Perubahan Iklim

Membaca Perjalanan Kebijakan Air Global: Dari Difusi hingga Branding dalam Tata Kelola Air Modern

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Kompleksitas Perjalanan Kebijakan Air di Era Globalisasi

Paper ini mengulas secara komprehensif empat generasi riset terkait perjalanan kebijakan air di berbagai negara dan konteks sosial-politik. Farhad Mukhtarov mengkaji kekuatan dan kelemahan pendekatan difusi, transfer, translasi, dan branding kebijakan air, serta bagaimana kebijakan tersebut tidak hanya berpindah, tapi juga berubah dan dibentuk ulang oleh konteks lokal dan kekuatan global.

Empat Generasi Riset Kebijakan Air

1. Difusi Kebijakan (Diffusion)

  • Fokus pada pola penyebaran kebijakan secara luas dan statistik, termasuk tipping points dan pola adopsi.
  • Menekankan faktor struktural seperti globalisasi dan norma internasional.
  • Contoh: Penyebaran Integrated Water Resources Management (IWRM) sebagai norma global.
  • Kelemahan: Kurang memperhatikan politik nasional dan transformasi kebijakan saat diadopsi.

2. Transfer Kebijakan (Transfer)

  • Studi kasus kecil yang meneliti aktor, motivasi, dan kondisi transfer kebijakan.
  • Transfer bisa bersifat sukarela, negosiasi, atau paksaan (coercion).
  • Contoh: Transfer Water User Associations (WUAs) di Uzbekistan dan Turki dengan berbagai tingkat keberhasilan dan penyesuaian.
  • Menyoroti peran aktor transnasional dan domestik serta konteks politik.

3. Translasi Kebijakan (Translation)

  • Memperhatikan bagaimana kebijakan mengalami perubahan makna dan bentuk saat berpindah konteks.
  • Fokus pada politik makna, kekuasaan, dan interpretasi lokal.
  • Contoh: Adaptasi Dutch Delta Approach di Bangladesh dan Vietnam yang melibatkan negosiasi dan kontestasi politik.
  • Menolak pandangan kebijakan sebagai objek tetap, melainkan sebagai proses dinamis dan kontingen.

4. Branding Kebijakan (Branding)

  • Fenomena baru di mana negara/kota memposisikan diri sebagai pusat keunggulan tata kelola air (Global Hydro-Hubs).
  • Melibatkan diplomasi, pemasaran, dan kolaborasi publik-swasta.
  • Contoh: Singapore International Water Week sebagai ajang promosi keahlian air.
  • Branding menjadi strategi geopolitik dan ekonomi di tengah krisis iklim dan kebutuhan air global.

Studi Kasus dan Contoh Nyata

  • Tennessee Valley Authority (TVA) AS: Model pengelolaan air yang berpengaruh di banyak DAS internasional.
  • IWRM: Sebagai kebijakan hegemonik global yang menyebar melalui jaringan internasional.
  • Dutch Delta Approach: Branding dan transfer kebijakan adaptasi delta ke negara-negara Asia Tenggara.
  • Singapore: Branding sebagai pusat solusi air urban melalui event dan diplomasi air.
  • EU Water Framework Directive (WFD): Transfer kebijakan dengan adaptasi kontekstual di Turki dan negara anggota.

Analisis Kritis

  • Paper ini berhasil menggabungkan berbagai pendekatan riset dan menempatkannya dalam dialog kritis.
  • Menekankan pentingnya konteks lokal dan politik dalam memahami perjalanan kebijakan air.
  • Branding sebagai fenomena baru menandai pergeseran peran negara dan swasta dalam tata kelola air global.
  • Kritik utama terhadap riset difusi dan transfer adalah asumsi linearitas dan kurangnya perhatian pada politik lokal dan transformasi kebijakan.

Relevansi dan Implikasi

  • Kebijakan air tidak bisa dipahami hanya sebagai objek statis, melainkan sebagai proses dinamis yang dipengaruhi oleh aktor, konteks, dan kekuasaan.
  • Pemahaman ini penting bagi pembuat kebijakan, donor, dan praktisi agar dapat mengelola transfer kebijakan dengan efektif dan sensitif terhadap konteks.
  • Branding dan diplomasi air menjadi instrumen penting dalam geopolitik air dan pasar global yang bernilai miliaran dolar.

Memahami Kompleksitas Perjalanan Kebijakan Air

Mukhtarov memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana kebijakan air bergerak, berubah, dan dibentuk ulang di berbagai belahan dunia. Pendekatan difusi, transfer, translasi, dan branding masing-masing menawarkan perspektif unik yang saling melengkapi. Tantangan utama adalah mengintegrasikan pendekatan ini untuk menghasilkan kebijakan air yang efektif, adil, dan berkelanjutan di tengah dinamika global dan lokal.

Sumber Artikel

Mukhtarov, F. (2022). A review of water policies on the move: Diffusion, transfer, translation or branding? Water Alternatives, 15(2), 290-306.

Selengkapnya
Membaca Perjalanan Kebijakan Air Global: Dari Difusi hingga Branding dalam Tata Kelola Air Modern

Perubahan Iklim

Climate-Smart Irrigation: Solusi Terintegrasi untuk Meningkatkan Produktivitas dan Ketahanan Iklim di Sektor Irigasi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Tantangan Irigasi di Tengah Perubahan Iklim

Irigasi memainkan peran krusial dalam ketahanan pangan global dengan menghasilkan sekitar 40% produksi pangan dunia meski hanya mengairi 20% lahan pertanian. Namun, irigasi juga menjadi pengguna air terbesar, menyerap hampir 47% air tawar yang diambil dari sumber permukaan dan air tanah. Dengan pertumbuhan populasi, urbanisasi, dan perubahan pola konsumsi, tekanan terhadap sumber daya air semakin meningkat. Perubahan iklim menambah kompleksitas dengan mengubah pola curah hujan, meningkatkan frekuensi kejadian ekstrem, dan menaikkan permintaan air untuk irigasi.

Dokumen ini menyajikan pendekatan Climate-Smart Irrigation (CSI) sebagai bagian integral dari Climate-Smart Agriculture (CSA), yang bertujuan meningkatkan produktivitas, memperkuat ketahanan, dan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dari sistem irigasi.

