Sistem dan Teknik Jalan Raya
Dipublikasikan oleh Hansel pada 13 Oktober 2025
Suara dentuman ban mobil yang menghantam lubang tak terlihat, guncangan yang terasa hingga ke tulang, dan kekhawatiran seketika akan kerusakan suspensi atau ban. Ini adalah pengalaman universal bagi jutaan pengendara, sebuah "pajak" tak resmi yang dibayar karena kondisi infrastruktur yang terasa semakin rapuh. Namun, di balik ketidaknyamanan sesaat ini, tersembunyi sebuah masalah sistemik yang jauh lebih dalam, lebih mahal, dan lebih berbahaya.
Sebuah penelitian dari para insinyur di Universiti Tun Hussein Onn Malaysia memutuskan untuk membongkar masalah ini hingga ke akarnya, dengan fokus pada salah satu urat nadi transportasi paling vital di Semenanjung Malaysia: Jalan Tol PLUS.1 Apa yang mereka temukan bukanlah sekadar aspal yang retak, melainkan sebuah sistem yang retak—sistem yang masih bergantung pada tumpukan kertas di era digital.
Gema Keluhan di Jalan Raya: Biaya Tak Terlihat dari Selembar Kertas
Jalan raya yang terawat dengan baik adalah fondasi kemajuan ekonomi dan sosial sebuah negara. Sebaliknya, penelitian ini menegaskan sebuah kebenaran yang suram: "jaringan jalan yang tidak terawat dengan baik akan merusak mobilitas, meningkatkan angka kecelakaan, mengintensifkan isolasi, kemiskinan, dan biaya operasional kendaraan".1 Di Malaysia, dampak ini sangat nyata dan seringkali tragis. Studi tersebut menyoroti bahwa "kerusakan perkerasan jalan diketahui menjadi salah satu kontributor utama kecelakaan kendaraan bermotor yang fatal".1 Setiap retakan dan lubang bukan lagi sekadar gangguan, melainkan potensi ancaman keselamatan yang serius.
Lalu, di mana letak masalahnya? Para peneliti menemukan bahwa musuh sebenarnya bukanlah kurangnya niat untuk memperbaiki jalan, melainkan metode yang digunakan. Investigasi mereka menyimpulkan bahwa "pekerjaan perawatan jalan tidak dirancang secara memadai dan efektif karena memerlukan lebih banyak waktu dan melibatkan banyak sekali dokumen".1 Ini adalah gambaran pertarungan antara masalah abad ke-21—kerusakan jalan yang dinamis dan tak terduga—dengan solusi dari abad ke-20: formulir kertas, laporan manual, dan alur birokrasi yang lambat.
Inefisiensi yang disebabkan oleh tumpukan kertas ini bukan hanya masalah administrasi, tetapi juga menjadi katalisator risiko finansial dan keselamatan. Keterlambatan yang disebabkan oleh alur kerja manual secara langsung menciptakan jendela waktu di mana kerusakan kecil dapat berkembang menjadi kegagalan struktural total. Paper tersebut menyatakan bahwa "menunda atau menangguhkan perawatan jalan menghasilkan biaya langsung dan tidak langsung yang tinggi".1 Hubungannya sangat jelas: proses berbasis kertas adalah penyebab utama penundaan tersebut. Setiap lembar formulir adalah titik potensial untuk keterlambatan, kehilangan data, atau kesalahan interpretasi. Akibatnya, kerusakan yang seharusnya bisa diperbaiki dengan biaya "sederhana" jika ditangani dengan cepat, dibiarkan memburuk karena alur kerja yang lamban, hingga akhirnya memerlukan "rekonstruksi penuh dengan biaya yang sangat tinggi".1 Ini adalah pemborosan anggaran negara dan peningkatan risiko bagi publik yang disebabkan langsung oleh metode kerja yang usang.
Dari Laboratorium ke Jalan Tol: Misi Mencari Solusi Cerdas
Di tengah frustrasi ini, tim peneliti yang dipimpin oleh Nurul Husna Mohd Jamail tidak hanya duduk di menara gading akademis. Mereka turun ke lapangan sebagai pemecah masalah dengan misi yang jelas: "mengenali jenis-jenis kerusakan, masalah, dan kekurangan dalam praktik perawatan jalan saat ini dan mengembangkan program perawatan jalan tol terkomputerisasi".1
Para peneliti dengan cepat mengidentifikasi adanya kesenjangan digital yang signifikan. Meskipun aplikasi jalan tol seperti aplikasi resmi PLUS dan LLM Traffic sudah ada, fokusnya hampir secara eksklusif pada "informasi lalu lintas," hotline darurat, dan tarif tol.1 Tidak ada satu pun platform yang didedikasikan untuk tulang punggung operasional jalan tol itu sendiri: perawatannya. Kesenjangan kritis inilah yang coba diisi oleh sistem yang mereka usulkan, sebuah platform yang disebut Intelligent Road Maintenance System (IRMs).
Untuk memastikan solusi mereka tidak berakhir sebagai teori yang indah di atas kertas, para peneliti membingkai metodologi mereka sebagai sebuah dialog massal. Mereka tidak berasumsi, mereka "mendengarkan." Kuesioner terstruktur disebarkan kepada 400 responden yang paling memahami denyut nadi jalan tol: pihak otoritas (PLUS Berhad, Malaysian Highway Authority/MHA), kontraktor pelaksana (UEM EDGENTA PROPEL), para insinyur, dan yang terpenting, pengguna jalan itu sendiri.1
Langkah ini terbukti sangat strategis. Dengan melibatkan seluruh spektrum pemangku kepentingan—mulai dari pemilik aset, regulator, pelaksana di lapangan, hingga pelapor masalah—para peneliti secara proaktif memastikan solusi yang mereka rancang tidak hanya canggih secara teknis, tetapi juga layak secara operasional dan relevan bagi semua pihak. Ini adalah cara untuk mencegah terciptanya "solusi di dalam vakum" dan memastikan bahwa aplikasi IRMs yang lahir dari data ini akan memiliki tingkat adopsi yang tinggi karena fitur-fiturnya telah divalidasi oleh seluruh rantai ekosistem perawatan jalan.
Suara dari Aspal: Kerusakan Apa yang Paling Menghantui Pengendara?
Hasil survei dari 400 responden memberikan gambaran yang jelas tentang ancaman nyata di jalan raya. Data ini, yang dianalisis secara statistik, melukiskan potret kolektif tentang apa yang paling dikhawatirkan oleh para ahli dan pengguna jalan.
Data ini lebih dari sekadar daftar keluhan; ia secara implisit menciptakan sebuah hierarki prioritas perbaikan yang didasarkan pada persepsi gabungan antara publik dan para ahli. Ini adalah peta jalan berbasis data yang dapat digunakan manajer perawatan untuk mengalokasikan sumber daya secara lebih efektif. Alih-alih merespons laporan secara acak, mereka dapat memfokuskan tim inspeksi pada jenis kerusakan yang memiliki skor "bahaya" tertinggi menurut data kolektif, mengubah manajemen perawatan dari reaktif menjadi proaktif berbasis risiko.
IRMs: Membangun Jembatan Digital di Atas Jalan Tol
Berdasarkan temuan tersebut, para peneliti merancang arsitektur solusi IRMs. Konsepnya cerdas dan terintegrasi: dua aplikasi berbeda—satu untuk pengguna jalan dan satu untuk tim perawatan—yang saling terhubung dan "berbagi database yang sama".1 Analogi sederhananya, satu aplikasi berfungsi sebagai "mata dan telinga" publik, sementara yang lain adalah "otak dan tangan" tim perawatan.
Aplikasi Pengguna: Pemberdayaan di Ujung Jari
Aplikasi yang dirancang untuk publik ini bertujuan untuk memberdayakan setiap pengemudi menjadi sensor aktif di jaringan jalan tol.
Aplikasi Perawatan: Pusat Komando Digital
Aplikasi kedua dirancang khusus untuk tim internal dan secara langsung menyerang inefisiensi inti dari sistem berbasis kertas.
Desain IRMs yang berbasis "database bersama" ini menciptakan apa yang dikenal dalam dunia teknologi sebagai single source of truth—satu sumber kebenaran. Ini menyatukan persepsi publik dengan realitas operasional di lapangan. Saat ini, informasi seringkali terfragmentasi: keluhan publik ada di media sosial, laporan kerja ada di tumpukan kertas di kantor kontraktor, dan data anggaran ada di spreadsheet terpisah. Dengan menyatukan semua ini, IRMs menciptakan transparansi radikal yang memaksa akuntabilitas, karena data tidak bisa lagi disembunyikan atau dimanipulasi. Ini adalah fondasi untuk manajemen infrastruktur prediktif berbasis data di masa depan.
Mandat yang Tak Terbantahkan: Saat Publik dan Ahli Berkata "Ya" pada Teknologi
Di antara semua data yang dikumpulkan, ada satu angka yang menonjol sebagai momen "aha!" dari penelitian ini. Ketika responden ditanya tentang berbagai saran untuk perbaikan—termasuk hal-hal yang sudah jelas seperti "melakukan perbaikan jalan dengan cepat" (Mean: 4.22) dan "meningkatkan layanan terhadap keluhan" (Mean: 4.23)—satu saran melampaui semuanya. Saran untuk "menciptakan aplikasi seluler yang efektif dan komprehensif" menerima skor tertinggi mutlak: 4.33 dari 5.1
Angka ini harus diinterpretasikan bukan hanya sebagai "dukungan," tetapi sebagai sebuah mandat yang luar biasa dari seluruh pemangku kepentingan. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak lagi menginginkan perbaikan inkremental; mereka mendambakan perubahan transformasional. Kepercayaan pada sistem lama yang berbasis kertas telah terkikis, dan mereka melihat teknologi sebagai satu-satunya jalan ke depan yang kredibel. Lompatan dari skor 4.28 (untuk jadwal kerja yang lebih terorganisir) ke 4.33 (untuk aplikasi) adalah sinyal kuat bahwa masalahnya bukan lagi hanya apa yang dilakukan, tetapi bagaimana itu dilakukan.
