Krisis Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025
Kebutuhan air bersih di kota-kota besar seperti Bandung terus meningkat seiring pesatnya pertumbuhan penduduk dan laju urbanisasi. Namun, ironisnya, pasokan air tanah semakin menipis dan PDAM pun tidak selalu mampu memenuhi seluruh permintaan. Sebagian besar air digunakan bukan hanya untuk konsumsi, tapi juga untuk kebutuhan sekunder seperti sanitasi dan penyiraman taman.
Dalam konteks ini, air hujan—yang biasanya hanya dianggap sebagai penyebab banjir atau genangan—justru dapat menjadi jawaban atas krisis air urban. Melalui sistem pemanenan air hujan yang tepat, sumber daya gratis ini bisa diubah menjadi solusi nyata, hemat, dan ramah lingkungan. Penelitian yang dilakukan oleh Moch. Hikmat Ramadhan Arifin membuktikan hal tersebut secara konkret di Kompleks Gedung Pemerintahan Kota Bandung.
Tujuan dan Konteks Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah menghitung berapa besar potensi air hujan yang dapat ditampung dari atap-atap gedung pemerintahan di Kota Bandung, dan merancang sistem tangki penampungan yang optimal untuk memenuhi kebutuhan air non-konsumtif, yakni sanitasi (toilet, wastafel) dan pertamanan.
Kompleks Gedung Pemerintahan Kota Bandung, sebagai lokasi studi, merupakan kawasan dengan luas atap cukup besar dan aktivitas harian tinggi. Sejauh ini, air bersih di kawasan tersebut disuplai dari dua sumber utama: air tanah dan air PDAM. Namun, tidak semua kebutuhan harus dipenuhi oleh air berstandar minum. Untuk aktivitas seperti flushing toilet dan penyiraman taman, air hujan sebenarnya sudah sangat mencukupi.
Metodologi dan Komponen Sistem PAH
Penelitian ini dimulai dengan pengumpulan data curah hujan tahunan Kota Bandung, luas atap bangunan, jumlah pegawai dan tamu, serta luas taman. Kemudian dilakukan:
Sistem PAH yang dirancang terdiri dari lima komponen utama:
Analisis Kebutuhan Air: Berapa Banyak yang Diperlukan?
Peneliti menghitung kebutuhan air berdasarkan dua variabel utama: jumlah pegawai dan luas taman.
Setelah dihitung secara agregat per bulan, rata-rata kebutuhan air total di kompleks pemerintahan ini mencapai 392,3 m³ per bulan. Nilai ini mencakup aktivitas toilet dari pegawai dan tamu, serta penyiraman taman yang cukup luas.
Estimasi Ketersediaan Air Hujan: Potensi Besar yang Selama Ini Terbuang
Dengan luas total atap 5.526 m² dan data curah hujan andalan Kota Bandung selama setahun, volume air hujan yang dapat dipanen mencapai 6.092,41 m³ per tahun. Ini setara dengan lebih dari 500 m³ per bulan pada bulan-bulan basah seperti November dan April.
Koefisien aliran (runoff coefficient) ditetapkan 0,9, karena atap beton memiliki daya tangkap air tinggi. Artinya, 90% dari air hujan yang jatuh di atap dapat dimanfaatkan, sisanya hilang akibat penguapan atau cipratan.
Perbandingan Volume Tangki dan Efektivitasnya
Peneliti merancang tiga alternatif kapasitas tangki penampungan untuk mengakomodasi kebutuhan air:
Dari sini terlihat bahwa dengan kapasitas tangki yang cukup besar, air hujan mampu mencukupi seluruh kebutuhan sanitasi dan taman di kompleks pemerintahan ini, bahkan tanpa perlu campur tangan PDAM.
Neraca Air Bulanan: Strategi Penyimpanan untuk Menghadapi Musim Kering
Salah satu kekhawatiran umum terhadap PAH adalah fluktuasi cuaca. Musim kemarau bisa menyebabkan kekosongan tangki jika tidak ada sistem penyimpanan yang memadai.
Namun, neraca air yang dihitung dalam penelitian ini menunjukkan bahwa dengan penampungan yang cukup (1.500 m³), kebutuhan air tetap dapat terpenuhi bahkan di bulan-bulan kering seperti Juli dan Agustus, yang hanya menerima curah hujan 1–2 mm.
Sebaliknya, pada bulan-bulan basah seperti November, volume air yang tersedia jauh melampaui kebutuhan. Maka dari itu, sistem harus dilengkapi dengan overflow yang dialirkan ke sumur resapan agar kelebihan air tetap memberi manfaat lingkungan.
Kelebihan Sistem PAH yang Dirancang
Tantangan dan Solusi Implementasi di Gedung Pemerintah
Tantangan:
Solusi:
Opini dan Komparasi dengan Penelitian Lain
Penelitian ini sangat komprehensif dan praktis. Dalam hal perhitungan dan desain, riset ini melampaui banyak studi PAH lain di Indonesia yang hanya berhenti pada estimasi volume. Riset oleh Tri Yayuk Susana (2012) di BI, misalnya, tidak menyertakan neraca air bulanan. Di sisi lain, studi PAH di Universitas Indonesia oleh Ahmad Zaki hanya merancang tangki 3 m³ untuk kampus skala kecil.
