Korupsi Konstruksi

Membongkar Korupsi dan Kejahatan Terorganisir dalam Industri Konstruksi Global: Pelajaran dari Mafia hingga Kartel

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Pendahuluan

Industri konstruksi dikenal sebagai sektor yang padat modal, kompleks, dan penuh ketergantungan antarpihak. Sayangnya, karakteristik ini juga menjadikannya ladang subur bagi korupsi dan infiltrasi kejahatan terorganisir. Dalam studi komprehensif berjudul A Review of Corruption and Organized Crime in the Construction Industry oleh Lars Flysjö (2020), ditelusuri secara mendalam bagaimana kelompok kriminal terorganisir memanfaatkan sektor ini untuk memperluas pengaruh, kekuasaan, dan profit mereka, baik di negara maju seperti Swedia maupun dalam konteks mafia Italia, Jepang, Kanada, hingga India.

Studi ini merupakan telaah literatur terhadap 15 artikel ilmiah dengan pendekatan kualitatif, dan berfokus pada fungsi korupsi dalam penyusupan kelompok kriminal ke industri konstruksi.

Fungsi Utama Korupsi dalam Infiltrasi Organisasi Kriminal

1. Penegakan Kartel

Kartel dalam industri konstruksi merujuk pada kolusi antar perusahaan untuk mengatur harga, memenangkan tender, dan menyingkirkan kompetitor. Dalam praktiknya:

  • Di Palermo, mafia menjadi mediator tender publik dengan “biaya koordinasi” sebesar 10% dari nilai kontrak (Savona, 1995).
  • Di Naples, Camorra mendapatkan 3–5% dari kontrak sebagai imbalan atas penyediaan tenaga kerja dan logistik (Vine, 2012).
  • Di Montreal, perusahaan yang tidak bergabung dengan kartel diintimidasi atau dipaksa keluar oleh mafia lokal (Jaspers, 2019).
  • Kartel di Belanda bahkan tidak memerlukan kehadiran mafia karena telah menjadi praktik industri yang “dinormalisasi”.

Penegakan kartel melalui korupsi terhadap pejabat publik memungkinkan mafia atau OCG (Organized Crime Groups) mendapatkan jaminan “keamanan pasar” dalam jangka panjang.

2. Organisasi Tenaga Kerja Gelap

Salah satu strategi utama kejahatan terorganisir adalah mengoperasikan jaringan tenaga kerja ilegal. Studi van Duyne (1993) menunjukkan jaringan kriminal Inggris mengorganisasi 200–300 pekerja di proyek-proyek Eropa Barat menggunakan perusahaan fiktif dan faktur palsu.

Untuk menjalankan skema ini, diperlukan korupsi terhadap pejabat imigrasi, pajak, dan pengawas proyek agar operasi berjalan tanpa hambatan.

3. Korupsi terhadap Serikat Pekerja

Di New York, mafia memperoleh kekuasaan besar melalui kendali atas serikat buruh seperti Teamsters Union, dan mengatur arus dana miliaran dolar dalam bentuk dana pensiun dan kontrak (Block & Griffin, 1997). Salah satu kasus paling mencolok adalah John Giura, yang mengatur aliran >USD 1 miliar ke broker tertentu dengan imbalan kickback.

Laporan investigasi tahun 1987 menunjukkan korupsi yang sangat luas di sektor konstruksi publik New York, tapi rekomendasinya tidak diterapkan karena resistensi dari pengembang dan serikat (Woodiwiss, 2015).

4. Korupsi terhadap Politisi dan Proses Perencanaan Kota

Korupsi politik adalah aspek kunci. Dalam banyak kasus, mafia:

  • Mengatur izin mendirikan bangunan
  • Mempengaruhi alokasi proyek publik
  • Mengatur zona pemukiman dan rencana kota

Contoh paling gamblang adalah:

  • Kota Desio di Italia Utara, di mana ‘Ndrangheta mengendalikan pejabat, pengembang, dan agen real estate untuk merancang rencana tata kota demi keuntungan sendiri (Chiodelli, 2019).
  • Di Mumbai, kelompok kriminal bertransformasi dari penyelundup menjadi pengembang properti kelas atas, bekerja sama dengan politisi dan birokrat (Weinstein, 2008).

Faktor-Faktor Kritis yang Memungkinkan Infiltrasi

1. Regulasi (dan Deregulasi)

Menariknya, baik keberadaan regulasi maupun ketiadaannya sama-sama bisa dieksploitasi. Contoh:

  • Deregulasi di era pasca-Perang Dunia II di Italia menciptakan celah bagi mafia untuk menguasai pasar kontruksi (Savona, 1995).
  • Regulasi yang rumit dan birokrasi yang lambat membuat proses perizinan menjadi peluang untuk suap dan jual beli keputusan.

2. Insentif Struktural dan Budaya

Industri konstruksi memiliki struktur unik:

  • Proyek bersifat temporer
  • Banyak subkontraktor kecil
  • Keterlibatan langsung pemerintah (sebagai pemberi kerja, regulator, dan pengembang)

Hal ini menciptakan ekosistem yang rentan terhadap kolusi. Ditambah lagi, dalam banyak budaya, praktik seperti hadiah atau balas jasa masih dianggap normal, memperkuat toleransi terhadap korupsi.

