Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025
Menyatukan Risiko Kekeringan dan Dampak Perubahan Iklim dalam Pengelolaan Air dan Pertanian
Perubahan iklim membawa tantangan besar bagi ketahanan pangan dan pengelolaan sumber daya air, terutama di wilayah yang rentan terhadap kekeringan dan perubahan pola curah hujan. Dalam disertasi doktoral yang ditulis oleh Lorenzo Villani, yang merupakan hasil kolaborasi antara University of Florence dan Vrije Universiteit Brussel, dikaji secara mendalam bagaimana dampak perubahan iklim terhadap sistem pertanian dapat dianalisis melalui integrasi penilaian risiko kekeringan dan pemodelan agro-hidrologi menggunakan model SWAT+.
Penelitian ini menyoroti dua wilayah studi utama: lima DAS di Tuscany, Italia, dan DAS Juba dan Shabelle di Somalia. Studi ini tidak hanya mengukur risiko kekeringan dan dampak perubahan iklim, tetapi juga mengevaluasi kapasitas adaptasi sistem pertanian serta menguji strategi adaptasi agronomi yang relevan. Dengan pendekatan ini, penelitian memberikan kontribusi penting bagi pembuat kebijakan dan praktisi dalam mengelola tantangan air dan pangan di masa depan.
Metodologi: Pendekatan Terpadu Penilaian Risiko dan Pemodelan Agro-Hidrologi
Penelitian Villani menggabungkan dua pendekatan utama:
Penelitian juga mengintegrasikan narasi SSP (Shared Socioeconomic Pathways) dan skenario RCP (Representative Concentration Pathways) untuk memproyeksikan berbagai kemungkinan masa depan iklim dan dampaknya.
Studi Kasus di Tuscany: Risiko Kekeringan dan Dampak Perubahan Iklim pada Sistem Pertanian
Risiko Kekeringan di Lima DAS Tuscany
Analisis risiko kekeringan dilakukan pada lima DAS pesisir di Tuscany: Cecina, Cornia, Bruna, Ombrone, dan Albegna, yang memiliki karakteristik pertanian intensif dan tekanan tinggi pada sumber daya air, terutama di musim panas.
Klasterisasi dan Strategi Adaptasi
Melalui analisis klaster, tujuh tipe wilayah dengan karakteristik risiko dan kerentanan berbeda diidentifikasi, seperti klaster dengan irigasi pesisir tinggi, produk bernilai tinggi, dan daerah rawan erosi. Strategi adaptasi disesuaikan untuk setiap klaster, misalnya:
Dampak Perubahan Iklim pada Hasil Panen dan Penggunaan Air
Model SWAT+ menunjukkan bahwa perubahan iklim akan mempengaruhi hasil tanaman seperti gandum durum, bunga matahari, dan jagung, serta meningkatkan jejak air (water footprint) pertanian. Namun, penerapan strategi adaptasi agronomi seperti perubahan tanggal tanam dan varietas tanaman dapat mengurangi dampak negatif tersebut secara signifikan.
Studi Kasus di Somalia: Risiko Iklim dan Kapasitas Adaptasi Sistem Agro-Pastoral
Wilayah DAS Juba dan Shabelle di Somalia dipilih sebagai studi kasus kedua karena kerentanan tinggi terhadap bencana iklim seperti kekeringan dan banjir, serta ketergantungan masyarakat pada pertanian dan peternakan skala kecil.
Analisis Kritis dan Nilai Tambah Studi
Penelitian ini memberikan kontribusi penting dengan mengintegrasikan penilaian risiko dan pemodelan agro-hidrologi, yang selama ini sering dipisah dalam studi perubahan iklim dan pengelolaan air. Penggunaan indikator komposit yang lengkap dan metode validasi robust meningkatkan keandalan hasil.
Namun, beberapa tantangan tetap ada, seperti ketidakpastian model iklim dan keterbatasan data lokal, terutama di wilayah seperti Somalia. Penelitian juga menyoroti pentingnya memasukkan kapasitas adaptasi sosial dan ekonomi dalam penilaian risiko, aspek yang sering diabaikan.
Dibandingkan dengan studi lain, integrasi ini memperkuat pemahaman holistik tentang dampak perubahan iklim pada sistem pertanian dan sumber daya air, serta memberikan kerangka kerja yang dapat diadaptasi di wilayah lain dengan kondisi serupa.
Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
Disertasi ini menegaskan bahwa untuk menghadapi perubahan iklim, diperlukan pendekatan terpadu yang menggabungkan penilaian risiko kekeringan dan pemodelan agro-hidrologi. Studi kasus di Tuscany dan Somalia menunjukkan bahwa adaptasi agronomi yang tepat dapat mengurangi dampak negatif perubahan iklim pada hasil panen dan ketersediaan air.
Penerapan metode ini dapat membantu pembuat kebijakan dalam merancang strategi mitigasi dan adaptasi yang efektif, dengan mempertimbangkan ketidakpastian iklim dan kapasitas adaptasi lokal. Selain itu, pendekatan ini mendukung agenda global seperti Paris Agreement dan Sustainable Development Goals dalam mengatasi krisis iklim dan pangan.
Sumber Artikel:
Villani, L. (2023). Exploring climate change impacts and adaptive capacity of agricultural systems: Integration of risk assessment and agro-hydrological modelling. Doctoral Thesis, University of Florence and Vrije Universiteit Brussel.
Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025
Tantangan Perubahan Iklim dan Peran Pengelolaan DAS Terintegrasi
Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau, menghadapi tantangan besar akibat perubahan iklim yang berdampak pada ketahanan pangan, ketersediaan air, energi, dan kesehatan lingkungan. Hampir seluruh wilayah Indonesia rentan terhadap banjir, tanah longsor, erosi, kekeringan, dan hujan ekstrem. Dalam konteks ini, pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) secara terintegrasi menjadi salah satu strategi kunci untuk mitigasi emisi gas rumah kaca (GRK) dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim.
