Manajemen Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 30 April 2025
Pendahuluan
Pembangunan kawasan industri seperti Karawang memerlukan kualitas infrastruktur yang tinggi, termasuk dalam konstruksi lantai beton. Salah satu inovasi terbaru adalah metode superflat floor, yang dirancang untuk memenuhi standar tinggi dalam hal kerataan dan elevasi lantai. Artikel ini mengulas secara kritis implementasi manajemen konstruksi terhadap keberhasilan proyek superflat floor berdasarkan penelitian oleh Imam Muhammad Fikri, Darmawan Pontan, dan Dhanu Setyo Bhekti.
Apa Itu Superflat Floor dan Mengapa Penting?
Superflat floor adalah sistem pelat lantai beton dengan standar deviasi elevasi maksimum 3 mm dalam jarak 3 meter, sesuai spesifikasi American Concrete Institute (ACI). Lantai jenis ini digunakan di pabrik dan gudang yang menggunakan kendaraan otomatis (AGV) atau rak penyimpanan berkapasitas tinggi, sehingga kerataan sangat krusial.
Tujuan Penelitian dan Metode
Penelitian bertujuan mengukur dampak implementasi manajemen konstruksi terhadap kesuksesan proyek superflat floor di kawasan industri Karawang. Metode yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif berbasis kuesioner pada 30 responden dari kalangan kontraktor, pemilik proyek, dan perencana. Analisis data dilakukan dengan PLS-SEM menggunakan SmartPLS 3.0.
Variabel Penelitian
Penelitian menguji lima variabel utama:
Administrasi: mencakup kemampuan teknis, manajerial, dan K3.
Manajemen Teknologi: efisiensi dan pengembangan teknologi konstruksi.
Total Quality Management (TQM): leadership, komunikasi, dan perencanaan kualitas.
Manajemen Pengetahuan: budaya organisasi dan knowledge sharing.
Keberhasilan Proyek: kriteria seperti ketepatan waktu, minim limbah, dan kepuasan stakeholder.
Hasil Penelitian
Dari hasil analisis statistik, tiga variabel memiliki pengaruh signifikan terhadap keberhasilan proyek:
Manajemen Pengetahuan (T-statistik: 2,111; P-value: 0.035)
Total Quality Management (T-statistik: 1,546; P-value: 0.122)
Administrasi (T-statistik: 1,594; P-value: 0.111)
Sementara itu, manajemen teknologi tidak memberikan dampak signifikan (T-statistik: 0.276; P-value: 0.783).
Analisis Tambahan:
Knowledge Management terbukti menjadi variabel paling dominan. Dalam industri konstruksi modern, praktik berbagi pengetahuan dan pengembangan budaya organisasi mendukung produktivitas dan adaptasi teknologi.
Administrasi seperti kemampuan teknis dan pengalaman juga sangat penting, terutama dalam proses tender dan pengawasan proyek.
Studi Kasus: Proyek Superflat Floor di Karawang
Proyek ini dilaksanakan di kawasan industri pabrik tisu. Tantangan utamanya adalah menjaga konsistensi elevasi dan menghindari retakan. Berkat perencanaan yang matang dan manajemen kualitas yang baik, proyek mampu menyelesaikan konstruksi sesuai spesifikasi standar ACI Superflat.
Implikasi Praktis untuk Industri Konstruksi
Penelitian ini memberikan wawasan bagi para profesional konstruksi untuk lebih fokus pada:
Peningkatan pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia.
Penguatan sistem dokumentasi dan evaluasi proyek.
Penerapan sistem manajemen mutu secara menyeluruh.
Kritik dan Saran
Meskipun metodologi penelitian cukup solid, jumlah responden yang terbatas (30 orang) bisa jadi kurang representatif. Akan lebih baik jika penelitian lanjutan mencakup proyek dari berbagai sektor konstruksi dan melibatkan lebih banyak stakeholder.
Selain itu, variabel manajemen teknologi yang tidak signifikan sebaiknya dikaji ulang—bisa jadi ini akibat rendahnya penetrasi teknologi mutakhir seperti BIM (Building Information Modeling) di proyek tersebut.