Bagi para pengambil keputusan di otoritas jalan tol, skor 4.33 ini secara efektif menghilangkan risiko persepsi dalam mengadopsi teknologi baru. Ini bukan lagi tentang "mendorong" inovasi kepada pengguna yang mungkin enggan, tetapi tentang "memenuhi" permintaan yang sudah ada dan terukur dari pasar. Data dari 400 responden ini berfungsi sebagai studi kelayakan yang solid, memberikan bukti kuantitatif bahwa produk ini sangat diinginkan sebelum satu baris kode pun ditulis. Ini mengubah narasi dari "biaya inovasi" menjadi "investasi dalam efisiensi yang diminta oleh pelanggan"—sebuah pergeseran psikologis krusial yang dapat mempercepat persetujuan dan implementasi proyek.
Refleksi Kritis: Jalan Terjal Menuju Implementasi
Meskipun visi yang ditawarkan sangat menjanjikan, jalan menuju implementasi penuh tidaklah mulus. Studi ini, meskipun kuat, memiliki lingkup yang terbatas pada "studi kasus di jalan tol PLUS".1 Model ini mungkin memerlukan adaptasi yang signifikan untuk diterapkan di jalan-jalan non-tol, jalan pedesaan, atau di kota-kota dengan yurisdiksi yang tumpang tindih, di mana konektivitas internet dan sumber daya bisa menjadi kendala.
Tantangan terbesar mungkin bukan pada teknologi itu sendiri, melainkan pada manusia dan institusi. Adopsi sistem baru ini memerlukan perubahan budaya kerja. Apakah semua tim perawatan di lapangan akan dilengkapi dengan ponsel pintar dan dilatih secara memadai? Bagaimana mengatasi resistensi dari mereka yang telah terbiasa dengan alur kerja berbasis kertas selama puluhan tahun? Selain itu, keberhasilan aplikasi publik sangat bergantung pada pemasaran yang efektif untuk mencapai massa kritis pengguna. Tanpa laporan yang cukup dari publik, sistem ini tidak akan mencapai potensi maksimalnya.
Visi Lima Tahun ke Depan: Dampak Nyata IRMs bagi Dompet dan Keselamatan
Pada akhirnya, IRMs bukan hanya tentang memperbaiki lubang lebih cepat. Ini adalah tentang menciptakan sebuah ekosistem perawatan jalan yang cerdas, responsif, dan berbasis data. Ini adalah tentang mengubah hubungan antara warga negara dan pengelola infrastruktur dari yang semula reaktif menjadi kolaboratif.
Dampak nyatanya bisa sangat signifikan. Jika diterapkan secara penuh, temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa sistem IRMs dapat secara drastis mengurangi waktu respons terhadap laporan kerusakan. Hal ini berpotensi memangkas biaya perbaikan jangka panjang hingga puluhan persen dalam waktu lima tahun dengan mencegah kerusakan kecil berevolusi menjadi masalah struktural yang masif dan mahal.
Visi masa depan yang ditawarkan adalah jalan tol di mana setiap pengemudi menjadi sensor aktif dalam jaringan perawatan, di mana data mengalir bebas antara warga dan otoritas, dan di mana keputusan dibuat bukan berdasarkan firasat atau tumpukan kertas, tetapi berdasarkan bukti real-time. Ini adalah janji dari sebuah jalan yang lebih cerdas, dan yang terpenting, jalan yang lebih aman untuk semua.
Sumber Artikel:
Infrastruktur Jalan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 13 Oktober 2025
Untuk memahami terobosan yang ditawarkan, kita harus terlebih dahulu melihat masalah mendasar dari sistem yang ada. Proyek pemeliharaan jalan nasional di Indonesia umumnya dijalankan melalui dua metode konvensional: sistem swakelola (in-house) untuk pekerjaan rutin dan kontrak Design-Bid-Build (DBB) untuk perbaikan besar seperti rehabilitasi.1 Keduanya berada di bawah payung yang disebut "pendekatan kontrak tradisional".
Sistem ini memiliki beberapa ciri khas yang secara inheren tidak efisien. Pertama, kontrak ini bersifat preskriptif, artinya pemerintah mendikte secara detail apa yang harus dikerjakan oleh kontraktor, mulai dari jenis material hingga ketebalan aspal. Kedua, pendanaannya berbasis siklus anggaran tahunan tunggal (single year), yang membatasi perencanaan jangka panjang. Ketiga, masa garansi pemeliharaannya sangat singkat. Akibatnya, fokus utama kontraktor adalah menyelesaikan pekerjaan sesuai spesifikasi dalam satu tahun anggaran, tanpa insentif kuat untuk memikirkan daya tahan jalan di tahun-tahun berikutnya.1
Namun, kelemahan paling fatal terletak pada filosofi dasarnya: pendekatan ini bersifat korektif. Artinya, tindakan baru diambil setelah kerusakan terjadi. Jalan dibiarkan retak, berlubang, kemudian anggaran dialokasikan untuk menambalnya. Model ini lebih mementingkan proses pelaksanaan daripada hasil akhir jangka panjang.2 Hal ini menciptakan sebuah lingkaran setan yang merugikan. Karena fokusnya hanya pada perbaikan jangka pendek, kualitas jalan yang dihasilkan seringkali tidak memadai dan cepat rusak kembali. Akibatnya, setiap tahun anggaran negara terkunci dalam siklus "gali lubang, tutup lubang" yang tidak pernah berakhir, membiayai perbaikan atas kerusakan yang seharusnya bisa dicegah. Ini bukan sekadar strategi pemeliharaan yang kurang optimal; ini adalah sebuah jebakan fiskal sistemik yang membuat anggaran infrastruktur negara tidak efisien.1
Revolusi Kontrak Berbasis Kinerja (PBC): Menyelaraskan Laba Swasta dengan Kepentingan Publik
Di tengah kebuntuan model tradisional, Kontrak Berbasis Kinerja (PBC) hadir sebagai sebuah revolusi. Alih-alih membayar kontraktor berdasarkan input (jumlah aspal yang dihamparkan atau jumlah lubang yang ditambal), pemerintah membayar berdasarkan output atau outcome: yaitu, kondisi jalan yang terjamin kualitasnya selama periode waktu yang panjang.1
Karakteristik PBC secara fundamental mengubah DNA dari sebuah proyek infrastruktur:
Inovasi inti dari PBC sebenarnya terletak pada realokasi risiko yang cerdas. Dalam kontrak tradisional, risiko kerusakan dini jalan ditanggung oleh pemerintah (dan pada akhirnya, oleh pembayar pajak). Jika jalan rusak setahun setelah diperbaiki, pemerintah harus mengeluarkan anggaran baru untuk memperbaikinya lagi. PBC membalik logika ini dengan mentransfer risiko kinerja jangka panjang kepada kontraktor.5
Konsekuensinya sangat kuat. Karena keuntungan jangka panjang mereka kini bergantung pada daya tahan pekerjaan awal mereka, kontraktor memiliki insentif finansial yang sangat besar untuk menggunakan material terbaik, teknik paling inovatif, dan jadwal pemeliharaan paling efisien. Mereka termotivasi untuk membangun jalan yang lebih awet demi menekan biaya perbaikan mereka sendiri di masa depan. Dengan demikian, kepentingan finansial kontraktor menjadi selaras sempurna dengan kepentingan publik untuk memiliki jalan berkualitas tinggi dan tahan lama.
Kerangka Analisis: Mengukur Biaya Jangka Panjang dengan Lensa Ilmiah
Untuk membuktikan klaim efisiensi PBC, para peneliti tidak hanya membandingkan biaya proyek dari tahun ke tahun. Mereka menggunakan metodologi yang jauh lebih komprehensif yang disebut Life Cycle Cost (LCC) atau Analisis Biaya Siklus Hidup.1 Pendekatan ini adalah sebuah pilihan strategis yang krusial. Dengan menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan selama 10 tahun masa layan jalan, LCC secara inheren mengungkap biaya tersembunyi dari pemikiran jangka pendek yang menjadi ciri khas kontrak tradisional.
Analisis ini ibarat menggunakan teleskop, bukan kaca pembesar. Alih-alih hanya melihat biaya penambalan lubang tahun ini, LCC memperhitungkan total biaya—termasuk perbaikan berulang, rehabilitasi besar, dan biaya administrasi—selama satu dekade penuh. Kerangka waktu 10 tahun ini dipilih karena sesuai dengan umur desain perkerasan lentur di Indonesia, memastikan perbandingan yang adil dan relevan.1
Untuk menjaga objektivitas, penelitian ini menetapkan indikator kinerja yang jelas, yaitu International Roughness Index (IRI), sebuah ukuran standar global untuk kerataan permukaan jalan. Dalam studi kasus proyek percontohan PBC di ruas Ciasem-Pamanukan, Jawa Barat, kontraktor diwajibkan menjaga kondisi jalan pada level kinerja m/km.1 Sebagai gambaran, kondisi jalan didefinisikan berdasarkan rentang nilai IRI: "Baik" jika IRI di bawah 3.5, "Sedang" antara 3.5 hingga 6, "Rusak Ringan" antara 6 hingga 8, dan "Rusak Berat" jika di atas 8.1
Kekuatan analisis ini terletak pada simulasinya yang masif. Para peneliti menguji 48 skenario berbeda untuk membandingkan kedua jenis kontrak. Mereka memvariasikan tiga faktor kunci:
Semua biaya masa depan kemudian dihitung nilai kininya menggunakan tingkat diskonto sebesar 7.97%, memastikan bahwa satu rupiah yang dikeluarkan sepuluh tahun dari sekarang diperhitungkan secara adil terhadap satu rupiah yang dikeluarkan hari ini.1 Metodologi yang ketat ini memberikan landasan ilmiah yang kokoh bagi temuan penelitian.