Keunggulan dari studi Arifin adalah cakupan data yang lengkap, simulasi realistis, dan hasil langsung dapat diterapkan di kompleks perkantoran mana pun di Indonesia.
Rekomendasi Kebijakan dan Replikasi
Hasil penelitian ini sangat potensial dijadikan pedoman teknis untuk:
Kesimpulan: Saatnya Gedung Pemerintahan Menjadi Contoh Pemanfaatan Air Hujan
Air hujan bukan lagi sekadar fenomena alam yang ditunggu atau dihindari, melainkan sumber daya potensial yang selama ini terbuang percuma. Penelitian ini membuktikan bahwa pemanenan air hujan, dengan perencanaan volume dan kebutuhan yang matang, bisa mengubah wajah manajemen air di gedung-gedung pemerintah.
Dalam konteks Kota Bandung—yang padat, berpolusi, dan rawan kekurangan air—sistem PAH bukan sekadar solusi teknis, melainkan kebijakan moral dan strategi berkelanjutan. Kota yang modern seharusnya juga bijak dalam memanen berkah dari langit.
Sumber Asli Artikel:
Arifin, Moch. Hikmat Ramadhan. Analisis Pemanfaatan Air Hujan sebagai Alternatif Penyediaan Air Sanitasi dan Pertamanan pada Kompleks Gedung Pemerintahan Kota Bandung. FTSP Series: Seminar Nasional dan Diseminasi Tugas Akhir 2021, Universitas Sangga Buana
Krisis Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025
Desa Kawahang di Kabupaten Siau Tagulandang Biaro (Sitaro), Sulawesi Utara, merupakan salah satu contoh wilayah yang mengalami krisis air bersih meskipun terletak di kawasan dengan curah hujan tinggi. Permasalahan utama di desa ini bukanlah kekeringan, tetapi ketidaktersediaan sumber air tanah yang layak dikonsumsi akibat kondisi geologis daerah yang tersusun dari batuan vulkanik dan kontur pegunungan yang tidak mampu menyimpan air dengan baik.
Sebagai akibatnya, masyarakat hanya mengandalkan sumur atau air hujan untuk mandi, mencuci, dan bahkan minum. Sayangnya, tanpa sistem penampungan yang layak, air hujan lebih sering terbuang percuma. Karena itulah, penelitian ini penting sebagai landasan teknis dalam membangun sistem PAH yang sederhana, efektif, dan bisa diterapkan di rumah-rumah warga.
Tujuan dan Cakupan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk merancang sistem PAH rumah tangga yang sesuai dengan kondisi geografis dan sosial masyarakat Desa Kawahang. Tujuannya tidak hanya menyajikan data teoretis, tetapi juga menghasilkan desain volume bak penampung air hujan yang mampu memenuhi kebutuhan air bersih selama hari-hari tanpa hujan.
Fokus utama meliputi:
Desa Kawahang: Potret Krisis Air di Pegunungan
Desa Kawahang berada di Kecamatan Siau Barat Utara dan dihuni oleh lebih dari 4.000 penduduk. Lokasinya yang jauh dari pantai membuat desa ini tidak bisa memanfaatkan air payau, sementara tidak tersedia mata air alami di sekitarnya. Sumur-sumur warga seringkali menghasilkan air dengan kualitas rendah, sehingga satu-satunya pilihan adalah memanfaatkan air hujan.
Sayangnya, sistem penampungan air hujan yang dimiliki warga saat ini belum optimal. Beberapa menggunakan ember atau bak terbuka tanpa penutup dan tanpa sistem penyaringan awal, sehingga kualitas air yang terkumpul tidak memenuhi standar. Penelitian ini hadir untuk menjawab kebutuhan akan sistem yang lebih efisien dan layak pakai.
Perhitungan Kebutuhan Air Bersih Harian
Berdasarkan survei dan data statistik, rata-rata jumlah penghuni tiap rumah di Desa Kawahang adalah 4,16 orang. Namun, untuk perencanaan sistem, angka pembulatan 4 orang digunakan sebagai dasar.
Mengacu pada standar nasional, kebutuhan air minimum adalah 60 liter per orang per hari. Maka, untuk satu rumah dengan empat penghuni, total kebutuhan air harian adalah:
4 orang × 60 liter = 240 liter per hari
Atau dalam satuan meter kubik: 0,24 m³ per hari
Jumlah ini menjadi dasar dalam merancang kapasitas sistem penampungan air hujan yang mampu menjamin ketersediaan air bersih setidaknya selama 7 hari kering berturut-turut.
