Perubahan Iklim

Meneropong Tantangan dan Peluang Tata Kelola Air: Studi Kasus General Pueyrredon, Argentina

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 Juni 2025


Mengapa Tata Kelola Air Menjadi Isu Kritis?

Di tengah perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan urbanisasi pesat, dunia menghadapi krisis air yang tidak hanya soal ketersediaan, tetapi juga tata kelola. Permasalahan air kerap kali berakar pada lemahnya tata kelola—bukan sekadar kurangnya sumber daya fisik. Paper “Water governance challenges at a local level: implementation of the OECD Water Governance Indicator Framework in the General Pueyrredon Municipality, Buenos Aires Province, Argentina” menawarkan studi kasus mendalam tentang bagaimana kerangka tata kelola air OECD diimplementasikan di tingkat lokal, serta tantangan dan pelajaran yang dapat dipetik untuk konteks global dan Indonesia1.

Artikel ini mengupas temuan utama paper tersebut, menyoroti data dan studi kasus aktual, serta menganalisis relevansinya dengan tren industri, kebijakan, dan tantangan tata kelola air di berbagai negara. Dengan gaya populer dan SEO-friendly, resensi ini relevan untuk pembuat kebijakan, akademisi, pelaku industri, dan masyarakat luas yang peduli pada keberlanjutan sumber daya air.

Gambaran Umum: Definisi dan Kerangka Tata Kelola Air

Apa Itu Tata Kelola Air?

Tata kelola air didefinisikan sebagai serangkaian aturan, praktik, dan proses politik, institusional, serta administratif—baik formal maupun informal—yang menentukan bagaimana keputusan terkait air diambil dan diimplementasikan, bagaimana kepentingan para pemangku kepentingan diakomodasi, serta bagaimana akuntabilitas dijaga1. Tata kelola air yang efektif melibatkan:

  • Hukum dan kebijakan yang jelas.
  • Kelembagaan yang kuat dan terkoordinasi.
  • Instrumen implementasi yang adaptif dan partisipatif.

OECD Water Governance Indicator Framework

OECD mengembangkan 12 Prinsip Tata Kelola Air yang menjadi rujukan global, meliputi aspek peran dan tanggung jawab, skala pengelolaan, koherensi kebijakan, kapasitas, data dan informasi, pembiayaan, kerangka regulasi, inovasi, integritas dan transparansi, keterlibatan pemangku kepentingan, keadilan antar pengguna, serta monitoring dan evaluasi1.

Studi Kasus: General Pueyrredon Municipality (GPM), Argentina

Profil Wilayah

General Pueyrredon (GPM) adalah salah satu wilayah urban terbesar di Provinsi Buenos Aires, Argentina, dengan populasi 682.605 jiwa (2023) dan mencakup kota Mar del Plata serta sejumlah kawasan peri-urban1. Wilayah ini terkenal dengan keanekaragaman ekosistem, pertanian hortikultura, dan pertumbuhan penduduk yang pesat, namun menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan air tanah sebagai sumber utama air bersih.

Sistem Pengelolaan Air

  • Sumber utama: 97% penduduk GPM mendapat air bersih dari jaringan pipa yang dikelola OSSE (Obras Sanitarias Mar del Plata Sociedad del Estado), sementara kawasan peri-urban masih mengandalkan sumur domestik yang rentan kontaminasi1.
  • Tantangan utama: Pencemaran air tanah akibat limbah domestik, pertanian, dan penggunaan pestisida; konflik antar pengguna; serta keterbatasan infrastruktur sanitasi di area peri-urban.

Analisis Kerangka Tata Kelola Air: Temuan Kunci

1. Kerangka Kebijakan (What)

  • Kekuatan: Argentina memiliki kerangka hukum yang kuat, seperti Water Code (Law 12257/99) di tingkat provinsi, serta berbagai peraturan nasional dan lokal yang mengatur hak, kewajiban, dan pengelolaan air1.
  • Kelemahan: Banyak instrumen kebijakan yang hanya di atas kertas (partly implemented), misalnya penarikan pajak air untuk irigasi dan industri yang tidak optimal, serta deklarasi sumur air domestik yang kurang terkontrol.

2. Kelembagaan (Who)

  • Institusi kunci: OSSE (pengelolaan dan distribusi air), ADA (otoritas air provinsi), serta Komite DAS (Daerah Aliran Sungai) yang secara teori mengkoordinasikan lintas wilayah1.
  • Permasalahan: Koordinasi antar lembaga sering tumpang tindih, dengan peran yang tidak selalu jelas antara pemerintah nasional, provinsi, dan kota. Komite DAS berjalan tidak rutin.

3. Instrumen Implementasi (How)

  • Keterbatasan utama: Banyak instrumen implementasi yang hanya sebagian dijalankan, seperti sistem informasi air, mekanisme partisipasi publik, dan monitoring kualitas air1.
  • Data dan informasi: Walau ada regulasi keterbukaan data, informasi tentang kualitas air dan monitoring OSSE tidak sepenuhnya tersedia untuk publik, sehingga menghambat partisipasi masyarakat dan pengawasan.

Studi Kasus dan Data Empirik

1. Ketersediaan dan Akses Air Bersih

  • Cakupan air bersih: 97% penduduk GPM memiliki akses air pipa, namun kawasan peri-urban sangat rentan karena mengandalkan sumur dangkal yang sering tidak memenuhi standar teknis dan dekat dengan sumber kontaminasi1.
  • Kualitas air: Studi menemukan banyak sumur domestik di peri-urban tercemar limbah domestik dan pestisida, meningkatkan risiko kesehatan masyarakat.

2. Keterlibatan Pemangku Kepentingan

  • Mekanisme formal: Ada forum dengar pendapat publik dan komite pengguna air, namun partisipasi masyarakat masih minim dan cenderung formalitas1.
  • Kendala: Kurangnya akses data, minimnya edukasi, dan rendahnya pengakuan terhadap peran komunitas lokal dalam pengambilan keputusan.

3. Pembiayaan dan Investasi

  • Pendanaan: OSSE umumnya tidak kesulitan membiayai investasi, namun prioritas proyek sering lebih ditentukan oleh ketersediaan dana daripada kebutuhan teknis atau sosial1.
  • Subsidi: Ada tarif sosial air untuk kelompok rentan, namun mekanisme evaluasi kebutuhan dan efektivitas subsidi masih perlu diperkuat.

4. Monitoring dan Evaluasi

  • Sistem pengawasan: Audit dilakukan oleh lembaga provinsi dan kota, namun monitoring kualitas air dan evaluasi kebijakan sering hanya bersifat administratif, bukan substantif1.
  • Kelemahan: Kurangnya indikator kinerja yang jelas dan minimnya evaluasi berbasis hasil membuat perbaikan tata kelola berjalan lambat.

Tantangan Utama Tata Kelola Air GPM

  1. Implementasi Instrumen Lemah: Banyak kebijakan dan instrumen tata kelola hanya berjalan sebagian, terutama dalam hal data, partisipasi, dan inovasi1.
  2. Koordinasi Lintas Lembaga: Overlapping peran antara pemerintah pusat, provinsi, dan kota menyebabkan kebijakan sering tidak sinkron.
  3. Keterbatasan Data dan Transparansi: Informasi air masih tersebar dan sulit diakses, menghambat partisipasi publik dan pengambilan keputusan berbasis bukti.
  4. Minimnya Inovasi dan Adaptasi: Kerangka regulasi yang kaku membatasi ruang inovasi, baik dalam teknologi maupun model tata kelola.
  5. Kesenjangan Urban–Peri-Urban: Akses air dan sanitasi jauh lebih baik di pusat kota dibandingkan kawasan pinggiran, memperlebar ketimpangan sosial.

