Mengurai Risiko Eksternal dalam Proyek Design-Build Harga Tetap: Studi Kasus DKI Jakarta

Dipublikasikan oleh Anisa

21 Mei 2025, 08.50

Unplash.com

Proyek infrastruktur merupakan tulang punggung pertumbuhan ekonomi, dan di Provinsi DKI Jakarta, sektor konstruksi memegang peranan krusial. Pada tahun 2017, kontribusinya mencapai 12,81% terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DKI Jakarta, menjadikannya sektor ketiga terbesar setelah Perdagangan Besar dan Eceran, serta Industri Pengolahan. Dengan nilai konstruksi dan pendapatan bruto tertinggi di Indonesia, Jakarta secara aktif mengadopsi sistem design-build (DB) untuk mengoptimalkan proyek infrastruktur. Namun, meskipun menjanjikan efisiensi, proyek-proyek DB di ibu kota tak luput dari masalah, terutama terkait keterlambatan penyelesaian yang berpotensi memicu pembengkakan biaya. Sebuah studi mendalam, menggunakan desain concurrent embedded dengan pendekatan kuantitatif sebagai primernya, mengungkap pemicu utama di balik tantangan ini.

Paradoks Proyek Design-Build di Jakarta

Fenomena keterlambatan proyek DB di Jakarta menghadirkan paradoks yang menarik dibandingkan dengan pengalaman negara lain. Dari tahun 2015 hingga 2017, sebanyak 13 dari 16 proyek infrastruktur DB (81,25%) mengalami keterlambatan yang bervariasi antara 4,1% hingga 28,8% dari rencana awal. Keterlambatan semacam ini secara langsung berdampak pada peningkatan biaya proyek, dan dalam sistem kontrak harga tetap (fixed-price), seluruh risiko biaya tambahan menjadi tanggung jawab kontraktor. Ini sangat berbeda dengan narasi global, di mana model DB justru cenderung meningkatkan performa proyek. Sebagai contoh, di Singapura, kontraktor menilai proyek DB memiliki kinerja lebih baik dalam kualitas, waktu, dan biaya dibandingkan proyek tradisional. Di Inggris, tingkat kepuasan pemilik proyek terhadap kinerja DB berada di atas rata-rata untuk harga, waktu, dan kualitas, dengan proyek DB yang dianggap lebih baik dalam hal ketepatan waktu dan kepastian biaya. Bahkan di Amerika Serikat, proyek DB menunjukkan kinerja yang superior dalam hal kualitas, waktu, dan biaya dibandingkan proyek design-bid-build (DBB). Disparitas ini menyoroti perlunya analisis mendalam terhadap faktor-faktor eksternal yang memengaruhi proyek DB di DKI Jakarta.

Memahami Design-Build dan Risiko Eksternal

Design-build (DB) adalah metode pengiriman proyek yang mengontrak satu entitas tunggal untuk layanan desain dan konstruksi. Berbeda dengan sistem tradisional design-bid-build (DBB) di mana pemilik mengontrak desainer dan kontraktor secara terpisah, dalam DB, kontraktor bertanggung jawab penuh atas proses perencanaan, desain, dan konstruksi. Dalam konteks proyek DB di DKI Jakarta yang menggunakan sistem harga tetap, cakupan pekerjaan dan total biaya kontrak bersifat tetap dan terikat, di mana perubahan kontrak tidak mencakup penyesuaian harga kecuali ada kebijakan pemerintah. Artinya, jika ada biaya tambahan untuk penyelesaian proyek, itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab kontraktor.