Konsep Climate-Smart Irrigation (CSI)

CSI merupakan pendekatan holistik yang menggabungkan tiga pilar utama CSA:

  • Produktivitas: Meningkatkan hasil panen dan pendapatan petani tanpa merusak lingkungan atau mengurangi ketersediaan air bagi pengguna lain.
  • Adaptasi: Memperkuat ketahanan sistem irigasi dan rantai nilai terhadap risiko iklim saat ini dan masa depan.
  • Mitigasi: Mengurangi emisi GRK dari seluruh siklus produksi, mulai dari penggunaan energi hingga pengelolaan lahan.

CSI menekankan pentingnya konteks agroklimatik dan sosial-ekonomi lokal serta dukungan kebijakan dan kelembagaan yang sesuai.

Tantangan Utama Sektor Irigasi

  • Ketidakpastian iklim: Perubahan pola curah hujan dan suhu yang sulit diprediksi memengaruhi ketersediaan air.
  • Reformasi sektor: Hambatan politik dan kelembagaan menghambat adopsi praktik berkelanjutan.
  • Efisiensi dan produktivitas: Meningkatkan efisiensi penggunaan air dan hasil panen secara bersamaan masih menjadi tantangan.
  • Resistensi terhadap perubahan: Petani dan pengelola irigasi sering enggan mengubah praktik lama tanpa jaminan hasil.
  • Pengelolaan air yang adil dan berkelanjutan: Menjaga keseimbangan antara kebutuhan pertanian, ekosistem, dan pengguna lain.

Pilar CSI dan Implementasinya

Peningkatan Produktivitas dan Pendapatan

  • Fokus pada menutup kesenjangan hasil panen antara potensi dan realisasi.
  • Model “Save and Grow” mengintegrasikan konservasi tanah dan air dengan praktik berkelanjutan.
  • Penerapan di tingkat DAS, skema irigasi, dan lahan petani.

Adaptasi terhadap Perubahan Iklim

  • Perencanaan berbasis risiko dan skenario masa depan.
  • Penguatan kapasitas kelembagaan dan dukungan teknis.
  • Pendekatan pengelolaan DAS dan irigasi yang fleksibel.

Mitigasi Emisi GRK

  • Pengurangan penggunaan energi fosil dengan teknologi hemat energi dan energi terbarukan.
  • Pengelolaan pupuk dan lahan untuk memaksimalkan penyerapan karbon.
  • Pengurangan kehilangan hasil panen dan efisiensi rantai nilai.

Studi Kasus Penting

  • Misión Posible II, Spanyol: Pengurangan konsumsi air irigasi hingga 20% tanpa menurunkan hasil panen dengan konservasi di lahan basah Las Tablas de Daimiel.
  • Kavre, Nepal: Pengembangan strategi adaptasi berbasis partisipasi menghadapi banjir dan kekeringan.
  • Danau Urmia, Iran: Proyek restorasi dengan pengelolaan irigasi dan konservasi DAS untuk memulihkan danau hypersaline terbesar kedua dunia.
  • Sub-Sahara Afrika: Pemanfaatan teknologi informasi untuk meningkatkan pengelolaan irigasi dan hasil panen.
  • Andean Agroforestry: Keterlibatan masyarakat dalam pemantauan sumber daya air dan hutan meningkatkan kapasitas adaptasi.

Analisis dan Nilai Tambah

  • Pendekatan CSI menggabungkan aspek teknis, kelembagaan, sosial, dan ekonomi secara holistik.
  • Menekankan integrasi adaptasi dan mitigasi dalam kerangka kerja yang fleksibel dan kontekstual.
  • Memberikan contoh nyata yang dapat menjadi inspirasi bagi negara berkembang dan maju.
  • Menyoroti pentingnya sistem monitoring berbasis teknologi digital dan sensor modern.

Kritik dan Tantangan

  • Resistensi budaya dan politik masih menjadi hambatan utama implementasi.
  • Kebutuhan investasi dan kapasitas teknis yang besar belum merata.
  • Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengatasi trade-off antara produktivitas, adaptasi, dan mitigasi.
  • Studi kasus masih terbatas di wilayah tertentu, perlu perluasan cakupan.

Menuju Irigasi Cerdas Iklim yang Berkelanjutan

Dokumen ini menjadi rujukan penting bagi pengambil kebijakan dan praktisi dalam menghadapi tantangan irigasi di era perubahan iklim. Climate-Smart Irrigation bukan hanya teknologi, tetapi juga tata kelola, kapasitas, dan kolaborasi multi-level. Dengan pendekatan ini, irigasi dapat meningkatkan produktivitas, memperkuat ketahanan, dan mengurangi jejak karbon, mendukung pencapaian SDG 2, 6, dan 13 secara simultan.

Sumber Artikel (Bahasa Asli)

Batchelor, C., Schnetzer, J. (2018). Compendium on Climate-Smart Irrigation: Concepts, evidence and options for a climate-smart approach to improving the performance of irrigated cropping systems. Global Alliance for Climate-Smart Agriculture, Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome.

Selengkapnya
Climate-Smart Irrigation: Solusi Terintegrasi untuk Meningkatkan Produktivitas dan Ketahanan Iklim di Sektor Irigasi

Perubahan Iklim

Pembangunan Berkelanjutan, Pengentasan Kemiskinan, dan Pengurangan Ketimpangan dalam Konteks Pemanasan Global 1,5°C

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Hubungan Kompleks antara Iklim dan Pembangunan

Bab ini menyoroti hubungan timbal balik yang kompleks antara pembangunan berkelanjutan, pengentasan kemiskinan, pengurangan ketimpangan, dan tindakan iklim dalam konteks pembatasan pemanasan global hingga 1,5°C di atas tingkat pra-industri. Pembatasan ini dinilai dapat mengurangi risiko kemiskinan dan ketimpangan secara signifikan, serta memudahkan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Dampak Pemanasan 1,5°C terhadap Kemiskinan dan Ketimpangan

  • Pemanasan global 1,5°C akan memperburuk kemiskinan dan ketimpangan, terutama bagi kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, masyarakat adat, dan penduduk di wilayah pesisir dan lahan kering.
  • Proyeksi menunjukkan bahwa pada 2030, pemanasan 1,5°C dapat menyebabkan tambahan 122 juta orang mengalami kemiskinan ekstrem, terutama akibat kenaikan harga pangan dan penurunan kesehatan.
  • Dibandingkan dengan pemanasan 2°C, pembatasan di 1,5°C dapat mengurangi jumlah orang rentan terhadap risiko iklim dan kemiskinan antara 62 hingga 457 juta orang.
  • Wilayah seperti Afrika, Asia Selatan, dan negara-negara kepulauan kecil sangat rentan terhadap dampak ini.

