K3 dan Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 21 Oktober 2025
Pendahuluan
Konsep Design for Construction Safety (DfCS) yang dikembangkan Occupational Safety & Health Administration (OSHA) di Amerika Serikat kini menjadi acuan global dalam pencegahan kecelakaan di proyek konstruksi. Pendekatan ini menekankan pentingnya memasukkan aspek keselamatan sejak tahap perancangan desain, bukan hanya saat pelaksanaan proyek.
Di Indonesia, kasus kecelakaan kerja di sektor konstruksi masih tinggi — berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia tahun 2024, lebih dari 30 % kecelakaan fatal terjadi akibat kesalahan desain dan manajemen risiko sejak tahap awal proyek.
Proyek infrastruktur nasional seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), kampus negeri baru seperti Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), maupun pembangunan jalan tol dan gedung pemerintahan, melibatkan ribuan pekerja dan ratusan subkontraktor. Kompleksitas proyek membuat koordinasi keselamatan menjadi tantangan besar.
Konsep DfCS menawarkan solusi preventif: merancang struktur, tata letak, dan metode konstruksi yang secara inheren aman — misalnya:
Menambahkan parapet permanen di tepi atap agar tidak memerlukan pagar sementara.
Mendesain lubang-lubang kolom dengan ketinggian standar untuk pengait kabel pengaman.
Mengatur alur material handling agar pekerja tidak perlu bekerja di ketinggian atau ruang terbatas.
Sebagaimana dibahas dalam artikel Fitur Proyek Konstruksi Menyebabkan Kecelakaan Kerja Jika Tidak Direncanakan Sejak Awal, peran arsitek dan insinyur dalam memikirkan risiko sejak tahap desain merupakan kunci menuju zero accident project.
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan
DfCS menempatkan keselamatan sebagai bagian dari desain, bukan sebagai tambahan prosedural.
Studi OSHA (2019–2023) menunjukkan 42% kecelakaan konstruksi disebabkan keputusan desain, seperti ketiadaan sistem penahan jatuh permanen atau ventilasi ruang terbatas.
Di Indonesia, penelitian PUPR (2023) memperkirakan implementasi desain aman dapat mengurangi kecelakaan konstruksi hingga 35%, terutama pada pekerjaan di ketinggian, pengelasan, dan pengecoran beton.
Kebijakan nasional perlu memasukkan DfCS sebagai standar dalam perizinan proyek besar, sejalan dengan semangat “Prevention through Design” yang sudah diterapkan di AS, Eropa, dan Jepang.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak positif:
Mengurangi risiko jatuh dan cedera struktural di proyek bertingkat hingga 40%.
Mempercepat proses audit K3 karena desain sudah mencakup sistem pengaman permanen.
Menurunkan biaya jangka panjang (karena tidak perlu alat pelindung sementara yang berulang).
Hambatan:
Kurangnya kolaborasi antara desainer dan kontraktor.
Belum adanya regulasi yang mewajibkan design risk assessment pada tahap perancangan.
Keterbatasan pelatihan teknis di bidang “safety in design”.
Peluang:
Pengembangan modul pelatihan Design for Safety oleh Diklatkerja.com.
Integrasi DfCS ke dalam kurikulum universitas teknik dan arsitektur.
Sertifikasi nasional “Insinyur Desain Aman” melalui Kementerian PUPR dan Kemenaker.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
Wajibkan Analisis Risiko Desain (DfCS Report)
Setiap proyek pemerintah harus menyertakan laporan design safety review sebelum tender konstruksi.
Kembangkan Panduan Nasional “Design for Safety Indonesia”
Berdasarkan adaptasi dari OSHA 1926 dan standar lokal SNI 7037:2020 tentang K3 konstruksi.
Insentif bagi Proyek yang Mengadopsi DfCS
Pemberian safety performance bonus atau potongan pajak untuk kontraktor yang mencapai zero accident dengan desain aman.
Pelatihan Kolaboratif Arsitek–Kontraktor–Pekerja
Program pelatihan berbasis proyek, seperti pelatihan “Safety in Design and Construction” oleh Diklatkerja.com.
Integrasi Teknologi Digital dan BIM untuk Simulasi Risiko
Penggunaan Building Information Modeling (BIM) untuk memetakan risiko sejak tahap desain dan memverifikasi kepatuhan K3 secara otomatis.
Kritik dan Tantangan Etika
DfCS bisa gagal jika hanya menjadi formalitas administratif. Tanpa partisipasi aktif desainer dan budaya keselamatan, prinsip ini tidak akan mengubah perilaku di lapangan.