3. Ekonomi Transisi

Ekonomi yang sedang bertransisi (pasca-konflik, liberalisasi pasar) sangat rawan:

  • Di Italia selatan, 1.708 perusahaan milik mafia disita pada 2011, dan sepertiganya adalah perusahaan konstruksi (Scognamiglio, 2018).
  • Di Swedia, pergeseran dari masyarakat egaliter ke arah ketimpangan ekonomi juga memicu pertumbuhan jaringan kriminal dan eksploitasi di sektor konstruksi (Therborn, 2020).

4. Kekuatan Diskresioner

Kewenangan mutlak tanpa akuntabilitas adalah pemicu utama korupsi. Studi menunjukkan bahwa pejabat publik seringkali menggunakan diskresi dalam:

  • Memberikan izin proyek
  • Menentukan pemenang tender
  • Mengabaikan pelanggaran dengan imbalan suap

Kasus besar seperti operasi “Clean Hands” di Italia membuktikan bahwa diskresi yang tidak terkontrol bisa menjadi sistem korupsi yang mapan.

Relevansi dan Potensi Ancaman di Swedia

Swedia, meski dianggap sebagai negara dengan tingkat korupsi rendah, mulai menunjukkan tanda-tanda bahaya:

  • Jaringan kriminal seperti Hells Angels mulai terlibat dalam proyek konstruksi besar (SVT, 2019).
  • Tidak adanya kerangka hukum untuk mencegah perusahaan milik geng kriminal memenangkan tender publik menjadi celah serius (Savona et al., 2015).
  • Penelitian menunjukkan bahwa “pasar gelap tenaga kerja” di sektor konstruksi menghasilkan lebih dari €10 juta setiap tahun (Heber, 2009).

Kesimpulan dan Rekomendasi

Korupsi adalah pintu masuk utama bagi kejahatan terorganisir ke dalam industri konstruksi. Mereka memanfaatkan celah dalam regulasi, budaya toleransi, diskresi pejabat, dan struktur proyek yang kompleks.

Studi ini menyarankan bahwa untuk mencegah hal ini:

  • Transparansi tender publik harus diperkuat
  • Sistem blacklist global dan nasional perlu diterapkan
  • Pengawasan independen dan whistleblowing system wajib dibentuk
  • Pemerintah harus mengurangi kewenangan diskresioner tanpa pengawasan

Sebagaimana ditekankan Flysjö (2020), tantangan masa depan bukan hanya pada pemberantasan, tetapi mengenali pola awal infiltrasi sebelum kejahatan terorganisir berkembang menjadi bagian dari sistem.

Sumber asli:
Flysjö, L. (2020). A Review of Corruption and Organized Crime in the Construction Industry. Malmö University: Faculty of Health and Society, Department of Criminology.

Selengkapnya
Membongkar Korupsi dan Kejahatan Terorganisir dalam Industri Konstruksi Global: Pelajaran dari Mafia hingga Kartel

Korupsi Konstruksi

Strategi Akuntabilitas untuk Cegah Korupsi Proyek Konstruksi: Praktik Terbaik dan Rekomendasi Global

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Pendahuluan

Sektor konstruksi global mengalami kerugian hingga $340 miliar per tahun akibat korupsi, menurut American Society of Civil Engineers (2004). Praktik-praktik tidak etis seperti suap, penggelapan, dan pemalsuan dokumen membebani anggaran publik, menurunkan kualitas infrastruktur, serta memperparah ketimpangan sosial.

Artikel berjudul “Accountability to Prevent Corruption in Construction Projects” karya M. Sohail dan S. Cavill menyajikan kerangka konseptual yang menghubungkan korupsi, norma budaya, etika, dan akuntabilitas. Penulis menyusun pendekatan multidimensi berbasis praktik nyata di berbagai negara untuk mengatasi korupsi di sektor konstruksi, baik di negara maju maupun berkembang.

Kerangka Konseptual: Empat Pilar Utama

Penulis mengembangkan model konseptual berbasis empat komponen:

  1. Korupsi
  2. Norma budaya
  3. Etika
  4. Akuntabilitas

Setiap elemen saling terkait melalui empat fungsi:

  • Peningkatan kesadaran
  • Penguatan institusi profesional
  • Pencegahan korupsi
  • Penegakan hukum dan pengawasan

Kerangka ini tidak hanya teoritis, melainkan juga dilengkapi dengan studi kasus dan inisiatif nyata dari berbagai belahan dunia, membuatnya relevan untuk implementasi kebijakan antikorupsi di sektor konstruksi.

Korupsi dalam Proyek Infrastruktur: Pola, Dampak, dan Contoh

Korupsi dalam konstruksi terjadi di seluruh tahapan:

  • Pemilihan proyek: proyek dipilih berdasarkan potensi suap, bukan kebutuhan publik.
  • Desain dan perencanaan: manipulasi desain demi keuntungan kontraktor tertentu.
  • Tender: kolusi antar penawar, gratifikasi kepada pejabat.
  • Konstruksi: penggunaan material di bawah standar, pencatatan fiktif.
  • Operasional dan pemeliharaan: penggelembungan anggaran, penyuapan untuk perpanjangan kontrak.

Contoh nyata:
Kasus Lesotho Highlands Water Project, di mana CEO proyek menerima suap dari lebih dari 12 perusahaan, berujung pada hukuman 12 tahun penjara dan pencoretan beberapa perusahaan dari daftar kontraktor Bank Dunia.

Norma Budaya dan Perilaku Koruptif: Antara Tradisi dan Pelanggaran

Dalam beberapa budaya, praktik seperti pemberian hadiah, guanxi (Tiongkok), atau blat (Rusia) dianggap wajar dalam membina relasi bisnis. Namun, toleransi terhadap perilaku tersebut dapat membuka celah korupsi sistemik.