Paper berjudul "Improvement of Integrated Watershed Management in Indonesia for Mitigation and Adaptation to Climate Change: A Review" oleh Tyas Mutiara Basuki dan rekan (2022) memberikan tinjauan mendalam mengenai upaya Indonesia dalam mengelola DAS secara terintegrasi, tantangan yang dihadapi, serta rekomendasi perbaikan untuk mendukung target nasional dan komitmen internasional seperti Paris Agreement.
Konsep dan Realitas Pengelolaan DAS Terintegrasi di Indonesia
Regulasi dan Kebijakan Pendukung
Indonesia memiliki sejumlah regulasi yang mengatur pengelolaan sumber daya air dan DAS, termasuk Undang-Undang No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air (diubah dengan UU No. 17/2019), UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, dan Peraturan Pemerintah No. 37/2012 tentang Pengelolaan DAS. Regulasi ini menegaskan prinsip keberlanjutan, keadilan, transparansi, dan integrasi lintas sektor serta wilayah administratif.
Namun, kompleksitas regulasi yang sektoral dan tumpang tindih menyebabkan lemahnya sinkronisasi dan koordinasi antar lembaga. Misalnya, kewenangan pengelolaan DAS yang dialihkan ke tingkat provinsi belum diikuti dengan mekanisme koordinasi yang efektif, sehingga implementasi di lapangan masih terbatas.
Institusi dan Tata Kelola
Pengelolaan DAS melibatkan berbagai pemangku kepentingan dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga masyarakat lokal. Keterlibatan multi-institusi ini menimbulkan tantangan koordinasi, terutama karena batas wilayah DAS yang tidak sesuai dengan batas administratif. Studi menunjukkan bahwa kurangnya mekanisme integrasi dan sanksi tegas atas pengelolaan sumber daya yang buruk memperburuk kondisi DAS.
Contoh nyata adalah pengelolaan DAS Bribin yang terhambat oleh pergeseran kewenangan dan keterbatasan sumber daya manusia di tingkat daerah. Selain itu, partisipasi masyarakat masih minim karena pendekatan yang cenderung top-down dan kurang transparan.
Perencanaan, Implementasi, dan Monitoring-Evaluasi Pengelolaan DAS
Perencanaan
Perencanaan pengelolaan DAS di Indonesia diatur oleh Peraturan Menteri Kehutanan No. P.60/Menhut-II/2013 yang mengatur proses identifikasi masalah, penetapan tujuan, dan penyusunan program. Namun, dalam praktiknya, rencana pengelolaan DAS yang telah disahkan oleh gubernur seringkali tidak menjadi acuan bagi sektor lain karena tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat dan kurang terintegrasi dengan rencana pembangunan daerah seperti RPJP dan RPJM.
Implementasi
Kegiatan pengelolaan DAS fokus pada konservasi tanah dan air melalui tindakan mekanis dan vegetatif, seperti rehabilitasi lahan dan konservasi tanah. Contoh keberhasilan implementasi dapat dilihat di DAS Cidanau, di mana sektor industri di hilir memberikan insentif kepada petani di hulu untuk menjaga vegetasi, sehingga keberlanjutan DAS terjamin.
Namun, tantangan besar adalah tingginya erosi di daerah hulu akibat praktik pertanian intensif di lahan miring dan kurangnya penerapan konservasi tanah yang tepat. Di daerah hilir, masalah utama adalah bencana hidrometeorologi seperti banjir dan kekeringan.
Monitoring dan Evaluasi (MONEV)
MONEV sangat penting untuk mengukur kemajuan dan efektivitas pengelolaan DAS, termasuk dampaknya terhadap mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Kriteria MONEV meliputi aspek lahan, kualitas dan kuantitas air, sosial ekonomi, investasi, dan pemanfaatan ruang.
Sayangnya, hasil MONEV sering tidak digunakan untuk memperbaiki perencanaan karena kurangnya komunikasi antar pemangku kepentingan. Monitoring juga masih didominasi oleh sektor kehutanan dan belum melibatkan semua pihak secara terpadu.
Dampak Perubahan Iklim terhadap Pengelolaan DAS di Indonesia
Dampak Biophysical
Perubahan iklim mengganggu siklus hidrologi yang menyebabkan perubahan pola curah hujan, suhu, dan kejadian ekstrim. Studi memprediksi penurunan hasil panen padi hingga 12,1% secara nasional pada 2040-2050, serta peningkatan frekuensi dan intensitas banjir dan kekeringan.
Banjir di Indonesia meningkat signifikan, dengan 1518 kejadian banjir pada 2020 yang menyebabkan 132 kematian dan mengungsikan lebih dari 780 ribu orang. Kekeringan juga berdampak pada produktivitas pertanian dan memicu kebakaran hutan yang luas, seperti pada periode El Niño 1997/98 yang membakar 11,7 juta hektar lahan.
Dampak Ekonomi dan Sosial
Kerugian ekonomi akibat bencana hidrometeorologi sangat besar, misalnya banjir di Jakarta dan Solo yang mencapai miliaran rupiah setiap tahunnya. Kekeringan mempengaruhi pendapatan petani dan ketahanan pangan, dengan kerugian mencapai ratusan juta rupiah di beberapa desa.
Selain itu, perubahan iklim memperburuk kondisi kesehatan masyarakat, meningkatkan risiko penyakit menular, malnutrisi, dan stres. Konflik sosial juga berpotensi meningkat akibat persaingan sumber daya air yang semakin terbatas.