Perbandingan dengan Studi dan Praktik Global

Relevansi dan Pelajaran untuk Indonesia

  • Desentralisasi dan Fragmentasi: Seperti Argentina, Indonesia juga menerapkan desentralisasi tata kelola air, yang kerap menimbulkan fragmentasi kebijakan dan lemahnya koordinasi antar level pemerintahan.
  • Pentingnya Data dan Partisipasi: Pengalaman GPM menegaskan bahwa keterbukaan data dan partisipasi masyarakat adalah kunci tata kelola air yang efektif—isu yang juga menjadi tantangan di banyak kota Indonesia.
  • Kontekstualisasi Kebijakan: OECD menekankan pentingnya adaptasi kebijakan sesuai konteks lokal. Indonesia dapat belajar dari pendekatan ini untuk menghindari “copy-paste” kebijakan tanpa memperhatikan karakteristik wilayah.

Kritik dan Opini

  • Kekuatan: Paper ini menampilkan metodologi evaluasi tata kelola air yang komprehensif dan berbasis indikator, sehingga dapat menjadi acuan diagnosis di daerah lain.
  • Kelemahan: Studi hanya menerapkan fase awal kerangka OECD (assessment kondisi awal), belum mengevaluasi perubahan dari waktu ke waktu atau konsensus antar pemangku kepentingan.
  • Kritik: Banyak rekomendasi masih bersifat normatif dan belum menyentuh akar masalah seperti politik anggaran, resistensi birokrasi, dan dinamika kekuasaan lokal.

Kaitan dengan Tren Industri dan Kebijakan Global

  • SDGs dan Hak atas Air: Tata kelola air yang baik sangat penting untuk mencapai SDG 6 (Clean Water and Sanitation) dan mengurangi ketimpangan akses air di wilayah urban dan peri-urban.
  • Digitalisasi dan Smart Water Management: Tren global menuju digitalisasi data air dan pemanfaatan teknologi (IoT, big data, remote sensing) perlu diadopsi untuk meningkatkan transparansi dan efisiensi pengelolaan air.
  • Inovasi Tata Kelola: Model-model baru seperti water fund, payment for ecosystem services (PES), dan kolaborasi multi-pihak semakin relevan untuk mengatasi kompleksitas pengelolaan air di era perubahan iklim.
  • Green Finance dan ESG: Investasi air kini juga dinilai dari aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG), sehingga tata kelola air yang baik menjadi prasyarat akses ke pembiayaan hijau dan investasi internasional.

Rekomendasi Strategis

  1. Penguatan Implementasi Instrumen: Fokus pada pelaksanaan nyata kebijakan dan instrumen tata kelola, bukan sekadar regulasi di atas kertas.
  2. Peningkatan Koordinasi Lintas Lembaga: Bentuk forum koordinasi tetap antara pemerintah pusat, provinsi, dan kota untuk sinkronisasi kebijakan air.
  3. Transparansi dan Akses Data: Wajibkan publikasi data kualitas air, monitoring, dan hasil audit secara terbuka untuk mendorong partisipasi masyarakat.
  4. Edukasi dan Pemberdayaan Masyarakat: Libatkan komunitas lokal dalam perencanaan, monitoring, dan evaluasi pengelolaan air.
  5. Inovasi Model Bisnis dan Pembiayaan: Dorong kolaborasi dengan sektor swasta, adopsi skema PES, dan manfaatkan green finance untuk investasi air berkelanjutan.
  6. Penguatan Monitoring dan Evaluasi Berbasis Hasil: Terapkan indikator kinerja yang terukur dan evaluasi berbasis outcome, bukan sekadar output administratif.

Tata Kelola Air sebagai Pilar Pembangunan Berkelanjutan

Studi kasus General Pueyrredon menegaskan bahwa tata kelola air yang efektif bukan hanya soal regulasi atau institusi, tetapi juga implementasi nyata, transparansi, dan partisipasi aktif seluruh pemangku kepentingan1. Tantangan fragmentasi, lemahnya data, dan minimnya inovasi adalah masalah universal yang juga dihadapi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia.

Dengan mengadopsi kerangka OECD dan menyesuaikannya dengan konteks lokal, kota-kota di Indonesia dan negara berkembang lain dapat memperkuat tata kelola air, mengurangi ketimpangan, dan meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim. Tata kelola air yang baik adalah fondasi bagi masa depan yang inklusif, sehat, dan berkelanjutan.

Sumber Asli

Martín Velasco, M.J., Calderon, G., Lima, M.L., Matencón, C.L., & Massone, H.E. (2023). Water governance challenges at a local level: implementation of the OECD Water Governance Indicator Framework in the General Pueyrredon Municipality, Buenos Aires Province, Argentina. Water Policy, 25(7), 623–638.

Selengkapnya
Meneropong Tantangan dan Peluang Tata Kelola Air: Studi Kasus General Pueyrredon, Argentina

Perubahan Iklim

Membangun Ketahanan Iklim dan Keamanan Air Perkotaan: Studi Kasus Sponge City Wuhan, China

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 Juni 2025


Mengapa Kota Perlu Adaptasi Air dan Iklim?

Di era urbanisasi pesat dan perubahan iklim ekstrem, kota-kota dunia menghadapi tantangan ganda: banjir yang lebih sering, kekeringan, dan penurunan kualitas air. Kota-kota besar di Asia, termasuk Wuhan di Tiongkok, menjadi contoh nyata bagaimana solusi inovatif sangat dibutuhkan untuk menjaga keberlanjutan dan kualitas hidup masyarakat urban. Paper “Building Climate Resilience and Water Security in Cities: Lessons from the Sponge City of Wuhan, China” membedah strategi, efektivitas, dan pelajaran penting dari program Sponge City—sebuah pendekatan berbasis alam untuk mengelola air perkotaan secara berkelanjutan.

Artikel ini akan mengulas secara mendalam temuan paper tersebut, menyoroti angka-angka kunci, studi kasus, serta memberikan analisis kritis dan relevansi terhadap tren global. Dengan gaya populer dan SEO-friendly, resensi ini cocok untuk pembuat kebijakan, pelaku industri, dan masyarakat luas yang peduli masa depan kota.

Latar Belakang: Krisis Air dan Urbanisasi di Tiongkok

Fakta dan Tantangan

  • Pertumbuhan Urbanisasi Pesat: Proporsi penduduk kota di Tiongkok melonjak dari 19% pada 1980 menjadi 51% pada 2012. Dalam rentang 2000-2014, Tiongkok menyumbang 32% ekspansi lahan perkotaan dunia, setara dengan wilayah sebesar Denmark yang berubah menjadi kota1.
  • Masalah Air Serius: Separuh kota di Tiongkok tidak memenuhi standar nasional pengendalian banjir. Sekitar 80% air hujan di perkotaan menjadi limpasan, membawa limbah dan polusi ke sungai dan danau1.
  • Risiko Bencana: Antara 2004-2014, Tiongkok mengalami bencana alam terbanyak di dunia, termasuk banjir besar, tanah longsor, badai, dan kekeringan. Kerugian ekonomi akibat banjir mencapai hingga 1% PDB per tahun1.

Dampak Perubahan Iklim

  • Curah Hujan Ekstrem: Perubahan iklim meningkatkan frekuensi dan intensitas hujan ekstrem, memperparah risiko banjir dan kerusakan infrastruktur1.
  • Kota di Zona Rawan: Banyak kota tumbuh di zona pesisir rendah atau dekat sungai besar, meningkatkan kerentanan terhadap banjir dan kekurangan air bersih1.

