K3 dan Infrastruktur

Membangun Budaya “Design for Construction Safety (DfCS)” di Indonesia: Dari Perancangan Hingga Pencegahan Fatalitas di Proyek Konstruksi

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 21 Oktober 2025


Pendahuluan

Konsep Design for Construction Safety (DfCS) yang dikembangkan Occupational Safety & Health Administration (OSHA) di Amerika Serikat kini menjadi acuan global dalam pencegahan kecelakaan di proyek konstruksi. Pendekatan ini menekankan pentingnya memasukkan aspek keselamatan sejak tahap perancangan desain, bukan hanya saat pelaksanaan proyek.

Di Indonesia, kasus kecelakaan kerja di sektor konstruksi masih tinggi — berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia tahun 2024, lebih dari 30 % kecelakaan fatal terjadi akibat kesalahan desain dan manajemen risiko sejak tahap awal proyek.

Proyek infrastruktur nasional seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), kampus negeri baru seperti Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), maupun pembangunan jalan tol dan gedung pemerintahan, melibatkan ribuan pekerja dan ratusan subkontraktor. Kompleksitas proyek membuat koordinasi keselamatan menjadi tantangan besar.

Konsep DfCS menawarkan solusi preventif: merancang struktur, tata letak, dan metode konstruksi yang secara inheren aman — misalnya:

  • Menambahkan parapet permanen di tepi atap agar tidak memerlukan pagar sementara.

  • Mendesain lubang-lubang kolom dengan ketinggian standar untuk pengait kabel pengaman.

  • Mengatur alur material handling agar pekerja tidak perlu bekerja di ketinggian atau ruang terbatas.

Sebagaimana dibahas dalam artikel Fitur Proyek Konstruksi Menyebabkan Kecelakaan Kerja Jika Tidak Direncanakan Sejak Awal, peran arsitek dan insinyur dalam memikirkan risiko sejak tahap desain merupakan kunci menuju zero accident project. 

Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan

DfCS menempatkan keselamatan sebagai bagian dari desain, bukan sebagai tambahan prosedural.
Studi OSHA (2019–2023) menunjukkan 42% kecelakaan konstruksi disebabkan keputusan desain, seperti ketiadaan sistem penahan jatuh permanen atau ventilasi ruang terbatas.

Di Indonesia, penelitian PUPR (2023) memperkirakan implementasi desain aman dapat mengurangi kecelakaan konstruksi hingga 35%, terutama pada pekerjaan di ketinggian, pengelasan, dan pengecoran beton.

Kebijakan nasional perlu memasukkan DfCS sebagai standar dalam perizinan proyek besar, sejalan dengan semangat “Prevention through Design” yang sudah diterapkan di AS, Eropa, dan Jepang.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dampak positif:

  • Mengurangi risiko jatuh dan cedera struktural di proyek bertingkat hingga 40%.

  • Mempercepat proses audit K3 karena desain sudah mencakup sistem pengaman permanen.

  • Menurunkan biaya jangka panjang (karena tidak perlu alat pelindung sementara yang berulang).

Hambatan:

  • Kurangnya kolaborasi antara desainer dan kontraktor.

  • Belum adanya regulasi yang mewajibkan design risk assessment pada tahap perancangan.

  • Keterbatasan pelatihan teknis di bidang “safety in design”.

Peluang:

  • Pengembangan modul pelatihan Design for Safety oleh Diklatkerja.com.

  • Integrasi DfCS ke dalam kurikulum universitas teknik dan arsitektur.

  • Sertifikasi nasional “Insinyur Desain Aman” melalui Kementerian PUPR dan Kemenaker.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Wajibkan Analisis Risiko Desain (DfCS Report)
    Setiap proyek pemerintah harus menyertakan laporan design safety review sebelum tender konstruksi.

  2. Kembangkan Panduan Nasional “Design for Safety Indonesia”
    Berdasarkan adaptasi dari OSHA 1926 dan standar lokal SNI 7037:2020 tentang K3 konstruksi.

  3. Insentif bagi Proyek yang Mengadopsi DfCS
    Pemberian safety performance bonus atau potongan pajak untuk kontraktor yang mencapai zero accident dengan desain aman.

  4. Pelatihan Kolaboratif Arsitek–Kontraktor–Pekerja
    Program pelatihan berbasis proyek, seperti pelatihan “Safety in Design and Construction” oleh Diklatkerja.com.

  5. Integrasi Teknologi Digital dan BIM untuk Simulasi Risiko
    Penggunaan Building Information Modeling (BIM) untuk memetakan risiko sejak tahap desain dan memverifikasi kepatuhan K3 secara otomatis.

Kritik dan Tantangan Etika

DfCS bisa gagal jika hanya menjadi formalitas administratif. Tanpa partisipasi aktif desainer dan budaya keselamatan, prinsip ini tidak akan mengubah perilaku di lapangan.
Selain itu, pengawasan lemah terhadap konsultan desain membuat banyak proyek publik masih berorientasi pada kecepatan dan biaya, bukan keselamatan.

Penerapan DfCS juga menuntut perubahan paradigma profesional — dari “arsitek yang hanya fokus estetika” menjadi “arsitek yang juga bertanggung jawab atas keselamatan pekerja”.

Penutup

Konsep Design for Construction Safety membuka babak baru dalam kebijakan keselamatan kerja Indonesia. Dengan mengintegrasikan DfCS ke dalam regulasi nasional dan pendidikan teknik, Indonesia dapat membangun sistem konstruksi yang lebih aman, efisien, dan berkelanjutan.

Transformasi ini sejalan dengan arah pembangunan nasional menuju zero accident infrastructure, di mana keselamatan bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga nilai moral dan profesional.

Sumber Artikel

OSHA Alliance Program, Design for Construction Safety – Instructor Guide (2023).

Selengkapnya
Membangun Budaya “Design for Construction Safety (DfCS)” di Indonesia: Dari Perancangan Hingga Pencegahan Fatalitas di Proyek Konstruksi

Keselamatan & Kesehatan Kerja (K3)

Transformasi K3 Transportasi dan Logistik di Indonesia: Menuju Smart Safety Management

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 21 Oktober 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan

Makalah SSRN (2024) menggarisbawahi pergeseran global dalam manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3), terutama di sektor transportasi dan logistik, menuju penerapan smart safety system yang memanfaatkan kecerdasan buatan (AI), sensor digital, dan analisis data real-time. Pendekatan ini memungkinkan identifikasi dini potensi kecelakaan dan pengambilan keputusan berbasis data yang lebih cepat.

Dalam konteks Indonesia, relevansi temuan ini sangat tinggi. Sektor logistik dan transportasi darat — seperti pengangkutan barang di pelabuhan, gudang distribusi, hingga proyek infrastruktur jalan tol — merupakan penyumbang kecelakaan kerja terbesar kedua setelah konstruksi. Data BPJS Ketenagakerjaan tahun 2024 menunjukkan peningkatan insiden pada pekerja logistik sebesar 18%, sebagian besar akibat kelelahan, kelalaian prosedur keselamatan, dan kurangnya sistem deteksi dini bahaya.

Kebijakan nasional K3 perlu mengarah ke data-driven safety management, di mana setiap aktivitas logistik bisa diawasi melalui sistem digital yang terintegrasi.Analisis Kritis Peran Teknologi Digital dalam Pemenuhan Keselamatan Konstruksi di Indonesia.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dampak positif:

  • Penerapan sistem K3 berbasis AI dapat menurunkan risiko kecelakaan kerja hingga 40%, terutama dalam aktivitas bongkar muat dan pengangkutan logistik.

  • Sensor biometrik membantu mendeteksi kelelahan pengemudi dan mencegah microsleep-related accidents.

  • Data analitik real-time meningkatkan kemampuan supervisor untuk mengambil keputusan cepat dalam situasi darurat.

Hambatan utama:

  • Minimnya investasi perusahaan dalam sistem digital K3 karena dianggap mahal.

  • Rendahnya literasi digital di kalangan pekerja lapangan.

  • Belum ada regulasi nasional yang mengatur standar penggunaan AI dalam sistem keselamatan kerja.

Peluang strategis:

  • Pengembangan National Smart Safety Framework oleh Kemenaker dan Kementerian Perhubungan untuk sektor transportasi.

  • Kolaborasi dengan lembaga pelatihan yang menyediakan pelatihan Manajemen Risiko dan Keselamatan Kerja di Industri Transportasi berbasis teknologi digital.

  • Integrasi AI Safety Analytics dengan platform pelaporan BPJS Ketenagakerjaan untuk membentuk basis data nasional risiko transportasi.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Bentuk Sistem Nasional Smart Safety Monitoring
    Integrasikan sensor kendaraan, CCTV, dan aplikasi mobile untuk pelaporan insiden transportasi secara real-time.

