Bukan 'Salah Sopir': Mengapa Desain Jalan Pedesaan Adalah Jebakan Maut (Sebuah Ulasan Paper)

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic

13 November 2025, 14.27

Bukan 'Salah Sopir': Mengapa Desain Jalan Pedesaan Adalah Jebakan Maut (Sebuah Ulasan Paper)

Kita semua pernah merasakannya. Sensasi tegang saat mengemudi atau berjalan di jalanan pedesaan yang baru diaspal mulus. Aspalnya hitam legam, garis-garisnya putih bersih, mengundang kita untuk melaju kencang. Tapi di kiri dan kanan, kehidupan desa tumpah ruah: anak-anak berlarian, warung-warung kecil, dan para lansia berjalan pelan di tepi jalan.

Setiap kali saya berada di situasi itu, ada perasaan ngeri yang menjalar. Rasanya seperti dua dunia yang seharusnya tidak bertemu, dipaksa bertabrakan oleh selembar aspal. Kita biasanya menyalahkan "sopir gila" yang ngebut atau "pejalan kaki nekat" yang menyeberang sembarangan.

Tapi bagaimana jika... bukan keduanya? Bagaimana jika desain jalan itu sendiri yang membenturkan mereka?

Saya baru saja 'tersesat' selama berjam-jam dalam sebuah paper penelitian oleh Xiaoli Xie, Alexandros Nikitas, dan Hongqi Liu. Penelitian ini meneliti secara mendalam 28 kecelakaan fatal—ya, fatal, yang berarti seseorang kehilangan nyawanya—di persimpangan jalan pedesaan bervolume rendah di Tiongkok Barat Daya.   

Dan apa yang mereka temukan... itu memvalidasi perasaan tegang tadi. Itu memberi data pada kengerian yang kita rasakan secara intuitif.

Ini bukan masalah kecil. Di Tiongkok, pejalan kaki adalah proporsi tertinggi dari semua kematian di jalan raya, mencapai 24,96%. Dan masalahnya semakin parah, terutama di pedesaan. Antara awal 2000-an dan awal 2010-an, tingkat kematian di jalan pedesaan Tiongkok melonjak 131%, sementara di perkotaan 'hanya' naik 31%. Pembangunan jalan baru yang mengilap itu, tampaknya, secara tidak sengaja telah menciptakan jebakan maut.   

Neraka Tersembunyi di Persimpangan 'T'

Para peneliti ini tidak hanya melihat data besar. Mereka melakukan otopsi mendalam pada 28 tragedi spesifik di delapan jalan pedesaan untuk menemukan pola. Dan pola yang mereka temukan sangat jelas dan mengerikan.   

Bayangkan sebuah resep untuk bencana. Inilah bahan-bahannya, berdasarkan temuan mereka:

  • 🚀 Lokasi Tragedi: 75% dari pejalan kaki ini tewas di pertigaan (T-intersections). Bukan persimpangan empat yang rumit, tapi pertigaan sederhana yang mematikan.   

  • 🤯 Desain yang Abai: 82% dari persimpangan fatal tersebut TIDAK MEMILIKI fasilitas pejalan kaki sama sekali. Bukan trotoar yang rusak. Maksudnya, tidak ada. Tidak ada zebra cross, tidak ada trotoar.   

  • 💡 Kecelakaan dalam Gelap: 50% kecelakaan terjadi pada malam hari atau dalam kondisi cahaya redup. Dan bagian terburuknya? 100% (NOL PERSEN) dari persimpangan ini memiliki penerangan jalan di atas kepala. Jalanan itu gelap gulita.   

  • 🧠 Korban Paling Rapuh: 56% dari mereka yang tewas adalah kelompok paling rentan di antara kita: anak-anak di bawah 15 tahun atau lansia di atas 65 tahun.   

  • 🚗 Faktor Kendaraan: 61% kendaraan yang terlibat dilaporkan ngebut (melebihi batas kecepatan) pada saat tabrakan.   

