Perubahan Iklim

Menguak Kunci Transformasi Tata Kelola Iklim Kota: Studi Kasus Rotterdam & New York dalam Membangun Kapasitas Perubahan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Kota sebagai Arena Utama Transformasi Iklim

Kota-kota dunia kini berada di garis depan dalam menghadapi krisis iklim. Dengan lebih dari separuh populasi dunia tinggal di wilayah urban, kota menjadi pusat emisi gas rumah kaca sekaligus korban utama dampak perubahan iklim seperti banjir, gelombang panas, dan kenaikan permukaan laut. Namun, kota juga menyimpan potensi besar sebagai laboratorium inovasi untuk mitigasi dan adaptasi iklim.

Disertasi Katharina Hölscher (2019) menawarkan analisis mendalam tentang bagaimana kota dapat mengubah tata kelola iklimnya agar lebih transformatif. Dengan membedah dua studi kasus—Rotterdam (Belanda) dan New York City (AS)—penelitian ini membangun kerangka kapasitas tata kelola yang dapat direplikasi di kota-kota lain di dunia.

Kerangka Teoritis: Transformative Climate Governance

Mengapa Butuh Pendekatan Transformatif?

Hölscher menegaskan bahwa perubahan iklim bukan sekadar masalah lingkungan, melainkan gejala dan pemicu dari ketergantungan jalur pembangunan kota yang tidak berkelanjutan. Oleh karena itu, solusi parsial atau reaktif tidak cukup. Diperlukan perubahan sistemik—baik dalam tata kelola, perilaku, maupun institusi—yang mampu mengintegrasikan mitigasi, adaptasi, dan tujuan pembangunan berkelanjutan.

Empat Kapasitas Kunci Tata Kelola Transformatif

Penelitian ini merumuskan empat kapasitas utama yang harus dimiliki kota untuk mewujudkan tata kelola iklim yang transformatif:

  1. Stewarding Capacity
    Kemampuan mengantisipasi, melindungi, dan memulihkan diri dari risiko serta ketidakpastian (misal: banjir, badai, gelombang panas).
  2. Unlocking Capacity
    Kapasitas mengenali dan membongkar ketergantungan pada pola lama yang tidak berkelanjutan (misal: kebijakan pro-fossil fuel, tata ruang yang rentan).
  3. Transformative Capacity
    Kemampuan menciptakan, menyebarluaskan, dan melembagakan inovasi (teknologi, peraturan, pola hidup).
  4. Orchestrating Capacity
    Kemampuan mengoordinasikan berbagai aktor, sektor, dan skala pemerintahan secara sinergis dan inklusif.

Studi Kasus: Rotterdam dan New York City

Rotterdam: Kota Delta yang Tangguh

  • Konteks: Rotterdam adalah kota pelabuhan terbesar di Eropa, sangat rentan terhadap banjir akibat letaknya di delta Sungai Rhine-Meuse.
  • Kebijakan: Rotterdam Climate Initiative dan program adaptasi “Rotterdam Climate Proof” menargetkan kota bebas karbon pada 2050 dan 100% tahan banjir pada 2025.
  • Inovasi:
    • Benthemplein Water Square—ruang publik multifungsi yang menampung air hujan saat badai, mengurangi risiko banjir, sekaligus menjadi pusat komunitas.
    • Floating Pavilion—bangunan apung sebagai laboratorium hidup untuk adaptasi permukiman terhadap kenaikan permukaan air.

Angka Kunci:

  • Investasi adaptasi mencapai €500 juta antara 2008–2018.
  • Target pengurangan emisi CO₂ sebesar 50% pada 2030 dibanding 1990.

New York City: Resiliensi Pasca Sandy

  • Konteks: NYC menghadapi risiko banjir pesisir, badai, dan gelombang panas. Badai Sandy (2012) menjadi titik balik penguatan tata kelola iklim.
  • Kebijakan:
    • OneNYC—strategi pembangunan berkelanjutan dan resiliensi jangka panjang.
    • Rebuild by Design—kompetisi inovasi tata ruang pasca Sandy yang menghasilkan proyek-proyek seperti Living Breakwaters (terumbu buatan untuk meredam ombak dan memperkuat ekosistem pesisir).
  • Inovasi:
    • Penguatan jaringan komunitas lokal untuk respons bencana.
    • Integrasi data risiko iklim ke dalam perencanaan tata ruang dan infrastruktur.

