Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 30 April 2025
Pendahuluan: Era Baru Konstruksi dengan Kecerdasan Buatan
Industri konstruksi, yang selama ini dikenal lamban dalam adopsi teknologi, kini berada di ambang revolusi besar. Artikel berjudul Artificial Intelligence untuk Keberlangsungan Bidang Konstruksi karya Chica Oktavia dan Ahmad Nurkholis membuka wawasan tentang bagaimana kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) mulai menjadi katalis perubahan yang signifikan dalam sektor ini.
Dengan latar belakang meningkatnya kompleksitas proyek dan tekanan efisiensi biaya serta waktu, AI hadir sebagai alat bantu yang bukan sekadar canggih, tetapi juga strategis. Paper ini mengulas peran AI mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pengelolaan pasca-konstruksi. Lebih dari itu, artikel ini menggarisbawahi bahwa AI bukan hanya alat bantu, melainkan bagian integral dalam mendefinisikan ulang paradigma rekayasa sipil modern.
Perencanaan Konstruksi yang Lebih Akurat Berkat AI
Pemetaan Cerdas dan Desain Otomatis
Salah satu keunggulan utama AI dalam dunia konstruksi adalah kemampuannya untuk mempercepat proses perencanaan melalui pemodelan 3D otomatis. Dengan alat seperti AutoCAD, GIS, dan Building Information Modeling (BIM), AI mampu menyarankan desain optimal, memperhitungkan risiko, dan bahkan mensimulasikan skenario pembangunan yang berbeda.
Contoh konkret dari penerapan ini adalah penggunaan AI dalam desain jembatan. Sistem berbasis data akan mempertimbangkan faktor seperti beban lalu lintas, data seismik, dan kondisi tanah untuk merekomendasikan desain struktur yang efisien dan tahan lama. Hal ini tentu menghemat waktu dan mengurangi kemungkinan kesalahan manusia.
AI dalam Administrasi dan Pelaksanaan Konstruksi
Automasi Proses Manajemen Proyek
AI kini juga digunakan dalam administrasi proyek, mulai dari manajemen absensi, pelaporan progres pekerjaan, hingga optimasi alokasi sumber daya. Sistem ini tidak hanya mempercepat proses administratif, tetapi juga meningkatkan akurasi data serta meminimalkan human error.
Misalnya, pada proyek pembangunan infrastruktur skala besar, AI dapat memantau kinerja harian pekerja, mengidentifikasi potensi risiko keterlambatan, dan memberikan rekomendasi pengaturan ulang jadwal kerja secara real-time.
Machine Learning dan Analisis Data dalam Teknik Sipil
Dalam artikel ini, penulis mengidentifikasi empat pendekatan AI paling relevan dalam teknik sipil:
1. Evolutionary Computation (EC):
Digunakan untuk menyelesaikan masalah optimasi desain kompleks melalui algoritma genetika. Cocok untuk menciptakan struktur arsitektural unik dalam waktu singkat.
2. Artificial Neural Networks (ANNs):
Digunakan dalam deteksi cacat bangunan, prediksi kekuatan material, hingga analisis geoteknik.
3. Fuzzy Systems:
Berguna dalam memperkirakan biaya dan risiko saat data input bersifat ambigu, seperti dalam tahap estimasi awal proyek.
4. Expert Systems:
Meniru pemikiran profesional manusia untuk memberi saran dalam pengambilan keputusan berbasis data, seperti analisis konsumsi energi bangunan.
Studi Kasus Global: AI dalam Proyek Konstruksi
Smart Monitoring di Jepang
Di Jepang, perusahaan konstruksi seperti Shimizu Corporation telah mengintegrasikan robot bertenaga AI yang dapat mengangkat panel beton, mengelas, dan memasang kabel secara otomatis. Hal ini terbukti meningkatkan efisiensi kerja hingga 30%.
Penggunaan Drone dan UAV
Teknologi drone yang dilengkapi dengan AI juga memungkinkan pengawasan proyek konstruksi secara real-time. Drone ini memetakan area konstruksi dalam bentuk 3D, membantu perhitungan volume material, dan mempercepat pengambilan keputusan.
Dampak Positif dan Tantangan Etis Penggunaan AI
Manfaat Besar:
Risiko dan Tantangan:
Opini dan Analisis Tambahan
Meskipun AI menjanjikan efisiensi luar biasa dalam konstruksi, implementasinya harus disertai regulasi ketat. Di Indonesia, adopsi AI dalam proyek infrastruktur masih terbatas pada tahap desain dan pengawasan proyek. Untuk memaksimalkan potensi AI, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, sektor pendidikan, dan industri.
Sebagai pembanding, studi oleh Soltan & Ashrafi (2020) menunjukkan bahwa penerapan sistem EVM berbasis AI di Uni Emirat Arab mampu memprediksi keterlambatan proyek hingga 80% lebih akurat dibanding metode tradisional. Fakta ini memperkuat argumen bahwa AI bukan hanya tren, tetapi keharusan dalam rekayasa masa depan.
