Infrastruktur dan Transportasi

Jalan Menuju Kesejahteraan: Analisis Dampak Sosioekonomi Infrastruktur Pedesaan terhadap Pengentasan Kemiskinan

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 28 Oktober 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Infrastruktur jalan pedesaan memiliki peran strategis dalam mendorong pembangunan inklusif dan mengurangi kemiskinan. Studi Socio-Economic Impact of Road Development Projects (2020) menegaskan bahwa akses jalan yang baik meningkatkan peluang ekonomi masyarakat desa, memperluas akses terhadap pasar, pendidikan, dan layanan kesehatan, serta menurunkan tingkat kemiskinan secara signifikan.

Jalan bukan sekadar sarana transportasi, melainkan katalis perubahan sosial ekonomi. Pembangunan jalan terbukti meningkatkan aktivitas perdagangan, mempercepat distribusi hasil pertanian, dan membuka peluang investasi lokal. Dalam konteks Indonesia, program seperti Inpres Jalan Daerah dan Pembangunan Jalan Akses Produksi perlu diarahkan tidak hanya untuk konektivitas logistik, tetapi juga untuk pemberdayaan masyarakat desa dan penurunan kesenjangan sosial.

Untuk memperkuat kebijakan berbasis bukti, pelatihan seperti Kursus Evaluasi Dampak Sosial dan Ekonomi Infrastruktur Publik menjadi relevan bagi aparatur pemerintah dan perencana pembangunan daerah.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Temuan lapangan menunjukkan beberapa dampak sosial dan ekonomi yang menonjol dari proyek jalan pedesaan:

  • Kenaikan pendapatan rumah tangga hingga 30–40% berkat peningkatan akses ke pasar dan peluang usaha baru.

  • Peningkatan akses pendidikan dan kesehatan, khususnya bagi anak-anak dan perempuan di daerah terpencil.

  • Pertumbuhan ekonomi lokal melalui peningkatan produktivitas sektor pertanian dan perdagangan kecil.

Namun, hambatan masih ditemukan, antara lain:

  • Keterbatasan pemeliharaan jalan, terutama di daerah dengan kondisi cuaca ekstrem dan keterbatasan anggaran daerah.

  • Minimnya partisipasi masyarakat lokal dalam perencanaan dan pengawasan proyek.

  • Ketimpangan pembangunan antarwilayah, di mana desa-desa jauh dari jalan utama sering tertinggal dari sisi akses ekonomi.

Meski demikian, peluang besar terbuka dengan adanya digitalisasi data infrastruktur, kebijakan desentralisasi fiskal, serta kemitraan publik-swasta. Aparatur daerah dapat meningkatkan kompetensi melalui Artikel Perencanaan dan Pengembangan Wilayah agar kebijakan pembangunan jalan lebih terarah dan efektif.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Integrasikan Pembangunan Jalan dengan Strategi Pengentasan Kemiskinan
    Jalan pedesaan harus menjadi bagian dari kerangka kebijakan sosial-ekonomi nasional untuk menghubungkan masyarakat miskin dengan peluang ekonomi.

  2. Bangun Sistem Pemeliharaan Berbasis Komunitas
    Libatkan masyarakat lokal dalam pemeliharaan jalan melalui skema padat karya dan alokasi Dana Desa.

  3. Gunakan Evaluasi Sosioekonomi dalam Setiap Proyek
    Setiap proyek infrastruktur harus dilengkapi dengan analisis dampak sosial ekonomi, bukan hanya studi kelayakan teknis.

  4. Kembangkan Pembiayaan Inovatif
    Terapkan model Public-Private Partnership (PPP) untuk keberlanjutan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur pedesaan.

  5. Dorong Pelatihan dan Capacity Building bagi Pemerintah Daerah
    Dapat meningkatkan kemampuan perencana kebijakan memahami dampak sosial dan ekonomi infrastruktur.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan pembangunan jalan sering kali gagal ketika hanya berfokus pada pembangunan fisik tanpa memperhatikan aspek sosial dan keberlanjutan. Beberapa risiko yang mungkin terjadi:

  • Kurangnya koordinasi lintas sektor, sehingga pembangunan jalan tidak terhubung dengan program pemberdayaan ekonomi.

  • Ketimpangan wilayah, di mana manfaat infrastruktur tidak dirasakan secara merata.

  • Minimnya transparansi dan partisipasi publik, yang dapat menurunkan efektivitas dan akuntabilitas proyek.

Untuk mencegah kegagalan tersebut, perlu diterapkan pendekatan partisipatif dan berbasis bukti (evidence-based policy), agar setiap pembangunan infrastruktur berorientasi pada kesejahteraan sosial jangka panjang.

Penutup

Pembangunan jalan pedesaan adalah fondasi bagi pertumbuhan ekonomi yang adil dan berkelanjutan. Jalan yang menghubungkan desa bukan hanya memperlancar arus barang dan jasa, tetapi juga membuka jalan bagi peningkatan kualitas hidup, pendidikan, dan kesempatan ekonomi bagi masyarakat.

Melalui kebijakan yang inklusif dan kolaborasi lintas sektor, serta penguatan kapasitas SDM melalui program pelatihan, Indonesia dapat menciptakan model pembangunan infrastruktur yang mendorong kesejahteraan masyarakat dari akar rumput.

Sumber

Pedro José, NTNU (2018). Socio-Economic Analysis of Road Development Projects.

Selengkapnya
Jalan Menuju Kesejahteraan: Analisis Dampak Sosioekonomi Infrastruktur Pedesaan terhadap Pengentasan Kemiskinan

Manajemen Proyek

Proyek Raksasa, Risiko Tersembunyi: Pelajaran Mengejutkan tentang Keselamatan Kerja dari Sebuah Jurnal Ilmiah

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 27 Oktober 2025


Setiap kali saya terjebak macet di dekat proyek pembangunan jalan layang atau jalur MRT baru, ada dua hal yang terlintas di benak saya. Pertama, tentu saja, keluhan klasik, "Kapan macet ini berakhir?" Tapi setelah rasa frustrasi itu mereda, muncul kekaguman. Saya melihat derek-derek raksasa menjulang ke langit, ratusan pekerja bergerak seperti semut terkoordinasi, dan kerangka beton serta baja perlahan membentuk wujud yang akan mengubah wajah kota.

Lalu, pertanyaan yang lebih dalam muncul. Bagaimana mereka mengatur semua ini? Di tengah debu, bising, dan kompleksitas yang luar biasa, bagaimana cara mereka memastikan ribuan pekerja itu bisa pulang dengan selamat ke keluarga mereka setiap hari? Apa saja risiko tersembunyi di balik kemegahan yang sedang dibangun itu?

Pertanyaan-pertanyaan ini berputar di kepala saya sampai suatu hari saya menemukan sebuah jurnal ilmiah. Judulnya, “Navigating occupational safety and health challenges in sustainable infrastructure projects” oleh Ahmad Baghdadi. Awalnya saya ragu, membayangkan bahasa akademis yang kaku dan grafik yang membosankan. Tapi rasa penasaran menang. Saya putuskan untuk membacanya, dan ternyata, paper ini bukan sekadar dokumen kering. Ia adalah sebuah peta harta karun yang mengungkap tantangan-tantangan tak terlihat dalam dunia Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3 atau OSH) di proyek-proyek raksasa.   

Dalam tulisan ini, saya ingin mengajak Anda menelusuri peta ini bersama-sama. Kita akan membedah temuan-temuan paling mengejutkan dari paper ini, menerjemahkannya ke dalam bahasa yang kita pahami, dan yang terpenting, mencari pelajaran yang bisa kita terapkan dalam kehidupan profesional kita, entah Anda seorang manajer proyek, insinyur, atau sekadar orang yang penasaran dengan dunia di balik helm kuning dan rompi oranye.

Mengapa Membangun Jembatan Tak Sama dengan Merakit Lemari IKEA

Sebelum kita menyelam lebih dalam, ada satu hal mendasar yang perlu kita pahami, yang ditekankan berulang kali dalam paper ini: proyek infrastruktur itu berbeda. Ini bukan sekadar proyek konstruksi biasa dalam skala yang lebih besar. Bayangkan merakit lemari dari IKEA. Anda punya buku manual yang jelas, semua komponen sudah disiapkan, dan Anda bekerja di ruang tamu yang terkendali. Sekarang, bandingkan itu dengan membangun jembatan antar pulau.

Paper ini menjelaskan bahwa proyek infrastruktur—seperti jalan raya, bandara, bendungan, dan terowongan—memiliki karakteristik unik yang mengubah total lanskap risikonya.   

Pertama, skala dan kompleksitasnya berada di level yang berbeda. Ini bukan hanya soal ukuran fisik, tapi juga soal kerumitan teknis dan koordinasi. Studi kasus yang dibahas dalam paper, seperti Proyek Terowongan Big Dig di Boston atau Channel Tunnel yang menghubungkan Inggris dan Prancis, adalah contoh ekstrem. Proyek-proyek ini melibatkan pekerjaan bawah tanah yang rumit, menghadapi risiko keruntuhan terowongan, tekanan air, dan membutuhkan teknik serta peralatan super khusus yang tidak akan Anda temukan di proyek pembangunan ruko.   

