Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 22 September 2025
Siang itu, matahari terik memanggang kota, dan saya setengah berlari mencari perlindungan di bawah bayang-bayang awan. Rasanya lega begitu kepala saya teduh oleh mendung – seakan awan di langit jadi payung raksasa yang melindungi dari sengatan panas. Kita semua tahu kan nikmatnya berteduh di bawah awan di hari yang gerah? Awan sering kita anggap pahlawan kecil: memantulkan sinar matahari, memberi jeda sejenak dari hawa panas yang melelahkan. Tapi, bagaimana kalau saya bilang ada kondisi di mana 'payung' alami ini malah berubah jadi 'selimut' yang mengurung panas?
Saat membaca sebuah penelitian terbaru di jurnal Nature Communications, saya terkesiap oleh temuan yang bertolak belakang dengan intuisi tadi. Ternyata, di area tropis, awan rendah – ya, tipe awan mendung yang biasanya bikin adem – bisa memperkuat pemanasan global jauh lebih besar dari dugaan sebelumnya. Angkanya tidak main-main: efek rumah kaca akibat perubahan awan ini berpotensi 71% lebih kuat dibanding prediksi model iklim lama. Tujuh puluh satu persen! Ibaratnya, kalau sebelumnya kita kira awan ini bisa sedikit "ngerem" pemanasan, penelitian ini bilang, "Eits, tunggu dulu, justru awan-awan ini bisa bikin panas Bumi bertambah." Artinya, planet kita bisa jadi lebih "sensitif" terhadap kenaikan gas rumah kaca (seperti CO₂) daripada yang kita sangka. Penemuan ini berhasil menjawab salah satu teka-teki besar dalam sains iklim: apakah awan akan membantu mendinginkan Bumi atau malah memperburuk pemanasan? Dari hasilnya, tampaknya skenario kedua yang terjadi.
Studi Ini Mengubah Cara Kita Melihat Awan dan Iklim
Kunci dari studi ini ada pada cara para peneliti mengolah data dan model iklim. Mereka tampaknya tidak puas dengan metode konvensional yang ada. Bayangkan begini: ketika banyak model iklim (mereka menggunakan 28 model iklim canggih) memberikan prediksi berbeda soal perilaku awan, biasanya ilmuwan mencoba mengambil rata-rata atau memilih satu skenario "terbaik". Ibarat kita punya 28 ramalan cuaca berbeda dan bingung mana yang benar, mungkin kita ambil jalan tengahnya saja. Nah, tim peneliti dari Hong Kong University of Science and Technology ini memilih langkah lebih cerdik. Mereka mengadakan semacam "audisi" untuk model-model iklim tersebut di dua panggung berbeda: Samudra Pasifik tropis dan Samudra Atlantik tropis.
Kenapa dua wilayah itu yang dijadikan fokus? Karena, ternyata, perilaku awan rendah di kedua kawasan ini berbeda karakter. Awan di atas Pasifik tropis dan awan di atas Atlantik tropis ibarat dua murid dengan kepribadian kontras: saat lautan menghangat, yang satu bereaksi dengan cara A, satunya dengan cara B. Sedikit konteks ilmiahnya begini: kalau laut tepat di bawah awan memanas, awan cenderung menipis (berkurang mendungnya, sehingga lebih banyak panas masuk). Sebaliknya, kalau yang memanas adalah lautan di tempat lain hingga atmosfer di atas awan ikut hangat, awan di wilayah itu justru bisa menebal (lebih mendung, jadi mendinginkan). Dua efek berlawanan ini bikin para ahli pusing selama bertahun-tahun! Satu model mungkin jago menangkap efek pertama, model lain hebat di efek kedua, tapi jarang yang bisa akurat di keduanya sekaligus.
Maka, tim ini membagi tugas: mereka melihat model mana yang paling jago memprediksi pola awan di Pasifik, dan model mana yang paling oke di Atlantik. Model-model yang gagal di kedua tempat langsung ditendang keluar dari panggung. Hanya yang performanya paling baik di tiap wilayah yang dipertahankan untuk langkah berikutnya.
Selanjutnya, mereka tidak asal menggabungkan semua model seperti pendekatan biasa. Para ilmuwan ini memakai hanya kombinasi model-model terbaik tadi – dalam istilah ilmiahnya, mereka menerapkan metode multi-objective Pareto optimization yang dipadukan dengan analisis Bayesian (semacam teknik statistik lanjutan). Singkatnya begini: mereka berusaha menggabungkan kekuatan tiap model unggulan tanpa membiarkan model yang buruk "merusak" hasil akhirnya. Jujur, waktu membaca bagian metodenya, saya sempat garuk-garuk kepala: istilah matematisnya lumayan bikin kening berkerut. Untungnya, analogi audisi tadi membantu saya paham intinya: pilih yang terbaik, singkirkan yang buruk.
Bayangkan, tim ini menjajal hampir 200 ribu kombinasi model (iya, sebanyak itu!) untuk menemukan konfigurasi paling optimal yang sesuai kriteria mereka. Kerja keras banget, kan? Tapi berkat upaya teliti tersebut, mereka berhasil memperkecil ketidakpastian prediksi awan secara signifikan. Pendekatan inovatif ini benar-benar mengubah cara kita membaca data iklim: tidak lagi hanya bersandar pada satu model atau rata-rata sederhana, melainkan memadukan banyak model dengan cerdas untuk mendapat gambaran yang lebih akurat.
