Perubahan Iklim

Mengintegrasikan Gender dan Interseksionalitas dalam Adaptasi Iklim: Studi Kasus, Data, dan Rekomendasi Praktis dari Adaptation Fund

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Gender, Interseksionalitas, dan Adaptasi Iklim

Isu perubahan iklim dan adaptasi bukan sekadar soal teknis atau ekologi, melainkan juga sangat terkait dengan keadilan sosial, gender, dan kerentanan multidimensi. Studi “Intersectional Approaches to Gender Mainstreaming in Adaptation-Relevant Interventions” yang diterbitkan Adaptation Fund (2022) membedah bagaimana strategi gender mainstreaming dalam program adaptasi iklim harus bertransformasi menjadi lebih interseksional—yaitu, mengakui dan mengatasi tumpang tindih kerentanan dan identitas sosial (gender, usia, etnis, status ekonomi, disabilitas, dll). Artikel ini mengulas isi, data, studi kasus, serta kritik dan rekomendasi praktis dari laporan penting ini.

Konsep Kunci: Dari Gender Mainstreaming Menuju Interseksionalitas

Evolusi Gender Mainstreaming

  • Gender mainstreaming adalah strategi global untuk memastikan semua kebijakan, program, dan intervensi memperhitungkan dampak dan kebutuhan gender secara setara.
  • Namun, pengalaman lapangan menunjukkan bahwa “pria” dan “wanita” bukanlah kelompok homogen. Identitas lain—usia, etnis, status sosial, disabilitas, orientasi seksual—menciptakan lapisan kerentanan dan privilege yang saling bertumpuk.
  • Interseksionalitas (intersectionality) adalah lensa analitik yang menyoroti bagaimana gender berinteraksi dengan faktor lain dalam membentuk pengalaman, kerentanan, dan kapasitas adaptasi seseorang terhadap perubahan iklim.

Mengapa Interseksionalitas Penting dalam Adaptasi Iklim?

  • Kerentanan iklim sangat dipengaruhi tumpang tindih identitas sosial: Misal, perempuan muda dari kelompok etnis minoritas di daerah terpencil menghadapi hambatan berbeda dibanding perempuan tua di kota.
  • Pendekatan interseksional menghasilkan intervensi yang lebih inklusif, adil, dan efektif, serta menghindari solusi “satu ukuran untuk semua”.

Metodologi Studi

  • Desk review: Analisis literatur akademik, dokumen kebijakan, dan studi kasus dari berbagai organisasi internasional (UN Women, USAID, IIED, GEF, dsb).
  • Fokus sektor: Pertanian, ketahanan pangan, kehutanan, pengurangan risiko bencana, air, kesehatan.
  • Studi kasus: Diambil dari Afrika, Asia Selatan, dan negara berkembang lain, dengan penekanan pada praktik nyata dan pembelajaran lapangan.

Temuan Utama: Praktik & Tantangan Interseksionalitas

1. Interseksionalitas dalam Kebijakan dan Program

  • Banyak organisasi mulai mengadopsi interseksionalitas dalam strategi gender, seringkali dengan istilah “Gender Equality and Social Inclusion” (GESI).
  • Contoh IIED: Toolkit “Pamoja Voices” di Tanzania mengidentifikasi prioritas adaptasi berdasarkan gender dan usia, memastikan suara perempuan muda, laki-laki muda, perempuan dewasa, dan laki-laki dewasa terwakili dalam perencanaan adaptasi iklim.
  • Contoh USAID/Feed the Future di Nepal: GESI digunakan untuk mengidentifikasi hambatan akses layanan penyuluhan pertanian, bukan hanya berdasarkan gender, tapi juga kasta, etnis, dan posisi dalam rumah tangga.

2. Studi Kasus: Praktik Interseksional di Lapangan

Tanzania: Toolkit Pamoja Voices

  • Empat kelompok target: laki-laki muda, perempuan muda, laki-laki dewasa, perempuan dewasa.
  • Aktivitas: Diskusi terpisah, pemetaan musim, analisis pengalaman hidup, pemetaan stakeholder, dan penyusunan rute ketahanan.
  • Temuan:
    • Perempuan muda lebih rentan kekerasan saat mencari air di musim kering.
    • Laki-laki muda lebih rentan konflik antarkelompok saat menggembala.
    • Prioritas intervensi berbeda: perempuan menekankan akses air dan keamanan, laki-laki pada pendidikan dan diversifikasi penghidupan.
  • Dampak: Perencanaan adaptasi jadi lebih responsif terhadap kebutuhan spesifik tiap kelompok.

Nepal: GESI dalam Penyuluhan Pertanian

  • Barriers: Kasta, etnis, dan gender saling memperkuat eksklusi akses layanan pertanian.
  • Praktik baik: Kuota partisipasi perempuan, Dalit, dan Janajati; pelatihan GESI untuk staf lapangan; data terpilah gender dan etnis.
  • Kritik: Pendekatan masih sering berhenti di permukaan (misal, hanya kuota tanpa perubahan struktur kekuasaan dalam rumah tangga/komunitas).

Bangladesh: “Double Vulnerabilities” Gender dan Etnisitas

  • Metode: Participatory Vulnerability and Capacity Assessment (PVCA) di 8 komunitas etnis minoritas.
  • Temuan:
    • Perempuan etnis minoritas mengalami diskriminasi ganda: tidak bisa mewarisi tanah, lebih rentan pelecehan, akses air bersih lebih sulit.
    • Ketergantungan pada lingkungan membuat perempuan lebih terdampak bencana (banjir, salinitas, kekeringan).
    • Mobilitas terbatas akibat norma budaya, memperburuk kerentanan saat bencana.
  • Rekomendasi: Prioritaskan pembangunan shelter, layanan kesehatan bergerak, dan infrastruktur air untuk komunitas etnis minoritas, khususnya perempuan.

Analisis Sektor: Interseksionalitas dalam Adaptasi

1. Pertanian & Ketahanan Pangan

  • Perempuan petani kecil di Afrika dan Asia seringkali lebih rentan karena akses lahan, kredit, dan teknologi terbatas—dan kerentanan ini berlipat jika mereka berasal dari kasta/etnis minoritas atau rumah tangga perempuan kepala keluarga.
  • Studi Ghana: Perempuan muda lajang lebih rentan gagal panen daripada perempuan tua atau laki-laki, karena akses sumber daya dan jaringan sosial lebih sempit.

2. Kehutanan

  • Partisipasi perempuan dalam pengelolaan hutan sering dihambat oleh norma gender, usia, dan status sosial.
  • Studi India: Perempuan muda dari kasta rendah hampir tak punya suara dalam komite hutan, sementara perempuan tua dari kasta tinggi lebih berpengaruh.

3. Pengurangan Risiko Bencana

  • Studi Bangladesh: Perempuan etnis minoritas lebih jarang menerima informasi evakuasi dan lebih sulit mengakses shelter.
  • Kebijakan: Perlu shelter ramah gender, layanan kesehatan bergerak, dan pelibatan perempuan/kelompok minoritas dalam perencanaan bencana.

4. Air, Sanitasi, dan Kesehatan

  • WASH (Water, Sanitation and Hygiene): Perempuan muda dan kelompok disabilitas lebih rentan kekerasan saat mencari air atau menggunakan fasilitas umum.
  • Studi India dan Afrika Timur: Fasilitas air yang tidak inklusif memperparah beban perempuan muda dan kelompok rentan.

Tantangan Implementasi: Data, Kapasitas, dan Politik

  • Data terpilah: Masih minim data terpilah gender, usia, etnis, disabilitas, dsb., sehingga sulit mengukur dampak intervensi secara interseksional.
  • Kapasitas SDM: Banyak pelaksana proyek belum terlatih melakukan analisis interseksional, cenderung berhenti di analisis gender biner.
  • Resistensi budaya: Norma patriarki dan eksklusi sosial masih kuat di banyak komunitas, sehingga perubahan membutuhkan waktu dan strategi bertahap.
  • Keterbatasan metodologi: Kebanyakan pendekatan masih “snippet”—hanya satu atau dua aspek interseksional, belum komprehensif.

Nilai Tambah & Rekomendasi Praktis

Nilai Tambah Interseksionalitas

  • Membuka “blind spot” dalam perencanaan dan evaluasi proyek adaptasi.
  • Meningkatkan efektivitas dan keadilan: Intervensi jadi lebih tepat sasaran, mengurangi risiko memperparah ketimpangan.
  • Mendorong perubahan struktural: Dari sekadar “tidak merugikan” menjadi “memperkuat hak dan agen kelompok rentan”.