Penulis menyarankan agar upaya antikorupsi bersifat kontekstual, memperhatikan dinamika sosial dan budaya lokal. Misalnya, pendekatan yang berhasil di Brasil belum tentu efektif di Afrika Sub-Sahara.

Etika dan Nilai Profesional: Lebih dari Sekadar Aturan

Etika dalam sektor konstruksi meliputi:

  • Integritas dan kejujuran
  • Objektivitas dan akuntabilitas
  • Transparansi dan keadilan

Penekanan pada pelatihan etika bagi pekerja konstruksi dianggap lebih efektif daripada sekadar menegakkan aturan tertulis. Organisasi seperti Royal Academy of Engineering dan Society of Construction Law telah mengembangkan kode etik sektoral.

Inisiatif global:
Sebanyak 19 perusahaan konstruksi internasional dengan total pendapatan lebih dari $70 miliar menandatangani Business Principles for the Construction Sector untuk menerapkan kebijakan zero tolerance terhadap suap dan kolusi.

Akuntabilitas: Mekanisme Formal untuk Mengendalikan Korupsi

Akuntabilitas didefinisikan sebagai kewajiban pihak A untuk menjelaskan tindakannya kepada pihak B dan menerima sanksi bila terjadi penyimpangan (Schedler et al., 1999). Penerapannya meliputi:

  1. Keterlibatan warga dalam pemantauan proyek
  2. Pelaporan publik kinerja kontraktor
  3. Penegakan sanksi terhadap penyimpangan
  4. Mekanisme pelaporan keluhan dan pengaduan

Studi kasus:
Di Filipina, CCAGG (Concerned Citizens of Abra for Good Government) melatih warga untuk mengaudit proyek-proyek konstruksi. Hasilnya, kualitas pekerjaan meningkat dan pengeluaran fiktif menurun drastis.

Praktik Internasional: Studi Kasus dan Hasil

1. Integrity Pact

Digunakan di berbagai negara, termasuk Pakistan, Indonesia, dan Jerman (Bandara Internasional Berlin). Pihak pemerintah dan kontraktor menandatangani komitmen untuk tidak menyuap atau menerima suap.

2. Penggunaan Teknologi

Situs seperti www.licitenet.com di Ekuador memberikan akses publik terhadap proses tender dan kontrak.

Korea Selatan menerapkan e-procurement sejak 1998. Proses pengadaan daring ini berhasil:

  • Menurunkan biaya
  • Menghindari perlakuan istimewa
  • Meningkatkan partisipasi kontraktor

Tantangan dan Penegakan

Korupsi sering tidak terdeteksi karena:

  • Kompleksitas proyek
  • Banyaknya kontraktor kecil
  • Sulitnya memantau kualitas di lapangan

Data penting:
Survei oleh PricewaterhouseCoopers (2003) atas 184 perusahaan konstruksi di 44 negara menunjukkan bahwa sepertiga pernah mengalami kejahatan ekonomi terkait korupsi.

Solusi:

  • Blacklist global: Bank Dunia mencoret lebih dari 70 perusahaan dari proyeknya karena korupsi.
  • Laporan warga: Report card oleh Public Affairs Centre di India berhasil menekan kecurangan di penyedia layanan publik seperti listrik dan air.

Rekomendasi Strategis: Operasionalisasi Kerangka Kerja

  1. Peningkatan Kesadaran
    • Kampanye media, pelatihan publik, penyebaran informasi proyek.
  2. Penguatan Institusi Profesional
    • Registrasi dan sertifikasi mandatori, audit internal sektor swasta.
  3. Pencegahan Korupsi
    • Kode etik nasional, pencegahan konflik kepentingan, integrasi sektor swasta dalam inisiatif antikorupsi.
  4. Pengawasan dan Penegakan
    • Audit warga (social audit), sistem whistleblower, penindakan hukum tegas.

Contoh sukses:
Penggunaan Right to Information Act oleh LSM Parivartan di India berhasil membongkar korupsi dalam proyek pembangunan fasilitas publik di Delhi.

Kesimpulan

Korupsi dalam konstruksi bukan hanya soal uang, tetapi menyangkut kualitas hidup masyarakat. Tanpa akuntabilitas, etika, dan pemahaman budaya, strategi antikorupsi hanya akan jadi formalitas. Makalah ini menekankan bahwa upaya pencegahan harus:

  • Terintegrasi
  • Bersifat lintas aktor (pemerintah, swasta, masyarakat)
  • Disesuaikan dengan konteks lokal

Dengan kerangka kerja yang kuat dan kemauan politik yang konsisten, industri konstruksi dapat dibersihkan dari praktik korupsi dan menjadi tulang punggung pembangunan yang adil dan berkelanjutan.

Sumber asli:
Sohail, M., & Cavill, S. (2008). Accountability to Prevent Corruption in Construction Projects. Journal of Construction Engineering and Management, ASCE.

