Kenapa Kerja Keras Saja Tidak Cukup: Pelajaran Karier Tak Terduga dari Mandor Konstruksi

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic

15 Oktober 2025, 15.04

Kenapa Kerja Keras Saja Tidak Cukup: Pelajaran Karier Tak Terduga dari Mandor Konstruksi

Pernahkah Kamu Merasa Bekerja Keras, Tapi Hasilnya Kurang Diapresiasi?

Saya mau cerita. Bayangkan seorang desainer grafis yang menghabiskan waktu berjam-jam menyempurnakan gradasi warna dan kerning font pada sebuah logo. Baginya, ini adalah puncak keahlian teknis, sebuah mahakarya detail. Tapi bagi klien atau CEO, yang terpenting adalah apakah logo itu bisa dikenali dari jarak 50 meter di papan reklame jalan tol dan apakah warnanya sesuai dengan citra merek yang ingin dibangun. Keduanya benar, tapi mereka seolah berbicara dalam bahasa yang berbeda.

Si desainer merasa kerja kerasnya pada detail tidak dihargai. Si CEO merasa desainer tidak memahami gambaran besar bisnis.

Kisah ini, dalam berbagai bentuk, terjadi setiap hari di hampir semua industri. Saya menyebutnya The Great Perception Gap—kesenjangan besar antara apa yang kita, sebagai eksekutor, anggap penting dalam pekerjaan kita (keunggulan teknis, kesempurnaan detail) dan apa yang dianggap penting oleh atasan atau organisasi (dampak strategis, efisiensi, hasil akhir). Kesenjangan ini adalah sumber frustrasi, demotivasi, dan perasaan "kerja keras tapi tak dianggap" yang paling umum di dunia profesional. Kita fokus pada input (usaha, jam kerja, kerumitan teknis), sementara mereka fokus pada output (hasil, ketepatan waktu, kesesuaian dengan tujuan besar).

Baru-baru ini, saya tidak sengaja menemukan sebuah paper penelitian dari dunia yang mungkin terdengar jauh dari keseharian kita: konstruksi. Paper ini menganalisis kompetensi para mandor di proyek-proyek konstruksi di Surabaya. Awalnya saya skeptis, apa relevansinya untuk saya? Tapi setelah membacanya, saya sadar bahwa paper ini bukan sekadar bacaan teknis yang kering. Ini adalah "peta harta karun" yang secara tidak sengaja memetakan The Great Perception Gap dengan data yang sangat jernih dan angka yang tidak bisa dibantah.  

Studi ini, meski berlatar belakang debu dan baja, memegang cermin bagi kita semua—para desainer, programmer, penulis, marketer, dan profesional lainnya. Ia mengungkap dinamika tersembunyi di tempat kerja dan menunjukkan dengan tepat di mana letak miskomunikasi antara "pekerja di lapangan" dan "manajer di kantor". Dan yang lebih penting, ia memberi petunjuk tentang cara menjembatani kesenjangan itu.

Dua Dunia yang Berbeda: Apa yang Paling Penting Menurut Mandor vs. Kontraktor

Inti dari penemuan ini terletak pada satu pertanyaan sederhana yang diajukan kepada dua kelompok: para mandor (eksekutor di lapangan) dan para kontraktor (manajer mereka). Pertanyaannya adalah: "Dari 30 kompetensi ini, mana yang paling penting untuk sukses?" Jawaban mereka, seperti yang akan kita lihat, seolah berasal dari dua planet yang berbeda.

Fokus Sang Eksekutor: "Beri Aku Gambar Kerja, Sisanya Aku Urus"

Bagi para mandor, dunia mereka berputar pada eksekusi. Ketika ditanya apa skill terpenting, jawaban nomor satu mereka sangat jelas: "Membaca dan memahami gambar kerja dengan teliti dan tepat". Bagi mereka, keunggulan adalah tentang presisi teknis. Mereka melihat diri mereka sebagai seorang craftsman, seorang seniman lapangan yang tugasnya adalah mengubah cetak biru (gambar kerja) menjadi kenyataan fisik tanpa cacat sedikit pun.  

Pola pikir ini diperkuat oleh dua prioritas utama mereka lainnya: "Memimpin para tukang dengan baik" dan "Memiliki cara komunikasi kerja yang baik dengan tenaga kerja". Semuanya berfokus ke dalam—pada tim internal, pada pelaksanaan tugas, pada kesempurnaan teknis sesuai instruksi yang diberikan. Dunia mereka adalah dunia bagaimana pekerjaan itu dilakukan.  

Pandangan Sang Manajer: "Pahami Gambaran Besarnya, Bukan Hanya Tugasmu"

Sekarang, mari kita beralih ke dunia kontraktor. Apa yang mereka anggap sebagai kompetensi nomor satu? Bukan kemampuan teknis membaca gambar. Prioritas utama mereka adalah "Memiliki pengetahuan tentang jenis dan lingkup pekerjaan".  

