Manajemen Pemasok

Peran Manajemen Hubungan Pemasok dalam Meningkatkan Kinerja Bisnis: Studi Kasus Industri Pengolahan Anggur di Tanzania

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 20 Juni 2025


Pendahuluan

Industri pengolahan anggur skala kecil (SSGP) di Dodoma, Tanzania, merupakan sektor penting dalam pertumbuhan ekonomi, menyumbang hingga 11% peningkatan produksi anggur tahunan. Namun, tantangan seperti efisiensi rantai pasok dan keterbatasan logistik sering kali menghambat produktivitasnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Debora Chelestino Kisinga, Alban Dismas Mchopa, dan Leonada Raphael Mwagike (2024) menyoroti dampak manajemen hubungan pemasok (SRM) terhadap kinerja bisnis industri pengolahan anggur kecil di Tanzania serta peran moderasi dari kapabilitas logistik.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan survei cross-sectional dengan 202 responden dari perusahaan pengolahan anggur kecil di Dodoma. Analisis dilakukan dengan model persamaan struktural (SEM) untuk mengukur hubungan antara SRM, kapabilitas logistik, dan kinerja bisnis.

Temuan Utama

1. Hubungan antara Manajemen Hubungan Pemasok dan Kinerja Bisnis

  • Buyer-supplier relationship yang baik berkontribusi signifikan terhadap peningkatan produktivitas perusahaan.
  • Supplier development (pengembangan pemasok) membantu pemasok meningkatkan kualitas bahan baku, yang berimbas pada peningkatan daya saing produk.
  • Supplier selection yang efektif memastikan kelangsungan bahan baku dengan kualitas tinggi dan harga kompetitif.

2. Peran Kapabilitas Logistik dalam Moderasi Kinerja Bisnis

  • Kapabilitas logistik yang kuat meningkatkan efisiensi distribusi dan pasokan bahan baku.
  • Perusahaan dengan sistem logistik yang baik mampu meningkatkan keandalan pasokan hingga 90%, sehingga mengurangi risiko keterlambatan produksi.
  • Kapasitas produksi tahunan mencapai 9,3 juta liter anggur, meningkat dari 8,2 juta liter pada tahun sebelumnya.

3. Hambatan yang Dihadapi Industri Pengolahan Anggur Kecil

  • 75% perusahaan kecil mengalami kesulitan operasional di tahun pertama akibat lemahnya hubungan dengan pemasok.
  • Hanya 59,7% anggur yang diproses oleh industri kecil, sisanya tidak dimanfaatkan karena kapasitas terbatas.
  • Kesenjangan pasar mencapai 5,2 juta liter per tahun, menunjukkan peluang pertumbuhan industri yang belum dimanfaatkan.

Strategi Optimal untuk Meningkatkan Kinerja Bisnis

1. Meningkatkan Efisiensi Manajemen Hubungan Pemasok

  • Menjalin kontrak jangka panjang dengan pemasok yang andal.
  • Menerapkan program pelatihan dan pengembangan pemasok untuk meningkatkan kualitas bahan baku.

2. Mengoptimalkan Logistik dan Teknologi Rantai Pasok

  • Menggunakan sistem ERP untuk meningkatkan transparansi data pasokan.
  • Mengadopsi teknologi IoT untuk pemantauan kualitas bahan baku secara real-time.

3. Mendorong Inovasi dan Akses Pasar

  • Meningkatkan kemitraan dengan jaringan distribusi lokal dan internasional.
  • Menyediakan insentif bagi pemasok yang mampu memenuhi standar kualitas tinggi.

Kesimpulan

Penelitian ini menegaskan bahwa manajemen hubungan pemasok memainkan peran penting dalam meningkatkan kinerja bisnis industri pengolahan anggur kecil. Kapabilitas logistik yang baik dapat memperkuat hubungan dengan pemasok, meningkatkan efisiensi distribusi, dan mengoptimalkan proses produksi.

Dengan strategi yang tepat, perusahaan dapat meningkatkan produktivitas, mempercepat distribusi, serta mengurangi biaya dan risiko operasional.

Sumber: Debora Chelestino Kisinga, Alban Dismas Mchopa, Leonada Raphael Mwagike (2024). Supplier Relationship Management and Business Performance of Small-Scale Grapes Processing Firms in Dodoma, Tanzania: The Moderating Role of Logistics Capabilities.

Selengkapnya
Peran Manajemen Hubungan Pemasok dalam Meningkatkan Kinerja Bisnis: Studi Kasus Industri Pengolahan Anggur di Tanzania

Manajemen Pemasok

Peran Kepercayaan, Kepuasan, dan Komunikasi dalam Supplier Relationship Management: Studi Kasus di India

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 20 Juni 2025


Pendahuluan

Dalam lingkungan bisnis yang kompetitif, hubungan antara pembeli dan pemasok memainkan peran penting dalam kinerja organisasi. Supplier Relationship Management (SRM) tidak hanya berfokus pada harga, tetapi juga pada faktor kepercayaan, kepuasan, dan komunikasi untuk membangun hubungan jangka panjang yang menguntungkan kedua belah pihak.

Penelitian oleh Manish Gupta, Akhilesh Kumar Choudhary, dan Mohd. Siraj Alam di India mengevaluasi dampak kepercayaan, kepuasan, dan komunikasi dalam SRM. Studi ini melibatkan survei terhadap 28 organisasi di India untuk mengidentifikasi bagaimana faktor hubungan ini berkontribusi pada efektivitas operasional dan keberlanjutan bisnis.

Metodologi Penelitian

  • Survei dilakukan terhadap 28 perusahaan India, mencakup sektor manufaktur, teknologi, dan energi.
  • Data dikumpulkan melalui kuesioner berbasis skala Likert yang mengukur tingkat kepercayaan, kepuasan, dan komunikasi dalam SRM.
  • Analisis statistik dilakukan menggunakan SPSS untuk mengidentifikasi pola hubungan antara variabel SRM dan kinerja perusahaan.

Temuan Utama

1. Kepercayaan sebagai Fondasi Hubungan Pemasok

  • 85% organisasi melaporkan bahwa pemasok mereka dapat dipercaya dan selalu menepati janji.
  • 90% menyatakan bahwa mereka memilih untuk mempertahankan pemasok yang memiliki rekam jejak transparansi dan kredibilitas tinggi.
  • Tingkat kepercayaan yang tinggi berkontribusi pada pengurangan risiko operasional sebesar 20-30%.

