Membangun Perilaku Aman dalam Konstruksi: Pelajaran dari Studi Malaysia dan Implikasinya bagi Kebijakan Indonesia

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana

15 Oktober 2025, 15.02

Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan

Penelitian “Case Studies on the Current Safety Issue and Work Behaviour of Construction Site Workers in Malaysia” menegaskan bahwa sebagian besar kecelakaan di proyek konstruksi disebabkan bukan oleh kerusakan alat atau kegagalan struktur, melainkan perilaku tidak aman (unsafe behaviour) oleh para pekerja. Faktor seperti tekanan jadwal proyek yang ketat, pengawasan lapangan yang lemah, rendahnya kesadaran terhadap risiko, dan kecenderungan pekerja mengabaikan prosedur keselamatan demi efisiensi jangka pendek menjadi penyebab utama.

Temuan ini sangat krusial bagi Indonesia. Industri konstruksi di Indonesia menghadapi tantangan serupa: regulasi K3 tersedia, tetapi kecelakaan tetap tinggi. Oleh karena itu, kebijakan K3 tidak boleh hanya berfokus pada regulasi teknis atau penyediaan alat pelindung diri, melainkan harus menyasar pembentukan budaya keselamatan dan perilaku pekerja.

Sebagaimana dikemukakan dalam kursus Peran Keselamatan Konstruksi dalam Mewujudkan Konstruksi Berkelanjutan (AK3L), keselamatan konstruksi bukan hanya soal alat dan protokol, melainkan upaya integral untuk mencegah cedera dan kerugian melalui manajemen risiko yang sistematis. (sumber: diklatkerja.com)

Oleh karena itu, pembuat kebijakan perlu menggeser paradigma dari “hanya mengatur” menjadi “membangun perilaku aman di semua tingkat tenaga kerja”.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dampak Positif dari Perilaku Aman

Proyek-proyek yang berhasil membangun budaya keselamatan yang kuat mencatat penurunan kecelakaan hingga 50% dan peningkatan produktivitas hingga 20%. Pekerja yang dilatih untuk memahami risiko menjadi lebih disiplin dalam mematuhi prosedur K3, sehingga lost time injury (waktu terganggu kerja akibat kecelakaan) pun berkurang secara signifikan.

Hambatan di Lapangan

  • Kurangnya pelatihan berkelanjutan
    Banyak perusahaan hanya memberi pelatihan awal (toolbox talk) tanpa tindak lanjut atau refresh secara reguler.

  • Budaya kerja permisif
    Pekerja terkadang menganggap pelanggaran kecil (tidak memakai helm, memanjat tangga tanpa pengaman) sebagai hal biasa dan bukan risiko serius.

  • Kurangnya dukungan manajemen dan supervisi K3
    Supervisi K3 masih dianggap beban administratif, bukan prioritas. Padahal, proyek yang manajemennya mendukung K3 menunjukkan angka kecelakaan jauh lebih rendah.

  • Rendahnya adopsi digital safety monitoring
    Hanya sedikit perusahaan memanfaatkan sensor, IoT, atau dashboard untuk memantau kepatuhan APD dan bahaya lapangan. Namun, dalam artikel Digitalisasi Metode Konstruksi dalam Proyek Gedung Tinggi disebutkan bahwa transformasi digital menjadi keniscayaan agar efisiensi dan keamanan proyek meningkat. (sumber: diklatkerja.com)

Peluang yang Bisa Dimanfaatkan

  • Penerapan digitalisasi keselamatan real-time
    Penggunaan aplikasi mobile untuk pelaporan bahaya, sensor kehadiran APD, dan dashboard K3 dapat mempercepat deteksi dan koreksi bahaya.

  • Pelatihan berbasis simulasi / VR
    Dengan teknologi Virtual Reality atau simulasi 3D, pekerja bisa berlatih menghadapi skenario berisiko tanpa ancaman nyata.