Paradigma Baru: Nature-Based Solutions dalam Tata Kelola Air

Kelemahan Infrastruktur Konvensional

Pendekatan lama mengandalkan “grey infrastructure” seperti bendungan, tanggul, dan saluran beton. Namun, solusi ini mahal, boros energi, dan sering gagal mengatasi banjir ekstrem atau polusi air1.

Solusi Berbasis Alam (Nature-Based Solutions)

  • Definisi: Intervensi yang mengandalkan restorasi, perlindungan, dan pengelolaan ekosistem alami untuk mengatasi tantangan perkotaan.
  • Contoh: Taman kota, atap hijau, jalan berpori, lahan basah buatan, dan penyimpanan air hujan1.
  • Manfaat: Lebih murah, multifungsi (mengurangi banjir, meningkatkan kualitas udara, memperbaiki biodiversitas, dan menambah ruang hijau)1.

Studi Kasus: Transformasi Wuhan sebagai “Sponge City”

Kota Wuhan: Profil dan Tantangan

  • Lokasi Strategis: Wuhan, ibu kota Provinsi Hubei, dikenal sebagai “River City” karena seperempat wilayahnya berupa perairan. Kota ini dihuni 8,5 juta orang di dataran banjir pertemuan Sungai Yangtze dan Han1.
  • Masalah Utama: Urbanisasi memperparah banjir dan polusi air. Pada Juli 2016, hujan deras 600 mm dalam seminggu menyebabkan banjir besar, menewaskan 15 orang, merugikan 1 juta penduduk, dan kerugian ekonomi CNY 5,3 miliar (US$750 juta)1.

Implementasi Sponge City di Wuhan

  • Investasi Besar: Wuhan menerima dana CNY 500 juta (US$73 juta) per tahun (2015-2017) dari pemerintah pusat, plus komitmen dana kota CNY 10,2 miliar (US$1,4 miliar)1.
  • Skala Proyek: 389 proyek sponge city di dua distrik utama, mencakup 38,5 km²—mulai dari taman, danau buatan, kanal air, hingga atap hijau dan jalan berpori1.
  • Teknologi Kunci: Rain garden, permeable pavement, pengelolaan air hujan, danau buatan untuk menampung air limpasan, serta restorasi ekosistem sungai dan danau1.

Analisis Ekonomi: Efisiensi Biaya dan Manfaat Sosial

Perbandingan Biaya: Green vs Grey Infrastructure

  • Sponge City Programme: Total biaya CNY 14,9 miliar (US$2,1 miliar) untuk 389 proyek1.
  • Alternatif Konvensional: Upgrade sistem drainase bawah tanah diperkirakan menelan biaya CNY 18,8 miliar (US$2,7 miliar)1.
  • Efisiensi: Pendekatan berbasis alam menghemat CNY 4 miliar (US$600 juta) dibanding solusi konvensional, belum termasuk biaya tambahan jika terjadi overrun proyek besar1.

Manfaat Tambahan (Co-Benefits)

  • Kesehatan & Kesejahteraan: Taman kota dan ruang hijau memperbaiki kualitas udara, menurunkan suhu lokal hingga 3°C, serta meningkatkan kebahagiaan warga1.
  • Ekonomi Lokal: Nilai tanah di sekitar Wuhan Expo Park melonjak dari CNY 4.383 menjadi CNY 10.218 (US$631 ke US$1.471) per m² setelah proyek sponge city1.
  • Lingkungan: Vegetasi di taman menyerap 724 ton karbon per tahun, mendukung konservasi biodiversitas, dan mengurangi biaya penyiraman hingga CNY 1,5 juta (US$220.000) per tahun1.

Studi Kasus Ikonik: Wuhan Garden Expo Park & Yangtze River Beach Park

Wuhan Garden Expo Park

  • Transformasi Lahan Sampah: Taman seluas 30 km² ini dulunya adalah tempat pembuangan sampah terbesar di Asia.
  • Inovasi Air: 70% air hujan ditampung oleh rain garden, menurunkan kebutuhan air bersih untuk penyiraman dan memperbaiki kualitas air tanah1.
  • Biodiversitas: Lebih dari 400 spesies tanaman ditanam, menciptakan habitat baru dan memperkaya ekosistem kota1.

Yangtze River Beach Park

  • Efek Pendinginan: Suhu di taman ini 3°C lebih rendah dibanding area kota sekitarnya.
  • Manfaat Sosial: Terdapat 15 lapangan sepak bola, 7 kolam renang, dan 45.000 pohon, menjadikannya ruang publik multifungsi dan ikon wisata baru Wuhan1.
  • Ekonomi: Kenaikan nilai tanah di sekitar taman lebih dari dua kali lipat pasca proyek1.

Tantangan Implementasi dan Pembelajaran

Hambatan Teknis dan Kelembagaan

  • Lokasi Proyek: Banyak proyek sponge city belum menyasar pusat kota yang padat, padahal di sanalah risiko banjir dan polusi paling tinggi1.
  • Fleksibilitas Desain: Standar nasional sering kurang adaptif terhadap kondisi lokal (iklim, hidrologi, tata ruang)1.
  • Koordinasi Antarinstansi: Fragmentasi tugas antar dinas membuat proyek sering berjalan parsial, bukan terintegrasi secara regional1.

Solusi dan Rekomendasi

  • Manual Lokal: Wuhan mengembangkan pedoman desain sendiri yang lebih kontekstual, menyesuaikan standar nasional dengan kebutuhan lokal1.
  • Pendanaan Inovatif: Kolaborasi dengan BUMN dan pemanfaatan kenaikan nilai tanah (land value capture) untuk membiayai proyek baru1.
  • Keterlibatan Publik: Masyarakat dilibatkan dalam perencanaan dan pemeliharaan ruang hijau, meningkatkan rasa kepemilikan dan efektivitas pemantauan1.

Kebijakan Nasional: Kerangka Pendukung Sponge City

Strategi Pemerintah Tiongkok

  • Regulasi dan Standar: Pemerintah pusat menetapkan hukum dasar, standar wajib, serta target ambisius (20% lahan kota harus memenuhi standar sponge city pada 2020, 80% pada 2030)1.
  • Dukungan Finansial: Dana co-funding, insentif pajak, dan prioritas kredit untuk proyek sponge city1.
  • Skala Nasional: Investasi CNY 10 triliun (US$1,5 triliun) untuk 100.000 km² infrastruktur sponge city di seluruh Tiongkok1.

Rekomendasi Kebijakan untuk Negara Lain

  • Integrasi Hijau & Abu-abu: Kombinasikan solusi berbasis alam dengan infrastruktur konvensional untuk hasil optimal1.
  • Inovasi Pendanaan: Terapkan insentif fiskal, seperti earmarking tarif utilitas untuk konservasi atau skema land value capture1.
  • Eksperimen & Pembelajaran Kota-ke-Kota: Dorong proyek percontohan, pertukaran pengetahuan, dan adaptasi inovasi lintas kota1.
  • Transparansi Data: Bangun platform data terbuka untuk memantau, mengevaluasi, dan mempercepat replikasi solusi efektif1.

Analisis Kritis: Perbandingan dan Relevansi Global

Perbandingan dengan Studi Lain

  • Low Impact Development (LID) di AS/Kanada: Sponge City terinspirasi LID, namun skala dan dukungan pemerintah di Tiongkok jauh lebih besar dan terkoordinasi1.
  • Sustainable Urban Drainage Systems (SUDS) di Eropa: Prinsip serupa, namun implementasi di Tiongkok lebih terintegrasi dengan kebijakan nasional dan pendanaan publik1.
  • Water Sensitive Urban Design (WSUD) di Australia: Fokus pada adaptasi lokal dan integrasi ekosistem, mirip dengan pendekatan Wuhan yang mengembangkan manual lokal1.