Kedua, dan ini yang paling krusial, adalah interaksi dengan publik. Proyek infrastruktur dibangun di tengah-tengah kehidupan kita. Pembangunannya mengganggu lalu lintas, memotong jalur utilitas seperti pipa gas dan air, dan secara langsung bersinggungan dengan ruang publik. Ini berarti keselamatan bukan lagi hanya soal melindungi pekerja di dalam pagar proyek, tapi juga melindungi masyarakat umum yang lalu-lalang di sekitarnya. Aspek seperti manajemen lalu lintas dan komunikasi publik menjadi elemen K3 yang vital.   

Ketiga, lingkungan kerja yang ekstrem. Pekerja di proyek infrastruktur sering kali harus berhadapan dengan kondisi yang tidak bisa diprediksi: medan terjal, cuaca ekstrem, kelangkaan air, suhu tinggi, bahkan paparan elemen beracun atau radiasi. Ini bukan lagi sekadar risiko jatuh dari ketinggian, tapi pertarungan melawan alam itu sendiri.   

Jadi, jika kita berpikir bahwa manajemen keselamatan di proyek infrastruktur hanyalah versi "diperbesar" dari proyek konstruksi biasa, kita salah besar. Risikonya bukan hanya berlipat ganda secara kuantitas, tapi juga berubah secara kualitas. Ini menuntut pendekatan strategis yang sama sekali baru, yang memperhitungkan kompleksitas sistemik dan interaksi dengan dunia luar.

Enam 'Dosa' Tersembunyi yang Mengintai di Setiap Proyek Raksasa

Setelah menetapkan bahwa proyek infrastruktur adalah "hewan" yang berbeda, paper ini melakukan penyelidikan mendalam untuk mengidentifikasi apa saja tantangan K3 yang paling sering muncul. Melalui tinjauan literatur yang ekstensif, penulis mengelompokkan tantangan-tantangan ini ke dalam enam kategori utama. Saya suka menyebutnya sebagai "Enam Sabotase Tersembunyi" yang mengintai di setiap proyek raksasa.

Berikut adalah keenam kategori tersebut, yang diadaptasi dari temuan penelitian :   

  • 🚀 Masalah dari Atas (Faktor Organisasi): Ini adalah akar dari banyak masalah lainnya. Ini bukan soal kelalaian pekerja di lapangan, melainkan soal komitmen dari para petinggi. Apakah K3 hanya jadi slogan di poster, atau benar-benar didukung dengan anggaran, sumber daya, dan—yang terpenting—perhatian serius dari manajemen puncak? Kurangnya komitmen, jadwal proyek yang terlalu ketat, dan sumber daya yang terbatas adalah biang keladinya.   

  • ⚖️ Aturan di Atas Kertas (Faktor Legislatif & Regulasi): Setiap negara punya peraturan K3. Pertanyaannya: apakah peraturan itu cukup kuat? Apakah ada penegakan yang tegas, atau hanya jadi macan kertas yang bisa diabaikan saat berhadapan dengan tekanan biaya dan jadwal? Peraturan yang tidak memadai dan lemahnya penegakan hukum menjadi celah besar bagi terjadinya insiden.   

  • 🏗️ Peralatan dan Tenaga Kerja (Faktor Sumber Daya & Infrastruktur): Apa gunanya prosedur keselamatan canggih jika mesin yang digunakan sudah tua dan sering rusak? Atau jika para pekerjanya adalah tenaga tidak terampil yang belum pernah mendapatkan pelatihan yang layak? Kelangkaan tenaga kerja kompeten dan peralatan yang tidak memadai adalah bom waktu.   

  • 🧠 Faktor Manusia (Human Factors): Kesalahan manusia memang bisa terjadi. Tapi paper ini menunjukkan bahwa "kesalahan" itu sering kali merupakan gejala dari masalah yang lebih besar: kurangnya pelatihan, komunikasi yang buruk antara manajer dan tim, tingkat pendidikan yang rendah, bahkan budaya di mana pekerja merasa tidak berdaya untuk menolak perintah yang tidak aman.   

  • 🌦️ Alam dan Lingkungan (Faktor Lingkungan & Eksternal): Terkadang, masalah datang dari luar kendali tim proyek. Cuaca buruk yang datang tiba-tiba, kondisi geografis yang sulit, atau tekanan eksternal untuk mengejar target produksi demi insentif bisa memaksa tim mengambil jalan pintas yang berbahaya.   

  • 📋 Prosedur yang Dilupakan (Faktor Praktik & Prosedur Keselamatan): Ini adalah garis pertahanan terakhir di lapangan. Apakah penilaian risiko dilakukan dengan sungguh-sungguh atau hanya formalitas? Apakah Alat Pelindung Diri (APD) dipakai dengan benar? Apakah ada fasilitas P3K yang memadai jika terjadi kecelakaan? Sering kali, prosedur ini ada, tapi tidak diimplementasikan dengan baik.   

Melihat daftar ini, kita mulai sadar bahwa keselamatan kerja adalah sebuah ekosistem yang kompleks. Satu kegagalan kecil di satu area bisa memicu efek domino yang berujung pada bencana.

Bukan Soal Helm atau Sepatu Bot—Inilah Biang Kerok Sebenarnya

Di sinilah letak temuan paling kuat dan paling mengejutkan dari paper ini. Setelah memetakan keenam "sabotase" tadi, penulis menyimpulkan bahwa ada dua kategori yang dampaknya paling signifikan dan paling mendasar: Faktor Organisasi dan Faktor Legislatif.   

Ini benar-benar mengubah cara pandang. Naluri kita mungkin akan langsung menunjuk pada "Faktor Manusia" (pekerja yang lalai) atau "Praktik Keselamatan" (tidak pakai APD) sebagai penyebab utama kecelakaan. Tapi penelitian ini berkata lain. Masalah sebenarnya tidak dimulai di lokasi proyek, melainkan di ruang rapat dewan direksi dan di gedung parlemen.

Dinding Tak Terlihat Bernama 'Budaya Perusahaan'

Faktor Organisasi adalah biang keladi nomor satu. Paper ini menjelaskan bahwa "budaya keselamatan yang lemah" bukanlah sekadar istilah kosong. Ia adalah manifestasi dari serangkaian kegagalan nyata di tingkat manajemen :   

  • Manajemen puncak yang tidak sadar atau tidak peduli dengan isu keselamatan di lapangan.

  • Anggaran untuk K3 yang selalu menjadi korban pertama saat ada pemotongan biaya.

  • Jadwal proyek yang tidak realistis, yang secara implisit mendorong semua orang untuk mengambil jalan pintas.

  • Anggapan bahwa K3 adalah urusan "departemen K3" saja, bukan tanggung jawab setiap individu, dari direktur hingga pekerja harian.

Ini menciptakan sebuah rantai kausalitas kegagalan. Bayangkan skenario ini: manajemen puncak memprioritaskan kecepatan dan biaya di atas segalanya. Akibatnya, anggaran untuk pelatihan K3, perawatan alat berat, dan jumlah pengawas dipangkas. Pengawas di lapangan, karena ditekan target, mendorong pekerja untuk bekerja lebih cepat, kadang dengan mengabaikan beberapa prosedur. Akhirnya, seorang pekerja yang kurang terlatih, menggunakan alat yang kurang terawat, dan diawasi secara longgar, mengalami kecelakaan.

Siapa yang salah? Mudah sekali menunjuk jari pada pekerja tersebut. Tapi jika kita menelusuri akarnya, kecelakaan itu bukanlah sebuah "kesalahan" acak. Ia adalah hasil yang bisa diprediksi dari sebuah sistem yang dirancang—secara sadar atau tidak—oleh keputusan-keputusan di tingkat organisasi. Jadi, untuk memperbaiki keselamatan, kita harus memperbaiki manajemennya terlebih dahulu.

Peraturan yang Ada Tapi Tak Bergigi

Faktor kedua yang paling berpengaruh adalah Legislatif dan Regulasi. Masalahnya bukan hanya ketiadaan hukum, tetapi juga hukum yang ada tidak efektif. Paper ini menyoroti masalah seperti peraturan yang tidak memadai untuk risiko-risiko spesifik di proyek infrastruktur, penegakan yang lemah, dan rendahnya kesadaran di kalangan praktisi mengenai regulasi yang berlaku.   

Studi kasus tragis seperti runtuhnya gedung Rana Plaza di Bangladesh atau kebakaran Grenfell Tower di London, yang disinggung dalam paper, adalah contoh nyata dari apa yang terjadi ketika regulasi bangunan dan standar keselamatan gagal secara sistemik. Peraturan mungkin ada di atas kertas, tapi tanpa penegakan yang kuat dan komitmen untuk mematuhinya, ia tidak lebih dari sekadar hiasan.   

Hal yang Membuat Saya Mengernyitkan Dahi (Dan Sedikit Kritis)

Tentu saja, tidak ada penelitian yang sempurna. Sambil mengapresiasi kedalaman analisis dalam paper ini, ada beberapa hal yang membuat saya berpikir lebih jauh.

Pertama, meskipun temuannya sangat kuat, paper ini pada dasarnya adalah sebuah review, yang artinya ia merangkum dan mensintesis penelitian-penelitian yang sudah ada sebelumnya. Akibatnya, bagian rekomendasinya terasa sedikit umum dan normatif, seperti "meningkatkan komitmen manajemen" atau "memperkuat regulasi." Ini benar, tapi saya berharap ada pembahasan yang lebih dalam tentang bagaimana cara melakukannya di dunia nyata yang penuh dengan kendala.

