Teknik Sipil
Dipublikasikan oleh Raihan pada 24 Oktober 2025
Riset ini, berjudul "A Systematic Review: To Increase Transportation Infrastructure Resilience to Flooding Events," adalah tinjauan sistematis komprehensif yang mengkaji literatur ilmiah dari tahun 1900 hingga 2021 untuk memetakan upaya peningkatan ketahanan infrastruktur transportasi terhadap banjir. Tinjauan ini bertujuan untuk memenuhi tiga objektif utama: (1) menentukan bencana alam yang paling banyak diteliti terkait kerentanan (vulnerability), (2) mengidentifikasi jenis infrastruktur yang paling dominan dalam studi ketahanan terhadap banjir, dan (3) menyelidiki tahap penelitian saat ini.
Jalur Logis Penemuan Penelitian 🧭
Metodologi tinjauan ini terstruktur dalam tiga tahap yang secara progresif mempersempit fokus penelitian:
Tahap 1: Mengidentifikasi Ancaman Utama
Tahap pertama melibatkan pencarian 17 jenis bahaya atau bencana alam, digabungkan dengan kata kunci "kerentanan" (vulnerability), dalam database Google Scholar dan Scopus dari tahun 1900 hingga 2021. Hasil totalnya mencapai 6.541 studi. Dari jumlah ini, kerentanan banjir (flood vulnerability) adalah topik yang paling menonjol, dengan total 2.223 studi. Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara banjir dan urgensi riset, menegaskan banjir sebagai bencana alam yang paling relevan untuk penyelidikan kerentanan lebih lanjut. Data kuantitatif secara deskriptif menunjukkan pertumbuhan pesat riset kerentanan bencana alam setelah tahun 1980.
Tahap 2: Menentukan Infrastruktur Kritis
Setelah menetapkan banjir sebagai fokus utama, Tahap 2 bertujuan untuk mengidentifikasi sektor infrastruktur kritis yang paling sering dikaitkan dengan ketahanan banjir (flood resilience). Pencarian kata kunci "flood resilience infrastructure" dalam rentang waktu 1981–2021 menghasilkan 79 studi unik. Berdasarkan kategorisasi 55 studi unik, riset terkait transportasi adalah yang paling lazim, muncul dalam 57% studi, mengungguli sektor lain seperti pengolahan air limbah (42%) dan energi (34%). Hal ini secara logis menetapkan infrastruktur transportasi sebagai fokus penting untuk sisa tinjauan.
Tahap 3: Memetakan Tahap Riset Saat Ini
Tahap akhir berfokus pada studi terkait ketahanan infrastruktur transportasi terhadap banjir. Dengan menyaring 700 hasil pencarian kata kunci yang spesifik ("transportation", "road(s)", dan "transit" dengan "flood" dan "flooding"), tim peninjau menganalisis total 133 artikel jurnal terbitan sejawat (peer-reviewed) berbahasa Inggris. Studi-studi ini dikelompokkan ke dalam enam kategori riset, selaras dengan langkah 3–5 dari Infrastructure Resilience Planning Framework (IRPF) oleh CISA (Langkah 3: Penilaian Risiko, Langkah 4: Mengembangkan Tindakan, dan Langkah 5: Implementasi dan Evaluasi).
Enam kategori riset yang ditemukan adalah:
Dalam kategori A (Analisis Risiko), temuan menunjukkan penggunaan luas model hidrologi/hidrodinamik (misalnya, HEC-HMS) untuk menentukan kedalaman banjir dan alat geospasial untuk memvisualisasikan risiko. Kategori B (Prediksi Real-Time) menekankan perlunya data curah hujan dan air yang memadai untuk meningkatkan akurasi model peramalan. Dalam Kategori C dan D, dampak pada aksesibilitas dan mobilitas diselidiki sebagai faktor krusial, diukur melalui keterlambatan, kecepatan kendaraan, dan kemampuan untuk melintasi jalan.
🔑 Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi utama dari tinjauan sistematis ini adalah sebagai penentu arah strategis untuk penelitian masa depan.
🚧 Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun komprehensif, riset ini memiliki keterbatasan yang secara langsung menghasilkan pertanyaan terbuka untuk komunitas akademik:
🎯 5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Berikut adalah lima rekomendasi riset ke depan, yang ditujukan untuk memajukan bidang ini melampaui fokus saat ini pada pemodelan risiko (Langkah 3 IRPF) dan menuju implementasi dan evaluasi (Langkah 4 dan 5 IRPF).
1. Riset Aksi untuk Penilaian Sumber Daya dan Kapabilitas yang Ada (Langkah 4 IRPF)
Riset harus bergeser untuk mengatasi kesenjangan yang teridentifikasi mengenai penilaian sumber daya dan kapabilitas yang ada.
