Sungai Tamiraparani dalam Pusaran Krisis Lingkungan dan Sosial
Sungai Tamiraparani di Tamil Nadu, India, bukan sekadar badan air, melainkan urat nadi peradaban, sumber penghidupan, dan simbol spiritual bagi jutaan orang. Namun, dalam dua dekade terakhir, sungai ini menghadapi degradasi hebat akibat polusi, eksploitasi, dan tata kelola yang lemah. Dalam tesis magister Janet Evangeline Sheebha Jeyakumar (2024), isu ini diangkat melalui lensa “Rights of River” (RoR) dan keadilan lingkungan, dengan pertanyaan sentral: apakah pemberian hak hukum pada sungai dapat menjadi jalan menuju keadilan lingkungan dan sosial?
Artikel ini mengulas secara kritis temuan utama, memperkaya dengan analisis, studi kasus, serta membandingkan dengan tren global dan diskursus keadilan lingkungan kontemporer.
Sungai Tamiraparani: Sejarah, Ekologi, dan Signifikansi Sosial
Tamiraparani, dikenal juga sebagai Porunai, mengalir sejauh 128 km dari Periya Pothigai Hills menuju Teluk Bengal, melewati distrik Tirunelveli dan Thoothukudi. Sungai ini menopang lebih dari 86.000 hektar lahan pertanian, menjadi sumber air minum bagi sekitar 7,5 juta jiwa, serta habitat bagi ratusan spesies flora dan fauna, termasuk spesies endemik dan langka. Selain itu, sungai ini menjadi tulang punggung ekonomi lokal—mulai dari petani, nelayan, pengumpul tanaman obat, hingga pengrajin.
Namun, modernisasi dan pertumbuhan penduduk telah mengubah wajah Tamiraparani. Eksploitasi berlebihan, polusi domestik dan industri, serta perubahan tata guna lahan telah menurunkan kualitas air, mengancam ekosistem, dan memperburuk ketimpangan sosial.
Polusi dan Eksploitasi: Potret Krisis Nyata
Penelitian ini mengidentifikasi berbagai sumber polusi yang membebani Tamiraparani:
- Aktivitas Ritual dan Religius: Tradisi membuang abu jenazah, pakaian, dan limbah upacara ke sungai telah menambah beban limbah padat. Sebagai contoh, dalam satu tahun, lebih dari 100 ton pakaian bekas diangkat dari sungai.
- Limbah Domestik dan Industri: Kota Tirunelveli dan Thoothukudi membuang limbah rumah tangga dan industri secara langsung ke sungai di lebih dari 680 titik, dengan 180 ton sampah domestik setiap hari menumpuk di bantaran sungai.
- Sand Mining dan Encroachment: Penambangan pasir ilegal dan legal menyebabkan “death pits”, menurunkan kualitas air tanah, memperlemah bantaran, dan memicu banjir. Lebih dari 200 kilang batu bata mengambil tanah liat dan pasir tanpa izin, membuang limbah ke sungai.
- Limbah Medis dan Hewan: Limbah medis, daging, dan botol minuman keras juga ditemukan di sungai, memperparah pencemaran.
- Penggunaan Pupuk Kimia: Peralihan ke pupuk anorganik meningkatkan limpasan kimia ke sungai, merusak populasi ikan dan tanaman obat.
Dampak nyata dari polusi ini adalah menurunnya kualitas air hingga tidak layak konsumsi, punahnya spesies ikan lokal, berkurangnya tanaman obat, dan meningkatnya penyakit pada masyarakat sekitar.
Hak Sungai (Rights of River): Konsep, Potensi, dan Kontroversi
Konsep RoR dan Praktik Global
RoR adalah paradigma hukum dan etika yang mengusulkan sungai sebagai entitas hukum dengan hak inheren—seperti hak untuk tetap mengalir, bebas polusi, dan dipulihkan. Konsep ini telah diadopsi di berbagai negara, seperti Te Awa Tupua Act (Whanganui River, Selandia Baru) dan kasus Río Atrato (Kolombia). Namun, di India, upaya memberi status hukum pada Sungai Ganga dan Yamuna gagal karena kompleksitas transboundary dan lemahnya implementasi.