Rekomendasi

  1. Bangun data terpilah dan monitoring interseksional: Kumpulkan dan analisis data berdasarkan gender, usia, etnis, disabilitas, status sosial, dsb.
  2. Libatkan kelompok rentan dalam seluruh siklus proyek: Dari desain, implementasi, hingga evaluasi.
  3. Pelatihan SDM: Tingkatkan kapasitas pelaksana proyek dalam analisis interseksional dan gender-transformative.
  4. Gunakan indikator kualitatif dan kuantitatif: Gabungkan survei, FGD, dan pemetaan sosial untuk memahami kerentanan dan kebutuhan spesifik.
  5. Dokumentasi dan pembelajaran berkelanjutan: Catat praktik baik, tantangan, dan inovasi untuk perbaikan berkelanjutan.
  6. Advokasi kebijakan: Dorong pemerintah dan donor untuk mengadopsi kebijakan dan pendanaan berbasis interseksionalitas.

Hubungan dengan Tren Global & Industri

  • SDGs (khususnya SDG 5, 10, 13): Interseksionalitas memperkuat prinsip “leave no one behind”.
  • Kebijakan donor besar (AF, GEF, UN, USAID): Semakin menuntut analisis dan pelaporan interseksional.
  • Industri pengembangan internasional: Inovasi digital (big data, mobile survey) dan participatory mapping makin diadopsi untuk mengatasi gap data.

Kritik dan Opini

Kelebihan

  • Studi ini komprehensif: Mengintegrasikan teori, kebijakan, dan praktik lapangan.
  • Studi kasus nyata: Memberi gambaran konkret tantangan dan solusi interseksional.
  • Rekomendasi aplikatif: Bisa diadopsi oleh pemerintah, donor, dan pelaksana proyek.

Kekurangan

  • Belum ada metodologi baku: Implementasi masih sangat tergantung konteks dan kapasitas lokal.
  • Fokus negara berkembang: Studi kasus dari negara maju masih minim, padahal kerentanan juga ada di sana (misal, migran, LGBTQ+).
  • Kurang eksplorasi teknologi digital: Potensi inovasi digital untuk monitoring interseksional belum banyak dibahas.

Kesimpulan: Interseksionalitas, Gender, dan Adaptasi Iklim—Dari Wacana ke Aksi

Studi Adaptation Fund ini menegaskan bahwa tanpa lensa interseksional, upaya adaptasi iklim berisiko memperkuat ketimpangan lama dan menciptakan kerentanan baru. Dengan mengadopsi pendekatan interseksional dalam gender mainstreaming, program adaptasi dapat menjadi lebih inklusif, adil, dan efektif. Kunci suksesnya adalah data terpilah, pelibatan kelompok rentan, inovasi metode, dan komitmen perubahan struktural. Transformasi ini adalah proses bertahap, namun setiap langkah kecil menuju interseksionalitas akan memperkuat ketahanan masyarakat di era krisis iklim.

Sumber Artikel 

Adaptation Fund Board. (2022). A Study on Intersectional Approaches to Gender Mainstreaming in Adaptation-Relevant Interventions. AFB/B.37-38/Inf.1, 17 February 2022.

Selengkapnya
Mengintegrasikan Gender dan Interseksionalitas dalam Adaptasi Iklim: Studi Kasus, Data, dan Rekomendasi Praktis dari Adaptation Fund

Perubahan Iklim

Membangun Ketahanan Air di Tengah Krisis Iklim: Studi Adaptasi Tata Kelola Air di Komunitas Pedesaan Kilosa, Tanzania

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Krisis Air dan Adaptasi di Era Perubahan Iklim

Perubahan iklim telah menjadi ancaman nyata bagi ketersediaan air dan ketahanan hidup masyarakat pedesaan, terutama di negara berkembang seperti Tanzania. Studi Theodory & Massoi (2023/24) membedah secara mendalam bagaimana komunitas petani dan pastoral di Distrik Kilosa menghadapi tantangan ini melalui tata kelola air adaptif. Artikel ini mengulas temuan utama, data lapangan, studi kasus, serta mengaitkannya dengan tren global dan tantangan tata kelola air di era iklim ekstrem.

Konteks dan Relevansi: Mengapa Kilosa?

Kilosa, salah satu distrik di Morogoro, Tanzania, dikenal sebagai kawasan rawan konflik petani-penggembala dan sangat rentan terhadap perubahan iklim. Wilayah ini memiliki tiga zona agro-ekologi (dataran tinggi, dataran banjir, pegunungan) dan curah hujan tahunan 600–1400 mm, namun tetap menghadapi kekurangan air kronis akibat perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan tekanan lahan.

Kombinasi Data Kualitatif dan Kuantitatif

Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan pendekatan campuran:

  • Survei 174 rumah tangga (10% populasi di 4 desa: Parakuyo, Twatwatwa, Mamoyo, Mabwerebwere)
  • Wawancara mendalam dengan 30 informan kunci (pejabat pemerintah, peneliti, pengelola air)
  • 12 Focus Group Discussions (petani, penggembala, perempuan, tokoh adat)
  • Analisis data statistik (regresi, faktor analisis) serta triangulasi data kualitatif
  • Studi dokumen: kebijakan nasional, strategi perubahan iklim, dan literatur tata kelola air

Perubahan Iklim: Persepsi dan Bukti Lapangan

Persepsi Masyarakat

  • Mayoritas responden menyadari perubahan iklim: penurunan curah hujan, musim kemarau panjang, suhu meningkat, dan pola musim tidak menentu.
  • Dampak langsung: gagal panen, kekurangan air minum, konflik penggunaan air, dan migrasi musiman.

“Rains were not sufficient, and they lasted for only a short period of time. We tried to prepare our farms early enough, but it did not rain on time.”
(Wawancara Petani, Mabwerebwere)

Bukti Kuantitatif

  • Kenaikan suhu: Setiap kenaikan 1°C menurunkan ketersediaan air sebesar 0,69 satuan (p=0,051).
  • Penurunan curah hujan: Setiap satuan kenaikan curah hujan meningkatkan ketersediaan air 2,37 satuan (p=0,021).
  • Perubahan musim: Pergeseran kalender tanam menurunkan produksi pertanian hingga 3 kali lipat (β = -3,02; p=0,008).
  • Dampak pada harga air: Harga air bersih melonjak dari 50–100 TZS/jerrycan menjadi 500–600 TZS/jerrycan saat kemarau.

Dampak Perubahan Iklim terhadap Air dan Penghidupan

Ketersediaan Air

  • Sumber air utama: sungai, sumur dangkal, dan bendungan buatan (rainwater harvesting).
  • Penurunan debit sungai: Sungai Mkondoa dan Mkata mengalami penurunan debit signifikan, menyebabkan irigasi dan air minum terganggu.
  • Bendungan buatan: Di Parakuyo, bendungan komunitas menjadi sumber utama air saat kemarau, dikelola dengan aturan adat.

Dampak pada Pertanian dan Peternakan

  • Gagal panen: Penurunan hasil pertanian akibat curah hujan tidak menentu dan musim tanam yang bergeser.
  • Kerugian peternak: Kekurangan air dan pakan menyebabkan kematian ternak massal (contoh: tahun 2020, banyak sapi mati karena sungai dan dam kering lebih dari sebulan).
  • Konflik lahan dan air: Persaingan antara petani dan penggembala, serta invasi satwa liar (gajah masuk desa saat kemarau).

Dampak Sosial-Ekonomi

  • Kenaikan harga pangan: Penurunan produksi menaikkan harga pangan lokal.
  • Peningkatan penyakit air: Sumber air tercemar meningkatkan risiko diare, kolera, dan penyakit lainnya.
  • Beban perempuan: Perempuan lebih aktif dalam aksi kolektif mencari air, karena bertanggung jawab atas kebutuhan rumah tangga.

Studi Kasus: Tata Kelola Air Adaptif di Parakuyo dan Mabwerebwere

Parakuyo: Integrasi Adat dan Formal

  • COBWSO (Community Based Water Supply Organization): Mengelola distribusi air, pungutan, dan pemeliharaan infrastruktur.
  • Peran tokoh adat Maasai: Aturan adat melarang aktivitas tertentu di bendungan (misal: berenang), dengan sanksi sosial dan spiritual.
  • Kolaborasi formal-informal: COBWSO bekerja sama dengan pemerintah desa dan RUWASA (Rural Water Supply Agency).