Selain itu, pengawasan lemah terhadap konsultan desain membuat banyak proyek publik masih berorientasi pada kecepatan dan biaya, bukan keselamatan.
Penerapan DfCS juga menuntut perubahan paradigma profesional — dari “arsitek yang hanya fokus estetika” menjadi “arsitek yang juga bertanggung jawab atas keselamatan pekerja”.
Penutup
Konsep Design for Construction Safety membuka babak baru dalam kebijakan keselamatan kerja Indonesia. Dengan mengintegrasikan DfCS ke dalam regulasi nasional dan pendidikan teknik, Indonesia dapat membangun sistem konstruksi yang lebih aman, efisien, dan berkelanjutan.
Transformasi ini sejalan dengan arah pembangunan nasional menuju zero accident infrastructure, di mana keselamatan bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga nilai moral dan profesional.
Sumber Artikel
OSHA Alliance Program, Design for Construction Safety – Instructor Guide (2023).
Keselamatan & Kesehatan Kerja (K3)
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 21 Oktober 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan
Makalah SSRN (2024) menggarisbawahi pergeseran global dalam manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3), terutama di sektor transportasi dan logistik, menuju penerapan smart safety system yang memanfaatkan kecerdasan buatan (AI), sensor digital, dan analisis data real-time. Pendekatan ini memungkinkan identifikasi dini potensi kecelakaan dan pengambilan keputusan berbasis data yang lebih cepat.
Dalam konteks Indonesia, relevansi temuan ini sangat tinggi. Sektor logistik dan transportasi darat — seperti pengangkutan barang di pelabuhan, gudang distribusi, hingga proyek infrastruktur jalan tol — merupakan penyumbang kecelakaan kerja terbesar kedua setelah konstruksi. Data BPJS Ketenagakerjaan tahun 2024 menunjukkan peningkatan insiden pada pekerja logistik sebesar 18%, sebagian besar akibat kelelahan, kelalaian prosedur keselamatan, dan kurangnya sistem deteksi dini bahaya.
Kebijakan nasional K3 perlu mengarah ke data-driven safety management, di mana setiap aktivitas logistik bisa diawasi melalui sistem digital yang terintegrasi.Analisis Kritis Peran Teknologi Digital dalam Pemenuhan Keselamatan Konstruksi di Indonesia.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak positif:
Penerapan sistem K3 berbasis AI dapat menurunkan risiko kecelakaan kerja hingga 40%, terutama dalam aktivitas bongkar muat dan pengangkutan logistik.
Sensor biometrik membantu mendeteksi kelelahan pengemudi dan mencegah microsleep-related accidents.
Data analitik real-time meningkatkan kemampuan supervisor untuk mengambil keputusan cepat dalam situasi darurat.
Hambatan utama:
Minimnya investasi perusahaan dalam sistem digital K3 karena dianggap mahal.
Rendahnya literasi digital di kalangan pekerja lapangan.
Belum ada regulasi nasional yang mengatur standar penggunaan AI dalam sistem keselamatan kerja.
Peluang strategis:
Pengembangan National Smart Safety Framework oleh Kemenaker dan Kementerian Perhubungan untuk sektor transportasi.
Kolaborasi dengan lembaga pelatihan yang menyediakan pelatihan Manajemen Risiko dan Keselamatan Kerja di Industri Transportasi berbasis teknologi digital.
Integrasi AI Safety Analytics dengan platform pelaporan BPJS Ketenagakerjaan untuk membentuk basis data nasional risiko transportasi.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
Bentuk Sistem Nasional Smart Safety Monitoring
Integrasikan sensor kendaraan, CCTV, dan aplikasi mobile untuk pelaporan insiden transportasi secara real-time.
Wajibkan Pelatihan Digital Safety untuk Pengemudi dan Operator Logistik
Kurikulum pelatihan dapat mengacu pada modul K3 berbasis data yang tersedia di Diklatkerja.com.
Audit Keselamatan Berbasis AI
Gunakan sistem prediktif untuk mengidentifikasi potensi kecelakaan sebelum terjadi, bukan setelahnya.
Kembangkan Smart Safety Dashboard di Setiap Proyek Transportasi Publik
Dashboard ini menampilkan data insiden, tingkat kepatuhan APD, dan kondisi kendaraan secara langsung.
Insentif Digitalization Grant untuk Perusahaan Logistik Aman
Pemerintah dapat memberikan potongan pajak atau akses pendanaan bagi perusahaan yang menerapkan teknologi smart safety.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Penerapan smart safety sering gagal jika hanya berfokus pada teknologi tanpa perubahan perilaku dan budaya kerja. Tanpa pelatihan yang memadai, sistem AI tidak akan efektif karena pekerja mungkin mengabaikan peringatan atau tidak memahami fungsi perangkat.