  2. Wajibkan Pelatihan Digital Safety untuk Pengemudi dan Operator Logistik
    Kurikulum pelatihan dapat mengacu pada modul K3 berbasis data yang tersedia di Diklatkerja.com.

  3. Audit Keselamatan Berbasis AI
    Gunakan sistem prediktif untuk mengidentifikasi potensi kecelakaan sebelum terjadi, bukan setelahnya.

  4. Kembangkan Smart Safety Dashboard di Setiap Proyek Transportasi Publik
    Dashboard ini menampilkan data insiden, tingkat kepatuhan APD, dan kondisi kendaraan secara langsung.

  5. Insentif Digitalization Grant untuk Perusahaan Logistik Aman
    Pemerintah dapat memberikan potongan pajak atau akses pendanaan bagi perusahaan yang menerapkan teknologi smart safety.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Penerapan smart safety sering gagal jika hanya berfokus pada teknologi tanpa perubahan perilaku dan budaya kerja. Tanpa pelatihan yang memadai, sistem AI tidak akan efektif karena pekerja mungkin mengabaikan peringatan atau tidak memahami fungsi perangkat.

Selain itu, kebijakan digitalisasi K3 yang tidak disertai regulasi data protection dapat menimbulkan masalah privasi pekerja, terutama jika sensor biometrik digunakan untuk memantau perilaku individu.

Penutup

Transformasi digital dalam sistem K3 sektor transportasi dan logistik bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Integrasi antara manusia, teknologi, dan kebijakan publik akan menentukan keberhasilan Indonesia dalam mencapai zero accident industry.
Melalui kolaborasi lintas sektor — pemerintah, industri, dan lembaga pelatihan seperti Diklatkerja — Indonesia dapat membangun ekosistem kerja yang cerdas, aman, dan berkelanjutan.

Sumber Artikel
SSRN Paper (2024). AI-Based Safety Management in Transport and Logistics Industries.

Selengkapnya
Transformasi K3 Transportasi dan Logistik di Indonesia: Menuju Smart Safety Management

Manajemen Risiko

Melampaui Kepatuhan: Bagaimana Behavioral-Based Safety (BBS) Mendorong Budaya Keselamatan 'Generatif' di Industri Berisiko Tinggi

Dipublikasikan oleh Raihan pada 21 Oktober 2025


Resensi Riset: Jalan Ke Depan Budaya Keselamatan Organisasi

Mendefinisikan Ulang Keselamatan: Dari Kepatuhan ke Kematangan Generatif

Isu Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) telah lama berevolusi dari sekadar penanganan kondisi kerja yang tidak aman menjadi pengakuan atas peran sentral perilaku dan budaya dalam pencegahan kecelakaan. Setelah bencana Chernobyl tahun 1986, konsep Budaya Keselamatan diperkenalkan, mengubah fokus dari kegagalan individu menjadi kegagalan sistemik yang tertanam dalam nilai-nilai dan sikap organisasi.

Penelitian ini, yang bertajuk Investigation of Behavioral-Based Safety Impacts on Organizational Safety Culture, hadir untuk menjembatani perdebatan antara pendekatan perubahan perilaku (Behavior-Based Safety atau BBS) dan perubahan budaya. Tujuannya adalah untuk secara empiris menguji hipotesis bahwa penerapan kerangka kerja BBS yang terstruktur, yang telah digunakan oleh suatu organisasi selama lebih dari satu dekade, akan menghasilkan tingkat kematangan budaya keselamatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan organisasi yang hanya mengandalkan program keselamatan tradisional.

Jalur Logis Penemuan

Alur logis penelitian ini dimulai dengan perancangan metodologi yang ketat untuk mengukur kematangan budaya keselamatan. Metodologi penelitian terdiri dari tiga bagian utama: (1) pengembangan kuesioner kematangan, (2) penerapan dan pengumpulan data, dan (3) penilaian serta perbandingan hasil.

Peneliti menggunakan Manchester Patient Safety Framework (MaPSaF) sebagai dasar, memodifikasinya menjadi kuesioner komprehensif yang terdiri dari 9 dimensi dan 25 aspek spesifik, yang dikembangkan melalui wawancara kelompok fokus dengan pekerja, lokakarya spesialis K3, dan sesi konsultasi ahli. Kuesioner ini dirancang untuk mengklasifikasikan respons di sepanjang lima level kematangan budaya: Patologis, Reaktif, Birokratis, Proaktif, dan Generatif.

Studi ini kemudian membandingkan dua perusahaan dalam industri pertahanan yang sama: Perusahaan A, yang telah menerapkan konsep BBS sejak tahun 2009, dan Perusahaan B, yang beroperasi dengan program keselamatan tradisional. Data dikumpulkan dari total 358 pekerja di Perusahaan A dan 248 pekerja di Perusahaan B.

Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara Behavioral-Based Safety (BBS) dan kematangan budaya keselamatan organisasi yang lebih tinggi — mengonfirmasi potensi kuat BBS sebagai objek penelitian baru dalam literatur K3.

Hasil studi ini secara konsisten menunjukkan bahwa tingkat kematangan budaya keselamatan Perusahaan A berada pada tingkat yang lebih tinggi di setiap aspek yang dibandingkan dengan Perusahaan B. Analisis data kuantitatif secara deskriptif memberikan gambaran yang jelas mengenai perbedaan mendasar yang dihasilkan oleh BBS:

  • Perusahaan A (BBS) berhasil mengklasifikasikan 20 aspek dari 25 aspek budaya keselamatan pada level Generatif dan 5 aspek sisanya pada level Proaktif. Level Generatif mencerminkan budaya di mana keselamatan dipandang sebagai hal yang melekat dan terus ditingkatkan.
  • Perusahaan B (Tradisional) hanya diklasifikasikan sebagai Generatif atau Proaktif dalam 8 aspek, sementara 6 aspek tergolong Birokratis (berorientasi pada aturan), dan bahkan satu aspek diklasifikasikan sebagai Patologis (yaitu Aspek 25: The role of team member/ engagement).

Perbedaan yang paling menonjol ditemukan dalam aspek-aspek yang terkait langsung dengan filosofi BBS:

  • Aspek 5 (Priority given to safety): Perusahaan A mencapai perbedaan karena mengacu pada keselamatan sebagai nilai (value), bukan hanya prioritas. Pendekatan ini memastikan internalisasi keselamatan oleh karyawan terlepas dari perubahan prioritas operasional.
  • Aspek 20 (Wellbeing): Pendekatan BBS Perusahaan A mencakup dukungan fisik, sosial, dan psikologis, dibuktikan dengan adanya psikolog purnawaktu dan sistem bantuan karyawan. Sebaliknya, program tradisional Perusahaan B sebagian besar hanya berfokus pada kesejahteraan fisik.
  • Aspek 2 (Inspection / audit) dan Aspek 12 (Who is doing the investigation?): Perusahaan A menunjukkan kematangan yang jauh lebih tinggi karena sistem observasi BBS-nya melibatkan partisipasi pekerja dalam audit, dan sistem investigasi insiden melibatkan tim yang mencakup pekerja dan manajemen tingkat atas.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Penelitian ini memberikan landasan empiris untuk pengembangan teori dan praktik K3 dengan secara eksplisit mengaitkan kerangka BBS dengan peningkatan kematangan budaya, sebuah area yang sebelumnya diwarnai perdebatan teoretis.

  • Validasi BBS sebagai Pendorong Kultural: Studi ini membuktikan bahwa BBS adalah mekanisme yang efektif untuk menggeser budaya dari model Bureaucratic atau Reactive Reason/Westrum/MaPSaF menjadi model Generative. Kontribusi utamanya terletak pada data yang menunjukkan bahwa 20 dari 25 aspek K3 dapat mencapai level tertinggi kematangan berkat integrasi perilaku yang terukur.
  • Penekanan Konseptual pada Safety as a Value: Temuan pada Aspek 5 memberikan kontribusi teoretis yang penting. Dengan mendefinisikan keselamatan sebagai nilai (yang konstan) alih-alih prioritas (yang dapat berubah), Perusahaan A mampu menciptakan keunggulan budaya yang mengarah pada internalisasi dan tanggung jawab kolektif.
  • Model Partisipasi Multilevel: Riset ini menggarisbawahi pentingnya egalitas dan partisipasi menyeluruh dalam sistem keselamatan. Partisipasi pekerja dalam audit/observasi (Aspek 2) dan tim investigasi insiden (Aspek 12) menunjukkan bahwa budaya Generatif bergantung pada penghapusan hierarki dalam hal tanggung jawab keselamatan, sebuah prinsip dasar dalam pendekatan BBS.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun temuan studi ini kuat, terdapat beberapa keterbatasan yang harus diakui dan dijadikan titik awal untuk riset masa depan, terutama bagi komunitas akademik dan penerima hibah.