Apa yang Bikin Saya Terkejut
Jadi, apa yang paling bikin saya melongo dari studi ini? Tentu saja temuan utamanya: awan rendah di daerah tropis ternyata memberikan efek umpan balik (feedback) positif yang jauh lebih besar daripada ekspektasi sebelumnya. Disebut "positif" bukan berarti dampaknya baik, ya – maksudnya di sini awan memperkuat pemanasan yang terjadi. Dalam laporan penelitiannya, dijelaskan bahwa kontribusi awan ini terhadap pemanasan (karena semakin sedikit sinar Matahari yang dipantulkan balik oleh awan) meningkat hingga 71% dibanding prediksi model-model iklim standar. Tujuh puluh satu persen lebih kuat! Angka ini membuat saya sampai harus reread paragraf aslinya untuk memastikan mata saya nggak salah tangkap.
Begini konsekuensinya: Kalau sebelumnya beberapa ilmuwan (dan publik) berharap awan rendah bisa jadi semacam rem alami yang menahan laju pemanasan global – karena logikanya, lebih banyak awan harusnya lebih sejuk – studi ini justru menegaskan hal sebaliknya. Kemungkinan awan-awan ini akan meningkatkan efek sejuknya seiring pemanasan hampir bisa dipastikan nihil. Alih-alih mendinginkan, mereka cenderung memperparah efek rumah kaca seiring suhu permukaan laut naik. Dengan kata lain, kecil sekali peluang bahwa awan akan menjadi penyelamat yang menyejukkan bumi dalam skenario pemanasan tinggi.
Bagi saya yang bukan klimatolog, bagian "awan nggak akan makin mendinginkan meski Bumi makin panas" ini lumayan menohok. Saya sendiri pernah berpikir optimis, “Ah, kalau Bumi kepanasan, nanti kan alam punya cara sendiri untuk menyeimbangkan, misalnya dengan awan yang lebih banyak.” Ternyata, berdasarkan studi ini, harapan itu mungkin ilusi belaka. Agak ngeri membayangkannya, tapi lebih baik kita tahu realitanya daripada terlena dalam harapan palsu, kan?
Sebagai rangkuman, berikut beberapa poin penting dari studi ini yang patut digarisbawahi:
Dampak Nyata yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini
Sebagai pembaca sekaligus warga Bumi, apa makna temuan ini bagi saya pribadi (dan mungkin bagi kita semua)?
Pertama, studi ini menyulut kesadaran bahwa perubahan iklim bisa berlangsung lebih cepat atau lebih parah dari dugaan jika faktor-faktor tersembunyi seperti awan ternyata tidak memihak kita. Ini memberi saya sense of urgency yang nyata. Misalnya, saya makin terdorong mendukung energi terbarukan, penghematan energi, dan kebijakan pengurangan emisi karbon yang ambisius. Skenario "tenang saja, alam nanti akan menolong" jelas tidak bisa diandalkan. Justru, setelah tahu awan tropis tidak memberi "bonus" perlindungan, kita harus lebih sigap mengerem laju pemanasan dengan tindakan nyata di berbagai level.
Kedua, saya mendapatkan pengingat tentang rendah hati terhadap data dan sains. Awalnya saya pikir topik awan ini sederhana – toh kita sehari-hari melihat awan, rasanya familiar. Tapi nyatanya, ada dinamika rumit yang tidak terlihat mata telanjang. Pendekatan ilmuwan dalam studi ini menginspirasi saya untuk selalu mempertimbangkan berbagai sudut pandang sebelum menyimpulkan sesuatu, baik dalam memahami iklim maupun dalam problem lain. Mereka menunjukkan bahwa dengan metode yang tepat, hal-hal yang tadinya tersembunyi di balik kerumitan data bisa terungkap jelas. Ini pelajaran berharga agar kita tidak terjebak pada pandangan sederhana untuk masalah yang kompleks.
Terakhir, terus terang, membaca studi ini malah bikin saya semakin penasaran untuk belajar. Iya, bagian teknisnya rumit dan sempat bikin pening. Tapi bukankah justru di situ letak asyiknya sains – selalu ada hal baru untuk dipelajari? Saya jadi terpikir untuk menggali lebih dalam soal sains iklim atau data analitik, mungkin dengan ikut kursus online singkat biar lebih paham konsep dasarnya. Enaknya sekarang, banyak platform belajar yang bisa diakses dari rumah. Salah satunya, Diklatkerja, menyediakan beragam kursus online terkait lingkungan, teknologi, dan sains data yang relevan. Siapa tahu, kalau saya ikut kelas semacam itu, istilah-istilah seperti "shortwave cloud feedback" atau teknik statistik tadi nggak akan lagi terdengar se-asing sekarang. Ilmu baru selalu bisa dipelajari, dan nggak pernah ada ruginya menambah wawasan, bukan?
Penelitian tentang awan tropis ini benar-benar membuka mata saya bahwa masih banyak aspek iklim Bumi yang belum kita pahami sepenuhnya. Setiap temuan baru ibarat potongan puzzle yang membuat gambaran besar kondisi planet kita semakin jelas – meski kadang gambaran itu mengkhawatirkan. Meski temuannya hebat, saya akui metode analisanya cukup rumit; bagian statistiknya bisa terasa abstrak bagi pemula. Namun, di balik kerumitan itulah, kemajuan ilmu pengetahuan tercipta dan keputusan terbaik bisa diambil.
Setidaknya, lain kali menatap gumpalan awan mendung di langit siang, saya akan ingat: di balik teduhnya yang menyejukkan, ternyata mereka menyimpan petunjuk penting tentang ke mana arah perubahan iklim kita.
Kalau kamu tertarik dengan ini, Baca paper aslinya di sini. Siapa tahu, kamu akan menemukan detail-detail menarik lainnya yang tak kalah mengagetkan.
Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 15 Juli 2025
Menyikapi Dimensi Baru Risiko Bencana di Era Perubahan Iklim
Perubahan iklim global telah membawa tantangan baru dalam pengelolaan risiko bencana, khususnya pada tingkat lokal. Fenomena cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi, seperti banjir dan kekeringan, menuntut pendekatan manajemen risiko yang tidak hanya mengandalkan data historis, tetapi juga mampu mengantisipasi ketidakpastian masa depan. Paper berjudul Climate change and local level disaster risk reduction planning: Need, opportunities and challenges oleh Prabhakar, Srinivasan, dan Shaw (2009) mengulas kebutuhan mendesak untuk mengintegrasikan perubahan iklim ke dalam perencanaan pengurangan risiko bencana di tingkat lokal, sekaligus mengidentifikasi peluang dan hambatan yang dihadapi.
Artikel ini akan menguraikan inti dari paper tersebut, menyajikan studi kasus dan data penting, serta memberikan analisis kritis dan relevansi bagi pengembangan kebijakan dan praktik mitigasi bencana di Indonesia dan negara berkembang lainnya.
Mengapa Perubahan Iklim Mengubah Paradigma Pengelolaan Risiko Bencana?
Kerangka Pengelolaan Risiko Bencana dalam Konteks Perubahan Iklim
Paper ini menekankan pentingnya integrasi antara komunitas pengelola bencana, ilmuwan iklim, dan pembuat kebijakan dalam sebuah kerangka kerja yang adaptif dan partisipatif. Beberapa poin kunci meliputi:
Studi Kasus dan Fakta Penting
Tren Peningkatan Bencana Hidrometeorologi
Dampak Perubahan Iklim di Beberapa Negara
Keterbatasan Perencanaan Risiko Saat Ini
Tantangan Utama dalam Integrasi Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana
Ketidakpastian Proyeksi Iklim
Kapasitas dan Kesadaran Lokal
Keterbatasan Ekonomi dan Sumber Daya
Peluang dan Rekomendasi Strategis
Analisis Kritis dan Perbandingan dengan Literatur Lain
Paper ini menegaskan bahwa pengelolaan risiko bencana harus bertransformasi dari pendekatan reaktif ke proaktif dan adaptif, sejalan dengan literatur internasional yang menyoroti pentingnya integrasi perubahan iklim dalam perencanaan bencana. Studi lain juga menekankan perlunya kolaborasi lintas sektor dan peningkatan kapasitas lokal sebagai kunci keberhasilan.
Namun, tantangan terbesar tetap pada implementasi di lapangan, terutama di negara berkembang yang menghadapi keterbatasan sumber daya dan data. Oleh karena itu, inovasi dalam metode, peningkatan kesadaran, dan dukungan kebijakan sangat diperlukan agar integrasi ini dapat berjalan efektif.
Kesimpulan: Membangun Ketangguhan Lokal Melalui Integrasi Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana
Perubahan iklim membawa dimensi baru yang kompleks dalam pengelolaan risiko bencana, khususnya pada tingkat lokal. Paper ini mengajak kita untuk mengadopsi pendekatan yang lebih holistik, adaptif, dan partisipatif dengan membentuk kelompok kerja lintas disiplin, memperkuat kapasitas lokal, dan mengembangkan alat bantu yang sesuai konteks.
Strategi no-regret dan win-win menjadi landasan penting untuk memastikan bahwa tindakan mitigasi dan adaptasi tidak hanya efektif menghadapi ketidakpastian iklim, tetapi juga memberikan manfaat langsung bagi masyarakat saat ini. Dengan demikian, pengurangan risiko bencana tidak hanya menjadi respons terhadap ancaman, tetapi juga sebagai bagian integral dari pembangunan berkelanjutan yang tangguh menghadapi masa depan.
Sumber
S.V.R.K. Prabhakar, Ancha Srinivasan, and Rajib Shaw. (2009). Climate change and local level disaster risk reduction planning: Need, opportunities and challenges. Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change, 14:7-33.
Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 08 Juli 2025
Ancaman Nyata Bencana Hidrometeorologi di Era Perubahan Iklim
Indonesia, negeri kepulauan dengan kekayaan alam melimpah, kini menghadapi tantangan besar: lonjakan bencana hidrometeorologi akibat perubahan iklim global. Banjir, tanah longsor, angin puting beliung, hingga kekeringan semakin sering terjadi, menimbulkan kerugian besar baik secara ekonomi maupun sosial. Artikel ini membedah secara kritis literatur “Hydrometeorological Disasters and Climate Change Adaptation Efforts” karya Aprizon Putra dkk., dengan menyoroti data, studi kasus, serta relevansi dan solusi adaptasi yang dapat diterapkan di Indonesia.
Tren Bencana Hidrometeorologi: Fakta dan Angka yang Mengkhawatirkan
Lonjakan Frekuensi dan Dampak Bencana
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dalam kurun waktu 2019–2020, frekuensi bencana hidrometeorologi di Indonesia meningkat drastis. Meski sempat terjadi penurunan jumlah kejadian sebesar 29,6% pada awal Januari 2020 dibandingkan tahun sebelumnya (290 kejadian di 2019 menjadi 207 di 2020), dampak yang ditimbulkan justru melonjak tajam:
Fakta lain yang mengkhawatirkan, sekitar 92,1% bencana di Indonesia disebabkan oleh faktor hidrometeorologi. Angka ini bahkan sempat naik hingga 97% pada tahun 2013. Artinya, hampir seluruh bencana yang terjadi di tanah air berkaitan erat dengan perubahan iklim dan kerusakan lingkungan.