Sinergi dan Trade-Off antara Adaptasi, Mitigasi, dan Pembangunan Berkelanjutan

  • Adaptasi iklim yang efektif dapat memperkuat pencapaian SDGs, khususnya SDG 1 (kemiskinan), SDG 2 (kelaparan), SDG 3 (kesehatan), dan SDG 6 (air bersih).
  • Namun, beberapa strategi adaptasi dan mitigasi berpotensi menimbulkan trade-off, misalnya penggunaan pupuk yang berlebihan dapat merusak kualitas air, atau peningkatan irigasi dapat menimbulkan tekanan air.
  • Mitigasi dengan pengurangan emisi di sektor energi dan pertanian dapat memberikan manfaat kesehatan dan lingkungan yang besar, sekaligus mendukung pembangunan berkelanjutan.
  • Transformasi sosial dan ekonomi yang inklusif sangat penting untuk mengoptimalkan sinergi dan meminimalkan trade-off.

Jalur Pembangunan Berkelanjutan Menuju Dunia 1,5°C

  • Jalur pembangunan yang berkelanjutan dan tahan iklim (Climate-Resilient Development Pathways/CRDPs) mengintegrasikan adaptasi, mitigasi, dan pembangunan sosial-ekonomi.
  • Jalur ini menuntut transformasi sistemik yang meliputi perubahan teknologi, institusi, nilai budaya, dan pola konsumsi.
  • Studi menunjukkan bahwa jalur dengan tingkat kesetaraan sosial dan pengurangan kemiskinan yang tinggi (misalnya SSP1) lebih memungkinkan untuk mencapai target 1,5°C dengan biaya mitigasi yang lebih rendah.
  • Jalur yang berisiko tinggi (misalnya SSP3 dengan rivalitas regional dan ketimpangan) menghadapi tantangan besar untuk mencapai target iklim dan pembangunan.

Studi Kasus: Praktik Berbasis Komunitas dan Ekosistem

  • Di daerah kering, praktik regenerasi alami yang dikelola petani (Farmer Managed Natural Regeneration/FMNR) telah berhasil merehabilitasi jutaan hektar lahan di Afrika dan Asia, meningkatkan ketahanan pangan dan mengurangi kemiskinan.
  • Contoh di Ethiopia menunjukkan rehabilitasi lahan yang mendukung 648.000 orang dan merehabilitasi 25,4 juta hektar lahan antara 2012-2015.
  • Pendekatan berbasis ekosistem dan komunitas ini merupakan strategi adaptasi dan mitigasi yang murah, efektif, dan inklusif.

Tantangan dan Kondisi untuk Mencapai Tujuan

  • Pencapaian pembangunan berkelanjutan dan mitigasi iklim memerlukan koordinasi lintas sektor dan tingkat pemerintahan.
  • Pendanaan dan transfer teknologi harus disesuaikan dengan kebutuhan lokal dan memperhatikan keadilan sosial.
  • Proses inklusif dan partisipatif sangat penting untuk memastikan keterlibatan kelompok rentan dan pengambilan keputusan yang adil.
  • Perlu perhatian khusus pada struktur kekuasaan dan ketimpangan yang dapat menghambat transformasi sosial dan lingkungan.

Opini dan Kritik

  • Bab ini sangat komprehensif dan menggabungkan berbagai aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan secara holistik.
  • Penekanan pada sinergi dan trade-off memberikan gambaran realistis tentang kompleksitas transformasi yang dibutuhkan.
  • Namun, literatur tentang dampak jangka panjang dan evaluasi empiris jalur pembangunan berkelanjutan masih terbatas.
  • Perlu lebih banyak studi kontekstual dan kebijakan yang mengintegrasikan keadilan sosial secara eksplisit.

Jalan Menuju Masa Depan yang Adil dan Berkelanjutan

Pembatasan pemanasan global hingga 1,5°C membuka peluang besar untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan, serta mempercepat pencapaian SDGs. Namun, ini menuntut transformasi sosial-ekonomi yang mendalam, penguatan kapasitas adaptasi, dan kebijakan inklusif yang mengatasi ketidaksetaraan. Pendekatan holistik yang mengintegrasikan adaptasi, mitigasi, dan pembangunan berkelanjutan menjadi kunci untuk masa depan yang lebih adil dan lestari.

Sumber Artikel

Roy, J., Tschakert, P., Waisman, H., Abdul Halim, S., Antwi-Agyei, P., Dasgupta, P., Hayward, B., Kanninen, M., Liverman, D., Okereke, C., Pinho, P.F., Riahi, K., Suarez Rodriguez, A.G. (2018). Sustainable Development, Poverty Eradication and Reducing Inequalities. In: Global Warming of 1.5°C. An IPCC Special Report on the impacts of global warming of 1.5°C above pre-industrial levels and related global greenhouse gas emission pathways, in the context of strengthening the global response to the threat of climate change, sustainable development, and efforts to eradicate poverty. Masson-Delmotte, V. et al. (eds.). In Press.

Selengkapnya
Pembangunan Berkelanjutan, Pengentasan Kemiskinan, dan Pengurangan Ketimpangan dalam Konteks Pemanasan Global 1,5°C

Perubahan Iklim

Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan dan Pengentasan Kemiskinan di Era Pemanasan Global 1,5°C

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Tantangan dan Peluang di Dunia yang Memanas

Bab ini mengkaji hubungan kompleks antara pembangunan berkelanjutan, pengentasan kemiskinan, pengurangan ketimpangan, dan tindakan iklim dalam konteks pembatasan pemanasan global hingga 1,5°C di atas tingkat pra-industri. Laporan ini menegaskan bahwa membatasi pemanasan pada 1,5°C dibanding 2°C dapat secara signifikan mengurangi risiko kemiskinan, ketimpangan, dan dampak buruk iklim lainnya, sekaligus memudahkan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Dampak Pemanasan 1,5°C terhadap Kemiskinan dan Ketimpangan

  • Pemanasan global 1,5°C akan memperburuk kemiskinan dan ketimpangan, terutama bagi kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, masyarakat adat, dan penduduk di wilayah pesisir dan lahan kering.
  • Proyeksi menunjukkan bahwa pada 2030, pemanasan 1,5°C dapat menyebabkan 122 juta orang tambahan mengalami kemiskinan ekstrem, terutama akibat kenaikan harga pangan dan penurunan kesehatan.
  • Dibandingkan dengan pemanasan 2°C, pembatasan di 1,5°C dapat mengurangi jumlah orang yang rentan terhadap risiko iklim dan kemiskinan antara 62 hingga 457 juta orang.
  • Wilayah seperti Afrika, Asia Selatan, dan negara-negara kepulauan kecil sangat rentan terhadap dampak ini.