Temuan Definitif: Angka-Angka di Balik Revolusi Kontrak Jalan
Setelah menjalankan puluhan simulasi, data yang dihasilkan memberikan bukti yang meyakinkan. Temuan ini bukan lagi soal teori, melainkan angka konkret yang menunjukkan superioritas model PBC dalam konteks jalan nasional Indonesia yang padat lalu lintas.
Efisiensi Anggaran yang Signifikan
Temuan utamanya sangat mengejutkan: secara keseluruhan, penerapan Kontrak Berbasis Kinerja (PBC) berpotensi menghasilkan efisiensi Biaya Siklus Hidup (LCC) sebesar 9.4% dibandingkan dengan pendekatan tradisional.1 Penghematan hampir 10% pada proyek infrastruktur bernilai triliunan rupiah adalah angka yang luar biasa. Ini berarti, dari setiap 100 triliun rupiah yang dialokasikan untuk pemeliharaan jalan dengan cara lama, negara bisa menghemat 9.4 triliun rupiah hanya dengan mengubah model kontraknya—dana yang bisa dialihkan untuk membangun sekolah, rumah sakit, atau infrastruktur lainnya.
Semakin Panjang Kontrak, Semakin Besar Penghematan
Intuisi bahwa kontrak jangka panjang lebih efisien terbukti benar. Analisis menunjukkan bahwa kontrak PBC berdurasi 10 tahun 2.5% lebih efisien dari sisi LCC dibandingkan kontrak yang lebih pendek.1 Mengapa? Karena kontrak multi-tahun secara drastis mengurangi biaya administrasi dan birokrasi. Pemerintah tidak perlu lagi melakukan proses lelang yang rumit dan mahal setiap tahun untuk ruas jalan yang sama. Efisiensi ini ibarat membeli tiket langganan transportasi umum untuk setahun penuh—jauh lebih murah dan praktis daripada membeli tiket harian.
Kekuatan Skala Ekonomi
Prinsip "semakin besar, semakin efisien" juga berlaku. Studi ini menemukan bahwa seiring bertambahnya panjang ruas jalan yang dikontrakkan, biaya per kilometernya menurun sebesar 1.9%.1 Ini adalah manifestasi dari skala ekonomi: kontraktor dapat mengoptimalkan penggunaan alat berat, tenaga kerja, dan material di area yang lebih luas, sehingga menekan biaya satuan. Temuan ini sejalan dengan praktik terbaik internasional yang mendorong penggabungan paket-paket pekerjaan untuk mencapai efisiensi maksimal.6
Prinsip "Memulai dengan Baik"
Kondisi awal jalan ternyata menjadi faktor penentu yang sangat krusial. Rata-rata, untuk kondisi jalan yang sama, PBC 6.4% lebih hemat biaya dalam jangka panjang dibandingkan kontrak tradisional.1 Namun, efisiensi tertinggi dicapai ketika PBC diterapkan pada jalan yang kondisi awalnya sudah "Baik". Ini logis, karena kontraktor tidak perlu mengeluarkan biaya rehabilitasi awal yang masif. Sebaliknya, menerapkan PBC pada jalan yang sudah rusak berat akan membutuhkan investasi awal yang sangat tinggi untuk mencapai standar kinerja yang disyaratkan.
Temuan-temuan ini tidak berdiri sendiri, melainkan saling memperkuat, menciptakan apa yang bisa disebut sebagai "lingkaran kebajikan" atau virtuous cycle. Manfaat ekonomi terbesar akan terbuka ketika semua faktor positif ini digabungkan. Bayangkan sebuah kontrak PBC berdurasi 10 tahun untuk jaringan jalan sepanjang 273 km yang kondisi awalnya baik. Efisiensi yang dihasilkan akan jauh melampaui penjumlahan angka-angka di atas. Ini memberikan sebuah cetak biru strategis yang jelas bagi pemerintah: mulailah program PBC nasional dengan memprioritaskan aset-aset jalan terbaik dan terpanjang untuk memaksimalkan pengembalian investasi awal, membangun kapasitas pasar, dan menciptakan momentum politik untuk adopsi yang lebih luas.
Dari Kelayakan ke Strategi: Metrik Efektivitas sebagai Alat Pengambil Keputusan
Penelitian ini tidak berhenti pada kesimpulan akademis. Para peneliti menerjemahkan temuan mereka menjadi sebuah alat praktis yang dapat digunakan oleh para pengambil kebijakan. Mereka memperkenalkan metrik "Efektivitas PBC", yang dihitung sebagai rasio LCC proyek tradisional dibagi dengan LCC proyek PBC untuk skenario yang sama.1
Aturan mainnya sederhana: jika rasio ini lebih besar dari 1, artinya dalam jangka panjang, PBC lebih murah dan layak untuk diterapkan.1 Metrik ini adalah alat yang sangat kuat. Dalam lingkungan politik yang seringkali didorong oleh siklus anggaran jangka pendek, metrik ini memberikan justifikasi objektif dan kuantitatif untuk komitmen multi-tahun.
Sebagai contoh, biaya awal sebuah proyek PBC mungkin terlihat lebih tinggi daripada kontrak tradisional satu tahun karena mencakup pekerjaan perbaikan awal untuk memenuhi standar kinerja. Hal ini bisa membuatnya sulit diterima secara politik. Namun, dengan menunjukkan bahwa Rasio Efektivitasnya di atas 1, para teknokrat dan pembuat kebijakan dapat membuktikan secara data bahwa investasi awal yang lebih tinggi ini akan menghasilkan penghematan yang jauh lebih besar dalam satu dekade ke depan. Alat ini secara efektif menggeser perdebatan dari, "Apa opsi termurah untuk anggaran tahun ini?" menjadi, "Apa investasi jangka panjang yang paling bernilai bagi bangsa?". Ini adalah langkah penting untuk mendepolitisasi keputusan investasi infrastruktur dan menempatkannya pada landasan data dan efektivitas jangka panjang.
Perspektif Kritis: Mengakui Keterbatasan dan Tantangan Dunia Nyata
Untuk menjaga kredibilitas, penting untuk melihat temuan ini dengan kacamata kritis. Studi ini sendiri mengakui beberapa keterbatasan, seperti penggunaan pendekatan LCC deterministik yang tidak memperhitungkan ketidakpastian, serta pengecualian beberapa variabel penting seperti kondisi struktural jalan dan, yang paling krusial, beban berlebih kendaraan (overloading).1
Faktor overloading ini adalah "gajah di dalam ruangan" untuk infrastruktur jalan Indonesia. Berbagai laporan dan studi lain mengonfirmasi bahwa truk dengan muatan berlebih adalah masalah endemik, terutama di jalur padat seperti Pantura, yang dapat menyebabkan kerusakan jalan jauh lebih cepat dari yang diperkirakan.7 Ini adalah risiko eksternal yang sangat sulit dikendalikan oleh kontraktor dan dapat membuat model finansial PBC menjadi tidak valid.
Tantangan dunia nyata tidak berhenti di situ. Implementasi PBC di Indonesia menghadapi beberapa kendala serius lainnya:
Kesimpulan optimis dari penelitian ini, meskipun valid dalam model terkontrolnya, harus dipahami dalam konteks yang lebih luas. Keberhasilan PBC bukanlah sekadar reformasi pengadaan; ia bergantung pada agenda reformasi tata kelola yang jauh lebih besar dan lebih sulit. Tanpa penegakan hukum yang serius terhadap overloading, tanpa kerangka hukum yang jelas, dan tanpa strategi untuk membangun kapasitas pasar, model PBC yang menjanjikan ini berisiko gagal. Mengadopsi model kontrak baru tanpa memperbaiki masalah tata kelola di sekitarnya sama saja dengan menanam benih unggul di tanah yang tidak subur.
Rekomendasi Strategis dan Dampak Masa Depan
Meskipun tantangan yang ada nyata, bukti dari penelitian ini terlalu kuat untuk diabaikan. Temuan ini menyerukan adopsi PBC secara strategis dan bertahap di tingkat nasional. Ini bukan lagi pertanyaan "apakah" PBC harus diterapkan, tetapi "bagaimana" menerapkannya dengan cerdas.
Sebuah strategi tiga cabang dapat menjadi panduan:
Jika diterapkan dengan benar, dampak dari pergeseran ke Kontrak Berbasis Kinerja akan jauh melampaui sekadar penghematan anggaran. Ini adalah langkah fundamental menuju modernisasi manajemen infrastruktur Indonesia. Jalan yang lebih baik dan lebih andal akan secara langsung meningkatkan daya saing ekonomi dengan melancarkan arus logistik. Ini akan memastikan bahwa investasi publik yang masif dalam infrastruktur benar-benar berkelanjutan dan memberikan nilai maksimal bagi masyarakat untuk dekade-dekade mendatang, selaras dengan visi pembangunan jangka panjang Indonesia.12 Revolusi aspal ini mungkin baru saja dimulai, tetapi potensinya untuk mengubah wajah infrastruktur Indonesia sangatlah nyata.