Strategi Perbaikan Pengelolaan DAS Terintegrasi untuk Mitigasi dan Adaptasi
Perencanaan Adaptif dan Terintegrasi
Perencanaan pengelolaan DAS harus bersifat adaptif, melibatkan data berkualitas tinggi dari teknologi GIS dan remote sensing, serta partisipasi luas dari pemangku kepentingan. Penggunaan model mikro DAS (micro watershed model) dengan skala sekitar 1000-5000 hektar memudahkan koordinasi dan partisipasi masyarakat.
Implementasi Berbasis Partisipasi dan Teknologi
Paradigma pengelolaan harus bergeser ke arah kolaborasi lintas sektor dan partisipasi masyarakat, menggabungkan pendekatan bottom-up dan top-down. Teknologi konservasi tanah dan air seperti agroforestri, bio-pore infiltration, dan sistem drainase ramah lingkungan perlu dikembangkan dan disesuaikan dengan kondisi lokal.
Agroforestri terbukti efektif meningkatkan retensi air, mengurangi erosi, dan menyerap karbon, sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat melalui diversifikasi tanaman.
Peningkatan Monitoring dan Evaluasi
MONEV harus dilakukan secara terpadu dengan indikator sederhana namun representatif, seperti tutupan vegetasi permanen, kualitas dan kuantitas air, serta indeks pembangunan manusia sebagai indikator sosial ekonomi. Data hasil monitoring harus dipublikasikan secara transparan melalui platform daring agar dapat diakses oleh semua pihak.
Penguatan Aspek Sosial dan Kelembagaan
Pengelolaan DAS harus mengintegrasikan kearifan lokal dan pengetahuan tradisional yang masih relevan, seperti sistem penanaman tradisional dan norma sosial pengelolaan sumber daya. Desa sebagai unit pembangunan harus diberdayakan melalui program-program seperti ProKlim dan SDGs Desa untuk meningkatkan kapasitas adaptasi dan mitigasi.
Koordinasi antar lembaga, baik di tingkat pusat, daerah, maupun lintas negara (untuk DAS transboundary), harus diperkuat dengan regulasi yang jelas dan mekanisme insentif serta sanksi yang efektif.
Studi Kasus dan Angka Penting
Opini dan Perbandingan dengan Tren Global
Pengelolaan DAS terintegrasi sebagai strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sangat relevan dengan tren global yang menekankan pendekatan lanskap dan ekosistem. Namun, tantangan klasik seperti tumpang tindih regulasi, lemahnya koordinasi antar lembaga, dan minimnya partisipasi masyarakat juga dialami banyak negara berkembang.
Perbaikan integrasi data dan teknologi informasi serta pemberdayaan komunitas lokal menjadi kunci keberhasilan. Pendekatan mikro DAS yang responsif terhadap kondisi lokal sejalan dengan praktik terbaik di beberapa negara seperti India dan Ethiopia.
Namun, Indonesia perlu memperkuat aspek kelembagaan dan hukum agar rencana pengelolaan DAS tidak hanya menjadi dokumen formal, melainkan pedoman yang diikuti seluruh sektor.
Kesimpulan
Pengelolaan DAS terintegrasi di Indonesia memiliki potensi besar untuk mendukung mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang berdampak pada ketahanan pangan, air, dan lingkungan. Meskipun regulasi dan kebijakan sudah cukup lengkap, implementasi di lapangan masih menghadapi kendala koordinasi, partisipasi, dan integrasi data.
Perbaikan strategi harus dimulai dari perencanaan adaptif yang melibatkan teknologi modern dan kearifan lokal, implementasi berbasis kolaborasi dan teknologi konservasi, serta monitoring-evaluasi yang transparan dan terpadu. Penguatan kelembagaan dan pemberdayaan desa menjadi fondasi penting untuk keberlanjutan pengelolaan DAS.
Dengan langkah-langkah ini, Indonesia dapat lebih efektif mencapai target NDC dan Paris Agreement, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan.
Sumber Artikel :
Basuki, T. M., Nugroho, H. Y. S. H., Indrajaya, Y., Pramono, I. B., Nugroho, N. P., Supangat, A. B., Indrawati, D. R., Savitri, E., Wahyuningrum, N., Purwanto, et al. (2022). Improvement of Integrated Watershed Management in Indonesia for Mitigation and Adaptation to Climate Change: A Review. Sustainability, 14(16), 9997.
Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025
Mengelola Kompleksitas Perubahan Iklim dengan Adaptive Co-Management
Perubahan iklim menghadirkan tantangan besar bagi kawasan-kawasan sensitif seperti Kawasan Barents, yang meliputi wilayah utara Finlandia, Norwegia, Rusia, dan Swedia. Dampak perubahan iklim seperti mencairnya permafrost, perubahan pola cuaca, dan naiknya permukaan laut berpotensi mengganggu ekosistem, mata pencaharian masyarakat lokal, serta infrastruktur penting. Dalam konteks ini, Ryan Plummer dan Julia Baird (2013) menawarkan pendekatan adaptive co-management (ACM) sebagai strategi tata kelola yang responsif dan kolaboratif untuk menghadapi ketidakpastian dan kompleksitas perubahan iklim di Barents.
Resensi ini akan membahas konsep ACM, studi kasus penerapannya di Niagara, Kanada, serta pertimbangan penting untuk mengimplementasikannya di Barents. Selain itu, artikel ini memberikan analisis kritis dan menghubungkan dengan tren global agar relevan dan menarik bagi pembaca lintas disiplin.
Adaptive Co-Management: Konsep dan Karakteristik Utama
Adaptive co-management merupakan gabungan dari dua tradisi pengelolaan sumber daya alam: pengelolaan kolaboratif (co-management) dan pengelolaan adaptif (adaptive management). Pendekatan ini menekankan:
ACM bukanlah proses linear, melainkan siklus dinamis yang terus berkembang, di mana aktor bergerak dari tahap awal yang terpisah menuju kolaborasi yang lebih erat dan aksi bersama yang adaptif.