2. Kepuasan Pemasok Meningkatkan Efisiensi Operasional

  • 80% organisasi merasa puas dengan kinerja pemasok mereka dalam hal kualitas produk, harga, dan pengiriman tepat waktu.
  • Perusahaan yang memiliki tingkat kepuasan pemasok tinggi mengalami peningkatan efisiensi operasional hingga 25%.
  • Organisasi yang bekerja dengan pemasok terpercaya cenderung mengembangkan kontrak jangka panjang, yang meningkatkan stabilitas rantai pasok.

3. Komunikasi yang Efektif Mengurangi Risiko Gangguan Rantai Pasok

  • 92% perusahaan berkomunikasi secara teratur dengan pemasok mereka untuk menghindari miskomunikasi dan gangguan pasokan.
  • Penggunaan sistem ERP dan e-procurement meningkatkan efisiensi komunikasi hingga 40%.
  • Kolaborasi yang lebih baik mengurangi kesalahan pesanan dan keterlambatan pengiriman sebesar 18%.

Strategi Optimal untuk Meningkatkan Supplier Relationship Management

1. Membangun Kepercayaan yang Kuat dengan Pemasok

  • Menjalankan kebijakan transparansi dalam kontrak dan negosiasi.
  • Menerapkan sistem audit berkala untuk mengevaluasi kinerja pemasok.

2. Meningkatkan Kepuasan Melalui Kemitraan yang Lebih Dekat

  • Menawarkan insentif bagi pemasok yang konsisten dalam kualitas dan pengiriman.
  • Mengembangkan hubungan jangka panjang untuk stabilitas rantai pasok.

3. Menggunakan Teknologi untuk Mempermudah Komunikasi

  • Mengadopsi sistem ERP dan e-procurement untuk meningkatkan transparansi dan efisiensi operasional.
  • Menerapkan AI dan big data untuk prediksi permintaan dan optimalisasi pasokan.

Kesimpulan

Penelitian ini menegaskan bahwa kepercayaan, kepuasan, dan komunikasi memainkan peran penting dalam Supplier Relationship Management. Perusahaan yang membangun hubungan pemasok berbasis transparansi dan komunikasi yang efektif cenderung memiliki keunggulan kompetitif yang lebih kuat.

Dengan mengadopsi strategi SRM yang lebih baik, perusahaan dapat meningkatkan efisiensi operasional, mengurangi risiko rantai pasok, dan memastikan pertumbuhan bisnis yang lebih stabil.

Sumber : Manish Gupta, Akhilesh Kumar Choudhary, Mohd. Siraj Alam (2014). Effect of Trust, Satisfaction, and Other Relationship Dimensions on Supplier Relationship Management. Motilal Nehru National Institute of Technology Allahabad, INDIA.

Selengkapnya
Peran Kepercayaan, Kepuasan, dan Komunikasi dalam Supplier Relationship Management: Studi Kasus di India

Sumber Daya Air

Membedah Ketahanan Air Nasional: Studi Komparatif Australia, China, dan Jepang dalam Menghadapi Krisis Air Abad ke-21

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 20 Juni 2025


Ketahanan Air sebagai Pilar Keamanan Nasional

Dalam beberapa dekade terakhir, krisis air telah menjadi isu strategis yang menempati peringkat teratas dalam risiko global menurut World Economic Forum. Air tidak hanya menopang kesehatan manusia dan ekosistem, tetapi juga menjadi fondasi pertumbuhan ekonomi, ketahanan pangan, dan stabilitas sosial. Peter J. Crawford dalam disertasi doktoralnya, “A Critique of Water Security in Australia, China and Japan” (2020), melakukan analisis mendalam terhadap bagaimana tiga negara kunci di Asia-Pasifik—Australia, China, dan Jepang—mengelola ketahanan air melalui kebijakan, program, proyek besar, dan instrumen hukum.

Artikel ini akan merangkum, mengkritisi, dan mengaitkan temuan Crawford dengan tren global, studi kasus nyata, serta memberikan opini dan rekomendasi berbasis data. Fokus utama adalah membedah tantangan, capaian, dan pembelajaran dari ketiga negara, serta relevansinya bagi negara lain yang menghadapi tantangan serupa.

Kerangka Analisis: Empat Domain dan Empat Faktor Penentu Ketahanan Air

Crawford membangun kerangka evaluasi yang solid, menggabungkan empat domain ketahanan air (negara, kesejahteraan manusia, lingkungan, dan pengguna konsumtif) dengan empat faktor penentu utama:

  • Pengaruh politik
  • Tata kelola
  • Manajemen terintegrasi
  • Dampak perubahan iklim

Pendekatan ini memastikan analisis yang konsisten dan komparatif antarnegara, serta mengidentifikasi hambatan sistemik dan peluang reformasi.

Studi Kasus 1: Australia—Antara Inovasi dan Fragmentasi

Tantangan Utama

  • Australia hanya menerima 1% air tawar dunia, dengan iklim sangat variabel: dari banjir hingga kekeringan ekstrem.
  • Murray-Darling Basin (MDB) adalah “food bowl” Australia, namun mengalami over-allocated water rights, degradasi lingkungan, dan konflik antarnegara bagian.
  • Konsumsi air nasional tahun 2016–2017: sekitar 16.500 gigaliter; 60% untuk pertanian, 23% rumah tangga, 8% pertambangan/manufaktur, 9–10% lingkungan.

Kebijakan dan Kerangka Hukum

  • National Water Initiative (NWI): Sejak 2004, mendorong harmonisasi perencanaan air, pemisahan hak tanah dan air, perlindungan lingkungan, dan pasar air.
  • Statutory Water Plans: Seluruh area penggunaan intensif kini memiliki rencana air berbasis hukum.
  • Water Markets: Hak air dapat diperdagangkan, namun tetap di bawah kendali negara bagian.

Studi Kasus: Murray-Darling Basin

  • Mendukung 41% nilai pertanian nasional, 2,1 juta penduduk, dan 1,4 juta penerima air minum di luar basin.
  • Pemerintah federal mengucurkan AUD 10 miliar untuk modernisasi irigasi dan buy-back hak air demi lingkungan.
  • Namun, implementasi seringkali “opportunistic” (beli air di mana mudah, bukan di titik tekanan sistem), bukan berbasis strategi ekosistem.
  • Hanya 9% rencana air memenuhi standar monitoring dan evaluasi nasional (NWC 2014a).
  • Konflik antara kebutuhan konsumtif (petani, industri) dan lingkungan masih tinggi; politisasi dan lemahnya enforcement memperburuk situasi.

