Krisis Air

Air Hujan untuk Kampus Hijau: Solusi Berkelanjutan di Tengah Krisis Air Kota

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025


Kota Pontianak dikenal dengan julukan “Kota Khatulistiwa” karena letaknya tepat di garis ekuator. Kota ini juga terkenal dengan curah hujannya yang tinggi—lebih dari 3.000 mm per tahun. Namun ironisnya, pasokan air bersih masih menjadi masalah yang belum tuntas. Menurut data BPS 2024, layanan PDAM baru menjangkau sekitar 63,54% rumah tangga di Pontianak.

Situasi ini juga berdampak pada institusi pendidikan seperti Universitas Panca Bhakti, yang kerap menghadapi kendala air bersih untuk operasional sehari-hari. Dalam konteks inilah, penelitian Gunawan dkk. menjadi sangat relevan: bisakah air hujan yang melimpah dijadikan sumber air bersih yang andal di lingkungan kampus?

Tujuan dan Metodologi Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keandalan dan volume air hujan yang dapat ditampung dari atap bangunan di lingkungan Universitas Panca Bhakti. Fokusnya adalah menilai sejauh mana air hujan bisa menggantikan atau melengkapi kebutuhan air PDAM, khususnya untuk kegiatan non-konsumsi seperti flushing toilet, mencuci, atau penyiraman taman.

Penelitian dilakukan secara kuantitatif dengan:

  • Pengukuran luas atap seluruh gedung kampus (data primer),
  • Pengumpulan data curah hujan dari BPS Kota Pontianak,
  • Simulasi volume air hujan yang dapat ditampung,
  • Analisis efisiensi penampungan dan tingkat pemenuhan kebutuhan air.

Hasil Utama: Volume vs. Kebutuhan Air

1. Luasan Atap Kampus

Penelitian mencatat total luas atap dari enam bangunan utama kampus:

  • Fakultas Teknik: 87,34 m²
  • Fakultas Pertanian: 362,37 m²
  • Gedung CC: 727,84 m²
  • Rektorat Baru: 155,79 m²
  • Rektorat Lama: 86,86 m²
  • Fakultas Ekonomi: 88,79 m²

➡️ Total luas atap: 1.508,99 m²

2. Curah Hujan Rata-Rata

  • Rata-rata curah hujan bulanan: 233,75 mm
  • Rata-rata hari hujan per bulan: 16 hari

3. Volume Air Hujan yang Dapat Ditampung

Dengan efisiensi penampungan sebesar 80% (mengacu pada kehilangan akibat penguapan dan limpasan), volume air hujan yang dapat dimanfaatkan dihitung sebagai berikut:

Volume = Curah hujan x Luas atap x Koefisien efisiensi
= 233,75 mm x 1.508,99 m² x 0,8
= 282.181,13 liter/bulan atau 11.757 liter/hari

4. Kebutuhan Air Kampus

Mengacu pada penelitian terdahulu, konsumsi harian air bersih di kampus diperkirakan sebesar:

69.926 liter/hari

5. Keandalan Sistem

Dari simulasi tersebut, air hujan hanya mampu memenuhi sekitar:

16,814% dari total kebutuhan air harian kampus

Meskipun jauh dari cukup untuk kebutuhan total, volume ini sangat signifikan jika difokuskan untuk kebutuhan non-potable (tidak perlu standar air minum), seperti mencuci lantai, irigasi taman, atau toilet.

Analisis Kontekstual: Apa Artinya Angka Ini?

A. Bukan Pengganti Total, Tapi Pendukung Strategis

Air hujan tidak bisa diandalkan sebagai satu-satunya sumber air bersih, tetapi dapat mengurangi ketergantungan terhadap PDAM. Dengan efisiensi 16,8%, penghematan tagihan air bulanan kampus bisa mencapai jutaan rupiah, tergantung pada tarif PDAM dan volume penggunaan.

B. Mengurangi Dampak Lingkungan

Penggunaan air hujan untuk keperluan kampus juga mengurangi:

  • Limpasan permukaan (runoff) yang bisa menyebabkan banjir lokal,
  • Eksploitasi air tanah yang dapat memicu penurunan muka air,
  • Emisi karbon dari pengolahan air PDAM (karena pompa dan distribusi).