Studi Kasus Niagara, Kanada: Penerapan ACM dalam Adaptasi Perubahan Iklim
Wilayah Niagara di Kanada, dikenal dengan keindahan Niagara Falls dan statusnya sebagai UNESCO Biosphere Reserve, merupakan sistem sosial-ekologis yang kompleks dengan populasi sekitar 425.000 jiwa. Ekonomi lokal bertumpu pada manufaktur, pertanian, dan pariwisata yang menyumbang pengeluaran wisatawan sebesar $2,3 miliar per tahun.
Dalam menghadapi perubahan iklim yang berpotensi mengganggu sektor-sektor ini, sebuah inisiatif ACM dimulai ketika perencana wilayah Niagara menghubungi peneliti untuk mengembangkan rencana adaptasi iklim. Langkah awal adalah melakukan inventarisasi sosial-ekologis dengan mewawancarai 38 individu dari 33 organisasi untuk memahami aktivitas dan nilai yang ada terkait perubahan iklim.
Selanjutnya, serangkaian empat workshop interaktif digelar untuk berbagi informasi tentang proyeksi iklim dan dampaknya, serta memperkuat interaksi antar peserta. Proses ini menghasilkan pembentukan Niagara Climate Change Network, sebuah jaringan kolaboratif yang menyusun piagam perubahan iklim dan membentuk komite pengarah untuk menggerakkan aksi bersama.
Pelajaran penting dari Niagara adalah bahwa kolaborasi lintas sektor dapat memperkuat pemahaman dan aksi adaptasi, meskipun hasil jangka panjang dari proses ini masih dalam evaluasi. Keberhasilan ini menekankan pentingnya dialog, pembelajaran sosial, dan komitmen jangka panjang dalam ACM.
Pertimbangan Kunci untuk Mengimplementasikan ACM di Kawasan Barents
Kawasan Barents yang luas dan kaya sumber daya alam dihuni oleh sekitar 5,3 juta orang, dengan sekitar 7% penduduknya bergantung pada perburuan, perikanan, peternakan rusa, dan kehutanan. Dampak perubahan iklim di kawasan ini meliputi perubahan suhu, mencairnya permafrost, dan gangguan ekosistem laut serta darat. Selain itu, tekanan dari eksploitasi minyak, gas, dan mineral menambah kompleksitas tata kelola.
Tiga pertimbangan utama dalam menerapkan ACM di Barents adalah:
Studi Kasus dan Data Penting dari Kawasan Barents dan Niagara
Di Barents, sekitar 7% penduduk bergantung pada mata pencaharian tradisional seperti peternakan rusa, perikanan, dan kehutanan. Perubahan kebijakan Uni Eropa terkait fasilitas pemotongan hewan memaksa peternak rusa melakukan perjalanan lebih jauh, menambah beban ekonomi dan sosial. Kasus komunitas Pomor di pesisir Laut Putih menunjukkan bagaimana kebijakan federal yang mendorong industrialisasi dan pariwisata dapat mengancam praktik perikanan berkelanjutan tradisional.
Di Niagara, 38 individu dari 33 organisasi terlibat dalam inventarisasi sosial-ekologis yang menjadi dasar pembentukan jaringan adaptasi iklim. Dengan 30 juta wisatawan per tahun dan ekonomi senilai $2,3 miliar, kawasan ini sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, sehingga ACM menjadi pendekatan yang relevan untuk mengelola risiko tersebut.
Analisis Kritis dan Hubungan dengan Tren Global
Adaptive co-management bukan solusi universal. Studi-studi sebelumnya menunjukkan bahwa tanpa sensitivitas terhadap konteks sosial-politik dan etika, ACM bisa menjadi sekadar "hiasan" yang menyembunyikan masalah kekuasaan dan ketidakadilan yang sudah ada. ACM juga sering efektif pada skala lokal atau regional, tetapi dapat tertindas oleh kebijakan dan kekuatan di tingkat nasional atau internasional.
Namun, ACM memiliki keunggulan dibandingkan model pengelolaan tradisional yang kaku, karena menggabungkan kolaborasi lintas sektor dan pembelajaran adaptif. Tren global dalam tata kelola sumber daya alam dan adaptasi iklim semakin mengarah pada model tata kelola hibrid dan multi-level yang melibatkan masyarakat adat dan lokal sebagai aktor kunci.
Industri dan kebijakan global juga mulai mengadopsi prinsip ekonomi sirkular dan inovasi sosial yang menekankan kolaborasi, pembelajaran, dan adaptasi berkelanjutan—sejalan dengan prinsip ACM.
Rekomendasi untuk Implementasi ACM di Barents dan Wilayah Serupa
Adaptive co-management menawarkan kerangka tata kelola yang fleksibel, partisipatif, dan adaptif untuk menghadapi tantangan perubahan iklim di kawasan kompleks seperti Barents. Keberhasilannya bergantung pada ekspektasi yang realistis, penyesuaian dengan konteks lokal, dan pemenuhan kondisi pendukung yang telah terbukti. ACM bukan solusi instan, melainkan proses jangka panjang yang menuntut komitmen dan kolaborasi lintas sektor.
Bagi pembuat kebijakan, praktisi, dan komunitas lokal, ACM layak dijadikan pendekatan utama dalam adaptasi perubahan iklim, dengan penyesuaian yang cermat agar sesuai dengan karakteristik unik setiap wilayah.
Sumber Artikel :
Plummer, R., & Baird, J. (2013). Adaptive Co-Management for Climate Change Adaptation: Considerations for the Barents Region. Sustainability, 5(2), 629-642.
Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025
Dunia yang Semakin Tak Pasti
Ketika perubahan iklim menjadi semakin nyata, muncul satu persoalan besar yang sering terabaikan: ketidakpastian. Tidak hanya dalam proyeksi iklim itu sendiri, tetapi juga dalam adaptasi dan kebijakan yang harus diambil untuk menghadapinya. Paper berjudul “Assessing Uncertainties in Climate Change Adaptation and Land Management” karya Walter Leal Filho dkk. menyoroti dimensi kompleks ketidakpastian yang dihadapi oleh para pengambil kebijakan, akademisi, dan praktisi di seluruh dunia dalam menghadapi dampak perubahan iklim.
Artikel ini mengungkap bahwa ketidakpastian bukan hanya hambatan teknis, tetapi juga hambatan psikologis dan kebijakan. Tanpa pemahaman dan pengelolaan ketidakpastian yang baik, tindakan adaptasi bisa terhambat atau bahkan gagal.
Memahami Akar Ketidakpastian: Epistemik dan Irreducible
Penulis membedakan dua jenis utama ketidakpastian:
Irreducible uncertainty: Ketidakpastian yang melekat pada sistem alam, misalnya variabilitas iklim yang tidak bisa diprediksi secara sempurna.
Epistemic uncertainty: Ketidakpastian karena keterbatasan pengetahuan atau data yang dapat diperbaiki seiring waktu.
Kedua jenis ini sangat relevan dalam konteks pengelolaan lahan dan adaptasi iklim karena keduanya memengaruhi desain kebijakan dan infrastruktur yang tangguh terhadap perubahan iklim.
Metodologi Global dan Representatif
Studi ini menggunakan survei daring dengan 142 responden dari 50 negara di enam benua. Mayoritas responden berasal dari negara berkembang (sekitar 2/3), dengan kontribusi terbanyak dari Afrika (39,4%), diikuti oleh Eropa (26,1%), dan Amerika Selatan serta Asia masing-masing 10,6%.
Profil responden menunjukkan bahwa:
69,7% memiliki gelar PhD.
Sebanyak 87,23% sangat menyadari urgensi adaptasi iklim.
Lebih dari separuh responden berusia 41–60 tahun, menunjukkan bahwa tanggapan datang dari kelompok profesional berpengalaman.
Faktor-Faktor Utama yang Mempengaruhi Ketidakpastian
Para responden mengidentifikasi sejumlah faktor yang mempengaruhi ketidakpastian dalam adaptasi iklim dan pengelolaan lahan. Yang paling dominan adalah:
Faktor lingkungan: Dianggap paling penting oleh 60% responden.
Faktor kesehatan dan sosial: Masing-masing dianggap sangat penting oleh lebih dari 43%.
Faktor ekonomi dan politik: Juga mendominasi persepsi ketidakpastian dalam kebijakan publik.
Faktor teknis dan etika: Cenderung dianggap kurang penting secara relatif, tetapi tetap berpengaruh dalam konteks teknologi dan keadilan iklim.
Temuan ini menegaskan bahwa adaptasi iklim tidak bisa hanya berbasis sains atau teknologi, tetapi harus memadukan perspektif sosial, politik, dan ekonomi secara integral.
Ketidakpastian dalam Praktik: Studi Kasus dan Dampaknya
1. Infrastruktur Anti-Banjir dan Curah Hujan Tak Menentu
Ketidakpastian dalam pola curah hujan ekstrem menyulitkan perencanaan infrastruktur tahan banjir. Di beberapa negara, ketidaktepatan data menyebabkan pembangunan bendungan atau saluran air yang tidak efektif saat banjir benar-benar terjadi.
2. Integrasi Energi Terbarukan
Studi ini juga menyoroti bahwa ketidakpastian mengenai interaksi antara energi surya, angin, dan air menghambat transisi menuju energi bersih. Belum ada pemahaman menyeluruh bagaimana ketiganya dapat diintegrasikan secara efisien dalam berbagai kondisi iklim.
3. Adaptasi Pertanian
Petani di negara berkembang sering menghadapi kebingungan karena proyeksi iklim yang tidak konsisten. Ketika musim tanam menjadi semakin tidak menentu, dan pola hujan bergeser drastis, mereka sulit menentukan kapan dan bagaimana bercocok tanam. Hal ini memperparah ketahanan pangan.
Alat untuk Mengurangi Ketidakpastian: Apa yang Digunakan Praktisi?
Dalam upaya mengurangi ketidakpastian, para praktisi menggunakan berbagai alat. Berdasarkan hasil survei:
50% mengandalkan studi jangka panjang, seperti laporan IPCC dan kajian akademik.
41,27% mengandalkan dokumen resmi dari PBB.
36,92% mengandalkan opini pakar.
21,36% menggunakan studi yang ditugaskan oleh pemerintah.
Hanya 8,99% yang mengandalkan film atau media populer sebagai sumber informasi.
Temuan ini menunjukkan bahwa walaupun komunikasi publik penting, para profesional lebih mempercayai sumber ilmiah yang terverifikasi.
Strategi Pengurangan Ketidakpastian: Konsensus Global dan Lokal
Mayoritas responden setuju bahwa panduan atau pedoman harus disusun di berbagai tingkat:
28,2% mengusulkan pengembangan panduan global dan regional.
16,9% ingin ada pedoman dari tingkat global hingga lokal.
Hanya 1,4% yang menyarankan untuk menerima ketidakpastian sebagai bagian dari sistem dan bekerja dengannya.
Ini menunjukkan bahwa sebagian besar pemangku kepentingan masih menganggap ketidakpastian sebagai sesuatu yang harus dikendalikan, bukan dimanfaatkan secara adaptif.
Analisis Kritis: Menakar Realisme dan Harapan
Meskipun artikel ini memberikan kontribusi besar terhadap literatur adaptasi iklim, terdapat beberapa catatan penting:
Responden Didominasi oleh Kelompok Akademik dan Profesional
Ini bisa menimbulkan bias persepsi karena belum tentu mencerminkan masyarakat umum atau komunitas lokal yang terdampak langsung.