2. Pengembangan dan Validasi Metrik Kinerja Ketahanan (Resilience Performance Metrics) (Langkah 5 IRPF)
Penelitian harus berfokus pada pengembangan dan penerapan metrik untuk memantau dan mengevaluasi efektivitas solusi ketahanan.
3. Integrasi Pemodelan Interdependensi Infrastruktur Kritis
Meningkatkan akurasi analisis kerentanan (Kategori D) dan dampak (Kategori C) dengan secara eksplisit memodelkan kegagalan kaskade yang terjadi akibat ketergantungan antar infrastruktur.
4. Memanfaatkan Data Real-Time Lanjut untuk Peringatan dan Adaptasi Perilaku
Memajukan penelitian di Kategori B (Peramalan Real-Time) dan Kategori F (Pemanfaatan data pengguna) dengan integrasi data yang lebih kompleks.
5. Studi Kasus Komparatif Berbasis Geografi dan Karakteristik Lingkungan
Memperluas studi di luar Asia dan AS (yang merupakan area studi paling umum) dengan menerapkan metodologi yang ada di wilayah dengan karakteristik serupa.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi dari bidang ilmu data dan kecerdasan buatan, badan-badan pemerintah yang bertanggung jawab atas pengelolaan infrastruktur (misalnya, Departemen Transportasi), dan organisasi-organisasi non-pemerintah yang berfokus pada keadilan sosial dan lingkungan untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.
Tautan DOI resmi: Baca paper aslinya di sini
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Raihan pada 24 Oktober 2025
🌊 Mengukur Kesiapsiagaan Banjir: Mengapa Pendekatan Lokal Inggris Mengungguli Model Sentralistik Turki, dan Jalan ke Depan untuk Penelitian Global
Penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas manajemen banjir (Flood Management/FM) di Turki—sebagai representasi negara berkembang—dan Inggris (UK)—sebagai negara maju—serta memberikan rekomendasi berbasis bukti untuk meningkatkan praktik di kedua negara. Melalui studi kualitatif mendalam, tesis doktoral ini tidak hanya membandingkan kerangka kerja kelembagaan dan operasional tetapi juga memperkenalkan serangkaian indikator baru untuk mengukur efisiensi sistem. Jalur logis temuan dimulai dengan perbandingan top-down dan berlanjut ke pengujian hipotesis di lapangan dan melalui studi kasus bencana nyata.
Jalur Logis Penemuan: Dari Hipotesis Tata Kelola ke Bukti Bencana
Riset ini dengan cermat membandingkan dua model tata kelola bencana yang kontras. Inggris, didorong oleh UU Manajemen Banjir dan Air 2010, menganut pendekatan proaktif dan terdesentralisasi (lokal), menekankan kolaborasi lintas-pemangku kepentingan, dari tingkat pusat hingga komunitas lokal. Sebaliknya, Turki dicirikan oleh pendekatan yang reaktif dan sentralistik, dengan undang-undang yang tidak definitif, menghasilkan perencanaan yang tidak efektif, sistem peringatan yang buruk, dan pemangku kepentingan yang tidak terorganisir.
Untuk menguji efektivitas klaim tata kelola ini, penelitian ini mengembangkan serangkaian Indikator Efisiensi Manajemen Banjir (FMEIs), yang dikelompokkan ke dalam tiga fase Siklus Manajemen Bencana: Kesiapsiagaan dan Perencanaan, Respons, dan Pemulihan. Kerangka kerja ini, terdiri dari 26 indikator turunan literatur, berfungsi sebagai alat ukur standar yang eksplisit untuk menilai kekuatan dan kelemahan sistem di Izmit/Kocaeli (Turki) dan Southampton/Hampshire (Inggris).
Hasil Kuantitatif Deskriptif dari Penilaian Sistem
Wawancara dengan para profesional FM di kedua negara kemudian memvalidasi kontras kualitatif ini, yang diukur secara deskriptif menggunakan kerangka FMEIs.
Dampak dari perbedaan tata kelola ini divalidasi melalui studi kasus: Banjir Marmara 2009 (Turki) dan Banjir Kendal 2015 (Inggris). Penilaian FMEIs terhadap respons bencana nyata menunjukkan bahwa manajemen banjir Kendal memperoleh skor total 43 (kualitas Optimum), sementara Marmara memperoleh skor total 28 (kualitas Tinggi). Kesenjangan terluas muncul dalam kategori perencanaan: Meskipun telah terjadi banjir sebelumnya di Marmara, kurangnya perencanaan mitigasi dan peta bahaya yang akurat memperburuk dampak bencana. Kunci efektivitas Inggris terletak pada pendekatan terpusatnya untuk perencanaan tetapi didelegasikan kepada tingkat lokal, memungkinkan pemahaman yang lebih baik tentang risiko di lapangan dan pemulihan yang lebih cepat.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi terpenting dari penelitian ini adalah penciptaan FMEIs. FMEIs merupakan kerangka kerja komprehensif yang mengintegrasikan berbagai faktor efisiensi FM ke dalam alat ukur yang terstandardisasi dan dapat diterapkan secara universal, yang dapat digunakan oleh negara maju dan berkembang.