Kedua, ada satu aspek yang menurut saya kurang dieksplorasi: faktor psikososial. Paper ini sangat fokus pada risiko-risiko fisik. Padahal, stres, kelelahan (burnout), dan tekanan mental akibat jadwal yang ketat dan lingkungan kerja yang keras juga merupakan isu keselamatan yang sangat serius. Kelelahan mental dapat menurunkan kewaspadaan dan menjadi pemicu utama kecelakaan fisik.

Terakhir, meskipun paper ini secara implisit menyentuh tantangan di negara berkembang, akan lebih bermanfaat jika ada rekomendasi yang lebih spesifik dan dapat diskalakan untuk kontraktor skala kecil dan menengah (UKM). Perusahaan-perusahaan ini sering kali tidak memiliki sumber daya seperti korporasi raksasa untuk membangun sistem K3 yang komprehensif. Bagaimana mereka bisa menerapkan prinsip-prinsip ini dengan keterbatasan yang ada?   

Tiga Langkah Praktis yang Bisa Kita Terapkan Hari Ini

Setelah menganalisis masalah, saatnya beralih ke solusi. Berdasarkan rekomendasi dalam paper dan interpretasi saya, ada tiga langkah praktis yang bisa kita mulai terapkan, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari organisasi.

1. Investasi pada Otak, Bukan Hanya Otot (Fokus pada Kompetensi Manajemen) Temuan utama paper ini jelas: keselamatan yang baik dimulai dari manajemen yang baik. Ini berarti para pemimpin proyek harus memiliki kompetensi yang kuat, bukan hanya dalam teknis konstruksi, tapi juga dalam perencanaan, penilaian risiko, dan alokasi sumber daya. Keterampilan ini tidak bisa dipelajari sambil lalu; butuh pengetahuan yang terstruktur. Platform seperti Diklatkerja menawarkan kursus yang sangat relevan, seperti Overview of Construction Management yang mencakup perencanaan, manajemen risiko, dan pengendalian biaya, atau rangkaian kursus Manajemen Proyek mereka yang lebih luas untuk pemahaman yang komprehensif.   

2. Jadikan K3 DNA Perusahaan, Bukan Sekadar Departemen Membangun budaya keselamatan sejati berarti K3 harus menjadi tanggung jawab semua orang. Ini membutuhkan pelatihan berkelanjutan dan komunikasi yang terbuka. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu peserta di platform pelatihan, wawasan yang didapat dari praktisi lapangan sering kali jauh lebih berharga daripada teori di bangku kuliah. Dengan membekali setiap anggota tim—dari manajer hingga staf lapangan—dengan pengetahuan K3 yang relevan, kita mengubah K3 dari sekadar kewajiban menjadi nilai bersama.   

3. Berkolaborasi dan Jangan Berhenti Belajar Paper ini merekomendasikan adanya kerja sama yang lebih erat antara semua pemangku kepentingan: pemerintah, kontraktor, insinyur, dan pakar keselamatan. Di tingkat individu, ini berarti kita harus mengadopsi pola pikir pembelajar seumur hidup. Dunia konstruksi dan risikonya terus berkembang, begitu pula pengetahuan kita. Aktif mencari pengetahuan baru, berbagi pengalaman, dan belajar dari kesalahan (baik kesalahan sendiri maupun orang lain) adalah kunci untuk terus meningkatkan standar keselamatan.   

Kesimpulan: Mengintip di Balik Megahnya Beton dan Baja

Kembali ke pemandangan proyek konstruksi di tengah kemacetan. Setelah membedah paper ini, pandangan saya telah berubah. Saya tidak lagi hanya melihat derek dan beton. Saya melihat sebuah jaring tak terlihat yang terdiri dari budaya organisasi, keputusan anggaran, efektivitas regulasi, dan ribuan keputusan kecil manusia yang saling terkait.

Pelajaran terbesarnya adalah: risiko terbesar dalam proyek-proyek termegah kita bukanlah benda yang jatuh dari ketinggian, melainkan standar yang jatuh; bukan peralatan yang rusak, melainkan kepemimpinan yang rapuh. Keselamatan sejati tidak dibangun dengan helm dan sepatu bot saja, tetapi dengan komitmen, kompetensi, dan budaya yang ditanamkan dari puncak pimpinan hingga ke garis depan.

Tentu saja, tulisan ini hanya menggores permukaan dari sebuah topik yang sangat dalam. Jika Anda tertarik untuk menyelam lebih jauh dan memahami seluk-beluknya secara langsung, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya.

(https://doi.org/10.3389/fbuil.2024.1414366)

Selengkapnya
Proyek Raksasa, Risiko Tersembunyi: Pelajaran Mengejutkan tentang Keselamatan Kerja dari Sebuah Jurnal Ilmiah

Teknologi & Inovasi

Malaikat Pelindung Digital di Lokasi Konstruksi: Mengapa Teknologi Canggih Ini Masih Tersimpan di Rak?

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 27 Oktober 2025


Bagian 1: Kesunyian Mencekam di Kota Hantu Teknologi Tinggi

Beberapa hari yang lalu, saya berjalan melewati sebuah lokasi konstruksi besar. Deru mesin, teriakan para pekerja, kekacauan yang terorganisir—semuanya adalah simfoni kemajuan. Namun, sebuah paper universitas yang baru saja saya baca  menambahkan nada latar yang mencekam pada simfoni itu: di Uni Eropa, lebih dari 1 dari 5 kecelakaan kerja fatal terjadi di lokasi seperti itu. Ini adalah industri yang sedang membangun masa depan kita, tetapi terjebak dalam masa lalu yang berbahaya dan minim teknologi.   

Di sinilah letak paradoks utamanya: industri konstruksi memiliki salah satu tingkat cedera tertinggi sekaligus menjadi salah satu sektor yang paling sedikit terdigitalisasi. Ini bukan sekadar kebetulan; paper tersebut berargumen bahwa keduanya memiliki hubungan sebab-akibat.   

Tesis setebal 50 halaman karya Siri Stenbäck Juhrich ini bukan hanya kumpulan data; ini adalah sebuah cerita detektif. Tesis ini menyelidiki mengapa dunia teknologi penyelamat jiwa sudah ada, tetapi tidak digunakan. Dan pelakunya bukanlah yang Anda duga.

Mimpi Konstruksi 4.0: Bagaimana Jika Sebuah Proyek Punya Sistem Saraf?

Bayangkan sebuah lokasi konstruksi yang bisa merasakan. Sebuah lokasi dengan sistem saraf digital. Sensor di tanah merasakan getaran truk yang mendekat. Rompi pintar pada pekerja merasakan kedekatan mereka dengan tepi yang berbahaya. Kamera AI bertindak sebagai mata lokasi, menyadari helm yang hilang dari jarak seratus meter. Ini bukan fiksi ilmiah; ini adalah visi "Konstruksi 4.0", dan paper ini menunjukkan bahwa teknologinya sudah ada di sini.   

Konstruksi 4.0 adalah jawaban atas masalah inti industri: fragmentasi. Paper tersebut menjelaskannya sebagai perpecahan vertikal (antara desain, konstruksi, dan operasi), horizontal (antar tim yang berbeda), dan longitudinal (antar proyek yang berbeda). Tim desain tidak benar-benar berbicara dengan tim konstruksi, dan pelajaran dari satu proyek jarang dibawa ke proyek berikutnya. Konstruksi 4.0 bertujuan untuk menyatukan semua ini dengan menciptakan ekosistem digital di mana informasi, proses, dan orang-orang terhubung secara real-time.   

Bagian 2: Malaikat Pelindung Digital yang Kita Abaikan di Rak

Tur Teknologi yang Seharusnya Ada di Mana-Mana

Paper ini menyelam jauh ke dalam perangkat spesifik yang membentuk "sistem saraf" ini. Rasanya seperti berjalan melalui toko teknologi tinggi di mana setiap gadget dirancang untuk menjadi malaikat pelindung. Mari kita lihat apa saja yang ada di rak.

Tameng Tak Kasat Mata: Sistem Peringatan Jarak Dekat

Kecelakaan "tertabrak oleh" adalah salah satu penyebab utama cedera parah di lokasi konstruksi. Sistem peringatan jarak dekat dirancang untuk menciptakan semacam medan gaya tak kasat mata di sekitar pekerja dan alat berat.   

Bayangkan Anda seorang pekerja yang fokus pada tugas rumit. Anda melangkah mundur tanpa melihat. Di dunia normal, itu adalah risiko. Di dunia Konstruksi 4.0, sensor di rompi Anda berkomunikasi dengan sensor di forklift terdekat. Anda merasakan getaran lembut—peringatan haptik—jauh sebelum Anda berada dalam bahaya. Paper ini menunjukkan bahwa ini bukan mimpi; ini adalah kenyataan yang didukung oleh beberapa teknologi yang bersaing.

AI yang Tak Pernah Berkedip: Computer Vision

Computer Vision (CV) pada dasarnya adalah "mengajari kamera untuk memahami apa yang dilihatnya." Paper ini merinci beberapa kasus penggunaan yang luar biasa:

  • Mendeteksi apakah pekerja mengenakan helm pelindung.   

  • Mengidentifikasi perilaku tidak aman, seperti berjalan di atas penyangga struktural tanpa peralatan yang sesuai.   

  • Mencegah tabrakan antara pekerja dan alat berat dengan memperkirakan posisi mereka secara real-time.   