Selain itu, kebijakan digitalisasi K3 yang tidak disertai regulasi data protection dapat menimbulkan masalah privasi pekerja, terutama jika sensor biometrik digunakan untuk memantau perilaku individu.
Penutup
Transformasi digital dalam sistem K3 sektor transportasi dan logistik bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Integrasi antara manusia, teknologi, dan kebijakan publik akan menentukan keberhasilan Indonesia dalam mencapai zero accident industry.
Melalui kolaborasi lintas sektor — pemerintah, industri, dan lembaga pelatihan seperti Diklatkerja — Indonesia dapat membangun ekosistem kerja yang cerdas, aman, dan berkelanjutan.
Sumber Artikel
SSRN Paper (2024). AI-Based Safety Management in Transport and Logistics Industries.
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Raihan pada 21 Oktober 2025
Resensi Riset: Jalan Ke Depan Budaya Keselamatan Organisasi
Mendefinisikan Ulang Keselamatan: Dari Kepatuhan ke Kematangan Generatif
Isu Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) telah lama berevolusi dari sekadar penanganan kondisi kerja yang tidak aman menjadi pengakuan atas peran sentral perilaku dan budaya dalam pencegahan kecelakaan. Setelah bencana Chernobyl tahun 1986, konsep Budaya Keselamatan diperkenalkan, mengubah fokus dari kegagalan individu menjadi kegagalan sistemik yang tertanam dalam nilai-nilai dan sikap organisasi.
Penelitian ini, yang bertajuk Investigation of Behavioral-Based Safety Impacts on Organizational Safety Culture, hadir untuk menjembatani perdebatan antara pendekatan perubahan perilaku (Behavior-Based Safety atau BBS) dan perubahan budaya. Tujuannya adalah untuk secara empiris menguji hipotesis bahwa penerapan kerangka kerja BBS yang terstruktur, yang telah digunakan oleh suatu organisasi selama lebih dari satu dekade, akan menghasilkan tingkat kematangan budaya keselamatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan organisasi yang hanya mengandalkan program keselamatan tradisional.
Jalur Logis Penemuan
Alur logis penelitian ini dimulai dengan perancangan metodologi yang ketat untuk mengukur kematangan budaya keselamatan. Metodologi penelitian terdiri dari tiga bagian utama: (1) pengembangan kuesioner kematangan, (2) penerapan dan pengumpulan data, dan (3) penilaian serta perbandingan hasil.
Peneliti menggunakan Manchester Patient Safety Framework (MaPSaF) sebagai dasar, memodifikasinya menjadi kuesioner komprehensif yang terdiri dari 9 dimensi dan 25 aspek spesifik, yang dikembangkan melalui wawancara kelompok fokus dengan pekerja, lokakarya spesialis K3, dan sesi konsultasi ahli. Kuesioner ini dirancang untuk mengklasifikasikan respons di sepanjang lima level kematangan budaya: Patologis, Reaktif, Birokratis, Proaktif, dan Generatif.
Studi ini kemudian membandingkan dua perusahaan dalam industri pertahanan yang sama: Perusahaan A, yang telah menerapkan konsep BBS sejak tahun 2009, dan Perusahaan B, yang beroperasi dengan program keselamatan tradisional. Data dikumpulkan dari total 358 pekerja di Perusahaan A dan 248 pekerja di Perusahaan B.
Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara Behavioral-Based Safety (BBS) dan kematangan budaya keselamatan organisasi yang lebih tinggi — mengonfirmasi potensi kuat BBS sebagai objek penelitian baru dalam literatur K3.
Hasil studi ini secara konsisten menunjukkan bahwa tingkat kematangan budaya keselamatan Perusahaan A berada pada tingkat yang lebih tinggi di setiap aspek yang dibandingkan dengan Perusahaan B. Analisis data kuantitatif secara deskriptif memberikan gambaran yang jelas mengenai perbedaan mendasar yang dihasilkan oleh BBS:
Perbedaan yang paling menonjol ditemukan dalam aspek-aspek yang terkait langsung dengan filosofi BBS:
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian ini memberikan landasan empiris untuk pengembangan teori dan praktik K3 dengan secara eksplisit mengaitkan kerangka BBS dengan peningkatan kematangan budaya, sebuah area yang sebelumnya diwarnai perdebatan teoretis.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun temuan studi ini kuat, terdapat beberapa keterbatasan yang harus diakui dan dijadikan titik awal untuk riset masa depan, terutama bagi komunitas akademik dan penerima hibah.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan justifikasi ilmiah)
Berdasarkan temuan yang mengaitkan BBS dengan kematangan budaya Generatif, arah riset ke depan harus fokus pada isolasi kausalitas, mekanisme intervensi, dan generalisasi kontekstual.