Sinergi dan Trade-Off antara Adaptasi, Mitigasi, dan Pembangunan Berkelanjutan

  • Adaptasi iklim yang efektif dapat memperkuat pencapaian SDGs, khususnya SDG 1 (kemiskinan), SDG 2 (kelaparan), SDG 3 (kesehatan), dan SDG 6 (air bersih).
  • Namun, beberapa strategi adaptasi dan mitigasi berpotensi menimbulkan trade-off, misalnya penggunaan pupuk yang berlebihan dapat merusak kualitas air, atau peningkatan irigasi dapat menimbulkan tekanan air.
  • Mitigasi dengan pengurangan emisi di sektor energi dan pertanian dapat memberikan manfaat kesehatan dan lingkungan yang besar, sekaligus mendukung pembangunan berkelanjutan.
  • Transformasi sosial dan ekonomi yang inklusif sangat penting untuk mengoptimalkan sinergi dan meminimalkan trade-off.

Jalur Pembangunan Berkelanjutan Menuju Dunia 1,5°C

  • Jalur pembangunan yang berkelanjutan dan tahan iklim (Climate-Resilient Development Pathways/CRDPs) mengintegrasikan adaptasi, mitigasi, dan pembangunan sosial-ekonomi.
  • Jalur ini menuntut transformasi sistemik yang meliputi perubahan teknologi, institusi, nilai budaya, dan pola konsumsi.
  • Studi menunjukkan bahwa jalur dengan tingkat kesetaraan sosial dan pengurangan kemiskinan yang tinggi (misalnya SSP1) lebih memungkinkan untuk mencapai target 1,5°C dengan biaya mitigasi yang lebih rendah.
  • Jalur yang berisiko tinggi (misalnya SSP3 dengan rivalitas regional dan ketimpangan) menghadapi tantangan besar untuk mencapai target iklim dan pembangunan.

Studi Kasus: Praktik Berbasis Komunitas dan Ekosistem

  • Di daerah kering, praktik regenerasi alami yang dikelola petani (Farmer Managed Natural Regeneration/FMNR) telah berhasil merehabilitasi jutaan hektar lahan di Afrika dan Asia, meningkatkan ketahanan pangan dan mengurangi kemiskinan.
  • Contoh di Ethiopia menunjukkan rehabilitasi lahan yang mendukung 648.000 orang dan merehabilitasi 25,4 juta hektar lahan antara 2012-2015.
  • Pendekatan berbasis ekosistem dan komunitas ini merupakan strategi adaptasi dan mitigasi yang murah, efektif, dan inklusif.

Tantangan dan Kondisi untuk Mencapai Tujuan

  • Pencapaian pembangunan berkelanjutan dan mitigasi iklim memerlukan koordinasi lintas sektor dan tingkat pemerintahan.
  • Pendanaan dan transfer teknologi harus disesuaikan dengan kebutuhan lokal dan memperhatikan keadilan sosial.
  • Proses inklusif dan partisipatif sangat penting untuk memastikan keterlibatan kelompok rentan dan pengambilan keputusan yang adil.
  • Perlu perhatian khusus pada struktur kekuasaan dan ketimpangan yang dapat menghambat transformasi sosial dan lingkungan.

Opini dan Kritik

  • Bab ini sangat komprehensif dan menggabungkan berbagai aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan secara holistik.
  • Penekanan pada sinergi dan trade-off memberikan gambaran realistis tentang kompleksitas transformasi yang dibutuhkan.
  • Namun, literatur tentang dampak jangka panjang dan evaluasi empiris jalur pembangunan berkelanjutan masih terbatas.
  • Perlu lebih banyak studi kontekstual dan kebijakan yang mengintegrasikan keadilan sosial secara eksplisit.

Jalan Menuju Masa Depan yang Adil dan Berkelanjutan

Pembatasan pemanasan global hingga 1,5°C membuka peluang besar untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan, serta mempercepat pencapaian SDGs. Namun, ini menuntut transformasi sosial-ekonomi yang mendalam, penguatan kapasitas adaptasi, dan kebijakan inklusif yang mengatasi ketidaksetaraan. Pendekatan holistik yang mengintegrasikan adaptasi, mitigasi, dan pembangunan berkelanjutan menjadi kunci untuk masa depan yang lebih adil dan lestari.

Sumber Artikel 

Roy, J., Tschakert, P., Waisman, H., Abdul Halim, S., Antwi-Agyei, P., Dasgupta, P., Hayward, B., Kanninen, M., Liverman, D., Okereke, C., Pinho, P.F., Riahi, K., dan Suarez Rodriguez, A.G. (2018). Sustainable Development, Poverty Eradication and Reducing Inequalities. In: Global Warming of 1.5°C. An IPCC Special Report on the impacts of global warming of 1.5°C above pre-industrial levels and related global greenhouse gas emission pathways, in the context of strengthening the global response to the threat of climate change, sustainable development, and efforts to eradicate poverty. Masson-Delmotte, V. et al. (eds.). In Press.

Selengkapnya
Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan dan Pengentasan Kemiskinan di Era Pemanasan Global 1,5°C

Perubahan Iklim

Strategi Adaptasi Iklim Swedia: Studi Kasus, Tantangan, dan Inovasi Menuju Masyarakat Tangguh di Era Pemanasan Global

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Swedia di Garis Depan Adaptasi Iklim Dunia

Swedia, negara Skandinavia dengan reputasi tinggi dalam inovasi lingkungan, menghadapi tantangan perubahan iklim yang semakin nyata. Laporan “Sweden’s Adaptation Communication” (ADCOM, 2022) kepada UNFCCC memaparkan capaian, tantangan, dan strategi nasional Swedia dalam membangun masyarakat yang tahan iklim. Resensi ini mengulas laporan tersebut secara kritis, menyoroti data, studi kasus, kebijakan, serta pelajaran yang bisa diadopsi negara lain.