Kelebihan dan Kritik

  • Kelebihan: Transparansi data, evaluasi independen (NWC, APC), inovasi pasar air.
  • Kritik: Fragmentasi kewenangan antarnegara bagian, lemahnya perlindungan lingkungan, kurangnya integrasi pengelolaan permukaan dan air tanah, serta adaptasi iklim yang masih lambat.

Studi Kasus 2: China—Antara Megaproyek dan Krisis Keseimbangan

Tantangan Utama

  • China menghadapi krisis air akut di kawasan utara (kekeringan), sementara selatan sering banjir.
  • Polusi air masif: 60% air tanah di kota besar tidak layak konsumsi; sungai utama sangat tercemar.
  • Ketergantungan pada megaproyek: South-to-North Water Diversion Project (SNWDP), Three Gorges Dam, dan proyek-proyek rekayasa besar lain.

Kebijakan dan Reformasi

  • River Basin Management: 7 komisi sungai utama, namun seringkali tumpang tindih dengan pemerintah daerah.
  • Market-Oriented Reforms: Uji coba tarif air progresif, water rights trading, dan insentif efisiensi.
  • Penguatan Hukum: Water Law (2002, revisi 2016), namun enforcement masih lemah.

Studi Kasus: SNWDP

  • Proyek transfer air terbesar dunia, menyalurkan >44 miliar m³ air/tahun dari selatan ke utara.
  • Biaya sosial-ekologis besar: relokasi >300.000 orang, perubahan ekosistem, dan ketergantungan pada infrastruktur.
  • Hasil: sebagian kebutuhan kota besar (Beijing, Tianjin) terpenuhi, namun polusi di sumber air tetap tinggi.

Kelebihan dan Kritik

  • Kelebihan: Kecepatan eksekusi proyek, investasi besar pada infrastruktur, dan upaya reformasi pasar air.
  • Kritik: Fragmentasi kelembagaan, lemahnya koordinasi pusat-daerah, fokus pada supply-side (menambah pasokan) daripada demand-side (efisiensi dan konservasi), serta kurangnya perlindungan ekosistem.

Studi Kasus 3: Jepang—Stabilitas Tinggi, Ancaman Baru

Tantangan Utama

  • Jepang relatif berhasil dalam penyediaan air bersih dan sanitasi, namun menghadapi risiko baru: populasi menua, urbanisasi, dan perubahan iklim (banjir ekstrem, kekeringan lokal).
  • Infrastruktur air sangat maju, namun banyak yang sudah tua dan butuh investasi besar untuk peremajaan.

Kebijakan dan Tata Kelola

  • Legal Framework: Waterworks Law, River Law, dan peraturan ketat tentang kualitas air.
  • Integrated River Basin Management: Pendekatan holistik pada pengelolaan sungai, termasuk mitigasi banjir, konservasi, dan partisipasi masyarakat.
  • Partisipasi Lokal: Banyak inisiatif berbasis komunitas (watershed groups, user associations) diakui pemerintah.

Studi Kasus: Penanganan Banjir dan Infrastruktur

  • Investasi besar pada infrastruktur anti-banjir (bendungan, kanal bawah tanah).
  • Namun, perubahan iklim menyebabkan banjir ekstrem yang menantang kapasitas sistem lama.
  • Penurunan populasi menyebabkan overcapacity di beberapa sistem air, sementara kota besar tetap menghadapi tekanan.

Kelebihan dan Kritik

  • Kelebihan: Tata kelola terintegrasi, partisipasi publik, kualitas air tinggi.
  • Kritik: Biaya perawatan infrastruktur tinggi, rigiditas birokrasi, dan tantangan adaptasi terhadap perubahan iklim ekstrem.

Analisis Komparatif: Apa yang Bisa Dipelajari?

Tren Global dan Relevansi

  • Fragmentasi tata kelola adalah masalah universal, baik di negara federal (Australia), terpusat (China), maupun maju (Jepang).
  • Politik dan kepentingan ekonomi sering mengalahkan sains dan ekologi dalam pengambilan keputusan air.
  • Ketahanan air kini harus diintegrasikan dengan ketahanan pangan, energi, dan iklim (nexus approach).
  • Inovasi kelembagaan (misal, pasar air di Australia, river basin management di Jepang, pilot water trading di China) adalah kunci, namun perlu penguatan enforcement dan adaptasi.

Kritik, Opini, dan Rekomendasi

Kritik Utama

  • Ketiga negara cenderung mengutamakan pertumbuhan ekonomi dan konsumsi, seringkali mengorbankan ekosistem dan keberlanjutan jangka panjang.
  • Reformasi kelembagaan dan tata kelola air sering terhambat kepentingan politik, fragmentasi, dan resistensi perubahan.
  • Monitoring, evaluasi, dan adaptasi kebijakan masih lemah, terutama dalam menghadapi perubahan iklim yang semakin ekstrem.

Opini dan Saran

  1. Prioritaskan Perlindungan Ekosistem: Kesehatan sistem air adalah prasyarat ketahanan ekonomi dan sosial.
  2. Perkuat Tata Kelola Terintegrasi: Gabungkan pengelolaan permukaan, air tanah, dan ekosistem dalam satu kerangka adaptif.
  3. Dorong Partisipasi Publik: Libatkan komunitas lokal, pengguna air, dan masyarakat adat dalam perencanaan dan monitoring.
  4. Inovasi dan Teknologi: Investasi pada teknologi monitoring real-time, AI untuk prediksi, dan sistem adaptasi berbasis data.
  5. Reformasi Politik dan Hukum: Kurangi fragmentasi, perkuat enforcement, dan pastikan transparansi serta akuntabilitas dalam pengambilan keputusan.

Menuju Ketahanan Air Abad ke-21

Disertasi Crawford menegaskan bahwa ketahanan air adalah bagian tak terpisahkan dari keamanan nasional dan kesejahteraan masyarakat. Australia, China, dan Jepang menawarkan pelajaran berharga—baik dari sisi keberhasilan maupun kegagalan—dalam mengelola sumber daya air di tengah tekanan populasi, ekonomi, dan perubahan iklim. Negara-negara lain, termasuk Indonesia, dapat mengambil inspirasi dari inovasi, memperbaiki kelemahan, dan menghindari jebakan fragmentasi serta politisasi yang berlebihan.