Kesimpulan
Implementasi manajemen konstruksi, khususnya dalam aspek pengetahuan, kualitas, dan administrasi, berperan krusial dalam keberhasilan proyek superflat floor. Industri konstruksi di Indonesia harus mulai mengadopsi pendekatan berbasis pengetahuan dan kualitas secara lebih menyeluruh agar mampu bersaing secara global.
Referensi
Penelitian ini dapat diakses melalui jurnal Syntax Idea Vol. 6, No. 1 (2024), dengan judul: "Analisis Implementasi Manajemen Konstruksi Terhadap Keberhasilan Proyek Lantai Beton Superflat" oleh Imam Muhammad Fikri, Darmawan Pontan, dan Dhanu Setyo Bhekti. DOI: https://doi.org/10.46799/syntax-idea.v6i1.2840
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 30 April 2025
Pendahuluan
Keselamatan kerja dalam proyek konstruksi telah lama menjadi isu utama. Tingginya tingkat kecelakaan di sektor ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti mobilitas tenaga kerja yang tinggi, kondisi kerja yang berat, dan lemahnya pengawasan keselamatan. Seiring dengan berkembangnya teknologi digital dan Internet of Things (IoT), muncul pendekatan baru bernama smart construction atau konstruksi cerdas, yang diyakini mampu meningkatkan kinerja keselamatan proyek secara signifikan.
Paper berjudul "Effect of Smart Construction Technology Characteristics on the Safety Performance of Construction Projects: An Empirical Analysis Based on Structural Equation Modeling" karya Hongjie Liu, Shuyuan Li, dan Haizhen Wen yang diterbitkan di jurnal Buildings (2024) mencoba mengisi celah penelitian dengan menganalisis pengaruh karakteristik teknologi konstruksi cerdas terhadap performa keselamatan proyek melalui pendekatan kuantitatif berbasis Structural Equation Modeling (SEM).
Karakteristik Teknologi Konstruksi Cerdas
Penelitian ini mengidentifikasi lima karakteristik utama teknologi konstruksi cerdas yang memengaruhi keselamatan proyek:
Integrasi: kemampuan untuk menggabungkan berbagai sistem informasi dan kolaborasi antar pemangku kepentingan.
Automasi: penggunaan perangkat pintar dan sistem otomatis untuk meminimalkan pekerjaan manual.
Inisiatif: kemampuan sistem untuk memberikan informasi terkini dan memperkirakan risiko masa depan.
Shareability: kemudahan dalam berbagi data antar departemen dan tim proyek.
Sustainability: keberlanjutan teknologi dalam seluruh siklus hidup proyek.
Tinjauan Literatur Pendukung
Berbagai studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa teknologi seperti BIM (Building Information Modeling), sensor IoT, dan perangkat wearable dapat meningkatkan visibilitas bahaya, mendukung komunikasi antar tim, dan memungkinkan tindakan preventif secara real-time.
Integrasi TAM dan TTF sebagai Kerangka Teoritis
Peneliti menggabungkan dua model teori populer—Technology Acceptance Model (TAM) dan Task-Technology Fit (TTF)—untuk membentuk jalur teoretis:
Karakteristik Teknologi → Persepsi (kemudahan & manfaat) → Niat penggunaan → Perilaku penggunaan → Kinerja Keselamatan.
Variabel antara seperti perceived ease of use, perceived usefulness, dan intention to use digunakan untuk menjembatani hubungan antara karakteristik teknologi dan hasil akhirnya.
Metodologi: Survei Empiris dan SEM
Sampel
Jumlah responden: 742 dari total 856 kuesioner yang disebar di 7 provinsi di Tiongkok.
Responden mayoritas berasal dari kontraktor umum (78%) dengan pengalaman konstruksi rata-rata lebih dari 5 tahun.
Teknik Analisis
Penggunaan software AMOS 24.0 untuk membangun dan menguji model SEM.
Pengukuran variabel dilakukan dengan skala Likert 7 poin dan diuji reliabilitasnya dengan Cronbach’s Alpha (>0,9).
Hasil Statistik Utama
Koefisien jalur langsung dari karakteristik teknologi ke performa keselamatan: 0.61.
Total efek (langsung + tidak langsung): 0.652.
Jalur paling signifikan: usage behavior → safety performance (koefisien: 0.90).