  • Isu Kausalitas vs. Korelasi: Studi ini adalah perbandingan pada satu titik waktu (cross-sectional), membandingkan dua entitas yang memiliki perbedaan dalam program keselamatan selama 10 tahun. Meskipun hubungan terlihat jelas, tidak ada data longitudinal yang memetakan perkembangan budaya Perusahaan A dari tahun ke tahun.
  • Konteks Spesifik Industri Pertahanan: Penerapan dan keberhasilan BBS mungkin terikat pada konteks industri pertahanan, di mana kepatuhan, kerahasiaan, dan pelatihan yang intensif sudah menjadi norma organisasi. Penerapan di sektor lain (misalnya, ritel, logistik, atau layanan) memerlukan validasi silang terhadap dimensi-dimensi yang telah ditetapkan.
  • Kekurangan Data Kualitatif Pendukung: Meskipun studi menyoroti perbedaan besar dalam aspek Wellbeing (Aspek 20) dan penggunaan psikolog, tidak ada analisis kualitatif yang dalam tentang mekanisme bagaimana intervensi psikososial ini memengaruhi perubahan perilaku keselamatan yang terukur.
  • Potensi Bias Pelaporan: Budaya Generatif sangat bergantung pada pelaporan insiden yang transparan. Keterbatasan tetap ada dalam menentukan apakah tingkat pelaporan yang tinggi di Perusahaan A adalah cerminan dari budaya yang dipercaya, atau seberapa besar hal itu dipengaruhi oleh sistem insentif yang terkait dengan BBS.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan justifikasi ilmiah)

Berdasarkan temuan yang mengaitkan BBS dengan kematangan budaya Generatif, arah riset ke depan harus fokus pada isolasi kausalitas, mekanisme intervensi, dan generalisasi kontekstual.

  1. Riset Longitudinal Tentang Perilaku Kepemimpinan BBS:
    • Rekomendasi: Melakukan studi longitudinal dengan fokus pada Aspek 4 (Management commitment) untuk melacak perubahan spesifik dalam perilaku manajemen, komunikasi, dan investasi yang disebabkan oleh penerapan BBS.
    • Justifikasi Ilmiah: Komitmen manajemen di Perusahaan A adalah salah satu pembeda utama. Riset di masa depan harus mengukur bagaimana komitmen manajemen ini berinteraksi dengan kepuasan pekerja dan perilaku pelaporan proaktif (seperti melaporkan nyaris celaka), memetakan jalur dari komitmen formal (Birokratik) ke model kepemimpinan transformasional (Generatif).
  2. Analisis Faktor Mediasi Kesejahteraan (Wellbeing) Psikososial:
    • Rekomendasi: Merancang model persamaan struktural (SEM) yang menguji Wellbeing Psikososial (Aspek 20) sebagai faktor mediasi antara penerapan elemen-elemen BBS dan peningkatan keterlibatan tim (Aspek 24 dan 25).
    • Justifikasi Ilmiah: Temuan yang menunjukkan pentingnya dukungan psikolog purnawaktu di Perusahaan A memerlukan riset yang mengkuantifikasi bagaimana kesehatan mental pekerja memengaruhi kapasitas kognitif mereka dalam mengidentifikasi risiko dan berkolaborasi dalam tim. Hal ini akan mendukung argumen bahwa BBS harus menjadi sistem yang holistik, bukan sekadar intervensi perilaku di tempat kerja.
  3. Investigasi Efek Jaringan Observasi Pekerja (Aspek 2):
    • Rekomendasi: Menggunakan Analisis Jaringan Sosial (Social Network Analysis) untuk memetakan alur informasi dan peer-influence dalam sistem observasi BBS yang melibatkan pekerja (Aspek 2).
    • Justifikasi Ilmiah: Keterlibatan pekerja dalam audit adalah faktor krusial bagi Perusahaan A. Riset lanjutan harus mengukur kecepatan penyebaran informasi, sentralitas pekerja yang bertindak sebagai pengamat (observer), dan keandalan observasi yang mereka lakukan, membandingkan dampak umpan balik sejawat dengan umpan balik manajerial terhadap perubahan perilaku.
  4. Validasi Silang Kuesioner MaPSaF 9-Dimensi/25-Aspek di Sektor Publik:
    • Rekomendasi: Menerapkan alat ukur kematangan budaya keselamatan yang dikembangkan dalam penelitian ini di organisasi sektor publik berisiko tinggi (misalnya, badan pengelola energi, rumah sakit pemerintah) untuk menguji validitas eksternal model.
    • Justifikasi Ilmiah: Model yang dikembangkan terbukti efektif di sektor pertahanan. Validasi silang akan menentukan apakah dimensi-dimensi seperti Aspek 19 (Performance evaluation) dan Aspek 4 (Management commitment) mempertahankan kekuatan prediktifnya di lingkungan yang didorong oleh birokrasi dan insentif non-finansial yang berbeda dari lingkungan industri.
  5. Peran Keterlibatan Semua Level dalam Pembelajaran Organisasi:
    • Rekomendasi: Menginvestigasi secara kualitatif dan kuantitatif bagaimana tim investigasi insiden partisipatif (melibatkan pekerja dan manajemen, Aspek 12) memengaruhi budaya pelaporan (reporting culture) dan tindakan korektif yang berkelanjutan (Aspek 15: Evaluation of corrective actions).
    • Justifikasi Ilmiah: Partisipasi menyeluruh dalam investigasi adalah kunci perbedaan. Penelitian harus mengukur apakah persepsi keadilan prosedural yang dihasilkan dari tim investigasi yang egaliter meningkatkan kesediaan pekerja untuk melaporkan insiden near-miss, yang merupakan elemen vital dalam pembelajaran organisasi dan pencegahan jangka panjang.

Penelitian ini memberikan dasar yang tidak dapat disangkal bahwa Behavioral-Based Safety (BBS), ketika diimplementasikan sebagai sistem yang holistik yang menekankan nilai dan partisipasi setara, adalah mesin yang kuat untuk mencapai budaya keselamatan Generatif yang berkelanjutan. Keterhubungan antara perilaku individu saat ini dan potensi jangka panjang budaya organisasi terbukti: ketika pekerja merasa memiliki dan bertanggung jawab (Aspek 19), mereka secara inheren menjadi bagian dari solusi pencegahan.

Untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil ini, penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi yang memiliki akses ke studi longitudinal, seperti pusat penelitian K3 universitas terkemuka (misalnya, Middle East Technical University, The University of Manchester), organisasi penerima hibah multinasional yang berfokus pada keselamatan kerja, dan organisasi industri berisiko tinggi yang berkomitmen untuk transisi budaya dari Reaktif ke Generatif.

Sangat penting bagi komunitas akademik dan penerima hibah untuk memandang BBS bukan sebagai tren manajemen, tetapi sebagai kerangka penelitian yang matang yang memfasilitasi integrasi perilaku, psikologi, dan sistem, yang pada akhirnya akan mengurangi dampak ekonomi (sekitar 3.94% dari PDB global) dan penderitaan yang disebabkan oleh kecelakaan kerja.

Sistem K3 masa depan harus dibangun di atas temuan ini, memprioritaskan budaya di mana setiap pekerja adalah pengamat, setiap insiden adalah pelajaran, dan keselamatan adalah nilai fundamental.

Yetik, U. S. (2020). Investigation of behavioral-based safety impacts on organizational safety culture. [Thesis (M.S.) -- Graduate School of Natural and Applied Sciences. Occupational Health and Safety.]. Middle East Technical University.

Selengkapnya
Melampaui Kepatuhan: Bagaimana Behavioral-Based Safety (BBS) Mendorong Budaya Keselamatan 'Generatif' di Industri Berisiko Tinggi

Manajemen Konstruksi

Mendanai Keselamatan: Peta Jalan Strategis untuk Mereformasi Biaya Manajemen K3 Konstruksi di Korea.

Dipublikasikan oleh Raihan pada 21 Oktober 2025


Menganalisis Peta Jalan untuk Efektivitas Biaya K3: Sebuah Tinjauan Riset dan Agenda Masa Depan

Industri konstruksi global secara konsisten diakui sebagai salah satu yang paling berbahaya. Sebagai respons, banyak negara telah mengamanatkan pendanaan khusus untuk intervensi keselamatan. Di Korea Selatan, dana ini dikenal sebagai Occupational Safety and Health Management Expense (OSHE), sebuah biaya wajib yang diatur undang-undang yang termasuk dalam biaya konstruksi. Namun, sebuah paradoks berbahaya telah muncul: meskipun ada sistem pendanaan yang terstruktur , tingkat kecelakaan kerja di industri konstruksi Korea, terutama kecelakaan fatal, justru menunjukkan tren peningkatan yang mengkhawatirkan. Statistik menunjukkan peningkatan angka kematian per 10.000 pekerja dari 1,30 pada tahun 2015 menjadi 2,00 pada tahun 2020.