Sumber Artikel:
Susanti, B., Wirahadikusumah, R. D., Soemardi, B. W., & Sutrisno, M. (2019). Life cycle cost comparison between performance based and traditional contracts for roads in Indonesia. IIUM Engineering Journal, 20(2), 57-69.
Industri Perkebunan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 13 Oktober 2025
Di tengah hamparan hijau perkebunan kelapa sawit yang luas, terbentang jaringan jalan tanah yang tampak sederhana. Bagi orang awam, ini hanyalah jalur logistik. Namun, sebuah penelitian mendalam dari Perkebunan Bah Bulian, milik raksasa agribisnis PT. PP. London Sumatra Indonesia Tbk, mengungkap sebuah kebenaran fundamental: jalan-jalan ini adalah arteri ekonomi yang bernilai miliaran rupiah, di mana setiap lubang dan genangan air berpotensi menggerus keuntungan dan kualitas produksi.1
Penelitian yang dilakukan di Divisi 1 Kebun Bah Bulian, Sumatera Utara, ini membongkar struktur biaya perawatan infrastruktur vital ini selama periode tiga tahun (2017-2019). Temuannya tidak hanya relevan bagi para manajer perkebunan, tetapi juga memberikan gambaran jernih bagi konsumen dan pembuat kebijakan tentang salah satu komponen biaya tersembunyi yang memengaruhi harga minyak sawit mentah (CPO) di pasar global.
Di Balik Panggung Industri Sawit – Mengapa Jalan Tanah Ini Bernilai Miliaran?
Dalam industri kelapa sawit, waktu adalah musuh utama. Sejak Tandan Buah Segar (TBS) dipanen, sebuah jam biokimia mulai berdetak. Keterlambatan pengangkutan TBS ke pabrik kelapa sawit (PKS) akan meningkatkan kadar Asam Lemak Bebas (ALB), yang secara langsung menurunkan mutu dan harga jual CPO.1 Di sinilah peran jalan menjadi krusial. Jalan yang rusak, berlumpur, dan tidak dapat dilalui bukan sekadar kendala operasional; ia adalah biang keladi kerugian finansial yang nyata.
Studi ini menggarisbawahi bahwa jalan merupakan "sarana utama" yang menjamin kelancaran seluruh aktivitas perkebunan, mulai dari pengangkutan pupuk hingga evakuasi hasil panen. Kondisi jalan yang buruk tidak hanya menurunkan mutu produksi, tetapi juga menyebabkan pembengkakan biaya perawatan armada truk pengangkut.1
Dengan demikian, puluhan hingga ratusan juta rupiah yang digelontorkan setiap tahun untuk perawatan jalan bukanlah sekadar biaya operasional. Angka tersebut lebih tepat dipandang sebagai premi asuransi—sebuah investasi strategis untuk mitigasi risiko. Perusahaan berinvestasi dalam perbaikan jalan untuk melindungi aset utamanya: kualitas panen yang bernilai jauh lebih besar. Setiap rupiah yang dihabiskan untuk menambal lubang atau meratakan permukaan jalan adalah upaya untuk menjaga agar jam biokimia pada TBS tidak berdetak terlalu cepat, memastikan setiap tetes minyak yang dihasilkan memiliki nilai jual tertinggi.
Tenaga Manusia vs. Deru Mesin: Dua Wajah Perawatan Jalan di Bah Bulian
Penelitian di Kebun Bah Bulian mengungkap sebuah strategi perawatan jalan yang canggih, memadukan sentuhan tangan manusia dengan kekuatan mesin berat. Terdapat dua pendekatan utama yang diterapkan, masing-masing dengan peran, frekuensi, dan biaya yang sangat berbeda.1
Analisis biaya dari kedua metode ini menyingkap sebuah filosofi manajemen yang menarik. Perusahaan menerapkan apa yang bisa disebut sebagai strategi perawatan asimetris. Sebagian besar anggaran—sekitar 88% hingga 89% dari total biaya realisasi—dialokasikan untuk pekerjaan manual yang bersifat reaktif dan berfrekuensi tinggi. Sementara itu, porsi yang jauh lebih kecil, sekitar 11% hingga 12%, dicadangkan untuk pekerjaan mekanis yang bersifat proaktif dan berfrekuensi rendah.1
Model ini menunjukkan alokasi sumber daya yang cerdas. Perusahaan memanfaatkan tenaga kerja yang fleksibel untuk "pemadaman api" sehari-hari, sambil menyimpan aset modal yang mahal (alat berat) untuk intervensi strategis yang berdampak tinggi. Ini adalah cerminan dari manajemen agribisnis skala besar yang matang, yang memahami cara menyeimbangkan antara biaya, risiko, dan efektivitas operasional.
Neraca Biaya Tiga Tahun: Membongkar Fluktuasi Angka di Perkebunan
Analisis biaya selama tiga tahun di Divisi 1 Kebun Bah Bulian memberikan gambaran dinamis tentang tantangan finansial dalam menjaga infrastruktur perkebunan. Total biaya realisasi (gabungan manual dan mekanis) menunjukkan fluktuasi yang signifikan: dari Rp 86,2 juta pada 2017, melonjak menjadi Rp 101,8 juta pada 2018, sebelum kembali turun ke Rp 91 juta pada 2019.1
Lonjakan biaya total sebesar 18% pada tahun 2018 bukan sekadar angka di neraca. Ia adalah gema dari berbagai faktor eksternal dan internal yang dirasakan langsung di jalan-jalan tanah perkebunan. Salah satu pemicu utamanya adalah peningkatan volume pekerjaan manual. Pada tahun 2018, panjang jalan yang memerlukan perbaikan manual mencapai 26.416 meter, lebih panjang dibandingkan tahun-tahun lainnya.1 Selain itu, terjadi kenaikan upah harian tenaga kerja, dari Rp 118.307 per hari kerja (HK) pada 2017 menjadi Rp 122.307 pada 2018.1
Di sisi mekanis, tahun 2018 juga diwarnai oleh tekanan biaya dari faktor eksternal. Harga bahan bakar solar, yang menjadi "darah" bagi alat berat seperti grader, mengalami kenaikan signifikan menjadi Rp 10.950 per liter. Akibatnya, biaya bahan bakar untuk pekerjaan mekanis membengkak menjadi Rp 3,38 juta, tertinggi selama periode tiga tahun tersebut.1
Kombinasi dari volume kerja yang lebih besar, kenaikan upah minimum, dan harga solar yang meroket menciptakan "badai sempurna" yang mendorong biaya perawatan ke puncaknya pada 2018. Ini adalah bukti nyata bahwa perkebunan kelapa sawit bukanlah entitas agrikultur yang terisolasi. Operasionalnya sangat terpapar pada volatilitas makroekonomi. Kebijakan pemerintah terkait upah minimum dan dinamika pasar komoditas energi global memiliki dampak langsung dan terukur terhadap biaya produksi setiap tandan buah sawit.
Menariknya, meskipun biaya total berfluktuasi, terdapat indikasi efisiensi. Biaya perawatan manual per meter jalan justru menunjukkan tren penurunan, dari Rp 4.083 pada 2017 menjadi Rp 3.352 pada 2019.1 Penurunan ini, yang terjadi meskipun upah harian terus naik, mengisyaratkan kemungkinan adanya peningkatan produktivitas kerja atau penerapan prioritas perbaikan yang lebih strategis dari tahun ke tahun.
Anggaran di Atas Kertas vs. Realita di Lapangan: Seni Meramal Biaya
Salah satu temuan paling menarik dari penelitian ini adalah adanya kesenjangan antara anggaran yang direncanakan dan realisasi biaya di lapangan. Secara agregat, tingkat penyerapan anggaran terlihat sangat stabil dan efisien: 85% pada 2017, 86% pada 2018, dan 85% lagi pada 2019.1 Angka-angka ini, jika dilihat sekilas, bisa memberikan kesan bahwa manajemen memiliki kemampuan perencanaan dan pengendalian biaya yang luar biasa presisi.
Namun, jika dibedah lebih dalam, gambaran yang muncul jauh lebih kompleks. Stabilitas di tingkat total ternyata menutupi volatilitas yang ekstrem di tingkat komponen. Pada tahun 2017, misalnya, realisasi biaya untuk pekerjaan mekanis hanya mencapai 69% dari anggaran. Artinya, ada penghematan sebesar 31% dari dana yang dialokasikan untuk alat berat. Hal serupa terjadi pada 2019, di mana realisasi biaya mekanis hanya 70%, menyisakan 30% anggaran tidak terpakai.1
Fenomena ini menunjukkan bahwa "anggaran" dalam konteks ini berfungsi lebih sebagai batas atas pengeluaran (plafon) ketimbang sebuah prediksi yang kaku. Realisasi yang jauh di bawah anggaran pada pos mekanis kemungkinan besar disebabkan oleh kondisi jalan yang ternyata lebih baik dari perkiraan, sehingga tidak memerlukan intervensi alat berat sebanyak yang direncanakan.
Stabilitas angka realisasi total yang konsisten di level 85-86% kemungkinan besar merupakan sebuah artefak statistik, di mana penghematan di satu pos (misalnya, mekanis) menutupi potensi pembengkakan biaya di pos lain, atau sebaliknya. Ini mengindikasikan bahwa manajemen perkebunan tidak beroperasi dengan mengikuti anggaran secara kaku, melainkan melakukan alokasi sumber daya yang dinamis.
Realitas di lapangan, yang sangat dipengaruhi oleh faktor tak terduga seperti cuaca ekstrem yang merusak jalan atau musim kemarau panjang yang menjaga kondisi jalan, menuntut fleksibilitas tinggi. Manajemen harus mampu merespons kondisi aktual, bukan sekadar mengejar target penyerapan anggaran. Temuan ini memberikan pelajaran berharga dalam manajemen keuangan agribisnis: di lingkungan yang tidak dapat diprediksi, kemampuan adaptasi dan realokasi sumber daya secara cerdas jauh lebih penting daripada kepatuhan buta terhadap rencana di atas kertas.