Meskipun paper ini menyoroti potensi luar biasa di sini, ia juga mengisyaratkan sebuah tantangan: apa yang terjadi ketika pandangan kamera terhalang? Studi-studi yang ditinjau mengakui bahwa ini adalah masalah. Ini menunjukkan bahwa CV bukanlah solusi tunggal, melainkan alat yang kuat yang bekerja paling baik ketika dilapisi dengan sensor lain—bagian dari "sistem saraf" yang kita bicarakan tadi.   

Merasakan yang Tak Terlihat: Lingkungan Itu Sendiri Menjadi Sekutu

Ini adalah tentang keselamatan proaktif. Paper ini membahas pemantauan lingkungan itu sendiri, bukan hanya orang dan peralatan. Bayangkan sensor yang dapat mendeteksi gas beracun di terowongan, memantau kualitas udara untuk mencegah masalah kesehatan jangka panjang, atau bahkan memeriksa suhu beton yang mengeras untuk memastikan integritas struktural. Para profesional yang diwawancarai dalam studi ini melihat potensi besar di area ini. Ini adalah tentang mencegah masalah bahkan sebelum menjadi ancaman langsung bagi seseorang. Ini tentang menjadikan seluruh lingkungan sebagai tempat kerja yang aman.   

Bagian 3: Empat Tembok yang Menghalangi Masa Depan yang Lebih Aman

Jika Teknologinya Begitu Hebat, Mengapa Hanya Berdebu di Rak?

Di sinilah paper ini beralih dari pameran teknologi menjadi studi psikologis dan ekonomi yang menarik. Wawancara dengan tujuh profesional industri mengungkapkan kenyataan pahit: penghalang terbesar bukanlah teknis, melainkan manusia.   

Tembok Uang: "Tunjukkan Keuntungan Langsungnya"

Hambatan finansial muncul berulang kali dalam wawancara: biaya investasi yang tinggi, ketidakpastian tentang profitabilitas, dan sifat industri yang berbasis proyek.   

Seorang narasumber menunjukkan bahwa dalam 95% kasus, proyek diberikan kepada penawar terendah. Ini menciptakan budaya di mana investasi jangka panjang dalam platform keselamatan komprehensif dilihat sebagai biaya yang tidak perlu, bukan sebagai keunggulan strategis.   

Tekanan finansial ini menciptakan apa yang saya sebut "Api Penyucian Proyek Percontohan." Paper ini menemukan bahwa teknologi diuji dalam "beberapa proyek besar" tetapi tidak "digunakan secara umum". Perusahaan dapat memasukkan uji coba kecil ke dalam satu anggaran, tetapi mereka tidak memiliki visi dan model keuangan untuk meningkatkannya. Hasilnya? "Pengujian" tanpa akhir tanpa "adopsi" yang berarti. Inovasi mati di tengah jalan, proyek demi proyek. Ini bukanlah kegagalan teknologi; ini adalah kegagalan model bisnis.   

Tembok Budaya: "Kami Selalu Melakukannya Seperti Ini"

Paper ini juga menemukan adanya resistensi terhadap perubahan dan sifat tradisional industri konstruksi. Salah satu narasumber mengatakannya dengan blak-blakan: "ini sebenarnya masalah kurangnya keahlian, orang-orang di posisi kepemimpinan tidak memahami ini.". Ketika para pemimpin merasa tidak tahu, mereka menolak. Itu sifat manusia.   

Namun, ada satu hal yang tidak dinyatakan secara eksplisit oleh paper ini, tetapi temuannya menyiratkan dengan kuat: ini bukan hanya tentang keselamatan; ini tentang bakat. Dalam industri yang menghadapi kekurangan tenaga kerja, perusahaan yang merangkul teknologi ini mengirimkan pesan yang kuat: "Kami peduli padamu. Kami berinvestasi dalam kesejahteraanmu." Helm pintar menjadi alat rekrutmen. Lokasi yang aman menjadi alasan bagi talenta terbaik untuk bertahan. "Biaya" teknologi keselamatan mungkin sebenarnya adalah investasi dengan ROI besar dalam modal manusia.

Tembok Ketakutan: "Apakah Big Brother Mengawasi?"

Kekhawatiran tentang privasi dan pengawasan muncul secara alami. Para narasumber menyuarakan ketakutan yang valid untuk diawasi terus-menerus.   

Namun, paper ini menunjukkan adanya perbedaan pendapat tentang pengawasan. Masalah sebenarnya bukanlah pemantauan itu sendiri; melainkan tujuannya. Penelitian yang dikutipnya mengonfirmasi bahwa penerimaan meroket ketika tujuannya secara eksplisit adalah keselamatan, bukan produktivitas. Seorang narasumber menyimpulkannya dengan sempurna: "jika diatur... dan dilihat sebagai alat, maka itu seharusnya tidak menjadi masalah". Kegagalannya bukanlah teknologi; ini adalah kegagalan komunikasi kepemimpinan. Perusahaan perlu membingkai ini sebagai "malaikat pelindung digital," bukan "mandor digital."   

Tembok Fisika: Lumpur, Hujan, dan Wi-Fi yang Putus-Nyambung

Tentu saja, ada hambatan teknis yang nyata: lingkungan yang keras dan, yang paling penting, kurangnya konektivitas yang kuat di lokasi. Seorang narasumber mengklarifikasi bahwa memiliki internet di kantor lokasi tidak sama dengan memiliki infrastruktur IoT yang andal yang mampu menangani data real-time dari ratusan sensor. Anda tidak bisa membangun sistem saraf tanpa saraf.   

Bagian 4: Cetak Biru untuk Sebuah Revolusi

Merobohkan Tembok: Kekuatan Ekosistem

Di sinilah kita sampai pada kesimpulan utama paper ini: kebutuhan akan kolaborasi.   

Kutipan-kutipan kuat dari para narasumber menceritakan semuanya: "Perusahaan konstruksi tidak seharusnya mengembangkan teknologi ini sendiri... mereka harus berkolaborasi" , dan "Ini bukan bisnis inti kami... harus ada perusahaan yang bisa menawarkannya kepada kami".   

Ini adalah wawasan paling mendalam dari paper ini. Selama bertahun-tahun, kita fokus pada gadget—sensor, kamera. Tetapi produk sebenarnya bukanlah teknologinya; melainkan kemitraan. Paper ini menyimpulkan bahwa "model yang sukses belum terbentuk"  karena perusahaan konstruksi mencoba membeli produk, padahal mereka perlu membangun ekosistem. Ini membutuhkan perusahaan konstruksi, perusahaan teknologi, dan penyedia konektivitas untuk bersatu dan menawarkan "Keselamatan-sebagai-Layanan." Ini adalah revolusi model bisnis, bukan hanya revolusi teknologi.   

Pelajaran dari Saya dan Langkah Anda Selanjutnya

Perjalanan melalui paper ini benar-benar membuka mata, menunjukkan bahwa jalan menuju masa depan tanpa kecelakaan sudah jelas, meskipun menantang.

  • 🚀 Potensinya Sangat Besar: Teknologi untuk menciptakan lokasi konstruksi yang cerdas, sadar diri, dan aman bukan lagi teori. Itu sudah ada di sini.

  • 🧠 Penghalangnya Adalah Manusia: Masalahnya bukan pada teknologi; melainkan pada model bisnis yang usang, budaya resistensi, dan kegagalan untuk mengkomunikasikan 'mengapa' di balik 'apa'.

  • 💡 Solusinya Adalah Bersama-sama: Tidak ada satu perusahaan pun yang bisa menyelesaikan ini sendiri. Masa depan keselamatan konstruksi akan dibangun oleh ekosistem mitra, bukan oleh inovator tunggal.

Satu pemikiran terakhir. Manfaat langsung dari teknologi ini adalah mencegah kecelakaan hari ini. Tetapi manfaat jangka panjang yang mengubah permainan adalah data. Dengan menganalisis tren di puluhan lokasi, perusahaan dapat beralih dari bereaksi terhadap bahaya menjadi memprediksinya. Mereka dapat membuat yang tak terduga menjadi dapat diperkirakan. Itulah janji utama yang tersembunyi dalam penelitian ini.   

Jika Anda seorang profesional di bidang ini, Anda perlu memahami dinamika ini. Langkah selanjutnya dalam membangun industri yang lebih aman dimulai dengan pengetahuan. Itulah mengapa pembelajaran berkelanjutan, seperti kursus yang ditawarkan di(https://www.diklatkerja.com), sangat penting bagi para pemimpin yang ingin mendorong perubahan ini.

Dan jika penelusuran mendalam ini telah memicu rasa ingin tahu Anda, saya sangat menganjurkan Anda untuk membaca paper aslinya. Ini adalah sebuah penelitian fantastis yang layak mendapatkan audiens yang lebih luas.

(https://www.diva-portal.org/smash/get/diva2:1732501/FULLTEXT01.pdf)

Selengkapnya
Malaikat Pelindung Digital di Lokasi Konstruksi: Mengapa Teknologi Canggih Ini Masih Tersimpan di Rak?

Keselamatan Kerja

Mengapa Pelatihan K3 Sering Gagal? Sebuah Riset dari Makassar Mengungkap 'Dosa Asli' Industri Konstruksi

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 27 Oktober 2025


Di Balik Rompi Oranye, Ada Cerita yang Tak Terucap

Setiap kali saya melewati proyek konstruksi, saya bukan hanya melihat gedung yang sedang dibangun. Saya melihat puluhan manusia berhelm kuning dan rompi oranye, bekerja di bawah terik matahari atau guyuran hujan. Di balik setiap ayunan palu dan deru mesin, ada risiko yang sering kita lupakan. Kita melihat progresi sebuah bangunan, tapi jarang sekali memikirkan progresi keselamatan orang-orang yang membangunnya.