Studi Kasus: Kampus Tropis, Solusi Tropis

Universitas Panca Bhakti bukanlah satu-satunya kampus di kawasan tropis yang berpotensi mengandalkan air hujan. Beberapa studi internasional juga menunjukkan tren serupa:

  • Universitas Nasional Singapura (NUS): Menggunakan sistem PAH untuk irigasi lanskap dan toilet umum.
  • Universitas Diponegoro (UNDIP), Semarang: Sudah mulai menerapkan sistem serupa di beberapa gedung.
  • Bangladesh University of Engineering and Technology (BUET): Memanfaatkan air hujan selama musim monsun untuk cadangan musim kemarau.

Kunci dari keberhasilan implementasi adalah adanya desain sistem yang terstandarisasi dan pemeliharaan berkala agar kualitas air tetap aman.

Opini dan Kritik: Mengapa Penelitian Ini Penting?

Memberikan Data Kuantitatif Lokal

Studi ini penting karena menyediakan angka konkret dari lapangan—bukan asumsi teoritis. Banyak kampus atau sekolah di daerah tropis menghadapi masalah serupa, tetapi belum punya baseline data untuk merancang sistem PAH.

Menunjukkan Keuntungan Ekonomi dan Ekologis

Dampak ekonomi (penghematan tagihan) dan ekologis (konservasi air tanah, pengurangan banjir) menjadi argumen kuat bagi pihak manajemen kampus maupun pembuat kebijakan daerah.

Perluasan ke Skala Komunitas

Meskipun studi ini terbatas pada kampus, pendekatannya bisa dengan mudah direplikasi untuk:

  • Rumah tangga perkotaan,
  • Pesantren atau asrama sekolah,
  • Kantor pemerintahan dan tempat ibadah.

Rekomendasi Implementatif

Agar sistem pemanenan air hujan bisa diterapkan secara luas dan efektif, berikut beberapa rekomendasi:

1. Integrasi dengan Sistem Plumbing Gedung

Desain ulang jaringan pipa untuk memisahkan air hujan (non-potable) dan air PDAM (potable).

2. Penggunaan Filter dan Desinfeksi Sederhana

Meski air digunakan untuk kegiatan non-minum, penyaringan dasar tetap diperlukan untuk menjaga kebersihan dan mencegah penyumbatan saluran.

3. Edukasi dan Sosialisasi Warga Kampus

Diperlukan kampanye penggunaan air hemat dan pemahaman tentang manfaat air hujan.

4. Standardisasi dan Regulasi

Pemerintah daerah bisa mengeluarkan peraturan atau insentif untuk mendorong pembangunan gedung baru dengan sistem PAH terintegrasi.

Potensi Jangka Panjang

Jika kampus seperti Universitas Panca Bhakti bisa menjadi percontohan nasional, maka konsep ini bisa meluas ke kawasan urban lainnya. Bayangkan jika semua sekolah dan kampus di Pontianak memiliki tangki air hujan sendiri. Penghematan air dan pengurangan banjir lokal bisa menjadi dampak nyata yang sangat terasa.

Kesimpulan: Dari Langit ke Keran, Solusi Lokal yang Global

Air hujan adalah berkah tropis yang belum dimaksimalkan. Penelitian oleh Ivan Andri Gunawan dan timnya membuktikan bahwa meskipun tidak mampu memenuhi 100% kebutuhan air bersih kampus, sistem PAH tetap menjadi solusi cerdas—murah, ramah lingkungan, dan aplikatif.

Dalam dunia yang makin terdampak perubahan iklim dan krisis air, pemanfaatan air hujan bukan sekadar opsi teknis, tapi juga keputusan etis. Saatnya lebih banyak institusi pendidikan, pemerintah daerah, dan komunitas lokal menoleh ke langit sebagai solusi air bersih masa depan.

Sumber Asli Artikel:

Gunawan, I. A., Widodo, M. L., & Anggraini, I. M. (2024). Studi Keandalan Potensi Pemanfaatan Air Hujan sebagai Sumber Air Bersih di Lingkungan Universitas Panca Bhakti, Kota Pontianak. E-Journal Teknologi Infrastruktur, Volume 3, Nomor 1, Juni 2024.