Kaitan dengan Tren Industri dan Urbanisasi Global

  • Smart City & Green Infrastructure: Sponge City menjadi bagian dari tren smart city, menggabungkan teknologi, data, dan solusi alami untuk mengatasi tantangan urbanisasi1.
  • ESG & Investasi Berkelanjutan: Proyek hijau seperti sponge city semakin diminati investor global karena memenuhi kriteria Environmental, Social, Governance (ESG)1.
  • Paris Agreement & SDGs: Sponge City mendukung pencapaian SDG 6 (air bersih & sanitasi), SDG 11 (kota berkelanjutan), dan SDG 13 (aksi iklim)1.

Opini dan Rekomendasi: Menuju Kota Tahan Iklim

Kekuatan Model Wuhan

  • Efisiensi Biaya: Bukti nyata bahwa investasi pada solusi berbasis alam lebih ekonomis dan multifungsi dibanding infrastruktur konvensional1.
  • Manfaat Sosial-Lingkungan: Peningkatan kualitas hidup, kesehatan, dan ekonomi lokal menjadi argumen kuat bagi replikasi model ini di kota lain1.
  • Kebijakan Terintegrasi: Dukungan regulasi, pendanaan, dan koordinasi lintas level pemerintahan menjadi kunci sukses1.

Tantangan ke Depan

  • Adaptasi Lokal: Setiap kota harus menyesuaikan desain sponge city dengan karakteristik lingkungan dan sosialnya sendiri.
  • Pendanaan Berkelanjutan: Diperlukan inovasi pembiayaan, termasuk kemitraan publik-swasta dan pemanfaatan kenaikan nilai tanah.
  • Keterlibatan Masyarakat: Partisipasi publik penting untuk memastikan keberlanjutan dan efektivitas jangka panjang.

Inspirasi Global dari Sponge City Wuhan

Studi kasus Sponge City Wuhan membuktikan bahwa solusi berbasis alam bukan hanya alternatif, tapi kebutuhan utama di era perubahan iklim dan urbanisasi. Dengan investasi yang lebih efisien, manfaat sosial-lingkungan yang luas, dan dukungan kebijakan yang kuat, model ini layak menjadi inspirasi bagi kota-kota di seluruh dunia—termasuk Indonesia—untuk membangun masa depan yang lebih tangguh, sehat, dan berkelanjutan.

Sumber Asli

Oates, L., Dai, L., Sudmant, A. and Gouldson, A. 2020. Building Climate Resilience and Water Security in Cities: Lessons from the sponge city of Wuhan, China. Coalition for Urban Transitions. London, UK, and Washington, DC.

Selengkapnya
Membangun Ketahanan Iklim dan Keamanan Air Perkotaan: Studi Kasus Sponge City Wuhan, China

Perubahan Iklim

Krisis Kekurangan Air Global dan Strategi Adaptasi untuk Pertanian Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Air sebagai Sumber Daya Vital yang Terancam

Air merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan semua aktivitas ekonomi, terutama sektor pertanian yang menyerap sekitar 70% dari total penggunaan air global. Namun, meskipun bumi sebagian besar tertutup air, ketersediaan air tawar yang dapat digunakan sangat terbatas dan semakin terancam oleh perubahan iklim, pertumbuhan populasi, polusi, dan eksploitasi berlebihan. Paper berjudul Water scarcity: A global hindrance to sustainable development and agricultural production – A critical review of the impacts and adaptation strategies oleh Biswas et al. (2025) memberikan tinjauan kritis mengenai dampak kekurangan air secara global, dengan fokus khusus pada sektor pertanian dan perspektif India sebagai negara berkembang yang menghadapi krisis air parah.

Jenis dan Penyebab Kekurangan Air

Jenis Kekurangan Air

  • Kekurangan air fisik (Physical water scarcity): Terjadi ketika ketersediaan air tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia dan ekosistem. Diperkirakan 1,2 miliar orang tinggal di wilayah yang mengalami kekurangan air fisik, terutama di daerah kering dan semi-kering.
  • Kekurangan air ekonomi (Economic water scarcity): Terjadi ketika air tersedia secara fisik, tetapi aksesnya terbatas karena infrastruktur yang buruk, manajemen yang lemah, atau masalah institusional. Diperkirakan lebih dari 1,6 miliar orang menghadapi kekurangan air jenis ini.

Penyebab Utama

  • Perubahan iklim dan kekeringan: Variabilitas cuaca yang meningkat menyebabkan penurunan curah hujan dan peningkatan frekuensi kekeringan. Antara 2001-2018, 74% bencana alam terkait air seperti banjir dan kekeringan.
  • Pertumbuhan populasi: Saat ini, 41% penduduk dunia tinggal di daerah dengan tekanan air tinggi. Proyeksi menunjukkan kebutuhan air untuk pangan akan meningkat 40-50% pada 2030.
  • Polusi air: Limbah industri, pertanian, dan domestik mencemari sumber air, mengurangi kualitas dan ketersediaan air bersih.
  • Praktik pertanian yang boros air: Sekitar 60% air irigasi hilang karena sistem irigasi yang tidak efisien dan pemilihan tanaman yang tidak sesuai dengan kondisi air setempat.

Dampak Kekurangan Air pada Pertanian dan Ketahanan Pangan

  • Kekurangan air mengancam produksi pangan global, dengan prediksi penurunan hasil panen hingga 20-30% di beberapa wilayah pada 2030-2050.
  • Contoh nyata di California, AS, kekeringan tahun 2015 menyebabkan kerugian ekonomi pertanian sebesar $1,84 miliar dan hilangnya 10.100 pekerjaan musiman.
  • Di India, lebih dari 600 juta orang menghadapi krisis air, dengan penurunan drastis ketersediaan air per kapita dari 5.177 m³ pada 1951 menjadi sekitar 1.296 m³ pada 2025. Kota-kota besar seperti Delhi dan Chennai menghadapi risiko habisnya sumber air tanah.
  • Penurunan produksi gula di India dari 28,3 juta ton (2013-2014) menjadi 21,3 juta ton (2016-2017) akibat kekeringan dan kurangnya air irigasi.
  • Perubahan pola tanam, seperti pergeseran dari padi ke tanaman yang lebih hemat air (misal jagung dan millet), mulai dilakukan sebagai strategi adaptasi.

Strategi Adaptasi dan Manajemen Air dalam Pertanian

Teknik Irigasi Efisien

  • Mikro-irigasi (drip dan sprinkler): Menghemat air hingga 60%, meningkatkan hasil panen hingga 40% pada tanaman seperti tomat dan zaitun.
  • Irigasi berbasis sensor dan pengendalian evapotranspirasi: Mengoptimalkan waktu dan jumlah irigasi, mengurangi pemborosan air.
  • Irigasi defisit dan pengeringan bergantian: Mengurangi penggunaan air tanpa mengorbankan hasil panen secara signifikan.

Praktik Pertanian Berkelanjutan

  • Pengolahan tanah konservasi: Mengurangi penggunaan air hingga 40%, meningkatkan kesuburan dan struktur tanah.
  • Rotasi tanaman dan pergantian tanaman (crop shifting): Memilih tanaman yang lebih tahan kekeringan dan sesuai kondisi air lokal.
  • Mulsa: Mengurangi evaporasi tanah dan mempertahankan kelembaban, efektif di daerah kering.
  • Penggunaan varietas tahan kekeringan: Contohnya varietas padi hemat air di China dan jagung tahan kering di Afrika.