Gambaran Umum: Kondisi, Kerangka Hukum, dan Institusi Adaptasi Swedia

Fakta Kunci

  • Kenaikan suhu rata-rata di Swedia sudah hampir 2°C sejak era pra-industri—dua kali lipat dari rata-rata global.
  • Wilayah: 406.550 km², dengan 58% hutan, 8% lahan pertanian, 12% lahan basah, 9% perairan darat.
  • Populasi: 10,4 juta (2020), diproyeksikan 10,9 juta pada 2030.
  • Kepadatan: 25,5 jiwa/km², dengan konsentrasi tinggi di wilayah selatan dan Stockholm (367 jiwa/km²).

Kerangka Kelembagaan dan Regulasi

  • Strategi Adaptasi Nasional 2018: Menetapkan tujuan masyarakat tangguh iklim, dengan prinsip-prinsip adaptasi, monitoring, dan evaluasi lima tahunan.
  • Ordinance on Adaptation (2019): Mengatur 32 lembaga nasional dan 21 dewan administratif daerah untuk menyusun rencana aksi adaptasi, analisis kerentanan, dan pelaporan tahunan.
  • Peran Pemerintah Daerah: 290 kotamadya bertanggung jawab atas perencanaan tata ruang, infrastruktur air, layanan sosial, dan kesiapsiagaan bencana.
  • Pendanaan: Hibah pemerintah untuk pencegahan tanah longsor (misal: Göta älv), banjir, dan erosi; dana LONA untuk solusi berbasis alam.

Dampak, Risiko, dan Kerentanan: Studi Kasus dan Data

Tren Iklim & Proyeksi

  • Suhu rata-rata naik 1°C (1991–2020 vs. 1961–1990); di utara, kenaikan >2°C di musim dingin.
  • Proyeksi: Musim tanam bertambah 20–80 hari (tergantung lokasi) hingga akhir abad ini; musim dingin makin pendek, musim panas lebih panjang.

Bencana Iklim: Data dan Studi Kasus

1. Kebakaran Hutan & Kekeringan

  • 2014: Kebakaran terbesar dalam 60 tahun, membakar hampir 14.000 ha di tengah Swedia.
  • 2018: Lebih dari 25.000 ha hutan terbakar akibat musim panas ekstrem; kerugian ekonomi dan ekologi besar.
  • Proyeksi: Kekeringan meningkat >60 hari/tahun di selatan dan sekitar danau besar pada akhir abad ini.

2. Banjir dan Hujan Ekstrem

  • 2021, Gävle: 161 mm hujan dalam 24 jam (dua kali lipat rata-rata bulanan), menyebabkan banjir besar, evakuasi, dan kerusakan infrastruktur.
  • Risiko banjir: Lebih sering di selatan dan barat daya, terutama di kota-kota pesisir dan lembah sungai.

3. Kenaikan Muka Laut dan Erosi Pantai

  • Rata-rata kenaikan muka laut: 25 cm sejak 1800-an, namun di banyak wilayah Swedia diimbangi oleh kenaikan daratan pasca-glasial (hingga 10 mm/tahun di utara).
  • Wilayah selatan: Paling rentan karena kenaikan daratan hampir nol.
  • Skåne: Garis pantai mundur 200 meter dalam 35 tahun di beberapa lokasi akibat erosi.

4. Gelombang Panas

  • Definisi: Suhu ≥25°C selama ≥5 hari berturut-turut.
  • Tren: Makin sering, berdampak pada kesehatan (peningkatan mortalitas, penyakit pernapasan), terutama kelompok rentan seperti lansia dan anak-anak.

5. Dampak pada Air Minum dan Sanitasi

  • Kekeringan dan banjir: Menurunkan debit sungai, meningkatkan risiko kontaminasi sumber air baku, dan memperbesar kebutuhan teknologi pengolahan air.
  • Intrusi salinitas: Ancaman bagi akuifer pesisir akibat kenaikan muka laut.

Dampak Sektoral: Analisis Spesifik

Pertanian & Ketahanan Pangan

  • Musim tanam lebih panjang: Potensi panen meningkat, namun risiko gagal panen akibat kekeringan, banjir, dan serangan hama juga naik.
  • Irigasi: Hanya 3% pengambilan air untuk irigasi, namun kebutuhan melonjak di Skåne dan selatan saat musim kering.
  • Dampak 2018: Kekeringan menyebabkan penurunan produksi, kenaikan harga pangan, dan kerugian petani.

Kehutanan

  • 58% lahan Swedia berupa hutan; sektor penting ekonomi dan ekosistem.
  • Risiko: Kebakaran, serangan hama, badai, dan perubahan spesies pohon.
  • Adaptasi: Diversifikasi spesies, perubahan pola penebangan, perlindungan hutan tua.

Infrastruktur & Tata Kota

  • Risiko banjir dan longsor: 10 kawasan prioritas nasional diidentifikasi sebagai rawan banjir, erosi, dan tanah longsor.
  • Tindakan adaptasi: Penguatan tanggul, sistem drainase adaptif, taman resapan (rain gardens), dan pengurangan permukaan kedap air.
  • Contoh: Kota Malmö membangun taman Hyllie yang didesain untuk menampung air hujan ekstrem.

Energi

  • Hydropower: 85% gangguan listrik akibat cuaca ekstrem (badai, banjir, kekeringan).
  • Adaptasi: Penguatan bendungan, perubahan manajemen reservoir, konversi jaringan listrik bawah tanah.

Kesehatan

  • Risiko utama: Gelombang panas, penyakit vektor (Lyme, TBE), alergi, dan penyakit air.
  • Adaptasi: Panduan kesehatan untuk gelombang panas, penguatan sistem pemantauan penyakit, edukasi publik.

Reindeer Herding & Budaya Sami

  • Dampak: Pergeseran musim, hilangnya padang rumput, fragmentasi habitat, dan tekanan pada budaya Sami.
  • Adaptasi: Rencana aksi komunitas Sami untuk identifikasi risiko dan strategi adaptasi lokal.

Kebijakan, Strategi, dan Implementasi

Strategi Nasional Adaptasi (2018)

  • Tujuan: Masyarakat tahan iklim, mengurangi kerentanan, dan memanfaatkan peluang.
  • 10 prinsip adaptasi: Termasuk sains, kehati-hatian, fleksibilitas, integrasi, dan keadilan.
  • Monitoring: Evaluasi lima tahunan oleh Dewan Ahli Adaptasi Nasional.