Ini adalah sebuah perbedaan yang fundamental. Kontraktor tidak hanya peduli bagaimana sebuah dinding dibangun, tetapi mengapa dinding itu dibangun di sana, apa batasannya, dan bagaimana pembangunan dinding itu memengaruhi jadwal keseluruhan proyek dan anggarannya. Mereka membutuhkan mandor yang memahami konteks, batasan proyek, tujuan komersial, dan bagaimana tugas-tugas individu saling terhubung. Ini adalah pola pikir seorang project manager.

Dunia mereka adalah dunia mengapa dan apa. Mereka sangat menghargai mandor yang "Konsisten dalam menjalankan prosedur pekerjaan yang telah ditentukan". Mengapa? Karena konsistensi dan pemahaman lingkup adalah tentang mitigasi risiko dan prediktabilitas—dua hal yang membuat seorang manajer bisa tidur nyenyak di malam hari.

Dan di sinilah letak bom waktunya. Ada satu kompetensi yang perbedaannya paling drastis: "Memiliki pengetahuan tentang keselamatan dan kesehatan kerja (K3)". Para mandor menempatkan skill ini di peringkat paling buncit, nomor 30 dari 30!. Bagi mereka, K3 mungkin terasa seperti birokrasi yang memperlambat pekerjaan. Namun, bagi kontraktor, K3 adalah prioritas 10 besar. Mengapa? Karena satu kecelakaan kerja bisa menghentikan seluruh proyek, menimbulkan kerugian miliaran, dan merusak reputasi perusahaan.  

Apa yang dianggap "gangguan" oleh eksekutor adalah "keharusan absolut" bagi manajer. Dan kesenjangan inilah yang seringkali membuat karier seseorang mandek.

Satu Lembar Kertas yang Mengubah Segalanya: Kekuatan Tersembunyi dari Sertifikasi

Jadi, kita punya dua dunia dengan prioritas yang berbeda. Apakah mereka ditakdirkan untuk tidak pernah bertemu? Ternyata tidak. Penelitian ini menemukan satu faktor yang secara dramatis mampu menjembatani kesenjangan tersebut: sertifikasi.

Awalnya saya pikir, "Ah, sertifikasi. Cuma selembar kertas, kan?" Tapi data dari studi ini menunjukkan sesuatu yang jauh lebih dalam. Kontraktor secara konsisten menilai mandor yang memiliki sertifikat kompetensi kerja jauh lebih tinggi dalam beberapa area krusial—area yang paling mereka hargai.

Apa yang Bikin Saya Terkejut: Data Bicara Lebih Keras dari Opini

Ketika para peneliti membandingkan mandor bersertifikat dengan yang tidak, perbedaannya sangat signifikan secara statistik. Ini bukan lagi soal opini, ini soal angka.

  • 🚀 Pengetahuan Strategis: Mandor bersertifikat dinilai jauh lebih unggul dalam memiliki pengetahuan tentang jenis dan lingkup pekerjaan dan pengetahuan tentang K3. Ini adalah dua skill yang paling dihargai kontraktor dan paling diremehkan mandor. Sertifikasi, tampaknya, "memaksa" mereka untuk melihat gambaran besar.  

  • 🧠 Pengawasan Presisi: Mereka juga dinilai signifikan lebih baik dalam mengawasi pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan metode kerja, spesifikasi teknis, dan jadwal kerja. Ini bukan lagi sekadar mengawasi, ini tentang mengawasi sesuai standar—bahasa yang dimengerti oleh manajemen.  

  • 🎯 Akurasi Terukur: Mereka terbukti lebih baik dalam mengukur dan menghitung hasil kerja tepat sesuai kenyataan. Ini menunjukkan keandalan, akuntabilitas, dan transparansi—tiga pilar kepercayaan antara manajer dan timnya.  

  • 💡 Mentor Tersembunyi: Dan ini yang paling membuat saya terkesima. Perbedaan paling dramatis dari semuanya ada pada indikator "memiliki keinginan untuk mengajar / mendorong orang lain dalam pekerjaannya". Mandor bersertifikat dinilai jauh, jauh lebih tinggi di sini. Ini adalah sebuah transformasi. Sertifikasi tidak hanya membuat mereka menjadi eksekutor yang lebih baik, tapi mengubah mereka dari seorang individual contributor menjadi seorang force multiplier—seseorang yang membangun kapasitas seluruh tim.  

Sertifikasi, ternyata, bukan hanya tentang belajar skill teknis baru. Ia tentang mengadopsi bahasa dan pola pikir manajemen. Ia mengajari para eksekutor untuk melihat pekerjaan mereka melalui kacamata manajer mereka.

