Mitigasi Risiko dalam Proyek Pembangunan Rumah Khusus Suku Anak Dalam Studi Lapangan dari Jambi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

21 Mei 2025, 09.12

freepik.com

Pembangunan Inklusif di Wilayah Terpencil: Mengapa Risiko Tak Bisa Diabaikan

Pembangunan rumah khusus bagi komunitas adat seperti Suku Anak Dalam (SAD) bukanlah pekerjaan konstruksi biasa. Proyek ini menyatukan urusan teknis, sosial, budaya, bahkan spiritualitas masyarakat adat. Paper karya Novi Hazriyanti, Benny Hidayat, dan Taufika Ophiyandri dalam Rang Teknik Journal edisi Juni 2020 menyoroti tantangan unik dalam proyek semacam ini di Provinsi Jambi, khususnya di Kabupaten Merangin dan Sarolangun pada periode 2017–2018.

Keterlambatan, biaya membengkak, konflik sosial, hingga perubahan desain mendadak hanyalah sebagian dari tantangan nyata yang ditemui. Risiko-risiko ini bukan hanya bisa memperlambat pembangunan, tapi juga menghambat tujuan mulia dari proyek: memastikan masyarakat SAD hidup layak dalam rumah yang nyaman dan sesuai budaya mereka.

Latar Belakang Proyek: Kombinasi Kepentingan Sosial dan Tantangan Geografis

Pemerintah pusat melalui Satker SNVT Penyediaan Perumahan Provinsi Jambi melaksanakan proyek pembangunan rumah bagi SAD di dua kabupaten utama. Pada tahun 2017, dibangun 50 unit rumah semi permanen di Merangin dan Sarolangun. Lalu, pada 2018, proyek diperluas dengan pembangunan 23 unit rumah permanen di Merangin serta 57 unit rumah panggung di Sarolangun.

Proyek ini melibatkan komunitas yang sangat terikat dengan tanah leluhur, budaya turun-temurun, dan gaya hidup nomaden. Kondisi tersebut menciptakan tantangan besar baik dari sisi perencanaan desain, pemilihan lokasi, penyediaan material, hingga interaksi dengan masyarakat.

Metodologi Penelitian: Kombinasi Kualitatif dan Matriks Risiko

Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif menggunakan wawancara dan kuesioner. Sebanyak 40 responden terlibat, terdiri dari pemilik proyek (mayoritas), kontraktor, dan konsultan supervisi. Data dianalisis menggunakan pendekatan matriks risiko AS/NZS 4360, yang menilai tingkat risiko berdasarkan kemungkinan terjadinya (likelihood) dan dampaknya (severity).

Setiap risiko kemudian dikategorikan ke dalam tingkat risiko rendah, sedang, tinggi, hingga ekstrem. Validitas data juga diuji, dengan dua variabel risiko akhirnya dikeluarkan karena tidak lolos uji statistik.

Identifikasi Risiko: 84 Variabel Risiko, 3 Tahapan Proyek

Penelitian ini berhasil mengidentifikasi 84 variabel risiko yang diklasifikasikan ke dalam tiga fase utama:

Tahap Perencanaan

Sebanyak 13 risiko ditemukan, termasuk keterlambatan perizinan, korupsi dan kolusi, kesalahan dalam estimasi biaya, perubahan jadwal pelaksanaan yang tidak terprediksi, hingga kegagalan dalam memahami kondisi sosial masyarakat SAD.

Tahap Pelaksanaan

Fase ini paling kompleks, dengan 61 risiko yang mencakup perubahan kebijakan, kondisi cuaca ekstrem, lemahnya koordinasi antar pemangku kepentingan, kekurangan tenaga kerja, pencurian material oleh warga lokal, ketidaksesuaian spesifikasi peralatan, dan bahkan sabotase di lapangan.

Tahap Pasca Konstruksi

Sebanyak 10 risiko muncul setelah pembangunan, seperti rumah tidak dihuni, kualitas bangunan tidak sesuai harapan, penerima bantuan ganda, serta kegagalan fungsi bangunan akibat kurangnya perawatan rutin.

Risiko Dominan: Faktor Sosial dan Teknis yang Paling Berpengaruh

Dari seluruh temuan, terdapat sepuluh risiko utama yang dinilai paling mempengaruhi keberhasilan proyek. Risiko pertama yang paling sering terjadi adalah change order, yaitu perubahan desain atau lingkup kerja setelah kontrak ditandatangani. Penyebabnya antara lain kesalahan desain awal, kondisi lapangan yang berbeda dari dokumen, serta spesifikasi material yang tidak tersedia di daerah terpencil.

Risiko kedua adalah kepercayaan masyarakat SAD terhadap tanah leluhur, yang membuat pembebasan lahan menjadi rumit. SAD tidak terbiasa dengan sistem kepemilikan formal, sehingga proses perizinan seperti IMB (Izin Mendirikan Bangunan) juga mengalami hambatan.

Risiko ketiga adalah perubahan jadwal pelaksanaan proyek. Penyesuaian desain, cuaca ekstrem, dan kesulitan mobilisasi alat berat menyebabkan banyak kegiatan mundur dari rencana awal.

Selain itu, beberapa faktor teknis seperti akses lokasi yang sulit, cuaca hujan yang memperparah kondisi jalan, serta gangguan dari warga sekitar (misalnya pencurian material karena ketidaktahuan nilai benda tersebut) juga masuk dalam daftar risiko tertinggi.