Pikiran itu membawa saya pada sebuah disertasi tebal karya Dr. Ika Triwati dari Universitas Negeri Makassar. Dan angka-angka di halaman pertamanya membuat saya terdiam. Menurut data yang dirilis BPJS Ketenagakerjaan, kasus kecelakaan kerja di industri konstruksi melonjak drastis hanya dalam beberapa tahun—dari 182.835 kasus pada 2019 menjadi 360.635 kasus hanya dalam periode Januari hingga November 2023.1 Angka ini hampir dua kali lipat. Ini bukan sekadar statistik; ini adalah cerita tentang ratusan ribu nyawa, keluarga, dan masa depan yang terancam.

Data global dari International Labour Organization (ILO) bahkan lebih mencengangkan: setiap 15 detik, ada 160 pekerja yang mengalami kecelakaan terkait pekerjaan.1 Angka-angka ini memaksa kita bertanya: Jika aturan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) sudah ada dan pelatihan sudah sering dilakukan, mengapa grafik kecelakaan ini terus merangkak naik? Disertasi ini tidak hanya bertanya, tapi juga memberikan jawaban yang fundamental dan, terus terang, mengejutkan.

Jebakan 'Ruang Kelas' dan Mengapa Teori Saja Membahayakan

Disertasi Dr. Ika Triwati membuka mata saya pada sebuah ironi besar dalam dunia pelatihan K3. Selama ini, kita terjebak dalam sebuah pendekatan yang ternyata keliru.

Belajar Berenang dengan Membaca Buku

Bayangkan kamu ingin belajar berenang. Instruktur memberimu buku setebal 500 halaman tentang hidrodinamika, teknik gaya bebas, dan cara mengatur napas. Kamu mempelajarinya dengan tekun di ruang kelas yang nyaman dan ber-AC. Kamu bahkan lulus ujian tertulis dengan nilai sempurna. Apakah setelah itu kamu bisa langsung terjun ke laut dan berenang dengan selamat? Tentu tidak. Kamu mungkin malah tenggelam.

Inilah gambaran kasar dari banyak pelatihan K3 yang ada saat ini. Riset ini menyoroti bahwa banyak model pelatihan yang ada bersifat sangat teoritis, berpusat pada instruktur, dan seringkali gagal menjangkau audiens yang paling penting: para pekerja tukang yang berada di garis depan risiko.1 Pelatihan seringkali ditujukan untuk level supervisor atau manajer, sementara para pekerja di lapangan—yang setiap hari berhadapan dengan paku, besi, dan ketinggian—hanya mendapatkan instruksi seadanya. Mereka diajari apa aturannya, tapi tidak pernah benar-benar merasakan mengapa aturan itu penting dalam konteks pekerjaan mereka sehari-hari.

Hasilnya? Riset ini menyajikan data lapangan yang brutal. Di salah satu perusahaan konstruksi yang diteliti, ditemukan bahwa 72% pekerja tidak menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) dengan benar.1 Ketika ditanya lebih dalam, alasannya sangat manusiawi: helm terasa berat dan panas, sepatu safety kaku dan tidak nyaman, atau sekadar karena kebiasaan dan merasa "tidak apa-apa".1 Ini adalah masalah yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan presentasi PowerPoint atau ancaman sanksi.

Ini membawa kita pada sebuah pemahaman yang lebih dalam. Ketidakpatuhan pekerja terhadap prosedur K3 bukanlah murni masalah kedisiplinan individu. Ini adalah gejala dari kegagalan desain sistem pelatihan. Ketika sebuah pelatihan gagal membuat risiko terasa nyata dan relevan dengan pekerjaan sehari-hari, maka bagi seorang pekerja, ketidaknyamanan jangka pendek (memakai helm panas) akan selalu terasa lebih mendesak daripada risiko jangka panjang yang abstrak (kemungkinan tertimpa sesuatu). Perilaku "tidak disiplin" bukanlah akar masalahnya, melainkan buah dari sistem edukasi yang gagal menghubungkan teori dengan praktik di lapangan.

Sebuah Terobosan dari Makassar: Belajar K3 Langsung di 'Medan Perang'

Di tengah masalah sistemik ini, disertasi Dr. Ika Triwati tidak hanya berhenti pada kritik. Ia menawarkan sebuah solusi konkret: Model Diklat K3 Berbasis Lingkungan Kerja. Idenya sederhana namun revolusioner: ubah lokasi proyek konstruksi dari sekadar tempat bekerja menjadi laboratorium belajar raksasa.

Model ini tidak lagi menempatkan pekerja di ruang kelas yang steril, melainkan membawa proses belajar langsung ke "medan perang" mereka. Tujuannya adalah mengubah aturan K3 dari sekadar teks di buku panduan menjadi sebuah kebiasaan yang terinternalisasi.

Empat Langkah yang Mengubah Aturan Menjadi Kebiasaan

Model ini memiliki empat tahapan (sintaks) yang dirancang secara sistematis untuk membangun pemahaman dari dasar hingga menjadi tindakan nyata.1

Tahap 1: Internalisasi (Momen 'Kenapa')

Bayangkan jika sesi pelatihanmu dimulai bukan dengan daftar panjang "dilarang ini, wajib itu". Sebaliknya, kamu dan rekan-rekanmu diajak berkumpul di pinggir area galian. Instruktur tidak berceramah, tapi bertanya, "Menurut kalian, apa yang paling berbahaya di area ini? Apa yang membuat kalian khawatir saat bekerja di sini?"

Ini adalah tahap Internalisasi. Tujuannya bukan menghafal, tapi memancing kesadaran dari dalam diri sendiri. Dengan mendiskusikan risiko nyata yang mereka lihat setiap hari, para pekerja mulai menghubungkan aturan K3 dengan keselamatan pribadi mereka. Ini adalah momen untuk memahami 'kenapa' di balik setiap prosedur.

Tahap 2: K3 Training (Praktik Langsung)

Setelah semua orang sadar akan risikonya, pelatihan dilanjutkan ke tahap praktik. Kamu tidak lagi melihat gambar cara memakai safety harness di layar proyektor. Sebaliknya, kamu diajari langsung cara memasang dan mengaitkannya dengan benar, sambil berdiri di dekat perancah. Kamu merasakan sendiri bagaimana alat itu mengunci, bagaimana rasanya bergantung padanya. Ini adalah K3 Training yang relevan dan kontekstual. Teori bertemu dengan realitas fisik.

Tahap 3: Assesment (Menjadi 'Detektif Keselamatan')

Di tahap ini, peran dibalik. Kamu dan timmu tidak lagi menjadi audiens pasif. Kalian diberi tugas untuk berjalan di sekitar lokasi proyek dan secara aktif mengidentifikasi potensi bahaya yang mungkin terlewatkan: kabel yang terkelupas, tumpukan material yang tidak stabil, atau area licin yang belum diberi tanda. Kalian menjadi "detektif keselamatan". Ini adalah Assesment aktif yang melatih mata untuk peka terhadap risiko, bukan sekadar ujian pilihan ganda yang menguji hafalan.

Tahap 4: Aktualisasi (Menjadi Kebiasaan)

Ini adalah tahap penutup yang krusial. Di akhir sesi, kamu tidak hanya diberi nilai, tapi diajak berdiskusi dan merefleksikan: "Setelah pelatihan ini, apa satu hal yang akan kamu lakukan secara berbeda besok pagi?" Mungkin jawabannya adalah "Saya akan selalu memeriksa perancah sebelum naik," atau "Saya akan mengingatkan teman saya jika dia lupa memakai sarung tangan."

Keselamatan tidak lagi menjadi topik pelatihan yang selesai dalam satu hari, tapi menjadi bagian integral dari cara bekerja. Inilah tahap Aktualisasi, di mana pengetahuan diubah menjadi perilaku dan, pada akhirnya, menjadi budaya.

Angka-Angka Berbicara: Seberapa Ampuh Model Baru Ini?

Ide yang bagus di atas kertas seringkali gagal saat diuji di dunia nyata. Tapi, model ini berbeda. Disertasi ini tidak hanya menawarkan konsep, tetapi juga mengujinya secara ketat di lapangan dengan metodologi penelitian dan pengembangan (R&D). Hasilnya? Sangat meyakinkan.

Saya akan merangkum temuan utamanya untuk Anda:

  • 🚀 Hasilnya Luar Biasa: Efektivitas model ini diukur menggunakan metode N-Gain Score yang membandingkan peningkatan pengetahuan sebelum dan sesudah pelatihan. Kelompok pekerja yang menggunakan model baru ini menunjukkan peningkatan pengetahuan sebesar 61%. Bandingkan dengan kelompok kontrol yang menggunakan metode pelatihan konvensional, yang peningkatannya hanya 3%.1 Ini bukan sekadar perbaikan, ini adalah sebuah lompatan kuantum dalam efektivitas pelatihan.

  • 🧠 Inovasinya Terbukti Valid: Sebelum diuji coba, model ini divalidasi oleh tiga orang pakar di bidang K3, industri konstruksi, dan desain pelatihan. Hasilnya? Model ini mendapatkan skor validitas rata-rata $3,36$ dari skala $4,00$ (kategori "Sangat Valid").1 Ini membuktikan bahwa model ini tidak hanya kreatif, tetapi juga kokoh secara akademis dan teoretis.