Angka Kunci:

  • Kerugian akibat Sandy: US$19 miliar.
  • Investasi resiliensi: US$20 miliar (2013–2020).
  • Proyeksi: 800.000 penduduk NYC tinggal di zona rawan banjir pada 2050.

Analisis Perbandingan: Bagaimana Kapasitas Tata Kelola Terbentuk?

Stewarding Capacity

  • Rotterdam:
    • Pengembangan data risiko banjir dan sistem peringatan dini.
    • Perencanaan jangka panjang berbasis skenario iklim.
  • NYC:
    • Integrasi pengetahuan ilmiah (NPCC, Panel Iklim Kota) ke dalam kebijakan.
    • Penguatan jejaring sosial dan komunitas untuk respons darurat.

Unlocking Capacity

  • Rotterdam:
    • Penghapusan insentif untuk pembangunan di zona rawan banjir.
    • Aliansi strategis dengan sektor swasta untuk inovasi hijau.
  • NYC:
    • Regulasi baru yang membatasi pembangunan di kawasan pesisir.
    • Fasilitasi transisi energi terbarukan dan transportasi rendah karbon.

Transformative Capacity

  • Rotterdam:
    • Eksperimen ruang publik adaptif dan infrastruktur hijau.
    • Penyebaran narasi kota tahan iklim untuk membangun dukungan publik.
  • NYC:
    • Proyek inovasi seperti Living Breakwaters dan Big U (tanggul hijau).
    • Skema pendanaan kolaboratif lintas sektor (federal, lokal, swasta).

Orchestrating Capacity

  • Rotterdam:
    • Koordinasi lintas departemen kota dan kemitraan dengan universitas.
    • Forum multi-aktor untuk perencanaan dan evaluasi kebijakan.
  • NYC:
    • Pembentukan kantor khusus (Office of Recovery and Resiliency, Office of Sustainability).
    • Keterlibatan aktif komunitas, LSM, dan sektor swasta dalam pengambilan keputusan.

Tantangan dan Kesenjangan

Kesenjangan Implementasi

  • Kapasitas transformatif masih menjadi “niche”, belum terintegrasi penuh dalam arsitektur kebijakan kota.
  • Insentif ekonomi dan regulasi masih condong ke kepentingan jangka pendek.
  • Fragmentasi antar sektor dan level pemerintahan menghambat mainstreaming inovasi.

Hambatan Sosial dan Politik

  • Resistensi terhadap perubahan di tingkat birokrasi dan masyarakat.
  • Konflik kepentingan antara pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan.
  • Keterbatasan sumber daya untuk memperluas eksperimen menjadi kebijakan arus utama.

Studi Kasus Mikro: Benthemplein Water Square & Living Breakwaters

Benthemplein Water Square (Rotterdam)

  • Fungsi: Menampung hingga 1,7 juta liter air hujan saat badai, mencegah banjir di kawasan padat penduduk.
  • Manfaat tambahan: Ruang publik untuk olahraga, seni, dan interaksi sosial saat tidak tergenang.
  • Pembelajaran: Kolaborasi lintas disiplin (arsitek, insinyur, komunitas) mempercepat adopsi inovasi.

Living Breakwaters (NYC)

  • Fungsi: Terumbu buatan sepanjang 4,5 km di pesisir Staten Island, meredam ombak, memperkuat ekosistem, dan menyediakan habitat baru.
  • Dampak: Mengurangi risiko banjir, meningkatkan keanekaragaman hayati, dan memperkuat ketahanan sosial.
  • Pembelajaran: Kolaborasi antara pemerintah, LSM, dan komunitas lokal menghasilkan solusi multifungsi dan berkelanjutan.

Opini & Kritik: Apa yang Bisa Dipelajari Kota Lain?

Nilai Tambah Penelitian

  • Kerangka kapasitas yang dikembangkan sangat aplikatif untuk kota-kota lain, terutama di Asia dan Amerika Latin yang menghadapi tantangan serupa.
  • Penekanan pada multi-aktor & multi-skala menjadi kunci keberhasilan inovasi tata kelola.
  • Studi kasus konkret memberi inspirasi nyata, bukan sekadar teori.

Kritik

  • Kurangnya data kuantitatif dampak jangka panjang dari inovasi yang diadopsi.
  • Tantangan mainstreaming: Banyak inovasi masih bersifat pilot project, belum menjadi kebijakan utama.
  • Konteks politik dan budaya lokal sangat memengaruhi keberhasilan, sehingga replikasi ke kota lain butuh adaptasi kontekstual.

