Air bersih adalah kebutuhan esensial bagi kehidupan manusia. Namun, di banyak wilayah Indonesia, terutama di kawasan muara sungai seperti Distrik Inanwatan, Papua Barat, kualitas air tanah dan air permukaan seringkali tidak memenuhi standar kesehatan. Intrusi air payau, pencemaran limbah, dan keterbatasan sumber air bersih membuat masyarakat setempat sangat bergantung pada air hujan, terutama saat musim kemarau. Permasalahan ini mendorong lahirnya inovasi pemanfaatan air hujan sebagai sumber air bersih alternatif, dengan fokus pada pengembangan sistem filtrasi sederhana yang efektif, murah, dan mudah diaplikasikan oleh masyarakat.
Latar Belakang Penelitian: Mengapa Air Hujan dan Filterisasi?
Distrik Inanwatan, salah satu distrik tertua di Kabupaten Sorong Selatan, berada di wilayah IMEKKO (Inanwatan, Matemani, Kais, Kokoda) dan memiliki luas 960,54 km². Sebagai kawasan muara sungai, sumber air tanah di sini sangat rentan terhadap intrusi air payau. Kondisi ini menyebabkan air sumur masyarakat tidak layak konsumsi, terutama untuk kebutuhan minum dan sanitasi. Di sisi lain, air hujan yang melimpah saat musim penghujan menjadi potensi besar yang belum dimanfaatkan optimal.
Sistem Pemanenan Air Hujan (SPAH) menjadi solusi yang relevan. SPAH adalah metode pengumpulan dan penampungan air hujan dari atap rumah, yang kemudian diolah melalui proses filtrasi agar memenuhi standar baku mutu kesehatan lingkungan sesuai Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 32 Tahun 2017. Namun, air hujan mentah belum tentu langsung layak konsumsi karena masih mengandung kontaminan fisik, kimia, dan biologis.
Desain Penelitian dan Studi Kasus: Model Filter Air Hujan
Tahapan Penelitian
Penelitian yang dilakukan oleh Hari Dwi Wahyudi dan Syarifah Aini dari Universitas Widya Dharma ini terdiri dari beberapa tahap utama:
- Pengambilan dan Pengujian Sampel Air Hujan
Sampel diambil dari kawasan Bandar Udara Inanwatan dan diuji kualitasnya berdasarkan parameter fisika, kimia, dan biologi. - Analisis Hasil Uji
Parameter yang melebihi ambang batas menjadi fokus utama perancangan filter. - Perancangan Filter Air Hujan
Desain filter didasarkan pada hasil uji laboratorium, dengan mempertimbangkan efektivitas media filter untuk menurunkan kontaminan. - Uji Kualitas Air Hasil Filtrasi
Air hasil filtrasi diuji ulang untuk memastikan sudah memenuhi baku mutu air bersih.
Komposisi dan Desain Filter
Filter air hujan yang dirancang menggunakan pipa PVC diameter 4 inchi dan panjang 80 cm, berisi media filter berlapis:
- Karbon aktif (25 cm): berfungsi menyerap bau, menjernihkan air, dan meningkatkan pH.
- Serbuk keramik (25 cm): menurunkan kadar logam berat (terutama Kadmium) dan zat organik.
- Pasir vulkanik (15 cm): menyaring partikel halus dan menurunkan kekeruhan.
- Kerikil (10 cm): menyaring partikel besar dan menstabilkan aliran air.
Desain ini terinspirasi dari teknologi Saringan Pasir Lambat (SPL) yang sederhana, murah, dan mudah dirawat oleh masyarakat pedesaan.