Penelitian ini memberikan dasar yang tidak dapat disangkal bahwa Behavioral-Based Safety (BBS), ketika diimplementasikan sebagai sistem yang holistik yang menekankan nilai dan partisipasi setara, adalah mesin yang kuat untuk mencapai budaya keselamatan Generatif yang berkelanjutan. Keterhubungan antara perilaku individu saat ini dan potensi jangka panjang budaya organisasi terbukti: ketika pekerja merasa memiliki dan bertanggung jawab (Aspek 19), mereka secara inheren menjadi bagian dari solusi pencegahan.
Untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil ini, penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi yang memiliki akses ke studi longitudinal, seperti pusat penelitian K3 universitas terkemuka (misalnya, Middle East Technical University, The University of Manchester), organisasi penerima hibah multinasional yang berfokus pada keselamatan kerja, dan organisasi industri berisiko tinggi yang berkomitmen untuk transisi budaya dari Reaktif ke Generatif.
Sangat penting bagi komunitas akademik dan penerima hibah untuk memandang BBS bukan sebagai tren manajemen, tetapi sebagai kerangka penelitian yang matang yang memfasilitasi integrasi perilaku, psikologi, dan sistem, yang pada akhirnya akan mengurangi dampak ekonomi (sekitar 3.94% dari PDB global) dan penderitaan yang disebabkan oleh kecelakaan kerja.
Sistem K3 masa depan harus dibangun di atas temuan ini, memprioritaskan budaya di mana setiap pekerja adalah pengamat, setiap insiden adalah pelajaran, dan keselamatan adalah nilai fundamental.
Yetik, U. S. (2020). Investigation of behavioral-based safety impacts on organizational safety culture. [Thesis (M.S.) -- Graduate School of Natural and Applied Sciences. Occupational Health and Safety.]. Middle East Technical University.
Manajemen Konstruksi
Dipublikasikan oleh Raihan pada 21 Oktober 2025
Menganalisis Peta Jalan untuk Efektivitas Biaya K3: Sebuah Tinjauan Riset dan Agenda Masa Depan
Industri konstruksi global secara konsisten diakui sebagai salah satu yang paling berbahaya. Sebagai respons, banyak negara telah mengamanatkan pendanaan khusus untuk intervensi keselamatan. Di Korea Selatan, dana ini dikenal sebagai Occupational Safety and Health Management Expense (OSHE), sebuah biaya wajib yang diatur undang-undang yang termasuk dalam biaya konstruksi. Namun, sebuah paradoks berbahaya telah muncul: meskipun ada sistem pendanaan yang terstruktur , tingkat kecelakaan kerja di industri konstruksi Korea, terutama kecelakaan fatal, justru menunjukkan tren peningkatan yang mengkhawatirkan. Statistik menunjukkan peningkatan angka kematian per 10.000 pekerja dari 1,30 pada tahun 2015 menjadi 2,00 pada tahun 2020.
Studi oleh Lim et al. (2023) menyelidiki inti dari diskoneksi ini. Penelitian mereka mengidentifikasi kekakuan regulasi sebagai penghambat utama efektivitas. Di bawah pengawasan Kementerian Ketenagakerjaan dan Perburuhan (MOEL) Korea, penggunaan OSHE diatur secara ketat, terbatas pada 8 kategori item tertentu . Akibatnya, barang-barang yang berpotensi menyelamatkan nyawa—seperti produk keselamatan cerdas (smart safety) yang memanfaatkan teknologi Revolusi Industri 4.0 atau bahkan item konvensional yang terbukti efektif (misalnya, lampu depan) —tidak memenuhi syarat untuk pendanaan jika dianggap memiliki tujuan ganda (yaitu, mendukung pekerjaan sekaligus keselamatan).
Menghadapi tuntutan industri yang meningkat untuk fleksibilitas dan data kecelakaan yang memburuk , penelitian ini menetapkan tujuan untuk mengembangkan "peta jalan" (roadmap) berbasis bukti untuk mereformasi item penggunaan OSHE. Metodologi inti yang digunakan adalah Importance-Performance Analysis (IPA), sebuah teknik yang kuat untuk memprioritaskan sumber daya yang terbatas.