Hubungan dengan Tren Global & Industri

  • Jaringan kota dunia seperti C40 dan 100 Resilient Cities mempercepat pertukaran pengetahuan dan replikasi inovasi.
  • Digitalisasi dan big data mulai diadopsi untuk pemantauan risiko dan perencanaan adaptasi.
  • Solusi berbasis alam (nature-based solutions) dan infrastruktur hijau menjadi tren utama dalam perencanaan kota tahan iklim.

Rekomendasi Praktis untuk Kota Menuju Transformasi Iklim

  1. Bangun kapasitas lintas sektor: Libatkan semua pemangku kepentingan sejak perencanaan hingga implementasi.
  2. Dorong eksperimen dan inovasi: Jadikan kota sebagai laboratorium hidup untuk solusi iklim.
  3. Integrasikan mitigasi dan adaptasi: Hindari pendekatan silo, cari sinergi antara pengurangan emisi dan adaptasi.
  4. Perkuat jejaring komunitas: Keterlibatan warga memperkuat legitimasi dan efektivitas kebijakan.
  5. Mainstreaming inovasi: Skala-up proyek pilot menjadi kebijakan arus utama melalui regulasi dan insentif.

Menuju Kota Tahan Iklim yang Inklusif dan Inovatif

Transformasi tata kelola iklim kota bukan sekadar soal teknologi atau kebijakan, tetapi tentang membangun kapasitas kolektif untuk berinovasi, berkolaborasi, dan beradaptasi secara berkelanjutan. Studi Rotterdam dan New York City menunjukkan bahwa perubahan nyata dimulai dari keberanian bereksperimen, keterbukaan pada kolaborasi lintas sektor, dan komitmen jangka panjang. Kota masa depan adalah kota yang mampu belajar, berinovasi, dan menempatkan warganya sebagai aktor utama perubahan.

Sumber Artikel

Hölscher, K. (2019). Transforming urban climate governance: Capacities for transformative climate governance. Doctoral thesis, Erasmus University Rotterdam.

Selengkapnya
Menguak Kunci Transformasi Tata Kelola Iklim Kota: Studi Kasus Rotterdam & New York dalam Membangun Kapasitas Perubahan

Perubahan Iklim

Transformasi Tata Kelola Kekeringan di Mediterania: Tantangan, Studi Kasus, dan Rekomendasi Menuju Ketahanan Iklim

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Kekeringan Tantangan Abadi di Mediterania

Kawasan Mediterania, yang mencakup Eropa Selatan, Afrika Utara, dan pesisir Timur Tengah, dikenal sebagai salah satu wilayah semi-kering paling rentan di dunia. Kekeringan di sini bukan sekadar fenomena cuaca, melainkan krisis multidimensi yang mengancam ketahanan pangan, ekonomi, dan stabilitas sosial. Dalam paper terbarunya, Martin-Candilejo dkk. (2024) membedah evolusi, capaian, dan kekurangan tata kelola kekeringan di Mediterania, sekaligus menawarkan kerangka baru berbasis pengelolaan sumber daya bersama dan manajemen risiko.

Gambaran Umum: Mengapa Kekeringan di Mediterania Begitu Kompleks?

Karakteristik Wilayah

  • Iklim: Musim panas sangat panas dan kering, musim dingin lembap dan sejuk, serta curah hujan yang tidak merata.
  • Topografi: Pegunungan, pantai terjal, stepa kering, lahan basah, dan pulau-pulau unik.
  • Jejak sejarah manusia: Pengelolaan air dan lahan telah membentuk lanskap selama ribuan tahun.

Definisi Kekeringan

Menurut World Meteorological Organization, kekeringan adalah “periode cuaca kering abnormal yang cukup lama sehingga menyebabkan ketidakseimbangan hidrologis serius.” Namun, definisi ini harus disesuaikan dengan kondisi lokal, baik dari sisi iklim maupun kebutuhan air masyarakat1.

Evolusi Kebijakan dan Praktik Pengelolaan Kekeringan

Dari Reaktif ke Proaktif

  • Pendekatan lama: Respon reaktif, fokus pada penanggulangan jangka pendek (misal, subsidi pertanian saat krisis).
  • Perkembangan baru: Munculnya kerangka kebijakan berbasis pencegahan, data, dan adaptasi, didorong oleh EU Water Framework Directive, observatorium kekeringan Eropa, dan inisiatif PBB.

