Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan
Studi mengenai inisiatif Diversity, Equity, and Inclusion (DEI) dalam industri konstruksi menyoroti bahwa sektor ini tradisionalnya sangat homogen dalam hal gender, latar belakang etnis, dan status pekerjaan (kontrak vs tetap). Intinya, perusahaan konstruksi yang mengabaikan keragaman berisiko kehilangan potensi bakat, mengalami konflik internal, dan gagal menciptakan lingkungan kerja yang adil.
Temuan ini sangat penting bagi kebijakan publik Indonesia. Di negara kita, sektor konstruksi masih didominasi laki-laki, pekerja dari latar pedesaan, dan pekerja dengan status informal. Tanpa kebijakan DEI, kelompok-kelompok rentan—seperti perempuan, penyandang disabilitas, atau pekerja migran—terus terpinggirkan. Kebijakan yang mendukung inklusi dapat memperkuat keadilan sosial dan produktivitas industri.
Beberapa kursus dan artikel sudah menyentuh tema terkait transformasi keterampilan dan inklusivitas. Misalnya artikel Mendorong Transformasi Skill Pekerja Konstruksi: Studi Kasus Data dan Solusi Inklusif untuk Pemberdayaan Perempuan menunjukkan bahwa pelatihan inklusif dapat membuka peluang kerja lebih luas bagi perempuan di sektor konstruksi.
Dengan demikian, kebijakan konstruksi di Indonesia harus memasukkan DEI sebagai elemen strategis bukan tambahan terutama dalam kebijakan rekrutmen, pelatihan, promosi, dan perlindungan pekerja.
Implementasi Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak Positif
Implementasi DEI dalam proyek konstruksi dapat memberikan berbagai manfaat nyata:
-
Diversitas ide dan inovasi: Tim yang terdiri dari latar belakang berbeda cenderung menghasilkan solusi kreatif untuk masalah proyek.
-
Ketersediaan tenaga kerja yang lebih luas: Dengan menarik kelompok yang selama ini terpinggirkan, perusahaan memperluas basis talenta mereka.
-
Reputasi dan citra positif: Proyek yang dikenal adil dan inklusif bisa lebih menarik investor, mitra lokal, dan dukungan masyarakat.
Hambatan di Lapangan
Namun, beberapa hambatan utama sering muncul:
-
Budaya lama dan stereotip gender/etnis: Industri konstruksi di banyak wilayah masih menganggap pekerjaan berat hanya untuk pria, atau pekerja nonlokal sebagai “cadangan”.
-
Kurangnya pelatihan inklusif: Materi pelatihan dan kurikulum sering tidak disesuaikan agar bisa diakses oleh semua—misalnya pekerja dengan latar pendidikan rendah, bahasa lokal, atau disabilitas.
-
Struktur hierarki yang kaku: Sistem promosi dan insentif sering berat sebelah kepada kelompok yang sudah dominan.
-
Keterbatasan kebijakan lokal: Beberapa daerah belum memiliki regulasi anti-diskriminasi atau perlindungan bagi kelompok rentan.
-
Resistensi dari manajer / pemilik: Beberapa pemimpin proyek mungkin merasa bahwa DEI “mengganggu efisiensi” atau “mengubah cara kerja keseharian”.
Peluang
Meski banyak hambatan, peluang untuk memperkuat DEI cukup besar:
-
Pelatihan inklusif dan modul adaptif: Pelatihan berbasis modul, visual, multimedia, dan pengaturan waktu yang fleksibel bisa menjangkau pekerja dengan latar berbeda.
-
Program afirmatif dan beasiswa untuk kelompok rentan: Pemerintah atau pengembang bisa memfasilitasi beasiswa, pelatihan gratis atau prioritas penempatan untuk perempuan atau penyandang disabilitas.
-
Regulasi lokal inklusif: Pemerintah daerah dapat mengadopsi kebijakan insentif bagi proyek yang memenuhi standar inklusi.
-
Kemitraan dengan lembaga sosial dan LSM: Untuk memfasilitasi perekrutan pekerja rentan, membantu pelatihan tambahan, dan monitoring implementasi.
-
Digitalisasi proses HR (rekrutmen dan pelatihan): Sistem penilaian dan pelatihan otomatis bisa meminimalkan bias manusia dalam seleksi dan promosi.
Rekomendasi Kebijakan Praktis
Berdasarkan hambatan dan peluang tersebut, berikut rekomendasi kebijakan yang bisa diterapkan di Indonesia:
-
Kebijakan rekrutmen inklusif
Semua proyek pemerintah wajib memiliki kuota atau sasaran untuk perekrutan pekerja perempuan, penyandang disabilitas, atau kelompok terpinggirkan. Rekrutmen harus publik dan transparan. -
Pelatihan DEI wajib untuk manajer & pengawas proyek
Manajer proyek, kontraktor, dan pengawas harus mengikuti pelatihan inklusi agar memahami hambatan dan solusi dalam menjalankan kebijakan DEI. -
Modul pelatihan adaptif & multibahasa
Lembaga seperti Diklatkerja harus menyediakan kursus yang dapat diakses dalam bahasa lokal, disertai konten visual/interaktif agar bisa dijangkau mereka dengan latar pendidikan rendah. -
Audit dan sertifikasi proyek inklusif
Setiap proyek dapat disertifikasi “Proyek Inklusif” jika memenuhi indikator DEI (keberagaman tim, akses pelatihan, keseimbangan gaji, kebijakan anti-diskriminasi). -
Insentif / penalti berdasarkan performa inklusif
Pemerintah bisa memberikan prioritas tender, insentif pajak, atau bonus bagi proyek yang mencapai target inklusi, dan memberikan sanksi administratif bila melanggar kebijakan nondiskriminasi. -
Kemitraan dengan institusi pendidikan & masyarakat
Kerja sama antara politeknik, SMK, universitas, dan komunitas lokal untuk membuka jalur pendidikan dan perekrutan inklusif ke sektor konstruksi.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Beberapa potensi kegagalan yang perlu diantisipasi:
-
Lip service tanpa implementasi nyata
Proyek bisa mencantumkan DEI di dokumen tapi tidak benar-benar melaksanakan rekrutmen atau pelatihan inklusif secara konsisten. -
Pemaksaan kuota tanpa dukungan sumber daya
Bila proyek tidak disertai pelatihan dan adaptasi, kuota bisa menjadi beban dan memicu konflik internal. -
Bias tersembunyi dan resistensi bawah sadar
Meski kebijakan formal diterapkan, bias individu (misalnya “pekerjaan keras = laki-laki”) tetap bisa memblokir kemajuan. -
Keterbatasan anggaran
Pelatihan tambahan, penyesuaian fasilitas, audit inklusif, dan insentif memerlukan dana — proyek kecil mungkin tidak mampu menanggungnya. -
Kurangnya indikator terukur dan evaluasi jangka panjang
Jika tidak ada tolok ukur inklusi (misalnya peningkatan jumlah pekerja perempuan, retensi, promosi), sulit menilai efektivitas kebijakan.
Penutup
Inisiatif DEI dalam perdagangan konstruksi bukan sekadar tren global—melainkan kebutuhan strategis untuk memastikan sektor konstruksi tumbuh adil, produktif, dan berkelanjutan. Kebijakan publik di Indonesia harus lebih dari sekadar retorika — harus diwarnai komitmen nyata dalam rekrutmen, pelatihan, pengawasan, dan evaluasi.
Sumber
Diversity, Equity, and Inclusion Initiatives in the Construction Trades (ICERES Study)