Analisis Data: Angka-Angka Kunci dari Studi
Kualitas Air Hujan Sebelum Filtrasi
- Parameter Fisika
- Kekeruhan: 8 NTU (batas maksimal 25 NTU, lolos)
- Warna: 78 TCU (batas maksimal 50 TCU, tidak lolos)
- TDS: 23 mg/L (batas maksimal 1000 mg/L, lolos)
- Suhu: ±3°C (sesuai standar)
- Rasa & Bau: tidak berasa, tidak berbau (sesuai standar)
- Parameter Kimia
- pH: 4,67 (standar 6,5–8,5, tidak lolos)
- Kadmium: 0,055 mg/L (standar 0,005 mg/L, tidak lolos)
- Zat Organik (KMnO4): 11,10 mg/L (standar 10 mg/L, tidak lolos)
- Besi (Fe): 0,116 mg/L (standar 1 mg/L, lolos)
- Mangan (Mn): 0,192 mg/L (standar 0,5 mg/L, lolos)
- Parameter lain (Fluorida, Kesadahan, Nitrit, Cyanida, Sulfat): semua di bawah ambang batas
- Parameter Biologi
- Total Coliform: <3/100 mL (batas maksimal 50/100 mL, sangat lolos)
Kualitas Air Hasil Filtrasi
Setelah melewati filter, terjadi perbaikan signifikan pada parameter yang sebelumnya bermasalah:
- Warna: turun dari 78 TCU menjadi 36 TCU (sudah di bawah ambang batas 50 TCU)
- pH: naik dari 4,67 menjadi 6,88 (masuk rentang 6,5–8,5)
- Kadmium: turun dari 0,055 mg/L menjadi 0,0045 mg/L (di bawah batas 0,005 mg/L)
- Zat Organik (KMnO4): turun dari 11,10 mg/L menjadi 6,94 mg/L (di bawah batas 10 mg/L)
Parameter lain tetap lolos uji, sehingga air hasil filtrasi memenuhi standar Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 32 Tahun 2017 untuk keperluan higienis dan sanitasi.
Pembahasan: Efektivitas Filter dan Implikasi Kesehatan
Mengatasi Warna dan Keasaman
Parameter warna air hujan yang tinggi (78 TCU) disebabkan oleh kandungan bahan organik dan anorganik, seperti humus, oksida besi, dan mangan. Setelah filtrasi, warna turun menjadi 36 TCU. Karbon aktif dan pasir vulkanik berperan penting dalam proses ini, menyerap dan menyaring partikel penyebab warna.
Keasaman air hujan (pH 4,67) umum terjadi akibat pelarutan gas-gas atmosfer (CO2, NO2, SO2). Dengan penambahan karbon aktif, pH naik ke kisaran netral (6,88), sehingga air lebih aman untuk keperluan domestik.
Reduksi Kadmium dan Zat Organik
Kadmium adalah logam berat berbahaya yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal, hati, dan tulang jika terakumulasi dalam tubuh. Kandungan awal kadmium pada air hujan di Inanwatan (0,055 mg/L) jauh di atas standar. Setelah difiltrasi dengan serbuk keramik, kadarnya turun drastis ke 0,0045 mg/L.
Zat organik (diukur dengan KMnO4) juga berhasil direduksi dari 11,10 mg/L menjadi 6,94 mg/L. Kandungan zat organik yang tinggi dapat memicu pertumbuhan mikroorganisme patogen dan mengganggu kesehatan.
Keamanan Biologis
Hasil uji biologis menunjukkan total coliform <3/100 mL, jauh di bawah ambang batas 50/100 mL. Artinya, air hujan di kawasan ini relatif aman dari kontaminasi bakteri patogen, meskipun tetap disarankan penggunaan filter tambahan atau desinfeksi untuk konsumsi langsung.
Studi Kasus: Penerapan di Distrik Inanwatan
Distrik Inanwatan menghadapi permasalahan air bersih akut akibat intrusi air payau pada sumur-sumur warga. Selama musim kemarau, masyarakat sangat bergantung pada air hujan yang ditampung dari atap rumah. Namun, tanpa pengolahan, air hujan belum tentu layak digunakan untuk minum atau kebutuhan higienis.
Dengan penerapan filter sederhana berbahan lokal (arang tempurung kelapa, keramik, pasir vulkanik, dan kerikil), masyarakat dapat mengolah air hujan menjadi air bersih yang memenuhi standar kesehatan. Biaya pembuatan filter relatif murah, perawatan mudah, dan teknologi bisa diterapkan secara mandiri oleh masyarakat.