Statistik Publikasi dan Kebijakan

  • Dalam 10 tahun terakhir, terdapat 56 publikasi ilmiah dan 28 dokumen kebijakan utama yang menganalisis kekeringan di Mediterania.
  • 30% publikasi membahas aspek teknis dan lingkungan, 27% soal manajemen risiko, dan 30% soal implementasi kebijakan.
  • Fokus utama: aspek teknis, indikator kekeringan, evaluasi ekonomi, serta studi kasus kebijakan di berbagai negara1.

Studi Kasus: Praktik dan Tantangan di Lapangan

Spanyol: Drought Management Plans (DMPs)

  • Spanyol menjadi pionir dengan DMPs yang mengintegrasikan indikator kekeringan, peringatan dini, dan pembatasan penggunaan air.
  • Dampak nyata: Pada 2017–2019, DMPs membantu menekan kerugian ekonomi akibat kekeringan hingga 20% dibanding periode sebelumnya.
  • Tantangan: Implementasi di tingkat lokal masih lambat, konflik antar pengguna air (pertanian vs. kota) sering terjadi1.

Italia dan Yunani: Ketergantungan pada Air Irigasi

  • Pertanian menyerap >60% konsumsi air di kedua negara.
  • Kekeringan 2018–2019: Produksi gandum turun 15%, kerugian ekonomi mencapai €1,2 miliar.
  • Respon: Pemerintah memberikan subsidi, namun solusi jangka panjang seperti efisiensi irigasi dan diversifikasi tanaman masih minim1.

Maroko dan Tunisia: Krisis Air dan Ketahanan Sosial

  • Wilayah pedesaan mengalami kekurangan air minum hingga 40% saat musim kering.
  • Konflik sosial meningkat, terutama di daerah yang mengandalkan sumur dangkal dan pertanian subsisten.
  • Upaya: Pemerintah memperkenalkan program edukasi dan konservasi air, namun adopsi teknologi masih rendah1.

Hambatan Menuju Pengelolaan Kekeringan Berkelanjutan

1. Hambatan Sosial

  • Aturan tidak mengikat: Banyak regulasi air bersifat lokal dan tidak dapat ditegakkan secara efektif.
  • Batas sistem sumber daya tidak jelas: Sulit menentukan siapa berhak menggunakan air, sehingga konflik sering terjadi.
  • Mekanisme resolusi konflik lemah: Akses ke platform penyelesaian sengketa masih terbatas dan mahal1.

2. Hambatan Individual

  • Kurangnya edukasi: Banyak individu tidak memahami nilai ekosistem air dan biaya penggunaan air saat kekeringan.
  • Insentif negatif: Subsidi atau tarif air yang murah justru mendorong konsumsi berlebih.
  • Kurangnya partisipasi: Individu jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan air1.

3. Hambatan Ekonomi

  • Biaya dan manfaat tidak seimbang: Investasi pengelolaan kekeringan sering dianggap mahal, padahal kerugian akibat kekeringan jauh lebih besar.
  • Penilaian ekonomi terbatas: Nilai air untuk ekosistem dan masyarakat sering diabaikan dalam perhitungan biaya-manfaat1.

4. Hambatan Teknologi

  • Data dan monitoring terbatas: Infrastruktur pemantauan air dan kekeringan masih kurang, data sering tidak terintegrasi antar negara dan lembaga.
  • Infrastruktur usang: Banyak jaringan irigasi dan penyimpanan air sudah tua dan tidak efisien1.

5. Hambatan Lingkungan

  • Perubahan iklim: Variabilitas curah hujan dan suhu ekstrem memperburuk kekeringan dan mempercepat degradasi ekosistem.
  • Degradasi lahan basah dan hutan: Mengurangi kapasitas alam menyimpan dan memurnikan air1.

Analisis Kritis: Kesenjangan dan Peluang

Kesenjangan Utama

  • Pendekatan masih reaktif: Mayoritas kebijakan masih fokus pada respons jangka pendek, bukan pencegahan dan adaptasi.
  • Kurangnya integrasi sosial: Sains sosial kurang dilibatkan dalam perencanaan, padahal konflik dan persepsi publik sangat menentukan efektivitas kebijakan.
  • Minim insentif sukarela: Kebijakan berbasis insentif dan partisipasi masyarakat masih langka, padahal terbukti efektif di beberapa studi1.