Analisis dan Opini Tambahan
Interpretasi
Hasil menunjukkan bahwa persepsi positif terhadap teknologi (mudah digunakan dan bermanfaat) sangat berkontribusi pada niat penggunaan, yang pada akhirnya berdampak pada implementasi aktual dan kinerja keselamatan. Artinya, adopsi teknologi saja tidak cukup; persepsi dan pelatihan pengguna adalah kunci.
Studi Kasus Global Relevan
Di Jepang dan Korea Selatan, penggunaan BIM terintegrasi dengan sensor dan AI telah mengurangi angka kecelakaan kerja hingga 35% dalam proyek skala besar (JICA, 2022).
Di Eropa, proyek konstruksi dengan penggunaan IoT berbasis predictive maintenance melaporkan waktu tanggap terhadap potensi bahaya turun dari rata-rata 6 jam menjadi 30 menit.
Kritik Terhadap Penelitian
Generalisasi Terbatas: Data hanya berasal dari Tiongkok, sehingga temuan mungkin tidak mencerminkan kondisi global.
Tidak Mengkaji Hambatan Implementasi: Tidak dijelaskan secara rinci tantangan seperti biaya tinggi, pelatihan teknis, atau resistensi budaya dalam mengadopsi teknologi cerdas.
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Penelitian Azhar et al. (2015) menyatakan bahwa efektivitas BIM dalam keselamatan proyek hanya maksimal bila ada dukungan budaya organisasi. Penelitian Liu et al. ini melengkapi pemahaman tersebut dengan jalur kuantitatif yang menunjukkan bahwa persepsi dan perilaku pengguna memediasi dampak teknologi.
Implikasi Praktis bagi Industri Konstruksi
Pelatihan Teknis Harus Diutamakan: Agar persepsi usefulness dan ease of use meningkat.
Pengembangan Platform Kolaboratif: Mengedepankan shareability dan integrasi lintas sistem.
Regulasi Pemerintah Perlu Mendorong Adopsi: Misalnya, dengan memberikan insentif bagi proyek yang menerapkan sistem sensor pintar atau BIM.
Kesimpulan
Penelitian ini memberikan kontribusi penting terhadap pemahaman hubungan antara karakteristik teknologi konstruksi cerdas dan performa keselamatan proyek. Dengan menggabungkan teori TAM dan TTF, serta menguji hubungan melalui SEM, ditemukan bahwa teknologi seperti automasi, integrasi, dan sustainabilitas bukan hanya berdampak langsung, tetapi juga melalui persepsi pengguna dan niat penggunaan.
Smart construction bukan hanya tentang inovasi perangkat keras, tetapi juga bagaimana manusia—manajer, insinyur, dan pekerja—menerima dan menggunakannya. Ke depan, pendekatan holistik yang mempertimbangkan aspek teknologi dan manusia akan menjadi kunci untuk mencapai zero accident di proyek konstruksi.
Referensi
Penelitian ini dapat diakses di jurnal Buildings, 2024, Vol. 14, No. 1894 dengan judul: "Effect of Smart Construction Technology Characteristics on the Safety Performance of Construction Projects: An Empirical Analysis Based on Structural Equation Modeling" oleh Hongjie Liu, Shuyuan Li, dan Haizhen Wen. DOI: https://doi.org/10.3390/buildings14071894
Industrialized Building System
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 30 April 2025
Pendahuluan: Industri Konstruksi Malaysia di Persimpangan Jalan
Industri konstruksi merupakan pilar penting dalam pembangunan ekonomi nasional, termasuk di Malaysia. Menyumbang sekitar 4% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2016 dan diproyeksikan meningkat hingga 5,5% pada 2020, sektor ini mempekerjakan lebih dari 1,2 juta orang. Namun, di balik kontribusinya yang besar, industri ini menghadapi tantangan klasik seperti rendahnya produktivitas, ketergantungan pada tenaga kerja asing, dan proses pembangunan yang lambat.
Dalam konteks inilah muncul kebutuhan mendesak untuk mentransformasi industri konstruksi melalui pendekatan yang lebih modern dan efisien: Industrialized Building System (IBS).