Lebih lanjut, penelitian ini secara eksplisit mengidentifikasi bahwa efektivitas FM berakar pada dua pilar utama:
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Riset ini mengakui bahwa kurangnya akses ke peta bahaya banjir di Turki merupakan hambatan signifikan untuk merumuskan rencana mitigasi yang spesifik. Selain itu, sensitivitas politik di Turki membatasi partisipasi masyarakat di tingkat komunitas, sehingga penilaian efektivitas sistem cenderung didominasi oleh perspektif profesional daripada pengalaman langsung warga.
Keterbatasan ini membuka pertanyaan penting bagi penelitian lanjutan, seperti:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
Penelitian ini menggarisbawahi perlunya studi empiris lebih lanjut untuk memajukan manajemen risiko banjir dari temuan komparatif dan kerangka FMEIs yang baru dikembangkan.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan Badan Manajemen Bencana dan Keadaan Darurat (AFAD), Badan Lingkungan Inggris (EA), dan forum ketahanan lokal (LRFs) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil di berbagai tingkat tata kelola.
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Raihan pada 24 Oktober 2025
Tinjauan Struktural Model Manajemen Bencana dan Kontribusi Masa Depannya: Sebuah Peta Jalan untuk Komunitas Akademik dan Penerima Hibah
Paragraf Pembuka: Krisis yang Terus Meningkat Membutuhkan Kerangka Kerja yang Jelas
Fenomena bencana global, yang ditandai dengan peningkatan signifikan dalam kematian, korban, dan kerugian ekonomi akibat urbanisasi, perubahan iklim, dan gangguan sosial-politik, telah menempatkan manajemen bencana sebagai disiplin ilmu yang krusial bagi pencapaian pembangunan berkelanjutan. Meskipun terdapat berbagai model yang dirancang untuk membantu pemerintah dan lembaga kebencanaan, realitasnya adalah pengelolaan bencana masih sering kali tidak efisien. Studi kualitatif ini, yang dilakukan oleh Alrehaili et al. (2022) melalui tinjauan literatur dan analisis tematik, hadir sebagai upaya mendasar untuk mengevaluasi secara kritis kontribusi model-model yang ada dan menyusun taksonomi yang komprehensif bagi bidang ini.
Penelitian ini tidak bertujuan untuk menawarkan model baru, melainkan untuk memperluas pengetahuan yang ada mengenai kegunaan dan keterbatasan model-model tersebut. Secara metodologis, studi ini mengadopsi pendekatan konstruktivis dan interpretivis, menggunakan tinjauan literatur kualitatif dan analisis konten untuk menginvestigasi realitas bencana yang kompleks, tidak stabil, dan non-linear. Aliran logis temuan dimulai dengan penegasan bahwa model adalah alat pendukung keputusan yang sangat diperlukan; mereka menyederhanakan situasi yang rumit dan membantu perencana, manajer, dan praktisi dalam mencapai keputusan yang tepat.
Temuan utama dari tinjauan ini adalah klasifikasi model manajemen bencana ke dalam lima kelompok yang berbeda: Model Logis, Model Kausal, Model Terintegrasi, Model Kombinatorial, dan Model Tidak Terkategori. Klasifikasi ini muncul dari analisis terhadap karya-karya sebelumnya oleh Asghar et al. (2006) dan Nojavan et al. (2018), yang memperkenalkan kelompok "kombinatorial" untuk model yang menggabungkan elemen dari tiga kelompok pertama. Mayoritas model (seperti Model Tradisional dan Model Empat Fase Kimberly) dibangun di atas empat fase utama manajemen bencana—mitigasi, kesiapsiagaan, respons, dan pemulihan. Namun, model Kausal, seperti "Crunch Cause Model" (2000), menunjukkan fokus yang berbeda, dengan temuan deskriptif yang menunjukkan hubungan kuat antara variabel "Bahaya (Hazard)" dan "Kerentanan (Vulnerability)"—menghasilkan koefisien deskriptif yang secara eksplisit dirumuskan: Hazard + Vulnerability = Disaster Risk. Pernyataan ini menunjukkan potensi kuat bagi pengukuran variabel dan pengembangan objek penelitian baru (Risiko Bencana) yang diidentifikasi secara kausal.