Perspektif Kritis dan Gambaran yang Lebih Besar
Meskipun memberikan wawasan yang sangat berharga, penting untuk menempatkan temuan penelitian ini dalam konteks yang tepat. Studi ini dilakukan di satu divisi milik PT. PP. London Sumatra Indonesia Tbk, sebuah perusahaan multinasional yang terstruktur, memiliki modal kuat, akses mudah ke alat berat, dan sistem manajemen yang profesional.1 Kondisi ini ibarat melihat ruang mesin sebuah kapal pesiar mewah: terawat baik, didanai dengan cukup, dan dikelola oleh para ahli.
Oleh karena itu, biaya dan strategi yang diuraikan di sini merepresentasikan sebuah "skenario kasus terbaik" (best-case scenario) dalam manajemen infrastruktur perkebunan. Pertanyaan kritis yang muncul adalah: bagaimana dengan "perahu-perahu nelayan" di industri ini?
Luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada 2019 mencapai 14,3 juta hektare, di mana sebagian besar dikelola oleh petani swadaya atau plasma dengan skala kepemilikan yang jauh lebih kecil.1 Bagi jutaan petani ini, strategi perawatan jalan yang canggih dengan menggunakan grader sewaan atau memiliki tim kerja manual yang permanen bisa jadi merupakan sebuah kemewahan yang tak terjangkau. Mereka sering kali bergantung pada inisiatif kolektif atau bantuan pemerintah untuk perbaikan jalan, yang mungkin tidak serutin dan seefektif yang dilakukan oleh perusahaan besar.
Keterbatasan studi yang hanya berfokus pada perkebunan korporat ini secara tidak langsung menyoroti adanya potensi kesenjangan struktural dalam industri sawit nasional. Perusahaan besar memiliki kapasitas untuk berinvestasi dalam mitigasi risiko infrastruktur, sementara petani kecil mungkin lebih sering berada dalam posisi reaktif, menanggung biaya yang lebih tinggi akibat kerusakan jalan dan penurunan kualitas panen. Dengan demikian, temuan ini, meskipun valid, mungkin tidak dapat digeneralisasi untuk mewakili seluruh spektrum industri sawit di Indonesia.
Dampak Nyata: Apa Artinya Ini Bagi Industri dan Konsumen?
Rincian biaya perawatan jalan per hektare—berkisar antara Rp 145.470 hingga Rp 172.668 untuk pekerjaan manual, dan Rp 18.202 hingga Rp 20.530 untuk pekerjaan mekanis—mungkin tampak seperti angka-angka operasional internal perusahaan.1 Namun, pada akhirnya, biaya ini akan merembes ke seluruh rantai pasokan.
Setiap rupiah ekstra yang dihabiskan untuk menambal jalan akibat kenaikan harga solar atau upah adalah biaya produksi yang harus diperhitungkan dalam penetapan harga CPO di pasar global. Secara tidak langsung, fluktuasi biaya di jalan-jalan tanah Sumatera ini berpotensi memengaruhi harga sebotol minyak goreng yang dibeli konsumen di supermarket.
Studi ini, meskipun berskala mikro, menawarkan sebuah cetak biru untuk efisiensi. Ia menunjukkan bahwa manajemen infrastruktur yang proaktif dan terukur adalah kunci untuk mengendalikan salah satu komponen biaya logistik yang paling fundamental.
Jika model efisiensi biaya yang terlihat pada tahun-tahun dengan realisasi anggaran rendah—di mana kondisi jalan yang baik mengurangi kebutuhan intervensi mahal—dapat direplikasi dan distandarisasi di seluruh industri, sektor kelapa sawit nasional berpotensi menghemat triliunan rupiah dalam biaya logistik darat selama dekade berikutnya. Penghematan ini tidak hanya akan meningkatkan margin keuntungan produsen, tetapi juga memperkuat daya saing minyak sawit Indonesia di panggung dunia, memastikan komoditas andalan ini tetap menjadi motor penggerak ekonomi nasional.
Sumber Artikel:
Infrastruktur Jalan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 13 Oktober 2025
Setiap pagi, ribuan warga Kota Malang memulai rutinitas mereka di atas aspal. Perjalanan ke kantor, mengantar anak sekolah, atau sekadar mobilitas barang dan jasa, semuanya bergantung pada jaringan arteri vital yang kita sebut jalan. Namun, bagi mereka yang setiap hari melintasi Kecamatan Lowokwaru, khususnya di ruas Jalan Candi Panggung, Candi Panggung Barat, dan Saxsofone, perjalanan itu sering kali diwarnai oleh guncangan kecil, manuver tiba-tiba untuk menghindari lubang, dan rasa frustrasi yang menumpuk perlahan. Keluhan ini bukan sekadar ketidaknyamanan sesaat; ia adalah gejala dari masalah struktural yang lebih dalam.1
Jalan-jalan ini, yang diklasifikasikan sebagai jalan kelas III C dengan volume kendaraan yang cukup padat, telah lama menderita berbagai jenis kerusakan, dari yang ringan hingga yang mengancam keselamatan.1 Kerusakan ini bukan hanya noda visual pada wajah kota, tetapi juga penghambat efisiensi, pengikis kenyamanan, dan ancaman nyata bagi keamanan pengendara.1 Menyadari bahwa solusi tambal sulam biasa tidak akan cukup, sebuah tim peneliti dari Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang, dipimpin oleh Hanan Maulana Fikri, Ir. Eding Iskak Imananto, MT, dan Annur Ma'ruf, ST.MT, melakukan sebuah investigasi mendalam. Misi mereka jelas: mengganti metode "harga taksiran" yang sering kali tidak akurat dengan pendekatan empiris yang kokoh untuk mendiagnosis kondisi jalan dan merumuskan resep perbaikan yang paling efektif dan efisien.1 Ini adalah kisah tentang bagaimana sains rekayasa sipil membongkar masalah sehari-hari dan menawarkan solusi berbasis data.
Menguak Misteri di Balik Aspal: Sains di Balik Diagnosis Kerusakan Jalan
Bagaimana para insinyur "berbicara" dengan aspal untuk memahami kondisinya? Jawabannya terletak pada sebuah proses metodis yang bisa diibaratkan sebagai medical check-up lengkap untuk infrastruktur. Tim peneliti tidak hanya melihat permukaan jalan; mereka melakukan diagnosis komprehensif menggunakan Metode Bina Marga, sebuah pedoman standar nasional yang mengubah observasi visual menjadi data kuantitatif yang solid.1
Proses ini dimulai dengan survei lapangan yang teliti, di mana setiap jengkal jalan diperiksa untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan setiap cacat. Kerusakan perkerasan lentur, menurut manual, secara umum terbagi menjadi empat modus utama: retak (cracking), perubahan bentuk (distorsi atau deformasi), cacat permukaan, dan pengausan.1 Para peneliti bertindak layaknya dokter forensik, membaca "bahasa" kerusakan aspal. Misalnya, "Retak Buaya," yang polanya menyerupai kulit buaya, menandakan kelelahan struktural yang parah hingga ke lapisan fondasi. Sementara "Retak Memanjang" dan "Retak Melintang" menceritakan kisah berbeda tentang jenis tegangan yang dialami jalan dari waktu ke waktu.1
Setiap jenis kerusakan ini kemudian diberi skor. Lebar retakan, kedalaman alur, dan luas area yang terdampak semuanya diukur dan diberi nilai angka kerusakan. Sebagai contoh, retak buaya dengan lebar lebih dari 2 mm akan mendapat skor 5, sementara retak yang lebih halus di bawah 1 mm hanya mendapat skor 3.1 Akumulasi dari semua skor ini akan menghasilkan sebuah "Nilai Kondisi Jalan" akhir, sebuah rapor objektif yang menunjukkan seberapa sehat atau sakitnya sebuah ruas jalan.1
Namun, diagnosis tidak berhenti di situ. Untuk memahami kekuatan struktural yang tak terlihat, para peneliti menggunakan alat bernama Benkelman Beam. Alat ini bisa dianggap sebagai "stetoskop" untuk jalan. Cara kerjanya adalah dengan mengukur seberapa besar jalan melendut atau "membal" di bawah tekanan beban gandar standar.1 Lendutan balik ini, yang diukur dalam milimeter, merupakan indikator langsung dari kekuatan perkerasan. Jalan yang sehat dan kokoh akan memiliki lendutan yang sangat kecil, sementara jalan yang lemah dan rapuh akan melendut lebih banyak. Pengukuran ini sangat krusial karena menjadi dasar perhitungan ketebalan lapisan perbaikan yang dibutuhkan nanti.
Diagnosis holistik ini juga mempertimbangkan dua variabel kritis lainnya. Pertama adalah Lalu Lintas Harian Rata-rata (LHR), yang mengukur beban harian yang ditanggung jalan. Data volume kendaraan, dari sepeda motor hingga bus besar, dikonversi menjadi satu unit standar untuk memahami tingkat stres total pada infrastruktur.1 Kedua adalah temperatur, karena suhu udara sangat memengaruhi fleksibilitas aspal. Pengukuran lendutan selalu dikoreksi terhadap temperatur standar () untuk memastikan hasil yang akurat dan konsisten, tidak peduli kapan pengujian dilakukan.1 Kombinasi dari analisis kerusakan visual, pengukuran kekuatan struktural, dan data lalu lintas inilah yang membentuk dasar dari sebuah rekomendasi perbaikan yang benar-benar berbasis sains.