Teknologi dan Inovasi

  • Superabsorbent polymer hydrogels: Menyimpan air di dalam tanah dan mengurangi stres tanaman.
  • Precision agriculture: Menggunakan sensor dan data satelit untuk pengelolaan air yang presisi dan efisien.
  • Sistem penampungan air hujan dan pompa tenaga surya: Meningkatkan ketersediaan air di daerah kering dan terpencil.

Kebijakan dan Manajemen Sumber Daya Air

  • Penetapan harga air dan pasar air: Mendorong penggunaan air yang efisien dan alokasi yang optimal, seperti di Australia dan Brasil.
  • Pengaturan jarak sumur dan perizinan: Mencegah eksploitasi berlebihan dan konflik antar pengguna air.
  • Penguatan tata kelola dan partisipasi komunitas: Meningkatkan kesadaran dan pengelolaan bersama sumber daya air.

Analisis Kritis dan Perbandingan dengan Tren Global

Paper ini memberikan gambaran komprehensif yang menggabungkan aspek fisik, sosial, dan ekonomi dari krisis air global, dengan fokus kuat pada sektor pertanian dan negara berkembang seperti India. Pendekatan multidisipliner dan penggunaan data kuantitatif serta studi kasus nyata memperkuat argumen dan relevansi kebijakan.

Namun, tantangan implementasi strategi adaptasi tetap besar, terutama terkait biaya awal teknologi irigasi modern dan kebutuhan pelatihan petani. Selain itu, aspek kelembagaan dan politik air yang kompleks perlu lebih banyak perhatian untuk memastikan keberlanjutan.

Dibandingkan dengan literatur lain, paper ini menegaskan pentingnya integrasi antara inovasi teknologi, kebijakan harga dan pasar air, serta praktik tradisional yang adaptif. Hal ini sejalan dengan tren global dalam pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan dan inklusif.

Menuju Pertanian Berkelanjutan di Tengah Krisis Air

Krisis air merupakan hambatan utama bagi pembangunan berkelanjutan dan ketahanan pangan global. Dengan meningkatnya tekanan akibat perubahan iklim, pertumbuhan populasi, dan pola konsumsi yang berubah, kebutuhan akan strategi adaptasi yang efektif semakin mendesak.

Paper ini menyajikan berbagai solusi praktis dan inovatif yang dapat diadopsi di berbagai wilayah, khususnya negara berkembang seperti India, untuk mengurangi dampak kekurangan air pada pertanian. Penggabungan teknologi efisien, praktik pertanian berkelanjutan, dan kebijakan yang mendukung akan menjadi kunci keberhasilan.

Upaya terkoordinasi antara pemerintah, peneliti, petani, dan sektor swasta sangat diperlukan untuk mengatasi tantangan ini dan memastikan ketersediaan air yang cukup bagi generasi sekarang dan mendatang.

Sumber Artikel :

Biswas, A., Sarkar, S., Das, S., Dutta, S., Roy Choudhury, M., Giri, A., Bera, B., Bag, K., Mukherjee, B., Banerjee, K., Gupta, D., & Paul, D. (2025). Water scarcity: A global hindrance to sustainable development and agricultural production – A critical review of the impacts and adaptation strategies. Cambridge Prisms: Water, 3, e4

Selengkapnya
Krisis Kekurangan Air Global dan Strategi Adaptasi untuk Pertanian Berkelanjutan

Perubahan Iklim

Tata Kelola Air untuk Sistem Pangan Tangguh terhadap Perubahan Iklim

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Air sebagai Kunci Ketahanan Sistem Pangan Global

Perubahan iklim yang semakin nyata membawa tantangan besar terhadap ketersediaan air dan keberlanjutan sistem pangan dunia. Dalam konteks ini, tata kelola air yang efektif menjadi fondasi utama untuk membangun sistem pangan yang tangguh, adil, dan berkelanjutan. Dokumen Water Governance for Climate Resilient Food Systems (September 2021) yang disusun oleh 31 ahli global dari berbagai disiplin ilmu dan institusi internasional, mengangkat urgensi menempatkan air sebagai pusat perhatian dalam transformasi sistem pangan menghadapi masa depan iklim yang tidak pasti.

Resensi ini akan menguraikan secara komprehensif tantangan, prinsip tata kelola air yang direkomendasikan, studi kasus dan angka penting dari dokumen, serta analisis kritis dan relevansi dengan tren global dan industri.

Tantangan Tata Kelola Air dalam Sistem Pangan di Era Perubahan Iklim

Dokumen ini menegaskan bahwa meskipun produksi pangan global meningkat dan berhasil menekan harga pangan, krisis iklim dan ketidakpastian siklus air mengancam keberlanjutan sistem pangan. Beberapa tantangan utama yang dihadapi adalah:

  • Ketidakpastian dan volatilitas siklus air: Perubahan pola curah hujan, frekuensi banjir dan kekeringan yang meningkat, serta gangguan pasokan air yang berdampak langsung pada produksi dan distribusi pangan.
  • Persaingan penggunaan air: Air yang terbatas harus memenuhi kebutuhan pangan, ekosistem, energi, dan kebutuhan sosial-ekonomi lainnya.
  • Ketimpangan akses dan keadilan: Kelompok rentan, seperti petani kecil dan masyarakat miskin, seringkali paling terdampak oleh krisis air dan pangan.
  • Dampak berantai: Gangguan pada sistem air menyebabkan risiko berjenjang yang memengaruhi seluruh rantai pasok pangan, termasuk kesehatan dan gizi masyarakat.

Pandemi COVID-19 juga memperparah krisis pangan dan memperlihatkan kerentanan sistem pangan global terhadap gangguan eksternal.

Enam Prinsip Tata Kelola Air untuk Sistem Pangan Tangguh

Dokumen ini mengajukan enam atribut kunci yang harus diadopsi dalam tata kelola air untuk membangun sistem pangan yang tahan iklim:

  1. Memahami sistem pangan sebagai sistem terpadu
    Pendekatan sistem terpadu mengakui keterkaitan erat antara air, pangan, energi, lingkungan, dan sosial. Platform kolaborasi lintas sektor dan wilayah sangat diperlukan untuk mengelola kompleksitas ini secara adaptif.
  2. Mengadopsi tata kelola polisentris dan partisipatif
    Tata kelola yang melibatkan berbagai tingkat pemerintahan, komunitas lokal, perempuan, dan pemuda memungkinkan respons cepat dan inklusif terhadap ancaman lokal, serta memfasilitasi negosiasi dan resolusi konflik.
  3. Mendorong inovasi, pembelajaran, dan penyebaran pengetahuan
    Sistem yang tangguh harus terus berinovasi dalam teknologi, kebijakan, dan insentif, serta membangun mekanisme umpan balik untuk evaluasi dan penyesuaian kebijakan.
  4. Mengintegrasikan keberagaman dan redundansi
    Keanekaragaman teknik produksi dan institusi pengelolaan air meningkatkan fleksibilitas dan kapasitas adaptasi jangka pendek maupun panjang.
  5. Menjamin kesiapsiagaan sistem
    Fokus pada kesiapsiagaan melalui pemantauan data yang transparan dan akuntabel, sistem peringatan dini, dan pengembangan kapasitas adaptasi untuk menghadapi kejutan tak terduga.
  6. Merencanakan jangka panjang
    Infrastruktur keras dan lunak serta sistem tata kelola harus dirancang untuk bertahan dan beradaptasi dalam jangka waktu panjang, mengingat ketidakpastian iklim yang terus meningkat.

