat penyelesaian akan dihasilkan secara otomatis melalui sistem informasi. Ini menciptakan siklus umpan balik yang konstan dan berbasis data, memastikan akuntabilitas dan kualitas.
  6. Dukungan Manajemen TIK: Membangun Ekosistem
    Para peneliti dengan bijak mengakui bahwa teknologi tidak dapat berhasil dalam ruang hampa. Tahap terakhir ini menekankan perlunya ekosistem pendukung: kebijakan TIK yang kuat, infrastruktur yang solid (seperti server basis data terpusat dan intranet), dan yang terpenting, "personel TI" yang terampil untuk mengelola dan memelihara sistem.1

Secara keseluruhan, kerangka kerja ini jauh lebih ambisius daripada sekadar peningkatan teknologi. Ini adalah alat tata kelola. Dengan mengintegrasikan setiap langkah ke dalam satu sistem terpusat dan berbasis data, kerangka kerja ini memaksakan standarisasi, akuntabilitas, dan pengambilan keputusan berbasis bukti. Dampaknya akan melampaui jalan yang lebih mulus; ini akan menciptakan model tentang bagaimana lembaga pemerintah Tanzania lainnya dapat memanfaatkan teknologi untuk tata kelola yang lebih baik, transparansi yang lebih besar, dan pelayanan publik yang lebih efektif.

 

Lompatan Kuantum dari Kertas ke Cloud: Bagaimana Teknologi Mengubah Segalanya

Untuk memahami dampak sebenarnya dari kerangka kerja yang diusulkan, kita perlu membayangkan perubahan radikal yang akan terjadi dalam pekerjaan sehari-hari para insinyur dan manajer di TANROADS. Ini bukan sekadar peningkatan bertahap; ini adalah lompatan kuantum dari era analog ke era digital.

Bayangkan seorang inspektur jalan saat ini, berdiri di bawah terik matahari, mencoba mengukur dimensi lubang dengan meteran sambil mencatat koordinatnya secara manual di papan klip. Sekarang, bayangkan inspektur yang sama di masa depan, dilengkapi dengan perangkat genggam yang terhubung dengan GPS. Dengan satu ketukan, ia dapat menandai lokasi kerusakan dengan presisi milimeter, mengambil foto, menambahkan catatan, dan mengunggah semua data secara instan ke server pusat.1 Pergeserannya sama fundamentalnya dengan beralih dari peta kertas yang dilipat ke navigasi real-time Google Maps.

Lebih jauh lagi, kerangka kerja ini membuka pintu bagi teknologi sensor untuk memantau kondisi jalan secara terus-menerus.1 Ini seperti memberi jaringan jalan raya nasional sebuah "sistem saraf pusat" digitalnya sendiri. Sensor yang tertanam di jembatan atau di sepanjang bentangan jalan yang kritis dapat terus-menerus melaporkan tingkat stres, getaran, atau kelembapan—data yang dapat menandakan potensi masalah jauh sebelum terlihat oleh mata manusia. Alih-alih menunggu "dokter" (inspektur) melakukan pemeriksaan tahunan, jalan itu sendiri dapat melaporkan "rasa sakit" dan gejalanya secara real-time, memungkinkan intervensi dini yang jauh lebih murah.

Untuk masalah yang tidak terlihat, teknologi seperti pemindai non-destruktif dapat memberikan para insinyur kemampuan seperti "penglihatan sinar-X".1 Mereka dapat melihat ke dalam struktur beton jembatan atau lapisan bawah aspal untuk mendeteksi retakan internal atau kelemahan struktural sebelum menyebabkan keruntuhan permukaan yang mahal dan berbahaya.

Semua data ini—dari GPS, sensor, pemindai, laporan konstruksi, dan data lalu lintas—akan mengalir ke satu "otak" operasi: basis data terpusat.1 Ini akan menciptakan semacam "ruang kendali misi" digital untuk seluruh jaringan jalan nasional. Dari sini, para manajer dapat melihat dasbor yang menampilkan kondisi setiap jalan, status setiap proyek perbaikan, dan alokasi anggaran secara real-time. Mereka dapat beralih dari sekadar memadamkan api lokal ke membuat keputusan strategis berdasarkan gambaran keseluruhan.

Namun, manfaat terbesar dari lompatan teknologi ini bukanlah sekadar melakukan tugas-tugas lama dengan lebih cepat. Ini adalah pergeseran fundamental dalam filosofi pemeliharaan. Sistem saat ini pada dasarnya bersifat reaktif: menunggu jalan rusak, lalu memperbaikinya. Teknologi baru ini memungkinkan pergeseran ke model prediktif. Dengan menganalisis data historis dan real-time tentang pola lalu lintas, cuaca, dan tingkat kerusakan, sistem dapat membangun model untuk memprediksi di mana dan kapan masalah kemungkinan besar akan muncul. Ini memungkinkan TANROADS untuk melakukan intervensi sebelum kerusakan parah terjadi. Pemeliharaan prediktif secara eksponensial lebih hemat biaya daripada perbaikan darurat. Ini mengubah pemeliharaan dari sekadar pusat biaya menjadi investasi strategis dalam memperpanjang umur aset nasional yang paling berharga.

 

Jalan di Depan: Antara Janji Efisiensi dan Realitas Implementasi

Cetak biru digital yang diusulkan oleh penelitian ini menjanjikan masa depan yang cerah bagi infrastruktur Tanzania. Manfaat yang diartikulasikan sangat menarik: kerangka kerja ini dirancang untuk "mengurangi biaya sumber daya," "mempercepat proyek pemeliharaan jalan," membantu "mengalokasikan dana ke proyek yang relevan," dan yang terpenting, "memberikan data yang akurat" untuk pengambilan keputusan.1 Namun, jalan dari konsep ke implementasi yang sukses penuh dengan tantangan, dan analisis yang realistis harus mengakui rintangan-rintangan ini.