  • 🚶 Faktor Manusia (yang Mengejutkan): Ini bagian yang menarik. 0% (NOL) dari pejalan kaki yang tewas ditemukan sedang minum alkohol. Ini membantah stereotip "pejalan kaki mabuk yang ceroboh" yang sering kita dengar dari studi di negara lain. Masalahnya jauh lebih dalam dari itu.   

Resep ini melukiskan gambaran yang suram: seorang anak atau lansia, mencoba menyeberang jalan di pertigaan yang gelap gulita tanpa zebra cross, sementara sebuah kendaraan melaju kencang. Tragedi itu nyaris tak terhindarkan.   

Bukan Sekadar 'Siapa yang Salah', Tapi 'Mengapa Sistemnya Gagal': Memperkenalkan DREAM

Di sinilah penelitian ini menjadi benar-benar brilian. Para peneliti tidak berhenti pada "Oh, 61% ngebut. Salahkan sopirnya." Mereka menggunakan metode yang disebut DREAM (Driving Reliability and Error Analysis Method).   

Bayangkan DREAM ini seperti seorang detektif yang sangat teliti. Dalam penyelidikan kecelakaan biasa, kita menangkap 'pelaku' (sopir atau pejalan kaki) dan menutup kasus. DREAM tidak. DREAM menggeledah apartemen pelaku, mewawancarai teman-temannya, memeriksa latar belakang keluarganya, dan bahkan menyelidiki arsitek gedung tempat kejahatan itu terjadi.

Metode ini tidak hanya bertanya, "Apa kesalahan terakhir yang terjadi?" (Misalnya, 'sopir tidak mengerem'). Metode ini terus bertanya "Kenapa?" sampai ke akarnya. "Kenapa sopir tidak mengerem?" "Karena dia salah menilai situasi." "Kenapa dia salah menilai situasi?" "Karena dia tidak melihat pejalan kaki." "Kenapa dia tidak melihat pejalan kaki?" "Karena jalannya gelap dan desain rambunya tidak memadai."   

DREAM memetakan 'faktor penyebab' langsung (seperti 'salah menilai situasi') ke 'faktor penyebab utama' yang lebih dalam (seperti 'desain rambu yang tidak memadai' atau 'pelatihan yang buruk'). Ini adalah pertama kalinya metode ini digunakan untuk menganalisis kecelakaan kendaraan-pejalan kaki di Tiongkok.   

Mereka mengganti lensa—dari menyalahkan individu, menjadi menginterogasi sistem.

Apa yang Bikin Saya Terkejut: Empat 'Akar Masalah' yang Sebenarnya

Dan apa yang ditemukan 'detektif' DREAM ini? Ternyata, ada empat 'biang keladi' sistemik yang terus muncul dalam 28 kasus fatal tersebut. Empat pilar kegagalan ini adalah alasan sebenarnya mengapa 28 orang itu meninggal.   

Pertama: Desain Jalan yang 'Anti-Manusia'

Ini adalah pilar pertama dan paling fundamental: Infrastruktur keselamatan persimpangan yang kurang.   

Kita sudah lihat datanya: 82% persimpangan tidak punya fasilitas pejalan kaki, 100% tidak punya lampu. Tapi analisis DREAM menunjukkan masalah yang lebih dalam. Faktor Q1: Inadequate information design (desain informasi/rambu yang tidak memadai) adalah "faktor penyebab utama" yang ditemukan di semua pola kecelakaan yang dianalisis (baik itu motor, mobil belok, atau mobil lurus).   

Kenapa ini bisa terjadi? Paper ini menjelaskan sesuatu yang mengejutkan: "Di Tiongkok, tidak ada kerangka kerja manajemen akses untuk jalan pedesaan".   

Dalam bahasa manusiawi: Tidak ada aturan standar yang mengatur bagaimana sebuah jalan raya harus berinteraksi dengan sebuah desa. Akibatnya, jalan raya arteri baru dibangun melewati desa, dan setiap pintu rumah atau gang kecil secara de facto menjadi pertigaan liar tanpa rambu, tanpa lampu, tanpa peringatan. Ini bukan hanya desain yang buruk; ini adalah ketiadaan desain.   