Ketahanan air masa depan menuntut keberanian politik, inovasi kelembagaan, dan komitmen pada keberlanjutan ekosistem. Hanya dengan pendekatan integratif dan adaptif, negara-negara dapat memastikan air tetap menjadi sumber kehidupan, bukan sumber konflik.

Sumber Artikel 

Peter J Crawford. A Critique of Water Security in Australia, China and Japan. University of New England, 2020.

Selengkapnya
Membedah Ketahanan Air Nasional: Studi Komparatif Australia, China, dan Jepang dalam Menghadapi Krisis Air Abad ke-21

Sumber Daya Air

Prediksi Konsumsi Air di DAS Sungai Nil dengan Feed-Forward Neural Network: Studi Kasus Mesir dan Kenya

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 20 Juni 2025


Urgensi Perencanaan Air di DAS Lintas Negara

Sungai Nil adalah sumber kehidupan bagi lebih dari 300 juta orang di Afrika Timur dan Utara, melintasi 11 negara dengan latar belakang ekonomi, iklim, dan kepentingan politik yang sangat beragam. Ketergantungan tinggi pada air Sungai Nil, terutama di Mesir dan Kenya, diperparah oleh pertumbuhan penduduk, perubahan iklim, serta dinamika pembangunan ekonomi yang pesat. Dalam konteks inilah, paper “Forecasting water consumption on transboundary water resources for water resource management using the feed-forward neural network: a case study of the Nile River in Egypt and Kenya” karya Anne Wambui Mumbi dkk. (2022) menjadi sangat relevan sebagai rujukan ilmiah dan kebijakan untuk merancang masa depan pengelolaan air lintas negara yang lebih adaptif dan berbasis data123.

Latar Belakang: Kompleksitas Pengelolaan Air Sungai Nil

Tantangan Transboundary Water Management

  • Sungai Nil adalah DAS lintas negara terpanjang di dunia (6.650 km), melintasi 11 negara dan menopang 64% daratan Afrika serta 77% populasinya1.
  • Ketergantungan Mesir: 95% penduduk Mesir tinggal di dekat Sungai Nil, dan 80% air Sungai Nil digunakan untuk irigasi, menyumbang 14,5% PDB nasional1.
  • Peran Kenya: Meski hanya 9% wilayah Kenya berada di DAS Nil, 52% kebutuhan air nasionalnya dipenuhi dari DAS ini, terutama untuk pertanian dan pariwisata yang menyumbang 10–15% PDB1.
  • Konflik dan Kerjasama: Persaingan pemanfaatan air, perjanjian kolonial lama, dan pembangunan bendungan di hulu (misal Ethiopia) sering memicu ketegangan diplomatik dan potensi konflik12.

Tren Global

  • Permintaan air global diprediksi naik 20–30% pada 2050, sedangkan konsumsi air pertanian akan naik 60% pada 2025 dari angka 20191.
  • Krisis air lebih sering dipicu oleh tata kelola yang lemah, bukan semata-mata kelangkaan fisik1.

Metodologi: Prediksi Konsumsi Air dengan Deep Learning

Model dan Data

  • Model utama: Feed-Forward Neural Network (FFNN), dibandingkan dengan Recurrent Neural Network (RNN) untuk validasi performa123.
  • Input utama: Data historis presipitasi, PDB, populasi, dan penggunaan air sektor pertanian.
  • Data: Tahun 2001–2014 untuk Mesir dan Kenya, dengan sumber dari FAO, World Bank, IMF, dan data iklim dari 430 stasiun cuaca1.
  • Normalisasi data: Semua variabel dinormalisasi ke rentang 0–1 untuk menghindari bias dalam pelatihan model.

Skema Skenario

  • Skenario 1: Prediksi berbasis tren historis keempat variabel utama.
  • Skenario 2: PDB digandakan, variabel lain tetap, untuk melihat dampak pertumbuhan ekonomi pesat terhadap permintaan air.

Evaluasi Model

  • Pembagian data: 80% untuk pelatihan, 20% untuk pengujian.
  • Akurasi: FFNN menunjukkan error lebih rendah (RMSE Kenya: 0,0689 x 10³ m³/tahun, Mesir: 0,883 x 10³ m³/tahun) dibanding RNN (Kenya: 0,071 x 10³ m³/tahun, Mesir: 0,897 x 10³ m³/tahun)1.
  • Akurasi pengujian: FFNN Kenya 0,116145, Mesir 0,099894; RNN Kenya 0,196333, Mesir 0,1336961.

Hasil dan Analisis: Konsumsi Air Masa Depan di Mesir dan Kenya

Skenario 1: Prediksi Berdasarkan Tren Historis

Kenya

  • Prediksi konsumsi air per kapita terus meningkat hingga 2040, dari sekitar 0,8 menjadi 1,2 x 10³ m³/tahun1.
  • Penyebab utama: Pertumbuhan penduduk pesat, penurunan curah hujan, dan ketergantungan pada pertanian irigasi.
  • Dampak: Proyeksi pasokan air per kapita turun ke 235 m³/tahun pada 2025 (dari 647 m³/tahun saat ini), jauh di bawah ambang batas kelangkaan air (1.000 m³/tahun)1.

Mesir

  • Tren unik: Konsumsi air per kapita menurun perlahan hingga 2032, lalu meningkat kembali hingga 0,18 x 10³ m³/tahun pada 20401.
  • Faktor penentu: Keterbatasan sumber air (hanya 6% lahan subur, curah hujan <80 mm/tahun), pertumbuhan penduduk, dan kebijakan pengurangan tanaman boros air seperti padi.
  • Risiko: Ketergantungan pada air Nil sangat tinggi, sehingga setiap perubahan di negara hulu (misal pembangunan bendungan Ethiopia) sangat memengaruhi pasokan air nasional.

Skenario 2: Dampak Pertumbuhan Ekonomi Ekstrem (GDP Doubled)

Kenya

  • Konsumsi air per kapita naik lebih tajam, mencapai 0,5 unit pada 20401.
  • Implikasi: Tanpa efisiensi dan teknologi hemat air, pertumbuhan ekonomi akan memperparah krisis air.