Studi oleh Lim et al. (2023) menyelidiki inti dari diskoneksi ini. Penelitian mereka mengidentifikasi kekakuan regulasi sebagai penghambat utama efektivitas. Di bawah pengawasan Kementerian Ketenagakerjaan dan Perburuhan (MOEL) Korea, penggunaan OSHE diatur secara ketat, terbatas pada 8 kategori item tertentu . Akibatnya, barang-barang yang berpotensi menyelamatkan nyawa—seperti produk keselamatan cerdas (smart safety) yang memanfaatkan teknologi Revolusi Industri 4.0 atau bahkan item konvensional yang terbukti efektif (misalnya, lampu depan) —tidak memenuhi syarat untuk pendanaan jika dianggap memiliki tujuan ganda (yaitu, mendukung pekerjaan sekaligus keselamatan).

Menghadapi tuntutan industri yang meningkat untuk fleksibilitas dan data kecelakaan yang memburuk , penelitian ini menetapkan tujuan untuk mengembangkan "peta jalan" (roadmap) berbasis bukti untuk mereformasi item penggunaan OSHE. Metodologi inti yang digunakan adalah Importance-Performance Analysis (IPA), sebuah teknik yang kuat untuk memprioritaskan sumber daya yang terbatas.

Perjalanan logis penelitian ini dimulai dengan mengumpulkan daftar 57 item perbaikan potensial (33 konvensional, 24 cerdas) melalui wawancara pemangku kepentingan. Kumpulan ini kemudian disaring melalui konsultasi ahli (N=8) menjadi 34 item analisis akhir (14 konvensional, 20 cerdas). Para peneliti kemudian melakukan survei skala besar, mengumpulkan 536 tanggapan valid dari pemangku kepentingan utama—terutama manajer keselamatan (84,89%), klien publik (5,60%), dan praktisi lembaga pencegahan kecelakaan (9,51%). Responden mengevaluasi setiap item menggunakan skala Likert 4 poin (sengaja menghindari titik tengah netral) pada dua dimensi kritis: "Pentingnya" (didefinisikan sebagai urgensi pengenalan) dan "Kinerja" (didefinisikan sebagai efektivitas yang dirasakan dalam pencegahan kecelakaan).

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi utama penelitian ini bukanlah sekadar identifikasi item baru, melainkan penyediaan kerangka kerja strategis yang memprioritaskan implementasi dalam tiga fase: jangka pendek, menengah, dan panjang. Ini mengubah perdebatan dari "apakah" menjadi "bagaimana dan kapan".

Secara kuantitatif, analisis IPA memetakan 34 item ke dalam empat kuadran berdasarkan skor rata-rata. Untuk item konvensional, skor rata-rata adalah 3,15 untuk Kepentingan dan 3,31 untuk Kinerja (lihat Gambar 3 ). Untuk produk keselamatan cerdas, rata-ratanya adalah 2,97 untuk Kepentingan dan 3,12 untuk Kinerja (lihat Gambar 4 ).

  1. Prioritas Jangka Pendek (Kuadran 1: Kepentingan Tinggi, Kinerja Tinggi): Studi ini mengidentifikasi 16 item (7 konvensional, 9 cerdas) yang dianggap mendesak dan sangat efektif. Ini adalah "kemenangan cepat" untuk reformasi kebijakan. Item seperti 'C8. Head lantern' (lampu depan), 'S1. Hazardous area approach detection system' (sistem deteksi pendekatan area berbahaya), dan 'S15. Safety vest with built-in airbag' (rompi keselamatan dengan kantung udara) masuk dalam kategori ini. Data ini memberikan justifikasi kuat bagi MOEL untuk segera memperbarui pedoman OSHE.
  2. Rencana Jangka Menengah (Kuadran 4: Kepentingan Rendah, Kinerja Tinggi): Lima item, termasuk 'C6. Auxiliary device for the prevention of musculoskeletal disorders' (perangkat bantu pencegahan gangguan muskuloskeletal) dan 'S20. Educational facilities using VR' (fasilitas pendidikan menggunakan VR), ditemukan di kuadran ini. Temuan ini menunjukkan hubungan kritis antara efektivitas dan biaya: para pemangku kepentingan mengakui efektivitas item-item ini (Kinerja tinggi), tetapi urgensi mereka rendah (Kepentingan rendah). Para penulis menafsirkan ini sebagai cerminan kekhawatiran bahwa, dalam anggaran OSHE yang tetap, item-item mahal ini dapat menyebabkan "kekurangan biaya esensial". Ini adalah temuan kunci bagi pembuat kebijakan, yang menunjukkan bahwa item Kuadran 4 harus diadopsi setelah ada kebijakan pendukung, seperti peningkatan rate OSHE.
  3. Rencana Jangka Panjang (Kuadran 2: Kepentingan Tinggi, Kinerja Rendah): Tiga item (1 konvensional, 2 cerdas) dinilai mendesak tetapi efektivitasnya rendah. Temuan ini menunjukkan bahwa walaupun ada permintaan pasar (urgensi), teknologinya mungkin belum matang atau belum terbukti. Item seperti 'S13. Smart safety helmet using sensor' (helm keselamatan cerdas menggunakan sensor) memerlukan "pemantauan berkelanjutan" terhadap efektivitasnya seiring perkembangan teknologi.

Menariknya, studi ini juga menunjukkan di mana analisis ahli mengesampingkan data IPA murni. 'C14. Ice box' (kotak es) berada di Kuadran 1, tetapi para ahli merekomendasikan untuk mengecualikannya dari implementasi jangka pendek, dengan alasan bahwa itu lebih merupakan biaya kesejahteraan (welfare) dan dapat menguras dana OSHE yang sudah terbatas.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun kuat, studi ini memiliki keterbatasan yang secara inheren membuka jalan bagi penelitian masa depan. Keterbatasan utama adalah sifat metodologi IPA, yang bergantung pada persepsi subjektif responden. Para penulis berupaya memitigasi hal ini dengan ukuran sampel yang besar (N=536), namun "Kinerja" yang diukur adalah efektivitas yang dirasakan, bukan efektivitas yang dibuktikan secara empiris.

Hal ini memunculkan pertanyaan penelitian fundamental:

  1. Masalah Anggaran Tetap: Bagaimana Peta Jalan ini dapat diimplementasikan secara bertanggung jawab ketika anggaran OSHE tetap? Studi ini dengan jelas memperingatkan bahwa memperluas item penggunaan tanpa menambah dana dapat "menyebabkan risiko seperti biaya yang tidak mencukupi untuk pemasangan fasilitas keselamatan esensial".
  2. Validasi Kinerja: Apakah item-item yang dipersepsikan memiliki kinerja tinggi (misalnya, di Kuadran 1 dan 4) benar-benar mengurangi tingkat kecelakaan dalam praktik? Diperlukan pemantauan pasca-implementasi.
  3. Tata Kelola Teknologi Cerdas: Peta Jalan ini mengadvokasi adopsi cepat teknologi cerdas. Namun, bagaimana pembuat kebijakan memastikan dana OSHE digunakan untuk produk yang efektif dan bukan gimmick pemasaran? Studi ini menyoroti perlunya "standar penggunaan yang jelas" dan mungkin "sistem sertifikasi", tetapi tidak merinci bagaimana sistem tersebut harus dirancang.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan justifikasi ilmiah)

Berdasarkan temuan dan keterbatasan yang diidentifikasi dalam paper, komunitas riset harus memfokuskan upaya pada lima bidang utama berikut untuk membangun di atas fondasi yang telah diletakkan oleh Lim et al.:

  1. Riset 1: Validasi Empiris Peta Jalan (Studi Efektivitas Longitudinal).
    • Justifikasi: Keterbatasan inti dari studi ini adalah ketergantungannya pada persepsi efektivitas. Keberhasilan Peta Jalan bergantung pada apakah item-item ini benar-benar mencegah kecelakaan.
    • Metode: Peneliti harus merancang studi kohort longitudinal atau studi kontrol kasus. Ini akan melibatkan pelacakan situs konstruksi yang mengadopsi item-item yang direkomendasikan Peta Jalan (terutama dari Kuadran 1 ) dan membandingkan tingkat insiden dan cedera mereka (misalnya, Total Recordable Incident Rate) dengan situs kontrol yang tidak mengadopsinya.
    • Kebutuhan: Seperti yang dinyatakan oleh penulis, "monitoring dan verifikasi tingkat kontribusi terhadap pencegahan kecelakaan kerja" setelah item-item ini diadopsi ke dalam pemberitahuan MOEL sangat penting untuk validasi empiris.
  2. Riset 2: Pengembangan Model Akuntansi OSHE yang Adaptif terhadap Risiko.
    • Justifikasi: Studi ini mengungkapkan bahwa "masalah anggaran tetap" adalah penghalang utama, yang menekan item-item yang sangat efektif (Kuadran 4) ke prioritas yang lebih rendah karena kekhawatiran biaya.
    • Metode: Analisis ekonometrik untuk mengembangkan model penetapan rate OSHE yang baru. Model ini harus beralih dari penetapan rate umum saat ini ke model yang berdiferensiasi berdasarkan "karakteristik proyek". Misalnya, penelitian harus mengeksplorasi apakah proyek dengan risiko tinggi yang teridentifikasi (misalnya, konstruksi terowongan vs. pengaspalan jalan sederhana ) harus diamanatkan rate OSHE yang lebih tinggi untuk mengakomodasi biaya item Peta Jalan.
    • Kebutuhan: Untuk membuat Peta Jalan ini berkelanjutan secara finansial, penelitian diperlukan untuk "meningkatkan rate akuntansi" dengan cara yang cerdas dan berbasis risiko, memastikan bahwa adopsi item baru tidak mengorbankan fasilitas keselamatan esensial yang ada.
  3. Riset 3: Desain Kerangka Kerja Tata Kelola dan Sertifikasi Teknologi Keselamatan Cerdas.
    • Justifikasi: Peta Jalan ini sangat merekomendasikan adopsi beberapa produk keselamatan cerdas. Namun, studi ini juga memperingatkan perlunya "standar penggunaan yang jelas" untuk menghindari pemborosan dana pada teknologi yang belum terbukti.
    • Metode: Analisis kebijakan komparatif dan pengembangan kerangka kerja (framework). Peneliti harus menganalisis bagaimana negara-negara lain yang disebutkan dalam studi (misalnya, AS, Jerman, Jepang ) memvalidasi dan meregulasi teknologi K3 baru.
    • Kebutuhan: Untuk mendukung adopsi yang aman dari item Peta Jalan, penelitian diperlukan untuk merancang "sistem sertifikasi untuk teknologi keselamatan baru". Ini akan memberikan jaminan kualitas kepada manajer keselamatan dan memastikan dana OSHE dibelanjakan secara efektif.
  4. Riset 4: Analisis Efektivitas Biaya Strategi Pengadaan (Pembelian vs. Penyewaan).
    • Justifikasi: Banyak item yang direkomendasikan (misalnya, 'S20. Fasilitas pendidikan menggunakan VR' atau 'S11. Sistem pemantauan kecelakaan berbasis bio-signal' ) memiliki biaya modal awal yang tinggi. Studi ini secara singkat menyebutkan perlunya meninjau "metode pelaksanaan biaya" seperti "pembelian atau penyewaan".
    • Metode: Analisis efektivitas biaya (Cost-Effectiveness Analysis - CEA). Untuk item-item Peta Jalan yang berbiaya tinggi, penelitian harus memodelkan Biaya Total Kepemilikan (Total Cost of Ownership - TCO) versus skenario penyewaan atau Safety-as-a-Service. Variabel dapat mencakup biaya pemeliharaan, keusangan teknologi, dan biaya pelatihan.
    • Kebutuhan: Untuk memaksimalkan dampak dari anggaran OSHE yang terbatas, penelitian harus memberikan panduan berbasis bukti kepada manajer keselamatan tentang strategi pengadaan yang paling efisien secara finansial untuk teknologi yang direkomendasikan Peta Jalan.
  5. Riset 5: Pengembangan Mekanisme Pembaruan Kebijakan yang Gesit.
    • Justifikasi: Peta Jalan ini adalah potret satu waktu. Seperti yang dicatat oleh penulis, permintaan industri dan pengembangan teknologi terus berkembang. Tanpa proses pembaruan, Peta Jalan ini akan cepat usang.
    • Metode: Riset kualitatif (misalnya, metode Delphi, kelompok fokus ahli) dan analisis sistem kebijakan. Penelitian harus berfokus pada perancangan "pedoman untuk refleksi tepat waktu" dari item-item baru ke dalam pemberitahuan MOEL.
    • Kebutuhan: Untuk memastikan relevansi jangka panjang, penelitian diperlukan untuk membangun proses kelembagaan yang berkelanjutan—sebuah "Peta Jalan yang hidup"—yang dapat secara berkala meninjau, memvalidasi, dan mengintegrasikan inovasi keselamatan baru ke dalam kerangka kerja OSHE.

Kesimpulan dan Ajakan Kolaborasi

Studi oleh Lim et al. (2023) memberikan kontribusi penting dengan menawarkan jembatan berbasis data antara tuntutan industri yang mendesak dan reformasi kebijakan yang lamban. Peta Jalan IPA mereka adalah alat yang sangat diperlukan untuk memprioritaskan perubahan kebijakan guna meningkatkan efektivitas OSHE di Korea.

Namun, seperti yang ditunjukkan oleh agenda riset di atas, Peta Jalan ini bukanlah akhir, melainkan awal. Keberhasilan jangka panjangnya bergantung pada validasi empiris, reformasi anggaran yang adaptif, dan tata kelola teknologi yang cerdas. Untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil ini, penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi erat antara institusi pembuat kebijakan (seperti MOEL), lembaga penelitian (seperti Korea Occupational Safety and Health Agency dan akademisi), serta pelaku industri (seperti asosiasi konstruksi dan serikat pekerja) yang pemangku kepentingannya ditinjau dalam studi ini. Hanya melalui upaya terkoordinasi inilah Peta Jalan dapat beralih dari dokumen akademis menjadi alat yang secara nyata mengurangi kecelakaan dan menyelamatkan nyawa di lokasi konstruksi.

Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
Mendanai Keselamatan: Peta Jalan Strategis untuk Mereformasi Biaya Manajemen K3 Konstruksi di Korea.

Pendidikan Vokasi

Mengukur Kesiapan Kerja Lulusan Otomotif SMK: Evaluasi CIPP Mendalam dan Arah Riset Berkelanjutan untuk Memperkuat Link and Match Global.

Dipublikasikan oleh Raihan pada 21 Oktober 2025


Meretas Jalan Riset Vokasional Masa Depan: Evaluasi Kritis UKK TKRO SMK Berbasis Model CIPP

Riset mengenai evaluasi program pendidikan kejuruan adalah landasan esensial untuk menjembatani kesenjangan abadi antara institusi pendidikan dan kebutuhan industri. Latar belakang urgensi ini berakar pada fakta bahwa lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Indonesia masih menjadi penyumbang tingkat pengangguran terbuka tertinggi. Kesenjangan ini secara umum disebabkan oleh kurangnya keterampilan yang relevan (skills) dan ketidaksesuaian kompetensi tamatan dengan harapan pemangku kepentingan, baik sekolah maupun industri (stakeholder). Dalam konteks ini, Uji Kompetensi Keahlian (UKK) ditetapkan sebagai mekanisme vital untuk menjamin kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) lulusan SMK.

Penelitian ini berangkat dari kebutuhan mendasar untuk mengevaluasi efektivitas pelaksanaan UKK Teknik Kendaraan Ringan Otomotif (TKRO) SMK di Kota Yogyakarta, sebuah studi yang jarang dilakukan secara komprehensif. Dengan mengadopsi model evaluasi Context, Input, Process, dan Product (CIPP), penelitian ini secara sistematis memetakan perjalanan logis temuan, mulai dari kesesuaian kebijakan hingga hasil akhir penyerapan tenaga kerja.

Kerangka riset dimulai dengan menetapkan validitas instrumen melalui expert judgement dari pakar pendidikan dan praktisi industri. Langkah selanjutnya adalah pengumpulan data dari 7 Ketua Kompetensi Keahlian (K3), 18 Asesor, dan 23 Guru Produktif melalui observasi, dokumentasi, dan kuesioner. Secara berurutan, evaluasi CIPP mengalirkan temuan:

  1. Context (Konteks): Penilaian menunjukkan bahwa kebijakan dan tujuan UKK secara umum sudah sesuai dengan standar dan kebutuhan untuk mengukur capaian kompetensi. Namun, benih kerentanan mulai terlihat pada butir yang menyangkut orientasi masa depan.
  2. Input (Masukan): Aspek ini mencakup kualifikasi asesor, materi uji, serta sarana dan prasarana. Secara umum, aspek Input dinilai Sangat Baik oleh K3 dan Asesor, didukung oleh terpenuhinya standar TUK (Tempat Uji Kompetensi) dan kualifikasi asesor yang memiliki sertifikat kompetensi yang relevan. Kesiapan operasional ini menjadi pondasi bagi pelaksanaan yang optimal.
  3. Process (Proses): Aspek yang berfokus pada jadwal, prosedur, dan prinsip penilaian menunjukkan kinerja terbaik, secara konsisten dinilai Sangat Baik oleh ketiga kelompok responden (K3, Asesor, dan Guru Produktif). Temuan ini mengindikasikan bahwa secara tata kelola dan operasional pelaksanaan UKK sudah berjalan dengan efektif, termasuk penerapan protokol kesehatan.
  4. Product (Produk): Aspek terakhir yang menilai hasil, sertifikat, dan pengakuan di dunia kerja menunjukkan adanya defisit kritis. Meskipun operasional pelaksanaan telah baik (Process), hasil luaran ini yang menentukan apakah tujuan link and match tercapai.