Estimasi Ketersediaan Air Hujan dari Luas Atap
Luas atap rumah di Desa Kawahang bervariasi antara 71 hingga 340 meter persegi. Rata-rata luas atap berdasarkan sampel rumah adalah sekitar 144,13 m². Dengan memperhitungkan curah hujan harian rata-rata dan efisiensi tangkapan (diperhitungkan dari slope atap, bahan, dan sistem talang), potensi tampungan air dari satu rumah dapat mencukupi kebutuhan rumah tangga selama beberapa hari.
Untuk waktu kering 7 hari, kebutuhan total air per rumah adalah:
0,25 m³ × 7 hari = 1,75 m³
Sehingga, sistem penampungan perlu dirancang agar mampu menampung setidaknya 1,75 m³ air atau lebih untuk cadangan, dengan volume bak disarankan minimal 3 m³ untuk mengantisipasi lonjakan kebutuhan dan variabilitas hujan.
Analisis Hari Kering dan Curah Hujan
Untuk menguji keandalan sistem PAH, peneliti menggunakan data curah hujan selama lima tahun (2017–2021). Hasilnya menunjukkan bahwa kemungkinan terjadinya hari tanpa hujan selama tujuh hari berturut-turut berada pada tingkat probabilitas 94,82%. Ini berarti bahwa dalam hampir setiap siklus musim, masyarakat menghadapi risiko 7 hari berturut-turut tanpa hujan.
Dengan demikian, sistem PAH harus dirancang untuk mampu menopang kebutuhan air selama 7 hari. Peneliti merekomendasikan sistem tangki berkapasitas 3 m³ sebagai solusi ideal, karena volume ini melebihi kebutuhan minimum (1,75 m³), namun tetap realistis untuk dibangun secara swadaya oleh masyarakat dengan keterbatasan lahan.
Desain Sistem Pemanenan Air Hujan yang Diusulkan
Desain sistem PAH yang diajukan menyesuaikan dengan kondisi rumah di Desa Kawahang. Beberapa komponen utama dalam desain tersebut meliputi:
Desain ini mempertimbangkan kesederhanaan struktur, biaya murah, dan kemudahan replikasi di berbagai rumah. Dapat dibangun dari bahan lokal seperti beton bertulang atau polietilena daur ulang.
Efisiensi Sistem dan Potensi Pengembangan
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa efisiensi sistem pemanenan air hujan yang dirancang mencapai 85% terhadap kebutuhan air bersih harian rumah tangga. Angka ini sangat tinggi jika dibandingkan dengan sistem konvensional tanpa desain khusus.
Efisiensi ini bisa lebih ditingkatkan apabila:
Studi Banding: Pengalaman Serupa di Daerah Lain
Beberapa penelitian serupa menunjukkan hasil yang mendukung pendekatan PAH skala rumah tangga:
Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan yang digunakan di Kawahang memiliki dasar empiris yang kuat dan dapat dikembangkan sebagai model nasional untuk daerah terpencil.
Rekomendasi dan Dampak Sosial
Hasil penelitian ini mengarah pada beberapa rekomendasi praktis:
Dari sisi sosial, pemanfaatan air hujan meningkatkan ketahanan air rumah tangga, mengurangi beban ekonomi warga, dan mendorong kemandirian komunitas dalam mengelola sumber daya.
Kesimpulan: Air Langit untuk Masa Depan Kawahang
Penelitian oleh Salindeho dkk. membuktikan bahwa pemanenan air hujan adalah solusi rasional, ekonomis, dan berkelanjutan bagi daerah dengan kondisi geologi menantang seperti Desa Kawahang. Dengan desain sistem yang tepat, air hujan dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan harian, bahkan saat musim kering.
Di tengah perubahan iklim dan ketidakpastian pasokan air tanah, air hujan menjadi harapan baru. Melalui pendekatan ilmiah dan partisipatif, masyarakat bisa belajar menengadah ke langit bukan hanya untuk berdoa, tapi juga untuk mengisi bak air bersih yang menyelamatkan kehidupan mereka.
Sumber Asli Artikel:
Salindeho, V. J., Mangangka, I. R., & Legrans, R. R. I. (2023). Perencanaan Sistem Pemanenan Air Hujan sebagai Alternatif Penyediaan Air Bersih di Desa Kawahang Kabupaten Siau Tagulandang Biaro. TEKNO, Volume 21, No. 84, Universitas Sam Ratulangi.
Krisis Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025
Wilayah pesisir Indonesia adalah kawasan padat penduduk yang sangat bergantung pada sumber daya alam. Namun, justru di kawasan ini akses terhadap air bersih kerap menjadi persoalan besar. Air tanah di pesisir sering kali tercemar akibat intrusi air laut dan limbah domestik, sementara jaringan air perpipaan belum sepenuhnya menjangkau masyarakat. Anehnya, di tengah curah hujan yang tinggi, masyarakat pesisir masih mengandalkan air kemasan atau air sumur yang tidak selalu aman.
Berangkat dari kenyataan tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Joleha dan tim peneliti dari Universitas Riau berupaya mengevaluasi kelayakan air hujan sebagai sumber air bersih rumah tangga. Penelitian ini berfokus pada wilayah pesisir Riau, yaitu Indragiri Hilir, Rokan Hilir, dan Kepulauan Meranti. Tujuan utamanya adalah menguji kualitas kimia air hujan dan membandingkannya dengan standar baku mutu air bersih nasional.