Studi Kasus: Banjir dan Longsor di Awal 2020
Awal tahun 2020 menjadi bukti nyata betapa rentannya Indonesia terhadap bencana hidrometeorologi. BMKG memprediksi ancaman bencana akan terus berlangsung hingga pertengahan Mei 2020, akibat anomali suhu permukaan laut yang memicu curah hujan ekstrem di berbagai wilayah. Hasilnya, banjir dan longsor melanda sejumlah daerah, memaksa ratusan ribu warga mengungsi dan menimbulkan kerugian infrastruktur yang masif.
Penyebab Utama: Perubahan Iklim dan Kerusakan Lingkungan
Faktor Antropogenik dan Global
Peningkatan bencana hidrometeorologi tidak semata-mata akibat perubahan iklim global, namun juga didorong oleh kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 2000 dan 2007 menegaskan bahwa:
Kerusakan lingkungan, seperti deforestasi masif, memperparah situasi. Data menunjukkan, antara 2003–2006, laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1,17 juta hektare per tahun, jauh melebihi kemampuan rehabilitasi pemerintah yang hanya sekitar 450.000 hektare per tahun.
Studi Kasus: Deforestasi dan Banjir Bandang
Salah satu contoh nyata adalah banjir bandang yang kerap terjadi di Sumatera dan Kalimantan. Deforestasi besar-besaran untuk pembukaan lahan perkebunan sawit dan tambang menyebabkan hilangnya daerah resapan air, sehingga hujan deras langsung berubah menjadi banjir dan longsor. Upaya moratorium izin pembukaan hutan primer dan lahan gambut (Instruksi Presiden No. 6/2013) belum efektif menahan laju kerusakan.
Kerentanan Sosial: Siapa yang Paling Terancam?
Data Kerentanan Wilayah
Menurut studi BNPB, sekitar 124 juta penduduk Indonesia tinggal di kawasan rawan longsor (kategori sedang hingga tinggi), dan 61 juta orang berada di wilayah rawan banjir. Ini berarti lebih dari separuh populasi Indonesia hidup dalam ancaman bencana hidrometeorologi setiap saat.
Studi Kasus: Komunitas Rentan di Daerah Aliran Sungai
Masyarakat di bantaran sungai besar seperti Ciliwung, Bengawan Solo, dan Musi menjadi kelompok paling rentan. Setiap musim hujan tiba, mereka harus bersiap menghadapi potensi banjir dan kehilangan tempat tinggal. Upaya relokasi kerap terkendala aspek sosial-ekonomi dan keterbatasan lahan pengganti.
Adaptasi Iklim: Strategi dan Implementasi di Indonesia
Kerangka Adaptasi: Dari Global ke Lokal
Adaptasi terhadap perubahan iklim menjadi kunci untuk mengurangi risiko bencana. IPCC dan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) menekankan pentingnya strategi adaptasi selain mitigasi. Adaptasi diartikan sebagai proses dinamis untuk menyesuaikan diri dengan dampak perubahan iklim, baik secara individu, komunitas, maupun institusi.
RAN-API: Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim
Pemerintah Indonesia telah menyusun Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) yang memprioritaskan empat sektor utama:
RAN-API menjadi payung kebijakan untuk mengintegrasikan adaptasi iklim ke dalam perencanaan pembangunan nasional dan daerah.
Ragam Upaya Adaptasi: Dari Responsif ke Proaktif
Adaptasi di Sektor Air
Adaptasi di Sektor Pertanian
Adaptasi di Sektor Kehutanan
Adaptasi di Sektor Pesisir dan Kelautan
Adaptasi di Sektor Kesehatan
Studi Kasus: Implementasi Adaptasi di Sumatera Barat
Di Sumatera Barat, adaptasi dilakukan melalui pembangunan waduk dan sistem irigasi untuk mengantisipasi kekeringan, serta program reboisasi di daerah hulu sungai untuk menekan risiko banjir. Namun, tantangan tetap besar, mulai dari keterbatasan dana, koordinasi lintas sektor, hingga resistensi masyarakat terhadap perubahan kebiasaan.
Tantangan Implementasi Adaptasi: Hambatan dan Solusi
Kurangnya Integrasi Kebijakan
Masih banyak program adaptasi yang berjalan parsial dan belum terintegrasi dalam perencanaan pembangunan daerah. Koordinasi antar instansi kerap tumpang tindih, sehingga efektivitas adaptasi menurun.
Keterbatasan Data dan Teknologi
Minimnya data iklim berkualitas serta keterbatasan teknologi pemantauan dan peringatan dini menjadi hambatan utama. Banyak daerah belum memiliki sistem pemantauan cuaca dan bencana yang memadai.
Keterlibatan Masyarakat
Partisipasi masyarakat masih rendah akibat minimnya edukasi dan sosialisasi. Padahal, adaptasi iklim harus berbasis komunitas agar solusi yang diambil benar-benar sesuai kebutuhan lokal.
Studi Perbandingan: Adaptasi di Negara Lain
Negara-negara seperti Jepang dan Belanda telah berhasil mengintegrasikan adaptasi iklim ke dalam tata ruang dan infrastruktur. Sistem peringatan dini bencana yang canggih dan edukasi publik yang masif menjadi kunci keberhasilan mereka. Indonesia dapat belajar dari model ini, terutama dalam pengembangan teknologi dan pelibatan masyarakat.
Opini dan Rekomendasi: Menuju Adaptasi Iklim yang Efektif dan Berkelanjutan
Pentingnya Kolaborasi Multi-Pihak
Adaptasi iklim tidak bisa berjalan sendiri. Pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat harus berkolaborasi dalam:
Inovasi dan Pendanaan
Monitoring dan Evaluasi Berkelanjutan
Setiap program adaptasi harus dievaluasi secara berkala untuk memastikan efektivitas dan relevansinya dengan perubahan iklim yang dinamis. Pemerintah perlu membangun sistem monitoring yang transparan dan berbasis data.