Mesir

  • Tren: Konsumsi air per kapita tetap menurun, lalu naik perlahan hingga 0,8 m³ pada 20401.
  • Penjelasan: Di Mesir, permintaan air lebih dipengaruhi oleh sektor pertanian daripada pertumbuhan ekonomi semata. Jika pertumbuhan ekonomi tidak diiringi perubahan pola tanam dan efisiensi irigasi, pengaruhnya pada konsumsi air tetap terbatas.

Diskusi Kritis: Implikasi, Kelebihan, dan Keterbatasan

Implikasi Kebijakan

  • Forecasting berbasis AI seperti FFNN sangat membantu perencanaan air lintas negara, memberikan “early warning” bagi pembuat kebijakan untuk merancang strategi adaptasi.
  • Kerjasama lintas negara sangat penting, terutama di DAS Nil yang rawan konflik akibat ketimpangan distribusi air dan perubahan iklim.
  • Diversifikasi sumber air (teknologi desalinasi, daur ulang air, efisiensi irigasi) harus menjadi prioritas di negara-negara yang sangat bergantung pada satu sumber utama.

Kelebihan Studi

  • Pendekatan komparatif: Analisis paralel Kenya (hulu) dan Mesir (hilir) memberikan gambaran utuh dinamika konsumsi air di DAS lintas negara12.
  • Metodologi mutakhir: Penggunaan FFNN dan RNN memungkinkan prediksi lebih akurat dibanding model statistik klasik, terutama untuk data multivariat dan tren jangka panjang4.
  • Validasi model: Pengujian dengan dua metode (FFNN vs RNN) memperkuat keandalan hasil.

Keterbatasan dan Kritik

  • Variabel terbatas: Hanya empat input utama (PDB, populasi, curah hujan, air pertanian), padahal faktor lain seperti perubahan tata guna lahan, kebijakan air, dan teknologi irigasi juga sangat berpengaruh.
  • Negara antara: Studi hanya fokus pada Kenya dan Mesir, padahal negara lain di DAS Nil (Ethiopia, Sudan, Uganda) juga berperan besar dalam dinamika air.
  • Asumsi GDP: Skenario GDP digandakan tanpa perubahan variabel lain kurang realistis, karena pertumbuhan ekonomi biasanya berdampak langsung pada populasi, urbanisasi, dan pola konsumsi air.
  • Keterbatasan data: Data historis di negara berkembang sering tidak lengkap atau kurang mutakhir, sehingga hasil prediksi tetap perlu diverifikasi secara berkala.

Perbandingan dengan Studi Lain dan Tren Industri

  • Studi di Afrika Selatan dan Tiongkok juga menunjukkan bahwa prediksi konsumsi air berbasis neural network mampu membantu perencanaan, namun efektivitasnya sangat tergantung pada kualitas data dan integrasi dengan kebijakan nyata4.
  • Tren global: Penggunaan AI dan machine learning untuk prediksi sumber daya air kini menjadi standar baru di banyak negara maju, dan mulai diadopsi di negara berkembang untuk mitigasi risiko krisis air.
  • Industri air: Sektor utilitas air di dunia kini mulai mengintegrasikan model prediksi AI untuk optimasi distribusi, deteksi kebocoran, dan perencanaan investasi infrastruktur.

Rekomendasi dan Saran Praktis

  1. Perkuat sistem data: Investasi pada sistem monitoring dan pencatatan data air yang terintegrasi lintas negara sangat krusial.
  2. Kolaborasi regional: Perluasan kerjasama lintas negara dalam pengelolaan air, termasuk berbagi data dan teknologi prediksi.
  3. Diversifikasi sumber air: Negara-negara di DAS Nil harus mempercepat adopsi teknologi desalinasi, daur ulang air, dan efisiensi irigasi.
  4. Edukasi dan advokasi: Masyarakat dan pelaku industri harus didorong untuk mengadopsi perilaku hemat air dan mendukung kebijakan konservasi.
  5. Pengembangan model prediktif: Studi lanjutan perlu memasukkan variabel tambahan (sektor industri, kebijakan pemerintah, perubahan tata guna lahan) dan memperluas cakupan ke negara-negara lain di DAS Nil.

Menuju Tata Kelola Air Lintas Negara yang Adaptif

Studi ini menegaskan pentingnya prediksi konsumsi air berbasis AI untuk mendukung tata kelola air lintas negara yang lebih responsif dan berkelanjutan. Dengan proyeksi kenaikan konsumsi air di Kenya dan tren fluktuatif di Mesir, kedua negara (dan seluruh DAS Nil) harus segera beradaptasi dengan strategi pengelolaan air yang lebih efisien, kolaboratif, dan berbasis data. Model FFNN terbukti unggul dalam memetakan tren jangka panjang, namun tetap perlu dilengkapi dengan data yang lebih kaya dan integrasi kebijakan nyata untuk hasil yang optimal.

Sumber Artikel 

Anne Wambui Mumbi, Fengting Li, Jean Pierre Bavumiragira, Fangnon Firmin Fangninou. Forecasting water consumption on transboundary water resources for water resource management using the feed-forward neural network: a case study of the Nile River in Egypt and Kenya. Marine and Freshwater Research 73(3): 292–306. 2022.

Selengkapnya
Prediksi Konsumsi Air di DAS Sungai Nil dengan Feed-Forward Neural Network: Studi Kasus Mesir dan Kenya

Sumber Daya Air

Mengukur Dampak Skema Payments for Watershed Services (PWS) pada Kualitas Air di DAS Lintas Provinsi Xin’an, Tiongkok

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 20 Juni 2025


Pentingnya Inovasi Tata Kelola Air di Tiongkok

Pertumbuhan ekonomi pesat di Tiongkok selama beberapa dekade terakhir telah membawa dampak besar pada lingkungan, khususnya kualitas air sungai yang menjadi sumber utama kehidupan dan ekonomi. Salah satu tantangan terbesar adalah polusi air di sungai lintas provinsi, di mana kepentingan ekonomi dan ekologi sering kali berbenturan antara wilayah hulu dan hilir. Paper “Measuring the incremental impact of Payments for Watershed Services on water quality in a transboundary river basin in China” oleh Zeng, Brouwer, Wang, dan Chen (2021) menjadi tonggak penting dalam mengevaluasi efektivitas skema kompensasi ekologi (PWS) untuk mengatasi masalah ini, khususnya di Sungai Xin’an yang melintasi provinsi Anhui dan Zhejiang12.