Metodologi: Mengukur Air Langit dengan Standar Bumi
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif melalui pengambilan sampel air hujan di tiga lokasi pesisir berbeda. Sampel kemudian diuji di laboratorium untuk mengetahui berbagai parameter kimia yang penting, seperti kadar pH, logam berat (besi, mangan, seng), zat anorganik (nitrat, nitrit, fluorida), zat organik terlarut, dan tingkat kesadahan.
Standar acuan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492 Tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum dan Air Bersih. Dengan membandingkan data aktual dari lapangan dengan standar baku mutu tersebut, peneliti dapat menentukan apakah air hujan aman digunakan untuk keperluan domestik.
Selain itu, untuk memperkaya perspektif, penelitian ini juga membandingkan kualitas air hujan di pesisir dengan kualitas air hujan dari wilayah perkotaan seperti Malang dan Lampung, yang memiliki kepadatan penduduk dan aktivitas industri lebih tinggi.
Hasil Penelitian: Potensi Air Hujan di Tiga Titik Pesisir Riau
Di Indragiri Hilir, sampel air hujan menunjukkan tingkat pH sekitar 6,5, yang tergolong netral. Kandungan zat-zat berbahaya seperti besi, mangan, dan nitrit berada jauh di bawah batas maksimum yang diizinkan. Bahkan, tingkat kesadahan air hujan di wilayah ini hanya sekitar 2 mg/L, jauh lebih rendah dari ambang batas 500 mg/L yang ditetapkan.
Bagan Siapi-api, salah satu kota pelabuhan di Rokan Hilir, menunjukkan hasil serupa. Air hujan di wilayah ini memiliki pH 8—sedikit basa namun masih dalam rentang aman. Kandungan zat organik sedikit lebih tinggi dibanding lokasi lain, diduga akibat keberadaan sarang burung walet di sekitar tempat penampungan air hujan, yang menyebabkan masuknya kotoran ke dalam sistem.
Sementara itu, di Pulau Merbau, Kepulauan Meranti, air hujan memiliki pH sekitar 6,14. Walaupun sedikit lebih asam dibanding lokasi lain, angka ini masih berada dalam batas aman. Kandungan logam berat seperti seng dan fluorida juga tidak melebihi ambang batas. Secara umum, semua parameter kimia air hujan dari ketiga lokasi ini menunjukkan bahwa air hujan dapat digunakan untuk keperluan rumah tangga, bahkan berpotensi sebagai air minum dengan sedikit pengolahan tambahan.
Perbandingan dengan Wilayah Perkotaan: Air Langit di Kota Lebih Rentan Polusi
Penelitian ini juga menyinggung kualitas air hujan di beberapa wilayah perkotaan seperti Malang dan Lampung. Di Malang, air hujan memiliki pH sekitar 7,4 dan kandungan kesadahan sebesar 39,6 mg/L. Angka ini masih tergolong aman, namun tidak sebersih air hujan dari wilayah pesisir.
Kondisi berbeda terlihat di Lampung, terutama di daerah perumahan dan industri. Kandungan mangan di air hujan mencapai lebih dari 10 mg/L, jauh melampaui batas aman yang hanya 0,5 mg/L. Ini menandakan bahwa aktivitas manusia, terutama transportasi dan industri, memberikan kontribusi signifikan terhadap pencemaran air hujan di daerah urban.
Perbandingan ini memperkuat temuan utama: kualitas air hujan di wilayah pesisir cenderung lebih baik daripada di wilayah perkotaan yang padat aktivitas industri.
Analisis Parameter: Apa yang Menjadikan Air Hujan Aman atau Berisiko?
Pertama, derajat keasaman atau pH adalah indikator utama. Jika terlalu rendah (asam), air bisa merusak jaringan pipa dan berpotensi menyebabkan iritasi kulit. Namun, hasil dari semua lokasi pesisir menunjukkan nilai pH dalam rentang aman, antara 6 hingga 8.
Kedua, logam berat seperti besi, mangan, dan seng adalah parameter toksik yang paling dikhawatirkan. Air hujan dari lokasi pesisir menunjukkan kandungan logam berat yang sangat rendah, bahkan sering kali tidak terdeteksi.
Ketiga, zat anorganik seperti nitrat dan nitrit berbahaya bagi bayi dan ibu hamil karena dapat mengganggu sistem pernapasan. Namun, kandungan zat ini juga sangat rendah di semua sampel pesisir.
Terakhir, tingkat kesadahan air, yang menentukan kecocokan air untuk keperluan mencuci dan memasak, juga menunjukkan hasil sangat baik. Semua sampel menunjukkan air hujan sebagai air lunak, artinya aman digunakan untuk berbagai keperluan tanpa menyebabkan kerak pada alat rumah tangga.
Rekomendasi: Bagaimana Memanfaatkan Air Hujan Secara Aman dan Efektif?