  • 💡 Pelajaran Penting: Mudah Diterapkan! Mungkin temuan yang paling penting bagi para praktisi adalah kepraktisannya. Para instruktur yang menjalankan model ini di lapangan memberikannya skor kepraktisan rata-rata $3,46$ dari $4,00$ (kategori "Sangat Praktis").1 Ini adalah bukti bahwa model ini bukanlah konsep rumit yang hanya bisa ada di atas kertas, tapi sebuah kerangka kerja yang bisa langsung diadopsi dan diterapkan oleh tim di berbagai proyek.

Opini Pribadi Saya: Permata Tersembunyi di Tumpukan Jurnal

Membaca disertasi Dr. Ika Triwati ini seperti menemukan sebuah peta harta karun di tengah tumpukan jurnal akademis yang padat. Di dalamnya ada solusi nyata, teruji, dan aplikatif untuk masalah yang sangat serius dan seringkali diabaikan. Metodologi R&D yang ketat, analisis data yang cermat, dan hasilnya yang luar biasa membuatnya menjadi sebuah karya yang solid dan berdampak.

Namun, ada satu hal yang membuat saya sedikit gemas. Meskipun temuannya hebat, cara penyajiannya dalam format disertasi yang kaku dan penuh istilah teknis—seperti The Solomon Fourth Group Design atau analysis of covariance—membuatnya sulit diakses oleh orang-orang yang paling membutuhkannya: para manajer proyek, kepala HRD, dan praktisi K3 di lapangan.

Inilah mengapa tulisan seperti ini penting. Ada begitu banyak permata riset seperti ini yang tersembunyi di perpustakaan universitas. Tugas kita bersama adalah mengambilnya, memolesnya, dan membawanya ke 'medan perang' yang sesungguhnya—ke lokasi proyek, ke ruang rapat, dan ke dalam modul-modul pelatihan di seluruh Indonesia.

Langkah Anda Berikutnya: Dari Pengetahuan Menjadi Tindakan

Pada akhirnya, disertasi ini mengajarkan kita satu hal fundamental: helm kuning dan rompi oranye adalah pelindung fisik, tetapi pelindung terbaik adalah pengetahuan yang kontekstual dan kebiasaan yang terbentuk dari praktik nyata. Keselamatan bukanlah soal menghafal aturan, tapi soal memahami dunia di sekitar kita dan bertindak berdasarkan pemahaman itu.

Model yang dikembangkan di Makassar ini adalah bukti bahwa kita bisa melakukannya dengan lebih baik. Kita bisa mengubah pelatihan dari sebuah kewajiban yang membosankan menjadi sebuah pengalaman belajar yang memberdayakan.

Jika Anda seorang profesional yang ingin mendalami lebih jauh tentang pelatihan kerja yang efektif dan bersertifikat untuk meningkatkan kompetensi Anda dan tim, platform seperti(https://diklatkerja.com) bisa menjadi langkah awal yang sangat baik.

Selengkapnya
Mengapa Pelatihan K3 Sering Gagal? Sebuah Riset dari Makassar Mengungkap 'Dosa Asli' Industri Konstruksi

Manajemen Risiko

Peta Jalan Ketahanan Perkotaan Masa Depan: Integrasi Manajemen Aset, Risiko Bencana, dan Kecerdasan Spasial untuk Kota Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Raihan pada 27 Oktober 2025


Latar Belakang dan Alur Logis Temuan

Tinjauan literatur sistematis ini membahas kebutuhan mendesak untuk meningkatkan Ketahanan Perkotaan (Urban Resilience/UR), yang didefinisikan sebagai kemampuan kota dan komunitas untuk bertahan optimal dari disrupsi dan pulih ke kondisi prapadisrupsi. Latar belakangnya adalah peningkatan pesat populasi perkotaan, yang diproyeksikan melebihi 60% populasi dunia pada tahun 2030, di mana kota-kota ini menghasilkan lebih dari 75% PDB global dan menyumbang 70% emisi gas rumah kaca. Ironisnya, 90% wilayah metropolitan berada di pesisir, sangat rentan terhadap risiko bencana dari perubahan iklim. Disrupsi mengancam fungsi infrastruktur kritikal seperti jalan, rel kereta api, air, energi, dan telekomunikasi.

Penelitian ini menganalisis 68 makalah jurnal yang terindeks Scopus, diterbitkan antara tahun 2011 dan 2022, mencakup tinjauan literatur, model konseptual, dan model analitis. Alur temuan logis dalam penelitian ini berfokus pada integrasi dari tiga komponen utama untuk memaksimalkan dan melindungi nilai aset konstruksi di tengah risiko bencana:

  1. Manajemen Aset dan Risiko Bencana: Manajemen aset (berdasarkan standar ISO 55000) bertujuan memaksimalkan nilai dari aset dengan menyeimbangkan risiko, biaya, peluang, dan kinerja di seluruh siklus hidupnya. Risiko (berdasarkan ISO 31000) didefinisikan sebagai "efek ketidakpastian pada tujuan". Penelitian menegaskan bahwa pendekatan manajemen aset sangat penting untuk pencegahan dan kesiapan aset di tengah peristiwa yang tidak menguntungkan. Ketahanan melengkapi manajemen risiko dengan mempercepat pemulihan sistem, terutama ketika langkah-langkah manajemen risiko konvensional gagal memitigasi disrupsi.
  2. Sistem Informasi Geografis (GIS) dan Alat Pendukung Keputusan: Implementasi konsep UR yang efisien memerlukan pendekatan multidisiplin. GIS, sebagai kemampuan digital untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menampilkan data lokasi, terbukti penting karena memberikan konteks spasial untuk data, yang membantu pengambil keputusan memahami masalah dan mengevaluasi alternatif secara komprehensif. GIS juga dapat digunakan untuk membuat peta bahaya dan kerentanan. Kombinasi GIS dengan metode Multicriteria Decision Making (MCDM), seperti Analytic Hierarchy Process (AHP), memungkinkan pengambil keputusan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang masalah dan mengevaluasi alternatif dengan cara yang lebih komprehensif.
  3. Area Diskusi Utama: Tinjauan tersebut mengidentifikasi tujuh area diskusi utama dalam publikasi UR: perubahan iklim, penilaian dan manajemen risiko bencana, Sistem Informasi Geografis (GIS), infrastruktur perkotaan dan transportasi, pengambilan keputusan dan manajemen bencana, ketahanan komunitas dan bencana, dan infrastruktur hijau dan pembangunan berkelanjutan.

Analisis pemrosesan bahasa alami (NLP) menunjukkan bahwa perubahan iklim adalah istilah yang paling sering muncul (30 kali, dengan relevansi 0.998). Fenomena bencana yang paling banyak disinggung adalah banjir/genangan (74 kali, relevansi 0.285).

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi utama dari tinjauan ini adalah menyajikan analisis bibliometrik dan NLP untuk secara empiris memetakan tren saat ini dalam riset UR, yang mendukung gagasan UR sebagai topik penting dengan minat akademis yang meluas. Lebih dari 75% dari 67 makalah yang dipilih dipublikasikan antara tahun 2017 dan 2021, dengan peningkatan signifikan pada tahun 2021. Secara disipliner, riset UR didominasi oleh Ilmu Lingkungan (24%), Ilmu Sosial (19%), dan Teknik (17%)—total 60% dari hasil yang tidak disaring, menunjukkan bahwa proyek riset UR wajib mengintegrasikan ketiga disiplin ini secara setara.

Secara substantif, kontribusi terpentingnya adalah usulan bahwa celah-celah riset yang teridentifikasi dapat diatasi dengan bantuan metode manajemen aset dan risiko bencana yang dikombinasikan dengan alat bantu keputusan berbasis GIS untuk meningkatkan UR secara signifikan. Penelitian ini menawarkan kerangka konseptual yang diperkaya yang secara eksplisit menghubungkan aset perkotaan dan risiko bencana dengan upaya untuk mencapai keberlanjutan dan ketahanan perkotaan, didukung oleh alat ilmu keputusan.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Tinjauan ini menyoroti sejumlah keterbatasan krusial dalam literatur UR saat ini, yang juga menjadi celah riset utama:

  • Kurangnya Definisi Ketahanan yang Sama dan Analisis Multidisiplin: Ada kurangnya definisi umum tentang ketahanan dan analisis multidisiplin yang memadai. Heterogenitas konsep menghambat perbandingan dan adopsi model secara luas.
  • Kebutuhan akan Model UR yang Terpadu, Skalabel, dan Dapat Diadopsi: Model multidimensi yang ada perlu dibangun ulang setiap kali disesuaikan dengan kebutuhan kota dan bencana yang spesifik, sehingga menuntut model yang lebih canggih, skalabel, dan adaptif.
  • Ruang untuk Peningkatan Aplikasi Alat Multidimensi Berbasis GIS: Ada kebutuhan untuk mengubah semua data menjadi data berlabel-geo yang dapat ditransfer ke lingkungan cloud-based untuk analisis yang lebih baik oleh sistem pendukung keputusan.
  • Analisis Stokastik Kota Virtual: Mengingat akuisisi data yang mahal dan memakan waktu, ada kebutuhan untuk memperluas data yang ada menggunakan analisis stokastik pada kota virtual untuk memberikan wawasan awal sebelum pengambilan keputusan akhir.
  • Simulasi Skenario untuk Mendukung Proses Pengambilan Keputusan: Kota-kota membutuhkan kerangka kerja yang komprehensif dan inklusif untuk secara proaktif mempersiapkan masa depan perkotaan yang lebih baik, terutama melalui mekanisme pengambilan keputusan berbasis skenario.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Berikut adalah lima rekomendasi riset lanjutan yang ditujukan kepada komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah, dengan fokus pada jalur riset untuk mengatasi celah yang diidentifikasi oleh tinjauan ini:

1. Pengembangan Kerangka Kerja Metrik Konsensus UR Multidisiplin

Justifikasi Ilmiah: Tinjauan ini secara eksplisit menyoroti "kurangnya definisi ketahanan yang sama dan analisis multidisiplin". Heterogenitas konsep menghambat perbandingan dan adopsi model secara luas. Riset perlu menyelaraskan pendekatan dari Ilmu Lingkungan, Ilmu Sosial, dan Teknik, yang bersama-sama menyumbang 60% dari literatur yang ditinjau.