Wawancara dengan lima responden kunci mengungkap detail yang lebih dalam. Misalnya, desain rumah yang awalnya menggunakan atap andulin terpaksa diganti dengan atap multiroof berlapis pasir. Alasan pergantian bukan teknis, melainkan kultural—SAD merasa takut dengan suara bising saat hujan yang dihasilkan oleh atap andulin.

Di sisi lain, desain tangga rumah panggung juga harus disesuaikan. Aslinya hanya memiliki satu pintu, tetapi atas permintaan masyarakat lokal, ditambahkan pintu belakang agar mereka bisa "keluar-masuk tanpa gangguan roh leluhur," sebagaimana kepercayaan adat mereka.

Kesulitan lain muncul dari segi perizinan. Salah satu responden menyebutkan bahwa proses IMB terganggu karena terjadi reshuffle pejabat di tingkat kabupaten. Dokumen yang sedang diproses harus diulang dari awal karena pejabat penandatangan berubah.

Tak kalah menantang, beberapa lokasi pembangunan berada di hutan lindung Taman Nasional Bukit Dua Belas, yang menyebabkan proses land clearing tertunda lama. Bahkan, alat berat harus diangkut secara manual melewati jalur tanah yang licin dan sempit.

Strategi Mitigasi Risiko: Integrasi Teknikal dan Sosial Budaya

Untuk menjawab kompleksitas risiko tersebut, penulis menyusun serangkaian strategi mitigasi yang terstruktur. Strategi ini dibagi ke dalam empat fase utama:

Perencanaan dan Desain

Proses ini harus diawali dengan survei lokasi mendalam. Setiap desain perlu mengakomodasi kepercayaan lokal dan kebiasaan masyarakat SAD. Penggunaan material juga harus mempertimbangkan ketersediaan lokal agar tidak menyebabkan delay akibat suplai yang sulit diakses.

Desain rumah bukan hanya soal struktur, tetapi simbol budaya. Oleh karena itu, arsitektur yang ramah budaya menjadi kebutuhan primer.

Pemberdayaan Masyarakat

Sosialisasi kepada SAD sejak awal sangat penting. Mereka perlu memahami manfaat rumah tersebut, termasuk aspek kesehatan, keamanan, dan kenyamanan. Pemberdayaan dilakukan secara partisipatif agar mereka terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan.

Melibatkan masyarakat lokal dalam pembangunan, meski dalam peran sederhana seperti angkut material, menciptakan rasa memiliki dan mengurangi potensi gangguan sosial.

Pelaksanaan dan Konstruksi

Fase ini menuntut ketelitian ekstra. Tim pengawas harus berada di lokasi lebih lama, bahkan tinggal di sana jika perlu. Koordinasi dengan pemangku kepentingan lokal, termasuk tokoh adat dan pemerintah desa, menjadi kunci kelancaran.

Selain itu, pemesanan alat berat dan material harus dilakukan lebih awal, dengan antisipasi keterlambatan karena cuaca atau akses buruk. Komunikasi lintas tim, mulai dari kontraktor, pemilik proyek, hingga pengawas lapangan, harus berjalan intensif dan rutin.

Pemeliharaan dan Evaluasi

Tahap ini sering diabaikan, padahal sangat penting. Banyak rumah yang tidak dihuni atau rusak dini karena tidak ada anggaran untuk perawatan. Oleh karena itu, perlu dialokasikan dana khusus untuk maintenance, dan warga SAD dilatih untuk melakukan perawatan ringan.

Refleksi Kritis: Mengapa Penelitian Ini Relevan?

Penelitian ini sangat kontekstual namun sekaligus universal. Di satu sisi, ia spesifik mengulas tantangan pembangunan rumah adat di komunitas SAD. Di sisi lain, temuan ini dapat diterapkan pada proyek serupa di daerah-daerah dengan karakteristik budaya kuat, seperti Papua, Kalimantan pedalaman, atau NTT.

Salah satu kekuatan utama studi ini adalah menyatukan perspektif teknis dan sosial. Pendekatan mitigasi tidak hanya fokus pada alat berat atau dokumen kontrak, tapi juga pada aspek psikososial, komunikasi, dan budaya masyarakat.

Namun demikian, tantangan implementasi tetap besar. Koordinasi lintas lembaga, keterbatasan anggaran, serta birokrasi daerah sering kali menjadi batu sandungan dalam menerapkan mitigasi risiko secara konsisten.

Penutup: Pembangunan Berbasis Kearifan Lokal sebagai Kunci Keberhasilan

Pembangunan rumah khusus bagi masyarakat SAD bukan hanya soal “membangun atap di atas kepala.” Ia adalah proses rekonsiliasi antara modernitas dan adat, antara kebutuhan teknis dan keluhuran budaya. Penelitian ini menunjukkan bahwa keberhasilan proyek sangat ditentukan oleh kemampuan para pelaksana untuk beradaptasi dengan nilai lokal, memperkuat komunikasi, serta mengedepankan pendekatan partisipatif.

Di era pembangunan berkelanjutan, proyek-proyek semacam ini akan semakin banyak. Oleh karena itu, hasil studi ini patut dijadikan rujukan utama dalam penyusunan kebijakan pembangunan berbasis masyarakat adat di Indonesia.

Sumber Asli Artikel:

Hazriyanti, N., Hidayat, B., & Ophiyandri, T. (2020). Manajemen Risiko Proyek Pembangunan Rumah Khusus Suku Anak Dalam (SAD) Provinsi Jambi. Rang Teknik Journal, Vol. 3 No. 2, Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat. ISSN 2599-2081.