Meskipun demikian, studi ini juga mengonfirmasi keraguan yang menyelimuti model-model ini, termasuk sifatnya yang terlalu preskriptif, pendekatan "satu ukuran untuk semua" (one-size-fits-all), ketidakmampuan untuk memprediksi bencana di masa depan secara akurat, dan adanya pemahaman yang terbatas di kalangan praktisi. Intinya adalah: model-model ini berharga, tetapi implementasinya yang salah atau pemahamannya yang buruk dapat membuatnya tidak efektif, yang berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi pemerintah dan komunitas.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi paling substansial dari studi ini adalah penyediaan taksonomi struktural yang memetakan lanskap model manajemen bencana. Dengan mengidentifikasi lima kelompok (Logis, Kausal, Terintegrasi, Kombinatorial, Tidak Terkategori), penelitian ini menyederhanakan kerumitan disiplin ilmu ini dan memberikan kerangka kerja yang jelas bagi akademisi untuk membandingkan dan mengontraskan model.
Kontribusi lainnya, yang didukung oleh Kelly (1999), adalah penegasan kembali peran vital model sebagai alat pengintegrasi yang menciptakan pemahaman bersama di antara semua pihak yang berkepentingan. Sebagai contoh, Model Kesehatan Manitoba (2002), yang merupakan Model Terintegrasi, memisahkan fase-fase manajemen bencana dengan jelas (Strategi, Penilaian Risiko, Pengelolaan Bahaya, Mitigasi, Kesiapsiagaan, Pemantauan dan Evaluasi), yang memungkinkan pengelolaan bencana secara efektif melalui hubungan yang fleksibel antarproses. Penemuan ini membuktikan bahwa ketika diterapkan dengan benar, model-model ini bersifat sangat bermanfaat dan merupakan teknik yang penting untuk memastikan manajemen bencana yang berhasil.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Keterbatasan utama yang diidentifikasi dalam tinjauan ini adalah sifat preskriptif, spesifik, dan terbatas dari banyak model, yang membuatnya rentan terhadap kritik dan dipertanyakan kegunaannya oleh pengambil keputusan dan praktisi. Desain model yang langkah demi langkah mengabaikan fitur bencana yang kompleks dan sering kali kacau, yang jarang berjalan sesuai rencana.
Keterbatasan lainnya adalah anggapan "satu ukuran untuk semua" yang diterapkan oleh beberapa model, yang mengabaikan variabel spesifik setiap bencana, seperti perbedaan budaya, tata kelola, dan ketersediaan sumber daya. Ini menimbulkan pertanyaan terbuka yang mendesak:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Riset lanjutan perlu secara eksplisit mengatasi kesenjangan pengetahuan dan keterbatasan model yang ditemukan dalam tinjauan ini untuk memastikan efektivitas jangka panjang disiplin ilmu manajemen bencana.
1. Pengembangan Metodologi Meta-Model Kombinatorial untuk Validasi Silang
Justifikasi Ilmiah: Tinjauan ini mengidentifikasi Model Kombinatorial (campuran Logis, Kausal, dan Terintegrasi) sebagai upaya untuk menggabungkan keunggulan model lain dan mengatasi defisiensi. Namun, efektivitas komparatifnya belum teruji secara sistematis. Arah Riset: Riset ke depan harus berfokus pada perancangan dan validasi Metodologi Meta-Model Kombinatorial dengan tujuan untuk membangun sebuah kerangka kerja kuantitatif yang dapat menetapkan bobot optimal (optimal weighting) untuk elemen-elemen dari Model Kausal dan Terintegrasi dalam fase Logis (Mitigasi/Kesiapsiagaan). Metode/Variabel Baru: Metode simulasi berbasis agen (Agent-Based Modeling, ABM) dapat digunakan untuk menguji efisiensi Kombinatorial Model, dengan variabel koordinasi antar-pemangku kepentingan sebagai variabel independen. Perlunya Penelitian Lanjutan: Ini akan mengubah model menjadi alat prediksi dan perencanaan yang lebih canggih, menggantikan dogma model tunggal dengan ekosistem model yang fleksibel.
2. Membangun dan Menguji Model Manajemen Bencana Adaptif (ADMM)
Justifikasi Ilmiah: Kritik utama terhadap model adalah sifatnya yang preskriptif dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan variabel spesifik bencana, seperti variasi budaya dan sumber daya. Arah Riset: Diperlukan studi intervensi jangka panjang untuk mengembangkan dan memvalidasi Model Manajemen Bencana Adaptif (ADMM). ADMM harus mengintegrasikan mekanisme umpan balik cepat (real-time feedback) dan mengutamakan fase deteksi dan pembelajaran yang ditekankan dalam model seperti The Five-Stage Model Mitroff dan Pearson (1993). Metode/Variabel Baru: Pengujian kasus komparatif longitudinal pada bencana dengan variasi budaya dan pemerintahan yang berbeda (variabel konteks baru) untuk mengukur koefisien korelasi antara tingkat adaptabilitas model (variabel independen) dan waktu pemulihan komunitas (variabel dependen). Perlunya Penelitian Lanjutan: Penelitian ini sangat penting untuk menjamin relevansi model di tengah-tengah tren global yang menunjukkan peningkatan kompleksitas dan non-linearitas bencana.