Artikel ini akan membedah pendekatan, hasil, serta relevansi kebijakan PWS di Xin’an, mengaitkannya dengan tren pengelolaan air lintas wilayah di Tiongkok dan dunia, serta memberikan analisis kritis dan saran ke depan.

Latar Belakang: Mengapa Sungai Xin’an Jadi Studi Kasus Penting?

Profil Sungai Xin’an

  • Panjang: 373 km, membentang dari Anhui ke Zhejiang.
  • Luas DAS: >11.000 km².
  • Fungsi vital: Sumber air minum utama bagi Zhejiang (termasuk Hangzhou), serta penyangga ekosistem dan keanekaragaman hayati.
  • Tantangan: Polusi industri dan pertanian di hulu (Anhui) menyebabkan penurunan kualitas air di hilir (Zhejiang), mengancam pasokan air bersih dan kesehatan masyarakat123.

Ketimpangan Ekonomi dan Tekanan Pembangunan

  • GDP per kapita (2018): Zhejiang CNY 98.643 (peringkat 5 nasional), Anhui CNY 47.712 (peringkat 22)12.
  • Ambisi ekonomi di Huangshan (Anhui) berpotensi memperparah polusi tanpa intervensi kebijakan.

Skema Payments for Watershed Services (PWS): Konsep dan Implementasi

Apa Itu PWS?

  • Instrumen berbasis pasar di mana pengguna air hilir (misal, pemerintah atau perusahaan air) membayar pihak hulu (petani, industri, pemerintah lokal) untuk menjaga atau meningkatkan kualitas air142.
  • Tujuan: Insentif ekonomi agar pihak hulu mengurangi polusi dan menjaga jasa ekosistem DAS.

Skema PWS di Xin’an: Tahapan dan Mekanisme

  • Pilot nasional pertama untuk skema kompensasi ekologi lintas provinsi di Tiongkok.
  • Tahapan pelaksanaan:
    • Persiapan: 2008–2011
    • Implementasi I: 2011–2014
    • Implementasi II: 2015–2017
    • Implementasi III: 2017–2020
  • Pendanaan:
    • 2010: CNY 50 juta (USD 7,5 juta) dari pemerintah pusat
    • 2011: CNY 200 juta (USD 30 juta) tambahan
    • Setiap tahun: CNY 300 juta (USD 45 juta) dari pusat untuk Anhui12
  • Insentif kinerja:
    • Jika kualitas air di perbatasan provinsi memenuhi standar, Zhejiang membayar Anhui CNY 100–200 juta.
    • Jika gagal, Anhui membayar Zhejiang jumlah yang sama.
    • Parameter kualitas air utama: permanganate index, ammonia, nitrogen total, fosfor total.
    • Koefisien stabilitas air (K) disesuaikan dalam setiap putaran negosiasi.

Inovasi dan Tantangan Teknis

  • Penambahan titik pemantauan kualitas air dari 8 menjadi 44.
  • Penutupan >150 perusahaan pencemar, relokasi >70 industri, dan peningkatan fasilitas pengolahan limbah di >290 perusahaan12.
  • Pembangunan jaringan pipa limbah sepanjang 128 km di 7 kawasan industri.
  • Tantangan: 75% desa di Huangshan belum memiliki fasilitas pengolahan limbah domestik dan pertanian, menyebabkan polusi nitrogen dan fosfor tetap tinggi3.

Metodologi Evaluasi: Synthetic Control Method (SCM)

Mengapa SCM?

  • Evaluasi kebijakan lingkungan sering terkendala tidak adanya “grup kontrol” yang benar-benar sebanding.
  • SCM membangun “kota sintetik” (synthetic city) dari kombinasi beberapa kota pembanding yang mirip secara sosial-ekonomi, untuk memperkirakan apa yang akan terjadi jika PWS tidak diterapkan di Huangshan12.
  • Data utama: Intensitas polusi air industri (ton limbah cair per 10.000 CNY GDP), GDP, urbanisasi, belanja teknologi, kepadatan penduduk, dll.

Studi Kasus: Huangshan vs. Synthetic Huangshan

  • Kombinasi 5 kota (Suzhou, Bengbu, Suizhou, Chuzhou, Laiwu) membentuk “synthetic Huangshan” dengan karakteristik ekonomi dan polusi sangat mirip sebelum 2011.
  • Korelasi karakteristik sosial-ekonomi antara Huangshan asli dan sintetik sangat tinggi (>0,8 untuk sebagian besar variabel)12.

Hasil dan Analisis: Dampak Nyata PWS pada Kualitas Air

Tren Polusi Sebelum dan Sesudah PWS

  • 2005–2010: Intensitas polusi air industri di Huangshan turun 25% (tanpa PWS, efek kebijakan nasional dan tekanan publik sudah mulai terasa).
  • 2011 (awal PWS): Penurunan drastis >50% dari 5,9 ton/10.000 CNY (2010) menjadi 2,8 (2011), lalu 1,2 pada 201612.
  • Synthetic Huangshan: Penurunan hanya 16% pada 2011, jauh lebih lambat daripada Huangshan asli.
  • 2011–2016: Reduksi kumulatif polusi air industri di Huangshan 55% lebih besar dibanding skenario tanpa PWS (synthetic control)12
  • Placebo test: Di kota lain yang tidak menerapkan PWS, tidak ditemukan penurunan polusi sebesar Huangshan setelah 2011, memperkuat bukti kausalitas dampak PWS12.

Robustness Test

  • RMSPE (root mean squared prediction error) untuk synthetic Huangshan: 0,186 (fit sangat baik).
  • 29% kota pembanding dikeluarkan dari analisis karena fit buruk (RMSPE >1), memastikan hanya kota yang benar-benar mirip yang digunakan sebagai kontrol.

Diskusi Kritis: Kelebihan, Tantangan, dan Pembelajaran

Kelebihan PWS Xin’an

  • Insentif finansial jelas: Mendorong kolaborasi lintas provinsi, mengurangi “free rider problem” dan konflik hulu-hilir5.
  • Monitoring dan evaluasi berbasis data: Penambahan titik pemantauan dan indikator kinerja yang disepakati bersama.
  • Dampak nyata: Penurunan polusi air industri yang signifikan dan terukur, melebihi tren nasional.