Peluang dan Rekomendasi

  • Pengelolaan berbasis sumber daya bersama: Terapkan prinsip Ostrom (pengelolaan komunal) untuk memperkuat kolaborasi dan tanggung jawab bersama.
  • Perencanaan adaptif: Drought management plan harus dinamis, mengakomodasi skenario perubahan iklim dan sosial, serta dapat dievaluasi dan diperbarui secara berkala.
  • Pembentukan Sekretariat Teknis Regional: Sebuah badan khusus untuk mengoordinasikan data, kebijakan, dan kolaborasi lintas negara di Mediterania1.

Studi Perbandingan dan Tren Global

Belajar dari Luar Mediterania

  • Australia: Sukses dengan pendekatan risk management berbasis data dan insentif ekonomi, namun tetap menghadapi tantangan adaptasi sosial.
  • Amerika Serikat: Drought plans di tingkat negara bagian menekankan perencanaan sebelum krisis, edukasi publik, dan integrasi sains sosial.
  • Eropa Utara: Negara seperti Swedia dan Denmark mengadopsi sistem monitoring real-time dan keterlibatan komunitas dalam pengelolaan air1.

Tren Industri dan Kebijakan

  • Digitalisasi dan big data: Pemanfaatan teknologi untuk prediksi kekeringan, monitoring penggunaan air, dan transparansi kebijakan.
  • Solusi berbasis alam (nature-based solutions): Restorasi lahan basah, reforestasi, dan konservasi DAS untuk meningkatkan ketahanan alami terhadap kekeringan.
  • Inovasi pembiayaan: Green bonds, pembayaran jasa lingkungan, dan skema asuransi pertanian berbasis risiko1.

Studi Kasus: Tensi Individu vs. Kolektif dalam Kekeringan

Ilustrasi Konflik

  • Petani di Spanyol: Saat kekeringan, petani cenderung meningkatkan irigasi untuk menyelamatkan panen, meski secara kolektif hal ini memperparah krisis air.
  • Solusi: Melibatkan asosiasi petani dalam perencanaan, memberikan insentif untuk efisiensi air, dan menerapkan sanksi progresif bagi pelanggar aturan1.

Peran Otoritas DAS

  • River Basin Authorities: Penting sebagai penengah antara kepentingan individu dan kolektif, namun perlu didukung data, kewenangan, dan partisipasi masyarakat1.

Menuju Masa Depan: Kerangka Pengelolaan Kekeringan Berkelanjutan

Empat Pilar Transformasi

  1. Pengukuran manfaat nyata: Kebijakan harus mampu menunjukkan manfaat konkret dari pengelolaan kekeringan, baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun lingkungan.
  2. Analisis risiko dan keuntungan: Setiap keputusan harus mempertimbangkan risiko dan potensi keuntungan jangka panjang, bukan hanya solusi instan.
  3. Inkorporasi skenario masa depan: Perencanaan harus adaptif, mengakomodasi perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan dinamika sosial.
  4. Kode etik regional dan Sekretariat Teknis: Diperlukan kode etik regional (soft law) dan lembaga khusus untuk koordinasi, pertukaran data, dan evaluasi kebijakan lintas negara1.

Kritik dan Opini

Kelebihan Paper

  • Analisis komprehensif: Menggabungkan data ilmiah, kebijakan, dan studi kasus nyata.
  • Pendekatan lintas disiplin: Memadukan sains alam, sosial, dan ekonomi.
  • Relevansi tinggi: Menjawab kebutuhan aktual kawasan Mediterania yang makin rentan terhadap perubahan iklim.

Kekurangan dan Tantangan

  • Implementasi di lapangan: Banyak rekomendasi masih bersifat konseptual, perlu roadmap teknis dan pendanaan jelas.
  • Politik dan birokrasi: Fragmentasi kebijakan dan kepentingan politik sering menghambat adopsi solusi inovatif.
  • Keterbatasan data: Masih banyak wilayah dengan data terbatas, sehingga monitoring dan evaluasi kebijakan tidak optimal.