Selengkapnya
Strategi Akuntabilitas untuk Cegah Korupsi Proyek Konstruksi: Praktik Terbaik dan Rekomendasi Global

Korupsi Konstruksi

Strategi Anti-Fraud di Proyek Konstruksi: Studi Kasus PT XYZ dan Framework Pencegahannya

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Pendahuluan

Fraud telah lama menjadi masalah kronis dalam industri konstruksi global. Di Indonesia, fenomena ini merambah ke berbagai level proyek, mulai dari penggelembungan harga material, manipulasi kontrak, hingga gratifikasi pada pihak pemberi proyek. Makalah berjudul "Fraud Risk Management in Construction Company: A Case Study in Indonesia" oleh Wininda N. Apriyanti dan Kurnia Irwansyah Rais (2020) mengangkat studi kasus PT XYZ—sebuah perusahaan konstruksi nasional—sebagai representasi nyata dari tantangan dan solusi sistemik dalam mengelola risiko fraud.

Melalui pendekatan kualitatif dan teori fraud triangle serta model Fraud Risk Management Maturity dari Ernst & Young dan kerangka KPMG, penelitian ini menyajikan analisis mendalam tentang sebab, jenis, serta upaya mitigasi fraud di sektor konstruksi.

Tingginya Risiko Fraud dalam Industri Konstruksi

Berdasarkan studi dari American Society of Civil Engineers, korupsi dan fraud menyebabkan kerugian hingga USD 340 miliar per tahun secara global dalam proyek konstruksi. Di Indonesia sendiri, riset ini mengungkap bahwa perusahaan seperti PT XYZ sangat rentan terhadap fraud karena:

  • Proyek dilakukan di lokasi terpencil yang jauh dari kantor pusat
  • Sistem pengawasan lemah
  • Proses pengadaan yang tidak transparan
  • Ketiadaan kebijakan anti-fraud yang matang

Menurut laporan ACFE (2018), rata-rata 7% pendapatan tahunan perusahaan hilang karena fraud, yang selain merugikan secara finansial juga berdampak pada reputasi dan kelangsungan bisnis.

Delapan Skema Fraud yang Terjadi di PT XYZ

Penelitian ini berhasil mengidentifikasi 8 skema fraud utama berdasarkan wawancara dan observasi langsung di proyek PT XYZ:

1. Pengalihan Pembelian (Diverted Purchases)

Material yang dipesan atas nama perusahaan justru dialihkan ke proyek lain yang bukan milik perusahaan. Hal ini terjadi karena tidak ada pemisahan fungsi antara pengguna material dan divisi pembelian.

Kategori fraud triangle: Opportunity.

2. Penggelembungan Harga Material (Inflated Prices)

Proyek mengalami pembengkakan biaya karena harga material yang dinaikkan melalui kerja sama fiktif antara pemasok dan manajer proyek.

Kategori: Opportunity.

3. Ketidaksesuaian Volume/Kualitas Material

Invoice menunjukkan volume/kualitas lebih tinggi dari kenyataan, tapi tak ada saluran pelaporan (whistleblowing). Kadang penerima barang justru ikut menerima bagian dari fraud.

Kategori: Opportunity dan Rationalization.

4. Penagihan Tambahan dari Subkontraktor

Meski kontraknya berbentuk lump sum, subkontraktor menagih berdasarkan waktu dan material. Hal ini disetujui tanpa verifikasi kontrak yang tepat oleh staf keuangan.

Kategori: Opportunity.

5. Biaya Sosial yang Digelembungkan

Proyek membayar “biaya sosial” ke masyarakat sekitar melebihi kebutuhan aktual, sering kali dengan kolusi antara manajer proyek dan staf lapangan.

Kategori: Opportunity.

6. Penyalahgunaan Alat Berat

Saat tidak digunakan, alat berat milik perusahaan disewakan ke pihak luar untuk keuntungan pribadi staf proyek.

Kategori: Rationalization.

7. Penyalahgunaan Sisa Material

Sisa material proyek dijual pribadi oleh staf proyek tanpa pelaporan resmi. Bahkan, pada tahap perencanaan material sudah dilebihkan.

Kategori: Opportunity dan Rationalization.

8. Gratifikasi kepada Pemilik Proyek

Praktik gratifikasi untuk memenangkan tender menyebabkan kerugian bagi perusahaan secara etis dan finansial. Ini juga merusak budaya perusahaan.

Kategori: Rationalization.

Akar Masalah: Financial Pressure dan Budaya Organisasi

Penelitian ini menyoroti bahwa akar utama fraud di PT XYZ adalah tekanan finansial yang tidak bisa dibagikan secara sosial (non-shareable). Salah satu contoh: manajer proyek yang menikah diam-diam dan memiliki beban biaya tambahan, kemudian melakukan fraud untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Namun, faktor opportunity dan rationalization juga memperparah situasi. Kurangnya sistem whistleblowing, lemahnya segregasi tugas, dan tidak adanya sanksi yang konsisten menciptakan ruang yang nyaman untuk pelaku fraud.

Tingkat Kematangan Manajemen Risiko Fraud di PT XYZ

Dengan menggunakan model Fraud Risk Management Maturity dari Ernst & Young, PT XYZ dinilai masih berada di tingkat dasar (basic) pada mayoritas komponennya:

  • Code of conduct: Basic
  • Fraud prevention policies: Basic
  • Fraud risk assessment: Basic
  • Anti-fraud controls & monitoring: Basic
  • Incident response: Basic
  • Board oversight: Evolving
  • Fraud awareness training: Established

Kondisi ini menunjukkan bahwa meski sudah ada struktur formal, praktik manajemen risiko fraud masih sangat terbatas dalam pelaksanaan nyata di lapangan.

