Analisis Pemanfaatan Air Hujan dan Perencanaan Sistem Penampung Air Hujan untuk Rumah Tangga di Kota Masohi, Maluku Tengah

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

04 Juni 2025, 09.19

pixabay.com

Indonesia, sebagai negara tropis dengan dua musim utama—hujan dan kemarau—selalu menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan sumber daya air. Fluktuasi curah hujan yang ekstrem, perubahan iklim, dan pertumbuhan penduduk yang pesat menyebabkan ketidakseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan air bersih. Pada musim hujan, air melimpah hingga menimbulkan banjir, sementara musim kemarau membawa ancaman kekeringan. Permasalahan ini semakin kompleks di daerah-daerah yang belum memiliki sistem penyediaan air bersih yang memadai, seperti di Kota Masohi, Kabupaten Maluku Tengah.

Penelitian yang dilakukan oleh Charles J. Tiwery, Novita I. D. Magrib, dan Ester Putri Sahetapy dari Universitas Kristen Indonesia Maluku ini mengkaji secara mendalam potensi pemanfaatan air hujan sebagai sumber air bersih alternatif, serta merancang sistem penampungan air hujan (SPAH) yang efektif untuk memenuhi kebutuhan air rumah tangga, khususnya di Jln. Chr. M. Tiahahu, RT 008, Kota Masohi.

Latar Belakang: Mengapa Air Hujan?

Air hujan merupakan sumber air yang sangat potensial, terutama di wilayah dengan kualitas air tanah yang rendah atau akses air bersih terbatas. Di lokasi penelitian, masyarakat umumnya mengandalkan sumur gali dan sumur bor. Namun, dari 21 KK pengguna air sumur, hanya 15 KK yang memiliki sumur bor pribadi. Ketergantungan pada air tanah menghadapi banyak kendala, mulai dari kualitas yang menurun akibat pencemaran hingga debit yang tidak stabil saat musim kemarau.

Sistem penampungan air hujan (SPAH) menjadi solusi yang menarik dan murah, dengan sedikit pengolahan sebelum digunakan untuk kebutuhan domestik. Metode ini tidak hanya mengurangi konsumsi air tanah, tetapi juga berkontribusi pada konservasi air dan pengurangan risiko banjir.

Metodologi Penelitian: Survei, Analisis Hidrologi, dan Perancangan Sistem

Penelitian dilakukan pada Juli–Oktober 2021 di Jln. Chr. M. Tiahahu, RT 008, Kecamatan Namasina, Kota Masohi. Metode yang digunakan meliputi survei lapangan untuk memperoleh data primer (jumlah rumah, luas wilayah, jumlah sumur), pengumpulan data sekunder (curah hujan bulanan, jumlah penduduk), serta analisis hidrologi untuk menghitung potensi air hujan yang dapat ditampung.

Analisis kuantitatif dilakukan dengan model matematika hidrologi, termasuk perhitungan curah hujan rerata, hujan andalan (probabilitas 80%), volume air tertampung, kebutuhan air rumah tangga, dan dimensi optimal bak penampungan.

Studi Kasus: RT 008, Kota Masohi—Potret Kebutuhan dan Ketersediaan Air

Komposisi Penduduk dan Kebutuhan Air

RT 008, lokasi studi, memiliki 115 KK dengan total 448 jiwa (rata-rata 4 orang per KK). Berdasarkan standar kebutuhan air domestik untuk desa (70 liter/orang/hari), satu KK membutuhkan 280 liter air per hari atau 0,28 m³/hari. Untuk menghadapi musim kemarau, kebutuhan air selama 17 hari tanpa hujan adalah 4,8 m³ per KK.

Analisis Curah Hujan dan Potensi Tangkapan

Data curah hujan dari BMKG Stasiun Amahai selama 10 tahun menunjukkan rata-rata curah hujan tahunan sebesar 3.014,6 mm dengan 232 hari hujan per tahun. Namun, pada musim kemarau, curah hujan bulanan minimum hanya sekitar 16 mm (November dan Desember). Untuk analisis debit andalan, digunakan curah hujan minimum dengan peluang 80% sebesar 27 mm per bulan.

Luas atap rumah rata-rata yang digunakan sebagai area tangkapan adalah 108 m², dengan koefisien runoff 0,95 (jenis atap seng atau genteng). Dengan demikian, volume air hujan yang dapat ditampung setiap bulan pada musim kemarau adalah:

  • Volume air tertampung = Curah hujan x Luas atap x Koefisien runoff
  • = 0,027 m x 108 m² x 0,95
  • = 2,77 m³ (dibulatkan menjadi 3,00 m³)

Perbandingan Kebutuhan dan Ketersediaan

Dari hasil perhitungan, volume air hujan yang dapat ditampung per bulan (3,00 m³) hanya mampu memenuhi kebutuhan air satu KK selama 11 hari (dari total 17 hari tanpa hujan). Dengan kebutuhan air 4,8 m³ untuk 17 hari, masih terdapat defisit air sebesar 1,8 m³ per bulan.

Untuk mengatasi kekurangan ini, peneliti menyarankan beberapa solusi:

  • Memperluas area tangkapan air hujan (misal, menambah atap pada bak penampung).
  • Mengoptimalkan desain bak penampungan agar mampu menampung air lebih banyak saat musim hujan.