Pertama, penting untuk dicatat keterbatasan ruang lingkup penelitian ini. Studi ini secara khusus berfokus pada kantor TANROADS di wilayah Arusha.1 Meskipun temuan dan rekomendasinya kemungkinan besar relevan secara nasional, tantangan logistik, kondisi geografis, dan kapasitas staf dapat sangat bervariasi di seluruh Tanzania. Implementasi nasional yang sukses akan memerlukan fleksibilitas dan adaptasi, bukan pendekatan satu ukuran untuk semua.

Kedua, dan mungkin tantangan terbesar, adalah faktor manusia. Teknologi secanggih apa pun tidak akan berguna jika orang tidak mau atau tidak mampu menggunakannya. Kerangka kerja ini secara eksplisit membutuhkan "personel TI" yang terampil dan dukungan penuh dari "organisasi dan manajemen".1 Ini menunjuk pada rintangan perubahan budaya. Penelitian ini merujuk pada Technology Acceptance Model (TAM), sebuah teori yang menekankan bahwa adopsi teknologi bergantung pada persepsi pengguna tentang kegunaan dan kemudahan penggunaannya.1 Jika staf di lapangan merasa sistem baru ini terlalu rumit, mengancam pekerjaan mereka, atau tidak benar-benar membantu mereka, mereka akan menolaknya, baik secara aktif maupun pasif. Mengatasi resistensi ini akan membutuhkan lebih dari sekadar memo; itu akan membutuhkan program manajemen perubahan yang komprehensif, termasuk pelatihan berkelanjutan, komunikasi yang jelas tentang manfaatnya, dan kepemimpinan yang kuat dari atas.

Ketiga, ada masalah investasi awal. Meskipun kerangka kerja ini menjanjikan penghematan biaya jangka panjang yang signifikan, ia akan membutuhkan investasi di muka yang besar untuk perangkat keras (server, sensor, perangkat genggam), perangkat lunak, dan program pelatihan yang ekstensif. Ini adalah tantangan yang signifikan mengingat temuan penelitian bahwa pendanaan pemerintah saat ini dianggap "tidak memuaskan".1 Meyakinkan para pembuat kebijakan untuk mengalokasikan dana yang cukup untuk investasi awal ini akan membutuhkan kasus bisnis yang sangat kuat yang menyoroti laba atas investasi jangka panjang dalam hal efisiensi, penghematan, dan pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh infrastruktur yang lebih baik.

Pada akhirnya, keberhasilan atau kegagalan kerangka kerja ini tidak akan ditentukan di ruang server, tetapi di ruang rapat pemerintah dan di lapangan bersama para insinyur dan teknisi. Implementasinya adalah tantangan politik dan manajerial, bukan hanya tantangan teknis. Ini akan membutuhkan kemauan politik untuk mendanai perubahan, mandat yang jelas dari atas untuk mendorong adopsi, dan kesabaran untuk mengelola sisi manusia dari transformasi digital. Proyek ini, pada intinya, adalah studi kasus dalam modernisasi sektor publik di negara berkembang, di mana pelajarannya akan bergema jauh di luar batas-batas TANROADS.

 

Kesimpulan: Membangun Fondasi Masa Depan Tanzania, Satu Jalan Digital pada Satu Waktu

Perjalanan dari sistem pemeliharaan jalan yang "rumit" dan "tidak efektif" ke cetak biru digital yang canggih ini lebih dari sekadar kisah tentang perbaikan infrastruktur. Ini adalah narasi tentang bagaimana sebuah bangsa dapat memanfaatkan kekuatan teknologi informasi untuk mengatasi tantangan pembangunan yang telah berlangsung lama dan membuka potensi ekonominya. Penelitian oleh Kapinga dan Lyimo memberikan diagnosis yang tajam tentang masalah yang ada dan, yang lebih penting, peta jalan yang jelas menuju masa depan yang lebih efisien dan berbasis data.

Pada akhirnya, penelitian ini bukan hanya tentang aspal dan beton. Ini tentang tata kelola, transparansi, dan penggunaan sumber daya publik yang cerdas. Ini adalah tentang mengubah aset fisik yang paling penting bagi suatu negara menjadi aset digital yang cerdas, responsif, dan dikelola secara efisien untuk kepentingan semua warganya.

Dampaknya, jika direalisasikan, akan sangat besar. Jika diterapkan secara nasional, para peneliti percaya kerangka kerja ini memiliki potensi untuk secara drastis mengurangi penundaan proyek dan memangkas biaya operasional pemeliharaan. Dalam lima tahun ke depan, ini bisa berarti miliaran shilling Tanzania dihemat dan dialihkan ke pembangunan infrastruktur baru, secara langsung mendorong agenda pembangunan ekonomi negara. Dengan memodernisasi manajemen jalannya, Tanzania tidak hanya menambal lubang; ia sedang membangun fondasi untuk ekonomi abad ke-21 yang lebih kompetitif, tangguh, dan transparan. Ini adalah investasi dalam kapasitas negara untuk memerintah dirinya sendiri secara efektif di era digital, membangun masa depan Tanzania, satu jalan digital pada satu waktu.

 

Sumber Artikel:

Kapinga, R., & Lyimo, B. J. (2019). Development of information and technology framework for monitoring road maintenance projects in Tanzania, a case of Tanzania National Roads Agency. Olva Academy - School of Researchers, 2(3).

Selengkapnya
Revolusi Digital di Jalan Raya Tanzania: Kerangka TI Ini Bisa Mengakhiri Era Pothole—dan Inilah Dampaknya bagi Ekonomi Bangsa!
page 1 of 1.224 Next Last »