Rekomendasi Implementasi AI di Indonesia
Berikut beberapa langkah konkret yang bisa diadopsi dunia konstruksi nasional:
Kesimpulan
Artikel karya Chica Oktavia dan Ahmad Nurkholis secara menyeluruh mengupas bagaimana Artificial Intelligence bertransformasi menjadi komponen vital dalam konstruksi modern. Tak hanya mengubah cara kerja perencanaan dan desain, AI juga membawa dampak besar pada produktivitas, efisiensi, dan keselamatan kerja.
Namun demikian, penerapan AI tetap harus memperhatikan etika, privasi data, serta dampak sosialnya. AI bukan untuk menggantikan manusia, tetapi untuk memperkuat kapasitas manusia menyelesaikan pekerjaan dengan lebih cepat, tepat, dan aman. Dengan strategi dan kebijakan yang tepat, kecerdasan buatan bisa menjadi motor penggerak transformasi industri konstruksi di Indonesia.
Sumber Artikel
Oktavia, C., & Nurkholis, A. (2022). Artificial Intelligence untuk Keberlangsungan Bidang Konstruksi. JUMATISI, 3(2), 244–249.
Tersedia di: http://scholar.ummetro.ac.id/index.php/jumatisi/article/view/4114
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 30 April 2025
Pendahuluan: Era Baru Digitalisasi Konstruksi
Konstruksi bangunan tinggi (high-rise building) telah lama menjadi tolok ukur kemajuan infrastruktur suatu wilayah. Namun, kompleksitas proyek—baik dari segi desain, keselamatan, maupun efisiensi—membutuhkan pendekatan yang lebih adaptif terhadap teknologi. Dalam artikel Digitalisasi Metode Konstruksi pada Proyek High-Rise Building, Daniel Maranatha Silitonga dan kolega memaparkan hasil kajian literatur sistematis mengenai peran transformasi digital terhadap kinerja proyek jenis ini.
Artikel ini menjadi penting karena menjawab kebutuhan industri terhadap metode kerja yang lebih efisien dan aman dengan pendekatan teknologi seperti BIM, AI, IoT, hingga sistem robotik dan otomasi penuh. Dengan 48 literatur terpilih yang diulas secara mendalam, penulis menyajikan lanskap digitalisasi konstruksi terkini dan tantangan aktual yang menyertainya.
Kompleksitas Proyek Gedung Tinggi: Kenapa Perlu Digitalisasi?
Bangunan tinggi menghadapi risiko kerja tinggi seperti jatuh dari ketinggian dan beban berat, serta tekanan efisiensi yang konstan. Ditambah, banyak proyek dihadapkan pada:
Dalam konteks inilah teknologi digital hadir sebagai solusi: bukan hanya mempermudah pekerjaan, tapi juga memperbaiki sistem secara menyeluruh.
Pilar Digitalisasi Konstruksi: Dari BIM hingga Exoskeleton
Penulis mengklasifikasikan teknologi digital dalam tiga kelompok besar:
1. Konstruksi 4.0
Meliputi penggunaan:
BIM 4D hingga 7D mampu memetakan jadwal, biaya, energi, hingga pengelolaan fasilitas proyek.
Studi kasus: Proyek 49 lantai di College Road, London menggunakan BIM 4D (SynchroPro) untuk memastikan sinkronisasi modular.
Di Malaysia, proyek Central Park Johor Bahru memakai BIM 5D (Cubicost) untuk transparansi anggaran.
IoT dikombinasikan dengan RFID dan GPS untuk pelacakan material, kontrol mesin, dan keamanan lokasi kerja.
Contoh: Proyek prefabrikasi rusun di Hong Kong menggunakan RFID untuk efisiensi logistik dan pelacakan.
AI digunakan dalam pengenalan gambar, pemetaan, hingga chatbot untuk pengelolaan dokumen. AI juga mendukung decision-making berbasis data lapangan.
Cloud digunakan untuk kolaborasi real-time antar tim melalui sistem BIM 360 dan Trimble Connect.
GD memungkinkan komputer menghasilkan berbagai solusi desain berdasarkan parameter proyek.
Teknologi ini menyederhanakan komunikasi visual dan meningkatkan pemahaman desain tanpa prototipe fisik.
Digunakan untuk pemetaan presisi tinggi melalui point cloud di tahap awal konstruksi maupun renovasi.
2. Robot Konstruksi dan Sistem Otomatis
Berfungsi sebagai alat survei, monitoring progres proyek, dan pengawasan keselamatan kerja.Studi kasus: Proyek mengurangi kelelahan pekerja fisik, meningkatkan keselamatan, dan memperpanjang masa kerja tenaga senior.
Studi kasus di Chile memanfaatkan drone untuk monitoring lapangan dan mengurangi waktu kunjungan lapangan.
Studi kasus: Di Hong Kong, exoskeleton diterapkan untuk mengatasi krisis tenaga kerja dan menjaga produktivitas di area padat.