Arah Riset: Penelitian harus menggunakan metode kualitatif ekstensif seperti survei Delphi global multi-putaran yang melibatkan ahli untuk mencapai konsensus tentang metrik dan indikator inti yang dapat diukur secara kuantitatif dalam berbagai konteks geografis. Metrik harus mencakup dimensi adaptif, redundancy, dan pemulihan, bukan hanya resistensi.

2. Perancangan Model UR Terpadu yang Parametrik dan Cloud-Based

Justifikasi Ilmiah: Kebutuhan utama adalah "model UR yang terpadu, skalabel, dan dapat diadopsi". Model yang ada saat ini tidak dapat beradaptasi dan harus dibangun ulang untuk setiap kota atau bencana yang spesifik.

Arah Riset: Riset teknik harus berfokus pada pengembangan Sistem Pendukung Keputusan (DSS) berbasis cloud yang berfungsi sebagai Model UR Parametrik Terbuka. Model ini harus dirancang untuk menerima input dari metrik konsensus dan dapat menyesuaikan pembobotan kriteria menggunakan metode MCDM seperti Fuzzy AHP atau TOPSIS. Model ini harus dapat beroperasi di lingkungan berbasis cloud untuk memfasilitasi integrasi "alat multidimensi berbasis GIS" dan data berlabel-geo (geo-tagged) dari berbagai sumber untuk analisis spasial waktu nyata.

3. Investigasi Efek Berjenjang (Cascading Effects) melalui Analisis Stokastik Kota Virtual

Justifikasi Ilmiah: Tinjauan ini secara eksplisit menyerukan "analisis stokastik kota virtual" untuk mengatasi biaya dan waktu akuisisi data nyata yang membatasi. Penelitian juga perlu mempertimbangkan efek berjenjang (cascading effects) dari kegagalan infrastruktur.

Arah Riset: Penelitian harus menggunakan simulasi kota virtual yang detail, mereplikasi interdependensi infrastruktur kritikal (listrik, air, transportasi). Variabel harus mencakup parameter stokastik (misalnya, simulasi kerusakan acak menggunakan inverse distribution atau reverse sampling dari data kerusakan terbatas) untuk memodelkan kegagalan sistematis yang diakibatkan oleh bencana. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi "sinyal peringatan dini" dari komponen sistem yang rusak, menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru.

4. Kuantifikasi Nilai Non-Moneter Aset dan Risiko Menggunakan Pendekatan RIDM

Justifikasi Ilmiah: Proses pengambilan keputusan dalam manajemen aset kompleks harus mengintegrasikan hasil kuantitatif dengan faktor tidak berwujud dan sulit dikuantifikasi. Faktor-faktor ini, seperti bias, ketidakpastian, dan persepsi, sangat penting untuk keputusan aset yang efektif.

Arah Riset: Fokus harus pada penerapan Risk-Informed Decision-Making (RIDM), sebuah metodologi yang ada, untuk mengintegrasikan nilai non-moneter aset (misalnya, nilai ekologis infrastruktur hijau atau nilai sosial) ke dalam proses manajemen risiko. Variabel baru yang harus diuji adalah bagaimana MCDM dapat memberi bobot pada variabel ketahanan sosial (social resilience), seperti pengetahuan warga dan kesadaran atau tingkat keterlibatan publik, dalam konteks keputusan investasi infrastruktur.

5. Pengembangan Mekanisme Pengambilan Keputusan Berbasis Skenario Adaptif

Justifikasi Ilmiah: Kota-kota membutuhkan kerangka kerja yang sama sekali baru untuk "secara proaktif mempersiapkan" masa depan perkotaan yang lebih baik, terutama melalui "mekanisme pengambilan keputusan berbasis skenario".

Arah Riset: Riset harus mengembangkan kerangka kerja simulasi untuk Scenario-Based Decision Making (SBDM) yang menggunakan model UR yang dapat diadopsi (seperti yang diusulkan dalam Rekomendasi 2) sebagai mesin inti. Mekanisme ini harus memungkinkan para pembuat kebijakan untuk menjalankan serangkaian skenario bencana yang beragam (baik bencana alam maupun buatan manusia) dan secara adaptif menyesuaikan rencana tata ruang, termasuk kode bangunan dan zonasi, untuk mengurangi bahaya. SBDM harus menekankan strategi adaptif (adaptation strategies) di atas strategi resistensi murni.

Penelitian ini secara jelas menggarisbawahi bahwa masa depan Ketahanan Perkotaan tidak terletak pada model tunggal, tetapi pada integrasi sinergis antara manajemen aset, penilaian risiko, dan alat ilmu keputusan spasial. Celah riset yang teridentifikasi menuntut transisi dari analisis deskriptif ke model preskriptif, prediktif, dan adaptif yang mampu mengatasi interdependensi sistem yang kompleks dan sifat bencana yang stokastik.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi teknik (untuk pemodelan aset dan infrastruktur), ilmu lingkungan/perencanaan kota (untuk konteks GIS dan sosial), dan ilmu politik/ekonomi (untuk keputusan dan pendanaan) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.

Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
Peta Jalan Ketahanan Perkotaan Masa Depan: Integrasi Manajemen Aset, Risiko Bencana, dan Kecerdasan Spasial untuk Kota Berkelanjutan

Teknik Transportasi

NZ$1,9 Juta Setahun: Mengurai Risiko Bencana dan Dampak Ekonomi Penutupan Jalan Raya Utama di Selandia Baru

Dipublikasikan oleh Raihan pada 27 Oktober 2025


Mengurai Risiko dan Dampak Bencana pada Jaringan Transportasi: Studi Kasus Desert Road

Riset oleh Erica Dalziell dan Alan Nicholson, yang diterbitkan dalam Journal of Transportation Engineering (2001), menyajikan kerangka kerja komprehensif untuk mengevaluasi risiko dan dampak ekonomi dari penutupan jalan akibat bahaya alam dan kecelakaan pada jaringan jalan raya. Studi ini berfokus pada seksi Desert Road dari Jalan Raya Utama utara-selatan Selandia Baru, State Highway 1 (SH 1), jalur penting yang menghubungkan Wellington dan Auckland. Pendekatan ini merupakan respons terhadap perhatian yang berkembang mengenai kerentanan sistem lifeline dan secara krusial menggeser fokus rekayasa lifeline dari hanya biaya perbaikan infrastruktur ke biaya pengguna dan biaya sosial yang timbul selama periode gangguan. Para penulis mencatat bahwa biaya tersebut, seperti biaya pekerjaan sementara dan peningkatan biaya pengguna, cenderung lebih besar daripada biaya perbaikan langsung.

Penelitian ini mengadopsi teknik analisis risiko (identifikasi bahaya, penilaian risiko, evaluasi risiko) dan manajemen risiko. Empat bahaya utama diidentifikasi yang berpotensi menutup Desert Road: salju dan es, letusan gunung berapi dan lahar, gempa bumi, dan kecelakaan lalu lintas. Pengujian dilakukan dengan memodelkan frekuensi kejadian dan durasi penutupan jalan untuk setiap bahaya, kemudian menilai dampaknya pada pola aliran lalu lintas menggunakan model penugasan lalu lintas SATURN.

Paradigma Baru Penilaian Biaya Penutupan Jalan

Dalam melakukan penilaian risiko, para penulis menekankan bahwa biaya penutupan tidak hanya bergantung pada durasi, tetapi juga pada ketersediaan rute alternatif dan korelasi antar-rute. Korelasi ini sangat penting, terutama pada peristiwa bencana besar yang efeknya dapat meluas dan menutup rute alternatif secara simultan, seperti letusan gunung berapi. Model ini mempertimbangkan 22 skenario penutupan, termasuk kombinasi penutupan Desert Road dengan rute alternatif terdekat (seperti SH 4, SH 47, dan SH 49).

Secara kuantitatif, penutupan Desert Road saja diperkirakan merugikan perekonomian Selandia Baru hampir NZ$8.000 per jam. Namun, ketika rute alternatif utama utara-selatan terdekat, State Highway 4 (SH 4), juga ditutup secara simultan, biaya penutupan melonjak hingga hampir NZ$23.000 per jam. Temuan ini menunjukkan bahwa dampak penutupan sangat bergantung pada karakteristik jaringan jalan dan keberadaan rute alternatif yang resilien.