Tantangan dan Keterbatasan

  • Keterbatasan data: Tidak semua parameter polusi (misal, logam berat, pestisida) tersedia secara konsisten; data COD hanya parsial.
  • Fokus pada limbah industri: Polusi pertanian dan limbah domestik pedesaan belum teratasi optimal (75% desa tanpa fasilitas pengolahan)3.
  • Efek jangka panjang: Setelah penurunan drastis awal, laju penurunan polusi melambat dan stabil, menunjukkan perlunya inovasi lanjutan.
  • Keterlibatan masyarakat: Skema PWS lebih didorong pemerintah dan elite, keterlibatan masyarakat akar rumput masih terbatas4.

Perbandingan dengan Studi Lain

  • Studi di DAS lain di Tiongkok dan negara berkembang menunjukkan bahwa keberhasilan PWS sangat bergantung pada insentif ekonomi, transparansi, dan partisipasi multi-pihak45.
  • Studi di Amerika Latin menunjukkan tren serupa: PWS efektif jika monitoring kuat dan pembayaran berbasis kinerja.

Implikasi Kebijakan dan Tren Masa Depan

Relevansi untuk Tiongkok dan Global

  • Model Xin’an kini menjadi rujukan untuk replikasi skema PWS di DAS lintas provinsi lain di Tiongkok, yang menghadapi masalah serupa (misal, Sungai Yangtze, Sungai Kuning)25.
  • Tren global: Negara-negara berkembang mulai mengadopsi skema PWS untuk mengatasi konflik hulu-hilir dan memperkuat tata kelola air lintas wilayah.

Saran dan Rekomendasi

  1. Perluas cakupan PWS: Sertakan polusi pertanian, limbah domestik, dan perlindungan ekosistem (hutan, lahan basah) secara terintegrasi.
  2. Perkuat sistem monitoring: Publikasikan data kualitas air secara terbuka dan konsisten, serta gunakan teknologi sensor dan IoT.
  3. Tingkatkan partisipasi masyarakat: Libatkan petani, komunitas lokal, dan LSM dalam perancangan dan pemantauan skema.
  4. Integrasi dengan kebijakan nasional: Sinkronkan PWS dengan strategi pembangunan hijau dan target pengurangan emisi nasional.
  5. Inovasi pembiayaan: Kembangkan blended finance, green bonds, dan skema pembayaran berbasis hasil untuk memperluas sumber dana.

PWS Xin’an sebagai Laboratorium Tata Kelola Air Modern

Studi Zeng dkk. membuktikan bahwa skema Payments for Watershed Services lintas provinsi dapat memberikan dampak tambahan yang signifikan terhadap penurunan polusi air, bahkan di tengah tren nasional yang sudah membaik. Keberhasilan ini dicapai melalui insentif finansial yang jelas, monitoring bersama, dan kerangka tata kelola yang adaptif. Namun, tantangan data, partisipasi masyarakat, dan cakupan polusi non-industri masih menjadi PR besar ke depan.

Bagi negara-negara lain yang menghadapi konflik hulu-hilir, model Xin’an menawarkan pelajaran penting: kolaborasi, insentif ekonomi, dan evaluasi berbasis data adalah kunci menuju tata kelola air yang berkelanjutan dan adil.

Sumber Artikel 

Zeng, Q., Brouwer, R., Wang, Y., & Chen, L. (2021). Measuring the incremental impact of Payments for Watershed Services on water quality in a transboundary river basin in China. Ecosystem Services, 51, 1-11. Article 101355.

Selengkapnya
Mengukur Dampak Skema Payments for Watershed Services (PWS) pada Kualitas Air di DAS Lintas Provinsi Xin’an, Tiongkok

Ekonomi Hijau

Paradigma Baru Menuju Ekonomi Hijau di Indonesia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 20 Juni 2025


Mengapa Paradigma Ekonomi Hijau Kini Jadi Keniscayaan?

Indonesia, negara kepulauan terbesar keempat di dunia, telah mencatat pertumbuhan ekonomi stabil selama dua dekade terakhir. Namun, keberhasilan ekonomi ini dibayangi oleh ketergantungan tinggi pada eksploitasi sumber daya alam dan model pembangunan berkarbon tinggi yang menyebabkan kerusakan lingkungan, emisi gas rumah kaca (GRK) masif, dan ancaman serius terhadap keberlanjutan ekonomi jangka panjang. Paper “Low Carbon Development: A Paradigm Shift Towards a Green Economy in Indonesia” yang dipimpin oleh Bappenas dan didukung berbagai pakar nasional-internasional, menjadi tonggak penting dalam mendorong perubahan paradigma pembangunan nasional menuju ekonomi hijau dan rendah karbon1.

Artikel ini akan membedah isi, angka-angka, serta studi kasus dari laporan tersebut, lalu mengaitkannya dengan tren global, kritik, dan peluang nyata bagi Indonesia.

Konteks Global: Dari “Business as Usual” ke Revolusi Ekonomi Hijau

Tren Dunia

Laporan New Climate Economy (2018) menegaskan, negara-negara yang berani bertransformasi ke ekonomi rendah karbon justru menikmati pertumbuhan lebih inklusif, inovatif, dan tahan krisis. Indonesia, sebagai negara G20 dan pengemisi karbon ke-4 dunia, menjadi laboratorium penting bagi dunia—apakah pertumbuhan ekonomi dan aksi iklim bisa berjalan beriringan?

Tantangan Indonesia

  • Emisi GRK naik 54% sejak 2000
  • 95% energi masih dari fosil (2015)
  • Deforestasi masif: 8 juta ha hutan primer hilang 2000–2017
  • Kerugian ekonomi akibat degradasi alam setara 7,2% GNI/tahun

Low Carbon Development Initiative (LCDI): Visi, Target, dan Skema Skenario

Visi LCDI

LCDI diluncurkan Bappenas pada 2017, bertujuan mengintegrasikan aksi iklim ke dalam agenda pembangunan nasional. Target utamanya:

  • Memastikan pertumbuhan ekonomi tetap tinggi,
  • Mengurangi kemiskinan,
  • Menjaga daya dukung lingkungan,
  • Mencapai target NDC (Nationally Determined Contribution) Paris Agreement.

Catatan: LCDI High mampu menurunkan emisi hampir 43% pada 2030, melampaui target NDC 41%1.