Internal Linking dan Relevansi Industri
Artikel ini sangat relevan untuk dihubungkan dengan topik lain seperti strategi mitigasi perubahan iklim, pengelolaan risiko bencana, dan pembangunan berkelanjutan. Pembaca dapat memperdalam pemahaman dengan membaca artikel terkait tentang mitigasi bencana, peran teknologi dalam adaptasi iklim, dan studi kasus adaptasi di negara lain.
Kesimpulan: Adaptasi Iklim, Pilar Ketahanan Masa Depan Indonesia
Bencana hidrometeorologi yang kian meningkat menuntut Indonesia untuk bergerak cepat dalam memperkuat adaptasi iklim. Data dan studi kasus menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi sangat kompleks, mulai dari perubahan iklim global, kerusakan lingkungan, hingga kerentanan sosial. Namun, dengan strategi adaptasi yang terintegrasi, kolaborasi multi-pihak, dan inovasi berkelanjutan, Indonesia dapat memperkuat ketahanan menghadapi ancaman bencana di masa depan.
Adaptasi bukan hanya pilihan, melainkan kebutuhan mendesak untuk melindungi kehidupan, ekonomi, dan masa depan bangsa. Sudah saatnya adaptasi iklim menjadi arus utama dalam setiap kebijakan pembangunan nasional dan daerah.
Sumber asli:
Aprizon Putra, Indang Dewata, Mulya Gusman. “Literature Reviews: Hydrometeorological Disasters and Climate Change Adaptation Efforts.” Sumatra Journal of Disaster, Geography and Geography Education, Vol. 5, No. 1, pp. 7–12.
Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juli 2025
Mengapa Monitoring Dampak Kekeringan Penting untuk Masa Depan?
Kekeringan seringkali dipersepsikan sebagai bencana yang hanya berdampak saat curah hujan sangat rendah. Namun, studi terbaru oleh David W. Walker dkk. (2024) membongkar paradigma ini dengan menyoroti pentingnya monitoring dampak kekeringan secara langsung di lapangan. Artikel ini tidak hanya membahas kekeringan sebagai fenomena iklim, tetapi juga menyoroti peran faktor sosial, teknis, dan kebijakan dalam membentuk kerentanan masyarakat. Dengan pendekatan yang inovatif dan relevan dengan tren global, resensi ini mengulas temuan utama, studi kasus, serta memberikan opini kritis dan perbandingan dengan praktik di negara lain.
Apa Itu Monitoring Dampak Kekeringan?
Monitoring dampak kekeringan adalah proses pengumpulan data secara rutin tentang efek kekeringan terhadap masyarakat, ekonomi, dan lingkungan. Berbeda dengan pemantauan kekeringan konvensional yang mengandalkan indeks hidrometeorologi seperti SPI (Standardized Precipitation Index), monitoring dampak menempatkan pengalaman nyata masyarakat sebagai sumber utama informasi. Pendekatan ini memungkinkan identifikasi kerentanan dan respons yang lebih tepat sasaran, serta membuka peluang mitigasi proaktif sebelum bencana membesar.
Studi Kasus: Sertão, Brasil Timur Laut
Gambaran Wilayah
Sertão di Brasil Timur Laut adalah kawasan semi-arid seluas 1,1 juta km², dihuni sekitar 27 juta jiwa. Wilayah ini dikenal sebagai salah satu daerah paling rawan kekeringan di dunia, dengan curah hujan tahunan rata-rata 750 mm namun evapotranspirasi melebihi 2000 mm. Sebagian besar penduduknya adalah petani kecil yang sangat bergantung pada pertanian tadah hujan dan infrastruktur air yang terbatas.
Sistem Monitoring di Ceará
Sejak 2014, Brasil mengembangkan Brazilian Drought Monitor, sebuah sistem pemetaan kekeringan bulanan berbasis data meteorologi, penginderaan jauh, dan validasi lapangan. Di negara bagian Ceará, monitoring dampak dilakukan oleh lebih dari 3600 laporan lapangan yang dikumpulkan oleh petugas penyuluh pertanian antara 2019–2022. Setiap bulan, rata-rata 80 dari 182 kota di Ceará mengirimkan laporan, dengan cakupan wilayah yang merata di seluruh zona iklim dan tutupan lahan.
Metodologi Unik
Temuan Utama: Dampak, Penyebab, dan Normalisasi Kekeringan
Dampak Kekeringan yang Terjadi
Penyebab Dampak: Bukan Hanya Kekeringan
Data dan Angka Kunci
Hubungan dengan Indeks Kekeringan Konvensional
Analisis matriks konfusi antara laporan dampak dan kategori kekeringan dari Drought Monitor menunjukkan:
Hal ini menegaskan bahwa indeks konvensional sering gagal menangkap realitas di lapangan, terutama untuk dampak yang dipicu oleh faktor non-klimatik atau peristiwa hidroklim kecil.
Analisis Kritis: Apa yang Bisa Dipelajari?