3. Analisis Kesenjangan Kognitif Praktisi terhadap Pemanfaatan Model
Justifikasi Ilmiah: Studi ini menemukan bahwa manajer dan praktisi sering kali memiliki pemahaman yang terbatas atau skeptis terhadap kegunaan model. Kesenjangan kognitif ini secara langsung menghambat implementasi model yang efektif. Arah Riset: Melakukan penelitian survei berbasis skala psikometri yang luas untuk menganalisis kesenjangan antara pengetahuan model teoritis akademisi dengan keterampilan aplikasi model praktisi. Metode/Variabel Baru: Mengembangkan Indeks Kompetensi Model Bencana (ICMB) sebagai variabel independen. Uji regresi diperlukan untuk menentukan seberapa besar peningkatan ICMB (misalnya, peningkatan pelatihan model) dapat memengaruhi penurunan kerugian pasca-bencana, yang mengarah pada peningkatan efektivitas manajemen bencana secara keseluruhan. Perlunya Penelitian Lanjutan: Riset ini akan menjadi dasar bagi perumusan kurikulum pelatihan dan strategi transfer teknologi yang lebih efektif dari akademisi ke lembaga tanggap bencana.
4. Mendefinisikan Ulang dan Mengukur Ketahanan melalui Fase Pemulihan Mendalam
Justifikasi Ilmiah: Meskipun pemulihan adalah salah satu dari empat fase utama, beberapa model dianggap mengabaikan fase pra-bencana atau pasca-bencana secara memadai. Padahal, bencana merupakan ancaman signifikan terhadap pembangunan berkelanjutan. Arah Riset: Fokus pada dekonstruksi mendalam fase pemulihan, mirip dengan fokus Model Contreras (2016) pada pemulihan. Tujuannya adalah untuk mengembangkan Indeks Pemulihan Berkelanjutan Jangka Panjang (LSRI) yang berorientasi pada hasil pembangunan. Metode/Variabel Baru: Studi kasus komparatif (misalnya, antara bencana alam dan bencana buatan manusia) untuk mengukur koefisien metrik pemulihan infrastruktur (post-disaster infrastructure recovery metrics) sebagai variabel terikat, yang ditargetkan untuk kembali ke metrik yang lebih baik dari status pra-bencana. Perlunya Penelitian Lanjutan: Ini akan mengubah fokus dari sekadar kembali normal menjadi membangun kembali dengan lebih baik (Build Back Better), memberikan metrik yang jelas untuk penerima hibah yang berfokus pada hasil pembangunan.
5. Validasi Komparatif Model Terintegrasi untuk Bencana Teknologi Modern
Justifikasi Ilmiah: Tinjauan ini menunjukkan efektivitas model manajemen bencana dalam konteks bencana buatan manusia, seperti kasus ledakan industri. Model yang tidak terkategori, seperti Model Ibrahim et al. (2003), secara spesifik berfokus pada bencana teknologi. Arah Riset: Melakukan validasi komparatif model terintegrasi dan tidak terkategori (seperti Model Sistem-Oriented Terintegrasi, 2016, yang berfokus pada respons darurat, dan Model Ibrahim et al.) dalam konteks risiko industri 4.0 (misalnya, serangan siber, kegagalan infrastruktur kritis). Metode/Variabel Baru: Menggunakan analisis kerangka kerja (framework analysis) untuk membandingkan kapasitas prediktif dan responsif model-model ini terhadap bencana teknologi kontemporer. Variabel kuncinya adalah komponen ilmu sosial, teknik, dan fisika yang terintegrasi, yang telah dimasukkan dalam Model Terintegrasi McEntire et al. (2010) . Perlunya Penelitian Lanjutan: Riset ini akan memastikan bahwa kerangka kerja manajemen bencana tetap relevan di tengah pergeseran ancaman dari bahaya alam ke risiko sistemik yang didorong oleh teknologi.
Kesimpulan dan Ajakan Kolaboratif
Tinjauan struktural ini telah mengonfirmasi bahwa model manajemen bencana adalah alat yang penting, yang mampu menyederhanakan kompleksitas, mendukung pengambilan keputusan, dan mengintegrasikan aktivitas. Namun, potensi jangka panjang model-model ini hanya dapat terwujud jika komunitas riset secara kolektif mengatasi kelemahan preskriptif dan kesenjangan implementasi praktisi.
Arah riset ke depan harus berpindah dari identifikasi model menuju integrasi, adaptasi, dan validasi model secara kuantitatif dalam konteks yang beragam dan non-linear. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi multidisiplin antara lembaga ilmu sosial dan tata kelola bencana (seperti pusat studi kebijakan publik), institusi teknik dan pemodelan komputasi (untuk simulasi ABM dan ADMM), dan organisasi kemanusiaan dan tanggap darurat (untuk validasi lapangan) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.