Selengkapnya
Air Hujan untuk Kampus Hijau: Solusi Berkelanjutan di Tengah Krisis Air Kota

Krisis Air

Menyelami Krisis Air Malang: Resensi Kritis Tesis Arief Riyadi tentang Daya Dukung dan Daya Tampung Air dalam Tata Ruang Wilayah

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 19 Mei 2025


Pendahuluan: Air, Ruang, dan Ancaman Keberlanjutan

Dalam era pembangunan masif seperti sekarang, persoalan lingkungan hidup, khususnya air, kian mendesak. Salah satu pendekatan ilmiah yang berpotensi menjembatani kebutuhan ekologis dan pembangunan adalah kajian daya dukung dan daya tampung air. Tesis Arief Riyadi berjudul "Pendekatan Daya Dukung dan Daya Tampung Air dalam Perencanaan Tata Ruang (Studi Kasus Wilayah Malang)" merupakan telaah mendalam tentang bagaimana air, sebagai sumber daya vital, seharusnya menjadi parameter utama dalam penyusunan rencana tata ruang.

Konteks Studi: Mengapa Malang?

Wilayah Malang Raya terdiri dari Kota Batu, Kota Malang, dan Kabupaten Malang, yang seluruhnya berada di daerah hulu DAS Brantas. Kawasan ini bukan hanya sumber air penting bagi Jawa Timur, tetapi juga zona rawan degradasi lingkungan akibat alih fungsi lahan yang masif. Data menunjukkan bahwa dari 12 sub DAS di Malang, empat (Metro, Bango, Amprong, dan Manten) menjadi fokus utama karena melewati lebih dari satu wilayah administrasi. Di sinilah krisis lintas batas menjadi nyata, namun sering diabaikan dalam perencanaan ruang.

Permasalahan Utama: Defisit Air dan Tata Ruang yang Lumpuh

Tesis ini menunjukkan bahwa degradasi kualitas air dan penurunan debit mata air di kawasan seperti Gunung Arjuna dan Toyomarto bukan mitos. Survei LSM Ecoton pada 2010 membuktikan debit air menyusut signifikan. Lebih jauh, data DLH Malang 2016–2017 menunjukkan mayoritas titik pengamatan air sudah masuk kategori "cemar ringan". Ini mengindikasikan bahwa tata ruang eksisting tidak selaras dengan kapasitas ekologis wilayah.

Metodologi: Kuantifikasi Realitas Ekologis

Menggunakan pendekatan kuantitatif, Arief menggabungkan analisis indeks pencemaran air (Pollution Index) dan perhitungan daya dukung berdasarkan curah hujan, pertumbuhan penduduk, serta luas tangkapan air. Data diambil dari 20 titik sungai selama dua tahun (2016–2017). Ini bukan riset satu waktu, melainkan rangkaian monitoring yang memungkinkan penilaian tren jangka menengah, sebuah kelebihan penting yang jarang ditemukan dalam studi lingkungan serupa.

Temuan Penting: Wilayah Kritis dan Aman

Sub DAS Metro dan Bango sudah melewati ambang kritis sebelum 2015. Sebaliknya, Sub DAS Amprong dan Manten diprediksi masih mampu memenuhi daya dukung hingga 2030. Namun, kualitas air di keempat sub DAS tersebut sudah tercemar sejak dari hulu. Artinya, pendekatan spasial tidak cukup—perlu strategi ekosistem menyeluruh yang mengintegrasikan hulu dan hilir.

Daya Tampung dan Pencemaran: Hulu pun Tak Lagi Aman

Menggunakan metode indeks pencemaran air, hasilnya mencemaskan: pencemaran ringan sudah terjadi bahkan di titik-titik hulu. Parameter seperti BOD, COD, Nitrat, dan Detergen melebihi baku mutu. Ini menunjukkan bahwa tidak hanya volume air yang berkurang, tetapi juga kualitas air yang terus menurun. Lebih parah, kondisi ini tidak berkorelasi langsung dengan musim hujan atau kemarau. Dengan kata lain, pencemaran bersifat struktural, bukan musiman.

Studi Komparatif: Malang dalam Lanskap Global

Jika dibandingkan dengan studi serupa di Provinsi Henan (Cina) atau DAS Tieling di Liao River, Tiongkok, temuan ini konsisten: alih fungsi lahan dan peningkatan kepadatan penduduk tanpa mitigasi daya dukung menyebabkan krisis air. Namun, di negara-negara tersebut, perencanaan berbasis WECC (Water Environmental Carrying Capacity) sudah terintegrasi dengan tata ruang. Indonesia masih tertinggal.