Kesimpulan: Dari Krisis Menuju Ketahanan

Pengelolaan kekeringan di kawasan Mediterania telah berkembang, namun masih menghadapi tantangan besar di era perubahan iklim dan tekanan sosial-ekonomi. Paper ini menegaskan pentingnya transformasi dari pendekatan reaktif ke proaktif, penguatan kolaborasi lintas negara, serta integrasi sains sosial dan ekonomi dalam perencanaan. Dengan mengadopsi kerangka adaptif, insentif sukarela, dan koordinasi regional, Mediterania dapat membangun ketahanan air yang berkelanjutan dan inklusif.

Sumber Artikel

Martin-Candilejo, A.; Martin-Carrasco, F.J.; Iglesias, A.; Garrote, L. Heading into the Unknown? Exploring Sustainable Drought Management in the Mediterranean Region. Sustainability 2024, 16, 21. https://doi.org/10.3390/su16010021

Selengkapnya
Transformasi Tata Kelola Kekeringan di Mediterania: Tantangan, Studi Kasus, dan Rekomendasi Menuju Ketahanan Iklim

Perubahan Iklim

Menilai Kerangka Kebijakan Sektor Air Bangladesh di Era Perubahan Iklim

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Pentingnya Tata Kelola Air di Bangladesh

Bangladesh, sebagai negara delta terbesar di dunia, menempatkan sumber daya air sebagai pusat ekonomi, ketahanan pangan, dan pembangunan. Dengan lebih dari 700 sungai, termasuk 57 sungai lintas batas, serta ketergantungan besar pada air tanah untuk irigasi dan konsumsi domestik, tata kelola air di Bangladesh menjadi isu strategis, terlebih di tengah ancaman perubahan iklim dan pertumbuhan penduduk yang pesat.

Laporan yang diulas ini merupakan bagian dari proyek regional “Climate Adaptation and Resilience (CARE) for South Asia” yang didukung Bank Dunia. Studi ini menelaah kerangka kebijakan, kelembagaan, dan regulasi sektor air Bangladesh, mengidentifikasi celah, serta menawarkan rekomendasi untuk memperkuat adaptasi dan ketahanan iklim di sektor vital ini.

Lanskap Sumber Daya Air: Fakta dan Tantangan

Gambaran Umum Sumber Daya Air

  • Curah hujan tahunan rata-rata: 2.666 mm/tahun (393,42 miliar m³/tahun).
  • Sumber air utama: 74% dari aliran lintas batas, 24% limpasan hujan lokal, 2% air tanah.
  • Ketergantungan pada air lintas batas: 75% total volume air berasal dari luar negeri, terutama India.
  • Konsumsi air: 32 miliar m³/tahun, dengan 87% digunakan untuk irigasi pertanian.
  • Proyeksi kebutuhan air: Tahun 2030, kebutuhan air pertanian naik dari 32,3 menjadi 46,3 miliar m³; domestik dari 2,4 menjadi 4,2 miliar m³; industri dari 0,1 menjadi 0,2 miliar m³1.

Distribusi Musiman dan Ancaman Kualitas

  • Musim hujan (Juni–Oktober): 85% aliran sungai terjadi, sering menyebabkan banjir.
  • Musim kemarau: Hanya 15% aliran masuk, memicu kekeringan dan over-eksploitasi air tanah.
  • Isu kualitas: 26% sumur dangkal tercemar arsenik, salinitas meningkat di zona pesisir, serta polusi oleh limbah domestik dan industri1.

Studi Kasus: Krisis Air Tanah di Zona Pesisir

Di wilayah pesisir seperti Khulna dan Barisal, kombinasi intrusi salinitas akibat kenaikan muka air laut dan kontaminasi arsenik menyebabkan krisis air bersih. Penduduk terpaksa mengandalkan air hujan atau air permukaan yang kualitasnya tidak selalu terjamin. Pemerintah telah menggalakkan teknologi rainwater harvesting (RWH), namun infrastruktur dan adopsi masih terbatas. Potensi RWH dapat mengurangi tekanan pada air tanah hingga 50% di wilayah urban1.

Kerangka Kebijakan dan Kelembagaan: Evolusi dan Evaluasi

Pilar Kebijakan Utama

  • Bangladesh Water Act 2013: Kerangka hukum utama untuk tata kelola dan konservasi air, menekankan integrasi pengelolaan lintas lembaga dan perlindungan hak air bagi kelompok rentan.
  • National Water Policy 1999 & National Water Management Plan 2001: Menjadi pedoman utama pengembangan dan pengelolaan sumber daya air, namun belum diperbarui sejak diterbitkan.
  • Coastal Zone Policy 2005: Fokus pada adaptasi di zona pesisir yang rentan terhadap perubahan iklim dan kontaminasi.
  • Ganges Water Sharing Treaty 1996: Satu-satunya perjanjian bilateral dengan India terkait pembagian air Sungai Gangga, namun belum mengatur pengelolaan akuifer lintas batas1.

