Ketersediaan air bersih menjadi tantangan utama di kota-kota pesisir Indonesia, termasuk Kota Pekalongan. Pesatnya pertumbuhan penduduk, urbanisasi, dan ekspansi industri serta pariwisata meningkatkan kebutuhan air bersih secara signifikan. Namun, berkurangnya sumber air permukaan dan pencemaran air membuat masyarakat beralih ke air tanah sebagai sumber utama. Fenomena ini menimbulkan dilema: air tanah memang vital, tetapi eksploitasi berlebihan memicu penurunan muka tanah, intrusi air laut, dan banjir rob yang semakin parah15.
Penelitian oleh Komalawati, Anggi Sahru Romdon, dan Yayat Hidayat (2024) dalam Jurnal Litbang Kota Pekalongan menyoroti tingkat pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap pemanfaatan dan konservasi air tanah. Artikel ini tidak hanya membedah hasil riset tersebut, tetapi juga mengaitkannya dengan tren konservasi air tanah, tantangan kebijakan, dan solusi inovatif berbasis studi kasus nyata di Pekalongan.
Konteks Kota Pekalongan: Tekanan Urbanisasi dan Industri
Kota Pekalongan adalah contoh nyata kota pesisir yang menghadapi tekanan luar biasa terhadap sumber daya air tanah. Dengan pertumbuhan penduduk mencapai 0,46% per tahun (309.742 jiwa pada 2022), serta pesatnya perkembangan industri, hotel, dan perdagangan, kebutuhan air bersih melonjak drastis. Data BPS 2023 menunjukkan, 54,76% penduduk dan pelaku usaha di Pekalongan mengandalkan air tanah, sementara PDAM baru melayani sekitar 40% penduduk13.
Sayangnya, kualitas air tanah dangkal menurun akibat pencemaran limbah domestik dan industri, khususnya limbah batik. Pengambilan air tanah melalui sumur bor, terutama lewat program PAMSIMAS yang telah berjalan 15 tahun, menyebabkan penurunan muka air tanah hingga -24,31 cm sampai -22,83 cm per tahun di beberapa kecamatan rawan banjir dan rob15. Kombinasi land subsidence dan kenaikan muka laut memperparah risiko banjir, dengan kerugian ekonomi yang bisa mencapai triliunan rupiah1.
Metodologi Penelitian: Survei dan Observasi di Zona Kritis
Penelitian dilakukan pada Juli–November 2023 di lima kelurahan zona kritis Pekalongan Barat dan Pekalongan Utara: Pasirkratonkramat, Padukuhan Kraton, Bandengan, Kandang Panjang, dan Panjang Baru. Survei melibatkan 200 responden rumah tangga pengguna air tanah, dipilih secara acak dari total 2.188 rumah tangga pengguna PAMSIMAS15.
Data dikumpulkan melalui kuesioner, wawancara mendalam dengan sembilan informan kunci (dinas, PDAM, pengelola PAMSIMAS, tokoh masyarakat), serta observasi lapangan. Analisis dilakukan secara deskriptif kuantitatif dan diuji hubungan antara pengetahuan dan persepsi menggunakan chi-square.
Profil Sosial-Ekonomi Responden: Potret Warga Pekalongan
Karakteristik responden sangat berpengaruh terhadap pengetahuan dan persepsi mereka. Mayoritas berusia produktif (30–57 tahun, 75%), berpendidikan rendah (57% hanya tamat SD/SMP), dan berjenis kelamin perempuan (80,5%). Sebagian besar adalah ibu rumah tangga (49%), dengan pendapatan di bawah Rp2 juta/bulan (63,5%) dan tanggungan keluarga 3–4 orang (43,5%)15.
Kondisi ini mencerminkan keterbatasan daya beli dan kecenderungan memilih sumber air yang ekonomis, seperti PAMSIMAS daripada PDAM. Biaya PAMSIMAS hanya Rp20.000–Rp70.000 per bulan, sementara masyarakat masih enggan beralih ke PDAM kecuali biaya setara atau sedikit lebih tinggi.