Mabwerebwere: Tantangan Infrastruktur dan Kesehatan

  • Sumber air utama: Sumur dangkal bantuan NGO (Islamic Society), namun kualitas air buruk dan rentan penyakit.
  • Tidak ada COBWSO: Pengelolaan air lebih banyak dipegang pemerintah desa dan NGO.
  • Prioritas pembangunan: RUWASA menjadikan Mabwerebwere target utama pembangunan air bersih tahun berikutnya.

Collective Action: Kunci Ketahanan

  • Aksi kolektif: Komunitas aktif menuntut hak air bersih, melakukan patroli sungai, dan mencegah penyalahgunaan air.
  • Peran perempuan: Lebih aktif dalam aksi kolektif, terutama dalam menuntut pembangunan infrastruktur air.

Analisis Kritis: Tata Kelola Adaptif dan Tantangan Lapangan

Dimensi Tata Kelola Air

  • Sosial: Keadilan distribusi air, peran perempuan, dan pengakuan aturan adat.
  • Ekonomi: Efisiensi pungutan air, pengelolaan dana komunitas, dan dampak harga air terhadap kemiskinan.
  • Politik: Keterlibatan semua pemangku kepentingan (pemerintah, komunitas, NGO, tokoh adat).
  • Lingkungan: Perlindungan sumber air, pengelolaan bendungan, dan adaptasi terhadap degradasi lahan.

Kelebihan Sistem Adaptif

  • Fleksibilitas institusi: Kombinasi lembaga formal (COBWSO, Komite Air Desa) dan informal (tokoh adat, aturan lokal).
  • Partisipasi masyarakat: Keterlibatan aktif warga dalam pengambilan keputusan dan pengawasan penggunaan air.
  • Pembelajaran kolektif: Proses “learning by doing” dalam menghadapi dinamika iklim dan konflik sumber daya.

Tantangan dan Kesenjangan

  • Keterbatasan infrastruktur: Sumur dangkal dan bendungan belum mampu memenuhi kebutuhan seluruh desa, terutama saat kemarau panjang.
  • Kualitas air: Banyak sumber air tercemar, meningkatkan risiko penyakit.
  • Konflik kewenangan: Tumpang tindih peran antara COBWSO, pemerintah desa, dan distrik.
  • Keterbatasan dana dan teknologi: Anggaran terbatas untuk perbaikan dan perluasan infrastruktur air.

Hubungan dengan Tren Global: SDGs, IWRM, dan Adaptasi Lokal

  • SDG 6 (Clean Water & Sanitation) dan SDG 13 (Climate Action): Studi ini relevan dengan agenda global ketersediaan air bersih dan aksi iklim.
  • Integrated Water Resources Management (IWRM): Kilosa menjadi contoh penerapan IWRM berbasis komunitas, dengan kolaborasi multi-aktor.
  • Nature-based solutions: Pengelolaan bendungan dan perlindungan DAS secara partisipatif menjadi bagian dari solusi berbasis alam.
  • Digitalisasi dan monitoring: Masih menjadi tantangan di Kilosa, namun peluang besar untuk masa depan.

Opini, Kritik, dan Perbandingan

Nilai Tambah Studi

  • Pendekatan holistik: Menggabungkan aspek sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan dalam tata kelola air.
  • Studi kasus nyata: Memberikan gambaran detail praktik adaptasi di tingkat desa, bukan hanya teori.
  • Data kuantitatif dan kualitatif: Kombinasi analisis statistik dan narasi lapangan memperkuat validitas temuan.

Kritik

  • Kurang eksplorasi teknologi inovatif: Studi lebih fokus pada tata kelola dan aksi kolektif, belum banyak membahas potensi teknologi baru (sensor, digitalisasi).
  • Konteks gender: Meski peran perempuan diakui, belum ada analisis mendalam tentang hambatan struktural yang dihadapi perempuan dalam tata kelola air.
  • Replikasi ke wilayah lain: Praktik di Kilosa sangat kontekstual, sehingga penerapan di daerah lain perlu adaptasi sesuai budaya dan ekologi lokal.

Perbandingan dengan Studi Lain

  • Mirip dengan praktik di Afrika Selatan dan India: Kolaborasi formal-informal dan aksi kolektif juga menjadi kunci di negara-negara tersebut.
  • Lebih partisipatif dibanding model top-down: Model adaptif di Kilosa lebih responsif terhadap kebutuhan lokal daripada pendekatan komando sentralistik.

Rekomendasi Kebijakan dan Praktik

  1. Perkuat kapasitas komunitas: Edukasi iklim, pelatihan pengelolaan air, dan penguatan organisasi lokal.
  2. Integrasi aturan adat dan formal: Pengakuan resmi terhadap peran tokoh adat dan aturan lokal dalam tata kelola air.
  3. Investasi infrastruktur air: Prioritaskan pembangunan sumur dalam dan bendungan baru, serta perbaikan sumber air tercemar.
  4. Kolaborasi multi-aktor: Libatkan pemerintah, NGO, komunitas, dan sektor swasta dalam perencanaan dan implementasi.
  5. Penguatan monitoring dan evaluasi: Kembangkan sistem pemantauan partisipatif untuk kualitas dan kuantitas air.
  6. Fokus pada kelompok rentan: Pastikan perempuan, anak-anak, dan kelompok miskin mendapat prioritas dalam akses air bersih.

Ketahanan Air Dimulai dari Tata Kelola Adaptif

Studi Theodory & Massoi menegaskan bahwa ketahanan air di era perubahan iklim hanya bisa dicapai melalui tata kelola yang adaptif, partisipatif, dan kontekstual. Kunci keberhasilan di Kilosa adalah kolaborasi antara lembaga formal dan adat, aksi kolektif masyarakat, serta pembelajaran berkelanjutan. Tantangan infrastruktur, kualitas air, dan konflik tetap ada, namun dengan penguatan kapasitas lokal dan investasi berkelanjutan, komunitas pedesaan dapat menjadi garda depan ketahanan air dan adaptasi iklim di Afrika dan dunia.

Sumber Artikel 

Theodory, T.F., Massoi, L. (2023). Adaptive Water Governance and Climate Change Resilience among Rural Communities in Kilosa District, Tanzania. REPOA, Dar es Salaam.

 

Selengkapnya
Membangun Ketahanan Air di Tengah Krisis Iklim: Studi Adaptasi Tata Kelola Air di Komunitas Pedesaan Kilosa, Tanzania

Perubahan Iklim

Menghadapi Ketidakpastian Iklim: Panduan Praktis Perencanaan Sumber Daya Air dengan Decision Tree Framework

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Tantangan Ketidakpastian Iklim dalam Perencanaan Air

Perubahan iklim telah menimbulkan tantangan baru dalam perencanaan dan desain proyek sumber daya air. Ketidakpastian terhadap curah hujan, suhu, dan pola hidrologi membuat pendekatan konvensional berbasis data historis menjadi kurang relevan. Laporan World Bank karya Patrick A. Ray dan Casey M. Brown (2015) menawarkan kerangka kerja inovatif—Decision Tree Framework—untuk membantu perencana dan pengambil keputusan menilai, mengelola, dan merancang proyek air yang tangguh terhadap ketidakpastian iklim. Artikel ini mengulas konsep, studi kasus, angka-angka, serta relevansi framework ini terhadap tren global dan praktik industri.

Mengapa Kerangka Baru Diperlukan?

  • Air dan iklim saling terkait erat: Variabilitas air sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim, sehingga sulit diprediksi dan dikelola.
  • Proyeksi: 1,8 miliar orang akan hidup di wilayah kelangkaan air absolut pada 2025.
  • Kerugian akibat banjir dan kekeringan: Di banyak wilayah, banjir dan kekeringan ekstrem menyebabkan kerugian ekonomi dan sosial besar, terutama bagi kelompok rentan.
  • Infrastruktur air umumnya berumur panjang: Investasi hari ini harus mampu menghadapi ketidakpastian puluhan tahun ke depan.

Kelemahan Pendekatan Konvensional

1. Top-down Approach

  • Mengandalkan proyeksi model iklim global (GCM) yang di-downscale ke lokal.
  • Masalah utama:
    • Proyeksi GCM sangat tidak pasti pada skala lokal dan variabel ekstrem (banjir, kekeringan).
    • Sering hanya memberikan “gambaran besar”, tidak cukup detail untuk keputusan investasi lokal.
    • Tidak mampu menangkap seluruh rentang kemungkinan masa depan.

2. Keterbatasan Analisis Risiko

  • Sulit menilai apakah risiko iklim lebih signifikan dibanding faktor lain (demografi, teknologi, ekonomi).
  • Prosesnya mahal, kompleks, dan sering tidak meyakinkan bagi pengambil keputusan.