Kekuatan Studi
Keterbatasan
Perbandingan dengan Praktik Global
Impl
kasi untuk Kebijakan dan Industri
Rekomendasi Praktis
Peluang Inovasi
Studi Kasus Inspiratif: Adaptasi di Tengah Keterbatasan
Salah satu temuan menarik adalah bagaimana masyarakat Sertão beradaptasi dengan kondisi “normal baru” pasca-kekeringan panjang 2012–2018. Misalnya, penggunaan truk air yang dulunya dianggap darurat kini menjadi bagian dari sistem suplai rutin. Petani juga mulai menyesuaikan waktu tanam dan memilih varietas tanaman yang lebih tahan terhadap variabilitas iklim. Namun, adaptasi ini juga membawa risiko baru, seperti kerentanan terhadap hujan intensitas tinggi yang merusak panen di dataran rendah.
Opini dan Kritik: Menuju Monitoring Dampak yang Lebih Efektif
Studi ini membuktikan bahwa monitoring dampak kekeringan berbasis pengalaman masyarakat jauh lebih kaya informasi dibandingkan sekadar mengandalkan data iklim. Namun, tantangan utama adalah bagaimana mengharmonisasikan data subjektif dengan kebutuhan analisis kebijakan yang objektif. Diperlukan pelatihan, standarisasi pelaporan, dan integrasi teknologi untuk meningkatkan akurasi dan relevansi data.
Dari sisi kebijakan, pemerintah perlu lebih proaktif dalam mengidentifikasi dan mengatasi kerentanan sosial-teknis sebelum bencana membesar. Investasi pada infrastruktur, edukasi, dan inovasi teknologi harus menjadi prioritas, terutama di wilayah rawan seperti Sertão.
Kesimpulan: Monitoring Dampak, Kunci Ketahanan Masa Depan
Monitoring dampak kekeringan bukan sekadar pelengkap, melainkan fondasi utama dalam membangun ketahanan masyarakat terhadap bencana iklim. Studi di Brasil Timur Laut membuktikan bahwa banyak dampak terjadi di luar radar indeks konvensional, dan seringkali sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Dengan mengintegrasikan data lapangan, inovasi teknologi, dan kebijakan proaktif, kita dapat membangun sistem peringatan dini dan mitigasi yang lebih efektif, relevan, dan berkeadilan.
Sumber Artikel:
Walker, D. W., Oliveira, J. L., Cavalcante, L., Kchouk, S., Ribeiro Neto, G., Melsen, L. A., Fernandes, F. B. P., Mitroi, V., Gondim, R. S., Martins, E. S. P. R., & van Oel, P. R. (2024). It's not all about drought: What <drought impacts= monitoring can reveal. International Journal of Disaster Risk Reduction, 103, 104338.
Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juli 2025
Mengapa Ketangguhan Bencana Jadi Kunci Masa Depan Kota?
Perubahan iklim, urbanisasi pesat, dan ketimpangan sosial telah memperbesar risiko bencana alam di seluruh dunia. Kota-kota dan permukiman manusia kini menghadapi tantangan besar: bagaimana tetap tumbuh dan sejahtera di tengah ancaman banjir, gempa, kekeringan, hingga badai? Artikel ini mengulas secara kritis dan praktis hasil riset Muhammad Tariq Iqbal Khan dkk. (2023) yang membedah hubungan antara risiko bencana, ketangguhan (resilience), dan kerugian manusia di 90 negara selama 25 tahun. Dengan gaya bahasa yang mudah dipahami, artikel ini juga mengaitkan temuan riset dengan tren global, studi kasus nyata, serta memberikan opini dan rekomendasi untuk masa depan kota berkelanjutan.
Apa yang Dimaksud dengan Ketangguhan Bencana?
Ketangguhan bencana adalah kemampuan suatu komunitas atau negara untuk menyerap, merespons, dan pulih dari bencana dengan kerugian seminimal mungkin. Konsep ini tidak hanya soal infrastruktur fisik, tapi juga mencakup kualitas institusi, literasi masyarakat, teknologi, ekonomi, hingga peran perempuan dan modal sosial. Ketangguhan menjadi fondasi utama dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 11 tentang kota dan permukiman yang inklusif, aman, dan berkelanjutan.
Studi Kasus Global: 90 Negara, 25 Tahun, dan Ribuan Bencana
Metodologi Unik: Indeks Risiko dan Ketangguhan
Penelitian ini menggunakan data dari 90 negara (1995–2019) yang dibagi dalam empat kelompok pendapatan: negara berpenghasilan tinggi (HICs), menengah atas (UMICs), menengah bawah (LMICs), dan rendah (LICs). Dua indeks utama dikembangkan:
Analisis dilakukan menggunakan regresi binomial negatif, metode statistik yang cocok untuk data jumlah korban bencana yang cenderung “loncat-loncat” (overdispersed).
Temuan Angka Kunci
Studi Kasus: Kontras Negara Maju dan Berkembang
Negara Maju (HICs): Ketangguhan Efektif, Kerugian Minim
Negara-negara seperti Swiss, Jerman, dan Belanda memiliki skor ketangguhan di atas 70 (dari 100). Mereka mampu menekan korban bencana secara signifikan. Setiap kenaikan satu poin indeks ketangguhan, jumlah korban bencana turun drastis. Investasi pada infrastruktur, sistem peringatan dini, literasi masyarakat, dan tata kelola yang baik menjadi kunci.
Contoh nyata:
Belanda, meski sebagian besar wilayahnya di bawah permukaan laut, mampu meminimalkan korban banjir berkat sistem tanggul, kanal, dan manajemen air yang canggih. Selain itu, edukasi masyarakat dan kesiapsiagaan menjadi budaya sehari-hari.
Negara Berkembang (LICs & LMICs): Risiko Tinggi, Ketangguhan Lemah
Negara-negara seperti Angola, Bangladesh, dan Myanmar memiliki skor ketangguhan di bawah 30. Di sini, setiap kenaikan risiko bencana langsung berbanding lurus dengan lonjakan korban jiwa dan kerugian ekonomi. Ketangguhan yang rendah disebabkan oleh lemahnya infrastruktur, kurangnya akses teknologi, institusi yang belum efektif, dan rendahnya literasi bencana.