Perjalanan logis penelitian ini dimulai dengan mengumpulkan daftar 57 item perbaikan potensial (33 konvensional, 24 cerdas) melalui wawancara pemangku kepentingan. Kumpulan ini kemudian disaring melalui konsultasi ahli (N=8) menjadi 34 item analisis akhir (14 konvensional, 20 cerdas). Para peneliti kemudian melakukan survei skala besar, mengumpulkan 536 tanggapan valid dari pemangku kepentingan utama—terutama manajer keselamatan (84,89%), klien publik (5,60%), dan praktisi lembaga pencegahan kecelakaan (9,51%). Responden mengevaluasi setiap item menggunakan skala Likert 4 poin (sengaja menghindari titik tengah netral) pada dua dimensi kritis: "Pentingnya" (didefinisikan sebagai urgensi pengenalan) dan "Kinerja" (didefinisikan sebagai efektivitas yang dirasakan dalam pencegahan kecelakaan).
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi utama penelitian ini bukanlah sekadar identifikasi item baru, melainkan penyediaan kerangka kerja strategis yang memprioritaskan implementasi dalam tiga fase: jangka pendek, menengah, dan panjang. Ini mengubah perdebatan dari "apakah" menjadi "bagaimana dan kapan".
Secara kuantitatif, analisis IPA memetakan 34 item ke dalam empat kuadran berdasarkan skor rata-rata. Untuk item konvensional, skor rata-rata adalah 3,15 untuk Kepentingan dan 3,31 untuk Kinerja (lihat Gambar 3 ). Untuk produk keselamatan cerdas, rata-ratanya adalah 2,97 untuk Kepentingan dan 3,12 untuk Kinerja (lihat Gambar 4 ).
Menariknya, studi ini juga menunjukkan di mana analisis ahli mengesampingkan data IPA murni. 'C14. Ice box' (kotak es) berada di Kuadran 1, tetapi para ahli merekomendasikan untuk mengecualikannya dari implementasi jangka pendek, dengan alasan bahwa itu lebih merupakan biaya kesejahteraan (welfare) dan dapat menguras dana OSHE yang sudah terbatas.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun kuat, studi ini memiliki keterbatasan yang secara inheren membuka jalan bagi penelitian masa depan. Keterbatasan utama adalah sifat metodologi IPA, yang bergantung pada persepsi subjektif responden. Para penulis berupaya memitigasi hal ini dengan ukuran sampel yang besar (N=536), namun "Kinerja" yang diukur adalah efektivitas yang dirasakan, bukan efektivitas yang dibuktikan secara empiris.
Hal ini memunculkan pertanyaan penelitian fundamental:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan justifikasi ilmiah)
Berdasarkan temuan dan keterbatasan yang diidentifikasi dalam paper, komunitas riset harus memfokuskan upaya pada lima bidang utama berikut untuk membangun di atas fondasi yang telah diletakkan oleh Lim et al.:
Kesimpulan dan Ajakan Kolaborasi
Studi oleh Lim et al. (2023) memberikan kontribusi penting dengan menawarkan jembatan berbasis data antara tuntutan industri yang mendesak dan reformasi kebijakan yang lamban. Peta Jalan IPA mereka adalah alat yang sangat diperlukan untuk memprioritaskan perubahan kebijakan guna meningkatkan efektivitas OSHE di Korea.
Namun, seperti yang ditunjukkan oleh agenda riset di atas, Peta Jalan ini bukanlah akhir, melainkan awal. Keberhasilan jangka panjangnya bergantung pada validasi empiris, reformasi anggaran yang adaptif, dan tata kelola teknologi yang cerdas. Untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil ini, penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi erat antara institusi pembuat kebijakan (seperti MOEL), lembaga penelitian (seperti Korea Occupational Safety and Health Agency dan akademisi), serta pelaku industri (seperti asosiasi konstruksi dan serikat pekerja) yang pemangku kepentingannya ditinjau dalam studi ini. Hanya melalui upaya terkoordinasi inilah Peta Jalan dapat beralih dari dokumen akademis menjadi alat yang secara nyata mengurangi kecelakaan dan menyelamatkan nyawa di lokasi konstruksi.
Pendidikan Vokasi
Dipublikasikan oleh Raihan pada 21 Oktober 2025
Meretas Jalan Riset Vokasional Masa Depan: Evaluasi Kritis UKK TKRO SMK Berbasis Model CIPP
Riset mengenai evaluasi program pendidikan kejuruan adalah landasan esensial untuk menjembatani kesenjangan abadi antara institusi pendidikan dan kebutuhan industri. Latar belakang urgensi ini berakar pada fakta bahwa lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Indonesia masih menjadi penyumbang tingkat pengangguran terbuka tertinggi. Kesenjangan ini secara umum disebabkan oleh kurangnya keterampilan yang relevan (skills) dan ketidaksesuaian kompetensi tamatan dengan harapan pemangku kepentingan, baik sekolah maupun industri (stakeholder). Dalam konteks ini, Uji Kompetensi Keahlian (UKK) ditetapkan sebagai mekanisme vital untuk menjamin kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) lulusan SMK.