Ilmu Terapan
Dipublikasikan oleh Raihan pada 24 Oktober 2025
Membentuk Masa Depan Kota Tangguh: Peta Jalan Riset untuk Ketahanan Perkotaan Berbasis Data dan Interdisipliner
Ketahanan Perkotaan (Urban Resilience atau UR) merupakan sebuah konsep krusial yang memungkinkan kota dan komunitas untuk menahan gangguan secara optimal dan pulih kembali ke keadaan sebelum gangguan terjadi. Dengan proyeksi lebih dari 60% populasi dunia tinggal di perkotaan pada tahun 2030, dan 90% wilayah metropolitan berada di pesisir yang rentan terhadap risiko bencana iklim, kebutuhan akan solusi UR yang inovatif dan berkelanjutan menjadi mendesak. Tinjauan literatur sistematis ini—yang menganalisis 68 makalah jurnal yang terindeks Scopus dari tahun 2011 hingga 2022—memberikan gambaran komprehensif mengenai tren utama dan, yang lebih penting, menggarisbawahi arah riset masa depan bagi komunitas akademis, peneliti, dan penerima hibah.
Penelitian ini memaparkan UR sebagai persimpangan antara Manajemen Aset, Manajemen Risiko, dan Mekanisme Pendukung Ilmu Keputusan seperti Sistem Informasi Geografis (GIS). Ketiga pilar ini bertujuan untuk mencapai sasaran kembar dari Agenda PBB 2030, yaitu menciptakan kota yang tangguh dan berkelanjutan.
Tinjauan ini mengelompokkan literatur menjadi tiga kategori: tinjauan literatur, model konseptual, dan model analitis. Hasilnya, fokus diskusi utama dalam publikasi UR adalah perubahan iklim, penilaian dan manajemen risiko bencana, GIS, infrastruktur perkotaan dan transportasi, pengambilan keputusan dan manajemen bencana, ketahanan komunitas dan bencana, serta infrastruktur hijau dan pembangunan berkelanjutan.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Tinjauan ini secara tegas memposisikan integrasi asset and disaster risk management methods dengan GIS-based decision-making tools sebagai pendekatan yang sangat direkomendasikan untuk secara signifikan meningkatkan UR.
Data Kuantitatif Deskriptif Kunci:
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Terlepas dari perkembangan ini, tinjauan ini mengidentifikasi lima kesenjangan riset utama yang membatasi penerapan dan skalabilitas model UR.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
Lima rekomendasi ini secara langsung membahas kesenjangan yang teridentifikasi, dengan fokus pada penguatan fondasi metodologis dan analitis UR.
1. Pengembangan Kerangka Kerja UR Semantik-Spasial Terpadu
2. Perancangan Model UR Parametrik dan Adaptif
3. Integrasi Alat GIS Multidimensi dengan Analisis Kompleksitas Jaringan
4. Pemanfaatan Analisis Stokastik untuk Simulasi Kota Virtual
5. Pengembangan Mekanisme Pengambilan Keputusan Berbasis Skenario Adaptif
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi dari berbagai domain seperti pusat penelitian Teknik dan GIS (untuk pemodelan analitis dan spasial), departemen Ilmu Sosial dan Kebijakan Publik (untuk analisis tata kelola dan komunitas), dan badan pendanaan internasional seperti World Bank Group dan Rockefeller Foundation (untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil global).
Teknik Sipil
Dipublikasikan oleh Raihan pada 24 Oktober 2025
Bencana alam, khususnya banjir, merupakan ancaman nyata yang terus meningkat seiring dengan perubahan iklim dan urbanisasi global. Kerentanan infrastruktur terhadap kejadian-kejadian ini telah menjadi fokus krusial bagi keberlangsungan fungsi masyarakat. Resensi riset ini bersumber dari sebuah tinjauan sistematis komprehensif yang bertujuan untuk memetakan lanskap penelitian akademik mengenai upaya peningkatan ketahanan infrastruktur transportasi terhadap banjir. Tinjauan ini secara eksplisit dirancang sebagai peta jalan bagi komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah riset, dengan fokus pada penyusunan agenda riset ke depan yang menjembatani temuan saat ini dengan kebutuhan implementasi jangka panjang.