Contoh nyata:
Bangladesh kerap dilanda banjir dan siklon. Meski upaya mitigasi sudah dilakukan, keterbatasan sumber daya dan infrastruktur membuat korban tetap tinggi. Namun, program shelter komunitas dan pelatihan evakuasi mulai menunjukkan hasil positif dalam beberapa tahun terakhir.
Analisis Kritis: Apa yang Membuat Ketangguhan Efektif?
Faktor Penentu Ketangguhan
Tantangan di Negara Berkembang
Perbandingan dengan Studi Lain & Tren Global
Sendai Framework dan SDGs
Penelitian ini sejalan dengan kerangka Sendai Framework 2015–2030 yang menekankan empat prioritas: pemahaman risiko, penguatan tata kelola, investasi pada pengurangan risiko, dan kesiapsiagaan. Studi ini juga menegaskan pentingnya integrasi kebijakan DRR (Disaster Risk Reduction) dengan SDGs, terutama dalam konteks pengentasan kemiskinan, kesehatan, pendidikan, dan ketahanan pangan.
Studi Lain: Konsistensi dan Perbedaan
Namun, studi Khan dkk. lebih komprehensif karena mengembangkan indeks risiko dan ketangguhan yang multidimensi, serta membedakan dampak berdasarkan kelompok pendapatan negara.
Opini & Rekomendasi: Jalan Menuju Kota Tangguh dan Berkelanjutan
Peluang
Tantangan
Rekomendasi Praktis
Studi Kasus Inspiratif: Indonesia dan Ketangguhan Komunitas
Sebagai negara rawan bencana, Indonesia telah mengembangkan berbagai inisiatif ketangguhan berbasis komunitas. Program Desa Tangguh Bencana (Destana) misalnya, melibatkan masyarakat dalam pemetaan risiko, pelatihan evakuasi, dan simulasi bencana. Hasilnya, respons masyarakat terhadap gempa dan tsunami di beberapa wilayah menjadi lebih cepat dan terkoordinasi. Namun, tantangan masih besar, terutama dalam hal pendanaan, infrastruktur, dan literasi bencana di daerah terpencil.
Kesimpulan: Ketangguhan adalah Investasi Masa Depan
Penelitian Khan dkk. menegaskan bahwa membangun kota dan permukiman yang tangguh bencana bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan mendesak di era perubahan iklim dan urbanisasi. Ketangguhan terbukti menurunkan korban jiwa dan kerugian ekonomi, terutama di negara-negara maju. Namun, negara berkembang masih menghadapi tantangan besar dalam membangun ketangguhan yang efektif. Investasi pada infrastruktur, teknologi, institusi, dan pemberdayaan masyarakat harus menjadi prioritas utama. Kolaborasi lintas sektor dan negara, inovasi pembiayaan, serta edukasi berkelanjutan akan menjadi kunci menuju masa depan kota yang aman, inklusif, dan berkelanjutan.
Sumber Artikel:
Khan, M. T. I., Anwar, S., Sarkodie, S. A., Yaseen, M. R., Nadeem, A. M., & Ali, Q. (2023). Natural disasters, resilience-building, and risk: achieving sustainable cities and human settlements. Natural Hazards, 10.1007/s11069-023-06021-x.
Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juli 2025
Mengapa Nature-Based Solutions (NBS) Semakin Penting?
Perubahan iklim membawa tantangan besar, terutama di wilayah pegunungan yang rentan terhadap bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, dan erosi. Dalam beberapa tahun terakhir, pendekatan Nature-Based Solutions (NBS) menjadi sorotan sebagai alternatif inovatif untuk mengatasi risiko tersebut. NBS tidak hanya menawarkan perlindungan lingkungan, tetapi juga memberikan manfaat sosial dan ekonomi yang luas. Namun, bagaimana persepsi para pemangku kepentingan di daerah pegunungan terhadap NBS? Apakah mereka siap berkolaborasi dalam merancang dan mengimplementasikan solusi ini?
Artikel ini mengulas secara mendalam hasil penelitian Lupp et al. (2021) yang mengeksplorasi persepsi stakeholder terhadap NBS di kawasan pegunungan Eropa melalui studi kasus PHUSICOS. Dengan gaya bahasa yang mudah dipahami dan relevan dengan tren global, resensi ini juga membandingkan temuan PHUSICOS dengan literatur lain serta memberikan opini kritis terkait peluang dan tantangan implementasi NBS di masa depan.
Apa Itu Nature-Based Solutions (NBS)?
NBS adalah solusi yang terinspirasi dan didukung oleh alam untuk mengatasi tantangan lingkungan, sosial, dan ekonomi secara bersamaan. Contohnya meliputi restorasi sungai, reforestasi, pengelolaan lahan pertanian berkelanjutan, hingga pembangunan infrastruktur hijau. Menurut definisi Uni Eropa, NBS harus memberikan manfaat bagi keanekaragaman hayati dan mendukung berbagai layanan ekosistem.
Studi Kasus PHUSICOS: Kolaborasi di Tiga Wilayah Pegunungan Eropa
Lokasi Studi
PHUSICOS (EU H2020) memilih tiga lokasi utama sebagai demonstrator NBS di kawasan pegunungan:
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan utama:
Temuan Utama: Persepsi, Tantangan, dan Harapan Stakeholder
Tingkat Pengetahuan dan Kesadaran
Sekitar sepertiga responden baru mengenal konsep NBS melalui proyek PHUSICOS. Sebagian besar lainnya memperoleh pengetahuan dari universitas, pelatihan institusi, dan pengalaman proyek sebelumnya. Menariknya, banyak petani dan pelaku usaha yang menganggap diri mereka sudah ahli di bidangnya, tetapi belum tentu memahami risiko bencana atau solusi NBS secara menyeluruh.