Studi Kasus & Angka Kunci: Manfaat Nyata Jalur Rendah Karbon

Dampak Ekonomi & Sosial

  • Pertumbuhan ekonomi rata-rata 6% per tahun hingga 2045
  • Penambahan lebih dari US$5,4 triliun ke PDB pada 2045
  • 15,3 juta lapangan kerja baru yang lebih hijau dan layak
  • Penurunan kemiskinan ekstrem jadi 4,2% pada 2045
  • 40.000 kematian per tahun dapat dicegah (perbaikan kualitas udara)
  • Hilangnya 16 juta ha hutan dapat dicegah

Dampak Lingkungan

  • Emisi GRK turun 43% pada 2030 (LCDI High)
  • Pada 2045, emisi turun 75% dibanding Base Case (LCDI Plus)
  • Perlindungan 41,1 juta ha hutan primer dan 15 juta ha gambut

Studi Kasus: Moratorium Hutan & Energi Terbarukan

  • Moratorium izin hutan dan sawit: 42,5 juta ha hutan dan gambut dilindungi, namun deforestasi masih terjadi, terutama di Papua dan Kalimantan.
  • Transisi energi: Target bauran energi terbarukan naik dari 8% (2015) ke 23% (2030), dan 30% (2045). Namun, subsidi energi fosil masih tinggi (US$30 miliar/tahun).

Analisis Skenario: Apa yang Terjadi Jika Tidak Berubah?

Base Case (Business as Usual)

  • Pertumbuhan ekonomi melambat ke 4,3% pada 2045
  • Emisi naik 23,9% pada 2030
  • Kemiskinan, kematian akibat polusi, dan kerugian ekonomi memburuk
  • Kerugian pendapatan kumulatif US$130 miliar (2019–2024)
  • Lebih dari 1 juta orang jatuh miskin dibanding skenario rendah karbon

LCDI High & Plus

  • Pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dan berkelanjutan
  • Investasi tambahan yang dibutuhkan US$22–70 miliar/tahun (1,7–2,34% PDB)
  • Rasio investasi terhadap PDB justru lebih rendah dibanding skenario BAU, karena investasi lebih efisien dan produktif

Sektor Kunci: Energi, Lahan, dan Infrastruktur

1. Energi: Transisi dari Fosil ke Terbarukan

  • 95% energi dari fosil (2015): 44% minyak, 29% batu bara, 22% gas
  • Emisi energi naik 4,1%/tahun (2000–2017)
  • Biaya eksternalitas batu bara (polusi, kematian dini) sangat besar
  • Studi biaya (Gambar 4): Energi terbarukan (angin, surya, hidro) kini lebih murah dari batu bara jika memperhitungkan eksternalitas

2. Lahan: Deforestasi, Gambut, dan Moratorium

  • Deforestasi 8 juta ha hutan primer (2000–2017)
  • Konversi lahan terbesar: dari hutan sekunder ke pertanian (6,8 juta ha, 2000–2014)
  • Kebakaran hutan dan lahan gambut: 15% emisi lahan, bisa naik 40% di tahun kering
  • Moratorium hutan sawit dan tambang: efektif jika disertai penegakan hukum dan insentif ekonomi

3. Infrastruktur: Dari “Grey” ke “Green”

  • Investasi infrastruktur US$50 miliar/tahun (20% APBN)
  • Infrastruktur berkelanjutan (transportasi massal, energi bersih, perlindungan ekosistem) harus menjadi prioritas
  • Infrastruktur “grey” (jalan, PLTU batu bara, dsb) justru memperparah emisi dan kerusakan lingkungan

Kelebihan, Kritik, dan Perbandingan Global

Kelebihan LCDI

  • Pendekatan sistemik: Integrasi lintas sektor (energi, lahan, air, SDM)
  • Berbasis sains & model dinamis: IV2045, GLOBIOM-Indonesia, SpaDyn
  • Konsultasi multi-stakeholder: Pemerintah, swasta, LSM, donor internasional

Kritik & Tantangan

  • Implementasi kebijakan sering terhambat kepentingan politik dan ekonomi jangka pendek
  • Subsidi energi fosil masih masif
  • Penegakan moratorium hutan belum konsisten
  • Kapasitas kelembagaan dan pembiayaan hijau perlu ditingkatkan
  • Transisi harus adil (just transition): pekerja di sektor fosil dan masyarakat adat perlu perlindungan dan pelatihan ulang

Perbandingan Negara Lain

  • China: Sukses menurunkan kemiskinan, tapi dengan biaya lingkungan tinggi. Kini beralih ke ekonomi hijau, namun dengan tantangan polusi berat.
  • Vietnam & Malaysia: Mulai mengadopsi kebijakan energi terbarukan dan moratorium hutan, meski skalanya belum sebesar Indonesia.

Peluang & Rekomendasi: Menuju Indonesia Emas 2045 yang Hijau

Peluang

  • Indonesia bisa jadi contoh global transisi ekonomi hijau di negara berkembang
  • Potensi investasi hijau sangat besar: blended finance, green bonds, dana internasional
  • Teknologi terbarukan (surya, angin, baterai) semakin murah dan kompetitif
  • Peningkatan produktivitas lahan & efisiensi energi = pertumbuhan ekonomi lebih tinggi

Rekomendasi

  1. Reformasi Subsidi Energi: Alihkan subsidi fosil ke energi bersih dan infrastruktur hijau.
  2. Penegakan Moratorium Hutan: Perkuat monitoring, insentif ekonomi, dan perlindungan masyarakat adat.
  3. Investasi Infrastruktur Hijau: Prioritaskan transportasi massal, energi terbarukan, dan perlindungan ekosistem.
  4. Pendidikan & Pelatihan Ulang: Siapkan tenaga kerja untuk ekonomi hijau.
  5. Kolaborasi Global: Manfaatkan peluang pendanaan internasional dan transfer teknologi.

Tidak Ada Trade-Off, Hanya Kesempatan

Studi LCDI membuktikan, Indonesia tidak perlu memilih antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Jalur pembangunan rendah karbon justru menawarkan “win-win-win”: ekonomi tumbuh lebih tinggi, kemiskinan berkurang, lingkungan lebih lestari, dan Indonesia siap menjadi negara maju pada 2045. Tantangannya adalah keberanian politik, inovasi kebijakan, dan kolaborasi lintas sektor.

Sumber Artikel 

Low Carbon Development: A Paradigm Shift Towards a Green Economy in Indonesia. Ministry of National Development Planning/BAPPENAS (2019).

Selengkapnya
Paradigma Baru Menuju Ekonomi Hijau di Indonesia
« First Previous page 45 of 1.113 Next Last »