3. Metode Konstruksi Otomatis
Dikembangkan oleh Obayashi Corporation, sistem ini melindungi proses kerja dalam ‘pabrik vertikal’ dengan kontrol otomatis.
Mampu mengurangi jam kerja hingga 50% dan limbah konstruksi hingga 70%.
Inovasi ini memungkinkan konstruksi dimulai dari atas ke bawah, menghemat 22% tenaga kerja dan 20% waktu konstruksi.
Tantangan di Lapangan: Apa yang Masih Jadi Hambatan?
Meski digitalisasi menjanjikan efisiensi dan keselamatan, penerapannya tidak mulus. Hambatan utama yang diidentifikasi dalam artikel antara lain:
Khususnya di Indonesia, keterbatasan jaringan menghambat konektivitas IoT dan cloud.
Implementasi sistem digital membutuhkan pelatihan intensif, yang belum banyak dilakukan oleh pelaku konstruksi.
Lisensi perangkat lunak BIM, perangkat keras drone/robot, hingga VR/AR memerlukan dana besar.
Banyak pekerja konstruksi belum siap menghadapi perubahan mendasar dalam metode kerja.
Opini dan Analisis Tambahan
Digitalisasi proyek konstruksi tidak bisa sekadar menjadi tren, tetapi harus dijadikan strategi nasional. Beberapa poin refleksi:
Jepang dan Eropa memimpin transformasi digital lewat kolaborasi industri-akademisi, berbeda dengan Indonesia yang masih didominasi adopsi pasif.
Terlalu banyak sistem tanpa integrasi justru menciptakan silo informasi dan konflik manajemen.
Perlu sistem digital yang ramah bagi UMKM kontraktor dan tidak bergantung penuh pada vendor luar negeri.
Kesimpulan
Artikel ini memberikan gambaran menyeluruh tentang bagaimana digitalisasi mengubah lanskap konstruksi gedung tinggi. Dari BIM hingga robotisasi, teknologi memainkan peran vital dalam meningkatkan:
Namun, kesuksesan digitalisasi tak hanya bergantung pada teknologi, tapi juga kesiapan manusia, dukungan regulasi, dan investasi jangka panjang. Indonesia perlu lebih berani dalam memodernisasi industri konstruksi jika ingin bersaing secara global.
Sumber Artikel
Silitonga, D. M., Hendrawan, S. Y., & Oei, F. J. (2024). Digitalisasi Metode Konstruksi pada Proyek High-Rise Building. JMTS: Jurnal Mitra Teknik Sipil, 7(3), 795–806.
Tersedia di: https://doi.org/10.1061/(ASCE)ME.1943-5479.0000761
Teknologi Kontruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 30 April 2025
Pendahuluan: Menelusuri Esensi Teknologi Konstruksi di Era Modern
Di tengah laju cepat transformasi industri, terminologi seperti teknologi konstruksi bukanlah istilah asing. Istilah ini kerap muncul dalam wacana akademik maupun praktik di lapangan, namun tidak sedikit pula yang mengalami kebingungan karena istilah ini kerap tumpang tindih dengan konsep seperti teknologi rekayasa, teknologi desain, hingga teknologi manufaktur. Dalam artikel ilmiah berjudul Teknologi Konstruksi: Sebuah Analisis, Arman Jayady menyajikan suatu upaya konseptual untuk menyaring dan merumuskan kembali makna autentik dari frasa ini, sekaligus menegaskan posisi pentingnya dalam dunia konstruksi kontemporer.
Dengan menggunakan metode studi literatur, pendekatan hermeneutika, dan teknik sintesis, Jayady berupaya memperjelas definisi “teknologi konstruksi” secara ilmiah dan praktis. Tulisan ini tidak hanya menjadi kajian teoritis semata, tetapi juga mampu menjadi landasan berpikir untuk pengembangan teknologi di sektor konstruksi yang kini menghadapi tantangan efisiensi, daya saing global, dan kebutuhan akan keberlanjutan.
Menjabarkan Elemen Kunci: Teknologi dan Konstruksi
Apa Itu Teknologi?
Secara etimologis, kata teknologi berasal dari bahasa Yunani: techne (know-how atau keahlian praktis) dan logos (logika atau sistematika). Dalam konteks industri dan sains, teknologi diartikan sebagai kumpulan pengetahuan praktis yang terstruktur dan sistematis, digunakan untuk menciptakan solusi terhadap permasalahan manusia.
Jayady menegaskan bahwa teknologi, menurut banyak ahli, bisa diklasifikasikan menjadi tiga bentuk utama:
Teknologi Proses: teknik atau metode yang digunakan dalam menjalankan suatu sistem produksi.
Teknologi Produk: karakteristik atau fitur bernilai yang melekat pada produk hasil konstruksi.
Teknologi Manajemen: keterampilan manajerial untuk mengelola sumber daya secara efektif.