Manfaat NBS Menurut Stakeholder
Di daerah pegunungan, manfaat yang paling ditekankan oleh stakeholder adalah aspek ekonomi dan perlindungan alam. Berbeda dengan kawasan perkotaan yang sering menyoroti manfaat sosial seperti rekreasi dan kesehatan, di pegunungan fokusnya adalah pada keberlanjutan ekonomi lokal dan pengurangan risiko bencana.
Seorang perwakilan administrasi kehutanan menyatakan, “Solusi ini terbarukan, jejak karbonnya kecil, dan lebih baik untuk ekonomi lokal.” Hal ini menunjukkan bahwa NBS dipandang sebagai solusi yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat setempat.
Stakeholder juga melihat potensi untuk mengembangkan dan mereplikasi solusi yang berhasil di satu wilayah ke wilayah lain, membuka peluang untuk skala yang lebih besar.
Kekhawatiran dan Hambatan
Meskipun banyak yang optimis, terdapat beberapa kekhawatiran yang cukup signifikan:
Harapan terhadap Proses Kolaboratif
Living Labs diharapkan menjadi wadah yang efektif untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran para stakeholder. Melalui proses ini, mereka dapat berbagi pengalaman, belajar langsung dari implementasi lapangan, serta mengembangkan model bisnis baru yang menarik bagi petani dan pemilik lahan. Pendekatan ini juga diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan dan penerimaan terhadap NBS.
Data dan Angka Kunci dari Studi
Perbandingan dengan Studi Lain dan Tren Global
Urban vs Rural: Perbedaan Fokus
Studi-studi sebelumnya di kawasan perkotaan, seperti oleh Han & Kuhlicke (2019) dan Pagano et al. (2019), menyoroti manfaat sosial NBS seperti rekreasi, estetika, dan kesehatan masyarakat. Sebaliknya, studi PHUSICOS menegaskan bahwa di kawasan pegunungan, manfaat ekonomi dan perlindungan alam menjadi prioritas utama. Hal ini menunjukkan bahwa motivasi dan kebutuhan stakeholder sangat dipengaruhi oleh konteks geografis dan sosial.
Tantangan Monetisasi Manfaat NBS
Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana mengukur dan mengkomersialisasikan manfaat NBS. Nilai ekonomi dari jasa lingkungan yang diberikan seringkali tidak tercermin dalam harga pasar, sehingga sulit menarik investasi swasta. Kebijakan subsidi yang ada, seperti Common Agricultural Policy (CAP) di Eropa, belum sepenuhnya mendukung adopsi NBS oleh petani.
Solusi yang diusulkan meliputi pengembangan skema pembayaran jasa lingkungan, insentif fiskal, dan model bisnis inovatif yang dapat memberikan keuntungan ekonomi langsung kepada pelaku usaha.
Kolaborasi dan Living Labs: Kunci Sukses
Living Labs terbukti efektif dalam membangun kepercayaan, meningkatkan pengetahuan, dan mendorong aksi kolektif antar stakeholder. Namun, proses kolaboratif ini membutuhkan waktu, sumber daya, dan komitmen jangka panjang. Tidak semua pihak siap untuk terlibat aktif, sehingga diperlukan pendekatan yang inklusif dan fleksibel.
Opini dan Rekomendasi: Bagaimana Masa Depan NBS di Pegunungan?
Peluang
NBS memiliki potensi besar sebagai solusi masa depan untuk adaptasi perubahan iklim di kawasan pegunungan, asalkan didukung oleh bukti efektivitas dan model bisnis yang jelas. Kolaborasi lintas sektor sangat penting untuk mengatasi hambatan implementasi dan memastikan keberlanjutan solusi.
Tantangan
Skeptisisme dan kurangnya pengetahuan masih menjadi penghalang utama. Diperlukan lebih banyak studi kasus nyata dan demonstrasi keberhasilan NBS di lapangan agar kepercayaan masyarakat meningkat. Selain itu, kebijakan dan insentif ekonomi harus lebih proaktif mendukung adopsi NBS, terutama bagi petani dan pemilik lahan.
Rekomendasi Praktis
Kesimpulan: NBS, Kolaborasi, dan Masa Depan Adaptasi Iklim
Penelitian PHUSICOS menunjukkan bahwa keberhasilan implementasi NBS di kawasan pegunungan tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada kolaborasi, edukasi, dan inovasi model bisnis. Dengan pendekatan Living Labs, peluang untuk memperluas adopsi NBS semakin terbuka, asalkan didukung oleh komitmen bersama dan kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan. NBS bukan hanya solusi lingkungan, tetapi juga jalan menuju masa depan yang lebih tangguh dan sejahtera bagi komunitas pegunungan.
Sumber Artikel:
Lupp, G., Huang, J.J., Zingraff-Hamed, A., Oen, A., Del Sepia, N., Martinelli, A., Lucchesi, M., Wulff Knutsen, T., Olsen, M., Fjøsne, T.F., Balaguer, E.-M., Arauzo, I., Solheim, A., Kalsnes, B., & Pauleit, S. (2021). Stakeholder Perceptions of Nature-Based Solutions and Their Collaborative Co-Design and Implementation Processes in Rural Mountain Areas—A Case Study From PHUSICOS. Frontiers in Environmental Science, 9, 678446.