Hasil Investigasi: Rapor Kesehatan Tiga Jalan Utama di Malang
Setelah proses diagnosis yang cermat, tim peneliti merilis "rapor kesehatan" untuk ketiga ruas jalan tersebut. Hasilnya memberikan gambaran yang jelas tentang kondisi infrastruktur vital di Kecamatan Lowokwaru. Jalan Candi Panggung Barat memperoleh nilai kondisi jalan tertinggi sebesar 6,6, diikuti oleh Jalan Saxsofone dengan nilai 5,9, dan Jalan Candi Panggung dengan nilai terendah 5,4.1 Jika diibaratkan nilai sekolah, tidak ada yang benar-benar "gagal", namun ketiganya mendapatkan nilai yang cukup mengkhawatirkan dan menandakan perlunya intervensi serius.
Beban yang mereka tanggung pun tidak main-main. Analisis Lalu Lintas Harian Rata-rata (LHR) menunjukkan bahwa ketiga ruas jalan tersebut masuk dalam kategori "Kelas Lalu Lintas 6".1 Ini adalah klasifikasi untuk lalu lintas padat, mengonfirmasi bahwa jalan-jalan ini adalah arteri sibuk yang setiap hari menopang pergerakan puluhan ribu kendaraan, mulai dari sepeda motor yang berjumlah lebih dari 23.000 per hari hingga kendaraan berat.1 Beban konstan inilah yang menjadi salah satu faktor utama percepatan kerusakan.
Melihat lebih dalam pada profil kerusakan setiap jalan, kita menemukan cerita yang unik:
Dengan data ini, para peneliti menghitung "Urutan Prioritas" (UP) menggunakan rumus: .1 Hasilnya, Jalan Candi Panggung mendapat skor UP 5,75, Jalan Saxsofone 5,07, dan Jalan Candi Panggung Barat 4,71.1 Menurut pedoman Bina Marga, semua nilai yang berada di rentang 4-6 masuk dalam kategori program "Pemeliharaan Berkala".1 Artinya, kondisi mereka sudah melewati tahap di mana penambalan rutin cukup, tetapi belum separah itu hingga memerlukan pembangunan ulang total. Diagnosisnya jelas: ketiganya memerlukan intervensi struktural yang signifikan.
Resep Insinyur: Mengapa Lapisan Aspal 5 Sentimeter Adalah Kuncinya?
Berdasarkan diagnosis "Pemeliharaan Berkala", resep yang direkomendasikan oleh para insinyur adalah penerapan lapisan aspal baru, atau yang secara teknis disebut overlay. Ini bukan sekadar lapisan kosmetik untuk membuat jalan terlihat baru; ini adalah penambahan struktural yang dirancang untuk mengembalikan kekuatan jalan dan memperpanjang umurnya secara signifikan.1
Pertanyaan krusialnya adalah, mengapa tebalnya harus tepat 5 sentimeter? Angka ini bukanlah hasil tebakan atau perkiraan, melainkan hasil dari perhitungan rekayasa yang presisi menggunakan metode Pd-T-05-2005-B.1 Prosesnya dapat dianalogikan seperti dokter yang menghitung dosis obat yang tepat untuk pasien.
Pertama, para insinyur mengukur "kekuatan aktual" jalan saat ini, yang diwakili oleh nilai lendutan dari tes Benkelman Beam (). Ini adalah titik awal kondisi pasien. Kedua, mereka menghitung "kekuatan ideal" yang seharusnya dimiliki jalan () agar mampu menahan akumulasi beban lalu lintas di masa depan selama umur rencana yang ditetapkan. Perhitungan ini mempertimbangkan proyeksi jumlah kendaraan di tahun-tahun mendatang. Ketebalan overlay sebesar 5 cm adalah hasil perhitungan eksak yang dibutuhkan untuk menjembatani kesenjangan antara kondisi lemah saat ini dan kondisi kuat yang ditargetkan.1
Namun, sebuah temuan menarik sekaligus memicu diskusi adalah bahwa ketiga jalan tersebut, meskipun memiliki nilai kondisi dan profil kerusakan yang berbeda, semuanya mendapatkan resep yang sama: overlay setebal 5 cm.1 Di sinilah kita bisa melihat sisi positif sekaligus potensi kritik dari pendekatan ini.
Investasi Miliaran Rupiah: Harga untuk Jalanan yang Aman dan Lancar
Menerapkan solusi rekayasa canggih tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Total biaya yang dianggarkan untuk perbaikan ketiga ruas jalan ini mencapai lebih dari 3,1 miliar Rupiah. Rinciannya adalah Rp 870.950.000 untuk Jalan Candi Panggung, Rp 765.630.000 untuk Jalan Candi Panggung Barat, dan Rp 1.554.400.000 untuk Jalan Saxsofone.1 Angka-angka fantastis ini bukan muncul begitu saja, melainkan dihitung secara cermat berdasarkan Analisa Harga Satuan Pekerjaan (AHSP) yang ditetapkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum.1
Biaya ini mencakup semua komponen, mulai dari biaya langsung seperti material aspal, upah tenaga kerja, dan sewa alat berat, hingga biaya tidak langsung seperti manajemen proyek dan administrasi. Transparansi dalam perhitungan biaya ini menunjukkan pergeseran penting menuju akuntabilitas dalam penggunaan dana publik. Warga dapat melihat bahwa anggaran yang dikeluarkan didasarkan pada kebutuhan teknis yang objektif, bukan sekadar keputusan politis.
Untuk memahami skala investasi ini, mari kita lihat lebih dekat. Biaya perbaikan Jalan Saxsofone yang mencapai lebih dari 1,5 miliar Rupiah memang terdengar besar. Namun, jika kita membaginya dengan panjang total jalan yaitu 1.378 meter, maka investasi per meternya adalah sekitar 1,1 juta Rupiah.1 Inilah harga riil untuk memastikan permukaan jalan yang aman, nyaman, dan tahan lama bagi ribuan pengguna setiap harinya. Perbedaan biaya antar ruas jalan pun sangat logis, di mana Jalan Saxsofone yang terpanjang secara alami membutuhkan anggaran terbesar.
Pada akhirnya, investasi miliaran rupiah ini harus dilihat sebagai langkah preventif untuk menghindari biaya yang jauh lebih besar di masa depan. Membiarkan jalan-jalan ini terus rusak hanya akan berujung pada kegagalan total struktur, yang akan memerlukan rekonstruksi penuh dengan biaya yang bisa berkali-kali lipat lebih mahal dan gangguan lalu lintas yang jauh lebih parah. Ini adalah investasi untuk keselamatan publik, efisiensi ekonomi, dan kualitas hidup warga kota. Jalan yang mulus tidak hanya mengurangi risiko kecelakaan, terutama bagi pengendara sepeda motor, tetapi juga mengurangi biaya perawatan kendaraan bagi warga dan memastikan kelancaran arus barang yang menjadi denyut nadi perekonomian lokal.
Kesimpulan: Dampak Nyata dari Perencanaan Berbasis Data
Perjalanan dari keluhan warga tentang jalan bergelombang hingga preskripsi overlay setebal 5 cm yang didukung data miliaran rupiah ini menggarisbawahi satu hal: kekuatan perencanaan berbasis data. Studi yang dilakukan di Malang ini adalah bukti nyata bagaimana pendekatan ilmiah dapat mengubah cara kita mengelola infrastruktur perkotaan. Ia memindahkan paradigma dari model reaktif yang hanya menambal lubang berdasarkan keluhan, ke model proaktif yang mendiagnosis kesehatan jalan secara sistematis dan melakukan intervensi tepat waktu.
Para peneliti di ITN Malang tidak hanya menyelesaikan masalah di tiga ruas jalan; mereka menyediakan sebuah cetak biru, sebuah model kerja yang dapat direplikasi di seluruh penjuru kota, bahkan di kota-kota lain di Indonesia yang menghadapi tantangan serupa. Ini adalah tentang membuat keputusan yang lebih cerdas, lebih efisien, dan lebih akuntabel dengan menggunakan sains dan data sebagai pemandu.
Jika diterapkan secara konsisten di seluruh jaringan jalan kota, pendekatan berbasis data ini bisa mengurangi biaya pemeliharaan jangka panjang secara signifikan. Dengan mengintervensi pada tahap 'pemeliharaan berkala' yang tepat, temuan ini bisa mencegah kerusakan yang lebih parah dan menghemat hingga miliaran rupiah dalam anggaran perbaikan jalan kota Malang dalam waktu lima hingga sepuluh tahun ke depan, sekaligus meningkatkan kualitas hidup bagi jutaan warganya.
Sumber Artikel:
Fikri, H. M., Imananto, E. I., & Ma'ruf, A. (n.d.). Analisis pemeliharaan jalan dan perhitungan tebal lapis tambah (overlay) pada perkerasan lentur dengan menggunakan metode lendutan Bina Marga (Studi Kasus Jl. Candi Panggung, Jl. Candi Panggung Barat, Jl. Saxsofone). Progam Studi Teknik Sipil FTSP, ITN Malang.
Jalan di Indonesia
Dipublikasikan oleh Hansel pada 13 Oktober 2025
Setiap hari, jutaan masyarakat Indonesia merasakan frustrasi akibat kemacetan lalu lintas. Namun, di balik ketidaknyamanan personal, terdapat sebuah krisis ekonomi yang sunyi namun masif. Menurut data Bank Dunia pada tahun 2019, kemacetan di Indonesia menyebabkan kerugian finansial yang mengejutkan, mencapai USD 4 miliar atau setara dengan Rp 56 triliun per tahun.1 Angka ini bukanlah sekadar statistik; ia merepresentasikan potensi yang hilang—dana yang seharusnya bisa dialokasikan untuk membangun sekolah, rumah sakit, atau infrastruktur lainnya.