Dalam kerangka manajemen proyek, risiko didefinisikan sebagai kondisi atau peristiwa tak terduga yang dapat berdampak positif atau negatif terhadap pencapaian tujuan proyek. Risiko melekat pada setiap fase proyek dan perlu diidentifikasi untuk menghindari efek buruk pada kinerja proyek secara keseluruhan. Banyak masalah yang muncul di fase lanjutan siklus hidup proyek seringkali berasal dari risiko yang tidak dikelola dengan baik pada tahap sebelumnya. Risiko dapat dikategorikan menjadi ancaman internal dan eksternal. Faktor eksternal adalah risiko yang dapat memengaruhi kinerja proyek di luar kemampuan pemilik dan kontraktor. Kinerja proyek sendiri dapat didefinisikan dalam tiga batasan utama: biaya/anggaran, waktu, dan kualitas. Keberhasilan manajemen proyek tidak hanya ditentukan oleh pencapaian tujuan, tetapi juga oleh penggunaan waktu, biaya, tingkat kinerja/teknologi yang dialokasikan, penerimaan pelanggan, dan penggunaan sumber daya yang efektif. Berdasarkan teori dan penelitian sebelumnya, risiko memengaruhi kinerja proyek, baik pada waktu penyelesaian maupun biaya. Keterlambatan penyelesaian proyek oleh kontraktor berarti kerugian akibat peningkatan biaya overhead, material, dan tenaga kerja.

Penelitian ini mengadopsi metode campuran (mixed-method), yaitu concurrent embedded, dengan pendekatan kuantitatif sebagai yang utama. Populasi studi ini adalah kontraktor yang terlibat dalam pekerjaan dengan metode DB yang menggunakan sistem kontrak harga tetap di DKI Jakarta (tidak termasuk konsultan dan pemilik) selama periode kontrak 2015-2018. Jumlah sampel adalah 50 responden dengan pengalaman kerja minimal lima tahun di bidang konstruksi. Kuesioner dan wawancara menjadi sumber data primer, sementara studi dokumenter merupakan sumber data sekunder. Data dianalisis menggunakan Partial Least Square (PLS).

Temuan Kunci: Ancaman dari Utilitas dan Pihak Ketiga

Analisis data mengungkapkan bahwa risiko gangguan utilitas memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap kinerja waktu dan biaya proyek DB di DKI Jakarta. Sebaliknya, risiko pihak ketiga tidak memengaruhi kinerja waktu dan biaya proyek DB. Temuan ini sangat penting, mengingat bahwa informasi yang tidak lengkap dan tidak akurat mengenai gangguan utilitas secara langsung menyebabkan keterlambatan penyelesaian proyek dan peningkatan realisasi biaya dibandingkan dengan rencana awal.

Secara spesifik, nilai R Square untuk kinerja waktu adalah 0,121, menunjukkan bahwa gangguan utilitas dan risiko pihak ketiga berkontribusi 12,1% terhadap kinerja waktu. Risiko gangguan utilitas memiliki ukuran efek yang lemah (0,093), sedangkan risiko pihak ketiga (0,001) dikategorikan tidak memengaruhi. Untuk kinerja biaya, nilai R Square adalah 0,338, yang berarti gangguan utilitas dan risiko pihak ketiga berkontribusi 33,8% terhadap kinerja waktu. Risiko gangguan utilitas memiliki ukuran efek moderat (0,220), sementara efek risiko pihak ketiga (0,048) tergolong lemah.

Dalam pengujian hipotesis, risiko gangguan utilitas (-0,334) secara signifikan memengaruhi kinerja waktu (sig. 0,044), sementara efek risiko pihak ketiga (-0,025) tidak signifikan (sig. 0,898). Risiko gangguan utilitas (-0,446) juga secara signifikan memengaruhi kinerja biaya (sig. 0,000), sedangkan risiko pihak ketiga (-0,208) tidak signifikan (sig. 0,898). Dengan demikian, dua hipotesis penelitian diterima: risiko gangguan utilitas secara negatif memengaruhi kinerja waktu (H1) dan kinerja biaya (H2) proyek DB.

Analisis Mendalam: Mengapa Utilitas Begitu Berdampak?

