Skandal Wood Pellet Gorontalo: Deforestasi, Hukum, dan Masa Depan Bioenergi Indonesia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

17 Juni 2025, 12.05

pixabay.com

Wood Pellet, Energi Terbarukan, dan Ancaman Deforestasi

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia gencar mempromosikan biomassa—khususnya wood pellet—sebagai solusi energi terbarukan yang dianggap lebih ramah lingkungan dan mampu menurunkan emisi karbon dari sektor pembangkit listrik. Program co-firing biomassa di PLTU, dengan target penggunaan biomassa 5–10% di 52 PLTU hingga 2025, membutuhkan pasokan wood pellet hingga 8–14 juta ton per tahun. Namun, di balik narasi hijau ini, tersembunyi praktik-praktik yang mengancam keberlanjutan lingkungan dan menimbulkan masalah hukum serius, seperti yang terungkap dalam kasus PT Biomassa Gorontalo1.

Studi Kasus: PT Biomassa Gorontalo dan Deforestasi Pohuwato

Fakta Lapangan dan Angka-Angka Penting

  • Deforestasi Masif: Analisis Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan bahwa antara 2021–2023, PT Banyan Tumbuh Lestari (BTL) melakukan deforestasi 1.105 hektare hutan alam, sementara PT Inti Global Laksana (IGL) membabat 36 hektare hutan alam di Gorontalo. Kedua perusahaan ini memasok bahan baku utama untuk PT Biomassa Jaya Abadi (BJA), produsen wood pellet terbesar di Gorontalo1.
  • Volume dan Nilai Ekspor: Data PT Equality Indonesia mencatat, sepanjang Februari–Desember 2023, PT BJA mengekspor 95.253.282 kg wood pellet senilai USD 12.990.019. Pada Februari–Agustus 2024, ekspor melonjak ke 124.980.503 kg dengan nilai USD 17.052.6751.
  • Ekspor ke Luar Negeri: Ekspor wood pellet Gorontalo mayoritas menuju Jepang dan Korea Selatan, dua negara yang tengah agresif mengadopsi biomassa untuk transisi energi mereka. Jepang menargetkan 3,7–4,6% bauran energi 2030 berasal dari biomassa, sedangkan Korea Selatan menargetkan 20% energi terbarukan pada 20301.
  • Transhipment Ilegal: Pelet kayu diekspor melalui pelabuhan khusus BJA di Desa Trikora, Pohuwato, lalu dipindahkan (transhipment) ke kapal asing di tengah laut, di zona inti kawasan konservasi perairan—wilayah penting bagi perlindungan gurita dan mata pencaharian Suku Bajo Torosiaje1.

Modus Pelanggaran dan Unreported Logging

  • Pemalsuan Dokumen: Investigasi menemukan pemalsuan dokumen angkutan kayu, manipulasi jenis kayu, serta penggunaan perusahaan “pinjam bendera” tanpa sertifikat legalitas (V-Legal) untuk mengekspor kayu olahan1.
  • Unreported Export: Ekspor wood pellet tidak tercatat dalam Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sehingga diduga kuat terjadi praktik unreported logging dan penghindaran pajak1.
  • Transhipment di Wilayah Konservasi: Proses pemindahan muatan di tengah laut, tanpa pemeriksaan bea cukai resmi (port to port), menambah indikasi pelanggaran hukum nasional dan internasional (UNCLOS)1.

Analisis Yuridis: Pelanggaran Hukum dan Lemahnya Penegakan

Kerangka Hukum Nasional

  • UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) menjadi dasar hukum utama pencegahan illegal logging. Pasal 12 UU P3H melarang penebangan, pengangkutan, dan perdagangan hasil hutan tanpa izin serta tanpa dokumen sah (SKSHH)1.
  • Sanksi Berat: Pelaku illegal logging, termasuk korporasi, terancam pidana penjara 10–15 tahun dan denda hingga Rp 10 miliar. Untuk pelanggaran pengangkutan tanpa SKSHH, ancaman penjara 1–5 tahun dan denda Rp 500 juta–2,5 miliar; untuk korporasi, 5–15 tahun dan denda Rp 5–15 miliar1.
  • Penyelundupan dan Pemalsuan: Modus pemalsuan dokumen diatur dalam KUHP Pasal 263–276, sedangkan pengangkutan kayu tanpa dokumen sah masuk dalam delik pidana kehutanan khusus1.

Masalah Penegakan Hukum

  • Jaringan Terorganisir: Perdagangan kayu ilegal termasuk kejahatan terorganisir (organized crime) yang melibatkan banyak pihak, mulai dari perusahaan, oknum pejabat, hingga jaringan internasional. Penegakan hukum kerap terhambat oleh lemahnya pengawasan, kolusi, dan celah regulasi1.
  • Kasus Unreported Logging: Praktik unreported logging sulit diberantas karena pengawasan lemah, dokumen mudah dimanipulasi, dan sistem pelaporan ekspor tidak transparan. Modus seperti “dokumen terbang” dan transhipment di laut lepas memperburuk situasi1.
  • Kerugian Negara: Kerugian akibat illegal logging di Indonesia diperkirakan mencapai Rp 30,42 triliun per tahun, belum termasuk kerugian ekologis dan sosial1.