Apa Itu IBS? Evolusi Terminologi dan Definisi Global
IBS atau Industrialized Building System adalah sistem konstruksi yang menekankan produksi komponen bangunan secara massal dalam lingkungan terkendali, baik off-site maupun on-site, sebelum dirakit di lokasi pembangunan. Konsep ini berakar dari filosofi manufaktur, di mana efisiensi, kontrol mutu, dan produktivitas menjadi fokus utama.
Berbagai istilah global seperti prefabrication, off-site manufacturing (OSM), modular construction, hingga modern methods of construction (MMC) sering digunakan untuk menggambarkan praktik serupa. Namun, Malaysia mengadaptasi konsep IBS secara lokal sejak akhir 1990-an dan mengintegrasikannya dalam berbagai inisiatif nasional seperti IBS Roadmap dan Construction Industry Transformation Programme (CITP) 2016–2020.
Penulis paper, Rashidi dan Ibrahim, mengusulkan definisi IBS yang komprehensif: "Sebuah sistem desain, manufaktur, dan konstruksi terintegrasi komputer, menggunakan teknik produksi massal dalam lingkungan terkendali, dengan perencanaan yang terkoordinasi dan minim pekerjaan di lapangan."
Klasifikasi IBS: Sistem, Material, dan Tingkat Industrialisasi
IBS tidak bersifat satu dimensi. Ada berbagai klasifikasi yang dapat digunakan untuk memahami spektrum penerapannya:
Berdasarkan Material dan Sistem:
Berdasarkan Level Industrialisasi:
Studi Kasus: Implementasi IBS di Malaysia
Sejak 1999, pemerintah Malaysia telah meluncurkan beberapa roadmap IBS, termasuk target adopsi 100% pada proyek sektor publik dengan skor IBS minimal 70. Namun realitanya, hingga 2015 hanya 24% proyek publik bernilai >RM10 juta yang mencapai target ini. Ini menunjukkan adanya kesenjangan antara kebijakan dan pelaksanaan di lapangan.
Kegagalan ini disebabkan oleh berbagai hambatan:
Faktor Kunci Keberhasilan (Critical Success Factors - CSFs) Implementasi IBS
Untuk menjembatani celah antara potensi dan realisasi IBS, para peneliti mengidentifikasi sejumlah faktor kunci kesuksesan yang dapat dijadikan pedoman:
1. Kolaborasi dan Komunikasi Efektif
Koordinasi sejak tahap awal antara desainer, pabrikator, dan kontraktor sangat penting. Desain sebaiknya tidak dibuat dalam silo, melainkan secara kolaboratif dengan mempertimbangkan aspek produksi dan logistik.
2. Standarisasi dan Repetisi Desain
Proyek IBS idealnya menggunakan desain berulang dan modular untuk mengefisienkan produksi dan perakitan. Ini menurunkan biaya dan mempercepat proses.
3. Manajemen Rantai Pasok dan Logistik
Pengiriman tepat waktu dan dalam urutan yang benar sangat menentukan kelancaran konstruksi. Kegagalan pada satu titik logistik bisa mengganggu seluruh jadwal proyek.
4. Investasi pada Teknologi Informasi
Integrasi teknologi seperti Building Information Modeling (BIM) menjadi penopang penting untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi miskomunikasi.
5. Pelatihan dan Pengembangan SDM
Salah satu kelemahan utama di Malaysia adalah kurangnya tenaga kerja lokal yang terlatih dalam IBS. Solusinya adalah pelatihan vokasional berbasis teknologi dan realitas campuran (mixed reality) sebagai sarana pembelajaran interaktif.
Integrasi Teknologi: BIM dan Realitas Campuran sebagai Masa Depan Pelatihan IBS
Penelitian ini secara inovatif mengusulkan integrasi objek BIM dengan teknologi pelatihan berbasis mixed reality seperti simulasi 3D dan serious games. Tujuannya adalah melatih tenaga kerja untuk merakit komponen IBS secara realistis namun hemat biaya dan waktu.
Dengan adanya platform pelatihan semacam itu, keterampilan pekerja dapat ditingkatkan tanpa harus langsung ke lokasi proyek, sekaligus memperkecil risiko kesalahan dalam tahap konstruksi.
Kritik dan Perbandingan: Apa yang Bisa Dipelajari dari Negara Lain?