Penelitian ini berangkat dari kebutuhan mendasar untuk mengevaluasi efektivitas pelaksanaan UKK Teknik Kendaraan Ringan Otomotif (TKRO) SMK di Kota Yogyakarta, sebuah studi yang jarang dilakukan secara komprehensif. Dengan mengadopsi model evaluasi Context, Input, Process, dan Product (CIPP), penelitian ini secara sistematis memetakan perjalanan logis temuan, mulai dari kesesuaian kebijakan hingga hasil akhir penyerapan tenaga kerja.
Kerangka riset dimulai dengan menetapkan validitas instrumen melalui expert judgement dari pakar pendidikan dan praktisi industri. Langkah selanjutnya adalah pengumpulan data dari 7 Ketua Kompetensi Keahlian (K3), 18 Asesor, dan 23 Guru Produktif melalui observasi, dokumentasi, dan kuesioner. Secara berurutan, evaluasi CIPP mengalirkan temuan:
Melalui perjalanan logis ini, penelitian menegaskan bahwa masalah utama dalam UKK TKRO bukanlah pada tataran operasional harian (Process), melainkan pada tingkat strategis (Context) dan dampak jangka panjang (Product).
Sorotan Data Kuantitatif: Mengidentifikasi Titik Kritis
Analisis data kuantitatif yang diperoleh dari kuesioner menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara tingginya kualitas pelaksanaan internal dengan rendahnya dampak eksternal. Secara umum, aspek Process adalah yang paling kuat, dengan rata-rata penilaian Asesor mencapai 3,73 (pada skala maksimal 4,0), yang menempatkannya pada kategori Sangat Baik.
Sebaliknya, aspek Product, yang merupakan indikator akhir dari kesuksesan, mendapatkan skor terendah. Penilaian Guru Produktif berada di angka 3,34, yang menempatkannya di kategori Baik namun sangat mendekati ambang batas Cukup (2,80).
Secara kuantitatif, temuan mendalam menunjukkan bahwa aspek Product memiliki skor terendah (skor Guru Produktif 3,34, menempatkannya pada kategori Baik namun hampir menyentuh ambang batas Cukup), mengindikasikan bahwa hasil UKK belum sepenuhnya diakui. Temuan ini secara kritis terhubung dengan skor terendah pada aspek Context, khususnya butir C11 yang menanyakan tentang peluang kerja internasional (skor terendah 2,82 dari Guru Produktif, dikategorikan Baik), menunjukkan potensi kritis untuk objek penelitian baru: mengukur korelasi antara orientasi kurikulum internasional dengan tingkat penyerapan tenaga kerja. Jarak skor minimal pada butir terendah aspek Context (2,82) dan Product (Butir D18: Komitmen DUDI/IDUKA dalam penyerapan, skor 2,88) dari Guru Produktif memperlihatkan tantangan ganda dalam relevansi global dan komitmen penyerapan lokal, yang memerlukan riset terfokus.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian ini memberikan tiga kontribusi substansial bagi literatur pendidikan vokasi:
Pertama, secara metodologis, studi ini memvalidasi model CIPP sebagai kerangka evaluasi yang efektif dan holistik untuk menilai program sertifikasi keahlian, membedah UKK menjadi komponen Context, Input, Process, dan Product yang dapat diukur secara kuantitatif-deskriptif. Model ini membantu peneliti mengalokasikan sumber masalah secara spesifik, yang mana dalam kasus ini, masalahnya bukan terletak pada operasional (Proses yang Sangat Baik) melainkan pada luaran strategis (Produk yang Baik/Cukup).
Kedua, secara empiris, studi ini secara eksplisit mengidentifikasi titik lemah utama yang menghambat link and match sejati. Temuan menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara kualitas input dan proses (Internal, rata-rata Sangat Baik) dengan pengakuan dan komitmen industri terhadap hasil (Eksternal, rata-rata Baik). Ini menyumbangkan bukti bahwa perbaikan internal SMK saja tidak akan cukup tanpa adanya intervensi kolaboratif yang lebih kuat dengan Dunia Usaha dan Dunia Industri/Industri dan Dunia Kerja (DUDI/IDUKA).