Ketiganya bukan hanya istilah akademik, tapi memiliki pengaruh langsung dalam proyek pembangunan, baik dalam desain, pelaksanaan, maupun pengelolaan pasca-konstruksi.
Apa Itu Konstruksi?
Jayady membedah istilah "konstruksi" dalam empat tingkatan makna:
Aktivitas fisik di lapangan
Siklus proyek secara menyeluruh
Lingkup bisnis konstruksi
Proses penciptaan ruang huni manusia
Namun dalam konteks teknologi konstruksi, makna yang dipakai dibatasi pada level satu dan tiga, yakni sebagai proses fisik pelaksanaan proyek dan juga aktivitas bisnis yang terstruktur.
Tiga Pilar Teknologi Konstruksi Menurut Jayady
1. Teknologi Proses Konstruksi
Definisi: Metode atau teknik yang dilakukan secara langsung di lapangan dalam merealisasikan desain bangunan menjadi kenyataan.
Dalam pendekatan ini, teknologi proses tak bisa berdiri sendiri. Jayady merujuk pada model Egmond (2012) yang menyatakan bahwa efektivitas proses konstruksi bergantung pada empat komponen utama:
Technoware (peralatan kerja, mesin)
Humanware (tenaga kerja manusia)
Infoware (dokumen teknis, fakta lapangan)
Orgaware (kerangka organisasi)
Contoh nyata penggunaan teknologi proses dapat dilihat pada proyek infrastruktur nasional seperti jalan tol Trans-Jawa. Penggunaan slipform paver dalam pengecoran jalan memungkinkan pekerjaan lebih cepat dan presisi, yang didukung oleh tenaga ahli (humanware), data lapangan, dan sistem manajemen proyek yang rapi.
Analisis tambahan: Banyak proyek infrastruktur besar kini mulai menggabungkan teknologi proses dengan sensor IoT untuk memantau kualitas pekerjaan secara real-time. Hal ini mengaburkan batas antara proses dan produk, menjadikan sistem lebih adaptif dan prediktif.
2. Teknologi Produk Konstruksi
Definisi: Seluruh fitur bernilai dan karakteristik yang melekat pada hasil akhir konstruksi—baik itu bangunan gedung, jembatan, maupun komponen struktural.
Jayady menyoroti bahwa produk konstruksi bukan sekadar bangunan fisik, tapi mengandung elemen teknologi seperti efisiensi energi, ketahanan struktur, hingga kemampuan adaptasi terhadap iklim. Inilah yang membedakan rumah konvensional dengan smart building atau bangunan ramah lingkungan.
Studi kasus: Green Office Park di BSD City adalah salah satu contoh nyata penerapan teknologi produk. Bangunan dirancang dengan teknologi fasad ganda, sistem HVAC pintar, dan pemanfaatan material daur ulang—semua aspek ini merupakan fitur dari teknologi produk konstruksi.
3. Teknologi Manajemen Konstruksi
Definisi: Metode dan teknik dalam mengelola sumber daya (manusia, alat, informasi, dan organisasi) secara efektif dalam proses bisnis konstruksi.
Pada titik ini, Jayady mengakui bahwa teknologi manajemen tidak hanya berkutat di lapangan, melainkan mencakup strategi bisnis dan hubungan dengan pemangku kepentingan. Model manajemen berbasis data kini menjadi arus utama—misalnya dengan penggunaan Enterprise Resource Planning (ERP) dalam proyek EPC (Engineering, Procurement, Construction).
Kritik dan opini: Sayangnya, di Indonesia adopsi teknologi manajemen konstruksi masih didominasi oleh perusahaan skala besar. UKM konstruksi masih tertinggal jauh dalam hal digitalisasi, padahal efisiensi dan kontrol mutu sangat bergantung pada penerapan manajemen berbasis teknologi.
Keunggulan Tulisan Jayady: Pendekatan Hermeneutika dan Sintesis
Salah satu nilai tambah dari artikel ini adalah pendekatannya yang tidak hanya kompilatif, tetapi juga analitis. Jayady menggunakan metode hermeneutika untuk menggali makna implisit dari berbagai definisi teknologi. Lalu, hasilnya disintesis untuk menciptakan konsep teknologi konstruksi yang aplikatif. Pendekatan ini jarang ditemui dalam studi teknik sipil di Indonesia, yang biasanya bersifat kuantitatif dan deskriptif.
Dengan pendekatan ini, pembaca diajak tidak hanya memahami “apa” itu teknologi konstruksi, tetapi juga “mengapa” dan “bagaimana” ia berkembang, serta “apa dampaknya” terhadap dunia konstruksi saat ini.