Rencana Aksi dan Implementasi

  • 45 rencana aksi adaptasi nasional dan regional untuk sektor-sektor kunci.
  • 150+ rencana aksi lokal di tingkat kotamadya (sekitar 50% dari total kota).
  • 90% kotamadya menyadari kebutuhan adaptasi, namun hanya setengah yang sudah punya rencana aksi formal.

Pendanaan & Dukungan

  • Hibah khusus: Pencegahan longsor di Göta älv, dana LONA untuk solusi berbasis alam, LIFE-EU untuk investasi lingkungan.
  • Kerja sama internasional: Dukungan ke negara berkembang melalui Sida (Swedish International Development Cooperation Agency), dengan fokus Afrika dan Asia.

Studi Kasus Adaptasi: Inovasi dan Pembelajaran

1. Taman Hyllie, Malmö

  • Latar: Banjir besar 2014 mendorong desain ulang taman kota untuk menampung air hujan ekstrem.
  • Inovasi: Kombinasi taman, kolam resapan, dan sistem drainase alami.
  • Dampak: Menurunkan risiko banjir dan meningkatkan kualitas ruang publik.

2. Pemetaan Cloudburst di Botkyrka

  • Metode: Analisis kerentanan banjir akibat hujan deras, pemetaan zona rawan, dan pengembangan rencana aksi.
  • Manfaat: Mengidentifikasi kebutuhan infrastruktur baru dan strategi kesiapsiagaan.

3. Adaptasi Kehutanan

  • Aksi: Diversifikasi spesies, adaptasi pola penebangan, dan perlindungan hutan tua.
  • Dampak: Meningkatkan resiliensi hutan terhadap kebakaran, hama, dan badai.

4. Rencana Aksi Komunitas Sami

  • Fokus: Identifikasi risiko perubahan iklim pada penggembalaan rusa dan budaya Sami.
  • Strategi: Konsultasi komunitas, pemetaan risiko lokal, dan pengembangan rencana adaptasi berbasis pengetahuan adat.

Tantangan, Hambatan, dan Gap

Kesenjangan Implementasi

  • Variasi antar daerah: Kota besar dan pesisir lebih maju dalam adaptasi, sementara kota kecil dan utara masih tertinggal.
  • Keterbatasan SDM dan data: Banyak kota kekurangan staf dan data iklim lokal.
  • Hambatan hukum: Beberapa regulasi dianggap menghambat inovasi adaptasi.

Gap Pengetahuan

  • Risiko transnasional: Dampak iklim di luar Swedia (misal: migrasi, ketahanan pangan global) belum terintegrasi penuh dalam strategi nasional.
  • Adaptasi berkeadilan: Isu gender, kelompok rentan, dan keadilan sosial masih perlu penguatan dalam kebijakan dan implementasi.

Hambatan Praktis

  • Pendanaan: Keterbatasan anggaran untuk infrastruktur adaptasi, terutama di daerah rural.
  • Koordinasi lintas sektor: Masih perlu penguatan, terutama antara pemerintah pusat, daerah, dan komunitas lokal.

Pelajaran, Praktik Baik, dan Rekomendasi

Praktik Baik

  • Solusi berbasis alam: Restorasi lahan basah, taman kota multifungsi, dan pengelolaan DAS partisipatif.
  • Jaringan adaptasi lokal: Kolaborasi antar kota (contoh: jaringan adaptasi di Gothenburg) mempercepat pertukaran pengetahuan dan inovasi.
  • Integrasi sains dan pengetahuan lokal: Melibatkan komunitas adat Sami dalam perencanaan adaptasi.

Rekomendasi

  1. Perkuat kapasitas lokal: Pelatihan staf, penguatan data iklim, dan dukungan teknis untuk kota kecil dan daerah utara.
  2. Integrasi keadilan sosial: Pastikan adaptasi inklusif, memperhatikan gender, kelompok rentan, dan masyarakat adat.
  3. Dorong inovasi dan solusi berbasis alam: Skala-up praktik baik seperti taman resapan, restorasi lahan basah, dan desain ruang publik adaptif.
  4. Penguatan monitoring dan evaluasi: Sistem evaluasi adaptasi perlu diperkuat dan hasilnya dijadikan dasar kebijakan.
  5. Kolaborasi internasional: Tingkatkan kerja sama dengan negara berkembang, terutama di Afrika dan Asia, untuk transfer pengetahuan dan pendanaan.

Hubungan dengan Tren Global dan Industri

  • SDGs, Paris Agreement, Sendai Framework: Strategi adaptasi Swedia selaras dengan agenda global.
  • Nature-based solutions dan digitalisasi: Menjadi tren utama di Eropa dan dunia, dengan Swedia sebagai pelopor.
  • Pendanaan iklim internasional: Swedia termasuk donor utama untuk adaptasi di negara berkembang, dengan fokus pada inklusi gender dan keadilan.

Kritik dan Opini

Kelebihan

  • Komprehensif dan transparan: Laporan memuat data, kebijakan, dan studi kasus nyata.
  • Fokus pada keadilan: Integrasi gender dan pengetahuan adat menjadi kekuatan utama.
  • Monitoring dan evaluasi: Sistem evaluasi lima tahunan dan pelaporan tahunan memperkuat akuntabilitas.

Kekurangan

  • Belum merata: Implementasi adaptasi masih timpang antar wilayah.
  • Kurang roadmap digitalisasi: Perlu strategi lebih jelas untuk pemanfaatan teknologi digital dan data iklim real-time.
  • Gap pengetahuan transnasional: Dampak global dan ketergantungan Swedia pada sistem internasional masih kurang diintegrasikan.

Menuju Swedia Tangguh Iklim dan Inklusif

Laporan Adaptation Communication Sweden 2022 menunjukkan bahwa Swedia berada di jalur yang tepat dalam membangun masyarakat tahan iklim, namun tantangan besar tetap ada. Kunci keberhasilan ada pada inovasi, kolaborasi lintas sektor, penguatan kapasitas lokal, dan integrasi keadilan sosial dalam seluruh kebijakan. Dengan memperkuat praktik baik dan mempercepat adopsi solusi berbasis alam serta digitalisasi, Swedia dapat menjadi model global dalam adaptasi iklim yang inklusif dan berkelanjutan.

Sumber Artikel 

Ministry of the Environment, Sweden. (2022). Sweden’s Adaptation Communication. A report to the United Nations Framework Convention on Climate Change, November 2022.