Struktur Kelembagaan

  • Kementerian Utama: Ministry of Water Resources (MoWR), Local Government Division (LGD), Ministry of Agriculture (MoA), Ministry of Environment, Forest and Climate Change (MoEFCC).
  • Lembaga Pelaksana: Water Resources Planning Organization (WARPO), Bangladesh Water Development Board (BWDB), Department of Public Health Engineering (DPHE), dan lainnya.
  • Keterlibatan Multi-Sektor: Pengelolaan air tidak hanya domain MoWR, tetapi juga LGD (khusus air minum dan sanitasi) serta MoA (irigasi pertanian)1.

Tantangan Tata Kelola

  • Pendekatan top-down: Masih dominan, menyebabkan kesenjangan pengetahuan di tingkat komunitas dan rendahnya adopsi praktik terbaik lokal.
  • Koordinasi antarlembaga: Seringkali tumpang tindih dan kurang sinkron, khususnya antara MoWR dan LGD.
  • Data dan monitoring: Sistem data belum terintegrasi, banyak data duplikat, dan akses informasi lambat. Monitoring masih manual dan tradisional, meski 8th Five Year Plan (8FYP) telah mendorong digitalisasi1.
  • Kapasitas kelembagaan: Banyak kebijakan ambisius (misal target SDGs) belum diimbangi kapasitas pelaksana di tingkat lokal.

Studi Kasus: Implementasi Kebijakan dan Dampaknya

1. Pengelolaan Irigasi dan Upaya Pengurangan Ketergantungan Air Tanah

Pemerintah berupaya menurunkan proporsi lahan irigasi yang bergantung pada air tanah dari 73% menjadi 70% pada 2030, dengan meningkatkan pemanfaatan air permukaan. Namun, implementasi di lapangan masih terkendala infrastruktur, biaya, dan resistensi petani yang sudah terbiasa dengan sumur bor1.

2. Adaptasi Iklim di Sektor Pertanian

Melalui National Agriculture Policy 2018 dan Integrated Micro-Irrigation Policy 2017, pemerintah mendorong efisiensi irigasi dan adopsi teknologi hemat air. Namun, keterbatasan data sumber daya air dan kurangnya integrasi informasi antar sektor menjadi hambatan utama1.

3. Penanganan Banjir dan Bencana

Penerapan Bangladesh Delta Plan 2100 dan BCCSAP 2009 telah memperkuat upaya adaptasi, seperti pembangunan tanggul, shelter siklon, dan pengembangan varietas padi tahan salinitas. Namun, tantangan tetap ada pada pendanaan, koordinasi, dan keterlibatan masyarakat1.

Analisis Kritis: Kesenjangan, Tantangan, dan Peluang

Kesenjangan Kebijakan dan Implementasi

  • Pembaruan kebijakan: Banyak kebijakan kunci (misal NWP 1999, NWMP 2001) belum diperbarui sesuai dinamika terbaru, termasuk tantangan perubahan iklim dan urbanisasi.
  • Pengelolaan lintas batas: Hanya satu perjanjian sungai (Ganges), belum ada instrumen untuk akuifer lintas batas, padahal ketergantungan pada air dari India sangat tinggi.
  • Pengelolaan kualitas air: Belum ada instrumen khusus untuk perlindungan dan peningkatan kualitas air, terutama terkait polusi industri dan domestik.
  • Partisipasi stakeholder: Hanya satu instrumen yang secara jelas mengatur peran serta masyarakat dan stakeholder dalam pengelolaan air (Guidelines for Participatory Water Management 2000)1.

Tantangan Adaptasi Iklim

  • Variabilitas musiman ekstrem: Ketersediaan air melimpah saat musim hujan, namun sangat langka di musim kemarau.
  • Kenaikan suhu dan intrusi salinitas: Memicu kebutuhan irigasi lebih tinggi dan menurunkan produktivitas pertanian, terutama di zona pesisir.
  • Banjir dan siklon: Proyeksi menunjukkan peningkatan frekuensi dan intensitas banjir serta gelombang badai hingga 11% pada 2100, menambah kerentanan infrastruktur dan masyarakat1.