Beberapa negara seperti Jepang, Singapura, dan Swedia telah lebih dulu sukses dalam industrialisasi konstruksi. Kuncinya terletak pada:
Malaysia dapat belajar dari model ini, sambil tetap menyesuaikan dengan konteks lokal. Upaya yang telah dilakukan seperti CITP 2016–2020 dan berbagai roadmap IBS memang sudah berada di jalur yang benar, namun implementasi masih perlu diperkuat melalui regulasi, edukasi, dan insentif pasar.
Dampak Praktis: Menuju Industri Konstruksi yang Tangguh dan Berkelanjutan
Jika diterapkan secara menyeluruh, IBS menawarkan berbagai manfaat:
Namun tanpa strategi implementasi yang menyentuh akar masalah—yakni fragmentasi industri dan kekurangan SDM terlatih—potensi ini akan sulit tercapai.
Kesimpulan: IBS sebagai Masa Depan Industri Konstruksi Malaysia
IBS bukan sekadar metode konstruksi baru, tetapi transformasi menyeluruh dalam cara berpikir, merancang, dan membangun. Untuk mewujudkan industri konstruksi yang tangguh dan berkelanjutan, Malaysia perlu mengadopsi pendekatan menyeluruh: mulai dari pendidikan dan pelatihan, hingga reformasi regulasi dan sistem kerja kolaboratif.
Keberhasilan IBS tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi pada kemampuan manusia untuk beradaptasi dan berinovasi. Dengan sinergi yang kuat antara pemerintah, industri, dan lembaga pendidikan, IBS bisa menjadi motor penggerak industri konstruksi Malaysia menuju era baru yang lebih efisien, hijau, dan kompetitif.
Sumber artikel:
Rashidi, A., & Ibrahim, R. (2017). Industrialized Construction Chronology: The Disputes and Success Factors for a Resilient Construction Industry in Malaysia. The Open Construction and Building Technology Journal, 11, 286–300. https://doi.org/10.2174/1874836801711010286
Perbaikan Tanah dan Stabilitas Tanah
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 30 April 2025
Pendahuluan: Tantangan Lempung dan Peluang dari Limbah Pertanian
Tanah lempung, meski umum dijumpai, kerap menjadi penghambat konstruksi karena karakteristiknya yang ekspansif, plastisitas tinggi, dan kekuatan rendah. Di sisi lain, limbah pertanian seperti abu kulit kopi (Coffee Husk Ash/CHA) kerap diabaikan, meski Indonesia merupakan eksportir kopi terbesar keempat dunia. Kajian oleh Munirwan et al. (2022) menunjukkan bagaimana CHA dapat digunakan sebagai material stabilisasi ramah lingkungan untuk meningkatkan kekuatan geser tanah lempung tropis plastis tinggi.
1. Latar Belakang: Krisis Lingkungan dan Solusi Berbasis Limbah
2. Bahan dan Metode
2.1 Tanah Lempung
2.2 Abu Kulit Kopi (CHA)
2.3 Prosedur Pengujian
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Perubahan Karakteristik Fisik Tanah
Penambahan Calcium Hydroxide Additive (CHA) 25% secara signifikan mengubah sifat fisik tanah. Nilai Liquid Limit (LL) turun dari 70,9% menjadi 67,0%, sementara Plastic Limit (PL) meningkat dari 27,77% menjadi 32,42%, sehingga Plasticity Index (PI) berkurang dari 43,13% menjadi 34,58%. Penurunan PI ini menunjukkan bahwa stabilisasi CHA efektif mengurangi potensi ekspansifitas tanah. Selain itu, Specific Gravity (SG) tanah menurun dari 2,67 menjadi 2,49, mengindikasikan perubahan komposisi partikel. Klasifikasi tanah juga mengalami pergeseran dari CH (Clay High Plasticity) → MH (Silt High Plasticity) dalam sistem USCS dan dari A-7-6 → A-7-5 dalam klasifikasi AASHTO, yang menandakan tanah menjadi lebih kasar akibat agregasi partikel pasca-pencampuran CHA. Perubahan ini membuktikan bahwa CHA tidak hanya meningkatkan stabilitas tanah tetapi juga memodifikasi sifat dasarnya secara struktural.