Secara umum, utilitas merupakan tanggung jawab pemilik proyek dalam hal pengadaan, operasi, dan pemeliharaan. Demikian pula, jika ada kebutuhan untuk relokasi atau pemindahan utilitas, ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemilik utilitas. Namun, masalah yang sering terjadi adalah jadwal yang berkaitan dengan penanganan gangguan utilitas tidak sinkron. Akibatnya, pekerjaan konstruksi tidak dapat diselesaikan dengan segera dan bahkan tumpang tindih dengan penanganan gangguan utilitas.

Berdasarkan survei kualitatif terhadap praktisi proyek konstruksi infrastruktur di DKI Jakarta, informasi tender mengenai utilitas yang mengganggu pekerjaan konstruksi tidak lengkap. Ketidaklengkapan informasi ini terjadi pada berbagai tingkatan: 2% responden menyatakan tidak ada informasi, 38% responden menyatakan hanya sedikit informasi yang tersedia, dan 38% responden menyatakan hanya separuh data yang tersedia. Demikian pula, akurasi informasi yang disampaikan mengenai jenis, fungsi, dan dimensi utilitas yang diterima saat tender dengan kondisi di lapangan juga menjadi masalah. Semua responden menyatakan bahwa data tidak akurat (58% sebagian besar informasi salah, 28% sebagian benar, dan hanya 14% yang mengatakan sebagian kecil informasi yang diberikan benar).

Dari wawancara, ketidaklengkapan dan ketidakakuratan informasi ini disebabkan oleh ketidakakuratan gambar as-built pekerjaan utilitas. Hal ini mungkin terjadi karena setelah instalasi utilitas, telah ada perubahan dalam pekerjaan infrastruktur, dan tidak ada pembaruan pada gambar as-built (misalnya, untuk posisi utilitas terbaru, baik dalam hal alignment maupun elevasi). Lebih lanjut, sebagian besar responden menyatakan bahwa informasi yang disampaikan tentang prosedur dan proses relokasi tidak akurat terkait dengan jadwal relokasi utilitas. Setelah koordinasi lebih lanjut mengenai pemindahan utilitas, terjadi ketidaksesuaian jadwal realisasi di lapangan, dengan 58% responden menyatakan bahwa ketidaksesuaian ini menyebabkan pekerjaan tertunda selama satu bulan atau lebih. Kondisi ini menyulitkan operator konstruksi untuk menjadwalkan pekerjaan konstruksi sesuai dengan relokasi utilitas.

Gangguan utilitas menyebabkan desain dan metode kerja tidak dapat diimplementasikan sesuai rencana awal. Akibatnya, hal ini dapat menyebabkan perubahan desain total atau memerlukan penggantian material dengan menyesuaikan kondisi yang ada di lapangan. Gangguan utilitas juga menghambat pengoperasian peralatan, tingkat penerimaan material, dan penyelesaian pekerjaan. Gangguan utilitas terjadi di setiap proyek, sehingga probabilitasnya sangat tinggi (VHI). Meskipun demikian, gangguan utilitas menyebabkan peningkatan biaya yang dialokasikan kurang dari 25% atau diklasifikasikan dalam kategori dampak rendah (LOW). Dengan demikian, tingkat risiko gangguan utilitas dikategorikan sebagai moderat (MOD).

Kontras dengan Risiko Pihak Ketiga

Dibandingkan dengan gangguan utilitas, permintaan pihak ketiga lebih sulit diidentifikasi. Sebanyak 30% responden menyatakan tidak ada informasi mengenai risiko pihak ketiga, dan 70% sisanya mengatakan informasinya tidak lengkap. Risiko pihak ketiga sering muncul selama pelaksanaan pekerjaan setelah pihak ketiga melihat implementasi proyek. Bahkan pemilik proyek pun tidak banyak mengetahui tentang permintaan pihak ketiga sehingga informasi yang disampaikan pada fase tender tidak akurat.

