Sektor ritel merupakan salah satu pilar penting ekonomi Indonesia, dengan kontribusi mencapai lebih dari 10% terhadap PDB nasional. Namun, di balik pertumbuhan tersebut tersembunyi tantangan besar: ketergantungan pada kemasan plastik sekali pakai yang berdampak serius terhadap lingkungan. Dalam konteks ekonomi sirkular, kemasan plastik menjadi fokus utama transformasi karena sifatnya yang masif digunakan, sulit terurai, dan berpotensi mencemari ekosistem darat maupun laut. Oleh karena itu, penerapan prinsip 9R dan kebijakan berbasis sirkularitas menjadi kunci untuk membangun rantai nilai ritel yang lebih efisien, hijau, dan bertanggung jawab.
Tantangan Implementasi dan Arah Kebijakan
Berdasarkan analisis Bappenas, tingkat input material sirkular sektor kemasan plastik baru mencapai 6,92%, sementara tingkat daur ulang hanya 9,16%. Rendahnya angka ini mencerminkan masih terbatasnya infrastruktur, teknologi, dan sistem kebijakan yang mendukung ekonomi sirkular di sektor ritel.
Beberapa isu utama yang diidentifikasi meliputi:
-
Pengelolaan sampah yang belum merata di tingkat daerah. Pengumpulan dan pemilahan limbah plastik masih terkonsentrasi di kota besar, sementara banyak wilayah belum memiliki sistem pengelolaan yang efektif.
-
Kurangnya intervensi di sisi hulu, terutama pada tahap desain produk. Redesain kemasan menjadi langkah penting untuk mengurangi penggunaan bahan baku baru dan meningkatkan potensi daur ulang.
-
Perlunya penguatan peran produsen melalui Extended Producer Responsibility (EPR). Sejauh ini baru 27 perusahaan yang menyusun peta jalan pengurangan sampah, dengan 8 di antaranya sudah melaporkan implementasi.
-
Pengelolaan kemasan plastik bernilai rendah (low value plastic) seperti multilayer packaging dan styrofoam masih minim, padahal volumenya sangat besar dalam aliran sampah nasional.
Pemerintah telah merespons dengan berbagai kebijakan seperti UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, Permen LHK No. 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, serta Peraturan BPOM No. 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan. Kebijakan-kebijakan ini menjadi dasar untuk membangun sistem sirkular yang terintegrasi dari hulu ke hilir.
Transformasi Menuju Ekonomi Sirkular
Model ekonomi linear tradisional—“ambil, buat, buang”—telah terbukti tidak berkelanjutan. Sebaliknya, ekonomi sirkular menekankan desain produk yang memperpanjang umur material dan memaksimalkan nilai ekonominya. Pada sektor ritel, ini berarti memperkenalkan kemasan yang dapat digunakan ulang (reusable), desain yang mudah didaur ulang (recyclable), serta pengumpulan limbah yang terintegrasi. Program seperti Alner menunjukkan potensi model bisnis sirkular di mana konsumen membeli produk dengan kemasan yang dapat dikembalikan, sementara Chandra Asri Group membuktikan bahwa plastik bernilai rendah bisa dimanfaatkan sebagai campuran aspal ramah lingkungan.
Pembelajaran Internasional dan Skema EPR di Indonesia
Denmark menjadi contoh global dalam penerapan skema EPR (Extended Producer Responsibility) yang efektif, di mana seluruh produsen wajib bertanggung jawab terhadap pengelolaan limbah kemasannya. Prinsip serupa mulai diadopsi di Indonesia melalui pembentukan Indonesia Packaging Recovery Organization (IPRO), lembaga non-profit yang menghimpun pendanaan dari produsen untuk mendukung kegiatan pengumpulan dan daur ulang. Hingga 2024, IPRO telah mengumpulkan dan mendaur ulang lebih dari 16.000 ton plastik berbagai jenis, menunjukkan peran nyata kolaborasi lintas industri dalam membangun ekosistem sirkular.
Penahapan dan Strategi Nasional
Peta jalan nasional ekonomi sirkular sektor ritel difokuskan dalam empat periode besar hingga 2045:
-
2025–2029: Pengembangan ekosistem redesain, sistem guna ulang, dan pengumpulan sampah.
-
2030–2034: Akselerasi pengadaan produk ramah lingkungan dan sistem guna ulang.
-
2035–2039: Implementasi masif solusi kemasan berkelanjutan.
-
2040–2045: Pengelolaan kemasan plastik yang berkelanjutan dan terintegrasi lintas sektor.
Empat strategi utama mendukung arah tersebut, yaitu:
-
Redesain & peningkatan kadar daur ulang kemasan plastik.
-
Pengelolaan kemasan bioplastik berbasis bahan hayati.
-
Pengembangan ekosistem guna ulang dan isi ulang.
-
Peningkatan pengumpulan, daur ulang, dan pemulihan energi dari sampah plastik.
Jika diterapkan optimal, strategi ini berpotensi mengurangi 21% timbulan sampah plastik nasional dan menambah Rp14,4 triliun pada PDB sektor ritel pada tahun 2030.
Kesimpulan
Transformasi ekonomi sirkular di sektor ritel Indonesia menandai babak baru dalam upaya menggabungkan tanggung jawab lingkungan dengan pertumbuhan ekonomi. Kemasan plastik yang dulunya menjadi simbol limbah kini berpotensi menjadi sumber daya baru—asal didukung oleh kebijakan yang konsisten, inovasi teknologi, dan kolaborasi antar pemangku kepentingan. Dengan pendekatan yang terukur dan berkelanjutan, Indonesia berpeluang menjadi contoh bagi negara berkembang lain dalam membangun rantai nilai ritel yang hijau, efisien, dan inklusif.
Daftar Pustaka
Bappenas. (2024). Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia 2025–2045. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. (2019). Peraturan Menteri LHK No. 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Jakarta: KLHK RI.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2019). Peraturan BPOM No. 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan. Jakarta: BPOM.
Indonesia Packaging Recovery Organization (IPRO). (2024). Annual Progress Report 2023: Building a Circular Plastic Ecosystem. Jakarta: IPRO.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). Global Plastic Outlook: Policy Scenarios to 2060. Paris: OECD Publishing.
Ellen MacArthur Foundation. (2021). Universal Circular Economy Policy Goals: Enabling the Transition to Scale. Cowes: EMF.
United Nations Environment Programme (UNEP). (2023). Turning Off the Tap: How the World Can End Plastic Pollution and Create a Circular Economy. Nairobi: UNEP.