Hasil penelitian ini memberikan pijakan kuat bagi rumah tangga di wilayah pesisir untuk mulai memanfaatkan air hujan sebagai sumber air bersih. Namun, ada beberapa catatan penting agar air hujan aman digunakan:
Dengan langkah-langkah ini, air hujan bisa menjadi sumber air andalan rumah tangga, terutama di daerah dengan sumber air tanah yang tidak layak atau sulit diakses.
Kritik dan Opini Tambahan terhadap Penelitian
Penelitian ini sangat kuat dari segi validitas data dan relevansi lokasi. Tiga wilayah pesisir yang dijadikan sampel mewakili kondisi pesisir secara umum di Indonesia. Metodologi yang digunakan juga sesuai dengan standar pengujian laboratorium nasional.
Namun, ada beberapa aspek yang bisa ditingkatkan:
Pertama, penelitian ini belum menyertakan uji mikrobiologis. Padahal, kontaminasi mikroorganisme seperti E. coli atau coliform adalah salah satu risiko terbesar dalam air hujan, terutama jika disimpan terlalu lama.
Kedua, studi ini tidak menggali persepsi masyarakat lokal terhadap air hujan. Padahal, tingkat penerimaan masyarakat sangat penting dalam keberhasilan pemanfaatan air hujan. Banyak orang masih menganggap air hujan sebagai "air mentah" yang tidak aman diminum, padahal faktanya bisa jadi lebih bersih daripada air sumur di wilayah mereka.
Ketiga, aspek teknis desain sistem pemanenan air hujan tidak dijelaskan secara detail. Informasi seperti kapasitas tangki ideal, bahan terbaik untuk atap dan talang, serta tata letak sistem sangat dibutuhkan agar hasil penelitian ini dapat diimplementasikan secara nyata oleh masyarakat.
Implikasi Kebijakan dan Peluang Implementasi
Berdasarkan hasil penelitian ini, pemerintah daerah di wilayah pesisir seharusnya mulai mengembangkan program air bersih berbasis air hujan. Beberapa langkah strategis yang bisa diambil meliputi:
Selain itu, LSM, sekolah, dan kelompok masyarakat seperti PKK atau karang taruna dapat berperan dalam sosialisasi dan edukasi.
Kesimpulan: Air Hujan Adalah Solusi Nyata, Bukan Alternatif Sementara
Penelitian oleh Joleha dan rekan-rekannya membuktikan bahwa air hujan yang jatuh di wilayah pesisir Indonesia memiliki kualitas kimia yang sangat baik, bahkan lebih baik dibandingkan air hujan di wilayah perkotaan. Dengan pengelolaan yang tepat, air hujan dapat digunakan sebagai sumber air bersih rumah tangga, tidak hanya untuk mencuci dan mandi, tetapi juga untuk minum setelah pengolahan sederhana.
Dalam konteks perubahan iklim, urbanisasi, dan meningkatnya beban sumber daya air, air hujan bukan lagi alternatif darurat. Ia adalah bagian dari solusi berkelanjutan untuk ketahanan air, terutama bagi masyarakat pesisir yang selama ini kekurangan layanan air bersih dari negara. Kini saatnya menengadah, bukan hanya untuk berdoa, tapi juga untuk memanen air kehidupan yang turun dari langit.
Sumber Asli Artikel:
Joleha, Aras Mulyadi, Wawan, Imam Suprayogi. Penilaian Kualitas Air Hujan di Wilayah Pesisir untuk Pasokan Air Bersih Rumah Tangga. Prosiding Konferensi Nasional Teknik Sipil ke-13 (KoNTekS-13), Banda Aceh, 2019.
Krisis Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025
Indonesia adalah negeri tropis dengan curah hujan melimpah, tetapi ironi justru terjadi saat banjir dan kekeringan datang silih berganti. Di sisi lain, minyak jelantah—produk sisa dari kegiatan dapur rumah tangga—masih banyak dibuang sembarangan ke selokan, mencemari tanah dan air. Masalahnya bukan pada ketiadaan teknologi, tapi pada rendahnya kesadaran masyarakat.
Artikel ini merefleksikan bagaimana program pengabdian kepada masyarakat di Desa Sei Mangkei, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, berhasil mengubah paradigma ibu rumah tangga tentang pentingnya mengelola air hujan dan minyak jelantah. Program ini diinisiasi oleh tim dosen dari Universitas Asahan dan Universitas Al-Azhar Medan, dengan pendekatan ceramah, pelatihan, dan praktik langsung.
Tujuan Penelitian dan Konteks Sosial
Tujuan utama kegiatan ini adalah edukasi lingkungan berbasis rumah tangga. Dua hal yang disoroti:
Mitra kegiatan adalah Ikatan Keluarga Besar Istri (IKBI) karyawan PTPN-III Sei Mangkei, terdiri dari 25 ibu rumah tangga dengan mayoritas berusia 28–37 tahun (36%) dan tingkat pendidikan terbanyak SMA (48%).