Jalur logis perjalanan temuan dalam tinjauan ini disusun melalui tiga tahapan metodologis yang ketat:
Enam kategori riset yang ditemukan mencakup: (A) analisis risiko banjir (17 studi), (B) prediksi dan peramalan banjir real-time (11 studi), (C) investigasi dampak fisik (29 studi), (D) analisis kerentanan sistem transportasi (25 studi), (E) strategi mitigasi dan persiapan (20 studi), dan (F) area terkait lainnya (31 studi). Dengan 31 studi, Kategori F memiliki jumlah studi paling banyak, diikuti oleh Kategori C (29 studi), menunjukkan fokus riset saat ini yang luas dan mendalam pada dampak serta area terkait ketahanan.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Studi-studi yang ditinjau menunjukkan kemajuan signifikan dalam pemodelan, pengumpulan data, dan analisis kerentanan. Kontribusi utama terbagi dalam beberapa domain:
Secara geografis, kepentingan riset ini diakui secara global, dengan 39 studi dilakukan di Asia, 32 di Amerika Utara (khususnya AS), dan 29 di Eropa. Distribusi ini menunjukkan pentingnya penelitian di wilayah yang mengalami urbanisasi pesat di sepanjang garis pantai dan kenaikan permukaan air laut, seperti di Asia, di mana kerentanan meningkat akibat kepadatan penduduk dan aset.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun kontribusi riset saat ini sangat berharga, tinjauan ini secara eksplisit mengidentifikasi kesenjangan pengetahuan yang signifikan dalam alur kerja IRPF. Mayoritas studi yang ada berfokus pada Penilaian Risiko (Langkah 3) dan Pengembangan Tindakan (Langkah 4, sebagian).
Kesenjangan kritis yang memerlukan perhatian mendesak dalam riset ke depan berada pada komponen Implementasi dan Evaluasi (Langkah 5 IRPF) dan sebagian dari Langkah 4. Empat komponen utama yang kurang mendapat perhatian dalam literatur adalah:
Kesenjangan ini menunjukkan bahwa meskipun komunitas akademik telah berhasil mengidentifikasi ancaman, menilai risiko, dan merumuskan solusi resiliensi, metodologi dan kerangka kerja untuk mengukur keberhasilan implementasi solusi-solusi tersebut di lapangan masih sangat minim. Pertanyaan terbuka terpenting adalah: bagaimana kita mengukur dan memverifikasi bahwa sebuah tindakan mitigasi telah benar-benar meningkatkan ketahanan transportasi dalam konteks operasional nyata?
Keterbatasan ini menjadi penghalang terbesar dalam menjembatani temuan saat ini dan potensi jangka panjang untuk mencapai ketahanan transportasi berkelanjutan. Resiliensi sejati tidak hanya diukur dari kemampuan sistem untuk menahan bencana, tetapi juga dari kemampuan untuk pulih (recoup losses and recover stability) dan terus beradaptasi pasca-bencana, yang memerlukan pemantauan dan evaluasi berkelanjutan.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
Untuk mengatasi keterbatasan yang teridentifikasi dan memperluas kontribusi riset saat ini, lima rekomendasi riset berkelanjutan berikut disajikan:
1. Pengembangan Metrik Kinerja Resiliensi Operasional (RPM) Jaringan
Riset selanjutnya harus berfokus pada pengembangan Metrik Kinerja Resiliensi Operasional (RPM) yang terukur untuk infrastruktur transportasi, sebuah upaya yang secara langsung mengisi kesenjangan pada komponen pemantauan dan evaluasi efektivitas (Langkah 5 IRPF).
2. Integrasi IoT dan Deep Learning untuk Peramalan Banjir Street-Level
Peningkatan akurasi sistem peringatan dini menuntut perluasan riset dalam Kategori B (Prediksi Banjir Real-Time).
3. Analisis Kerentanan Sosial-Ekonomi Inklusif Jaringan Transportasi
Riset harus memperluas definisi kerentanan (Kategori D) untuk memastikan keadilan dalam strategi kesiapsiagaan.
4. Evaluasi Kinerja Bahan Konstruksi Adaptif dan Berkelanjutan
Studi dalam Kategori E (Mitigasi) harus beralih dari usulan mitigasi ke evaluasi kinerja struktural dan lingkungan.
5. Pemodelan Kegagalan Berantai Probabilistik Antarsistem Kritis
Riset harus memperdalam pemahaman tentang sifat interdependensi antar infrastruktur kritis (Kategori F).
Kesimpulan
Tinjauan sistematis ini menunjukkan bahwa komunitas riset telah meletakkan fondasi yang kuat dalam pemahaman risiko dan kerentanan infrastruktur transportasi terhadap banjir. Namun, tantangan yang lebih besar, dan potensi jangka panjang yang sesungguhnya, terletak pada penguatan Langkah Implementasi dan Evaluasi IRPF CISA. Dengan memfokuskan agenda riset ke depan pada pengembangan metrik kinerja operasional, integrasi data real-time yang cerdas, analisis kerentanan yang inklusif, dan pemodelan interdependensi, peneliti dapat secara aktif menutup kesenjangan antara teori dan praktik. Upaya-upaya ini akan mengubah transportasi dari sekadar objek yang rentan menjadi sistem yang adaptif dan benar-benar tangguh dalam menghadapi ancaman iklim yang terus meningkat.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi pemerintah daerah (misalnya, dinas PUPR, perhubungan), industri teknologi geospasial, dan lembaga donor/hibah riset global untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, serta mendorong transisi dari analisis risiko ke ketahanan yang terimplementasi secara efektif.