Relevansi Industri: Menjawab Tantangan Nyata di Lapangan
Dalam praktiknya, definisi yang jelas tentang teknologi konstruksi akan membantu banyak pihak, mulai dari:
Kontraktor: menentukan alat dan metode terbaik untuk efisiensi biaya
Konsultan: memahami hubungan antar komponen dalam proyek konstruksi
Pemerintah: merumuskan kebijakan berbasis inovasi dan keberlanjutan
Lembaga Pendidikan: menyusun kurikulum yang sesuai perkembangan industri
Contoh aktual: Dengan pemahaman konsep ini, pemerintah bisa lebih tepat dalam menyusun roadmap digitalisasi konstruksi nasional—misalnya dengan mendukung penerapan BIM, sistem manajemen mutu digital, dan pembangunan laboratorium uji material berbasis AI.
Kesimpulan: Menyatukan Makna, Menatap Masa Depan
Studi yang dilakukan oleh Arman Jayady menawarkan pemahaman menyeluruh tentang apa itu teknologi konstruksi secara ilmiah. Dengan membagi konsep menjadi tiga: teknologi proses, produk, dan manajemen, tulisan ini menjadi jembatan antara teori dan praktik. Dalam dunia yang semakin menuntut efisiensi, daya saing, dan keberlanjutan, kejelasan konsep seperti ini menjadi krusial.
Dalam konteks Indonesia, pendekatan seperti ini bisa menjadi bekal dalam membentuk strategi pengembangan sektor konstruksi nasional yang lebih visioner, berbasis data, dan responsif terhadap tantangan global.
Sumber Artikel
Jayady, A. (2018). Teknologi Konstruksi: Sebuah Analisis. Jurnal Karkasa, Vol. 4, No. 1, Politeknik Katolik Saint Paul Sorong.
Tersedia di: http://scholar.ummetro.ac.id/index.php/karkasa/article/view/301
Kontruksi Modern
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 30 April 2025
Pendahuluan: Menjawab Tantangan Konstruksi Modern
Di tengah kompleksitas dan dinamika proyek konstruksi modern, efisiensi waktu dan biaya menjadi tolok ukur utama keberhasilan. Salah satu pendekatan yang mulai banyak dikaji dan diimplementasikan untuk menjawab tantangan ini adalah constructability—yaitu integrasi keahlian konstruksi ke dalam seluruh tahap proyek, mulai dari perencanaan, perancangan, hingga pelaksanaan. Artikel karya Dony Yunianto, Jati Utomo Dwi Hatmoko, dan Arif Hidayat ini menyajikan evaluasi mendalam terhadap penerapan constructability pada dua proyek nyata: Gedung Universitas Diponegoro dan proyek apartemen swasta di Semarang.
Penelitian ini bukan hanya mengukur tingkat penerapan constructability, tetapi juga menyoroti peran stakeholder serta dampak nyata terhadap siklus hidup proyek.
Apa Itu Constructability dan Mengapa Penting?
Constructability merupakan konsep strategis yang menekankan pentingnya keterlibatan konstruksi sejak tahap awal proyek. Pendekatan ini mampu:
Mengurangi rework atau pekerjaan ulang
Meningkatkan efisiensi desain
Meminimalisir waste time
Menyederhanakan proses pengadaan
Menurunkan biaya total proyek secara jangka panjang
Banyak proyek gagal tepat waktu dan anggaran karena keterputusan informasi antara perencana dan pelaksana. Di sinilah constructability menjadi jembatan yang menjamin kelancaran dan kesinambungan proses.
Studi Kasus: Proyek Universitas Diponegoro vs Proyek Apartemen Swasta
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Responden berasal dari pihak pemilik proyek, kontraktor, dan tim teknis. Penilaian dilakukan berdasarkan 34 konsep constructability yang dikembangkan dari model CII, Nima (2001), dan Trigunarsyah (2004), yang mencakup tahap:
Perencanaan awal dan konsep
Perancangan dan pengadaan
Pra-konstruksi
Konstruksi
Tingkat penerapan constructability diukur dengan skala Likert 1–4:
Nilai <1: sangat rendah
1–2: sedang
2–3: tinggi
3–4: sangat tinggi
Analisis:
Proyek apartemen swasta memiliki penerapan constructability “sangat tinggi”, sedangkan proyek universitas berada di kategori “tinggi”.
Gap terbesar terlihat pada tahap pra-konstruksi. Hal ini menunjukkan pentingnya perencanaan teknis yang matang dan sinergi antar tim sejak awal.
Dampak Terhadap Siklus Hidup Proyek
Proyek Universitas Diponegoro (Design-Bid-Build)
Sistem kontrak terpisah antar tahap proyek.
Total waktu: ±28 bulan.
Waste time: ±16 bulan (lebih dari 50% waktu proyek).
Tantangan birokrasi APBN dua tahun anggaran menyebabkan inefisiensi.
Simulasi Alternatif: Design and Build
Durasi diperkirakan hanya ±9 bulan.
Potensi efisiensi waktu: 68% lebih singkat.
Namun, realisasi sulit karena keterbatasan sistem birokrasi pemerintah.
Proyek Apartemen Swasta (Design and Build)
Tahap desain dan konstruksi dilakukan bersamaan (overlapping).
Total waktu jauh lebih optimal.