Meskipun permintaan pihak ketiga harus dipenuhi karena pada akhirnya permintaan tersebut menjadi kebutuhan, meskipun bukan persyaratan kelayakan operasional untuk memperoleh Sertifikasi Kelayakan Operasional (SLO), tingkat kemungkinan risiko pihak ketiga sangat rendah (VLOW) dan menyebabkan peningkatan biaya yang dialokasikan kurang dari 25% atau diklasifikasikan dalam kategori dampak rendah (LOW). Oleh karena itu, tingkat risiko pihak ketiga dikategorikan sebagai rendah (LOW).

Hasil studi ini pada proyek konstruksi design-build di DKI Jakarta menunjukkan hasil yang berbeda dari beberapa penelitian sebelumnya. Studi oleh Pennsylvania State University bekerja sama dengan Construction Industry Institute yang dilakukan pada 351 proyek di 37 negara bagian AS menunjukkan bahwa: (1) metode desain memberikan keuntungan biaya proyek 6% dibandingkan metode tradisional; (2) biaya yang timbul karena perubahan pekerjaan berkurang 5,2% dibandingkan proyek DBB; dan (3) waktu penyelesaian proyek 33% lebih cepat daripada metode tradisional. Perbedaan signifikan ini menekankan pentingnya konteks lokal dalam menganalisis risiko proyek.

Implikasi dan Rekomendasi

Salah satu kendala utama dalam implementasi proyek DB di DKI Jakarta adalah identifikasi risiko eksternal dan informasi yang tidak akurat mengenai risiko tersebut. Identifikasi risiko sangat penting dalam manajemen risiko; risiko tidak dapat dikelola kecuali telah diidentifikasi. Mengakui bagian-bagian penting dari risiko adalah langkah pertama untuk berhasil melakukan penilaian risiko. Secara umum, tahap identifikasi risiko adalah merinci risiko yang ada, kemudian menentukan signifikansi (potensi) dan penyebabnya melalui survei dan investigasi masalah yang ada.

Studi ini secara tegas menunjukkan bahwa risiko gangguan utilitas secara negatif memengaruhi kinerja waktu dan biaya proyek DB. Sebaliknya, risiko pihak ketiga tidak secara signifikan memengaruhi kinerja waktu dan biaya proyek DB. Informasi yang tidak lengkap dan tidak akurat mengenai gangguan utilitas menyebabkan keterlambatan penyelesaian proyek dan peningkatan realisasi biaya dibandingkan rencana awal. Lebih lanjut, kurangnya informasi terkait risiko pihak ketiga menyulitkan penanganannya. Memastikan jadwal penanganan risiko juga penting dan diperlukan untuk mengelola risiko.

Mengingat potensi risiko proyek konstruksi yang relatif tinggi dibandingkan proyek lain, harus ada prioritas yang berbeda untuk risiko yang ada. Manajemen risiko proyek sangat penting untuk peningkatan kinerja proyek. Ini terdiri dari identifikasi dan penilaian risiko yang sistematis, pengembangan strategi untuk mencegah atau menghindari risiko, dan memaksimalkan peluang. Oleh karena itu, untuk memastikan pengiriman proyek yang optimal, pemerintah, sebagai pemilik proyek, perlu memvalidasi informasi yang diberikan dan mengoordinasikan penanganan gangguan sebelum proyek dimulai. Ini bukan sekadar formalitas, melainkan langkah strategis untuk meminimalisir dampak negatif yang terbukti merugikan efisiensi dan efektivitas proyek infrastruktur di DKI Jakarta.

Sumber Artikel:

Lindawati, & Wibowo, A. (2020). External Risk in Design-Build Projects with Fixed-Price System: The Case of DKI Jakarta Province, Indonesia. International Journal of Science, Technology & Management, 2(1), 236–243. Diakses dari http://ijstm.inarah.co.id/index.php/ijstm/article/view/100