Melalui perjalanan logis ini, penelitian menegaskan bahwa masalah utama dalam UKK TKRO bukanlah pada tataran operasional harian (Process), melainkan pada tingkat strategis (Context) dan dampak jangka panjang (Product).

Sorotan Data Kuantitatif: Mengidentifikasi Titik Kritis

Analisis data kuantitatif yang diperoleh dari kuesioner menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara tingginya kualitas pelaksanaan internal dengan rendahnya dampak eksternal. Secara umum, aspek Process adalah yang paling kuat, dengan rata-rata penilaian Asesor mencapai 3,73 (pada skala maksimal 4,0), yang menempatkannya pada kategori Sangat Baik.

Sebaliknya, aspek Product, yang merupakan indikator akhir dari kesuksesan, mendapatkan skor terendah. Penilaian Guru Produktif berada di angka 3,34, yang menempatkannya di kategori Baik namun sangat mendekati ambang batas Cukup (2,80).

Secara kuantitatif, temuan mendalam menunjukkan bahwa aspek Product memiliki skor terendah (skor Guru Produktif 3,34, menempatkannya pada kategori Baik namun hampir menyentuh ambang batas Cukup), mengindikasikan bahwa hasil UKK belum sepenuhnya diakui. Temuan ini secara kritis terhubung dengan skor terendah pada aspek Context, khususnya butir C11 yang menanyakan tentang peluang kerja internasional (skor terendah 2,82 dari Guru Produktif, dikategorikan Baik), menunjukkan potensi kritis untuk objek penelitian baru: mengukur korelasi antara orientasi kurikulum internasional dengan tingkat penyerapan tenaga kerja. Jarak skor minimal pada butir terendah aspek Context (2,82) dan Product (Butir D18: Komitmen DUDI/IDUKA dalam penyerapan, skor 2,88) dari Guru Produktif memperlihatkan tantangan ganda dalam relevansi global dan komitmen penyerapan lokal, yang memerlukan riset terfokus.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Penelitian ini memberikan tiga kontribusi substansial bagi literatur pendidikan vokasi:

Pertama, secara metodologis, studi ini memvalidasi model CIPP sebagai kerangka evaluasi yang efektif dan holistik untuk menilai program sertifikasi keahlian, membedah UKK menjadi komponen Context, Input, Process, dan Product yang dapat diukur secara kuantitatif-deskriptif. Model ini membantu peneliti mengalokasikan sumber masalah secara spesifik, yang mana dalam kasus ini, masalahnya bukan terletak pada operasional (Proses yang Sangat Baik) melainkan pada luaran strategis (Produk yang Baik/Cukup).

Kedua, secara empiris, studi ini secara eksplisit mengidentifikasi titik lemah utama yang menghambat link and match sejati. Temuan menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara kualitas input dan proses (Internal, rata-rata Sangat Baik) dengan pengakuan dan komitmen industri terhadap hasil (Eksternal, rata-rata Baik). Ini menyumbangkan bukti bahwa perbaikan internal SMK saja tidak akan cukup tanpa adanya intervensi kolaboratif yang lebih kuat dengan Dunia Usaha dan Dunia Industri/Industri dan Dunia Kerja (DUDI/IDUKA).

Ketiga, riset ini menyoroti perlunya orientasi global dalam kurikulum vokasi. Dengan skor terendah yang berpusat pada peluang kerja internasional (butir C11: 2,82), studi ini menyajikan urgensi bagi pemerintah dan lembaga sertifikasi untuk menyesuaikan kebijakan agar selaras dengan tuntutan kualifikasi SDM global, sebagaimana diamanatkan oleh Perpres No. 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun menyajikan temuan yang kuat, penelitian ini memiliki keterbatasan yang memunculkan pertanyaan terbuka mendasar untuk riset ke depan. Pertama, lingkup studi terbatas pada SMK TKRO di Kota Yogyakarta. Hal ini membatasi generalisasi hasil, terutama mengingat keberagaman skema UKK yang digunakan (LSP-P1 dan Mandiri) di antara sekolah yang diteliti. Kedua, pelaksanaan riset dilakukan selama masa darurat Pandemi COVID-19 , yang dapat memengaruhi penilaian responden terkait prosedur UKK (P5, menerapkan protokol kesehatan, skor tertinggi) dan kesiapan peserta didik (P6, bertanggung jawab, skor terendah).

Dari keterbatasan ini, muncul beberapa pertanyaan terbuka yang krusial untuk agenda riset akademik berikutnya:

  1. Korelasi Kinerja vs. Penyerapan Aktual: Sejauh mana hasil UKK yang dikategorikan "Baik" (skor 3,34) berkorelasi secara statistik dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang sebenarnya (data tracer study setelah 6-12 bulan kelulusan)?
  2. Mekanisme Komitmen Industri: Mengapa komitmen DUDI/IDUKA dalam menyerap tenaga kerja (butir D18: 2,88) tetap rendah, meskipun TUK dan Kualifikasi Asesor telah dinilai Sangat Baik (Butir I26: 3,81)? Apakah ada faktor penghambat di luar kendali sekolah, seperti isu upah, soft skill non-teknis, atau kondisi pasar kerja makro?
  3. Standar Uji Internasional: Bagaimana mengintegrasikan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) dalam materi uji kompetensi (MUK) agar secara otomatis memenuhi persyaratan sertifikasi internasional, guna mengatasi skor terendah pada butir C11 (2,82)?.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Berdasarkan titik-titik lemah yang teridentifikasi, berikut adalah lima rekomendasi riset berkelanjutan yang secara eksplisit diarahkan untuk komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah riset:

1. Studi Kausalitas Lintas Daerah pada Efektivitas UKK dan Employability

  • Rekomendasi Riset: Melakukan studi kuantitatif-kausalitas dengan menggunakan Analisis Jalur (Path Analysis) untuk menguji secara statistik pengaruh simultan dari kualitas Input (kualifikasi asesor/MUK) dan Process (prosedur) terhadap Product (penyerapan lulusan) di berbagai provinsi dengan tingkat pengangguran SMK yang berbeda.
  • Justifikasi Ilmiah: Temuan bahwa aspek Process (skor 3,62) tidak serta merta menghasilkan aspek Product yang optimal (skor 3,36) menunjukkan adanya variabel mediasi atau moderasi yang belum terungkap. Riset lanjutan ini akan membedah rantai kausalitas ini, memberikan rekomendasi kebijakan yang lebih presisi, tidak hanya berfokus pada perbaikan teknis.

2. Pengembangan Model MUK Berbasis Adaptasi Teknologi Industri 4.0

  • Rekomendasi Riset: Merancang dan menguji validitas serta reliabilitas sebuah Model Materi Uji Kompetensi (MUK) yang mengadopsi standar teknologi otomotif mutakhir (misalnya, sistem Electronic Fuel Injection atau mobil listrik) dan mengacu pada standar Industri/DUDI/IDUKA Skala Nasional/Internasional. Fokus pada butir I15 (Materi Uji Kompetensi mengacu pada Standar Khusus Industri, skor terendah dari Asesor: 3,34).
  • Justifikasi Ilmiah: Skor terendah pada aspek Input (I15) menunjukkan bahwa MUK saat ini belum sepenuhnya relevan dengan tuntutan standar khusus industri. Pada era Revolusi Industri 4.0, MUK harus bergerak melampaui kompetensi dasar dan secara eksplisit mengukur transfer skill (kemampuan beradaptasi dengan peralatan baru) dan contingency management skill (kemampuan mengatasi masalah) yang merupakan tuntutan tinggi industri.

3. Riset Kualitatif Fenomenologi tentang Komitmen Penyerapan Industri

  • Rekomendasi Riset: Melakukan studi kualitatif mendalam menggunakan pendekatan fenomenologi atau Ground Theory dengan subjek Manajer Sumber Daya Manusia (SDM) dan Decision Maker dari DUDI/IDUKA. Tujuannya adalah untuk mengungkap persepsi, kriteria penolakan, dan alasan di balik rendahnya komitmen penyerapan tenaga kerja lulusan (Butir D18, skor Guru Produktif 2,88).
  • Justifikasi Ilmiah: Data kuantitatif telah menunjukkan masalah pada Product (D18), namun belum menjelaskan mengapa. Riset kualitatif diperlukan untuk menggali faktor non-teknis, seperti tuntutan soft skills, etos kerja, atau ketidaksesuaian budaya industri/perusahaan yang mungkin menjadi hambatan utama, melengkapi perspektif kuantitatif dalam paper ini.