Pandangan Masih Normatif terhadap Ketidakpastian
Kebanyakan responden menganggap ketidakpastian sebagai hambatan, bukan peluang. Padahal dalam ekologi, ketidakpastian adalah hal alami yang bisa digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan adaptif.
Belum Banyak Dibahas Peran Teknologi Baru seperti AI dan IoT
Padahal teknologi ini bisa digunakan untuk mempersempit ketidakpastian dalam perencanaan lahan dan mitigasi risiko bencana.
Relevansi Global dan Implikasi Kebijakan
Penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi terhadap ketidakpastian sangat dipengaruhi oleh konteks geografis dan sosial-politik. Di negara-negara berkembang, ketidakpastian sering dihadapi dengan keterbatasan kapasitas institusional. Oleh karena itu:
Pemerintah harus mengembangkan kebijakan berbasis skenario yang fleksibel dan mengakomodasi ketidakpastian.
Investasi dalam sistem peringatan dini, riset lokal, dan partisipasi masyarakat sangat penting untuk meningkatkan ketahanan adaptif.
Kerja sama internasional diperlukan, bukan hanya dalam pendanaan iklim, tetapi juga dalam berbagi data, teknologi, dan pengalaman.
Mengelola Bukan Menghindari Ketidakpastian
Alih-alih mencoba menghilangkan ketidakpastian, pendekatan yang lebih realistis adalah mengelolanya dengan informasi yang lebih baik, komunikasi yang jelas, dan partisipasi lintas sektor.
Artikel ini berhasil menyoroti bahwa ketidakpastian bukan alasan untuk diam, melainkan panggilan untuk bertindak lebih cerdas, kolaboratif, dan berbasis bukti.
Sumber Artikel:
Leal Filho, W.; Stojanov, R.; Wolf, F.; Matandirotya, N.R.; Ploberger, C.; Ayal, D.Y.; Azam, F.M.S.; AL-Ahdal, T.M.A.; Sarku, R.; Tchiadje, N.F.; et al. Assessing Uncertainties in Climate Change Adaptation and Land Management. Land 2022, 11, 2226. https://doi.org/10.3390/land11122226 dokumen atau ringkasan visual (infografis), saya siap membantu.
Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025
Pentingnya Green Climate Fund bagi Negara Rentan Iklim
Bangladesh merupakan salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim global, dengan risiko tinggi banjir, siklon, intrusi salinitas, dan kenaikan permukaan laut. Sebagai negara delta rendah dengan 79% wilayahnya berupa dataran banjir, Bangladesh menghadapi tantangan besar dalam menjaga ketahanan sosial-ekologisnya. Green Climate Fund (GCF) hadir sebagai instrumen pendanaan internasional yang mendukung adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di negara-negara berkembang, termasuk Bangladesh. Paper "Forward-Looking Performance Review of the Green Climate Fund: Bangladesh Country Visit Report" (2019) oleh Independent Evaluation Unit (IEU) GCF mengulas secara mendalam bagaimana GCF beroperasi di Bangladesh, termasuk model bisnis, kebijakan, proses, dan hasil yang dicapai sejauh ini.
Model Bisnis dan Struktur Organisasi GCF di Bangladesh
Kepemilikan Negara dan Peran NDA
Bangladesh menunjukkan tingkat kepemilikan yang kuat terhadap program GCF, dengan Economic Relations Division (ERD) di Kementerian Keuangan sebagai National Designated Authority (NDA) dan focal point (FP) GCF. NDA berperan sentral dalam mengkoordinasikan proses no-objection, mengelola pipeline proyek, serta memobilisasi berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, CSO, dan sektor swasta. NDA juga membentuk sekretariat dan komite penasihat dengan anggota dari berbagai sektor untuk mendukung proses pengambilan keputusan.
Entitas Akses Langsung (DAEs) dan Entitas Terakreditasi (AEs)
Bangladesh telah menetapkan enam entitas nasional sebagai calon DAEs, dua di antaranya telah terakreditasi: Infrastructure Development Company Limited (IDCOL) dan Palli Karma-Sahayak Foundation (PKSF). IDCOL fokus pada proyek mitigasi sektor swasta dengan risiko menengah (kategori B), sedangkan PKSF menangani proyek adaptasi sektor publik dengan risiko rendah (kategori C). Namun, keterbatasan kapasitas teknis dan risiko yang dapat ditanggung DAEs membatasi cakupan proyek yang dapat mereka tangani, sehingga sebagian besar proyek masih dikembangkan oleh entitas terakreditasi internasional (iAEs) seperti UNDP, KfW, dan World Bank.
Proses No-Objection dan Pengajuan Proposal
Proses no-objection di Bangladesh dilakukan secara daring melalui platform yang dikembangkan NDA, dengan tahapan screening, konsultasi komite, dan persetujuan akhir oleh NDA. Meskipun proses ini sudah berjalan, beberapa AEs mengeluhkan kompleksitas dan ketidaksesuaian proses GCF dengan konteks nasional, termasuk kebutuhan persetujuan tambahan dari kementerian terkait dan Dewan Ekonomi Nasional untuk proyek dengan nilai lebih dari USD 5,9 juta.
Kebijakan, Proses, dan Tantangan dalam Akses Dana GCF
Kebijakan GCF dan Implementasinya
Kebijakan GCF, terutama yang terkait dengan risiko, lingkungan dan sosial (ESS), serta gender, dianggap relevan namun memberatkan dalam pelaksanaan. Pemerintah Bangladesh, melalui DoE, memiliki kebijakan lingkungan yang sudah mapan, sehingga beberapa persyaratan GCF dianggap kaku dan sulit diadaptasi. Selain itu, pendekatan GCF yang sangat berhati-hati terhadap risiko dinilai menghambat inovasi dan investasi dalam proyek yang lebih berisiko namun potensial berdampak besar.