Air Hujan: Sumber Daya yang Terbuang
Masalah Umum
Meskipun air hujan melimpah di Indonesia, justru sering kali dianggap masalah karena:
Referensi dari Lestari et al. (2021) menyebutkan bahwa pemanenan air hujan (PAH) belum menjadi praktik umum padahal potensinya besar, terutama untuk kebutuhan non-potable (tidak untuk dikonsumsi langsung).
Teknologi PAH yang Diterapkan
Metode pemanenan air hujan dalam kegiatan ini menggunakan pendekatan sederhana yang bisa diaplikasikan di lingkungan rumah tangga:
➡️ Total kapasitas sistem ini mampu menampung lebih dari 10.000 liter air bersih dari satu atap rumah.
Minyak Jelantah: Limbah yang Bisa Jadi Berkah
Risiko Minyak Jelantah
Minyak goreng bekas yang digunakan berulang dapat menghasilkan senyawa karsinogenik akibat:
Megawati & Muhartono (2019) menyebutkan bahwa penggunaan minyak lebih dari empat kali dengan suhu di atas 100°C dapat memicu terbentuknya radikal bebas pemicu kanker dan gangguan jantung.
Potensi Minyak Jelantah sebagai Produk Baru
Program ini mengenalkan ibu-ibu IKBI PTPN-III pada dua aplikasi minyak jelantah:
Menurut Suryatini & Milati (2022), potensi minyak jelantah skala rumah tangga di Indonesia mencapai 1,638 juta liter biodiesel/tahun, jika dikelola dengan baik.
Implementasi Program dan Hasil Kegiatan
Rangkaian Kegiatan
Studi Kasus: Ibu-Ibu IKBI PTPN-III Sei Mangkei
Jumlah peserta: 25 orang
Rentang usia terbanyak: 28–37 tahun (36%)
Pendidikan terbanyak: SMA (48%)
Tingkat antusiasme: Tinggi (partisipatif aktif dalam pelatihan dan diskusi)
Analisis Kuantitatif: Perubahan Pengetahuan Sebelum dan Sesudah Kegiatan
Evaluasi dilakukan dengan menyebarkan kuesioner pada awal dan akhir kegiatan, dengan hasil sebagai berikut:
Indikator 1 – Pengetahuan tentang air hujan
Indikator 2 – Pengetahuan tentang sistem PAH
Indikator 3 – Pengetahuan tentang minyak jelantah
➡️ Terjadi transformasi paradigma signifikan, terutama dalam hal kesadaran dampak limbah dan pemanfaatan air.
Opini dan Analisis Kritis: Apa yang Bisa Ditingkatkan?
✔ Pendekatan Sosial Berbasis Komunitas Efektif
Kunci keberhasilan kegiatan ini bukan hanya teknologi yang sederhana, tapi juga pendekatan sosial yang tepat. Dengan menyasar kelompok ibu rumah tangga, dampak edukatifnya menyebar ke seluruh keluarga.
✔ Desain Sistem Mudah Direplikasi
Sistem PAH berbasis pipa, pasir, dan kerikil bisa dibangun dengan biaya rendah. Ini menjadikannya cocok untuk kawasan pedesaan maupun kota pinggiran.
❗ Tantangan Lanjutan
Komparasi dengan Program Serupa
➡️ Program di Sei Mangkei lebih holistik karena menggabungkan dua isu besar sekaligus: air bersih dan limbah dapur.
Rekomendasi Strategis dan Replikasi Program
Kesimpulan: Perubahan Paradigma Dimulai dari Kesadaran
Pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh Zufri Hasrudy Siregar dan timnya bukan hanya mengubah perilaku harian, tapi juga membuka mata tentang potensi besar dari sumber daya yang selama ini dianggap limbah. Air hujan bisa menggantikan air PAM dalam banyak fungsi rumah tangga. Minyak jelantah yang semula merusak, bisa menjadi sabun atau energi terbarukan.
Di tengah krisis iklim dan polusi yang semakin nyata, program seperti ini menjadi angin segar. Terbukti, perubahan tidak selalu butuh teknologi tinggi. Kadang cukup dimulai dari ember di bawah talang dan minyak di dapur yang tidak dibuang sembarangan.
Sumber Asli Artikel:
Zufri Hasrudy Siregar, Mawardi, Riana Puspita, Muhammad Fazri, Refiza, Muhammad Irwansyah, dan Simon Petrus Simorangkir. Pemanfaatan Air Hujan dan Minyak Jelantah sebagai Kepedulian Lingkungan di Ikatan Keluarga Besar Istri (IKBI) PTPN-III Desa Sei Mangkei. Vol. 3, No. 2, Juli 2023. DOI: 10.54123/deputi.v3i2.276.
Krisis Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025
Perkembangan kawasan perkotaan sering kali tidak diiringi oleh perencanaan konservasi air yang memadai. Akibatnya, kota-kota besar menghadapi dua paradoks sekaligus: banjir saat musim hujan dan kelangkaan air bersih saat musim kemarau. Gedung-gedung pemerintah pun tak lepas dari masalah ini, termasuk Gedung Dinas Kesehatan (Dinkes) Pemalang yang masih mengandalkan air PAM untuk menyiram taman dan toilet.