4. Analisis Komparatif Kurikulum Vokasional Global dan Lokal (C11)

  • Rekomendasi Riset: Studi komparatif internasional yang membandingkan kurikulum dan skema sertifikasi UKK TKRO Indonesia dengan negara-negara maju yang memiliki tingkat penyerapan tenaga kerja vokasi yang tinggi. Fokus pada pemetaan butir kompetensi yang secara eksplisit mendukung peluang kerja internasional (butir C11, skor terendah 2,82).
  • Justifikasi Ilmiah: Skor C11 yang sangat rendah merupakan alarm bahwa UKK saat ini tidak memposisikan lulusan untuk bersaing secara global. Riset ini akan menyediakan peta jalan (gap analysis) untuk meningkatkan SKKNI ke level yang diakui internasional, memastikan bahwa investasi dalam pendidikan vokasi berkontribusi pada daya saing SDM di pasar kerja dunia.

5. Evaluasi Sikap dan Tanggung Jawab Peserta Uji Kompetensi (Soft Skills)

  • Rekomendasi Riset: Mengembangkan dan menguji instrumen pengukuran psikometri yang fokus pada dimensi Sikap dan Tanggung Jawab peserta uji kompetensi (P6, skor K3 terendah 3,29). Metode dapat mencakup observasi terstruktur selama ujian atau survei retrospektif.
  • Justifikasi Ilmiah: Temuan menunjukkan bahwa peserta didik belum sepenuhnya siap melaksanakan UKK dengan bertanggung jawab (P6) , yang berimplikasi pada kualitas hasil. Penelitian ini penting karena soft skills dan karakter seringkali menjadi faktor penentu penyerapan kerja. Pengukuran yang valid akan memungkinkan sekolah untuk mengembangkan program intervensi spesifik sebelum UKK.

Fokus pada keterhubungan antara temuan saat ini dan potensi jangka panjang sangat penting. Keunggulan operasional yang ditemukan pada aspek Process (skor 3,62) hanya merupakan prasyarat, bukan hasil akhir. Jika keunggulan operasional ini tidak dialihkan untuk memecahkan defisit pada aspek Product (skor 3,36) —terutama dalam komitmen penyerapan dan orientasi global—maka tujuan Revitalisasi SMK, yang diamanatkan oleh Inpres Nomor 9 Tahun 2016, tidak akan tercapai, dan Indonesia akan terus bergulat dengan tingginya tingkat pengangguran lulusan vokasi. Potensi jangka panjang terletak pada kemampuan untuk mentransformasi UKK dari sekadar proses administratif menjadi sebuah pengakuan kompetensi yang dihormati secara internasional dan secara otomatis menjamin link and match di tingkat nasional.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), dan asosiasi industri otomotif utama (IDUKA skala nasional) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil dan rekomendasi.

DOI resmi sebagai acuan utama: https://doi.org/10.21831/jpvo.v5i2.59527

 

Selengkapnya
Mengukur Kesiapan Kerja Lulusan Otomotif SMK: Evaluasi CIPP Mendalam dan Arah Riset Berkelanjutan untuk Memperkuat Link and Match Global.

Manajemen Sumber Daya Manusia

: Kinerja vs. Keselamatan: Mengapa Sektor Konstruksi Ghana Harus Berinvestasi pada K3 Sekarang

Dipublikasikan oleh Raihan pada 21 Oktober 2025


Membongkar Paradoks K3 di Ghana: Tinjauan Riset Segbenya & Yeboah (2022) dan Peta Jalan untuk Riset Mendatang

Sektor konstruksi memberikan kontribusi fundamental bagi pembangunan sosial-ekonomi di Ghana. Namun, kemajuan ini dibayangi oleh tantangan besar: tingginya angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Insiden ini tidak hanya menyebabkan hilangnya nyawa tetapi juga berdampak negatif langsung pada kinerja karyawan dan organisasi. Di tengah lanskap di mana kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (OHS) sering diabaikan karena buruknya budaya keselamatan atau terdesak oleh kepentingan ekonomi lainnya, penelitian oleh Moses Segbenya dan Esi Yeboah (2022) hadir sebagai kontribusi kritis.

Menggunakan desain penelitian deskriptif kuantitatif dengan sampel 120 karyawan dari Consar Construction Ltd, studi ini mengeksplorasi pengaruh OHS terhadap kinerja pekerja konstruksi di Ghana. Penelitian ini bergerak melampaui sekadar konfirmasi bahwa K3 itu penting; ia membedah jalur logis dari kebijakan, kesadaran, praktik, hingga dampaknya pada kinerja, sambil menyoroti tantangan implementasi yang krusial.

Perjalanan temuan penelitian ini mengungkap sebuah paradoks. Di satu sisi, OHS di perusahaan yang diteliti sebagian besar telah sesuai dengan praktik terbaik internasional, seperti penyediaan Alat Pelindung Diri (APD) dan kesadaran antar rekan kerja. Di sisi lain, para peneliti menemukan kegagalan implementasi yang fatal: kurangnya induksi, orientasi, dan kursus penyegaran (refresher courses) K3 yang teratur bagi pekerja.

Kesenjangan ini menciptakan diskoneksi berbahaya. Studi ini menemukan bahwa meskipun mayoritas pekerja (70.8%) sadar akan adanya kebijakan K3, angka yang hampir identik (71.7%) telah menyaksikan kecelakaan atau penyakit di tempat kerja dalam 12 bulan terakhir. Ini menunjukkan bahwa keberadaan kebijakan di atas kertas gagal diterjemahkan menjadi lingkungan kerja yang aman, kemungkinan besar karena kegagalan dalam pelatihan reguler dan penegakan hukum.

Puncak dari penelitian ini adalah analisis regresi yang mengukur dampak kegagalan ini. Temuan ini menunjukkan hubungan kuat yang signifikan secara statistik antara OHS dan Kinerja Karyawan, dengan nilai Beta 0.728 (p=.000). OHS ditemukan menjelaskan 30.4% (R-Square = 0.304) varian dalam kinerja karyawan. Data kuantitatif ini secara deskriptif menunjukkan bahwa ketika OHS dikelola dengan baik, kinerja karyawan meningkat secara signifikan. Sebaliknya, pengabaian OHS secara langsung menekan kinerja.

Lantas, mengapa kesenjangan implementasi ini terjadi? Studi ini mengidentifikasi beberapa tantangan utama (RQ4):

  1. Biaya: Manajemen merasa bahwa biaya pelatihan K3 reguler terlalu tinggi.
  2. Budaya Takut: Pekerja takut dipecat jika melaporkan cedera atau insiden ringan, yang berarti data kecelakaan kemungkinan besar tidak dilaporkan secara akurat (underreported). Prosedur pelaporan juga ditemukan tidak jelas, dengan hanya 40% responden yang yakin akan adanya prosedur tersebut.
  3. Kompetensi: Ada kesulitan dalam mendapatkan personel K3 yang kompeten untuk mempromosikan praktik di tempat kerja.

Secara krusial, temuan ini menantang Teori Domino Heinrich (Heinrich Domino's theory) klasik, yang menyatakan bahwa 88% kecelakaan disebabkan oleh tindakan tidak aman pekerja. Sebaliknya, Segbenya dan Yeboah menyimpulkan bahwa tanggung jawab yang lebih besar justru terletak pada manajemen. Kegagalan manajemen untuk menyediakan pelatihan reguler dan membina budaya pelaporan yang aman adalah akar penyebab kecelakaan, bukan semata-mata kesalahan pekerja.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Studi oleh Segbenya dan Yeboah (2022) memberikan tiga kontribusi utama bagi komunitas akademik dan praktisi OHS:

  1. Pergeseran Paradigma Tanggung Jawab: Kontribusi teoretis paling signifikan adalah pembalikan sebagian dari Teori Domino Heinrich dalam konteks Ghana. Dengan menyoroti kegagalan dalam pelatihan reguler dan "budaya takut" melaporkan, penelitian ini memindahkan fokus dari "tindakan tidak aman" pekerja ke "kelalaian manajerial" sebagai prediktor utama kecelakaan.
  2. Kuantifikasi Dampak Kinerja: Penelitian ini menyediakan bukti empiris yang vital (Beta = 0.728) yang secara langsung menghubungkan praktik OHS dengan kinerja karyawan di sektor konstruksi Ghana. Ini membuktikan bahwa investasi dalam OHS bukanlah sekadar pusat biaya (cost center), melainkan pendorong kinerja (performance driver).
  3. Identifikasi Hambatan Kultural: Studi ini mengidentifikasi "takut dipecat" sebagai penghalang implementasi K3 yang kritis. Ini menyiratkan bahwa data kecelakaan resmi kemungkinan besar tidak akurat dan bahwa intervensi teknis (seperti APD) tidak akan berhasil tanpa mengatasi masalah keamanan psikologis dan keamanan kerja (job security).