Proses Akreditasi yang Panjang dan Kompleks
Proses akreditasi DAEs memakan waktu hingga tiga tahun, dengan persyaratan yang sulit dipenuhi terutama oleh lembaga pemerintah yang tidak dapat mengubah kebijakan internal secara cepat. Hal ini menyebabkan beberapa entitas nasional enggan mengajukan akreditasi, meskipun kapasitas mereka sebenarnya cukup untuk mengelola proyek GCF. Disarankan agar GCF mempertimbangkan audit langsung atau akreditasi bersyarat yang disertai dengan penguatan kapasitas untuk mempercepat proses.
Hambatan dalam Pengembangan Proposal dan Implementasi Proyek
Sejauh ini, Bangladesh telah mengajukan sekitar 20 konsep dan proposal pendanaan, namun hanya tiga yang disetujui dan baru satu yang mulai diimplementasikan (FP004). Proses desain dan persetujuan proposal sangat lama, rata-rata memakan waktu dua tahun, yang menyebabkan proyek kehilangan relevansi data baseline dan tumpang tindih dengan inisiatif lain di lapangan. Kurangnya definisi jelas tentang konsep kunci seperti "climate rationale," "country ownership," dan "paradigm shift" juga menambah kebingungan dalam penyusunan proposal.
Studi Kasus Proyek GCF di Bangladesh
FP004: Climate Resilient Infrastructure Mainstreaming (KfW)
FP069: Enhancing Adaptive Capacities of Coastal Communities (UNDP)
FP070: Global Clean Cooking Programme (World Bank)
Analisis dan Opini: Peluang dan Tantangan GCF di Bangladesh
Peluang
Tantangan
Perbandingan dengan Studi Lain
Penemuan ini sejalan dengan studi lain yang menunjukkan bahwa keberhasilan akses dana iklim internasional sangat bergantung pada kapasitas institusional dan kesesuaian prosedur dengan konteks nasional. Negara-negara berkembang dengan mekanisme koordinasi yang kuat dan kepemilikan lokal yang tinggi cenderung lebih berhasil dalam mengimplementasikan proyek adaptasi dan mitigasi.
Rekomendasi untuk Meningkatkan Efektivitas GCF di Bangladesh
Kesimpulan
Laporan evaluasi GCF di Bangladesh ini memberikan gambaran yang komprehensif tentang dinamika, capaian, dan hambatan dalam mengakses serta mengimplementasikan dana iklim di negara yang sangat rentan ini. Meskipun terdapat kemajuan signifikan dalam membangun mekanisme nasional dan pipeline proyek, tantangan birokrasi, kapasitas teknis, dan ketidakjelasan kebijakan masih menjadi hambatan utama. Dengan perbaikan proses, penguatan kapasitas, dan dukungan yang lebih adaptif dari GCF, Bangladesh berpotensi memaksimalkan manfaat dana iklim untuk meningkatkan ketahanan dan mengurangi emisi secara signifikan.
Sumber Artikel Asli:
Independent Evaluation Unit (IEU). (2019). Forward-Looking Performance Review of the Green Climate Fund (FPR) – Bangladesh Country Visit Report. Green Climate Fund.
Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025
Krisis Air adalah Krisis Tata Kelola
Di era perubahan iklim, ledakan populasi, dan ekspansi pertumbuhan kota dan pertanian, air menjadi sumber daya yang semakin langka dan diperebutkan. Meski begitu, kita justru kurang memperhatikannya secara sistematis. Air, seperti uang, seharusnya dipantau dan dicatat secara akurat—itulah inti dari water accounting atau akuntansi air.
Menurut laporan FAO dan World Water Council (2018), jika dunia melanjutkan pendekatan pengelolaan air seperti sekarang, maka pada tahun 2050 permintaan global akan air bisa melebihi pasokan lebih dari 40%. Dampaknya mengancam 45% PDB dunia, 52% populasi global, dan 40% produksi gandum. Fakta ini menjadi alarm keras untuk segera merombak sistem pengelolaan air yang ada.
Apa Itu Water Accounting dan Mengapa Ini Penting
Water accounting adalah proses pencatatan sistematis mengenai ketersediaan, penggunaan, distribusi, dan akses terhadap air, di wilayah atau sektor tertentu. Seperti pembukuan keuangan, akuntansi air bertujuan memberikan data yang jelas dan terverifikasi untuk membantu pengambilan keputusan. Tidak cukup hanya mengukur volume air, tetapi juga memahami pola konsumsi antar sektor—rumah tangga, pertanian, industri, lingkungan, dan energi.
Konsep ini tidak hanya membantu mengetahui "berapa banyak air tersedia", tapi juga "siapa yang menggunakannya", "untuk apa", dan "apakah penggunaan tersebut berkelanjutan".
Peran Vital Water Accounting dalam Mewujudkan SDGs
Akuntansi air bukan hanya alat teknis, tapi strategis dalam pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs). Secara khusus, SDG 6 menargetkan air bersih dan sanitasi untuk semua, tetapi pencapaiannya saling berkaitan dengan SDG 2 (ketahanan pangan), SDG 7 (energi bersih), SDG 13 (aksi iklim), dan SDG 15 (ekosistem darat).
Sebagai contoh, untuk mencapai ketahanan pangan, banyak negara mendorong irigasi besar-besaran. Tapi tanpa penghitungan akurat terhadap pasokan dan penggunaan air, langkah ini justru bisa memperparah kelangkaan air dan merusak ekosistem. Di sinilah akuntansi air hadir sebagai alat untuk menyeimbangkan ambisi pembangunan dengan kenyataan hidrologi.