Desain Sistem Penampungan Air Hujan (SPAH): Dimensi dan Implementasi

Berdasarkan kebutuhan air 4,8 m³ per bulan, dimensi optimal bak penampungan untuk satu KK adalah:

  • Panjang: 1,5 m
  • Lebar: 1,5 m
  • Tinggi: 2 m

Desain ini memungkinkan penampungan air hujan yang cukup untuk kebutuhan keluarga selama musim kemarau, asalkan area tangkapan atap diperbesar atau sistem penampungan diintegrasikan antar rumah tangga.

Penelitian juga membandingkan berbagai luasan atap:

  • Atap 45 m²: hanya mampu memenuhi kebutuhan air selama 4 hari.
  • Atap 70 m²: 6 hari.
  • Atap 90 m²: 8 hari.
  • Atap 108 m²: 11 hari.
  • Atap 240 m²: 22 hari.
  • Atap 300 m²: 27 hari.

Semakin luas atap, semakin lama air hujan dapat memenuhi kebutuhan keluarga tanpa hujan.

Analisis Kritis: Kelebihan, Tantangan, dan Relevansi

Kelebihan Penelitian

  • Data Empiris dan Analisis Detail: Penelitian ini menggunakan data curah hujan aktual, jumlah penduduk, dan standar kebutuhan air, sehingga hasil perhitungannya sangat aplikatif untuk wilayah serupa.
  • Desain SPAH Praktis: Dimensi bak penampungan yang diusulkan mudah diaplikasikan, dengan bahan dan konstruksi yang sederhana.
  • Solusi Berkelanjutan: Pemanfaatan air hujan mengurangi tekanan pada air tanah dan sumur bor, serta mendukung konservasi air.

Tantangan Implementasi

  • Keterbatasan Area Tangkapan: Rumah dengan atap kecil tidak mampu memenuhi kebutuhan air keluarga selama musim kemarau. Solusi kolektif atau penambahan struktur atap sangat diperlukan.
  • Kualitas Air Hujan: Penelitian ini fokus pada kuantitas, belum membahas detail kualitas air hujan dan perlunya filtrasi atau desinfeksi sebelum konsumsi.
  • Perubahan Iklim: Variabilitas curah hujan akibat perubahan iklim dapat mengubah pola ketersediaan air hujan di masa depan.

Perbandingan dengan Studi Lain

Penelitian serupa di wilayah perkotaan dan pedesaan Indonesia membuktikan bahwa sistem panen air hujan (rainwater harvesting) sangat efektif untuk memenuhi kebutuhan air domestik, terutama di musim kemarau. Studi di Yogyakarta dan Bali menunjukkan bahwa dengan desain tangkapan dan penampungan yang optimal, air hujan dapat memenuhi 60–80% kebutuhan air rumah tangga. Namun, keberhasilan sangat bergantung pada edukasi masyarakat, desain sistem, dan integrasi dengan teknologi filtrasi sederhana.

Opini dan Saran: Menuju Ketahanan Air Rumah Tangga

Penelitian ini sangat relevan untuk daerah-daerah dengan akses air bersih terbatas. Pemerintah daerah sebaiknya mendorong adopsi sistem penampungan air hujan melalui insentif, pelatihan teknis, dan integrasi dengan program sanitasi. Selain itu, perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai kualitas air hujan, pengembangan filter sederhana, dan integrasi SPAH dengan teknologi smart water management.

Agar sistem ini benar-benar berkelanjutan, masyarakat perlu diberikan edukasi tentang pentingnya pemeliharaan bak penampung, pembersihan saluran, dan filtrasi air sebelum digunakan untuk konsumsi. Kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat sangat penting untuk memperluas cakupan manfaat SPAH.

Relevansi dengan Tren Industri dan Urbanisasi

Pemanfaatan air hujan sejalan dengan tren green building dan sustainable living yang kini banyak diadopsi di sektor properti dan industri. Banyak pengembang perumahan mulai memasukkan sistem penampungan air hujan sebagai selling point hunian ramah lingkungan. Di kota-kota besar, regulasi tentang sumur resapan dan SPAH mulai diberlakukan untuk mengurangi banjir dan meningkatkan cadangan air tanah.

Teknologi SPAH juga mendukung pencapaian SDGs (Sustainable Development Goals), khususnya target akses air bersih dan sanitasi layak bagi semua. Dengan perubahan iklim yang makin nyata, inovasi lokal seperti ini akan menjadi kunci ketahanan air di masa depan.

Kesimpulan: SPAH, Solusi Sederhana untuk Tantangan Kompleks

Penelitian ini membuktikan bahwa sistem penampungan air hujan adalah solusi praktis, murah, dan berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan air rumah tangga di wilayah dengan akses air bersih terbatas. Dengan desain yang tepat dan edukasi masyarakat, SPAH dapat mengurangi ketergantungan pada air tanah, mendukung konservasi air, dan meningkatkan ketahanan keluarga menghadapi musim kemarau.

Namun, keberhasilan implementasi sangat bergantung pada luas area tangkapan, kualitas air hujan, dan dukungan kebijakan. Kolaborasi lintas sektor dan inovasi teknologi akan memperkuat peran SPAH sebagai bagian dari strategi ketahanan air nasional.

Sumber Artikel (Bahasa Asli):

Charles J. Tiwery, Novita I. D. Magrib, Ester Putri Sahetapy. "Analisis Pemanfaatan Air Hujan Dan Perencanaan Sistem Penampung Air Hujan Sebagai Pemenuhan Kebutuhan Air Rumah Tangga (Studi Kasus: Jln. Chr. M. Tiahahu, RT 008 Kota Masohi Kabupaten Maluku Tengah)."