Aspek Hukum Internasional

  • UNCLOS dan Transhipment: Menurut UNCLOS, negara pantai berhak melakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran di wilayah yurisdiksinya, termasuk menaiki, memeriksa, dan menangkap kapal pelaku transhipment ilegal. Namun, yurisdiksi di laut lepas tetap menjadi tantangan, sehingga penegakan hukum harus melibatkan negara bendera kapal dan kerja sama internasional1.

Dampak Sosial-Ekologis: Dari Konflik Agraria hingga Krisis Biodiversitas

Kerusakan Ekologis

  • Deforestasi dan Hilangnya Biodiversitas: Sepanjang 2017–2023, Gorontalo kehilangan 35.770,36 hektare hutan alam. Dari 693.795 hektare hutan alam yang tersisa (57% dari luas daratan), 10 izin konsesi hutan (282.100 hektare) disiapkan untuk proyek bioenergi. Deforestasi ini mengancam keanekaragaman hayati, fungsi hidrologis, dan ketahanan ekosistem1.
  • Emisi Karbon: Alih-alih menurunkan emisi, produksi wood pellet dari hutan alam justru menghasilkan emisi karbon baru akibat deforestasi, bertentangan dengan prinsip transisi energi berkelanjutan1.

Dampak Sosial dan Konflik Agraria

  • Konflik Lahan: Data Walhi 2018 mencatat 85 konflik SDA di bidang kehutanan di enam provinsi, dengan 91,14% melibatkan masyarakat versus perusahaan/pemerintah. Sengketa agraria di Gorontalo berpotensi meningkat seiring ekspansi konsesi untuk wood pellet1.
  • Kehilangan Mata Pencaharian: Zona konservasi perairan yang menjadi lokasi transhipment adalah wilayah tangkap gurita Suku Bajo Torosiaje. Aktivitas ekspor ilegal mengancam ekonomi lokal dan keberlanjutan komunitas pesisir1.

Kritik dan Opini: Antara Greenwashing dan Keberlanjutan

Greenwashing dalam Transisi Energi

Kasus PT Biomassa Gorontalo menyoroti bahaya greenwashing—menggunakan narasi “energi hijau” untuk menutupi praktik destruktif. Alih-alih mendorong energi terbarukan yang berkelanjutan, proyek biomassa berbasis deforestasi justru mempercepat krisis lingkungan. Praktik ini bertentangan dengan tren global yang menuntut transparansi rantai pasok dan legalitas produk bioenergi.

Perbandingan dengan Studi Lain

Fenomena serupa terjadi di Sumatra dan Kalimantan, di mana produksi wood pellet dan ekspor kayu sering melibatkan manipulasi dokumen, kolusi pejabat, dan lemahnya penegakan hukum. Penelitian Sembiring et al. (2024) menegaskan bahwa sistem pengawasan dan sertifikasi legalitas kayu di Indonesia masih memiliki banyak celah, sehingga korporasi besar bisa mengakali regulasi demi keuntungan ekspor1.

Rekomendasi: Jalan Menuju Tata Kelola Hutan yang Berkelanjutan

Langkah Preventif

  • Audit dan Moratorium: Pemerintah harus segera mengaudit seluruh aktivitas produksi wood pellet, terutama yang berbasis hutan alam, dan memberlakukan moratorium ekspansi hingga ada jaminan legalitas dan keberlanjutan1.
  • Reformasi Sistem Legalitas: Perbaiki sistem SILK dan sertifikasi V-Legal agar tidak mudah dimanipulasi; pastikan seluruh rantai pasok kayu tercatat dan transparan.
  • Peningkatan Peran Masyarakat: Libatkan masyarakat lokal dalam pengawasan, pelaporan, dan pengelolaan hutan lestari.

Langkah Represif

  • Penegakan Hukum Tegas: Proses hukum harus menyasar korporasi, bukan hanya pelaku lapangan. Sanksi pidana dan denda maksimal harus diterapkan, termasuk pencabutan izin dan sertifikat legalitas bagi perusahaan pelanggar1.
  • Patroli dan Pengawasan Terpadu: Tingkatkan patroli hutan dan pengawasan pelabuhan, serta perkuat kerja sama dengan lembaga internasional untuk memberantas transhipment ilegal.

Transformasi Kebijakan Energi

  • Transisi Energi yang Adil: Hentikan program biomassa yang berbasis deforestasi. Fokus pada pengembangan energi terbarukan lain seperti surya, angin, dan hutan tanaman energi yang benar-benar berkelanjutan1.
  • Kolaborasi Multi Pihak: Bangun kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, LSM, dan sektor swasta untuk memastikan tata kelola hutan yang adil, transparan, dan berkelanjutan.

Kesimpulan

Kasus PT Biomassa Gorontalo adalah cermin problematika tata kelola hutan dan transisi energi di Indonesia. Deforestasi masif, praktik unreported dan illegal logging, serta lemahnya penegakan hukum menunjukkan bahwa narasi energi terbarukan bisa menjadi pedang bermata dua: solusi atau bencana. Tanpa reformasi sistemik, Indonesia berisiko kehilangan hutan alam tersisa dan gagal mewujudkan transisi energi yang benar-benar berkelanjutan.

Sumber artikel :
Juniar Sidiki. "Analisis Yuridis Praktik Unreported Serta Ilegal logging (Studi Kasus Perdagangan Kayu (Eksport) Wood Pellet PT Biomassa Gorontalo)." QISTINA: Jurnal Multidisiplin Indonesia, Vol. 3 No. 2 Desember 2024, P-ISSN: 2964-6278, E-ISSN: 2964-1268