Teknologi Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 24 Oktober 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Studi dalam jurnal Sustainable Computing: Informatics and Systems (2025) menyoroti bahwa digitalisasi—terutama melalui Digital Twin, Artificial Intelligence (AI), dan Internet of Things (IoT)—telah menjadi kunci utama dalam mendorong efisiensi, transparansi, dan keberlanjutan di sektor konstruksi.
Teknologi digital memungkinkan pemantauan siklus hidup proyek secara real-time, mulai dari perencanaan, pengadaan material, hingga perawatan infrastruktur. Pendekatan ini mengurangi pemborosan hingga 25% dan menekan emisi karbon konstruksi hingga 15%, menurut hasil riset yang tercantum dalam dokumen tersebut.
Bagi Indonesia, temuan ini penting karena sejalan dengan Rencana Induk Transformasi Digital Nasional dan target pengurangan emisi karbon sebesar 31,89% pada 2030. Integrasi smart supply chain juga relevan bagi lembaga seperti Kementerian PUPR dan BRIN dalam mendukung pengelolaan infrastruktur berbasis data.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Digitalisasi rantai pasok konstruksi di berbagai negara telah memberikan dampak signifikan:
Meningkatkan efisiensi distribusi material hingga 30%.
Mengurangi keterlambatan proyek melalui pemantauan data real-time.
Meningkatkan kolaborasi lintas sektor antara desainer, kontraktor, dan pemasok.
Namun, terdapat tiga hambatan utama dalam implementasinya di Indonesia:
Kesenjangan infrastruktur digital. Masih banyak proyek konstruksi di daerah yang belum terkoneksi dengan sistem data terpusat.
Keterbatasan SDM digital. Tenaga kerja konstruksi sebagian besar belum terlatih dalam penggunaan AI atau IoT.
Kurangnya kebijakan data governance. Belum ada regulasi yang mengatur integrasi dan keamanan data proyek konstruksi antar instansi.
Meski demikian, peluang digitalisasi semakin terbuka berkat inisiatif pemerintah dalam smart city dan sistem e-procurement nasional. Program seperti Kursus Building Information Modeling (BIM) untuk Infrastruktur dapat menjadi pintu masuk untuk implementasi konstruksi cerdas di berbagai proyek strategis.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
Bentuk Kerangka Nasional Smart Construction dan Digital Supply Chain
Pemerintah perlu menetapkan National Digital Construction Framework untuk mengintegrasikan data proyek, manajemen rantai pasok, dan pemantauan emisi dalam satu sistem.
Perkuat Kapasitas SDM Konstruksi Digital
Kolaborasi antara pemerintah, universitas, dan platform pelatihan perlu diperluas agar tenaga kerja memahami pengelolaan proyek berbasis data.
Dorong Penggunaan Teknologi AI dan Digital Twin
Implementasi AI untuk perencanaan prediktif dan simulasi Digital Twin wajib menjadi syarat dalam tender proyek besar, terutama di sektor publik.
Bangun Pusat Data Nasional Konstruksi (Construction Data Hub)
Fasilitas ini harus menampung seluruh data rantai pasok dan status infrastruktur untuk mendukung pengambilan keputusan berbasis bukti (evidence-based policy).
Berikan Insentif Pajak untuk Adopsi Teknologi Hijau
Kontraktor dan konsultan yang mengimplementasikan sistem digitalisasi efisien energi dan manajemen limbah cerdas dapat diberikan keringanan pajak atau prioritas tender proyek pemerintah.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Kebijakan digitalisasi konstruksi berpotensi gagal bila tidak dibarengi dengan integrasi lintas sektor dan tata kelola data yang kuat.
Beberapa risiko yang mungkin muncul antara lain:
Ketimpangan digital antara kota besar dan daerah terpencil.
Implementasi sistem yang mahal tanpa pelatihan teknis berkelanjutan.
Data proyek yang terfragmentasi karena kurangnya standar interoperabilitas.
Selain itu, fokus kebijakan yang terlalu menekankan teknologi tanpa memperhatikan aspek sosial—seperti perlindungan tenaga kerja manual—dapat memperlebar kesenjangan ekonomi di sektor konstruksi. Oleh karena itu, pendekatan inklusif berbasis pelatihan dan kolaborasi menjadi kunci keberhasilan.
Penutup
Transformasi digital dalam industri konstruksi adalah kunci menuju efisiensi, transparansi, dan keberlanjutan. Dengan memanfaatkan AI, IoT, dan Digital Twin, Indonesia dapat mengubah sistem rantai pasok konvensional menjadi ekosistem smart supply chain yang adaptif dan ramah lingkungan.
Melalui kolaborasi kebijakan lintas lembaga dan penguatan kapasitas SDM, Indonesia berpeluang menjadi pelopor smart construction ecosystem di Asia Tenggara.
Sumber
Sustainable Computing: Informatics and Systems, 2025.