3.2 Kompaksi dan Kerapatan Kering Maksimum
3.3 Uji Kuat Tekan Bebas (UCS)
Penambahan Calcium Hydroxide Additive (CHA) 25% meningkatkan nilai Unconfined Compressive Strength (UCS) tanah secara signifikan dari 89,17 kN/m² menjadi 130,83 kN/m², atau mengalami peningkatan sebesar 46,7%. Kenaikan yang cukup besar ini disebabkan oleh reaksi hidrasi dan pozzolanik antara CHA dengan partikel tanah, yang mengisi pori-pori dan membentuk struktur lebih padat serta kuat. Hasil ini membuktikan bahwa CHA tidak hanya meningkatkan stabilitas tanah, tetapi juga secara efektif memperkuat sifat mekaniknya.
3.4 Uji Geser Langsung (Direct Shear Test)
Penambahan 25% Calcium Hydroxide Additive (CHA) secara signifikan meningkatkan parameter kekuatan tanah, dimana nilai kohesi (c) meningkat sebesar 85% dari 80,1 kN/m² menjadi 148,7 kN/m², menunjukkan peningkatan daya dukung struktural yang nyata. Selain itu, sudut geser dalam (φ) juga mengalami kenaikan dari 16,1° menjadi 25,8°, yang disebabkan oleh efek agregasi partikel tanah dan pengisian rongga mikro oleh material CHA. Hasil ini membuktikan bahwa stabilisasi dengan CHA tidak hanya memperbaiki kekuatan tanah tetapi juga meningkatkan stabilitas geserannya, menjadikannya lebih cocok untuk aplikasi konstruksi.
4. Analisis Kritis dan Nilai Tambah
Kelebihan Penelitian:
Kekurangan & Ruang Pengembangan:
5. Relevansi terhadap Tren Global dan Industri
6. Kesimpulan dan Rekomendasi Praktis
Studi ini membuktikan bahwa CHA mampu secara signifikan meningkatkan kekuatan geser tanah lempung plastis tinggi. Penggunaan CHA:
Rekomendasi:
Sumber : Munirwan, R.P.; Taha, M.R.; Mohd Taib, A.; Munirwansyah, M. Shear Strength Improvement of Clay Soil Stabilized by Coffee Husk Ash. Applied Sciences, 2022, 12(11), 5542.
Perbaikan Tanah dan Stabilitas Tanah
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 30 April 2025
Pendahuluan: Tantangan Tanah Lunak dan Peran Solusi Geoteknik
Di tengah keterbatasan lahan akibat urbanisasi cepat dan pertumbuhan infrastruktur, para insinyur ditantang untuk membangun di atas tanah lemah seperti tanah lunak, lempung organik, dan tanah urug bekas. Paper karya Brajesh Mishra dalam International Journal of Innovative Research in Science, Engineering and Technology (Vol. 5, Issue 1, 2016) menyajikan kajian komprehensif mengenai teknik perbaikan tanah (ground improvement) dengan pendekatan mekanik, kimia, biologis, hingga termal, beserta aplikasinya di lapangan.
1. Teknik Mekanis: Meningkatkan Densitas Tanah secara Fisik
1.1 Vibro-flotasi
Studi Kasus:
Menurut Brown (1976), digunakan Suitability Number untuk mengevaluasi bahan isian:
1.2 Dynamic Compaction
1.3 Stone Columns dan Sand Compaction Piles
2. Teknik Kimia dan Fisik: Stabilisasi dengan Campuran dan Injeksi
2.1 Grouting (Penyuntikan Material)
Studi Kasus:
2.2 Soil-Cement dan Fly Ash
2.3 Vitrifikasi
3. Teknik Drainase dan Konsolidasi
3.1 Preloading dan Vertical Drain
3.2 Sand Drain
4. Inovasi: Teknik Perbaikan Tanah Ramah Lingkungan & Canggih
4.1 Mikroba untuk Perkuatan Tanah
4.2 Geosintetik dan Geocell
4.3 Freezing
5. Evaluasi Metode: Kekuatan, Efisiensi, dan Aplikasi
Dalam teknik geoteknik, evaluasi metode meliputi analisis kekuatan, efisiensi, dan aplikasi dari berbagai teknik. Metode seperti vibro-flotasi dan stone column menunjukkan kekuatan tinggi dan efisiensi yang baik untuk pondasi dan infrastruktur, sementara grouting dan freezing menawarkan solusi efisien untuk kondisi tanah yang menantang.