Kedua: 'Ijazah Tembak' dan Pengemudi yang Sebenarnya Tidak Siap

Pilar kedua adalah Pelatihan pengemudi yang tidak memadai.   

Data menunjukkan 61% kendaraan ngebut. Analisis DREAM melacak ini ke akar penyebab seperti F6: Insufficient skills/knowledge (keterampilan/pengetahuan tidak cukup) dan N4: Inadequate training (pelatihan tidak memadai).   

Tapi ini bukan sekadar 'kurang latihan'. Paper ini mengungkap sesuatu yang jauh lebih kelam, mengutip survei lain: 73% pengemudi di salah satu provinsi yang diteliti berlatih kurang dari enam bulan. Lebih buruk lagi, dan ini adalah kutipan langsung dari analisis mereka terhadap studi lain: "beberapa sekolah mengemudi membantu orang berbuat curang dalam ujian atau menjual surat izin mengemudi".   

Ini adalah 'ijazah tembak'. Ini menjelaskan faktor DREAM lain yang muncul: F5: Overestimation of skills (terlalu percaya diri dengan keterampilan). Tentu saja mereka terlalu percaya diri; keterampilan mereka tidak pernah diuji secara nyata. Mereka punya izin, tapi tidak punya kompetensi.   

Membaca ini membuat saya berpikir betapa fundamentalnya sebuah pelatihan yang berkualitas. Kualitas pelatihan adalah garis tipis antara kompetensi dan bencana. Ini berlaku di semua bidang, baik itu mengemudi truk atau mengelola tim. Pentingnya pendidikan dan pelatihan berkelanjutan—seperti yang ditawarkan oleh platform(https://diklatkerja.com) untuk pengembangan profesional—adalah pembeda antara amatir dan ahli. Dalam konteks paper ini, itu adalah pembeda antara hidup dan mati.

Ketiga: Pejalan Kaki yang 'Tak Terlihat' dan Terabaikan

Pilar ketiga adalah Kurangnya edukasi keselamatan pejalan kaki.   

Ingat, 56% korban adalah anak-anak dan lansia , dan 89% tewas saat menyeberang. Analisis DREAM mengidentifikasi faktor utama M1: Inadequate transmission from other road users. Ini adalah jargon akademis untuk: "pejalan kaki tidak memberikan sinyal yang cukup kepada pengemudi."   

Paper ini menjelaskannya lebih lanjut: "Dalam kebanyakan kasus, pejalan kaki menyeberang jalan tanpa melihat dulu...". Mengapa mereka melakukan itu? Karena ini desa mereka. Selama puluhan tahun, mereka selalu menyeberang jalan tanah itu untuk ke warung.   

Tapi sekarang, jalan tanah itu telah di-upgrade menjadi jalan arteri mulus. Perilaku lama ("ini desaku") bertabrakan dengan realitas baru ("ini zona kecepatan tinggi"). Ini adalah kegagalan edukasi untuk mengejar kecepatan pembangunan.

Keempat: Aturan Ada, Tapi Siapa yang Peduli?

Pilar keempat, dan mungkin yang paling sinis, adalah Penegakan hukum lalu lintas yang tidak memadai.   

Ini adalah perekat yang menyatukan semua kegagalan lainnya. Lihat saja faktor DREAM paling dominan untuk pengemudi mobil yang melaju lurus (kasus paling umum, 15 dari 28 kecelakaan): F4: Habitually stretching rules and recommendations (terbiasa melanggar aturan).   

Perhatikan kata kuncinya: terbiasa. Ini bukan "tidak tahu aturan" (itu F6). Ini tahu aturannya, tapi secara terbiasa melanggarnya.

Kenapa? Karena mereka bisa. Paper ini memberikan jawaban yang brutal: "penegakan hukum lalu lintas yang lemah" karena "sumber daya polisi yang terbatas". Paper itu memberi contoh yang absurd: "tidak jarang... tiga atau empat petugas polisi lalu lintas lokal mengawasi sebanyak empat atau lima kota... yang mungkin memiliki total 0,3 juta penduduk".   