Kelemahan Penataan Ruang di Indonesia

Salah satu kritik utama Arief adalah lemahnya integrasi antara KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) dan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah). Keduanya seperti dua dokumen yang berjalan sendiri. Hal ini sejalan dengan temuan Santoso (2014) bahwa rencana tata ruang di Jawa Timur sering tidak memperhatikan daya dukung lingkungan. Akibatnya, daerah yang secara ekologis tidak layak dibangun tetap dilegalkan.

Rekomendasi Tesis: Solusi Nyata, Bukan Simbolik

  1. Integrasi Data Spasial dan Lingkungan: Pemerintah daerah harus memiliki basis data terpusat yang menggabungkan informasi geospasial dengan parameter ekologis.
  2. Zonasi Berbasis Ekologi: Sub DAS dengan daya dukung kritis harus dijadikan zona konservasi dengan pelarangan pembangunan baru.
  3. Pendekatan Pentahelix: Pelibatan masyarakat, swasta, akademisi, dan media dalam pengelolaan sub DAS sangat mendesak.
  4. Revisi RTRW: RTRW harus direvisi secara berkala berdasarkan hasil monitoring daya dukung dan daya tampung.
  5. Penguatan Perda Lingkungan: Perlu regulasi tegas yang mengatur pengendalian limbah domestik dan industri.

Nilai Tambah Tesis ini: Komprehensif dan Terapan

Tesis ini bukan hanya analitis tetapi aplikatif. Arief Riyadi, dengan latar belakang sebagai praktisi lapangan (mantan fasilitator USAID dan konsultan sanitasi), memahami kompleksitas pengelolaan lingkungan di level kebijakan dan lapangan. Inilah yang membuat studinya kaya: ia tidak berhenti pada angka, tetapi menawarkan solusi yang realistis, bukan utopis.

Penutup: Dari Tesis ke Kebijakan Publik

Tesis ini menyajikan kerangka pikir yang kuat bahwa pembangunan ruang tidak bisa dilepaskan dari kapasitas lingkungan. Pendekatan daya dukung dan daya tampung air menjadi alat penting untuk menakar apakah suatu wilayah siap menampung beban pembangunan. Jika tidak, maka bencana ekologis hanyalah soal waktu.

Sumber: Riyadi, A. (2018). Pendekatan Daya Dukung dan Daya Tampung Air dalam Perencanaan Tata Ruang (Studi Kasus Wilayah Malang). Tesis Magister. Program Pascasarjana Universitas Brawijaya.

 

Selengkapnya
Menyelami Krisis Air Malang: Resensi Kritis Tesis Arief Riyadi tentang Daya Dukung dan Daya Tampung Air dalam Tata Ruang Wilayah

Krisis Air

Tata Kelola Daerah Aliran Sungai untuk Krisis Air dan Bencana di Papua Barat Daya

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 15 Mei 2025


Pengantar: Ironi Air di Tengah Kelimpahan

Kota Sorong, yang kini menjadi ibu kota Provinsi Papua Barat Daya, menyimpan ironi besar. Di musim hujan, air berlimpah menyebabkan banjir, namun di musim kemarau justru masyarakat kesulitan mendapatkan air bersih. Riset oleh Pristianto dan Butudoka (2023) berupaya menjawab pertanyaan besar: bagaimana menata pengelolaan 11 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang membentang di wilayah pusat pemerintahan agar mampu mengantisipasi krisis air dan bencana secara terpadu?

Latar Belakang: DAS Kecil, Masalah Besar

Sebelas DAS yang dikaji—termasuk Sungai Remu, Klagison, Klawoguk, dan Klasaman—memiliki luas total 341,35 km² dan dikategorikan sebagai DAS kecil. Namun, kontribusinya besar dalam membentuk dinamika hidrologi, sedimentasi, banjir, serta keterbatasan pasokan air baku. Ironisnya, hanya sekitar 30% penduduk Sorong yang mendapat layanan PDAM. Selebihnya bergantung pada air hujan dan sumur bor, yang kualitasnya pun bervariasi.