Selengkapnya
Strategi Adaptasi Iklim Swedia: Studi Kasus, Tantangan, dan Inovasi Menuju Masyarakat Tangguh di Era Pemanasan Global

Perubahan Iklim

Krisis dan Peluang Ketahanan Pangan Arab: Analisis Data, Studi Kasus, dan Strategi Adaptasi di Era Krisis Air dan Iklim

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Peta Krisis Ketahanan Pangan Arab

Laporan “Arab Environment: Food Security” (AFED 2014) adalah salah satu dokumen paling komprehensif yang membedah tantangan dan prospek ketahanan pangan di dunia Arab. Dengan menggabungkan data empiris, studi kasus, dan analisis kebijakan, laporan ini membedah akar krisis pangan—mulai dari kelangkaan air, degradasi lahan, perubahan iklim, hingga ketergantungan impor—serta menawarkan peta jalan inovatif menuju ketahanan pangan berkelanjutan.

Gambaran Umum: Fakta, Angka, dan Tren Ketahanan Pangan

Ketergantungan Impor dan Defisit Pangan

  • Rasio swasembada pangan Arab hanya 71,7% (2011), turun dari 70,5% (2005).
  • Swasembada serealia lebih rendah: 45,5% (2011), turun dari 49,7% (2005).
  • Negara GCC (Gulf Cooperation Council) hanya 9,1% swasembada serealia.
  • Sudan tertinggi (86,8%), Qatar terendah (9,9%).
  • Rata-rata Arab: swasembada gula 36,9%, minyak/lemak 54,3%, daging 76,2%, buah & sayur 106,2%, ikan 98,2%.
  • Impor pangan Arab pada 2011 mencapai 105,8 juta ton (US$55,6 miliar), termasuk 66,8 juta ton serealia (US$25 miliar).
  • Biaya impor pangan naik dari US$288/ton (2005) ke US$525/ton (2011).
  • Proyeksi 2050: biaya impor pangan bisa tembus US$150 miliar, serealia US$60 miliar.

Krisis Air: Jantung Masalah Pangan Arab

  • Rata-rata ketersediaan air terbarukan: 813 m³/kapita/tahun (2011), jauh di bawah rata-rata dunia (6.000 m³).
  • 13 negara Arab masuk kategori sangat langka air (<500 m³/kapita); 6 negara “exceptionally scarce” (<100 m³/kapita).
  • 85% air dihabiskan untuk irigasi, dengan efisiensi rata-rata hanya 51%.
  • Beberapa negara (Kuwait, UAE, Qatar, Libya, Saudi Arabia) menarik air untuk pertanian jauh melebihi sumber terbarukan (misal: Kuwait 2.460% dari sumber terbarukan).
  • Krisis air diperparah oleh pertumbuhan penduduk, urbanisasi, dan perubahan iklim.

Studi Kasus dan Data Lapangan

1. Abu Dhabi: Krisis Air dan Strategi Ketahanan

  • Sumber air utama: 65% air tanah (hanya 20% yang tawar/brackish), 30% desalinasi, 5% air daur ulang.
  • 80% air tanah digunakan untuk pertanian.
  • Tingkat penurunan muka air tanah di area intensif bisa mencapai 5 meter/tahun.
  • Proyeksi: air tanah tawar habis dalam 50 tahun jika pola konsumsi tak berubah.
  • Solusi: “water budget” berbasis desalinasi, air daur ulang, dan recharge alami; mengurangi konsumsi pertanian; investasi biosaline agriculture.
  • Saat ini, produksi pangan domestik hanya penuhi 10% kebutuhan Abu Dhabi.
  • Impor pangan tetap jadi andalan, dengan strategi diversifikasi negara pemasok.

2. Maroko: Green Morocco Plan (GMP)

  • Pertanian menyumbang 18% PDB, 38% lapangan kerja nasional, 75% di pedesaan.
  • Hanya 16% lahan pertanian yang diairi, sisanya tergantung hujan (rata-rata 365 mm/tahun).
  • GMP (2008–2020): investasi >US$10 miliar, dua pilar (intensifikasi pertanian modern & penguatan petani kecil).
  • Program utama: konversi 550.000 ha irigasi permukaan ke drip irrigation (333.000 ha selesai 2012), target 700.000 ha.
  • Program adaptasi iklim: konservasi tanah, varietas toleran kekeringan, rotasi tanaman, asuransi cuaca.
  • Konversi 1,1 juta ha lahan serealia tak produktif ke pohon buah (terutama zaitun).
  • Hasil: peningkatan produktivitas dan ketahanan petani kecil terhadap iklim ekstrem.

3. GCC: Investasi Luar Negeri dan Strategi Cadangan

  • Negara GCC (Saudi, UAE, Qatar, Kuwait, Oman, Bahrain) sangat bergantung pada impor pangan.
  • Investasi besar-besaran di lahan pertanian luar negeri (Afrika, Asia) untuk menjamin pasokan serealia dan pakan.
  • Inisiatif Saudi Agricultural Investment Abroad dan Qatar National Plan for Food Security.
  • Cadangan pangan strategis dan sistem peringatan dini menjadi prioritas, termasuk pengembangan infrastruktur penyimpanan.
  • GCC juga pionir dalam penggunaan air limbah terolah untuk irigasi (37% dari total air limbah terolah).

4. Rainfed Agriculture dan Petani Kecil

  • 75% lahan pertanian Arab adalah lahan tadah hujan, namun produktivitasnya sangat rendah (rata-rata 0,8 ton/ha untuk serealia).
  • Studi ICARDA: adopsi teknologi panen air hujan bisa melipatgandakan hasil panen 2–3 kali.
  • Contoh: di Sudan dan Tunisia, panen air hujan tingkatkan hasil serealia 20–30%.
  • Raised-bed planting di Mesir: naikkan hasil gandum 30%, hemat air 25%, efisiensi air 72%.

5. Post-Harvest Losses (PHL)

  • Kerugian pascapanen serealia: 6,6 juta ton/tahun (13% produksi regional).
  • Kerugian impor gandum: 3,3 juta ton/tahun (5% dari total impor).
  • Nilai kerugian gabungan: US$3,5 miliar (setara 40% produksi gandum Arab).
  • Penyebab: panen, transportasi, penyimpanan, dan logistik impor yang buruk.
  • Solusi: investasi pada rantai pasok, penyimpanan modern, dan edukasi petani.