Tidak ada jeda yang signifikan antara tahap desain dan pelaksanaan.
Nilai Tambah dan Opini: Apa yang Bisa Dipelajari?
Kelebihan Penelitian
Penilaian berbasis parameter konseptual yang kuat (CII, Nima, Trigunarsyah)
Studi kasus nyata dengan data primer dari stakeholder proyek
Penggunaan kombinasi kualitatif dan kuantitatif menambah kedalaman analisis
Kritik dan Keterbatasan
Keterbatasan jumlah proyek hanya dua unit—belum representatif untuk kesimpulan nasional
Belum mengeksplorasi integrasi teknologi seperti BIM atau digital twin yang kini makin relevan dengan constructability
Konteks birokrasi proyek pemerintah belum sepenuhnya dijawab oleh solusi teknis
Implikasi Praktis dan Rekomendasi
Reformasi Proyek Pemerintah
Dorong sistem kontrak design and build berbasis tahun jamak
Libatkan kontraktor sejak perencanaan awal
Tim Teknis Internal
Bentuk tim teknis lintas fase sebagai “penjaga informasi”
Bertugas menjaga kontinuitas desain, mengawal pelaksanaan, dan mengevaluasi kesesuaian lapangan
Penguatan Peran Perencana
Wajib terlibat hingga tahap konstruksi
Kewajiban dicantumkan dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK)
Penggunaan Alat Digital
Gunakan BIM untuk meningkatkan koordinasi lintas fase
Buat sistem aplikasi baku untuk monitoring constructability
Kesimpulan
Penerapan constructability terbukti mampu mempercepat waktu pelaksanaan dan meningkatkan kualitas proyek, terutama jika diterapkan sejak tahap awal oleh seluruh stakeholder. Proyek apartemen swasta menjadi contoh keberhasilan sistem design and build, di mana waktu proyek lebih singkat, peran stakeholder lebih solid, dan kualitas desain lebih baik.
Sebaliknya, proyek Universitas Diponegoro mencerminkan keterbatasan pendekatan tradisional design-bid-build. Meski tidak gagal, proyek mengalami pemborosan waktu yang signifikan akibat tidak terintegrasinya perencanaan dan pelaksanaan.
Penelitian ini menjadi pengingat pentingnya kolaborasi lintas fungsi dan keterbukaan desain terhadap masukan konstruksi sejak awal. Dengan penguatan manajemen dan kebijakan yang mendukung, constructability bisa menjadi fondasi utama pengelolaan proyek konstruksi di Indonesia ke depan.
Sumber Artikel
Yunianto, D., Hatmoko, J. U. D., & Hidayat, A. (2014). Evaluasi Penerapan Constructability pada Proyek Konstruksi Bangunan Gedung. Jurnal Media Komunikasi Teknik Sipil, Vol. 20, No. 2.
Tersedia di: http://ejournal.undip.ac.id/index.php/mkts/article/view/20877
Manajemen Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 30 April 2025
Pendahuluan: Mengapa Teknologi Penting dalam Manajemen Biaya Konstruksi?
Industri konstruksi adalah salah satu sektor dengan tingkat ketidakpastian tertinggi, terutama terkait pengelolaan waktu dan biaya. Dalam konteks ini, peran teknologi menjadi sangat vital untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi. Artikel yang ditulis oleh Uchenna Sampson Igwe dan rekan-rekannya bertujuan mengevaluasi penerimaan terhadap teknologi kontemporer dalam manajemen biaya proyek konstruksi di Nigeria, dengan menyasar pelaku profesional seperti quantity surveyor, insinyur, arsitek, dan manajer proyek.
Tujuan dan Signifikansi Studi
Penelitian ini bertujuan untuk:
Menilai tingkat pemahaman para profesional terhadap teknologi konstruksi modern
Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi penerimaan teknologi
Menentukan strategi adopsi teknologi yang optimal dalam konteks lokal
Dengan pendekatan ini, studi berkontribusi langsung terhadap pengambilan keputusan berbasis data dalam implementasi teknologi di sektor konstruksi—khususnya pada area manajemen biaya.
Metode Penelitian: Kuantitatif dan Statistis
Responden
Penelitian dilakukan dengan menyebarkan 450 kuesioner ke berbagai profesional di industri konstruksi di Nigeria, dengan tingkat respons sebesar 86,7% (390 responden).
Alat Analisis
Deskriptif Statistik: untuk menilai pengetahuan dan pengalaman
Exploratory Factor Analysis (EFA): untuk mengidentifikasi klaster faktor yang memengaruhi penerimaan teknologi
SPSS 22.0: sebagai alat bantu analisis data
Hasil Utama: Tingkat Pemahaman dan Penggunaan Teknologi
Pengetahuan Umum
Mayoritas responden menunjukkan pemahaman tinggi terhadap berbagai teknologi modern seperti:
BIM (Building Information Modeling)
CostX
Microsoft Project
Primavera Namun hanya 42% dari responden yang menggunakan teknologi ini secara rutin dalam pekerjaan sehari-hari.