Framework Solusi: Fraud Risk Management KPMG

Penulis mengadaptasi kerangka dari KPMG (2014) dan menyesuaikannya dengan kondisi PT XYZ, yang bersifat perusahaan privat keluarga. Framework ini terdiri atas:

A. Fraud Risk Prevention

  • Kepemimpinan: Perlu audit committee dan chief compliance officer.
  • Kode Etik: Harus disosialisasikan secara berkala dengan pernyataan komitmen tahunan.
  • Assessment Risiko Fraud: Harus dilakukan secara berkala dan menjadi dasar perbaikan kontrol internal.
  • Pelatihan dan Sosialisasi: Dengan topik fraud khusus, tanda bahaya (red flags), dan prosedur pelaporan.

B. Fraud Detection

  • Whistleblowing: Dibutuhkan mekanisme anonim, hotline, dan perlindungan terhadap pelapor.
  • Audit dan Monitoring: Dilakukan secara periodik oleh auditor independen berbasis risiko.

C. Fraud Response

  • Investigasi: Harus dilakukan oleh tim independen, bisa melibatkan pihak ketiga profesional.
  • Sanksi Disiplin: Harus dijalankan secara konsisten agar menciptakan efek jera dan memperkuat budaya integritas.

Kesimpulan dan Implikasi Praktis

Penelitian ini menunjukkan bahwa fraud dalam proyek konstruksi bukan hanya persoalan individu, tetapi hasil dari sistem yang lemah dan budaya organisasi yang permisif. Dengan pendekatan berbasis kerangka seperti dari EY dan KPMG, perusahaan seperti PT XYZ dapat menyusun strategi manajemen risiko fraud yang komprehensif dan kontekstual.

Rekomendasi kunci:

  • Perkuat segregasi tugas dan pengawasan operasional
  • Bangun sistem whistleblowing yang aman dan terpercaya
  • Internalisasikan etika dan integritas sejak level pimpinan
  • Lakukan audit risiko fraud secara berkala

Jika diterapkan secara konsisten, framework ini tidak hanya melindungi perusahaan dari kerugian tetapi juga meningkatkan reputasi dan kepercayaan publik terhadap sektor konstruksi di Indonesia.

Sumber :
Apriyanti, W. N., & Rais, K. I. (2020). Fraud Risk Management in Construction Company: A Case Study in Indonesia. Journal of Southeast Asian Research, Article ID 706737.

Selengkapnya
Strategi Anti-Fraud di Proyek Konstruksi: Studi Kasus PT XYZ dan Framework Pencegahannya

Korupsi Konstruksi

Mengungkap Akar Penipuan di Industri Konstruksi Malaysia: Peran Vital Pengendalian Internal

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Pendahuluan

Industri konstruksi Malaysia menempati posisi penting dalam pengembangan ekonomi nasional. Namun di balik kontribusinya terhadap infrastruktur dan pertumbuhan, sektor ini juga menjadi sarang rawan bagi praktik kecurangan (fraud). Kompleksitas proyek, keterlibatan banyak pihak, aliran dana besar, dan lemahnya pengawasan membuat industri ini rentan terhadap penyimpangan, baik secara finansial maupun etis.

Artikel ilmiah karya Wan Noor Asmuni Wan Fauzi, Siti Haliza Asat, dan Junaidah Hanim Ahmad (2019) mengulas secara mendalam hubungan antara lemahnya pengendalian internal dan tingginya insiden fraud dalam sektor konstruksi Malaysia. Artikel ini bukan hanya menyoroti permasalahan, tetapi juga menawarkan kerangka kerja pencegahan berbasis prinsip COSO dan teori fraud triangle.

Fakta Mencengangkan: Kerugian Akibat Fraud dalam Konstruksi

Menurut Association of Certified Fraud Examiners (ACFE, 2014), median kerugian per skema fraud di industri konstruksi adalah sekitar USD 245.000, angka yang sangat mengkhawatirkan terutama bagi perusahaan kecil dan menengah. ACFE juga menyebut bahwa industri ini berada di posisi ketiga tertinggi dalam hal kerugian median akibat fraud di antara seluruh sektor industri.

Jenis-jenis fraud yang umum ditemukan meliputi:

  • Korupsi dan suap
  • Pemalsuan tagihan
  • Klaim pengeluaran fiktif
  • Pemalsuan cek
  • Manipulasi tender

Penyebab Utama Fraud: Tekanan Finansial, Rasionalisasi, dan Peluang

Dalam analisisnya, penulis menggunakan kerangka fraud triangle yang dikenalkan oleh Donald Cressey dan digunakan secara luas oleh badan audit internasional. Tiga penyebab utama seseorang melakukan fraud adalah:

  1. Tekanan finansial, misalnya utang pribadi, gaya hidup tinggi, atau krisis ekonomi.
  2. Rasionalisasi, seperti keyakinan bahwa “semua orang juga melakukannya”.
  3. Peluang, yaitu celah akibat lemahnya sistem pengawasan atau pengendalian internal.

Di industri konstruksi, peluang ini muncul akibat:

  • Kurangnya pengawasan proyek di lokasi terpencil
  • Hubungan dekat antara kontraktor dan pejabat proyek
  • Minimnya dokumentasi prosedural

Internal Control: Garis Pertahanan Pertama Melawan Fraud

Pengendalian internal didefinisikan oleh COSO sebagai proses yang dipengaruhi oleh dewan direksi, manajemen, dan staf untuk memberikan jaminan wajar atas pencapaian tujuan operasional, pelaporan, dan kepatuhan.