Sumber masalah ini, ironisnya, sering kali ditemukan di gerbang-gerbang jalan tol, infrastruktur yang sejatinya dibangun untuk melancarkan lalu lintas. Antrean panjang di Gerbang Tol Otomatis (GTO) menjadi pemandangan lazim, menciptakan titik-titik penyumbatan yang merambat ke seluruh jaringan jalan.1 Fenomena ini diperparah oleh dinamika pertumbuhan yang tidak seimbang. Dalam satu dekade, antara tahun 2008 dan 2018, jumlah kendaraan di Indonesia meledak lebih dari dua kali lipat, dari sekitar 61,7 juta unit menjadi hampir 146,9 juta unit.1 Pertumbuhan eksponensial ini jauh melampaui kapasitas pembangunan jalan baru, menciptakan sebuah perlombaan yang mustahil dimenangkan dengan cara-cara konvensional.
Upaya-upaya sebelumnya, seperti kebijakan "three-in-one" atau sistem ganjil-genap, terbukti tidak lagi memadai. Fakta bahwa kemacetan kini telah merembes masuk ke jalan bebas hambatan adalah sinyal paling jelas bahwa Indonesia membutuhkan sebuah lompatan paradigma, bukan sekadar solusi tambal sulam.1 Masalah ini telah berevolusi dari sekadar isu transportasi menjadi hambatan pembangunan fundamental yang menahan laju efisiensi ekonomi nasional.
Visi Masa Depan: Mengenal Solusi Total Multi-Lane Free Flow (MLFF)
Menjawab tantangan tersebut, penelitian ini mengajukan sebuah konsep bernama "Solusi Total," dengan Multi-Lane Free Flow (MLFF) sebagai jantungnya. MLFF adalah sistem pembayaran tol nirsentuh (touchless) yang memungkinkan kendaraan melintas di gerbang tol tanpa perlu berhenti atau bahkan mengurangi kecepatan.1 Bayangkan sebuah perjalanan di mana tidak ada lagi palang pintu, tidak ada lagi antrean, dan tidak ada lagi transaksi fisik.
Teknologi di balik visi ini adalah Electronic Toll Collection (ETC) yang berbasis Radio Frequency Identification (RFID). Sebuah stiker atau tag RFID kecil ditempelkan di kaca depan mobil. Saat kendaraan melintas di bawah sebuah gerbang sensorik (gantry) yang dipasang di atas jalan tol, sistem akan secara otomatis mengenali dan mengidentifikasi kendaraan serta penggunanya, lalu memotong saldo tol dari akun yang telah terdaftar.1
Manfaat paling langsung dan terlihat dari sistem ini adalah eliminasi total fungsi gerbang tol konvensional. Dengan meniadakan hambatan fisik ini, arus lalu lintas dapat mengalir bebas tanpa sumbatan, sesuai dengan nama sistemnya: free flow. Namun, visi "Solusi Total" ini jauh lebih dalam dari sekadar efisiensi pembayaran. Sistem ini dirancang untuk mengintegrasikan seluruh departemen terkait melalui jaringan Internet of Things (IoT).1 Ini berarti MLFF bukan hanya sistem penagihan, melainkan sebuah ekosistem cerdas yang mampu mengumpulkan data lalu lintas secara real-time, memantau kondisi jalan, dan menjadi fondasi bagi manajemen mobilitas yang lebih dinamis dan responsif di masa depan.
Belajar dari yang Terbaik: Cetak Biru Kesuksesan Global
Visi penerapan MLFF di Indonesia bukanlah sebuah utopia teoretis. Teknologi ini telah terbukti berhasil dan matang di berbagai negara. Penelitian ini menyoroti dua studi kasus utama yang dapat menjadi cetak biru bagi Indonesia.
Pelajaran Awal dari Amerika Serikat (E-Z Pass)
Amerika Serikat, dengan sistem seperti E-Z Pass, menjadi salah satu pionir dalam penerapan tol elektronik berbasis RFID. Konsep dasarnya sama: sebuah transponder di kendaraan berkomunikasi dengan antena di atas jalan untuk melakukan pembayaran otomatis.1 Sistem ini juga memperkenalkan mekanisme penegakan hukum yang krusial. Jika kendaraan melintas tanpa transponder yang valid atau saldo yang cukup, kamera akan merekam pelat nomornya, dan surat tilang akan dikirimkan ke alamat pemilik kendaraan.1 Ini menjadi pelajaran penting tentang pentingnya sistem penegakan yang kuat untuk memastikan kepatuhan pengguna.
Taiwan, Standar Emas Dunia (eTag System)
Namun, model yang paling relevan dan inspiratif bagi Indonesia adalah Taiwan. Negara ini menjadi yang pertama di dunia yang berhasil mengubah 100% jaringan jalan tolnya menjadi sistem MLFF elektronik sepenuhnya.1 Keberhasilan Taiwan bukanlah isapan jempol, melainkan didukung oleh data yang luar biasa:
Kunci kesuksesan Taiwan tidak hanya terletak pada kecanggihan teknologinya, tetapi juga pada pendekatan yang berpusat pada pengguna. Pemerintah memastikan kemudahan akses yang luar biasa. Pengguna dapat mengisi ulang saldo eTag mereka di lebih dari 11.000 lokasi, termasuk di gerai-gerai minimarket yang tersebar di seluruh negeri, atau melalui aplikasi fintech, transfer bank, hingga tagihan telepon.1 Pelajaran bagi Indonesia sangat jelas: adopsi publik yang tinggi diraih melalui kemudahan dan kenyamanan, bukan paksaan.
Lebih dari itu, Taiwan menunjukkan bahwa MLFF adalah alat tata kelola lalu lintas yang canggih. Sistem ini memungkinkan penerapan tarif dinamis berbasis jarak (pay-as-you-go), memberikan jatah perjalanan gratis harian (20 km per hari), dan menyesuaikan tarif pada jam-jam sibuk untuk mengurai kepadatan.1 Ini mengubah fungsi tol dari sekadar pungutan menjadi instrumen cerdas untuk memengaruhi perilaku pengemudi dan mengelola beban jaringan jalan secara proaktif.
Mata di Langit: Revolusi Perawatan Infrastruktur dengan Teknologi Drone
"Solusi Total" tidak berhenti pada sistem pembayaran. Pilar kedua dari revolusi ini adalah pemanfaatan Unmanned Aerial Vehicle (UAV) atau drone untuk pemeliharaan dan inspeksi infrastruktur jalan dan jembatan. Selama ini, inspeksi dilakukan secara manual—sebuah proses yang lambat, padat karya, sering kali mengganggu lalu lintas, dan berisiko bagi keselamatan pekerja.
Teknologi drone menawarkan sebuah paradigma baru yang lebih cerdas, lebih cepat, dan jauh lebih efisien. Dengan menggunakan contoh dari Taiwan, penelitian ini menggambarkan lompatan efisiensi yang dramatis:
Pemanfaatan drone ini lebih dari sekadar mengambil foto dari udara. Ini adalah sebuah alur kerja data yang terintegrasi, mulai dari pengumpulan data, pemrosesan melalui server untuk menciptakan model 3D, hingga menghasilkan rencana perbaikan yang dapat ditindaklanjuti.1 Hal ini memungkinkan otoritas untuk beralih dari model pemeliharaan reaktif (memperbaiki kerusakan yang sudah parah) ke pemeliharaan prediktif (mengidentifikasi dan mengatasi masalah kecil sebelum menjadi besar). Data objektif dari drone juga berfungsi sebagai alat tata kelola yang kuat, memastikan akuntabilitas dan transparansi dalam pekerjaan yang dilakukan oleh kontraktor.1
Membawa Pulang Revolusi: Proyeksi Dampak untuk Indonesia
Jika cetak biru kesuksesan global ini diterapkan di Indonesia, dampaknya akan bersifat transformasional. Penelitian ini memproyeksikan sebuah skenario "kemenangan rangkap tiga" (triple-win) yang nyata bagi bangsa:
Penerapan "Solusi Total" ini bukan hanya tentang memperbaiki jalan tol. Keberhasilannya akan menciptakan efek pengganda (multiplier effect) yang luas bagi perekonomian, membuka potensi pertumbuhan baru, dan menarik investasi. Ini adalah proyek pembangunan bangsa yang menyamar dalam bentuk modernisasi infrastruktur.
Tinjauan Kritis dan Jalan di Depan
Meskipun visi yang ditawarkan sangat menjanjikan, mengadopsi sistem sebesar ini di negara seperti Indonesia bukannya tanpa tantangan. Analisis yang kredibel harus mengakui beberapa rintangan besar yang perlu diatasi.
Tantangan terbesar bukanlah pada teknologi itu sendiri, yang sudah terbukti andal, melainkan pada skala sosio-logistiknya. Taiwan berhasil mengimplementasikan sistem ini pada sekitar 6 juta kendaraan.1 Indonesia, pada tahun 2018 saja, sudah memiliki 146,9 juta kendaraan terdaftar.1 Mengelola program distribusi dan instalasi tag RFID, membangun ekosistem pembayaran yang inklusif, serta melakukan kampanye edukasi publik untuk populasi sebesar ini adalah tugas yang monumental.
Selain itu, ada aspek manusia yang tidak boleh diabaikan. Eliminasi fungsi GTO berarti akan ada pergeseran pekerjaan bagi ribuan petugas tol.1 Pemerintah perlu menyiapkan program transisi dan alih keahlian yang adil untuk memastikan tidak ada yang tertinggal dalam transformasi ini.