Metode Penelitian: Kombinasi Lapangan dan Laboratorium

Penelitian ini menggunakan pendekatan komprehensif:

  • Pengumpulan data infiltrasi dan permeabilitas tanah (SNI dan ASTM)
  • Analisis tutupan lahan dan kualitas air
  • Kajian literatur 10 tahun terakhir dan data sekunder
  • Visualisasi dampak lingkungan melalui dokumentasi video

Temuan Kunci: Kombinasi Ancaman dan Ketidaksiapan

1. Variasi Infiltrasi dan Permeabilitas

  • Infiltrasi berkisar antara 0.01 hingga 34.78 cm/jam
  • Permeabilitas tertinggi ditemukan di DAS Pasar Baru (2.56 cm/jam), terendah di Wermon (0.17 cm/jam)
  • Tekstur tanah dominan: clay loam dan loam

2. Kualitas dan Kuantitas Air

  • Hulu sungai memiliki kualitas air relatif baik
  • Bagian tengah dan hilir tercemar, bahkan diklasifikasikan sebagai kelas III-IV (tidak layak konsumsi langsung)
  • Potensi air besar, namun minim infrastruktur pemantauan (hanya dua sungai dengan alat ukur debit)

3. Tutupan Lahan dan Degradasi Hulu

  • Dominasi lahan terbuka dan rumput tinggi
  • Aktivitas penambangan pasir di hulu (misalnya DAS Klagison) memperparah kerusakan
  • Hilangnya vegetasi mempercepat limpasan permukaan dan memperbesar risiko banjir

Studi Kasus Banjir: Bukti Krisis Multidimensi

Sungai Pasar Baru, Remu, Klagison, dan Klawoguk menjadi pusat kejadian banjir besar di Sorong (2022), menelan kerugian hingga Rp 77,14 miliar. Faktor manusia (perilaku eksploitatif), kelembagaan (penegakan aturan lemah), dan ketidakhadiran sistem mitigasi menjadi penyebab utama.

Contoh visual kondisi lapangan menunjukkan sempadan sungai berubah menjadi pemukiman padat, bahkan hingga mendekati landasan pacu bandara. Hal ini bertentangan dengan Permen PUPR No. 28/2015 yang melarang aktivitas budidaya di sempadan sungai.

Opini & Kritik: Tata Kota Tanpa Sungai Adalah Bunuh Diri Ekologis

Penelitian ini menyoroti absennya konsep pembangunan kota berbasis DAS. Padahal, kota-kota seperti Jakarta, Surabaya, hingga Palembang mulai mengintegrasikan pengelolaan sungai ke dalam masterplan kotanya. Sorong perlu mencontoh konsep ini agar bisa menjelma sebagai kota pesisir yang tangguh dan berwawasan ekologi.

Poin Kritis:

  • Perekaman data hidrologi sangat minim
  • Penegakan aturan sempadan sungai lemah
  • Potensi sumber air besar, tapi kualitas dan kuantitasnya belum terkelola

Solusi Strategis: Dari Hulu ke Hilir, dari Pesisir ke Perkotaan

1. Tata Kelola Terintegrasi

  • Terapkan model "One River, One Plan, One Management"
  • Satukan kebijakan DAS dan pesisir dalam satu badan koordinatif

2. Infrastruktur Pemantauan

  • Tambah stasiun pengukur curah hujan dan debit sungai
  • Bangun bank data DAS berbasis GIS

3. Penataan Sempadan Sungai

  • Relokasi kawasan padat di sempadan sungai
  • Reboisasi dan konservasi wilayah hulu

4. Pendidikan Lingkungan dan Adat

  • Edukasi masyarakat tentang peran DAS
  • Libatkan tokoh adat dalam tata kelola

5. Pembangunan Kota Berbasis DAS

  • Rancang Kota Sorong dengan pendekatan zonasi ekohidrologi
  • Terapkan sistem Zero Runoff dalam pengelolaan air hujan

Penutup: Dari Krisis Menuju Peluang Transformasi

Riset ini menjadi pionir dalam menyatukan analisis fisik, sosial, dan kelembagaan untuk mengelola 11 DAS di Sorong. Kunci keberhasilan bukan hanya teknologi, tapi juga political will, literasi masyarakat, dan penghormatan terhadap kearifan lokal.

Papua Barat Daya bisa menjadi model kota masa depan yang tahan bencana dan berkelanjutan, asal sungainya tidak hanya dilihat sebagai saluran air, tetapi sebagai jantung kehidupan masyarakat.

Sumber:
Pristianto, H., & Butudoka, M. A. (2023). Konsep Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dalam Mengantisipasi Bencana dan Krisis Air di Ibu Kota Propinsi Papua Barat Daya. Jurnal Ilmiah Ecosystem, 23(2), 290–307.

Selengkapnya
Tata Kelola Daerah Aliran Sungai untuk Krisis Air dan Bencana di Papua Barat Daya
« First Previous page 5 of 5