Sektor elektronik memiliki kontribusi signifikan terhadap perekonomian Indonesia, dengan sumbangan sekitar 1,9% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, di balik angka tersebut, tersembunyi tantangan besar: peningkatan timbulan limbah elektronik (e-waste) yang mencapai 2,1 juta ton pada tahun 2023. Mayoritas pengelolaan e-waste masih dilakukan oleh sektor informal tanpa sistem pengawasan yang memadai, sehingga berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dan sosial yang luas.
Dalam kerangka ekonomi sirkular, sektor elektronik memainkan peran strategis karena melibatkan berbagai bahan baku kritis yang langka dan bernilai tinggi, seperti logam tanah jarang dan nikel. Melalui penerapan prinsip 9R—terutama repair, refurbish, remanufacture, dan recycle—Indonesia dapat memperpanjang umur produk elektronik, mengurangi ketergantungan impor bahan baku, serta menciptakan rantai pasok baru yang lebih berkelanjutan.
Tantangan dan Arah Kebijakan Pengelolaan E-Waste
Meskipun sejumlah peraturan seperti UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah dan PP No. 27/2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik telah diterbitkan, hingga kini belum ada regulasi turunan yang secara khusus mengatur limbah elektronik. Akibatnya, sistem pengumpulan dan pemulihan material masih terbatas. Dari dua fasilitas daur ulang utama di Indonesia, hanya 15% kapasitasnya yang benar-benar digunakan.
Tantangan lain meliputi:
-
Minimnya fasilitas pengumpulan di tingkat kota/kabupaten,
-
Lemahnya penerapan kebijakan Extended Producer Responsibility (EPR) di sektor elektronik,
-
Rendahnya inovasi ekodesain produk, serta
-
Belum terbentuknya ekosistem pengelolaan baterai kendaraan listrik (KBLBB).
Padahal, penerapan ekonomi sirkular dalam sektor elektronik dapat mengurangi tekanan terhadap sumber daya alam sekaligus memperkuat ketahanan pasokan bahan baku kritis.
Rantai Nilai Sirkular dan Pelaku Utama
Dalam sistem sirkular, rantai nilai sektor elektronik tidak berhenti di tahap konsumsi. Ia mencakup tahapan lanjutan seperti pemeliharaan, pengumpulan, dan pemulihan material. Setiap aktor — mulai dari produsen bahan baku, pabrikan, distributor, konsumen, hingga pendaur ulang — memainkan peran penting dalam memperpanjang umur produk dan mengurangi timbulan limbah.
Ekosistem ideal memungkinkan praktik repair dan remanufacturing berjalan sejajar dengan kegiatan produksi baru. Di sisi lain, fasilitas pemulihan material berperan dalam memisahkan komponen bernilai tinggi dari limbah elektronik, seperti logam tembaga, aluminium, dan emas, untuk dimanfaatkan kembali.
Praktik Terbaik dan Inovasi Lokal
Beberapa inisiatif menunjukkan bahwa transisi ke arah ekonomi sirkular mulai mendapatkan momentum:
-
Schneider Electric telah menerapkan transparansi produk dan kemasan berbahan daur ulang, dengan target 100% bahan kemasan dari sumber sirkular pada 2025.
-
Dulang, sebuah startup lokal, mengembangkan layanan lifecycle management elektronik melalui perbaikan, pembaruan (refurbish), dan penjualan kembali perangkat bekas, sekaligus menjalin kemitraan dengan BUMN dan pemerintah daerah.
-
DKI Jakarta menjadi contoh peran pemerintah daerah melalui penyediaan drop box dan layanan penjemputan gratis limbah elektronik untuk didaur ulang secara resmi.
Di tingkat global, praktik serupa dilakukan oleh TES-AMM, perusahaan pengelolaan aset teknologi asal Singapura yang telah mengelola lebih dari 100.000 ton aset elektronik dengan tingkat pemanfaatan ulang hingga 98%.
Strategi Nasional dan Tahapan Implementasi
Peta jalan ekonomi sirkular sektor elektronik Indonesia dibagi menjadi empat tahap hingga 2045:
-
2025–2029: Penguatan regulasi nasional, penyusunan sistem EPR elektronik, dan pembangunan infrastruktur dasar.
-
2030–2034: Akselerasi aksi lapangan melalui penguatan fasilitas daur ulang dan pelaporan EPR oleh industri.
-
2035–2039: Penguatan ekonomi daerah dan peningkatan kapasitas fasilitas pemulihan material di kota besar.
-
2040–2045: Pembentukan model bisnis sirkular yang terintegrasi dalam sistem ekonomi nasional.
Empat strategi utama mendukung peta jalan ini:
-
Pengembangan kebijakan dan regulasi EPR elektronik,
-
Peningkatan infrastruktur pemulihan material dan kapasitas sektor informal,
-
Penerapan ekodesain dan inovasi produk,
-
Pengembangan ekosistem sirkular untuk teknologi baru dan baterai kendaraan listrik (KBLBB).
Ekosistem Baterai KBLBB: Antara Tantangan dan Peluang
Dalam lima tahun ke depan, volume limbah baterai kendaraan listrik diproyeksikan meningkat tajam. Tanpa regulasi dan infrastruktur yang siap, hal ini dapat menjadi krisis lingkungan baru. Padahal, baterai KBLBB mengandung logam berharga seperti nikel, litium, dan kobalt yang dapat dipulihkan untuk digunakan kembali dalam rantai industri nasional.
Strategi pemerintah mencakup pembentukan regulasi siklus hidup baterai, pembangunan infrastruktur logistik penanganan end-of-life (EoL), serta peningkatan proporsi energi terbarukan dalam jaringan pengisian daya (charging infrastructure).
Langkah ini sejalan dengan upaya memperkuat rantai nilai industri kendaraan listrik domestik, sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan baku energi.
Kesimpulan
Ekonomi sirkular sektor elektronik dan KBLBB membuka peluang besar bagi Indonesia untuk memadukan inovasi industri, keberlanjutan lingkungan, dan ketahanan ekonomi. Keberhasilan transformasi ini bergantung pada konsistensi kebijakan, investasi pada infrastruktur daur ulang, dan keterlibatan aktif semua pihak — pemerintah, industri, akademisi, serta masyarakat. Dengan memperkuat ekosistem sirkular, Indonesia bukan hanya mengelola limbahnya lebih bijak, tetapi juga membangun masa depan ekonomi digital dan energi bersih yang lebih tangguh.
Daftar Pustaka
Bappenas. (2024). Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia 2025–2045. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. (2020). Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik. Jakarta: KLHK RI.
Ellen MacArthur Foundation. (2021). Circular Electronics Initiative: Redesigning the Future of E-Waste. Cowes: Ellen MacArthur Foundation.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). Global E-Waste Monitor 2023: Pathways to Circular Electronics. Paris: OECD Publishing.
United Nations Environment Programme (UNEP). (2022). Building Circularity into E-Waste Management: Regional Outlook for Asia-Pacific. Nairobi: UNEP.
TES-AMM Global. (2023). Circular Electronics and Battery Recovery: Case Studies from Southeast Asia. Singapore: TES-AMM.
World Economic Forum. (2022). A New Circular Vision for Electronics: Time for a Global Reboot. Geneva: WEF.