Studi Kasus dan Data Penting

  • Pengelolaan air tradisional yang berhasil: Sistem irigasi komunitas seperti Muang Fai di Thailand dan Subak di Bali menunjukkan prinsip tata kelola polisentris dan partisipatif yang telah bertahan selama berabad-abad.
  • Program insentif berbasis ekosistem: Payment for Ecosystem Services (PES) seperti Conservation Reserve Program di AS, Grain-to-Green di China, dan MGNREGA di India telah membantu konservasi air dan tanah, dengan potensi pendanaan global mencapai US$40 miliar per tahun.
  • Teknologi pemantauan air: Penggunaan teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi air real-time, seperti yang diterapkan di Maharashtra, India, membantu mengatasi eksploitasi air tanah berlebihan.
  • Dampak perubahan iklim: Risiko kehilangan lahan produktif akibat intrusi air asin di delta Asia, perubahan aliran sungai utama di Andes dan Himalaya, serta peningkatan frekuensi kekeringan di Afrika, menunjukkan urgensi tata kelola air yang adaptif.

Analisis Kritis dan Perbandingan dengan Tren Global

Pendekatan tata kelola air yang diusulkan menekankan pentingnya mengatasi kompleksitas sosial-ekologis dan menghindari solusi satu dimensi seperti peningkatan efisiensi irigasi yang sering gagal ketika diterapkan secara luas. Konsep polisentris dan partisipatif sejalan dengan tren global dalam pengelolaan sumber daya bersama yang inklusif dan adaptif.

Namun, tantangan nyata tetap ada dalam hal pendanaan, kapasitas institusi, dan resistensi politik terhadap reformasi tata kelola air. Inovasi teknologi dan insentif ekonomi harus dipadukan dengan penguatan kelembagaan dan pemberdayaan komunitas lokal agar efektif.

Selain itu, integrasi solusi tradisional dan modern menjadi penting agar tata kelola air tidak hanya berfokus pada teknologi tinggi, tetapi juga menghargai kearifan lokal dan praktik berkelanjutan yang telah terbukti.

Rekomendasi Kebijakan dan Implikasi Praktis

  • Membangun kemitraan multi-sektor dan multi-level yang melibatkan pemerintah, swasta, komunitas, dan kelompok rentan dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan.
  • Mengembangkan sistem pemantauan dan data terbuka untuk transparansi dan akuntabilitas pengelolaan air.
  • Mengadopsi pendekatan berbasis ekosistem dan agroekologi untuk meningkatkan keberagaman dan ketahanan sistem pangan.
  • Meningkatkan kapasitas adaptasi dan kesiapsiagaan melalui pendidikan, pelatihan, dan sistem peringatan dini.
  • Merancang infrastruktur dan kebijakan dengan perspektif jangka panjang, mempertimbangkan ketidakpastian iklim dan dinamika sosial-ekonomi.

Dokumen Water Governance for Climate Resilient Food Systems menegaskan bahwa air adalah bahasa perubahan iklim dan pusat dari ketahanan sistem pangan masa depan. Dengan mengadopsi tata kelola air yang kompleks, inklusif, inovatif, dan berorientasi jangka panjang, kita dapat membangun sistem pangan yang tidak hanya produktif dan efisien, tetapi juga adil dan berkelanjutan.

Transformasi ini membutuhkan komitmen kuat dari semua pemangku kepentingan, terutama perempuan, pemuda, dan komunitas lokal yang paling terdampak. Hanya dengan pendekatan holistik dan kolaboratif, kita dapat menghadapi tantangan air dan pangan di era perubahan iklim yang penuh ketidakpastian.

Sumber Artikel :

Water Governance for Climate Resilient Food Systems, September 2021, Statement by 31 global practitioners and researchers, United Nations Food Systems Summit 2021.

Selengkapnya
Tata Kelola Air untuk Sistem Pangan Tangguh terhadap Perubahan Iklim

Perubahan Iklim

Water Governance for Climate-Resilient Agriculture in Mediterranean Countries – Strategi Terpadu untuk Ketahanan Air dan Pertanian

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Tantangan Pengelolaan Air di Wilayah Mediterania

Wilayah Mediterania dikenal sebagai kawasan yang sangat rentan terhadap perubahan iklim, khususnya terkait dengan ketersediaan air. Kekeringan, fluktuasi curah hujan, dan peningkatan suhu yang signifikan mengancam keberlanjutan sektor pertanian yang sangat bergantung pada irigasi. Dalam konteks ini, pengelolaan air yang efektif dan adaptif menjadi kunci untuk mencapai ketahanan pangan dan keberlanjutan lingkungan.

Paper berjudul “Water Governance for Climate-Resilient Agriculture in Mediterranean Countries” oleh Georgia Sismani, Vassilios Pisinaras, dan Georgios Arampatzis (2024) mengupas secara komprehensif bagaimana tata kelola air yang terintegrasi dan adaptif dapat diterapkan di tingkat organisasi petani untuk mendukung pertanian yang tahan iklim. Studi ini menyoroti pengalaman tiga organisasi petani (Farmers’ Organizations/F.ORs) di Crete, Yunani, dan Basilicata, Italia, sebagai pilot project yang mengimplementasikan skema tata kelola air berbasis standar European Water Stewardship (EWS).

Kerangka Tata Kelola Air Terintegrasi: Water Management Adaptation Strategy (WMAS) dan Agricultural Water Management System (AWMS)

Konsep dan Metodologi

Penelitian ini mengembangkan sebuah skema tata kelola air terintegrasi yang terdiri dari dua komponen utama:

  • Water Management Adaptation Strategy (WMAS): Strategi adaptasi pengelolaan air yang disusun oleh masing-masing organisasi petani berdasarkan evaluasi kondisi lokal, termasuk struktur organisasi, status sumber daya air, dan praktik pertanian yang diterapkan.
  • Agricultural Water Management System (AWMS): Sistem manajemen air pertanian yang dirancang untuk mengimplementasikan WMAS secara efektif melalui pembagian peran dan tanggung jawab di dalam organisasi, serta mekanisme monitoring dan evaluasi yang sistematis.

WMAS dan AWMS dirancang mengacu pada standar European Water Stewardship (EWS), yang menekankan tiga prinsip utama: pengelolaan kuantitas air, kualitas air, dan pelestarian area bernilai konservasi tinggi (HCV), serta prinsip tata kelola yang transparan dan partisipatif.

Pembagian Peran dalam AWMS

Setiap F.OR menetapkan tiga peran kunci untuk pengelolaan air:

  1. Penanggung jawab aspek legal air: Memantau regulasi dan memastikan kepatuhan organisasi terhadap peraturan.
  2. Penghubung dengan Komite Daerah Aliran Sungai: Menjaga komunikasi dan koordinasi dengan lembaga pengelola sumber daya air di tingkat regional.
  3. Water Steward (WS): Bertanggung jawab atas pelaksanaan dan pengawasan WMAS dalam organisasi.

Ketiga peran ini saling berkomunikasi dan melapor ke manajemen organisasi untuk menjamin pelaksanaan yang efektif.

Studi Kasus: Implementasi di Tiga Organisasi Petani di Mediterania

Lokasi dan Karakteristik

  • Dua F.OR di Crete, Yunani (Platanias dan Mirabello): Fokus pada budidaya pohon zaitun dengan sumber air irigasi dari air tanah.
  • Satu F.OR di Basilicata, Italia (Metapontino): Fokus pada tanaman perkebunan dengan irigasi dari air permukaan melalui bendungan.

Mirabello mengalami tingkat kelangkaan air tertinggi di antara ketiga lokasi, menambah urgensi pengelolaan air yang efisien.

Monitoring dan Evaluasi

Untuk memantau implementasi AWMS, dibuat sistem formulir khusus yang diisi secara berkala oleh Water Steward dan petani anggota. Monitoring ini mencakup praktik pengelolaan air di 10 kebun per lokasi pilot, dengan pelatihan intensif bagi Water Steward untuk memastikan akurasi dan konsistensi data.