Analisis Kritis: Tantangan, Kesenjangan, dan Peluang

Tantangan Utama

  • Kelangkaan air dan lahan: Rata-rata lahan subur per kapita sangat rendah, bahkan di bawah 0,1 ha di banyak negara.
  • Irigasi boros dan tidak efisien: Rata-rata efisiensi irigasi hanya 51%, jauh di bawah standar global.
  • Produktivitas rendah: Rata-rata hasil serealia Arab hanya 1.794 kg/ha (2012), sedangkan rata-rata dunia 3.619 kg/ha.
  • Ketergantungan impor: Arab adalah importir serealia terbesar dunia, sangat rentan terhadap fluktuasi harga dan krisis pasokan global.
  • Dampak perubahan iklim: Proyeksi penurunan hasil panen 20–40% di negara-negara seperti Mesir, Aljazair, dan Maroko pada 2030–2050.
  • Degradasi lahan dan air: Salinisasi, erosi, penurunan muka air tanah, dan polusi air merusak kapasitas produksi jangka panjang.

Peluang dan Solusi

  • Peningkatan efisiensi irigasi: Jika efisiensi naik ke 70%, bisa hemat 50 miliar m³ air/tahun—cukup untuk produksi 30 juta ton serealia (45% impor serealia, setara US$11,25 miliar).
  • Peningkatan produktivitas lahan tadah hujan: Dengan teknologi panen air hujan dan varietas unggul, hasil bisa naik 2–3 kali lipat (tambahan 15–30 juta ton serealia).
  • Penggunaan air limbah terolah: Potensi besar, namun saat ini baru 9% air limbah terolah digunakan untuk irigasi di negara non-GCC.
  • Diversifikasi pangan: Promosi konsumsi ikan (sudah hampir swasembada) dan pengembangan akuakultur.
  • Kerja sama intra-regional: Integrasi rantai pasok pangan, harmonisasi kebijakan pertanian, dan investasi bersama di negara tetangga (terutama Afrika).
  • Virtual water trade: Impor pangan dari negara berair melimpah sebagai strategi konservasi air domestik.

Studi Perbandingan dan Tren Global

  • Produktivitas serealia dunia naik karena inovasi teknologi, bukan perluasan lahan. Di Arab, kenaikan produksi lebih banyak akibat perluasan lahan (naik 39% sejak 1961), bukan peningkatan hasil (baru 1.794 kg/ha vs. 3.619 kg/ha dunia).
  • Negara seperti Mesir dan GCC, dengan irigasi hampir 100%, hasil lebih tinggi. Sudan, dengan irigasi <10%, hasil sangat rendah (472 kg/ha).
  • GCC pionir dalam penggunaan air limbah terolah dan investasi pertanian luar negeri.
  • Maroko dan Tunisia sukses dengan drip irrigation dan asuransi cuaca.
  • Konsep water-food-energy-climate nexus makin diadopsi, menuntut kebijakan lintas sektor.

Kritik dan Opini

Kelebihan Laporan

  • Data sangat rinci dan komparatif: Menyajikan angka-angka per negara, sub-wilayah, dan tren historis.
  • Studi kasus nyata: Abu Dhabi, Maroko, GCC, dan petani kecil menjadi contoh konkret.
  • Analisis lintas sektor: Memadukan isu air, energi, pangan, dan iklim dalam satu kerangka.

Kekurangan

  • Kurang eksplorasi inovasi digital: Teknologi sensor, big data, dan digitalisasi rantai pasok belum banyak dibahas.
  • Isu keadilan dan gender: Peran perempuan dan kelompok rentan dalam ketahanan pangan kurang dieksplorasi.
  • Replikasi solusi: Banyak solusi bersifat kontekstual, perlu adaptasi jika diterapkan di negara lain.

Rekomendasi Kebijakan

  1. Tingkatkan efisiensi irigasi dan produktivitas lahan tadah hujan melalui adopsi teknologi tepat guna, pelatihan petani, dan investasi riset.
  2. Dorong penggunaan air limbah terolah secara aman dan luas untuk irigasi.
  3. Kurangi kerugian pascapanen dengan modernisasi rantai pasok dan edukasi.
  4. Bangun cadangan pangan strategis dan sistem peringatan dini untuk menghadapi krisis global.
  5. Perkuat kerja sama intra dan inter-regional untuk investasi, transfer teknologi, dan harmonisasi kebijakan.
  6. Integrasikan kebijakan pangan, air, energi, dan iklim dalam satu kerangka nasional dan regional.
  7. Kembangkan sistem asuransi pertanian dan adaptasi iklim untuk melindungi petani kecil dan meningkatkan resiliensi.
  8. Promosikan diversifikasi pangan (ikan, buah, sayur, produk lokal) dan perubahan pola konsumsi.

Hubungan dengan Tren Industri dan Kebijakan Global

  • SDG 2 (Zero Hunger), SDG 6 (Clean Water), SDG 13 (Climate Action) sangat relevan dengan temuan laporan ini.
  • Konsep Nexus (air-energi-pangan-iklim) makin diadopsi dalam kebijakan global dan regional.
  • Inovasi pertanian cerdas iklim (climate-smart agriculture) dan nature-based solutions makin penting di tengah krisis air dan iklim.
  • Investasi lintas negara dan digitalisasi rantai pasok menjadi tren masa depan untuk ketahanan pangan.

Kesimpulan: Jalan Panjang Menuju Ketahanan Pangan Arab

Laporan AFED 2014 menegaskan bahwa tantangan pangan di dunia Arab sangat kompleks—berakar pada krisis air, produktivitas rendah, dan ketergantungan impor. Namun, peluang perbaikan terbuka lebar melalui efisiensi irigasi, adopsi teknologi, kerja sama regional, dan diversifikasi pangan. Dengan kebijakan terintegrasi, investasi berkelanjutan, dan inovasi lintas sektor, dunia Arab dapat membalikkan tren krisis menjadi peluang menuju ketahanan pangan berkelanjutan.

Sumber Artikel 

AFED (2014). Arab Environment: Food Security. Annual Report of the Arab Forum for Environment and Development, 2014; A. Sadik, M. El-Solh and N. Saab (Eds.); Beirut, Lebanon. Technical Publications.

Selengkapnya
Krisis dan Peluang Ketahanan Pangan Arab: Analisis Data, Studi Kasus, dan Strategi Adaptasi di Era Krisis Air dan Iklim
« First Previous page 3 of 5 Next Last »