Studi Kasus: Pelajaran dari Dunia Nyata
Laporan ini menyajikan beberapa studi kasus yang memperlihatkan bagaimana akuntansi air bisa mengubah kebijakan dan memperbaiki tata kelola.
India: Krisis Air Tanah dan Polusi Udara
Di wilayah Punjab dan Haryana, petani menggunakan listrik bersubsidi untuk memompa air tanah demi menanam padi dan gandum. Akibatnya, terjadi penurunan air tanah secara ekstrem. Ironisnya, setelah panen, mereka membakar jerami untuk menghemat waktu dan biaya, yang menyebabkan kabut asap di Delhi dan memperparah krisis kesehatan.
Tanpa akuntansi air, pemerintah tidak punya dasar data kuat untuk mengubah kebijakan subsidi atau memodifikasi pola tanam. Akuntansi air bisa mengungkap total konsumsi, efisiensi penggunaan, serta dampaknya terhadap energi dan kesehatan publik.
Nebraska, AS: Pengelolaan Air Tanah yang Efektif
Di Nebraska, akuntansi air menunjukkan bahwa penggunaan air tanah untuk irigasi melebihi batas pengisian alami (recharge). Pemerintah negara bagian merespons dengan mewajibkan meteran air, mengatur kuota, dan membentuk kelompok pengguna air yang mengelola distribusi secara mandiri. Ini bukan hanya menyelamatkan akuifer, tapi juga mendorong partisipasi masyarakat dalam pengelolaan air secara transparan.
Australia: Transparansi dan Pasar Air di Murray-Darling Basin
Dengan standar nasional untuk akuntansi air, Australia berhasil mengintegrasikan data air ke dalam pasar berbasis kuota. Informasi tentang siapa menggunakan air, berapa banyak, dan untuk apa, bisa diakses publik. Ini menciptakan sistem yang lebih adil dan efisien, serta mengurangi konflik antar pengguna air, terutama antara sektor pertanian dan kota.
Brasil: Meningkatkan Efisiensi Petani Lewat Data
Program Irrigation Advisory Service di Brasil memberikan informasi efisiensi air kepada petani melalui SMS dan platform digital. Awalnya, tingkat efisiensi sistem irigasi hanya sekitar 67%. Setelah intervensi berbasis data dan pelatihan, efisiensi meningkat menjadi 85%, sementara penggunaan energi juga menurun. Keberhasilan ini memperlihatkan bagaimana akuntansi air berkontribusi pada efisiensi operasional dan keberlanjutan ekonomi pertanian.
Membongkar Mitos dengan Data
Salah satu kontribusi terbesar akuntansi air adalah membongkar mitos populer yang tidak terbukti secara ilmiah. Contohnya, drip irrigation sering dianggap selalu menghemat air. Padahal, dalam banyak kasus, petani justru memperluas lahan tanam dengan 'air yang dihemat', sehingga total konsumsi air malah meningkat.
Mitos lain seperti "waduk selalu menambah pasokan air" atau "hutan meningkatkan air tanah" juga sering disalahartikan. Dalam iklim kering, waduk bisa menguapkan lebih banyak air daripada yang bisa disuplai. Beberapa jenis hutan justru menyerap air tanah dalam jumlah besar dan mengurangi aliran sungai.
Melalui pendekatan kuantitatif dan berbasis hukum konservasi massa, akuntansi air menyingkap kenyataan bahwa tidak semua solusi ‘alami’ atau ‘teknologi canggih’ cocok di setiap konteks.
Dari Data ke Tata Kelola: Akuntansi Air sebagai Basis Kebijakan
Water accounting tidak hanya berhenti pada pencatatan data, tetapi juga memberi masukan penting untuk water auditing dan reformasi kebijakan. Ketika pemerintah tahu berapa banyak air yang dimiliki, siapa yang menggunakannya, dan bagaimana dampaknya terhadap ekosistem, maka kebijakan bisa diarahkan pada prinsip keadilan, efisiensi, dan keberlanjutan.
Akuntansi air membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan kunci bagi pembuat kebijakan:
Mendukung Pemantauan SDGs dan Pertumbuhan Ekonomi
Indikator dalam SDGs seperti “akses air bersih”, “efisiensi penggunaan air”, dan “kualitas air” hanya bisa dimonitor secara akurat jika negara memiliki sistem akuntansi air yang kuat. Selain itu, perencanaan ekonomi juga membutuhkan informasi hidrologis. Tanpa data yang baik, banyak proyek pembangunan bisa menjadi stranded investment—misalnya kawasan industri yang tidak bisa beroperasi karena krisis air.
Texas State Water Plan tahun 2017 memberikan contoh yang baik: mereka menggunakan akuntansi air untuk menyusun rencana jangka panjang terhadap pertumbuhan populasi dan ekonomi yang pesat, agar tidak terjadi kelangkaan air di masa depan.
Rekomendasi: Arah Masa Depan untuk Akuntansi Air
FAO dan World Water Council menyarankan langkah-langkah berikut bagi negara dan institusi:
Setiap Tetes Air Harus Dihitung
Mengelola air tanpa data adalah seperti mengelola keuangan tanpa laporan. Kita tidak bisa menyusun kebijakan, menyelamatkan ekosistem, atau membangun ekonomi tanpa mengetahui dengan pasti berapa banyak air yang tersedia, digunakan, dan dibutuhkan.
Water accounting memberikan bahasa bersama, alat ukur, dan transparansi yang dibutuhkan dunia untuk memastikan bahwa air—sumber kehidupan—tetap tersedia bagi semua, hari ini dan untuk generasi mendatang.
Sumber Artikel:
FAO & World Water Council. (2018). Water Accounting for Water Governance and Sustainable Development. White Paper. ISBN 978-92-5-130427-3.