Dalam konteks itulah, penelitian oleh Felicia Isfandyari dan Sri Amini Yuni Astuti menjadi sangat relevan. Studi ini meneliti apakah air hujan yang selama ini terbuang bisa dijadikan sumber air alternatif yang andal untuk memenuhi kebutuhan sanitasi dan pertamanan di gedung Dinkes Pemalang.
Tujuan Penelitian: Mengoptimalkan Air Hujan untuk Kebutuhan Non-Konsumsi
Penelitian ini memiliki tiga sasaran utama:
Studi Kasus: Gedung Dinas Kesehatan Pemalang
Karakteristik Lokasi
Potensi yang Belum Dimanfaatkan
➡️ Dari data ini terlihat bahwa gedung memiliki luas atap dan frekuensi hujan yang ideal untuk pemanenan air hujan.
Metodologi: Dari Pengukuran Lapangan ke Simulasi Neraca Air
Studi ini menggunakan data primer (pengukuran lapangan) dan data sekunder (curah hujan dari Stasiun Banjardawa, ±5,5 km dari lokasi studi). Analisis dilakukan menggunakan:
Hasil Utama: Volume, Kebutuhan, dan Desain Tangki
1. Kebutuhan Air Toilet dan Taman
Mengacu pada data jumlah pegawai (131 orang) dan asumsi 10% tamu tambahan, serta kebutuhan air per hari:
➡️ Kebutuhan maksimum: 156,054 m³/bulan atau ±5.202 liter/hari
2. Ketersediaan Air Hujan
Dengan luas atap 2.220 m², koefisien runoff 0,95, dan hujan andalan bulanan tertinggi 221 mm (probabilitas 80%), maka:
➡️ Artinya, air hujan mampu mencukupi kebutuhan air toilet dan taman hingga 3 kali lipat pada bulan-bulan basah.
3. Volume dan Desain Tangki Penampungan
V = (177 × 153 × 20)/1000 + (800 × 153 × 2)/1000 = 786,42 m³
(dibulatkan ke 800 m³)
Analisis Neraca Air Bulanan
Peneliti menyusun neraca air selama satu tahun, membandingkan input (curah hujan) dengan output (kebutuhan toilet dan taman). Hasilnya:
Kelebihan Sistem Pemanenan Air Hujan (PAH)
Berdasarkan hasil penelitian dan tinjauan pustaka, PAH di Gedung Dinkes Pemalang berpotensi memberikan manfaat besar:
1. Efisiensi Biaya Operasional
Dengan menggunakan air hujan untuk kebutuhan toilet dan taman, pengeluaran air dari PAM bisa ditekan secara signifikan.
2. Pencegahan Genangan dan Banjir Lokal
Tangki bawah tanah tidak hanya menyimpan air, tapi juga mengurangi limpasan ke jalan yang selama ini menyebabkan genangan saat hujan deras.
3. Konservasi Air Tanah
Dengan memanfaatkan air hujan, eksploitasi air tanah dapat dikurangi, memperpanjang umur sumur-sumur dangkal di area sekitarnya.
Opini Tambahan: Apa yang Bisa Ditingkatkan?
Meskipun penelitian ini sangat aplikatif dan relevan, ada beberapa peluang pengembangan:
Studi Komparatif: Bagaimana Penelitian Ini Dibandingkan?
➡️ Artinya, studi ini unggul dalam memberikan hasil praktis yang bisa langsung diadopsi.
Rekomendasi Kebijakan dan Praktik
Bagi pemerintah daerah dan instansi teknis, hasil riset ini bisa dijadikan acuan untuk:
Kesimpulan: Langit Sebagai Sumber Daya Terabaikan
Penelitian oleh Isfandyari dan Astuti membuktikan bahwa air hujan bukan sekadar air yang jatuh dari langit, melainkan potensi besar yang selama ini diabaikan. Dengan desain tangki 800 m³ dan neraca air yang matang, gedung Dinas Kesehatan Pemalang bisa menjadi role model konservasi air skala mikro di sektor publik.
Ketika sebagian kota berjuang membeli air tangki atau memperdalam sumur bor, PAH menawarkan solusi cerdas, murah, dan berkelanjutan. Dan dalam era krisis air global, ini bukan hanya inovasi teknis—melainkan juga revolusi mental terhadap cara kita memperlakukan air.
Sumber Asli Artikel:
Isfandyari, F., & Astuti, S. A. Y. (2024). Analisis Pemanfaatan Air Hujan untuk Kebutuhan Pertamanan dan Toilet Gedung Dinas Kesehatan Pemalang. Universitas Islam Indonesia.
Krisis Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025
Air bersih menjadi kebutuhan pokok bagi semua manusia, tetapi akses terhadap air minum yang layak masih menjadi tantangan besar di daerah pesisir. Kota Bandar Lampung—seperti banyak kota pesisir lainnya—menghadapi krisis air bersih akibat intrusi air laut, pencemaran industri, dan minimnya jaringan air perpipaan.