Perbandingan dengan Studi Lain dan Tren Nasional
Teknologi saringan pasir lambat (SPL) dan filter multi-media telah banyak diterapkan di berbagai daerah Indonesia, terutama di kawasan pedesaan dan pesisir. Studi di Yogyakarta dan Jakarta menunjukkan SPL efektif menurunkan kadar besi, mangan, dan kekeruhan air sumur serta air hujan. Penambahan karbon aktif dan keramik sebagai media filter semakin meningkatkan efektivitas penjernihan dan penurunan logam berat.
Tren nasional juga mengarah pada pemanfaatan air hujan sebagai sumber air alternatif, didorong oleh perubahan iklim, urbanisasi, dan keterbatasan sumber air tanah. Pemerintah dan LSM mendorong pembangunan SPAH di sekolah, rumah ibadah, dan rumah tangga sebagai bagian dari strategi ketahanan air.
Kritik, Opini, dan Saran Pengembangan
Kritik
- Keterbatasan Uji Lapangan: Penelitian ini masih terbatas pada satu lokasi dan satu musim. Uji lapangan di berbagai lokasi dan musim berbeda diperlukan untuk memastikan konsistensi hasil.
- Parameter Biologi Terbatas: Uji biologis hanya pada total coliform. Untuk konsumsi langsung, perlu uji E. coli dan desinfeksi tambahan.
- Sosialisasi dan Adopsi: Tingkat adopsi teknologi filter oleh masyarakat belum dievaluasi secara luas. Diperlukan edukasi dan pelatihan berkelanjutan.
Opini dan Saran
- Pemerintah daerah sebaiknya mengadopsi model filter ini sebagai solusi air bersih di kawasan pesisir dan pedesaan, terutama saat musim kemarau.
- Perlu integrasi dengan program sanitasi dan pengelolaan limbah agar air hujan yang ditampung tidak terkontaminasi.
- Inovasi filter dapat dikembangkan dengan menambahkan lampu UV atau klorinasi sederhana untuk menjamin keamanan mikrobiologis.
- Pemerintah dan LSM dapat memberikan subsidi atau pelatihan pembuatan filter berbasis bahan lokal agar teknologi ini semakin terjangkau dan meluas.
Relevansi dengan Tren Industri dan Lingkungan
Pemanfaatan air hujan dengan filter sederhana sangat relevan dengan tren green technology dan sustainable living. Industri properti mulai mengadopsi SPAH sebagai selling point hunian ramah lingkungan. Di sisi lain, perubahan iklim dan penurunan kualitas air tanah mendorong inovasi pengelolaan air berbasis komunitas.
Teknologi filter lokal berbasis bahan alami (arang, keramik, pasir vulkanik) juga mendukung pengembangan industri kecil dan pemberdayaan masyarakat. Dengan biaya rendah dan perawatan mudah, solusi ini sangat cocok untuk daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) di Indonesia.
Kesimpulan: Filter Air Hujan, Solusi Sederhana untuk Tantangan Kompleks
Penelitian ini membuktikan bahwa air hujan, jika diolah dengan filter sederhana berbahan lokal, dapat menjadi sumber air bersih yang aman dan terjangkau di kawasan pesisir seperti Distrik Inanwatan. Model filter yang dirancang efektif menurunkan parameter warna, keasaman, kadmium, dan zat organik hingga sesuai standar kesehatan nasional. Teknologi ini layak diadopsi secara luas, baik oleh pemerintah, LSM, maupun masyarakat, sebagai bagian dari strategi ketahanan air nasional.
Dengan edukasi, inovasi, dan kolaborasi lintas sektor, pemanfaatan air hujan dapat menjadi solusi berkelanjutan untuk krisis air bersih di Indonesia, sekaligus mendukung target SDGs dan ketahanan lingkungan.
Sumber Artikel (Bahasa Asli):
Hari Dwi Wahyudi, Syarifah Aini. "Pemanfaatan Air Hujan Sebagai Sumber Air Bersih di Wilayah Distrik Inanwatan – Papua Barat."