Pengetahuan Masyarakat: Tinggi, Tapi Belum Merata
Hasil Survei Pengetahuan
- Sangat Tahu: 24%
- Tahu: 37%
- Cukup Tahu: 22%
- Kurang Tahu: 11,5%
- Tidak Tahu: 5,5%
Mayoritas responden (61%) memiliki pengetahuan tinggi tentang pemanfaatan dan konservasi air tanah. Namun, masih ada 17% yang pengetahuannya rendah, sehingga edukasi intensif tetap diperlukan15.
Isi Pengetahuan
- 52,5% responden tahu dampak negatif eksploitasi air tanah, seperti penurunan muka tanah dan banjir rob.
- 3,85 (skor Likert): Air tanah penting untuk keseimbangan ekosistem.
- 3,53: Sektor industri dan pertanian berdampak pada kualitas air tanah.
- 3,37: Cukup tahu dampak negatif jangka panjang eksploitasi air tanah.
Masyarakat sadar pentingnya air tanah untuk kehidupan, namun belum sepenuhnya memahami bahaya jangka panjang eksploitasi berlebihan. Mereka tahu limbah industri dan pertanian mencemari air tanah, tetapi merasa tidak berdaya dan berharap pemerintah lebih aktif mengedukasi dan mengatur pelaku usaha.
Persepsi Masyarakat: Positif, Namun Minim Praktik Konservasi
Hasil Persepsi
- Sangat Setuju: 31%
- Setuju: 39%
- Netral: 17,5%
- Tidak Setuju: 8%
- Sangat Tidak Setuju: 4,5%
Sebagian besar masyarakat setuju pentingnya konservasi air tanah dan mendukung regulasi pengelolaan sumber daya air. Namun, 77% responden mengaku belum pernah melakukan upaya konservasi di lingkungan mereka, seperti pembuatan sumur resapan, biopori, atau pemanfaatan air hujan15.
Faktor Penghambat
- 60,5% responden kesulitan mengakses informasi tentang konservasi air tanah.
- Praktik pengelolaan limbah rumah tangga dan industri masih minim karena belum tahu cara pengelolaan yang benar.
- Pengetahuan tentang regulasi dan pengawasan pengambilan air tanah hanya pada kategori “cukup tahu”.
Studi Kasus: Dampak Eksploitasi Air Tanah di Pekalongan
Kelurahan Panjang Baru menjadi contoh nyata dampak eksploitasi air tanah. Warga di sini melaporkan penurunan permukaan tanah hingga 1,5–1,75 meter dalam beberapa tahun terakhir. Untuk mengurangi risiko banjir rob, mereka terpaksa melakukan pengurugan jalan dan rumah. Namun, solusi ini hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan akar masalah15.
Selain itu, 15 kawasan di Pekalongan Barat dan Utara telah dikategorikan rawan banjir dan rob, dengan penurunan muka tanah tertinggi mencapai -24,31 cm/tahun. Kondisi ini diperparah oleh laju pembangunan yang mengurangi area resapan air hingga 54,08% dari total wilayah kota, membuat infiltrasi air hujan semakin minim dan memperbesar potensi banjir tahunan36.
Konservasi Air Tanah: Tantangan dan Solusi
Kelemahan Praktik Konservasi
Walaupun masyarakat tahu pentingnya konservasi, sebagian besar belum menerapkan langkah-langkah konkret seperti:
- Penanaman pohon
- Pembuatan sumur resapan dan biopori
- Pemanfaatan air hujan
- Purifikasi air limbah sebelum dibuang
Alasannya adalah ketidaktahuan teknis, minimnya sosialisasi, dan rendahnya insentif atau kemudahan dari pemerintah.