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun memberikan wawasan penting, penelitian ini memiliki keterbatasan yang justru membuka jalan bagi penyelidikan di masa depan. Pertama, studi ini berfokus pada satu perusahaan konstruksi besar, Consar Construction Ltd. Meskipun perusahaan ini signifikan, temuan ini mungkin tidak dapat digeneralisasi ke seluruh sektor konstruksi Ghana, terutama pada kontraktor skala kecil dan menengah dengan sumber daya yang berbeda.

Kedua, model regresi menunjukkan bahwa OHS menjelaskan 30.4% varian kinerja, yang berarti 69.6% sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak termasuk dalam studi ini. Hal ini memunculkan pertanyaan: Faktor apa lagi (misalnya, kompensasi, gaya kepemimpinan, keamanan kerja) yang berinteraksi dengan OHS untuk memengaruhi kinerja?

Ketiga, temuan tentang "kurangnya personel kompeten" dan "biaya training tinggi" masih bersifat deskriptif. Pertanyaan terbuka yang mendesak adalah:

  • Apa bottleneck spesifik dalam rantai pasokan talenta OHS di Ghana (pendidikan, sertifikasi, atau gaji)?
  • Bagaimana persepsi "biaya tinggi" dapat dilawan dengan data Return on Investment (ROI) yang kuat dari intervensi K3?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Berdasarkan temuan, kontribusi, dan keterbatasan yang disajikan oleh Segbenya dan Yeboah, agenda penelitian berikut direkomendasikan untuk peneliti dan lembaga pendanaan.

  1. Riset Intervensi: Analisis ROI Pelatihan K3 Reguler
  • Justifikasi Ilmiah: Temuan utama paper ini adalah kegagalan dalam menyediakan pelatihan K3 reguler (induksi, orientasi, penyegaran), yang didorong oleh persepsi manajemen tentang "biaya tinggi". Paper ini berargumen bahwa biaya kemanusiaan dan hukum lebih besar, tetapi argumen ini memerlukan data ROI yang kuat.
  • Arah Riset Baru: Melakukan studi intervensi longitudinal quasi-experimental. Peneliti harus membandingkan beberapa lokasi konstruksi: (A) Kontrol (tanpa perubahan), (B) Intervensi 1 (pelatihan K3 on-the-job berbiaya rendah), dan (C) Intervensi 2 (pelatihan off-the-job komprehensif). Variabel dependen harus mencakup (a) biaya moneter pelatihan, (b) frekuensi dan tingkat keparahan insiden (termasuk near-misses), dan (c) metrik kinerja (waktu penyelesaian tugas, kualitas kerja). Studi semacam itu akan secara langsung menguji apakah penghematan dari pengurangan kecelakaan dan peningkatan kinerja melebihi biaya investasi pelatihan.
  1. Studi Mixed-Methods: Mengatasi "Budaya Takut" dengan Pelaporan Anonim
  • Justifikasi Ilmiah: Studi ini mengungkap bahwa pekerja "takut dipecat" jika melaporkan cedera ringan, dan prosedur pelaporan yang ada tidak jelas bagi banyak pekerja. Ini menunjukkan bahwa data keselamatan tidak akurat.
  • Arah Riset Baru: Menerapkan desain penelitian mixed-methods yang mengevaluasi dampak sistem pelaporan anonim (misalnya, hotline independen atau aplikasi seluler) terhadap budaya keselamatan. Fase kualitatif akan mengeksplorasi persepsi pekerja tentang keamanan psikologis. Fase kuantitatif akan membandingkan (a) volume dan jenis laporan insiden (terutama near-misses) sebelum dan sesudah implementasi sistem anonim, dan (b) skor kinerja tim. Hipotesisnya adalah bahwa anonimitas akan meningkatkan pelaporan, menyediakan data yang lebih baik untuk pencegahan proaktif, dan memutus siklus "takut".
  1. Studi Kohort: Dampak Kesehatan Jangka Panjang (Pasca-Konstruksi)
  • Justifikasi Ilmiah: Paper ini secara eksplisit merekomendasikan penelitian di luar kecelakaan di tempat kerja untuk melihat "efek lingkungan berdebu terhadap kesehatan pekerja konstruksi setelah aktivitas konstruksi". Ini adalah perluasan penting dari OHS, dari "keselamatan" (kecelakaan) menjadi "kesehatan" (penyakit akibat kerja).
  • Arah Riset Baru: Melakukan studi kohort prospektif. Merekrut sekelompok pekerja konstruksi baru dan melacak mereka selama 5-10 tahun. Variabel independen akan mencakup tingkat paparan debu di tempat kerja (diukur melalui pemantauan udara) dan penggunaan APD. Variabel dependen akan menjadi insiden penyakit pernapasan jangka panjang yang didiagnosis secara klinis. Penelitian ini sangat penting untuk memahami total biaya kemanusiaan dari sektor ini, di luar statistik kecelakaan yang terlihat.
  1. Pemodelan Struktural: OHS dalam Konteks Manajemen SDM Holistik
  • Justifikasi Ilmiah: Model regresi menyisakan 69.6% varian kinerja tidak terjelaskan. Para penulis secara eksplisit menyarankan penelitian masa depan untuk melihat isu-isu SDM lainnya, seperti "masalah jaminan sosial" dan "tantangan retensi atau turnover".
  • Arah Riset Baru: Menggunakan Structural Equation Modeling (SEM) untuk menguji model yang lebih komprehensif. Model ini harus memposisikan praktik OHS (variabel laten) bersama dengan variabel laten lainnya seperti (a) Keamanan Kerja (terkait dengan "takut dipecat"), (b) Jaminan Sosial, dan (c) Kompensasi. Model ini dapat menguji hipotesis bahwa OHS yang buruk hanyalah gejala dari praktik manajemen eksploitatif yang lebih luas, dan bagaimana variabel-variabel ini secara kolektif memprediksi turnover dan kinerja.
  1. Analisis Rantai Pasokan: Mengurai Bottleneck Kompetensi OHS
  • Justifikasi Ilmiah: Hambatan signifikan yang diidentifikasi adalah kesulitan "mendapatkan personel kesehatan dan keselamatan yang kompeten". Ini adalah masalah sistemik yang tidak dapat diselesaikan oleh satu perusahaan saja.
  • Arah Riset Baru: Melakukan analisis rantai pasokan talenta OHS di Ghana. Penelitian ini harus kualitatif, melibatkan wawancara mendalam dengan pemangku kepentingan utama: (a) institusi pendidikan tinggi dan pelatihan yang menawarkan program OHS, (b) badan sertifikasi profesional, (c) regulator pemerintah, dan (d) manajer perekrutan di berbagai perusahaan konstruksi. Tujuannya adalah untuk memetakan alur talenta dan mengidentifikasi bottleneck spesifik: Apakah masalahnya adalah kurangnya program, biaya sertifikasi yang mahal, gaji yang tidak kompetitif, atau ketidaksesuaian keterampilan antara kurikulum dan kebutuhan industri?

Ajakan untuk Kolaborasi

Studi Segbenya dan Yeboah (2022) telah meletakkan fondasi yang kuat, memberikan bukti kuantitatif (Beta=0.728) bahwa OHS adalah pendorong kinerja vital di Ghana. Penelitian ini secara tepat menggeser beban tanggung jawab dari pekerja ke manajemen, terutama dalam hal pelatihan dan budaya pelaporan.

Untuk membangun temuan ini dan mengatasi pertanyaan terbuka yang kompleks—terutama seputar ROI pelatihan, budaya takut, dan pasokan talenta kompeten—penelitian di masa depan tidak dapat dilakukan secara terisolasi. Diperlukan upaya kolaboratif. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan kemitraan antara institusi akademik (seperti University of Cape Coast), regulator pemerintah yang menegakkan kerangka kerja (seperti Factories, Offices and Shops Act 1970), dan asosiasi industri konstruksi Ghana untuk memastikan bahwa temuan tidak hanya valid secara akademis tetapi juga relevan secara praktis dan berkelanjutan.

Baca paper aslinya di sini (https://doi.org/10.1177/11786302221137222)

 

Selengkapnya
: Kinerja vs. Keselamatan: Mengapa Sektor Konstruksi Ghana Harus Berinvestasi pada K3 Sekarang
« First Previous page 45 of 1.279 Next Last »