Menariknya, hujan yang turun nyaris sepanjang tahun di kota ini belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal, air hujan adalah sumber air alami yang melimpah dan gratis. Penelitian oleh Rahmayanti & Soewondo (2015) mencoba menjawab pertanyaan penting: Apakah air hujan bisa dijadikan sumber air minum yang layak di kawasan pesisir?
Tujuan dan Fokus Penelitian
Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas dan kuantitas air hujan yang dipanen dari atap rumah di dua kelurahan pesisir Kota Bandar Lampung: Karang Maritim dan Tanjung Raya. Penelitian ini juga membandingkan tiga jenis bahan atap rumah (genting tanah liat, asbes, dan seng) serta pengaruh waktu panen terhadap kualitas air.
Metodologi yang digunakan mencakup:
Hasil Penelitian: Fakta Lapangan yang Mengejutkan
1. Kualitas Air Hujan Dipengaruhi Waktu Panen dan Jenis Atap
Penelitian menemukan bahwa kualitas air hujan sangat bergantung pada:
Sebagai contoh:
Artinya, atap seng dan asbes cenderung melepas kontaminan logam berat ke dalam air panen.
2. Lokasi Perumahan vs. Lokasi Industri: Siapa Lebih Bersih?
Fakta menarik: kualitas air hujan dari lokasi industri ternyata lebih baik dibanding dari kawasan perumahan.
Mengapa bisa begitu?
Lokasi industri berada lebih dekat dengan laut dan berperan sebagai sumber penguapan. Uap terkontaminasi dari laut kemudian terbawa angin ke daerah perumahan yang berada lebih tinggi. Hasilnya, air hujan yang jatuh di perumahan mengandung konsentrasi logam berat lebih tinggi.
Sebagai contoh:
3. Tingkat Keandalan Air Hujan sebagai Sumber Minum
Melalui simulasi tangki 1 m³ dan data curah hujan 3 tahun (2007–2009), penelitian menemukan bahwa air hujan cukup reliable untuk menjadi sumber air minum, dengan catatan jumlah konsumsi air dan anggota keluarga diperhitungkan.
Keandalan (reliability) sistem dihitung sebagai persentase hari di mana tangki tidak kosong, dengan hasil:
Artinya, untuk kebutuhan dasar seperti air minum, sistem PAH memiliki tingkat keandalan yang sangat tinggi.
Studi Kasus: Suara Warga Karang Maritim dan Tanjung Raya
Penelitian juga menggali persepsi masyarakat terhadap penggunaan air hujan sebagai air minum melalui survey sosial ekonomi pada 99 responden.
Hasilnya cukup mengejutkan:
Alasan penolakan:
➡️ Ini menunjukkan bahwa edukasi publik menjadi kunci dalam implementasi teknologi ramah lingkungan seperti PAH.
Opini dan Analisis Tambahan
1. Air Hujan = Solusi Masa Depan Daerah Pesisir
Dalam konteks urbanisasi dan perubahan iklim, pemanenan air hujan bukan lagi opsi alternatif, tapi kebutuhan. Banyak kota pesisir menghadapi:
Dengan keandalan >90% untuk kebutuhan minum dasar, PAH bisa mengurangi ketergantungan pada air berbayar dan mendukung ketahanan air lokal.
2. Perbandingan dengan Studi Internasional
Beberapa studi global yang relevan:
Dengan demikian, temuan dari Bandar Lampung memperkuat konsensus global bahwa PAH adalah teknologi tepat guna untuk wilayah tropis dan pesisir.
3. Isu yang Harus Diatasi untuk Implementasi Lebih Luas
Tanpa kebijakan pendukung, potensi PAH akan tetap tertahan di tingkat eksperimen akademik.
Rekomendasi untuk Pemerintah dan Praktisi
Kesimpulan: Waktunya Mengoptimalkan Air dari Langit
Penelitian Rahmayanti & Soewondo membuktikan bahwa air hujan adalah sumber air minum yang layak dan andal, bahkan di wilayah pesisir yang padat dan dekat dengan industri. Dengan pemilihan atap yang tepat (genting), waktu panen yang benar (hindari hujan kedua), serta pengelolaan sistem penyimpanan yang sesuai, air hujan dapat memenuhi 91,97% kebutuhan minum selama musim hujan.
Namun, potensi teknis ini tidak akan berarti jika masyarakat tetap skeptis dan pemerintah tidak mendukung. Saatnya mengubah paradigma—dari hanya mengandalkan air kemasan dan sumur bor menuju ketahanan air berbasis langit.
Sumber Asli Artikel:
Rahmayanti, A. E., & Soewondo, P. (2015). Penyediaan Air Minum di Daerah Pesisir Kota Bandar Lampung Melalui Rainwater Harvesting. Jurnal Teknik Lingkungan, Volume 21 Nomor 2, Oktober 2015, Halaman 115–126.