Solusi dan Rekomendasi
- Sosialisasi dan Edukasi: Intensifikasi kampanye konservasi air tanah, baik oleh pemerintah maupun swasta, dengan pendekatan yang mudah dipahami masyarakat.
- Penguatan Regulasi: Penegakan aturan pembatasan pemanfaatan air tanah, terutama di zona kritis dan kawasan industri.
- Inovasi Teknologi: Pengembangan dan subsidi sumur resapan air hujan, seperti yang telah dihitung kebutuhan totalnya mencapai 57.718 unit di wilayah rawan banjir Pekalongan3.
- Kolaborasi Multi-Pihak: Libatkan masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah dalam pengelolaan air tanah dan konservasi lingkungan.
- Pemanfaatan PDAM: Dorong masyarakat beralih ke air bersih terkelola, asalkan biaya tetap terjangkau dan kualitas air dijaga.
Perbandingan dengan Studi Lain dan Tren Nasional
Kondisi Pekalongan serupa dengan kota pesisir lain di Indonesia yang mengalami tekanan urbanisasi, penurunan muka tanah, dan banjir rob akibat eksploitasi air tanah. Studi di Semarang dan Jakarta menunjukkan bahwa konservasi air tanah dan pembangunan sumur resapan efektif mengurangi risiko banjir dan intrusi air laut, meski membutuhkan investasi awal dan perubahan perilaku masyarakat.
Tren nasional saat ini juga mendorong penggunaan air hujan sebagai sumber air alternatif, terutama di kawasan rawan krisis air bersih. Penggunaan teknologi sistem informasi geografis (SIG) untuk pemetaan area resapan air menjadi praktik terbaik dalam perencanaan konservasi perkotaan36.
Opini dan Kritik: Menuju Kebijakan Air Tanah yang Berkelanjutan
Penelitian ini memberikan gambaran komprehensif tentang kondisi nyata di lapangan: pengetahuan dan persepsi masyarakat Pekalongan cukup baik, namun praktik konservasi masih minim. Pemerintah sudah melakukan berbagai upaya, seperti pembangunan infrastruktur pengendali banjir, reklamasi pantai, dan sosialisasi PDAM, tetapi hasilnya belum optimal karena kurangnya edukasi teknis dan insentif nyata bagi masyarakat.
Kritik utama adalah lemahnya implementasi kebijakan dan kurangnya monitoring serta evaluasi program konservasi. Pemerintah perlu meningkatkan kolaborasi dengan komunitas lokal, memperkuat regulasi, dan menyediakan insentif untuk konservasi air tanah. Selain itu, edukasi berbasis aksi nyata dan pelatihan teknis harus menjadi prioritas agar masyarakat tidak hanya tahu, tetapi juga mau dan mampu melakukan konservasi.
Kesimpulan: Dari Pengetahuan Menuju Aksi Nyata
Pengetahuan dan persepsi masyarakat Pekalongan terhadap pemanfaatan dan konservasi air tanah sudah relatif baik, namun masih terdapat gap besar antara pengetahuan dan aksi nyata. Urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi yang pesat menuntut solusi inovatif dan kolaboratif untuk menjaga keberlanjutan air tanah.
Masa depan Pekalongan dan kota-kota pesisir lain di Indonesia sangat bergantung pada keberhasilan konservasi air tanah melalui edukasi, teknologi, dan kebijakan yang berpihak pada lingkungan dan masyarakat. Dengan sinergi semua pihak, konservasi air tanah bukan sekadar wacana, melainkan aksi kolektif demi keberlanjutan generasi mendatang.
Sumber Artikel (Bahasa Asli):
Komalawati, Anggi Sahru Romdon, Yayat Hidayat. "Pengetahuan dan Persepsi Masyarakat terhadap Pemanfaatan dan Konservasi Air Tanah di Kota Pekalongan." Jurnal Litbang Kota Pekalongan, Vol. 22, No. 1, Juli 2024, hlm. 14–27.