Kritik dan Tantangan
- Ecocentrism vs. Socio-Cultural Context: RoR sering dipandang terlalu berorientasi “alam untuk alam”, mengabaikan relasi manusia—khususnya komunitas lokal—dengan sungai. Di India, relasi ini sangat erat dan saling bergantung.
- Implementasi Hukum: Tanpa lembaga independen dan sumber daya, hak sungai kerap hanya menjadi retorika. Di Tamiraparani, masyarakat melihat perlindungan sungai lebih sebagai tanggung jawab manusia, bukan hak sungai itu sendiri.
- Risiko Pengurangan Tanggung Jawab Manusia: Jika sungai dianggap bertanggung jawab atas dirinya sendiri, masyarakat bisa kehilangan sense of stewardship.
- Distribusi dan Keadilan Sosial: RoR bisa menimbulkan konflik baru jika tidak mengakui kebutuhan kelompok rentan yang bergantung pada sungai untuk penghidupan.
Studi Kasus: Perspektif Aktor Lokal
Penelitian ini menggunakan 32 wawancara semi-terstruktur dengan berbagai aktor: pengumpul tanaman obat, nelayan, petani, pekerja sosial, LSM, dan pejabat pemerintah.
Pengumpul Tanaman Obat
Kelompok ini sangat bergantung pada kualitas air sungai. Polusi menyebabkan penurunan jumlah dan kualitas tanaman obat, mengancam pendapatan dan kesehatan mereka. Mereka menekankan pentingnya air bersih sebagai syarat keadilan sosial dan lingkungan. Namun, mereka memandang “hak sungai” lebih sebagai tanggung jawab manusia untuk menjaga kebersihan dan kelestarian, bukan sekadar hak legal sungai.
Nelayan
Nelayan darat dan pesisir menghadapi penurunan drastis populasi ikan akibat polusi dan praktik penangkapan ikan yang merusak (misal penggunaan bleaching powder). Banyak keluarga nelayan terpaksa meninggalkan profesi ini. Selain itu, terjadi konflik distribusi air antara petani hulu dan nelayan hilir—air yang seharusnya mengalir ke muara untuk menjaga siklus hidup ikan kini lebih banyak dialihkan untuk irigasi dan industri. Nelayan juga menyoroti ketidakadilan sosial akibat diskriminasi kasta dan kurangnya perlindungan hukum.
Petani
Petani di sepanjang Tamiraparani mengalami penurunan produktivitas akibat polusi, perubahan pola distribusi air, dan perubahan iklim. Prioritas distribusi air kini lebih condong ke kebutuhan domestik dan industri, bukan pertanian. Banyak petani hanya bisa menanam satu kali setahun, padahal sebelumnya bisa dua hingga tiga kali. Harga hasil panen yang tidak sebanding dengan biaya produksi, serta kenaikan harga pupuk dan upah buruh, makin memperburuk kesejahteraan mereka. Petani juga mengeluhkan penurunan kualitas air yang menyebabkan penyakit kulit dan masalah kesehatan lain.
LSM, Pekerja Sosial, dan Pemerintah
Kelompok ini aktif mengadvokasi perlindungan sungai, namun menghadapi tantangan besar: rendahnya kesadaran publik, lemahnya penegakan hukum, serta kurangnya koordinasi antarinstansi. Program pemerintah seperti proyek drainase bawah tanah hanya berjalan sebagian, dan penegakan hukum terhadap penambangan pasir ilegal serta pembuangan limbah belum efektif.
Keadilan Lingkungan dan “Environmentalism of the Poor”
Penelitian ini menempatkan perdebatan RoR dalam kerangka “environmentalism of the poor” (Guha & Martinez-Alier, 1997): gerakan yang menuntut keadilan lingkungan bukan demi kelestarian alam semata, tetapi demi keberlanjutan hidup kelompok miskin dan marjinal yang paling terdampak degradasi lingkungan. Di Tamiraparani, keadilan lingkungan tidak bisa dilepaskan dari keadilan sosial—perlindungan sungai harus berjalan seiring dengan perlindungan hak hidup, penghidupan, dan partisipasi komunitas lokal.