Decision Tree Framework: Solusi Praktis Berbasis Bottom-Up

Prinsip Utama

  • Robustness-based, bottom-up: Fokus pada ketahanan sistem menghadapi berbagai kemungkinan masa depan, bukan hanya satu skenario.
  • Hierarkis dan proporsional: Analisis dilakukan bertahap, hanya mendalam pada proyek yang benar-benar sensitif terhadap iklim.

Empat Fase Utama Decision Tree

1. Project Screening

  • Tujuan: Menilai apakah proyek sensitif terhadap iklim.
  • Alat: Climate Screening Worksheet.
  • Contoh pertanyaan:
    • Apakah proyek berupa infrastruktur air?
    • Berapa umur ekonomis proyek?
    • Apa indikator kinerja dan ambang risiko yang ditetapkan stakeholder?
  • Hasil: Proyek yang tidak sensitif terhadap iklim langsung keluar dari proses lanjutan.

2. Initial Analysis

  • Tujuan: Menilai seberapa besar sensitivitas proyek terhadap iklim dibanding faktor lain.
  • Metode: Rapid project scoping (analisis cepat dengan spreadsheet, regresi sederhana).
  • Langkah:
    • Kembangkan model sederhana sistem air.
    • Hitung elastisitas kinerja terhadap perubahan iklim (misal: berapa % penurunan energi jika debit turun 10%).
    • Bandingkan sensitivitas terhadap faktor non-iklim (misal: pertumbuhan penduduk).
  • Contoh Studi Kasus:
    • Sanaga Basin, Kamerun: Empat PLTA run-of-the-river diuji elastisitasnya terhadap debit sungai. Hasil: perubahan energi <20% hingga 2050/2080, EIRR tetap menarik (>13%), sehingga proyek dinilai robust dan tidak perlu analisis iklim lebih lanjut.

3. Climate Stress Test

  • Tujuan: Uji ketahanan proyek terhadap berbagai skenario iklim ekstrem.
  • Metode:
    • Bangun model hidrologi-ekonomi lengkap.
    • Gunakan weather generator untuk membuat ribuan skenario iklim (bukan hanya dari GCM, tapi juga data historis, paleoklimatologi, dan input stakeholder).
    • Identifikasi titik-titik kerentanan sistem (misal: kapan pembangkit gagal memenuhi target energi).
  • Produk: Climate Risk Report dengan peta respons sistem terhadap rentang perubahan iklim.

4. Climate Risk Management

  • Tujuan: Kelola risiko yang teridentifikasi.
  • Langkah:
    • Modifikasi desain proyek (misal: tambahkan kapasitas, fleksibilitas operasional, atau opsi adaptasi bertahap).
    • Jika proyek terlalu rentan dan tidak dapat diperbaiki, pertimbangkan opsi lain.
    • Gunakan alat lanjutan: robust decision making, real options analysis, dynamic adaptive policy pathways.
  • Produk: Climate Risk Management Plan.

Studi Kasus: Run-of-the-River Hydropower

Aplikasi Framework

  • Lokasi: Studi kasus pada proyek PLTA run-of-the-river.
  • Langkah:
    • Fase 1: Proyek dikategorikan sensitif iklim.
    • Fase 2: Analisis awal menunjukkan sensitivitas signifikan.
    • Fase 3: Climate stress test dilakukan dengan weather generator dan model hidrologi.
    • Fase 4: Hasil menunjukkan desain empat pembangkit lebih robust dibanding tujuh pembangkit (lihat Gambar 3.5, 3.6, 3.7 di paper).
  • Angka kunci:
    • Elastisitas produksi energi terhadap debit: 0,3–0,5.
    • EIRR proyek tidak turun lebih dari 5% dalam skenario terburuk, tetap di atas ambang investasi.
    • Proyeksi perubahan debit sungai hingga 2050/2080 tidak menyebabkan kegagalan kinerja proyek.

Keunggulan Decision Tree Framework

  • Efisien dan proporsional: Analisis mendalam hanya untuk proyek yang benar-benar perlu.
  • Transparan dan repeatable: Setiap fase terdokumentasi, mudah diaudit.
  • Fleksibel: Dapat digunakan untuk berbagai jenis proyek air (bendungan, irigasi, sanitasi, PLTA).
  • Mendorong adaptasi bertahap: Memungkinkan desain proyek yang dapat di-upgrade jika risiko meningkat di masa depan.
  • Mengintegrasikan stakeholder: Kriteria kinerja dan risiko ditetapkan bersama pemangku kepentingan.

Tantangan Implementasi

  • Kapasitas teknis: Membutuhkan pelatihan staf untuk membangun model sederhana dan memahami analisis risiko.
  • Ketersediaan data: Data historis, paleoklimatologi, dan proyeksi iklim lokal masih terbatas di banyak negara berkembang.
  • Keterlibatan stakeholder: Proses partisipatif kadang memakan waktu dan sumber daya.
  • Konteks politik dan ekonomi: Keputusan investasi sering dipengaruhi faktor non-teknis.

Hubungan dengan Tren Industri & Kebijakan Global

  • SDG 6 & Paris Agreement: Framework ini sangat relevan untuk mendukung target air bersih dan adaptasi iklim.
  • Pendekatan adaptif: Sejalan dengan tren global menuju infrastruktur fleksibel dan adaptive management.
  • Digitalisasi dan big data: Decision Tree dapat diintegrasikan dengan sistem monitoring real-time dan pemodelan berbasis AI.

Kritik dan Opini

Kelebihan

  • Praktis dan aplikatif: Mudah diadopsi oleh lembaga donor, pemerintah, maupun konsultan.
  • Mendorong efisiensi anggaran: Analisis proporsional menghindari pemborosan waktu dan biaya.
  • Membuka peluang inovasi desain: Dengan identifikasi kerentanan, proyek bisa didesain lebih adaptif.

Kekurangan

  • Masih butuh kapasitas teknis minimum: Negara dengan SDM terbatas mungkin kesulitan di awal.
  • Belum banyak aplikasi di negara berkembang: Studi kasus masih didominasi proyek besar dan negara menengah.
  • Perlu roadmap implementasi nasional: Agar framework ini bisa jadi standar, perlu dukungan kebijakan dan pelatihan berkelanjutan.

Rekomendasi Praktis

  1. Integrasikan framework dalam siklus proyek: Mulai dari perencanaan, desain, hingga evaluasi pasca-proyek.
  2. Bangun kapasitas teknis lokal: Pelatihan penggunaan model sederhana dan pemahaman risiko iklim.
  3. Perkuat data iklim dan hidrologi: Investasi pada sistem monitoring dan pengumpulan data lokal.
  4. Dorong kolaborasi lintas sektor: Libatkan perencana, insinyur, ekonom, dan masyarakat dalam setiap tahap.
  5. Adopsi adaptasi bertahap: Desain proyek dengan opsi upgrade jika risiko meningkat di masa depan.

Menuju Infrastruktur Air yang Tangguh dan Adaptif

Decision Tree Framework dari Ray & Brown adalah terobosan penting dalam perencanaan sumber daya air di era perubahan iklim. Dengan pendekatan bottom-up, proporsional, dan fokus pada robustnes, framework ini menjawab kebutuhan praktisi dan pembuat kebijakan untuk menghasilkan proyek air yang tangguh, efisien, dan adaptif. Di tengah ketidakpastian iklim yang makin besar, adopsi framework ini bisa menjadi kunci keberhasilan pembangunan berkelanjutan dan perlindungan masyarakat dari risiko air di masa depan.

Sumber Artikel 

Ray, Patrick A., and Casey M. Brown. 2015. Confronting Climate Uncertainty in Water Resources Planning and Project Design: The Decision Tree Framework. Washington, DC: World Bank. doi:10.1596/978-1-4648-0477-9.

Selengkapnya
Menghadapi Ketidakpastian Iklim: Panduan Praktis Perencanaan Sumber Daya Air dengan Decision Tree Framework

Perubahan Iklim

Kolaborasi Adaptasi Iklim: Menyatukan Tata Kelola Air dan Perencanaan Kota untuk Masa Depan Urban Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Kota, Air, dan Tantangan Iklim Abad ke-21

Urbanisasi pesat, perubahan iklim, dan pertumbuhan penduduk telah mengubah wajah tantangan pengelolaan air di kota-kota dunia. Dalam 70 tahun terakhir, populasi perkotaan melonjak dari 0,8 miliar (29,6%) pada 1950 menjadi 4,4 miliar (56,2%) pada 2020, dan diproyeksikan mencapai 6,7 miliar (68,4%) pada 2050. Bersamaan dengan itu, konsumsi air meningkat enam kali lipat, terutama didorong kebutuhan pertanian, industri, dan domestik1.