Peluang Perbaikan

  • Digitalisasi dan integrasi data: Implementasi sistem monitoring berbasis digital dan integrasi data antarlembaga dapat meningkatkan responsivitas dan efisiensi tata kelola.
  • Pendekatan IWRM (Integrated Water Resources Management): Perlu diperkuat dengan memperjelas peran, akuntabilitas, dan koordinasi lintas sektor.
  • Penguatan kapasitas lokal: Pelatihan, pendampingan, dan peningkatan kapasitas kelembagaan di tingkat desa/kecamatan sangat krusial untuk keberhasilan implementasi kebijakan.
  • Diversifikasi sumber air: Optimalisasi rainwater harvesting, reklamasi air limbah, dan recharge akuifer dapat mengurangi tekanan pada air tanah.

Perbandingan dengan Negara Lain & Tren Global

Studi global oleh Gain et al. (2016) menunjukkan bahwa meski ketersediaan fisik air di Bangladesh cukup, aspek kualitas, keamanan, dan tata kelola masih sangat rendah dibanding negara-negara seperti Amerika Serikat atau Australia. Indeks keamanan air Bangladesh sangat dipengaruhi oleh risiko banjir, kualitas air yang buruk, dan kompleksitas pengelolaan lintas batas1.

Tren global mengarah pada penguatan tata kelola berbasis data, partisipasi masyarakat, dan integrasi adaptasi perubahan iklim ke dalam seluruh kebijakan sektor air. Bangladesh perlu mempercepat pembaruan kebijakan dan adopsi teknologi untuk mengejar ketertinggalan.

Rekomendasi dan Masa Depan Tata Kelola Air Bangladesh

Rekomendasi Utama dari Laporan

  • Pembaruan dan harmonisasi kebijakan: Segera revisi NWP 1999 dan NWMP 2001, serta harmonisasi kebijakan lintas sektor (air, pertanian, lingkungan).
  • Penguatan koordinasi antarlembaga: Bentuk platform koordinasi tetap yang melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk masyarakat lokal.
  • Pengembangan sistem monitoring berbasis digital: Implementasi Result-Based Monitoring & Evaluation (RBM&E) seperti diamanatkan 8FYP dan Delta Plan 2100.
  • Peningkatan kapasitas dan pelatihan: Fokus pada level lokal agar implementasi kebijakan berjalan efektif.
  • Diversifikasi sumber air dan teknologi adaptif: Dorong investasi pada RWH, reklamasi air limbah, dan recharge akuifer.
  • Perkuat kerjasama lintas batas: Inisiasi perjanjian baru, terutama terkait pengelolaan akuifer bersama dan data sharing dengan India.

Opini dan Kritik

Laporan ini sangat komprehensif, namun masih kurang menyoroti aspek sosial-budaya dalam pengelolaan air, seperti resistensi masyarakat terhadap inovasi atau konflik kepentingan antar sektor. Selain itu, tantangan pendanaan dan political will untuk pembaruan kebijakan sering kali menjadi bottleneck yang tidak mudah diatasi hanya dengan rekomendasi teknokratik.

Namun, inisiatif CARE for South Asia yang mengintegrasikan penguatan kapasitas, digitalisasi, dan adaptasi iklim patut diapresiasi sebagai model yang dapat direplikasi di negara berkembang lain dengan karakteristik serupa.

Kesimpulan: Menuju Tata Kelola Air yang Adaptif dan Inklusif

Bangladesh berada di persimpangan penting dalam tata kelola air. Keberhasilan adaptasi dan ketahanan iklim sangat bergantung pada pembaruan kebijakan, penguatan kelembagaan, serta keterlibatan aktif masyarakat dan pemangku kepentingan lintas sektor. Dengan tantangan perubahan iklim yang kian nyata, tata kelola air yang adaptif, berbasis data, dan inklusif menjadi kunci masa depan pembangunan berkelanjutan Bangladesh.

Sumber Artikel 

Milner, H., Foisal, A., Gupta, N., & Basnayake, S. (2023). Assessment of Water Sector Policy Frameworks of Bangladesh: Identifying Gaps and Addressing Needs. Bangkok: Asian Disaster Preparedness Center (ADPC).

Selengkapnya
Menilai Kerangka Kebijakan Sektor Air Bangladesh di Era Perubahan Iklim
« First Previous page 8 of 8