Hasil Implementasi dan Pelajaran Penting

Kepatuhan Regulasi dan Transparansi

  • Di dua F.OR Yunani, 18 regulasi terkait air diidentifikasi, dengan 6 di antaranya dianggap sangat penting. Di Italia, 6 regulasi utama juga dipantau.
  • Pelaporan kepatuhan dilakukan secara tahunan, membantu organisasi tetap up-to-date terhadap perubahan regulasi.
  • Transparansi internal dan eksternal menjadi fokus utama, dengan berbagai kegiatan pelatihan, seminar, dan penyebaran informasi kepada anggota dan pemangku kepentingan lokal.

Interrelasi Air dengan Energi dan Sumber Daya Lain

  • Studi mengukur konsumsi energi langsung (misal, pompa irigasi) dan tidak langsung (misal, pemupukan, pemangkasan) yang terkait dengan penggunaan air.
  • Hasil menunjukkan konsumsi energi lebih tinggi pada lahan irigasi, namun hubungan tidak langsung antara air dan energi dalam aktivitas lain kurang jelas.
  • Pengelolaan air juga dikaitkan dengan optimalisasi penggunaan sumber daya lain seperti tanah, pupuk, dan biomassa pohon, meskipun kuantifikasi hubungan ini kompleks.

Penanganan Keadaan Darurat

  • Setiap F.OR mengembangkan rencana tanggap darurat untuk berbagai risiko seperti kekeringan, banjir, kebakaran, dan pencemaran.
  • Rencana ini mencakup tindakan pencegahan dan penanganan kerusakan tanaman, disampaikan dalam bentuk dokumen dan brosur yang mudah diakses oleh petani.

Evaluasi dan Revisi Strategi

  • Setelah tiga tahun implementasi, monitoring dan evaluasi menunjukkan pelaksanaan rencana berjalan baik, meskipun ada tantangan dalam pelaporan tepat waktu.
  • Revisi WMAS dilakukan berdasarkan feedback internal dan eksternal, namun tidak ada perubahan besar yang diperlukan.
  • Minat petani untuk bergabung dan mengadopsi praktik WMAS meningkat, memperluas cakupan strategi di wilayah pilot.

Analisis Kritis dan Kaitan dengan Tren Global

Kompleksitas dan Adaptasi Standar EWS

Implementasi standar EWS di sektor pertanian terbukti lebih kompleks dibandingkan di industri, karena fragmentasi lahan, keragaman praktik, dan sumber air yang berbeda-beda. Hal ini menuntut adaptasi prinsip dan indikator EWS agar sesuai dengan konteks pertanian Mediterania.

Pentingnya Monitoring dan Konsultasi Ahli

Keberhasilan implementasi sangat bergantung pada monitoring yang sistematis dan dukungan ahli, terutama pada tahap awal. Pengalaman F.OR dengan standar lain seperti ISO atau EMS mempercepat adopsi AWMS.

Keterlibatan dan Komunikasi

Transparansi dan komunikasi internal yang intensif menjadi kunci keberhasilan, membantu mengatasi kesenjangan informasi antara manajemen dan anggota. Komunikasi terkait risiko iklim ekstrem, seperti kekeringan dan banjir, harus dilakukan secara proaktif untuk meningkatkan kesiapsiagaan.

Hubungan dengan Otoritas Lokal

Meski ada komunikasi dengan otoritas lokal, interaksi ini masih bersifat satu arah dan perlu diperkuat agar pengelolaan air dapat terintegrasi dengan kebijakan regional dan nasional. Mengingat sektor pertanian menyerap sekitar 80% penggunaan air nasional, peran F.OR dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan sangat strategis.

Nilai Tambah dan Implikasi Kebijakan

  • Skema tata kelola air terintegrasi ini memberikan model praktis bagi organisasi petani untuk mengelola air secara efisien dan adaptif terhadap perubahan iklim.
  • Pendekatan berbasis standar internasional (EWS) yang disesuaikan dengan konteks lokal meningkatkan kredibilitas dan transparansi pengelolaan air.
  • Keterlibatan aktif petani dan pemangku kepentingan lokal memperkuat kapasitas adaptasi dan keberlanjutan pertanian.
  • Rencana tanggap darurat menghadirkan kesiapsiagaan yang diperlukan dalam menghadapi risiko iklim ekstrem yang semakin sering terjadi.
  • Perlu penguatan koordinasi lintas sektor dan tingkat pemerintahan untuk mengoptimalkan pengelolaan sumber daya air.

Kesimpulan

Studi ini menegaskan bahwa tata kelola air yang efektif dan adaptif di sektor pertanian merupakan fondasi penting untuk membangun ketahanan iklim di wilayah Mediterania yang rentan terhadap kekeringan dan perubahan iklim. Dengan mengintegrasikan strategi adaptasi pengelolaan air dan sistem manajemen yang jelas, organisasi petani dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air, menjaga kualitas sumber daya, dan mempersiapkan diri menghadapi risiko iklim.

Pengalaman pilot project di tiga F.OR di Yunani dan Italia membuktikan bahwa pendekatan ini dapat diimplementasikan dengan baik, meskipun memerlukan monitoring yang ketat, dukungan ahli, dan komunikasi yang intensif. Keberlanjutan strategi ini juga bergantung pada keterlibatan aktif petani dan sinergi dengan kebijakan lokal dan nasional.

Model tata kelola air ini dapat menjadi referensi penting bagi wilayah lain yang menghadapi tantangan serupa, sekaligus mendukung pencapaian target mitigasi dan adaptasi iklim secara global.

Sumber Artikel :

Sismani, G.; Pisinaras, V.; Arampatzis, G. Water Governance for Climate-Resilient Agriculture in Mediterranean Countries. Water 2024, 16, 1103

Selengkapnya
Water Governance for Climate-Resilient Agriculture in Mediterranean Countries – Strategi Terpadu untuk Ketahanan Air dan Pertanian

Perubahan Iklim

Climate Change, Sustainability, and Socio-Ecological Practices – Perspektif Interdisipliner dari Konferensi Internasional Socioecos 2024

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Memahami Dimensi Sosial dalam Krisis Iklim Global

Perubahan iklim merupakan tantangan global yang tidak hanya berdampak pada aspek fisik dan lingkungan, tetapi juga sangat terkait dengan dimensi sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Konferensi Internasional Socioecos 2024 yang diselenggarakan di Universidad del País Vasco, Bilbao, Spanyol, menghadirkan kumpulan riset dan diskusi interdisipliner yang mendalam mengenai praktik-praktik sosial-ekologis dalam konteks darurat iklim dan keberlanjutan. Buku prosiding konferensi ini, yang memuat lebih dari 800 abstrak dan puluhan makalah lengkap, menjadi sumber penting untuk memahami bagaimana ilmu sosial berkontribusi dalam mengatasi krisis iklim yang kompleks.

Resensi ini akan mengulas tema utama konferensi, studi kasus penting, serta kontribusi beberapa pembicara kunci yang menyoroti hubungan antara perubahan iklim, keadilan sosial, dan transformasi masyarakat melalui praktik sosial-ekologis.

Dimensi Sosial dalam Perubahan Iklim: Kritik dan Tantangan

Salah satu isu utama yang diangkat dalam konferensi ini adalah keterlambatan ilmu sosial dalam merespons perubahan iklim secara komprehensif, terutama dibandingkan dengan ilmu biophysical yang lebih cepat mengadopsi isu ini. Kritik utama menyatakan bahwa pendekatan yang berfokus pada individu seringkali mengabaikan aspek institusional, sosial, dan budaya yang lebih luas, sehingga kebijakan yang dihasilkan kurang efektif dan tidak menyentuh akar masalah (Tejerina et al., 2024).