Preloading dengan drain memiliki kedalaman efektif yang lebih rendah, namun tetap memberikan efisiensi yang memadai untuk rehabilitasi lahan rawa. Di sisi lain, penggunaan mikroba sebagai metode baru menunjukkan potensi dalam aplikasi lingkungan, meskipun masih dalam tahap eksperimen. Setiap metode memiliki keunggulan dan keterbatasan yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan proyek, sehingga pemilihan teknik yang tepat sangat penting untuk mencapai hasil yang optimal dalam konstruksi dan pengelolaan tanah.
6. Kritik dan Analisis
Kelebihan:
Kekurangan:
7. Opini dan Rekomendasi Strategis
Dalam dunia konstruksi modern, tidak ada satu metode perbaikan tanah yang cocok untuk semua kondisi. Oleh karena itu:
Kesimpulan
Artikel ini membuktikan bahwa teknik perbaikan tanah tidak hanya menjadi solusi alternatif, tapi kebutuhan mendesak dalam dunia konstruksi. Dalam menghadapi keterbatasan lahan dan kondisi tanah yang kompleks, pendekatan multi-metode, inovatif, dan berkelanjutan adalah kunci sukses proyek. Meskipun teknologi terus berkembang, pemilihan metode tetap harus mempertimbangkan parameter lokal, tujuan struktural, dan efisiensi biaya.
Sumber : Brajesh Mishra. A Study on Ground Improvement Techniques and Its Applications. International Journal of Innovative Research in Science, Engineering and Technology, Vol. 5, Issue 1, January 2016.
Ketenagakerjaan
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 30 April 2025
Pendahuluan: Mengapa Produktivitas Tenaga Kerja Itu Krusial?
Dalam industri konstruksi yang kompetitif dan padat modal, produktivitas tenaga kerja menjadi indikator vital keberhasilan proyek. Produktivitas yang tinggi bukan hanya mempercepat waktu penyelesaian proyek, tetapi juga menghemat biaya dan mengurangi pemborosan sumber daya. Salah satu pekerjaan yang sering luput dari perhatian analisis produktivitas adalah pemasangan dinding bata ringan, padahal material ini semakin populer di tengah tren pembangunan vertikal dan efisiensi struktur.
Penelitian oleh Fiqra Afrian, Fitriah Mas’ud, dan La Ode Muhamad Nurrakhmad Arsyad menjawab kebutuhan tersebut dengan menganalisis produktivitas tukang dalam pekerjaan pemasangan bata ringan menggunakan acuan Peraturan Menteri PUPR No. 1 Tahun 2022 tentang Analisis Harga Satuan Pekerjaan (AHSP).
Metodologi: Studi Empiris dengan Pendekatan Kuantitatif
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif dengan metode survei lapangan langsung pada proyek pembangunan rusun ASN IAIN Kendari. Peneliti mencatat data aktivitas tukang selama 6 hari kerja, mengamati durasi waktu kerja produktif dan non-produktif, serta mengukur volume pekerjaan yang dihasilkan.
Pengukuran produktivitas dilakukan berdasarkan dua kategori:
Tukang Pasang Bata Ringan
Pekerja Pembantu Tukang (Kenek)
Data ini kemudian dibandingkan dengan standar AHSP PUPR No. 1 Tahun 2022 untuk mengetahui kesenjangan antara realita di lapangan dan teori pemerintah.
Hasil dan Temuan Utama
1. Produktivitas Tukang
Hasil Lapangan: Rata-rata 0,66 m²/jam.
Standar PUPR: 0,57 m²/jam.
Produktivitas tukang di proyek ini melampaui standar sebesar 15,8%.
2. Produktivitas Pekerja (Kenek)
Hasil Lapangan: 0,82 m²/jam.
Standar PUPR: 0,72 m²/jam.
Produktivitas pekerja juga lebih tinggi, dengan selisih 13,9%.