Isu kesenjangan digital juga menjadi perhatian. Sistem ini sangat bergantung pada akses ke pembayaran digital atau jaringan lokasi isi ulang yang luas. Bagaimana memastikan sistem ini dapat diakses secara adil oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk mereka yang tidak memiliki rekening bank (unbanked) atau tinggal di daerah terpencil?
Terakhir, sebuah sistem yang mampu "mengenali dan mengidentifikasi kendaraan dan pengguna" 1 secara inheren menciptakan basis data pergerakan warga yang sangat besar. Isu privasi dan keamanan data akan menjadi perhatian publik yang utama. Diperlukan kerangka regulasi yang kuat dan transparan untuk mengatur kepemilikan, penggunaan, dan perlindungan data ini dari penyalahgunaan sebelum sistem diluncurkan secara penuh.
Kesimpulan: Jalan Tol Indonesia di Ambang Era Baru
Indonesia saat ini berdiri di persimpangan jalan. Satu jalan adalah melanjutkan status quo, dengan kemacetan yang semakin parah dan kerugian ekonomi Rp 56 triliun yang terus membengkak setiap tahun. Jalan yang lain adalah merangkul sebuah evolusi teknologi yang berani, sebuah "Solusi Total" yang telah terbukti mampu mengubah lanskap transportasi dan ekonomi.
Penerapan MLFF dan teknologi inspeksi drone bukan lagi sekadar pilihan untuk kenyamanan, melainkan sebuah keharusan strategis untuk "meningkatkan efisiensi dalam pelayanan publik, logistik, dan industri yang bermuara pada efisiensi ekonomi".1 Jika diimplementasikan secara penuh dan bijaksana, dengan mengatasi tantangan-tantangan yang ada, solusi ini tidak hanya akan mengurai kemacetan. Ia akan menjadi fondasi bagi ekosistem transportasi cerdas Indonesia, membuka jalan menuju masa depan mobilitas yang lebih aman, lebih bersih, dan jauh lebih produktif untuk generasi yang akan datang.
Sumber Artikel:
Pattiasina, J. R. (2021). TOTAL SOLUTION FOR SMART TRAFFIC AND TOLL ROADS MANAGEMENT IN INDONESIA. DEVOTION: Journal of Community Service, 3(2), 149-163.
Pembelajaran Digital
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 11 Oktober 2025
Latar Belakang Teoretis
Di tengah percepatan adopsi pembelajaran daring yang dipicu oleh krisis kesehatan global, pemahaman mendalam mengenai faktor-faktor yang mendorong kepuasan mahasiswa menjadi semakin krusial. Karya Justice Kofi Armah, Brandford Bervell, dan Nana Osei Bonsu yang berjudul, "Modelling the role of learner presence within the community of inquiry framework to determine online course satisfaction in distance education," secara langsung menjawab tantangan ini. Latar belakang masalah yang diangkat adalah bahwa meskipun pembelajaran daring menawarkan fleksibilitas, keberhasilannya sangat bergantung pada penciptaan komunitas belajar yang kuat di mana interaksi dan komunikasi menjadi pusatnya.
Kerangka teoretis penelitian ini secara solid berlabuh pada model Community of Inquiry (CoI) yang dikembangkan oleh Garrison, Anderson, dan Archer, yang mengidentifikasi tiga pilar inti: Kehadiran Pengajaran (Teaching Presence - TP), Kehadiran Sosial (Social Presence - SP), dan Kehadiran Kognitif (Cognitive Presence - CP). Namun, penulis berargumen bahwa model CoI asli perlu diperluas untuk secara eksplisit memasukkan konstruk keempat yang diusulkan oleh Shea dan Bidjerano, yaitu Kehadiran Pembelajar (Learner Presence - LP), yang berfokus pada proses regulasi diri dan metakognisi mahasiswa. Dengan demikian, hipotesis yang mendasari studi ini adalah bahwa keempat bentuk kehadiran ini—TP, SP, CP, dan LP—memiliki hubungan kausal yang kompleks satu sama lain dan secara kolektif mempengaruhi Kepuasan Kursus Daring (Online Course Satisfaction - OCS). Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk memvalidasi secara empiris model CoI yang diperluas ini dalam konteks pendidikan jarak jauh di sebuah universitas di Ghana.
Metodologi dan Kebaruan
Penelitian ini mengadopsi metode kuantitatif dengan pendekatan survei untuk menguji model konseptual yang telah dirumuskan. Pengumpulan data primer dilakukan melalui penyebaran kuesioner daring (Google Forms) kepada mahasiswa program pendidikan jarak jauh di University of Cape Coast, Ghana, yang menggunakan Moodle sebagai Learning Management System (LMS) utama mereka.
Untuk menganalisis data, penulis menggunakan teknik statistik yang canggih, yaitu Partial Least Squares Structural Equation Modeling (PLS-SEM). Pendekatan ini memungkinkan pengujian simultan terhadap model pengukuran (measurement model) untuk memastikan validitas dan reliabilitas instrumen, diikuti oleh evaluasi model struktural (structural model) untuk menguji hipotesis penelitian.
Kebaruan dari karya ini tidak terletak pada pengembangan teori baru dari awal, melainkan pada validasi empiris dari model CoI yang diperluas dengan memasukkan Kehadiran Pembelajar (LP). Dengan secara sistematis menguji hubungan antar keempat konstruk kehadiran ini dan dampaknya terhadap kepuasan, penelitian ini memberikan sebuah kontribusi yang bernuansa pada literatur CoI, menawarkan sebuah model yang lebih holistik untuk memahami dinamika komunitas belajar daring.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis data kuantitatif menghasilkan serangkaian temuan yang memberikan wawasan mendalam mengenai faktor-faktor yang mendorong kepuasan mahasiswa dalam kursus daring.
Pengaruh Signifikan Kehadiran Pengajaran dan Sosial: Temuan utama dari penelitian ini adalah bahwa Kehadiran Pengajaran (TP) dan Kehadiran Sosial (SP) secara signifikan dan positif memprediksi Kepuasan Kursus Daring (OCS). Temuan ini sejalan dengan banyak studi sebelumnya dan mengontekstualisasikan bahwa interaksi yang efektif dengan fasilitator (TP) dan perasaan menjadi bagian dari sebuah komunitas (SP) adalah dua pendorong paling krusial bagi pengalaman belajar daring yang memuaskan.
Insignifikansi Kehadiran Kognitif dan Pembelajar: Salah satu temuan yang paling menarik dan agak kontra-intuitif adalah bahwa baik Kehadiran Kognitif (CP) maupun Kehadiran Pembelajar (LP) ditemukan tidak secara signifikan memprediksi Kepuasan Kursus Daring. Ini menyiratkan bahwa sekadar keterlibatan dengan konten (CP) atau penampilan sebagai pembelajar yang meregulasi diri (LP) tidak cukup untuk mendorong kepuasan jika tidak didukung oleh interaksi sosial dan pengajaran yang kuat.
Hubungan Antar-Kehadiran: Model ini juga mengungkap hubungan kausal yang penting di antara konstruk kehadiran itu sendiri. Ditemukan bahwa Kehadiran Sosial (SP) secara signifikan memprediksi Kehadiran Pengajaran (TP), yang menunjukkan bahwa lingkungan sosial yang positif dapat memfasilitasi interaksi yang lebih efektif antara mahasiswa dan pengajar.
Secara keseluruhan, temuan ini melukiskan gambaran di mana kepuasan dalam pembelajaran daring lebih didorong oleh aspek-aspek interaksional dan komunal daripada sekadar keterlibatan kognitif individual.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Meskipun menyajikan analisis yang kuat, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, sebagai sebuah studi yang dilakukan dalam konteks satu universitas di Ghana, generalisasi temuannya ke lingkungan budaya atau institusional lain harus dilakukan dengan hati-hati. Kedua, ketergantungan pada data survei yang dilaporkan sendiri (self-reported data) berarti bahwa hasil yang diperoleh didasarkan pada persepsi mahasiswa, bukan pada pengukuran perilaku atau kinerja yang objektif.
Secara kritis, temuan mengenai insignifikansi Kehadiran Kognitif dan Kehadiran Pembelajar merupakan hasil yang provokatif yang menuntut eksplorasi lebih lanjut. Penelitian kualitatif di masa depan dapat menggali lebih dalam untuk memahami mengapa kedua faktor ini tidak secara langsung berkontribusi pada kepuasan dalam konteks ini.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Secara praktis, implikasi dari penelitian ini sangat jelas bagi institusi pendidikan jarak jauh. Pesan utamanya adalah bahwa untuk meningkatkan kepuasan mahasiswa, prioritas utama harus diberikan pada penguatan Kehadiran Sosial dan Kehadiran Pengajaran. Ini mencakup perancangan aktivitas yang mendorong interaksi antar-mahasiswa dan memastikan bahwa para pengajar secara aktif memfasilitasi, memberikan umpan balik, dan membangun rasa kebersamaan di dalam kelas virtual.
Untuk penelitian di masa depan, karya ini membuka beberapa jalan. Studi replikasi di berbagai negara dan disiplin ilmu akan sangat berharga untuk menguji kekokohan model CoI yang diperluas ini. Selain itu, penelitian metode campuran yang mengintegrasikan data survei kuantitatif dengan wawancara kualitatif dapat memberikan pemahaman yang lebih kaya mengenai nuansa di balik hubungan statistik yang ditemukan.
Sumber
Armah, J. K., Bervell, B., & Bonsu, N. O. (2023). Modelling the role of learner presence within the community of inquiry framework to determine online course satisfaction in distance education. Heliyon, 9(2023), e15803. https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2023.e15803