Ketiga, riset ini menyoroti perlunya orientasi global dalam kurikulum vokasi. Dengan skor terendah yang berpusat pada peluang kerja internasional (butir C11: 2,82), studi ini menyajikan urgensi bagi pemerintah dan lembaga sertifikasi untuk menyesuaikan kebijakan agar selaras dengan tuntutan kualifikasi SDM global, sebagaimana diamanatkan oleh Perpres No. 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun menyajikan temuan yang kuat, penelitian ini memiliki keterbatasan yang memunculkan pertanyaan terbuka mendasar untuk riset ke depan. Pertama, lingkup studi terbatas pada SMK TKRO di Kota Yogyakarta. Hal ini membatasi generalisasi hasil, terutama mengingat keberagaman skema UKK yang digunakan (LSP-P1 dan Mandiri) di antara sekolah yang diteliti. Kedua, pelaksanaan riset dilakukan selama masa darurat Pandemi COVID-19 , yang dapat memengaruhi penilaian responden terkait prosedur UKK (P5, menerapkan protokol kesehatan, skor tertinggi) dan kesiapan peserta didik (P6, bertanggung jawab, skor terendah).
Dari keterbatasan ini, muncul beberapa pertanyaan terbuka yang krusial untuk agenda riset akademik berikutnya:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
Berdasarkan titik-titik lemah yang teridentifikasi, berikut adalah lima rekomendasi riset berkelanjutan yang secara eksplisit diarahkan untuk komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah riset:
1. Studi Kausalitas Lintas Daerah pada Efektivitas UKK dan Employability
2. Pengembangan Model MUK Berbasis Adaptasi Teknologi Industri 4.0
3. Riset Kualitatif Fenomenologi tentang Komitmen Penyerapan Industri
4. Analisis Komparatif Kurikulum Vokasional Global dan Lokal (C11)
5. Evaluasi Sikap dan Tanggung Jawab Peserta Uji Kompetensi (Soft Skills)
Fokus pada keterhubungan antara temuan saat ini dan potensi jangka panjang sangat penting. Keunggulan operasional yang ditemukan pada aspek Process (skor 3,62) hanya merupakan prasyarat, bukan hasil akhir. Jika keunggulan operasional ini tidak dialihkan untuk memecahkan defisit pada aspek Product (skor 3,36) —terutama dalam komitmen penyerapan dan orientasi global—maka tujuan Revitalisasi SMK, yang diamanatkan oleh Inpres Nomor 9 Tahun 2016, tidak akan tercapai, dan Indonesia akan terus bergulat dengan tingginya tingkat pengangguran lulusan vokasi. Potensi jangka panjang terletak pada kemampuan untuk mentransformasi UKK dari sekadar proses administratif menjadi sebuah pengakuan kompetensi yang dihormati secara internasional dan secara otomatis menjamin link and match di tingkat nasional.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), dan asosiasi industri otomotif utama (IDUKA skala nasional) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil dan rekomendasi.
DOI resmi sebagai acuan utama: https://doi.org/10.21831/jpvo.v5i2.59527
Manajemen Sumber Daya Manusia
Dipublikasikan oleh Raihan pada 21 Oktober 2025
Membongkar Paradoks K3 di Ghana: Tinjauan Riset Segbenya & Yeboah (2022) dan Peta Jalan untuk Riset Mendatang
Sektor konstruksi memberikan kontribusi fundamental bagi pembangunan sosial-ekonomi di Ghana. Namun, kemajuan ini dibayangi oleh tantangan besar: tingginya angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Insiden ini tidak hanya menyebabkan hilangnya nyawa tetapi juga berdampak negatif langsung pada kinerja karyawan dan organisasi. Di tengah lanskap di mana kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (OHS) sering diabaikan karena buruknya budaya keselamatan atau terdesak oleh kepentingan ekonomi lainnya, penelitian oleh Moses Segbenya dan Esi Yeboah (2022) hadir sebagai kontribusi kritis.
Menggunakan desain penelitian deskriptif kuantitatif dengan sampel 120 karyawan dari Consar Construction Ltd, studi ini mengeksplorasi pengaruh OHS terhadap kinerja pekerja konstruksi di Ghana. Penelitian ini bergerak melampaui sekadar konfirmasi bahwa K3 itu penting; ia membedah jalur logis dari kebijakan, kesadaran, praktik, hingga dampaknya pada kinerja, sambil menyoroti tantangan implementasi yang krusial.
Perjalanan temuan penelitian ini mengungkap sebuah paradoks. Di satu sisi, OHS di perusahaan yang diteliti sebagian besar telah sesuai dengan praktik terbaik internasional, seperti penyediaan Alat Pelindung Diri (APD) dan kesadaran antar rekan kerja. Di sisi lain, para peneliti menemukan kegagalan implementasi yang fatal: kurangnya induksi, orientasi, dan kursus penyegaran (refresher courses) K3 yang teratur bagi pekerja.