Tingkat Penerimaan (Acceptance Level)
Hasil EFA menunjukkan 5 faktor utama yang membentuk dimensi penerimaan teknologi:
Technological Competence
Organizational Readiness
External Influence
Economic Viability
Behavioral Intention
Analisis tambahan: Dari kelima faktor tersebut, kompetensi teknis individu memiliki bobot tertinggi (0,781), mengindikasikan bahwa kemampuan personel lebih berpengaruh daripada aspek biaya atau dorongan eksternal.
Hambatan Implementasi Teknologi
Faktor Internal
Kurangnya pelatihan reguler dan pendidikan berbasis teknologi
Keterbatasan dalam integrasi software
Resistensi terhadap perubahan, terutama dari staf senior
Faktor Eksternal
Infrastruktur internet yang buruk
Biaya lisensi software yang tinggi
Kurangnya dukungan kebijakan dari regulator lokal
Studi pembanding: Kondisi ini mirip dengan hasil penelitian di Ghana (Owusu-Manu, 2018), di mana profesional konstruksi mengalami hambatan besar dalam adopsi BIM karena kekurangan infrastruktur dan pelatihan.
Rekomendasi Penelitian: Jalan Menuju Transformasi
Penulis merekomendasikan strategi berikut untuk mendorong adopsi teknologi:
In-house training dan sertifikasi profesional untuk BIM, CostX, dsb.
Investasi dalam infrastruktur digital dan cloud computing
Insentif pemerintah atau lembaga proyek bagi kontraktor yang menerapkan teknologi manajemen biaya
Kolaborasi antara industri dan institusi pendidikan tinggi dalam kurikulum berbasis teknologi
Opini tambahan: Pemerintah dapat mempertimbangkan pemberian subsidi software atau kebijakan pajak progresif untuk mendorong adopsi teknologi bagi perusahaan kecil dan menengah.
Dampak Praktis terhadap Industri Konstruksi
Dengan adopsi teknologi yang baik:
Proyek bisa mengurangi deviasi anggaran hingga 30% (berdasarkan simulasi dari proyek BIM di Afrika Selatan)
Durasi perencanaan proyek dipangkas 20–25%
Risiko keterlambatan dan konflik kontrak bisa ditekan melalui visualisasi biaya dan progres waktu secara simultan
Kritik Terhadap Penelitian
Keterbatasan Lokasi: Penelitian hanya fokus pada wilayah Nigeria, sehingga hasilnya mungkin tidak dapat digeneralisasi secara global.
Tidak menguji korelasi langsung antar variabel: Seperti antara pengalaman kerja dengan tingkat adopsi teknologi.
Aspek gender dan generasi tidak dieksplorasi, padahal perbedaan adopsi antara profesional muda dan senior bisa sangat signifikan.
Kesimpulan: Teknologi Bukan Pilihan, Tapi Kebutuhan
Penelitian ini secara gamblang menunjukkan bahwa penerimaan terhadap teknologi dalam manajemen biaya proyek konstruksi tidak hanya ditentukan oleh biaya atau tekanan eksternal, melainkan juga kesiapan teknis internal dan niat perilaku. Dalam era digital, kemampuan adaptasi terhadap perangkat lunak dan sistem berbasis data bukanlah nilai tambah, melainkan keharusan.
Untuk negara berkembang, termasuk Indonesia, temuan ini menguatkan pentingnya pembangunan ekosistem teknologi yang mendukung efisiensi biaya proyek, transparansi, serta daya saing sektor konstruksi di masa depan.
Sumber Artikel
Igwe, U. S., Okolie, K. C., & Ngwu, C. A. (2023). Acceptance of Contemporary Technologies for Cost Management of Construction Projects. Journal of Engineering, Project, and Production Management, 13(1), 51–63.
Tersedia di: https://www.ppml.url.tw/EPPM_Journal/volumns/13_01_January_2023/ID_9255_13_1_51_63.pdf
Teknologi Informasi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 30 April 2025
Pendahuluan: Ketika Inovasi Tertahan oleh Realita Industri
Di era digital, adopsi Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT) seharusnya menjadi hal yang niscaya di berbagai sektor, termasuk konstruksi. Namun, realitanya, sektor ini justru menjadi salah satu yang paling lambat dalam menerima inovasi. Penelitian yang dilakukan oleh Thejasvi Andipakula di sebuah perusahaan konstruksi di Nevada, AS, mengupas tuntas apa saja penghambat utama adopsi ICT dan bagaimana strategi mengatasinya.
Latar Belakang Penelitian: Manfaat ICT vs Realita Lapangan
ICT dalam industri konstruksi mampu meningkatkan efisiensi biaya, mempercepat proses pembangunan, dan memperkuat koordinasi antar pemangku kepentingan. Namun, proses implementasinya tidak sesederhana itu. Beragam studi telah mencatat adanya tantangan, mulai dari keterbatasan anggaran, budaya organisasi yang konvensional, hingga resistensi individu terhadap teknologi.