Lebih jauh, kerangka interpretatif dominan, termasuk laporan IPCC, dianggap mendepolitisasi diskursus iklim dengan mengabaikan analisis kritis terhadap sistem nilai, relasi kekuasaan, dan proses institusional yang menjadi penyebab utama krisis iklim. Konsep “post-politik” ini menyoroti bagaimana wacana ilmiah dan kebijakan iklim sering mempertahankan status quo sosial-ekonomi yang tidak adil.

Praktik Sosial-Ekologis: Dari Gerakan Sosial hingga Transformasi Budaya

Konferensi ini membagi diskusi ke dalam beberapa track tematik yang luas, antara lain:

  • Gerakan sosial ekologis dan politik iklim
    Misalnya, gerakan Extinction Rebellion (XR) dan Fridays For Future (FFF) yang menentang pendekatan pasar dan kebijakan “transisi hijau dari atas”, dan mendorong “transisi ekologis dari bawah” yang menekankan keadilan iklim dan interseksionalitas (Albanese, 2024).
  • Model produksi dan kerja baru di ambang krisis iklim
    Studi tentang perusahaan energi hijau seperti Som Energia di Spanyol yang menggabungkan ekonomi sosial dan akar ekologis (Castelló et al., 2024).
  • Praktik hidup dan konsumsi berkelanjutan
    Eksplorasi tentang konsumsi makanan berkelanjutan, pasar ekologis, dan arsitektur ramah lingkungan yang mengurangi jejak karbon (González Rivas, 2024).
  • Rewilding dan pelestarian alam melalui ilmu warga dan sains partisipatif
    Contohnya proyek MitigACT di Galicia, Spanyol, yang menggabungkan ilmu warga untuk mitigasi risiko kebakaran hutan (Santiago-Gómez & Rodríguez-Rodríguez, 2024).
  • Dimensi manusia dalam krisis iklim: kesadaran, kesejahteraan, dan perawatan
    Penelitian tentang dampak psikologis krisis iklim seperti eco-ansietas dan praktik perawatan kolektif sebagai respons sosial (Heidemann, 2024).
  • Seni, teknologi, dan desain untuk krisis iklim
    Proyek seni yang menggabungkan fiksi spekulatif dan pengetahuan ilmiah untuk mengatasi antroposein dan mendorong perspektif ekosentris, seperti konsep Plantocene (Bruna, 2024).

Studi Kasus dan Angka Penting

  • Gerakan Extinction Rebellion (XR)
    XR mengusung “budaya regeneratif” yang menekankan perawatan diri, komunitas, dan lingkungan sebagai bentuk politik prefiguratif. Studi kualitatif dengan 25 wawancara mendalam menunjukkan dampak budaya ini pada individu, kelompok, dan masyarakat luas, termasuk peningkatan kecerdasan emosional dan praktik pengelolaan konflik secara non-kekerasan (Albanese, 2024).
  • Proyek AGORA (Horizon Europe)
    Inisiatif ini mengembangkan workshop kolaboratif di Spanyol, Italia, Swedia, dan Jerman untuk mendukung transformasi sosial menuju adaptasi iklim melalui co-creation dan pembelajaran bersama. Lebih dari 50 pemangku kepentingan lintas disiplin terlibat sebagai “pengikut” yang mengadopsi praktik terbaik (Mercogliano, 2024).
  • Diskursus NGO tentang Loss and Damage
    Analisis kritis terhadap posisi NGO dalam negosiasi iklim internasional mengungkapkan tiga pendekatan utama: manajemen risiko, adaptasi, dan keadilan iklim. NGO menuntut dana kompensasi dan mekanisme operasional yang jelas untuk membantu negara-negara berkembang yang paling rentan (Beltran & Sainz de Murieta, 2024).
  • Nasionalisme dan Krisis Iklim
    Studi oleh Daniele Conversi mengkritik bagaimana ideologi nasionalisme menjadi penghalang utama dalam aksi iklim global. Meskipun nasionalisme mendominasi politik dunia, belum ada integrasi serius antara studi nasionalisme dan perubahan iklim hingga tahun 2020. Nasionalisme juga berkontribusi pada keterlambatan dan hambatan dalam negosiasi iklim internasional (Conversi, 2024).

Analisis dan Nilai Tambah

Konferensi ini menegaskan bahwa krisis iklim tidak dapat dipahami dan diatasi hanya dari perspektif ilmiah dan teknis, tetapi harus melibatkan analisis kritis terhadap struktur sosial, budaya, dan politik yang mendasarinya. Pendekatan interdisipliner dan partisipatif menjadi kunci dalam mengembangkan solusi yang inklusif dan berkeadilan.

Gerakan sosial seperti Extinction Rebellion menunjukkan bahwa transformasi sosial yang nyata membutuhkan perubahan cara hidup dan hubungan antar manusia serta dengan alam, bukan sekadar kebijakan top-down. Konsep budaya regeneratif yang mereka usung memperlihatkan bagaimana praktik sosial dapat menjadi alat politik yang efektif.

Di sisi lain, analisis NGO tentang loss and damage menggarisbawahi pentingnya keadilan iklim dan tanggung jawab negara maju dalam mendukung negara berkembang, memperlihatkan kompleksitas negosiasi internasional yang melibatkan banyak aktor dan kepentingan.

Studi nasionalisme oleh Conversi membuka ruang diskusi penting mengenai bagaimana ideologi politik dapat menjadi penghalang atau pendorong dalam aksi iklim, sebuah aspek yang sering diabaikan dalam studi perubahan iklim.

Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan

  • Memperkuat keterlibatan ilmu sosial dalam kebijakan iklim untuk mengatasi aspek politik, budaya, dan sosial yang sering terabaikan.
  • Mendukung gerakan sosial dan praktik prefiguratif yang berorientasi pada transformasi sosial-ekologis dari bawah.
  • Meningkatkan transparansi dan partisipasi dalam negosiasi internasional, khususnya terkait mekanisme loss and damage.
  • Mengintegrasikan pendekatan interdisipliner dan kolaboratif dalam proyek adaptasi dan mitigasi iklim, seperti yang dilakukan oleh proyek AGORA.
  • Mengkritisi dan merefleksikan peran nasionalisme dalam politik iklim untuk menemukan solusi yang melampaui batas-batas negara.

Kesimpulan

Buku prosiding konferensi Socioecos 2024 memberikan gambaran luas dan mendalam tentang bagaimana perubahan iklim harus dipahami sebagai fenomena sosial-ekologis yang kompleks. Kontribusi ilmu sosial sangat penting untuk membuka ruang dialog kritis tentang keadilan, kekuasaan, dan transformasi budaya dalam menghadapi krisis iklim. Studi kasus dan diskusi dari berbagai disiplin ilmu dan gerakan sosial menunjukkan bahwa perubahan nyata membutuhkan aksi kolektif, inklusif, dan berkelanjutan yang menggabungkan ilmu, seni, politik, dan praktik sosial.

Sumber Artikel :

Tejerina, B., Miranda de Almeida, C., & Acuña, C. (Eds.). (2024). Climate Change, Sustainability and Socio-ecological Practices: Conference Proceedings June 6-7, 2024, Universidad del País Vasco/Euskal Herriko Unibertsitatea, Bilbao, Spain. Servicio Editorial de la Universidad del País Vasco / Euskal Herriko Unibertsitateko Argitalpen Zerbitzua. ISBN: 978-84-9082-680-5

 

Selengkapnya
Climate Change, Sustainability, and Socio-Ecological Practices – Perspektif Interdisipliner dari Konferensi Internasional Socioecos 2024
« First Previous page 3 of 8 Next Last »