Itu adalah tugas yang mustahil. Kebiasaan melanggar aturan (F4) bukanlah kegagalan moral pengemudi; itu adalah respons rasional terhadap sistem di mana kemungkinan ditangkap hampir nol. Ketika penegakan hukum tidak ada, batas kecepatan hanyalah sebuah saran.

Opini Saya: Meski Temuannya Hebat, Ini Agak... Terbatas

Sejujurnya, metodologi DREAM yang digunakan dalam studi ini sangat membuka mata. Ia memaksa kita untuk berhenti mencari satu 'kambing hitam' dan mulai melihat cetak biru sistem yang gagal.   

Meski temuannya hebat, kita harus jujur tentang keterbatasannya. Seperti yang diakui sendiri oleh para penulis, cara analisanya didasarkan pada sampel yang sangat kecil. Hanya 28 kecelakaan.   

Apakah 28 kasus di Tiongkok Barat Daya ini mewakili semua masalah di pedesaan Tiongkok? Sulit untuk dikatakan. Para penulis berargumen bahwa fokus mereka adalah 'kualitas' analisis (kedalaman DREAM), bukan 'kuantitas'. Dan saya setuju. Tapi tetap saja, ini lebih terasa seperti potret yang sangat detail daripada sensus nasional.   

Selain itu, analisanya agak terlalu abstrak untuk pemula. Butuh beberapa kali baca bagi saya untuk memahami bagan-bagan DREAM yang rumit itu. Tapi begitu 'klik', itu mengubah segalanya.   

Pelajaran yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini (Bahkan Jika Anda Bukan Perencana Kota)

Jadi, apa yang bisa kita lakukan dengan informasi ini? Saya tidak tinggal di pedesaan Tiongkok. Saya juga bukan insinyur sipil. Tapi paper ini memberi saya tiga pelajaran besar:

  • 🚀 Hasilnya Luar Biasa: Keselamatan bukanlah tanggung jawab individu semata. Paper ini membuktikan bahwa kecelakaan adalah kegagalan sistem—kegagalan desain (infrastruktur), kegagalan pelatihan (sopir), kegagalan edukasi (pejalan kaki), dan kegagalan penegakan (polisi).   

  • 🧠 Inovasinya: Berhenti menyalahkan "sopir gila". Lain kali Anda melihat persimpangan yang terasa berbahaya, tanyakan: "Mengapa jalan ini dirancang seperti ini? Mengapa mobil merasa boleh ngebut di sini?" Metode DREAM mengajarkan kita untuk mencari 'penyebab utama' (Q1, F6, F4), bukan 'gejala' terdekat.   

  • 💡 Pelajaran: Jangan terjebak pola pikir yang sudah ada. Kebiasaan melanggar aturan (F4) seringkali dimulai karena aturannya sendiri tidak masuk akal atau, seperti dalam kasus ini, tidak ditegakkan. Ini berlaku di jalan raya, di kantor, atau dalam hidup.   

Jangan Hanya Menjadi Data Statistik

Ke-28 orang dalam penelitian ini—anak-anak, kakek-nenek, orang dewasa—mereka bukan sekadar 'data'. Mereka adalah pengingat yang tragis tentang apa yang terjadi ketika sistem gagal.

Pada akhirnya, kita semua adalah pejalan kaki. Studi ini adalah pengingat yang kuat bahwa kita berhak atas sistem yang dirancang untuk melindungi kita, bukan menjebak kita. Para peneliti merekomendasikan solusi berbiaya rendah dan mudah diterapkan: manajemen akses yang lebih baik, penenangan lalu lintas (seperti polisi tidur yang terstandarisasi), lebih banyak edukasi, dan penegakan hukum yang lebih baik. Semoga ada yang mendengarkan.   

Kalau kamu tertarik dengan analisis mendalam di baliknya, dan ingin melihat sendiri bagan-bagan 'detektif' DREAM itu, coba baca paper aslinya (link di bawah).

(https://doi.org/10.1080/15389588.2017.1387654)