Studi ini memfokuskan pada:
Alat ICT yang umum digunakan
Hambatan utama dalam adopsi ICT
Strategi yang digunakan perusahaan untuk mengatasinya
Metodologi: Studi Kasus dan Pendekatan Kualitatif
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berbasis studi kasus. Data dikumpulkan melalui 9 wawancara mendalam dengan karyawan dari tiga divisi (perumahan, komersial, industri) dan dianalisis menggunakan pendekatan tematik melalui perangkat lunak NVivo.
Model Innovation Diffusion Theory (Rogers, 1983) digunakan untuk mengkategorikan sikap individu terhadap adopsi teknologi (innovator, early adopter, late majority, dll.).
Hasil dan Temuan Utama: Penerimaan Tinggi, Implementasi Tertahan
1. Karyawan sadar pentingnya ICT, namun belum semua siap menggunakannya secara aktif.
Contoh: Seorang manajer proyek menyatakan “Saya tahu BIM sangat membantu, tapi saya belum punya waktu cukup untuk mempelajarinya.”
2. Hambatan utama adopsi ICT dikategorikan menjadi tiga level:
A. Organisasi
Kurangnya waktu untuk pelatihan
Ketidakcocokan antara proses bisnis lama dan teknologi baru
Rendahnya dukungan kebijakan jangka panjang
B. Individu
Minimnya keahlian komputer dasar
Ketidaknyamanan menghadapi teknologi baru
Waktu kerja yang padat membuat belajar ICT terasa “tidak realistis”
C. Kelompok
Jarak geografis antartim menyulitkan proses learning by observation
Minimnya diskusi antar anggota tim seputar teknologi
3. Faktor Finansial ternyata bukan hambatan utama
Menariknya, perusahaan studi kasus memiliki dana cukup dan bahkan dukungan dari top manajemen. Namun, kendala muncul di level implementasi dan budaya kerja.
Strategi Mengatasi Hambatan: Belajar dari Lapangan
1. Pelatihan Terstruktur
Perusahaan menyediakan pelatihan in-house rutin. Namun pelatihan teknis saja tidak cukup—harus dikaitkan langsung dengan tugas harian.
2. Pemberdayaan “Champion” Teknologi
Seorang anggota tim dijadikan pionir yang menjadi jembatan antara teknologi dan pengguna awam.
3. Budaya Observasional
Tim didorong untuk saling memperlihatkan manfaat ICT dalam pekerjaan mereka—strategi ini terbukti efektif pada karyawan yang enggan belajar formal.
4. Dukungan Manajemen
Pimpinan proyek mendorong penggunaan ICT meskipun produktivitas sempat menurun di awal. Ini menunjukkan adanya toleransi adaptasi sebagai bagian dari transisi.
Analisis dan Perbandingan
Dibandingkan Studi Serupa
Penelitian ini selaras dengan temuan Peansupap & Walker (2005) bahwa faktor manusia dan budaya organisasi lebih dominan menghambat ICT daripada teknologi itu sendiri. Studi juga menegaskan temuan Wong & Lam (2010) bahwa resistensi kultural adalah batu sandungan utama.
Kelebihan Penelitian
Menggunakan pendekatan tematik dan teori adopsi inovasi Rogers
Data primer dari wawancara nyata
Fokus pada persepsi dan pengalaman nyata karyawan
Kritik
Hanya menggunakan satu perusahaan sebagai sampel
Tidak membandingkan efektivitas ICT secara kuantitatif
Belum menyentuh isu keberlanjutan atau pengaruh eksternal seperti kebijakan pemerintah
Implikasi Praktis
Untuk Perusahaan Konstruksi:
Jangan hanya beli software—bangun budaya dan pelatihan internal
Evaluasi kesiapan organisasi, bukan sekadar kesiapan teknologi
Identifikasi siapa champion teknologi Anda di setiap proyek
Untuk Dunia Pendidikan:
Perlu integrasi kurikulum ICT dalam pendidikan teknik sipil dan manajemen konstruksi
Untuk Regulator:
Perlunya standardisasi digital readiness bagi perusahaan konstruksi
Kesimpulan
Studi ini membuktikan bahwa adopsi ICT dalam konstruksi bukan soal teknologi, tapi soal manusia, budaya, dan waktu. Bahkan ketika dana dan teknologi tersedia, tantangan sejati ada pada resistensi budaya, kurangnya waktu belajar, serta miskomunikasi antar tim. Untuk mengatasi hal ini, pendekatan multidimensi yang mencakup pelatihan, champion teknologi, dukungan manajerial, dan pembelajaran antar rekan kerja menjadi solusi yang paling efektif.
Sumber Artikel
Andipakula, T. (2017). A Case Study of Barriers Inhibiting the Growth of Information and Communication Technology (ICT) in a Construction Firm. Colorado State University.
Tersedia di: https://mountainscholar.org/handle/10217/185805