Sebuah Kritik Halus dan Refleksi Pribadi

Meskipun temuan tentang sertifikasi ini luar biasa, saya tidak bisa tidak bertanya-tanya: apa kata para pekerja di bawah mandor? Studi ini dengan bijak menyarankan penelitian di masa depan harus menyertakan perspektif mereka. Apakah mandor bersertifikat yang dinilai "lebih baik" oleh kontraktor ini juga dirasakan sebagai pemimpin yang lebih baik oleh tim yang dipimpinnya setiap hari? Itu adalah kepingan puzzle yang hilang.  

Satu hal lagi yang menarik perhatian saya adalah temuan bahwa, pada beberapa aspek, kontraktor menilai kompetensi mandor lebih tinggi daripada penilaian mandor terhadap diri mereka sendiri. Ini mengingatkan saya pada imposter syndrome. Mungkin kita seringkali lebih kompeten dari yang kita kira, tapi kita tidak pernah tahu karena tidak ada yang memberi tahu kita, atau karena kita terlalu fokus pada kekurangan teknis kita sendiri dan lupa melihat dampak yang sudah kita hasilkan.  

Pelajaran untuk Kita Semua, Bahkan Jika Kamu Bukan Mandor Konstruksi

Oke, jadi apa artinya semua ini bagi kita yang tidak memakai helm proyek setiap hari? Artinya sangat besar. "Mandor" dan "kontraktor" hanyalah metafora untuk setiap hubungan karyawan-manajer.

Kamu mungkin seorang programmer (mandor) yang terobsesi pada keindahan dan efisiensi kode. Atasanmu adalah manajer produk (kontraktor) yang terobsesi pada jadwal rilis dan tingkat adopsi pengguna. Kamu fokus pada "gambar kerja" (spesifikasi teknis), dia fokus pada "lingkup pekerjaan" (kebutuhan pasar). Kesenjangan itu nyata, dan menjembataninya adalah kunci untuk akselerasi karier.

Dari studi ini, kita bisa menarik tiga pelajaran praktis:

  1. Bicaralah dalam Bahasa Manajermu. Lain kali saat kamu melaporkan progres, jangan hanya bilang, "Saya sudah menyelesaikan tugas A, B, dan C." Coba katakan, "Saya sudah menyelesaikan A, yang akan mengurangi risiko X. Saya juga sudah menyelesaikan B, yang akan membuat kita bisa rilis lebih cepat sesuai jadwal. Dan C akan membantu tim lain untuk bekerja lebih efisien." Alih-alih melaporkan aktivitas (dunia mandor), laporkan dampak (dunia kontraktor).

  2. Cari "Sertifikasi" Versimu. Ini tidak harus berupa sertifikat formal. Ini bisa berarti mengambil kursus online, menghadiri lokakarya, atau bahkan hanya membaca buku tentang manajemen proyek, strategi bisnis, atau keuangan di bidangmu. Tujuannya adalah untuk mendapatkan "pengetahuan tentang jenis dan lingkup pekerjaan" di luar tugas harianmu. Jika Anda ingin mengambil langkah nyata untuk menutup kesenjangan kompetensi ini, mengikuti kursus terstruktur bisa menjadi solusi. Platform seperti(https://diklatkerja.com) menawarkan berbagai program yang dirancang untuk meningkatkan skill manajerial dan teknis Anda, membantu Anda berbicara dalam bahasa yang sama dengan para pengambil keputusan.

  3. Jadilah "Mentor Tersembunyi". Ingat temuan paling mengejutkan tentang mandor bersertifikat? Mereka punya keinginan untuk mengajar. Mulailah secara proaktif berbagi pengetahuan dengan rekan timmu. Buat dokumentasi sederhana. Tawarkan bantuan pada anggota tim yang lebih junior. Ini tidak hanya membantu mereka, tetapi juga mengubah persepsi manajemen tentangmu—dari seorang eksekutor andal menjadi seorang calon pemimpin.

Selami Datanya Sendiri dan Kesimpulan Akhir

Pada akhirnya, keunggulan karier sejati terletak di persimpangan antara keahlian teknis (dunia mandor) dan pemahaman strategis (dunia kontraktor). Menjadi hebat dalam pekerjaanmu itu penting. Tapi memahami mengapa pekerjaanmu penting adalah hal yang akan benar-benar membedakanmu dari yang lain.

Studi tentang para mandor di Surabaya ini, bagi saya, adalah pengingat yang kuat bahwa terkadang wawasan paling berharga datang dari tempat yang paling tidak kita duga. Ia mengajarkan kita untuk sesekali mengangkat kepala dari "gambar kerja" kita dan mencoba melihat "lingkup proyek" yang lebih luas.

Kalau kamu tipe orang yang suka melihat angka di balik cerita, atau jika kamu bekerja di industri terkait dan ingin detail yang lebih dalam, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya. Ini adalah bacaan yang padat tapi sangat mencerahkan.

(https://doi.org/10.9744/petra.v20i1.0000)