Di tengah krisis ini, paper karya Vinagre dkk. (2023) menyoroti pentingnya integrasi antara pengelolaan air perkotaan (urban water management) dan perencanaan kota (city planning) sebagai kunci adaptasi perubahan iklim. Melalui tinjauan sistematis literatur, artikel ini mengidentifikasi konsep, tren, tantangan, dan peluang kolaborasi lintas sektor yang dapat memperkuat ketahanan air perkotaan di era iklim ekstrem.

Metodologi: Tinjauan Sistematis dan Analisis Bibliometrik

Penulis menggunakan pendekatan systematic literature review berbasis PRISMA untuk menelusuri, menyeleksi, dan menganalisis 39 artikel ilmiah utama dari total 524 publikasi terkait tema “climate change”, “sustainable urban water management”, dan “city planning” hingga 2022. Proses seleksi melibatkan kombinasi kata kunci, iterasi pencarian, dan snowballing untuk memastikan cakupan dan relevansi1.

Hasil utama:

  • Lonjakan jumlah publikasi dalam dekade terakhir, menunjukkan meningkatnya perhatian ilmiah pada integrasi air-ruang kota-iklim.
  • Dominasi studi kasus dari negara maju (Belanda, AS, Australia, China, Inggris), menandakan masih minimnya kajian mendalam di negara berkembang.
  • Studi kasus menonjol dari Israel dan Singapura, negara kecil dengan tantangan kelangkaan air ekstrem namun sukses dalam inovasi tata kelola air1.

Konsep Kunci: Evolusi Paradigma Pengelolaan Air Perkotaan

Dari Sentralisasi Menuju Hybridisasi Sistem

Sejak abad ke-19, sistem air kota didesain terpusat untuk menjamin kesehatan dan sanitasi. Namun, sistem ini kini menghadapi tantangan besar:

  • Infrastruktur usang, biaya investasi tinggi, dan ketergantungan pada sumber air jauh.
  • Tidak fleksibel menghadapi fluktuasi populasi, pola konsumsi, dan ancaman iklim ekstrem (banjir, kekeringan)1.

Paradigma baru yang berkembang:

  • Desentralisasi: Sistem air lokal (rainwater harvesting, grey water recycling) untuk efisiensi, resilien, dan adaptasi.
  • Hybridisasi: Kombinasi sistem sentralisasi-decentralisasi untuk mengatasi lock-in effect dan meningkatkan fleksibilitas1.

Konsep dan Praktik SUWM (Sustainable Urban Water Management)

Berbagai konsep dan pendekatan telah dikembangkan:

  • Low-Impact Development (LID): Pengelolaan air berbasis lanskap alami, dimulai di AS dan Selandia Baru sejak 1977.
  • Integrated Urban Water Management (IUWM): Koordinasi lintas layanan air (air minum, limbah, air hujan) dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.
  • Water Sensitive Urban Design (WSUD): Perencanaan kota ramah air, menekankan perlindungan ekosistem dan siklus hidrologi lokal (Australia, 1996).
  • Sustainable Urban Drainage Systems (SUDS): Teknologi drainase yang meniru pola alami, populer di Inggris sejak 2000.
  • Sponge City: Konsep urbanisasi di Tiongkok (2014) yang mengedepankan penyerapan, penyimpanan, dan pemanfaatan air hujan melalui infrastruktur hijau1.

Studi Kasus:

  • Sponge Cities di China: Kota seperti Wuhan dan Shenzhen mengadopsi sistem taman resapan, atap hijau, dan kolam retensi untuk mengurangi banjir dan meningkatkan cadangan air tanah.
  • NEWATER di Singapura: Sistem daur ulang air limbah menjadi air minum, didukung teknologi membran canggih dan edukasi publik, berhasil mengurangi ketergantungan pada air impor hingga 40%1.

Analisis Vektor Adaptasi: Sinergi dan Tantangan

1. Vektor Operasional

  • Strategi penghematan air, pengurangan kebocoran, pemisahan saluran air hujan dan limbah, serta pemanfaatan air hujan cadangan menjadi fokus utama.
  • Grey water (limbah domestik non-toilet) berpotensi menyediakan 50–80% air limbah rumah tangga untuk didaur ulang1.

2. Vektor Organisasi & Institusi

  • Desentralisasi infrastruktur menuntut perubahan tata kelola: siapa bertanggung jawab, bagaimana pengawasan, dan kolaborasi antar lembaga.
  • Studi di Inggris menunjukkan sektor air dan pengendalian banjir paling aktif beradaptasi, namun seringkali top-down dan sulit diimplementasikan di lapangan1.

3. Vektor Ekonomi

  • Investasi sistem SUWM seringkali tidak menguntungkan secara finansial murni, namun memberi banyak eksternalitas positif (pengurangan risiko, ruang hijau, mitigasi pulau panas).
  • Studi di Spanyol dan Belanda: Rainwater harvesting pada skala kecil belum ekonomis, namun berpotensi menurunkan biaya drainase publik jika diadopsi secara luas1.

4. Vektor Perilaku

  • Resistensi publik terhadap air daur ulang (“yuck factor”) masih tinggi, meski kualitas air sudah sangat baik. Di Singapura, keberhasilan NEWATER ditopang edukasi dan transparansi teknologi1.
  • Studi di Israel dan AS: 13% responden menolak air daur ulang untuk konsumsi, terutama karena persepsi risiko kesehatan.

5. Vektor Teknologi

  • Inovasi seperti membran bioreaktor (MBR), forward osmosis, dan teknologi desalinasi semakin efisien, namun biaya masih menjadi kendala.
  • Solusi berbasis alam (green roofs, bioretention, permeable pavement) terbukti efektif mengendalikan banjir dan memperbaiki kualitas air1.

6. Vektor Perencanaan Kota

  • Urban planning memegang peran vital dalam mengatur densitas, tata ruang, dan lokasi infrastruktur air untuk mengoptimalkan siklus air perkotaan.
  • London mengembangkan konsep “water neutrality” melalui integrasi data spasial dan model IUWM (CityPlan-Water)1.

Studi Kasus Global: Implementasi dan Pelajaran

Israel: Daur Ulang Air untuk Pertanian

  • 85% air limbah didaur ulang untuk irigasi, tertinggi di dunia.
  • Kunci keberhasilan: regulasi ketat, insentif ekonomi, dan edukasi petani.
  • Tantangan: persepsi risiko, biaya teknologi, dan kebutuhan pemantauan kualitas air secara kontinu1.

California Selatan: Hybridisasi Sistem

  • Kombinasi sistem sentralisasi (air permukaan dan tanah) dengan desentralisasi (rainwater harvesting, grey water reuse).
  • Investasi besar pada infrastruktur daur ulang dan desalinasi, namun tetap menghadapi resistensi publik dan tantangan biaya1.

China: Sponge City dan Urban Flooding

  • Kota-kota besar seperti Shenzhen dan Wuhan menerapkan konsep Sponge City untuk mengatasi banjir dan kekeringan.
  • Infrastruktur hijau seperti taman resapan, kolam retensi, dan atap hijau terbukti mengurangi volume limpasan air hujan hingga 70% di beberapa zona pilot1.

Diskusi: Gap, Tantangan, dan Arah Masa Depan

Gap Pengetahuan dan Praktik

  • Kolaborasi antara pengelola air dan perencana kota masih minim, terutama dalam integrasi antara pengendalian banjir dan pengelolaan kekeringan.
  • Studi lebih banyak fokus pada solusi teknis dan pengendalian banjir, kurang pada manajemen permintaan air dan adaptasi kekeringan1.
  • Implementasi sistem hybrid (sentralisasi-desentralisasi) masih menghadapi tantangan pembagian tanggung jawab, regulasi, dan model bisnis.

Tantangan Utama

  • Lock-in effect: Infrastruktur lama sulit diubah, baik karena biaya maupun resistensi institusi.
  • Keterbatasan data dan kapasitas SDM: Kota kecil dan negara berkembang kekurangan staf dan keahlian untuk mengelola sistem adaptif.
  • Kesenjangan ekonomi: Analisis biaya-manfaat sering mengabaikan nilai eksternalitas lingkungan dan sosial.