Komponen utama sistem pengendalian internal COSO:

  • Lingkungan pengendalian (control environment)
  • Penilaian risiko
  • Aktivitas pengendalian
  • Informasi dan komunikasi
  • Pemantauan dan evaluasi

Penelitian Iskandar et al. (2018) terhadap 46 perusahaan konstruksi di Gaza Strip menunjukkan bahwa implementasi elemen COSO secara signifikan berdampak positif pada kinerja operasional perusahaan. Ini membuktikan bahwa sistem pengendalian internal bukan hanya formalitas, melainkan instrumen strategis.

Studi Kasus: Kelemahan Internal dan Kolusi di Lapangan

Ahmad Saiful et al. (2018) melakukan studi pada sebuah perusahaan konstruksi yang menunjukkan bahwa:

  • Kurangnya pengawasan lapangan dan dokumentasi membuka celah bagi penggelapan.
  • Fraud yang terjadi melibatkan kerja sama antar karyawan (kolusi).
  • Supervisi proyek yang buruk mengakibatkan pencurian aset dan manipulasi dokumen.

Data dari Kementerian Pekerjaan Malaysia (2005) mencatat bahwa 17,3% dari 417 proyek pemerintah tergolong sebagai proyek "sakit", yang sebagian besar disebabkan oleh perilaku tidak etis dalam pelaksanaan proyek.

Dampak Ekonomi dan Sosial Fraud di Konstruksi

Fraud tidak hanya menyebabkan kerugian finansial tetapi juga:

  • Menurunkan kualitas bangunan dan keselamatan publik
  • Merusak reputasi perusahaan dan institusi pemerintah
  • Menghambat pembangunan infrastruktur jangka panjang

Transparency International (2005) memperkirakan bahwa korupsi dapat menambah hingga 25% dari total biaya proyek publik, yang berarti pemborosan miliaran ringgit dana negara.

Solusi dan Strategi Pencegahan Fraud

Beberapa langkah yang direkomendasikan oleh penulis dan didukung studi-studi terkait:

  • Audit internal dan eksternal berkala
  • Pelatihan staf tentang etika dan kebijakan perusahaan
  • Peningkatan pengawasan lapangan oleh supervisor berpengalaman
  • Penggunaan sistem dokumentasi digital untuk transparansi

Ghaleb (2018) dalam studinya di Qatar menyarankan pendekatan sistematis terhadap pengendalian kontrak dan estimasi pendapatan agar tidak dimanipulasi.

Tantangan dalam Implementasi Pengendalian Internal

Walau ideal di atas kertas, implementasi pengendalian internal masih menghadapi banyak kendala:

  • Tingginya perputaran tenaga kerja
  • Operasi proyek yang berpindah-pindah lokasi
  • Keterbatasan sumber daya untuk audit dan kontrol
  • Kurangnya kesadaran manajemen terhadap risiko

Seperti disebutkan oleh Cheng (2010), perusahaan konstruksi jalan raya mengalami kendala pengawasan internal karena lemahnya kontrol terhadap aktivitas operasional, komunikasi informasi yang tidak efektif, dan kurangnya audit internal yang sistematis.

Rekomendasi Kebijakan untuk Dunia Konstruksi Malaysia

Sebagai bentuk perbaikan struktural, penulis merekomendasikan:

  • Adanya regulasi wajib terkait pengendalian internal di seluruh proyek pemerintah.
  • Penguatan lembaga pengawas independen seperti Lembaga Pembangunan Industri Pembinaan (CIDB).
  • Penilaian risiko proyek sebelum dan sesudah pelaksanaan.
  • Penerapan sanksi tegas terhadap pelanggaran prosedur kontrol.

Dengan melakukan hal ini, industri konstruksi akan lebih mampu mempertahankan keberlanjutan, meningkatkan kualitas proyek, serta menekan angka korupsi dan fraud yang selama ini menjadi momok.

Kesimpulan

Artikel ini menegaskan bahwa pengendalian internal adalah instrumen utama dalam menanggulangi fraud di industri konstruksi. Tidak cukup hanya menunggu audit eksternal atau laporan kecurangan dari pihak ketiga. Perusahaan harus secara proaktif membangun sistem kontrol yang kuat, berkelanjutan, dan adaptif terhadap tantangan zaman.

Bagi industri yang sedang tumbuh seperti konstruksi di Malaysia, menjaga integritas dan efisiensi operasional melalui sistem pengendalian internal adalah langkah strategis demi pembangunan yang berkelanjutan dan transparan.

Sumber asli:
Wan Noor Asmuni Wan Fauzi, Siti Haliza Asat, dan Junaidah Hanim Ahmad. (2019). Internal Control and Fraud in Construction Industry of Malaysia. Journal of Contemporary Social Science Research, Vol. 3, Issue 1.

Selengkapnya
Mengungkap Akar Penipuan di Industri Konstruksi Malaysia: Peran Vital Pengendalian Internal

Korupsi Konstruksi

Menggali Peran Rule of Law dalam Pembangunan Nasional: Studi Sosio-Legal dari Global South

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Pendahuluan

Dalam lanskap global yang semakin kompleks, isu rule of law tidak lagi sekadar wacana normatif, tetapi menjadi tulang punggung bagi pembangunan nasional yang berkelanjutan. Dalam tesis bertajuk "Rule of Law as Instrument for National Development" oleh Abere Adamu Mekonin (2012), konsep ini diangkat dari sudut pandang sosiologi hukum untuk menunjukkan bagaimana rule of law menjadi instrumen vital dalam menjamin demokrasi, hak asasi manusia, tata kelola pemerintahan yang baik, hingga pemberantasan korupsi di negara-negara berkembang, khususnya kawasan Afrika Timur.