Secara metodologis, studi ini secara eksplisit mengintegrasikan konsep elastisitas permintaan perjalanan () ke dalam model lalu lintas. Integrasi ini sangat penting karena memperhitungkan kecenderungan pelancong untuk membatalkan atau menunda perjalanan ketika biaya perjalanan meningkat, yang mencerminkan hilangnya manfaat pengguna (lost user benefit). Dengan mengabaikan elastisitas (), total perjalanan diprediksi meningkat sekitar dan total biaya meningkat di seluruh jaringan. Namun, ketika elastisitas diperhitungkan (menggunakan , yang memberikan kesesuaian yang baik dengan aliran yang diamati selama penutupan 9 hari ), jumlah total perjalanan diprediksi menurun sebesar , total perjalanan menurun , dan total biaya menurun .

Perubahan kecil ini (hanya beberapa persen) sangat penting, karena model menunjukkan bahwa hanya setelah hilangnya manfaat perjalanan diperhitungkan, kerugian ekonomi akibat penutupan jalan dapat diperoleh. Koefisien elastisitas tinggi yang diamati () juga dikaitkan dengan faktor eksternalitas, seperti cuaca dingin yang membuat perjalanan rekreasi tidak menarik, sehingga menyebabkan pembatalan perjalanan.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Penelitian ini memberikan kontribusi yang kuat dalam dua aspek utama:

  1. Kerangka Penilaian Risiko Probabilistik: Penggunaan simulasi Monte Carlo untuk menghasilkan distribusi probabilitas (bukan hanya estimasi titik tunggal) untuk biaya penutupan tahunan dan rasio manfaat-biaya opsi mitigasi. Pendekatan ini secara efektif mengakomodasi ketidakpastian yang melekat dalam frekuensi dan konsekuensi bahaya.
  2. Identifikasi Bahaya Paling Signifikan: Analisis risiko sistemik mengungkapkan bahwa salju dan es adalah bahaya yang paling signifikan dalam hal biaya tahunan rata-rata, diperkirakan mencapai sekitar **NZ\approx$ NZ\approx$ NZ\approx$ NZ$200.000).
  3. Analisis Mitigasi Berbasis Risiko Total: Penilaian kelayakan opsi mitigasi didasarkan pada pengurangan risiko total (probabilitas dikalikan konsekuensi). Analisis menunjukkan bahwa semua opsi mitigasi yang dipertimbangkan secara ekonomi menarik, dengan semua opsi diharapkan memberikan manfaat terukur setidaknya empat kali lipat biaya implementasi dan pemeliharaan. Sebagai contoh, penggunaan garam menunjukkan rasio manfaat-biaya yang sangat tinggi (rata-rata 35), namun dibatalkan karena dampak ekologis yang merugikan di Taman Nasional Tongariro. Sebaliknya, penggunaan Road Weather Information System (RWIS) dalam kombinasi dengan Calcium Magnesium Acetate (CMA) meningkatkan rasio manfaat-biaya secara substansial dengan mengurangi tingkat aplikasi (menghemat biaya CMA) dan mengurangi dampak ekologis.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun model ini kuat, beberapa keterbatasan memerlukan investigasi akademis lebih lanjut:

  • Asumsi Pengetahuan Sempurna: Model lalu lintas mengasumsikan pelancong memiliki pengetahuan sempurna tentang penutupan jalan saat memulai perjalanan, yang berpotensi menyebabkan perkiraan biaya penutupan yang kurang akurat (lebih rendah) untuk insiden jangka pendek, di mana pengemudi mungkin sudah berada di jaringan saat penutupan terjadi.
  • Biaya Non-Moneter: Dampak sosial ekonomi dan ekologis (misalnya, isolasi komunitas, pergeseran pendapatan bisnis, dampak lingkungan) tidak dikuantifikasi dalam biaya total, meskipun diakui sebagai biaya yang penting.
  • Waktu Pemulihan Bencana Besar: Perkiraan biaya gempa bumi didasarkan pada penutupan total hingga perbaikan jembatan selesai (160 hari untuk MMI 9). Para penulis mengakui bahwa jalan pintas sementara (seperti Jembatan Bailey atau ford) kemungkinan besar akan digunakan, yang berarti biaya tahunan aktual akibat gempa kemungkinan lebih rendah dari yang diestimasi.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Bagi komunitas akademik dan penerima hibah, temuan ini membuka beberapa jalur riset kritis untuk memperkuat ketahanan sistem transportasi:

  1. Pemodelan Penugasan Lalu Lintas Dinamis (DTA) dengan Informasi Tidak Sempurna
    • Basis Temuan: Model saat ini mengasumsikan pengetahuan sempurna, yang dapat meremehkan biaya penutupan jangka pendek.
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Mengembangkan model Dynamic Traffic Assignment (DTA) yang memasukkan variabel tingkat diseminasi informasi (misalnya, penggunaan variable message signs atau media sosial) dan waktu reaksi pengemudi (misalnya, waktu yang dibutuhkan pengemudi untuk mengubah rute setelah menyadari penutupan).
    • Perlunya Penelitian Lanjutan: Riset ini harus mengukur perbedaan biaya per jam antara asumsi pengetahuan sempurna dan respons pengguna yang tertunda, yang sangat penting untuk insiden yang sering terjadi, seperti kecelakaan lalu lintas dan penutupan akibat es.
  2. Kuantifikasi Moneter Eksternalitas Lingkungan dalam Analisis Benefit-Cost (BCA)
    • Basis Temuan: Opsi mitigasi dengan BCA tertinggi (garam) ditolak karena dampak ekologis, tetapi dampak ini tidak dikuantifikasi secara moneter.
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Menerapkan metode penilaian moneter (valuation) seperti Contingent Valuation atau Choice Experiment untuk mengkuantifikasi biaya bayangan (shadow cost) yang dihindari dengan menggunakan alternatif yang lebih ramah lingkungan (CMA) daripada bahan kimia tradisional (garam) di kawasan taman nasional.
    • Perlunya Penelitian Lanjutan: Ini akan memberikan rasio BCA yang disesuaikan secara holistik, memungkinkan pembuat kebijakan untuk membandingkan secara langsung opsi mitigasi berdasarkan manfaat ekonomi dan nilai lingkungan yang dilindungi.
  3. Memperluas Model Keterkaitan Multi-Hazard Sistemik
    • Basis Temuan: Interdependensi one-way ditemukan (misalnya, es meningkatkan kecelakaan). Namun, studi ini tidak sepenuhnya mengeksplorasi sinergi multi-hazard yang kompleks.
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Membangun matriks risiko multi-hazard yang menyelidiki bagaimana kerusakan parsial dari satu bahaya (misalnya, retak jembatan dari gempa MMI 5-6 ) meningkatkan kerentanan sistem terhadap bahaya lain (misalnya, keruntuhan akibat lahar berikutnya atau banjir).
    • Perlunya Penelitian Lanjutan: Penelitian ini akan memperluas pemahaman dari interaksi searah ke keterkaitan sistemik (domino effect), yang sangat relevan untuk rekayasa lifeline di zona seismik dan vulkanik.
  4. Segmentasi Elastisitas Permintaan Berdasarkan Tujuan Perjalanan
    • Basis Temuan: Elastisitas permintaan perjalanan yang tinggi () dikaitkan dengan pembatalan perjalanan rekreasi.
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Melakukan analisis regresi untuk memisahkan koefisien elastisitas berdasarkan kategori perjalanan yang berbeda (bisnis/komersial vs. rekreasi) dan waktu hari (siang vs. malam, mengingat es terbentuk di malam hari ).
    • Perlunya Penelitian Lanjutan: Segmentasi ini akan memungkinkan operator jaringan untuk memprediksi secara lebih tepat dampak biaya ekonomi dari pembatalan perjalanan komersial versus rekreasi, sehingga mengoptimalkan prioritas pemulihan dan pengalihan rute untuk lalu lintas yang paling sensitif terhadap waktu.
  5. Analisis Biaya Seumur Hidup (LCA) Mitigasi Temporer vs. Permanen
    • Basis Temuan: Biaya gempa bumi sangat tinggi karena waktu penutupan yang lama, tetapi opsi mitigasi temporer (jembatan Bailey) dapat mengurangi durasi secara drastis.
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Mengembangkan model Life Cycle Assessment (LCA) yang secara eksplisit membandingkan Net Present Value antara mitigasi jangka panjang (retrofitting seismik jembatan ) dan biaya kesiapan untuk mitigasi jangka pendek/sementara (pre-positioning jembatan Bailey).
    • Perlunya Penelitian Lanjutan: Ini akan memberikan justifikasi investasi yang kuat bagi penerima hibah untuk mengalokasikan dana antara biaya modal awal yang tinggi untuk penguatan dan biaya yang lebih rendah untuk rencana kontinjensi siap pakai, terutama untuk bahaya yang jarang terjadi tetapi berdampak tinggi (ekor panjang distribusi probabilitas).

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi antara universitas teknik dan perencanaan regional, badan operasi jalan raya nasional (Transit New Zealand), dan lembaga geologi dan vulkanologi untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.

Sertakan tautan DOI resmi sebagai acuan utama: Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
NZ$1,9 Juta Setahun: Mengurai Risiko Bencana dan Dampak Ekonomi Penutupan Jalan Raya Utama di Selandia Baru
« First Previous page 45 of 1.301 Next Last »