Peluang dan Rekomendasi

  • Analisis biaya-manfaat holistik: Perlu mengintegrasikan manfaat lingkungan, kesehatan, dan sosial dalam evaluasi proyek SUWM.
  • Hybridisasi sistem: Kombinasi sentralisasi dan desentralisasi dapat meningkatkan resiliensi dan efisiensi.
  • Edukasi publik dan transparansi: Kunci penerimaan air daur ulang dan inovasi teknologi.
  • Kolaborasi lintas sektor: Diperlukan mekanisme formal dan informal untuk memperkuat sinergi antara pengelola air, perencana kota, dan masyarakat.
  • Adopsi teknologi cerdas: Artificial intelligence dan big data untuk pemantauan, prediksi, dan perencanaan adaptif1.

Hubungan dengan Tren Industri dan Kebijakan Global

  • Circular economy: Konsep WICER (World Bank) mendorong pergeseran dari sistem linier ke sirkular dalam pengelolaan air, limbah, dan energi.
  • Nature-based solutions: Restorasi lahan basah, green-blue infrastructure, dan desain kota berbasis ekosistem menjadi tren utama adaptasi iklim.
  • Water-wise cities: Prinsip IWA menekankan pentingnya kolaborasi, inovasi, dan kepemimpinan dalam membangun kota tahan iklim1.

Kritik dan Opini

Kelebihan

  • Analisis komprehensif: Paper ini berhasil merangkum berbagai konsep, praktik, dan tantangan dalam pengelolaan air perkotaan berkelanjutan.
  • Studi kasus nyata: Menyajikan contoh konkret dari berbagai negara, memperkaya wawasan pembaca.
  • Identifikasi gap: Menyoroti perlunya kolaborasi lintas sektor dan inovasi dalam tata kelola air kota.

Kekurangan

  • Minim data kuantitatif dampak jangka panjang: Banyak solusi masih berupa pilot project, belum ada evaluasi sistemik jangka panjang.
  • Konteks negara berkembang kurang dieksplorasi: Studi lebih banyak dari negara maju, padahal tantangan di Global South sangat berbeda.
  • Kurangnya roadmap implementasi: Rekomendasi masih bersifat konseptual, belum konkret dalam langkah-langkah kebijakan.

Kesimpulan: Adaptasi Bersama, Kota Tangguh Masa Depan

Paper ini menegaskan bahwa adaptasi perubahan iklim di kota hanya bisa berhasil jika pengelolaan air dan perencanaan kota berjalan seiring. Kolaborasi, inovasi teknologi, edukasi publik, dan pendekatan sistemik menjadi kunci. Kota masa depan harus mampu mengintegrasikan solusi teknis, sosial, dan kelembagaan untuk membangun ketahanan air dan kualitas hidup yang berkelanjutan.

Sumber Artikel 

Vinagre, V.; Fidélis, T.; Luís, A. How Can We Adapt Together? Bridging Water Management and City Planning Approaches to Climate Change. Water 2023, 15, 715.

Selengkapnya
Kolaborasi Adaptasi Iklim: Menyatukan Tata Kelola Air dan Perencanaan Kota untuk Masa Depan Urban Berkelanjutan

Perubahan Iklim

Menguak Kunci Transformasi Tata Kelola Iklim Kota: Studi Kasus Rotterdam & New York dalam Membangun Kapasitas Perubahan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Kota sebagai Arena Utama Transformasi Iklim

Kota-kota dunia kini berada di garis depan dalam menghadapi krisis iklim. Dengan lebih dari separuh populasi dunia tinggal di wilayah urban, kota menjadi pusat emisi gas rumah kaca sekaligus korban utama dampak perubahan iklim seperti banjir, gelombang panas, dan kenaikan permukaan laut. Namun, kota juga menyimpan potensi besar sebagai laboratorium inovasi untuk mitigasi dan adaptasi iklim.

Disertasi Katharina Hölscher (2019) menawarkan analisis mendalam tentang bagaimana kota dapat mengubah tata kelola iklimnya agar lebih transformatif. Dengan membedah dua studi kasus—Rotterdam (Belanda) dan New York City (AS)—penelitian ini membangun kerangka kapasitas tata kelola yang dapat direplikasi di kota-kota lain di dunia.

Kerangka Teoritis: Transformative Climate Governance

Mengapa Butuh Pendekatan Transformatif?

Hölscher menegaskan bahwa perubahan iklim bukan sekadar masalah lingkungan, melainkan gejala dan pemicu dari ketergantungan jalur pembangunan kota yang tidak berkelanjutan. Oleh karena itu, solusi parsial atau reaktif tidak cukup. Diperlukan perubahan sistemik—baik dalam tata kelola, perilaku, maupun institusi—yang mampu mengintegrasikan mitigasi, adaptasi, dan tujuan pembangunan berkelanjutan.

Empat Kapasitas Kunci Tata Kelola Transformatif

Penelitian ini merumuskan empat kapasitas utama yang harus dimiliki kota untuk mewujudkan tata kelola iklim yang transformatif:

  1. Stewarding Capacity
    Kemampuan mengantisipasi, melindungi, dan memulihkan diri dari risiko serta ketidakpastian (misal: banjir, badai, gelombang panas).
  2. Unlocking Capacity
    Kapasitas mengenali dan membongkar ketergantungan pada pola lama yang tidak berkelanjutan (misal: kebijakan pro-fossil fuel, tata ruang yang rentan).
  3. Transformative Capacity
    Kemampuan menciptakan, menyebarluaskan, dan melembagakan inovasi (teknologi, peraturan, pola hidup).
  4. Orchestrating Capacity
    Kemampuan mengoordinasikan berbagai aktor, sektor, dan skala pemerintahan secara sinergis dan inklusif.

Studi Kasus: Rotterdam dan New York City

Rotterdam: Kota Delta yang Tangguh

  • Konteks: Rotterdam adalah kota pelabuhan terbesar di Eropa, sangat rentan terhadap banjir akibat letaknya di delta Sungai Rhine-Meuse.
  • Kebijakan: Rotterdam Climate Initiative dan program adaptasi “Rotterdam Climate Proof” menargetkan kota bebas karbon pada 2050 dan 100% tahan banjir pada 2025.
  • Inovasi:
    • Benthemplein Water Square—ruang publik multifungsi yang menampung air hujan saat badai, mengurangi risiko banjir, sekaligus menjadi pusat komunitas.
    • Floating Pavilion—bangunan apung sebagai laboratorium hidup untuk adaptasi permukiman terhadap kenaikan permukaan air.

Angka Kunci:

  • Investasi adaptasi mencapai €500 juta antara 2008–2018.
  • Target pengurangan emisi CO₂ sebesar 50% pada 2030 dibanding 1990.

New York City: Resiliensi Pasca Sandy

  • Konteks: NYC menghadapi risiko banjir pesisir, badai, dan gelombang panas. Badai Sandy (2012) menjadi titik balik penguatan tata kelola iklim.
  • Kebijakan:
    • OneNYC—strategi pembangunan berkelanjutan dan resiliensi jangka panjang.
    • Rebuild by Design—kompetisi inovasi tata ruang pasca Sandy yang menghasilkan proyek-proyek seperti Living Breakwaters (terumbu buatan untuk meredam ombak dan memperkuat ekosistem pesisir).
  • Inovasi:
    • Penguatan jaringan komunitas lokal untuk respons bencana.
    • Integrasi data risiko iklim ke dalam perencanaan tata ruang dan infrastruktur.

Angka Kunci:

  • Kerugian akibat Sandy: US$19 miliar.
  • Investasi resiliensi: US$20 miliar (2013–2020).
  • Proyeksi: 800.000 penduduk NYC tinggal di zona rawan banjir pada 2050.

Analisis Perbandingan: Bagaimana Kapasitas Tata Kelola Terbentuk?

Stewarding Capacity

  • Rotterdam:
    • Pengembangan data risiko banjir dan sistem peringatan dini.
    • Perencanaan jangka panjang berbasis skenario iklim.
  • NYC:
    • Integrasi pengetahuan ilmiah (NPCC, Panel Iklim Kota) ke dalam kebijakan.
    • Penguatan jejaring sosial dan komunitas untuk respons darurat.

Unlocking Capacity

  • Rotterdam:
    • Penghapusan insentif untuk pembangunan di zona rawan banjir.
    • Aliansi strategis dengan sektor swasta untuk inovasi hijau.
  • NYC:
    • Regulasi baru yang membatasi pembangunan di kawasan pesisir.
    • Fasilitasi transisi energi terbarukan dan transportasi rendah karbon.