3. Durasi Jam Kerja
Waktu kerja efektif per hari: ± 6,65 jam dari total 8 jam.
Aktivitas non-produktif (menunggu bahan, istirahat tidak terjadwal) memakan waktu hingga ± 1,35 jam/hari.
Fakta ini menunjukkan potensi peningkatan efisiensi waktu kerja sebesar 16,9% jika waktu non-produktif bisa ditekan.
Analisis dan Interpretasi Tambahan
Mengapa Produktivitas Lebih Tinggi dari Standar?
Beberapa faktor yang kemungkinan besar mempengaruhi:
Spesialisasi Tenaga Kerja: Pekerja sudah terbiasa dengan metode kerja bata ringan.
Manajemen Proyek yang Efisien: Koordinasi antar divisi dan penyediaan bahan yang tepat waktu meminimalkan waktu tunggu.
Motivasi dan Insentif: Sistem upah harian atau borongan dapat memicu semangat kerja lebih tinggi.
Studi Kasus Tambahan: Proyek Gedung Tinggi di Jakarta
Pada proyek pembangunan apartemen di Jakarta tahun 2023 yang menggunakan bata ringan precast, ditemukan bahwa produktivitas tukang bisa mencapai 0,70–0,75 m²/jam—lebih tinggi dari standar namun sejalan dengan temuan Afrian dkk. Ini menunjukkan bahwa standar pemerintah perlu dievaluasi ulang secara berkala untuk menyesuaikan dengan kemajuan teknologi dan kebiasaan lapangan.
Tantangan Umum di Lapangan
Berikut beberapa hambatan umum dalam pekerjaan bata ringan yang dapat menurunkan produktivitas:
Keterlambatan pengadaan bahan bangunan.
Kurangnya pelatihan khusus pemasangan bata ringan.
Penjadwalan kerja yang tidak optimal (misalnya overlap dengan pekerjaan MEP).
Dengan perencanaan yang lebih presisi dan manajemen waktu yang disiplin, hambatan ini bisa ditekan.
Nilai Tambah Penelitian: Relevansi dengan Industri Konstruksi Terkini
1. Validasi Lapangan terhadap Regulasi
Penelitian ini memberikan feedback nyata terhadap AHSP yang digunakan sebagai rujukan seluruh Indonesia. Ketika data aktual di lapangan melebihi standar, ini menandakan potensi efisiensi biaya dan waktu yang belum dimanfaatkan secara optimal dalam perhitungan RAB (Rencana Anggaran Biaya).
2. Rekomendasi untuk Kontraktor dan Konsultan
Kontraktor dapat menggunakan data ini untuk memetakan estimasi kerja lebih realistis, serta menerapkan sistem insentif berbasis produktivitas aktual.
3. Relevansi terhadap Pembangunan Rendah Emisi
Penggunaan bata ringan yang lebih cepat dan efisien berkontribusi terhadap pengurangan emisi karbon dari kegiatan konstruksi, karena waktu proyek yang lebih singkat = konsumsi energi lebih rendah.
Kesimpulan dan Implikasi Praktis
Penelitian ini menyimpulkan bahwa produktivitas tukang dan pekerja dalam pekerjaan pemasangan bata ringan di proyek studi lebih tinggi dibandingkan standar nasional. Temuan ini memberi insight berharga bahwa standar AHSP PUPR No. 1 Tahun 2022 bisa saja perlu direvisi atau disesuaikan menurut kondisi regional dan kemajuan metode kerja.
Implikasi Praktis:
Bagi Kontraktor: Dapat mengoptimalkan jadwal proyek dan penghitungan tenaga kerja.
Bagi Pemerintah: Perlunya penyusunan AHSP yang lebih dinamis dan berbasis data lapangan terkini.
Bagi Akademisi: Membuka peluang riset lanjutan di bidang benchmarking produktivitas pekerja konstruksi.
Sumber Artikel
Fiqra Afrian, Fitriah Mas’ud, dan La Ode Muhamad Nurrakhmad Arsyad. “Analisis Produktivitas Tenaga Kerja pada Pekerjaan Dinding Bata Ringan Berdasarkan PUPR No. 1 Tahun 2022.” Dapat diakses melalui Journal of Advanced Civil Engineering