Studi ini memadukan teori modernisasi pembangunan dan pendekatan berbasis hak untuk menggambarkan keterkaitan erat antara stabilitas hukum dengan efektivitas pembangunan nasional.

Landasan Teoretis dan Metodologi

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis dokumen serta wawancara semi-terstruktur terhadap aktor pembangunan di Afrika Timur. Pendekatan teoritisnya berakar pada Modernisation Development Theory, yang memandang pembangunan sebagai hasil dari transformasi struktural dan institusional yang didukung oleh sistem hukum yang kuat.

Penekanan diberikan pada kerangka hak-hak asasi manusia, prinsip demokrasi, dan good governance sebagai indikator keberhasilan pembangunan yang harus dikawal oleh supremasi hukum.

Rule of Law sebagai Pengatur Keseimbangan Aktor Pembangunan

Dalam konteks negara berkembang, aktor pembangunan utama terdiri dari pemerintah dan warga negara. Mekonin menegaskan bahwa keberhasilan pembangunan mensyaratkan adanya keseimbangan antara keduanya, yang hanya dapat dicapai melalui penegakan hukum yang adil, konsisten, dan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.

Data penting dari studi:
Dalam wawancara lapangan di Afrika Timur, terungkap bahwa mayoritas responden menyatakan ketidakpercayaan terhadap lembaga negara karena seringkali hukum tidak diterapkan secara adil. Hal ini berdampak langsung pada partisipasi publik dalam proses pembangunan.

Demokrasi dan Rule of Law: Hubungan Simbiotik

Penelitian ini menunjukkan bahwa demokrasi dan rule of law saling memperkuat. Demokrasi memberikan ruang bagi akuntabilitas dan partisipasi, sedangkan hukum berfungsi sebagai pagar yang menjamin bahwa kebebasan dan hak warga tidak dilanggar oleh kekuasaan negara.

Contoh nyata:
Di beberapa negara di Afrika Timur, pemilu yang diselenggarakan tanpa pengawasan hukum yang kuat justru menimbulkan konflik dan memperdalam krisis kepercayaan terhadap institusi negara.

Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Sistem Peradilan Independen

Mekonin mengutip studi oleh Clair (2003–2004) atas 154 negara berkembang, yang menunjukkan bahwa sistem peradilan independen adalah kunci perlindungan HAM. Namun, di negara berkembang, sistem hukum kerap dipolitisasi, sehingga pelanggaran HAM sulit dituntaskan.

Fakta penting:
Burton (2005) dalam studinya atas 177 negara menunjukkan bahwa pelanggaran HAM secara sistematis lebih banyak terjadi di negara dengan indeks rule of law yang rendah.

Korupsi dan Hukum: Dua Kekuatan yang Bertolak Belakang

Korupsi menjadi hambatan utama dalam pembangunan karena melemahkan institusi dan menyerap dana publik untuk kepentingan pribadi. Mekonin mengangkat data dari World Bank yang menyebutkan bahwa lebih dari $1 triliun USD per tahun hilang akibat praktik korupsi di negara berkembang.

Studi kasus konkret:
Dalam sektor konstruksi, Nicholas Ambraseys dan Regot Bilham (2011) menunjukkan bahwa 83% korban gempa bumi dalam 30 tahun terakhir berasal dari negara korup, karena bangunan tak sesuai standar akibat penyelewengan dana publik.

Kebebasan Berekspresi sebagai Pilar Pembangunan yang Terlupakan

Kebebasan berekspresi adalah instrumen vital untuk menjaga akuntabilitas pemerintah. Mekonin menekankan bahwa ketika ekspresi publik dibungkam, peluang untuk mengoreksi kebijakan pembangunan yang keliru pun tertutup.

Sisi filosofis:
Mengutip Patrick Henry: "Give me liberty or give me death", Mekonin menekankan bahwa ekspresi adalah bentuk kemanusiaan paling hakiki yang wajib dilindungi hukum.

Institusi sebagai Pilar Rule of Law

Dalam Bab 6 tesis, Mekonin membedah dua institusi utama:

  • Pemerintah, yang harus menjalankan regulasi secara adil dan terbuka.
  • Organisasi komunitas, sebagai aktor akar rumput yang mampu mengawasi jalannya pembangunan dan menjadi jembatan partisipasi warga.

Data wawancara:
Banyak informan menyatakan bahwa organisasi masyarakat sipil lebih dipercaya dibanding lembaga negara karena dinilai lebih responsif dan transparan.

Kritik dan Rekomendasi

Penelitian ini menyuguhkan kritik tajam terhadap negara-negara berkembang yang belum menjadikan hukum sebagai fondasi kebijakan pembangunan. Banyak program pembangunan yang gagal karena abai terhadap prinsip-prinsip hukum dan keadilan sosial.

Opini penulis (Mekonin):
Negara-negara Global South seharusnya mencontoh negara-negara dengan sistem hukum mapan dalam menegakkan demokrasi dan hak warga, bukan hanya mengejar pertumbuhan ekonomi nominal.

Kesimpulan

Penegakan rule of law bukan sekadar formalitas legal, melainkan fondasi utama yang menjamin bahwa pembangunan berjalan secara inklusif, adil, dan berkelanjutan. Tanpa sistem hukum yang independen dan dipercaya, pembangunan hanya akan melayani segelintir elit, meninggalkan mayoritas rakyat dalam kemiskinan dan ketidakadilan.