Transformative Capacity

  • Rotterdam:
    • Eksperimen ruang publik adaptif dan infrastruktur hijau.
    • Penyebaran narasi kota tahan iklim untuk membangun dukungan publik.
  • NYC:
    • Proyek inovasi seperti Living Breakwaters dan Big U (tanggul hijau).
    • Skema pendanaan kolaboratif lintas sektor (federal, lokal, swasta).

Orchestrating Capacity

  • Rotterdam:
    • Koordinasi lintas departemen kota dan kemitraan dengan universitas.
    • Forum multi-aktor untuk perencanaan dan evaluasi kebijakan.
  • NYC:
    • Pembentukan kantor khusus (Office of Recovery and Resiliency, Office of Sustainability).
    • Keterlibatan aktif komunitas, LSM, dan sektor swasta dalam pengambilan keputusan.

Tantangan dan Kesenjangan

Kesenjangan Implementasi

  • Kapasitas transformatif masih menjadi “niche”, belum terintegrasi penuh dalam arsitektur kebijakan kota.
  • Insentif ekonomi dan regulasi masih condong ke kepentingan jangka pendek.
  • Fragmentasi antar sektor dan level pemerintahan menghambat mainstreaming inovasi.

Hambatan Sosial dan Politik

  • Resistensi terhadap perubahan di tingkat birokrasi dan masyarakat.
  • Konflik kepentingan antara pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan.
  • Keterbatasan sumber daya untuk memperluas eksperimen menjadi kebijakan arus utama.

Studi Kasus Mikro: Benthemplein Water Square & Living Breakwaters

Benthemplein Water Square (Rotterdam)

  • Fungsi: Menampung hingga 1,7 juta liter air hujan saat badai, mencegah banjir di kawasan padat penduduk.
  • Manfaat tambahan: Ruang publik untuk olahraga, seni, dan interaksi sosial saat tidak tergenang.
  • Pembelajaran: Kolaborasi lintas disiplin (arsitek, insinyur, komunitas) mempercepat adopsi inovasi.

Living Breakwaters (NYC)

  • Fungsi: Terumbu buatan sepanjang 4,5 km di pesisir Staten Island, meredam ombak, memperkuat ekosistem, dan menyediakan habitat baru.
  • Dampak: Mengurangi risiko banjir, meningkatkan keanekaragaman hayati, dan memperkuat ketahanan sosial.
  • Pembelajaran: Kolaborasi antara pemerintah, LSM, dan komunitas lokal menghasilkan solusi multifungsi dan berkelanjutan.

Opini & Kritik: Apa yang Bisa Dipelajari Kota Lain?

Nilai Tambah Penelitian

  • Kerangka kapasitas yang dikembangkan sangat aplikatif untuk kota-kota lain, terutama di Asia dan Amerika Latin yang menghadapi tantangan serupa.
  • Penekanan pada multi-aktor & multi-skala menjadi kunci keberhasilan inovasi tata kelola.
  • Studi kasus konkret memberi inspirasi nyata, bukan sekadar teori.

Kritik

  • Kurangnya data kuantitatif dampak jangka panjang dari inovasi yang diadopsi.
  • Tantangan mainstreaming: Banyak inovasi masih bersifat pilot project, belum menjadi kebijakan utama.
  • Konteks politik dan budaya lokal sangat memengaruhi keberhasilan, sehingga replikasi ke kota lain butuh adaptasi kontekstual.

Hubungan dengan Tren Global & Industri

  • Jaringan kota dunia seperti C40 dan 100 Resilient Cities mempercepat pertukaran pengetahuan dan replikasi inovasi.
  • Digitalisasi dan big data mulai diadopsi untuk pemantauan risiko dan perencanaan adaptasi.
  • Solusi berbasis alam (nature-based solutions) dan infrastruktur hijau menjadi tren utama dalam perencanaan kota tahan iklim.

Rekomendasi Praktis untuk Kota Menuju Transformasi Iklim

  1. Bangun kapasitas lintas sektor: Libatkan semua pemangku kepentingan sejak perencanaan hingga implementasi.
  2. Dorong eksperimen dan inovasi: Jadikan kota sebagai laboratorium hidup untuk solusi iklim.
  3. Integrasikan mitigasi dan adaptasi: Hindari pendekatan silo, cari sinergi antara pengurangan emisi dan adaptasi.
  4. Perkuat jejaring komunitas: Keterlibatan warga memperkuat legitimasi dan efektivitas kebijakan.
  5. Mainstreaming inovasi: Skala-up proyek pilot menjadi kebijakan arus utama melalui regulasi dan insentif.

Menuju Kota Tahan Iklim yang Inklusif dan Inovatif

Transformasi tata kelola iklim kota bukan sekadar soal teknologi atau kebijakan, tetapi tentang membangun kapasitas kolektif untuk berinovasi, berkolaborasi, dan beradaptasi secara berkelanjutan. Studi Rotterdam dan New York City menunjukkan bahwa perubahan nyata dimulai dari keberanian bereksperimen, keterbukaan pada kolaborasi lintas sektor, dan komitmen jangka panjang. Kota masa depan adalah kota yang mampu belajar, berinovasi, dan menempatkan warganya sebagai aktor utama perubahan.

Sumber Artikel

Hölscher, K. (2019). Transforming urban climate governance: Capacities for transformative climate governance. Doctoral thesis, Erasmus University Rotterdam.

Selengkapnya
Menguak Kunci Transformasi Tata Kelola Iklim Kota: Studi Kasus Rotterdam & New York dalam Membangun Kapasitas Perubahan

Perubahan Iklim

Transformasi Tata Kelola Kekeringan di Mediterania: Tantangan, Studi Kasus, dan Rekomendasi Menuju Ketahanan Iklim

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Kekeringan Tantangan Abadi di Mediterania

Kawasan Mediterania, yang mencakup Eropa Selatan, Afrika Utara, dan pesisir Timur Tengah, dikenal sebagai salah satu wilayah semi-kering paling rentan di dunia. Kekeringan di sini bukan sekadar fenomena cuaca, melainkan krisis multidimensi yang mengancam ketahanan pangan, ekonomi, dan stabilitas sosial. Dalam paper terbarunya, Martin-Candilejo dkk. (2024) membedah evolusi, capaian, dan kekurangan tata kelola kekeringan di Mediterania, sekaligus menawarkan kerangka baru berbasis pengelolaan sumber daya bersama dan manajemen risiko.

Gambaran Umum: Mengapa Kekeringan di Mediterania Begitu Kompleks?

Karakteristik Wilayah

  • Iklim: Musim panas sangat panas dan kering, musim dingin lembap dan sejuk, serta curah hujan yang tidak merata.
  • Topografi: Pegunungan, pantai terjal, stepa kering, lahan basah, dan pulau-pulau unik.
  • Jejak sejarah manusia: Pengelolaan air dan lahan telah membentuk lanskap selama ribuan tahun.

Definisi Kekeringan

Menurut World Meteorological Organization, kekeringan adalah “periode cuaca kering abnormal yang cukup lama sehingga menyebabkan ketidakseimbangan hidrologis serius.” Namun, definisi ini harus disesuaikan dengan kondisi lokal, baik dari sisi iklim maupun kebutuhan air masyarakat1.

Evolusi Kebijakan dan Praktik Pengelolaan Kekeringan

Dari Reaktif ke Proaktif

  • Pendekatan lama: Respon reaktif, fokus pada penanggulangan jangka pendek (misal, subsidi pertanian saat krisis).
  • Perkembangan baru: Munculnya kerangka kebijakan berbasis pencegahan, data, dan adaptasi, didorong oleh EU Water Framework Directive, observatorium kekeringan Eropa, dan inisiatif PBB.

Statistik Publikasi dan Kebijakan

  • Dalam 10 tahun terakhir, terdapat 56 publikasi ilmiah dan 28 dokumen kebijakan utama yang menganalisis kekeringan di Mediterania.
  • 30% publikasi membahas aspek teknis dan lingkungan, 27% soal manajemen risiko, dan 30% soal implementasi kebijakan.
  • Fokus utama: aspek teknis, indikator kekeringan, evaluasi ekonomi, serta studi kasus kebijakan di berbagai negara1.

Studi Kasus: Praktik dan Tantangan di Lapangan

Spanyol: Drought Management Plans (DMPs)

  • Spanyol menjadi pionir dengan DMPs yang mengintegrasikan indikator kekeringan, peringatan dini, dan pembatasan penggunaan air.
  • Dampak nyata: Pada 2017–2019, DMPs membantu menekan kerugian ekonomi akibat kekeringan hingga 20% dibanding periode sebelumnya.
  • Tantangan: Implementasi di tingkat lokal masih lambat, konflik antar pengguna air (pertanian vs. kota) sering terjadi1.