Analisis Kritis: Apa yang Bisa Dipelajari dari Kasus Tamiraparani?
Kekuatan Studi
- Pendekatan Partisipatif: Studi ini menonjolkan suara komunitas lokal, memperlihatkan keragaman persepsi tentang hak sungai dan keadilan lingkungan.
- Kontekstualisasi Lokal: Penulis berhasil membumikan konsep RoR dalam konteks India Selatan, menyoroti pentingnya pengakuan relasi manusia-alam yang khas.
- Data Empiris Kuat: Wawancara mendalam mengungkap realitas sehari-hari, dampak polusi, dan dinamika kekuasaan di tingkat akar rumput.
Kritik dan Tantangan
- Implementasi RoR: Tanpa reformasi kelembagaan dan partisipasi masyarakat, pemberian hak hukum pada sungai berisiko menjadi simbolis belaka.
- Konflik Distribusi: RoR perlu dirancang agar tidak mengorbankan kelompok rentan yang bergantung pada sungai, melalui mekanisme distribusi air yang adil.
- Keterbatasan Pemerintah: Lemahnya penegakan hukum dan koordinasi antarinstansi menjadi hambatan utama. Keterlibatan LSM dan komunitas lokal harus diperkuat.
- Ketergantungan pada “Stewardship” Manusia: Sebagian besar aktor lokal lebih menekankan tanggung jawab manusia daripada “hak” sungai secara legal-formal.
Relevansi Global dan Tren Masa Kini
Kasus Tamiraparani mencerminkan tantangan universal dalam pengelolaan sungai di negara berkembang: konflik antara kebutuhan pembangunan, perlindungan lingkungan, dan keadilan sosial. Tren global menunjukkan bahwa pendekatan RoR baru efektif jika:
- Mengakui dan melibatkan komunitas lokal sebagai penjaga sungai.
- Memastikan mekanisme hukum yang jelas, independen, dan didukung sumber daya.
- Mengintegrasikan keadilan distribusi, partisipasi, dan pengakuan dalam desain kebijakan.
- Menghubungkan perlindungan sungai dengan agenda pembangunan berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan.
Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan
- Reformasi Kelembagaan: Bentuk lembaga independen yang mewakili sungai dan komunitas lokal, dengan kewenangan nyata.
- Pendidikan dan Kesadaran Publik: Kampanye edukasi untuk membangun sense of stewardship dan tanggung jawab kolektif.
- Penegakan Hukum yang Tegas: Sanksi nyata bagi pelaku pencemaran dan eksploitasi ilegal.
- Keadilan Distribusi Air: Kebijakan distribusi air harus mempertimbangkan kebutuhan kelompok rentan, bukan hanya sektor industri dan domestik.
- Integrasi RoR dengan Keadilan Sosial: Perlindungan sungai harus berjalan seiring dengan perlindungan hak hidup dan penghidupan komunitas lokal.
Kesimpulan: Hak Sungai sebagai Jalan Menuju Keadilan Lingkungan dan Sosial
Studi ini menegaskan bahwa keadilan lingkungan di Tamiraparani hanya bisa dicapai jika hak sungai dipahami sebagai bagian tak terpisahkan dari hak komunitas lokal. RoR bukan sekadar instrumen hukum, melainkan kerangka etika, sosial, dan politik yang menuntut perubahan paradigma: dari eksploitasi menuju harmoni, dari dominasi menuju kemitraan manusia-alam. Tanpa pengakuan dan partisipasi komunitas lokal, RoR akan gagal memenuhi janji keadilan lingkungan yang sejati.
Sumber Artikel
RIGHTS OF RIVER AND ENVIRONMENTAL JUSTICE: A CASE STUDY OF RIVER TAMIRAPARANI, TAMIL NADU, INDIA. Janet Evangeline Sheebha Jeyakumar. MSc Thesis, Wageningen University, April 2024.