Kesenjangan ini menciptakan diskoneksi berbahaya. Studi ini menemukan bahwa meskipun mayoritas pekerja (70.8%) sadar akan adanya kebijakan K3, angka yang hampir identik (71.7%) telah menyaksikan kecelakaan atau penyakit di tempat kerja dalam 12 bulan terakhir. Ini menunjukkan bahwa keberadaan kebijakan di atas kertas gagal diterjemahkan menjadi lingkungan kerja yang aman, kemungkinan besar karena kegagalan dalam pelatihan reguler dan penegakan hukum.
Puncak dari penelitian ini adalah analisis regresi yang mengukur dampak kegagalan ini. Temuan ini menunjukkan hubungan kuat yang signifikan secara statistik antara OHS dan Kinerja Karyawan, dengan nilai Beta 0.728 (p=.000). OHS ditemukan menjelaskan 30.4% (R-Square = 0.304) varian dalam kinerja karyawan. Data kuantitatif ini secara deskriptif menunjukkan bahwa ketika OHS dikelola dengan baik, kinerja karyawan meningkat secara signifikan. Sebaliknya, pengabaian OHS secara langsung menekan kinerja.
Lantas, mengapa kesenjangan implementasi ini terjadi? Studi ini mengidentifikasi beberapa tantangan utama (RQ4):
Secara krusial, temuan ini menantang Teori Domino Heinrich (Heinrich Domino's theory) klasik, yang menyatakan bahwa 88% kecelakaan disebabkan oleh tindakan tidak aman pekerja. Sebaliknya, Segbenya dan Yeboah menyimpulkan bahwa tanggung jawab yang lebih besar justru terletak pada manajemen. Kegagalan manajemen untuk menyediakan pelatihan reguler dan membina budaya pelaporan yang aman adalah akar penyebab kecelakaan, bukan semata-mata kesalahan pekerja.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Studi oleh Segbenya dan Yeboah (2022) memberikan tiga kontribusi utama bagi komunitas akademik dan praktisi OHS:
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun memberikan wawasan penting, penelitian ini memiliki keterbatasan yang justru membuka jalan bagi penyelidikan di masa depan. Pertama, studi ini berfokus pada satu perusahaan konstruksi besar, Consar Construction Ltd. Meskipun perusahaan ini signifikan, temuan ini mungkin tidak dapat digeneralisasi ke seluruh sektor konstruksi Ghana, terutama pada kontraktor skala kecil dan menengah dengan sumber daya yang berbeda.
Kedua, model regresi menunjukkan bahwa OHS menjelaskan 30.4% varian kinerja, yang berarti 69.6% sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak termasuk dalam studi ini. Hal ini memunculkan pertanyaan: Faktor apa lagi (misalnya, kompensasi, gaya kepemimpinan, keamanan kerja) yang berinteraksi dengan OHS untuk memengaruhi kinerja?
Ketiga, temuan tentang "kurangnya personel kompeten" dan "biaya training tinggi" masih bersifat deskriptif. Pertanyaan terbuka yang mendesak adalah:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
Berdasarkan temuan, kontribusi, dan keterbatasan yang disajikan oleh Segbenya dan Yeboah, agenda penelitian berikut direkomendasikan untuk peneliti dan lembaga pendanaan.
Ajakan untuk Kolaborasi
Studi Segbenya dan Yeboah (2022) telah meletakkan fondasi yang kuat, memberikan bukti kuantitatif (Beta=0.728) bahwa OHS adalah pendorong kinerja vital di Ghana. Penelitian ini secara tepat menggeser beban tanggung jawab dari pekerja ke manajemen, terutama dalam hal pelatihan dan budaya pelaporan.
Untuk membangun temuan ini dan mengatasi pertanyaan terbuka yang kompleks—terutama seputar ROI pelatihan, budaya takut, dan pasokan talenta kompeten—penelitian di masa depan tidak dapat dilakukan secara terisolasi. Diperlukan upaya kolaboratif. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan kemitraan antara institusi akademik (seperti University of Cape Coast), regulator pemerintah yang menegakkan kerangka kerja (seperti Factories, Offices and Shops Act 1970), dan asosiasi industri konstruksi Ghana untuk memastikan bahwa temuan tidak hanya valid secara akademis tetapi juga relevan secara praktis dan berkelanjutan.
Baca paper aslinya di sini (https://doi.org/10.1177/11786302221137222)