Italia dan Yunani: Ketergantungan pada Air Irigasi

  • Pertanian menyerap >60% konsumsi air di kedua negara.
  • Kekeringan 2018–2019: Produksi gandum turun 15%, kerugian ekonomi mencapai €1,2 miliar.
  • Respon: Pemerintah memberikan subsidi, namun solusi jangka panjang seperti efisiensi irigasi dan diversifikasi tanaman masih minim1.

Maroko dan Tunisia: Krisis Air dan Ketahanan Sosial

  • Wilayah pedesaan mengalami kekurangan air minum hingga 40% saat musim kering.
  • Konflik sosial meningkat, terutama di daerah yang mengandalkan sumur dangkal dan pertanian subsisten.
  • Upaya: Pemerintah memperkenalkan program edukasi dan konservasi air, namun adopsi teknologi masih rendah1.

Hambatan Menuju Pengelolaan Kekeringan Berkelanjutan

1. Hambatan Sosial

  • Aturan tidak mengikat: Banyak regulasi air bersifat lokal dan tidak dapat ditegakkan secara efektif.
  • Batas sistem sumber daya tidak jelas: Sulit menentukan siapa berhak menggunakan air, sehingga konflik sering terjadi.
  • Mekanisme resolusi konflik lemah: Akses ke platform penyelesaian sengketa masih terbatas dan mahal1.

2. Hambatan Individual

  • Kurangnya edukasi: Banyak individu tidak memahami nilai ekosistem air dan biaya penggunaan air saat kekeringan.
  • Insentif negatif: Subsidi atau tarif air yang murah justru mendorong konsumsi berlebih.
  • Kurangnya partisipasi: Individu jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan air1.

3. Hambatan Ekonomi

  • Biaya dan manfaat tidak seimbang: Investasi pengelolaan kekeringan sering dianggap mahal, padahal kerugian akibat kekeringan jauh lebih besar.
  • Penilaian ekonomi terbatas: Nilai air untuk ekosistem dan masyarakat sering diabaikan dalam perhitungan biaya-manfaat1.

4. Hambatan Teknologi

  • Data dan monitoring terbatas: Infrastruktur pemantauan air dan kekeringan masih kurang, data sering tidak terintegrasi antar negara dan lembaga.
  • Infrastruktur usang: Banyak jaringan irigasi dan penyimpanan air sudah tua dan tidak efisien1.

5. Hambatan Lingkungan

  • Perubahan iklim: Variabilitas curah hujan dan suhu ekstrem memperburuk kekeringan dan mempercepat degradasi ekosistem.
  • Degradasi lahan basah dan hutan: Mengurangi kapasitas alam menyimpan dan memurnikan air1.

Analisis Kritis: Kesenjangan dan Peluang

Kesenjangan Utama

  • Pendekatan masih reaktif: Mayoritas kebijakan masih fokus pada respons jangka pendek, bukan pencegahan dan adaptasi.
  • Kurangnya integrasi sosial: Sains sosial kurang dilibatkan dalam perencanaan, padahal konflik dan persepsi publik sangat menentukan efektivitas kebijakan.
  • Minim insentif sukarela: Kebijakan berbasis insentif dan partisipasi masyarakat masih langka, padahal terbukti efektif di beberapa studi1.

Peluang dan Rekomendasi

  • Pengelolaan berbasis sumber daya bersama: Terapkan prinsip Ostrom (pengelolaan komunal) untuk memperkuat kolaborasi dan tanggung jawab bersama.
  • Perencanaan adaptif: Drought management plan harus dinamis, mengakomodasi skenario perubahan iklim dan sosial, serta dapat dievaluasi dan diperbarui secara berkala.
  • Pembentukan Sekretariat Teknis Regional: Sebuah badan khusus untuk mengoordinasikan data, kebijakan, dan kolaborasi lintas negara di Mediterania1.

Studi Perbandingan dan Tren Global

Belajar dari Luar Mediterania

  • Australia: Sukses dengan pendekatan risk management berbasis data dan insentif ekonomi, namun tetap menghadapi tantangan adaptasi sosial.
  • Amerika Serikat: Drought plans di tingkat negara bagian menekankan perencanaan sebelum krisis, edukasi publik, dan integrasi sains sosial.
  • Eropa Utara: Negara seperti Swedia dan Denmark mengadopsi sistem monitoring real-time dan keterlibatan komunitas dalam pengelolaan air1.

Tren Industri dan Kebijakan

  • Digitalisasi dan big data: Pemanfaatan teknologi untuk prediksi kekeringan, monitoring penggunaan air, dan transparansi kebijakan.
  • Solusi berbasis alam (nature-based solutions): Restorasi lahan basah, reforestasi, dan konservasi DAS untuk meningkatkan ketahanan alami terhadap kekeringan.
  • Inovasi pembiayaan: Green bonds, pembayaran jasa lingkungan, dan skema asuransi pertanian berbasis risiko1.

Studi Kasus: Tensi Individu vs. Kolektif dalam Kekeringan

Ilustrasi Konflik

  • Petani di Spanyol: Saat kekeringan, petani cenderung meningkatkan irigasi untuk menyelamatkan panen, meski secara kolektif hal ini memperparah krisis air.
  • Solusi: Melibatkan asosiasi petani dalam perencanaan, memberikan insentif untuk efisiensi air, dan menerapkan sanksi progresif bagi pelanggar aturan1.

Peran Otoritas DAS

  • River Basin Authorities: Penting sebagai penengah antara kepentingan individu dan kolektif, namun perlu didukung data, kewenangan, dan partisipasi masyarakat1.

Menuju Masa Depan: Kerangka Pengelolaan Kekeringan Berkelanjutan

Empat Pilar Transformasi

  1. Pengukuran manfaat nyata: Kebijakan harus mampu menunjukkan manfaat konkret dari pengelolaan kekeringan, baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun lingkungan.
  2. Analisis risiko dan keuntungan: Setiap keputusan harus mempertimbangkan risiko dan potensi keuntungan jangka panjang, bukan hanya solusi instan.
  3. Inkorporasi skenario masa depan: Perencanaan harus adaptif, mengakomodasi perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan dinamika sosial.
  4. Kode etik regional dan Sekretariat Teknis: Diperlukan kode etik regional (soft law) dan lembaga khusus untuk koordinasi, pertukaran data, dan evaluasi kebijakan lintas negara1.

Kritik dan Opini

Kelebihan Paper

  • Analisis komprehensif: Menggabungkan data ilmiah, kebijakan, dan studi kasus nyata.
  • Pendekatan lintas disiplin: Memadukan sains alam, sosial, dan ekonomi.
  • Relevansi tinggi: Menjawab kebutuhan aktual kawasan Mediterania yang makin rentan terhadap perubahan iklim.

Kekurangan dan Tantangan

  • Implementasi di lapangan: Banyak rekomendasi masih bersifat konseptual, perlu roadmap teknis dan pendanaan jelas.
  • Politik dan birokrasi: Fragmentasi kebijakan dan kepentingan politik sering menghambat adopsi solusi inovatif.
  • Keterbatasan data: Masih banyak wilayah dengan data terbatas, sehingga monitoring dan evaluasi kebijakan tidak optimal.

Kesimpulan: Dari Krisis Menuju Ketahanan

Pengelolaan kekeringan di kawasan Mediterania telah berkembang, namun masih menghadapi tantangan besar di era perubahan iklim dan tekanan sosial-ekonomi. Paper ini menegaskan pentingnya transformasi dari pendekatan reaktif ke proaktif, penguatan kolaborasi lintas negara, serta integrasi sains sosial dan ekonomi dalam perencanaan. Dengan mengadopsi kerangka adaptif, insentif sukarela, dan koordinasi regional, Mediterania dapat membangun ketahanan air yang berkelanjutan dan inklusif.

Sumber Artikel

Martin-Candilejo, A.; Martin-Carrasco, F.J.; Iglesias, A.; Garrote, L. Heading into the Unknown? Exploring Sustainable Drought Management in the Mediterranean Region. Sustainability 2024, 16, 21. https://doi.org/10.3390/su16010021

Selengkapnya
Transformasi Tata Kelola Kekeringan di Mediterania: Tantangan, Studi Kasus, dan Rekomendasi Menuju Ketahanan Iklim
« First Previous page 4 of 5 Next Last »