  • Integrasi SMKK sebagai standar operasi di proyek
    Modul audit dan praktik SMKK di Diklatkerja dapat dijadikan standar minimal dalam pelaksanaan proyek. Contohnya kursus “Audit SMKK” memungkinkan pengawas dan manajer proyek untuk mengevaluasi penerapan SMKK secara sistematik. (sumber: diklatkerja.com)

  • Kampanye budaya keselamatan jangka panjang
    Melibatkan semua level — dari pekerja lapangan hingga manajemen — untuk membangun budaya yang menghargai keselamatan sebagai bagian dari identitas kerja.

Rekomendasi Kebijakan Praktis

Berdasarkan temuan dan kondisi di lapangan, berikut rekomendasi kebijakan praktis yang bisa diadopsi di Indonesia:

  1. Wajibkan pelatihan perilaku (behaviour-based safety training)
    Semua pekerja konstruksi harus mengikuti pelatihan yang menekankan komunikasi dua arah, studi kasus nyata, dan pembentukan kebiasaan aman.

  2. Perluas cakupan Sertifikasi K3 ke aspek perilaku
    Program seperti Sertifikasi Kompetensi Jasa Konstruksi perlu memasukkan modul perilaku dan psikologi keselamatan, tidak hanya kompetensi teknis.

  3. Audit digital dan pelaporan terbuka
    Pemerintah bisa membangun sistem nasional berbasis cloud untuk memantau status pelatihan, audit K3, dan insiden kecelakaan di proyek-proyek besar.

  4. Insentif & penghargaan bagi proyek berprestasi K3
    Misalnya Green Contractor Award, prioritas tender, atau potongan pajak bagi kontraktor dengan catatan keselamatan tinggi.

  5. Kampanye nasional “Zero Accident Culture”
    Menjadikan keselamatan bukan hanya kewajiban regulasi, tetapi nilai yang dijunjung tinggi dalam industri konstruksi, didukung asosiasi, media, dan lembaga pelatihan seperti Diklatkerja.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Meskipun rekomendasi terdengar kuat, ada potensi kegagalan yang harus diantisipasi:

  • Kepatuhan administratif semata
    Beberapa perusahaan bisa saja hanya “lapor ikut pelatihan” tanpa perubahan nyata perilaku kerja.

  • Ketimpangan digital antara perusahaan besar dan kecil
    Perusahaan kecil mungkin tidak mampu memakai teknologi canggih (VR, sensor APD) tanpa subsidi atau dukungan.

  • Kurangnya kapasitas pengawas K3 berkualitas
    Seperti dicatat dalam artikel Perspektif Manusia dalam Digitalisasi Keselamatan Konstruksi bahwa “sikap dan perilaku organisasi” sering menghambat adopsi teknologi keselamatan.

  • Tidak adanya evaluasi berbasis data jangka panjang
    Kebijakan tanpa tolok ukur (KPI) dan evaluasi efektif dalam 1–2 tahun akan kehilangan arah dan gagal mengubah budaya nyata.

Oleh karena itu, strategi kebijakan harus menyertakan capacity building, audit independen, dan sistem penghargaan-sanksi yang jelas agar kebijakan perilaku K3 bisa benar-benar berjalan.

Penutup

Studi IJAFB (2020) memberikan pelajaran penting bahwa inti keselamatan kerja bukan sekadar protokol atau alat, melainkan perilaku aman yang dibangun melalui pemahaman, budaya organisasi, dan dukungan struktural.

Indonesia, dengan kompleksitas proyek konstruksi dan kondisi lapangan yang beragam, perlu mengadopsi pendekatan yang lebih manusiawi dan sistemik dalam kebijakan K3.

Dengan memperkuat pelatihan perilaku, memperluas Sertifikasi K3, menerapkan audit digital, dan membangun budaya keselamatan serta memanfaatkan modul dan kursus dari lembaga seperti Diklatkerja visi Zero Accident Construction Industry dapat diusahakan dengan lebih realistik dan berkelanjutan.

Sumber

IJAFB (2020). Case Studies on the Current Safety Issue and Work Behaviour of Construction Site Workers in Malaysia.