Pesan utama:
Rule of law bukan pelengkap, tapi syarat mutlak untuk pembangunan nasional yang bermartabat.

Sumber asli:
Mekonin, A. A. (2012). Rule of Law as Instrument for National Development. Two Years Master’s Thesis in Development Studies (Major: Sociology of Law), Faculty of Social Sciences, Lund University.

Selengkapnya
Menggali Peran Rule of Law dalam Pembangunan Nasional: Studi Sosio-Legal dari Global South

Korupsi Konstruksi

Korupsi dalam Tata Kelola Risiko Bencana: Ancaman Tersembunyi di Balik Krisis

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


 Pendahuluan 

Korupsi sering kali dianggap sebagai masalah yang hanya merugikan ekonomi atau politik, tetapi dampaknya meluas hingga ke tata kelola bencana. Artikel ini mengkaji bagaimana korupsi melemahkan mitigasi, respons, dan pemulihan bencana, serta menyoroti studi kasus dari berbagai belahan dunia. Dengan menganalisis paper Corruption and the Governance of Disaster Risk oleh David Alexander, kita akan melihat bagaimana korupsi memperburuk kerentanan masyarakat dan menghambat pembangunan berkelanjutan

 Definisi dan Bentuk Korupsi dalam Bencana 

Korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, yang dapat terjadi dalam berbagai bentuk: 

- Grand Corruption: Korupsi skala besar, seperti penggelapan dana rekonstruksi. 

- Petty Corruption: Sogokan kecil untuk mempercepat akses bantuan. 

- Political Corruption: Kebijakan yang menguntungkan elite, seperti pembangunan infrastruktur tanpa standar keamanan. 

Contoh nyata terlihat di Taiwan (2016), di mana gempa bumi mengungkap bangunan yang dibangun dengan material substandar (kaleng minyak bekas) akibat korupsi, menyebabkan 105 kematian (Zaldivar et al., 2016). 

 Dampak Korupsi pada Manajemen Bencana 

 1. Melemahkan Standar Konstruksi 

Korupsi dalam industri konstruksi sering kali mengabaikan kode bangunan anti-bencana. Studi oleh Ambraseys dan Bilham (2011) menunjukkan bahwa negara dengan tingkat korupsi tinggi memiliki lebih banyak korban jiwa akibat gempa, karena bangunan mudah runtuh. 

Studi Kasus: 

- Gempa Italia (1980): Mafia Camorra menguasai proyek rekonstruksi, menggunakan pasir laut berkadar garam tinggi yang merusak struktur beton (Saviano, 2006). 

- Rana Plaza, Bangladesh (2013): Runtuhnya pabrik garmen menewaskan 1.134 orang akibat tekanan korporasi multinasional untuk memotong biaya (Ansary & Barua, 2015). 

 2. Penyaluran Bantuan yang Tidak Efektif 

Bantuan kemanusiaan sering disalahgunakan atau tidak tepat sasaran: 

- Haiti (2010): Hanya 0,38% dana bantuan internasional yang sampai ke pemerintah lokal, sementara sebagian besar dikembalikan ke negara donor (Farmer, 2012). 

- Myanmar (Cyclone Nargis, 2008): Junta militer membatasi akses bantuan dan menggunakan dana untuk kepentingan politik (McLachlan-Bent & Langmore, 2011). 

 3. Eksploitasi oleh Kejahatan Terorganisir 

Mafia memanfaatkan kekacauan pascabencana untuk: 

- Pasar gelap: Menjual barang bantuan dengan harga tinggi. 

- Trafficking: Eksploitasi manusia dan narkoba, seperti di Iran pascagempa Bam (2003), di mana 50% pria dan 25% wanita menjadi pecandu heroin (Tait, 2006). 

 Solusi: Transparansi dan Hak Asasi Manusia 

Untuk memerangi korupsi, penulis menyarankan: 

1. Transparansi Anggaran: Audit publik terhadap dana bencana. 

2. Partisipasi Masyarakat: Melibatkan korban dalam perencanaan rekonstruksi. 

3. Penegakan Hukum: Sanksi berat untuk pelanggar standar konstruksi. 

Contoh Sukses: 

- Chile (2010): Sistem pembangunan tahan gempa yang ketat mengurangi korban jiwa meski gempa berkekuatan 8,8 SR. 

 Kritik dan Relevansi Kontemporer 

- Keterbatasan Indeks Korupsi: Transparency International dinilai bias karena mengabaikan korupsi legal (seperti lobi) di negara maju (De Maria, 2008). 

- Disaster Capitalism: Naomi Klein (2008) mengkritik eksploitasi bencana untuk keuntungan korporasi, seperti privatisasi layanan publik pascatsunami Aceh. 

 Kesimpulan 

Korupsi bukan hanya merugikan ekonomi, tetapi juga memperdalam kerentanan bencana. Solusinya terletak pada akuntabilitas, transparansi, dan pemberdayaan masyarakat. Tanpa perubahan sistemik, siklus bencana dan korupsi akan terus berulang. 

Sumber :  Alexander, D. (2017). Corruption and the Governance of Disaster Risk. Oxford Research Encyclopedia of Natural Hazard Science. DOI: 10.1093/acrefore/9780199389407.013.253. 

Selengkapnya
Korupsi dalam Tata Kelola Risiko Bencana: Ancaman Tersembunyi di Balik Krisis
« First Previous page 57 of 1.107 Next Last »