Ekonomi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 06 November 2025
Penulis: cakHP (Heru Prabowo)
Uang, Klik, dan Kepercayaan
Di sebuah ruang redaksi kecil di Yogyakarta, seorang jurnalis bercerita lirih,
> “Kami ingin menulis berita yang jujur, tapi kalau tidak viral, kami tidak bisa bertahan.”
Kalimat sederhana itu merangkum dilema eksistensial jurnalisme digital: integritas butuh waktu, sedangkan iklan butuh klik. Ekonomi klik menempatkan media pada posisi sulit. Setiap artikel adalah pertarungan antara etika dan algoritma. Yang paling cepat menang, bukan yang paling benar. Namun, pertanyaannya:
Apakah kita harus memilih antara bertahan hidup dan bertahan bermoral?
Apakah jurnalisme etis selalu berarti jurnalisme miskin?
Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa jawabannya: tidak. Masih ada jalan tengah antara trafik dan integritas — sebuah paradigma baru yang disebut etika ekonomi klik.
1. Krisis Model Lama: Ketika Iklan Menjadi Tuan
Sampai satu dekade lalu, model bisnis media sederhana: konten → pembaca → iklan → pendapatan.
Namun setelah dua raksasa, Google dan Meta, menguasai lebih dari 70% belanja iklan digital global, media kehilangan kendali atas sirkulasi uang dan perhatian.
Menurut laporan Pew Research (2022), hanya 15–20% pendapatan iklan digital yang benar-benar kembali ke media pembuat konten. Sisanya diserap oleh platform melalui sistem lelang otomatis dan algoritma rekomendasi. Di Indonesia, efeknya lebih terasa: portal berita menumpuk konten ringan demi page view, sementara media lokal kesulitan membiayai liputan investigatif yang mahal. Kita menghadapi apa yang disebut Victor Pickard (2020) sebagai “market failure of journalism.” Dalam sistem ini, setiap klik adalah transaksi kecil — tapi tidak ada nilai tambah sosial di baliknya. Kita menghasilkan “lalu lintas” tanpa arah, bukan literasi yang mencerahkan.
2. Membangun Ekonomi Kepercayaan
Namun tidak semua media menyerah pada logika klik.
Beberapa mulai bereksperimen dengan model berbasis kepercayaan (trust-based journalism).
The Guardian
Menolak paywall sejak 2016 dan mengandalkan donasi sukarela pembaca.
Kini memiliki lebih dari 1,5 juta pendukung aktif dan membukukan laba.
Mereka menjual nilai, bukan sensasi:
> “Support the journalism you can trust.”
ProPublica
Dibiayai oleh sumbangan lembaga dan publik, semua data investigasi dibuka gratis.
Mereka menukar eksklusivitas dengan kolaborasi: berita mereka dipakai ratusan media lokal.
The Conversation
Menjembatani ilmuwan dan jurnalis, menulis dengan bahasa sederhana tanpa clickbait.
Pendekatannya: slow journalism for fast minds.
Contoh-contoh itu membuktikan bahwa trust bisa menjadi currency baru.
Kepercayaan menghasilkan loyalitas, dan loyalitas menghasilkan keberlanjutan.
3. Prinsip Etika Baru dalam Ekonomi Klik
Bagaimana prinsip ini bisa diterapkan di konteks media Indonesia?
Ada empat rumusan etika ekonomi klik yang dapat menjadi pedoman redaksi dan regulator:
1. Transparansi sebagai Modal Dasar
Media harus terbuka tentang sumber pendapatan dan proses editorialnya.
Pembaca berhak tahu apakah berita ditulis murni informatif atau berbayar (sponsored content).
Kejujuran finansial adalah bentuk pertama dari kejujuran editorial.
> “Kalau pembaca tak tahu siapa yang membayar berita,
> mereka takkan tahu siapa yang sedang berbicara kepada mereka.”
2. Nilai Sosial sebagai Keuntungan Utama
Setiap berita harus mengandung manfaat publik — bukan sekadar menarik perhatian.
Media perlu menilai keberhasilan bukan hanya lewat traffic analytics, tapi juga impact metrics:
apakah berita ini mendorong debat sehat, kebijakan baru, atau perubahan perilaku positif?
Model seperti Solutions Journalism Network (SJN) di AS menunjukkan bahwa
berita yang konstruktif lebih mungkin dibagikan secara organik dibanding berita sensasional.
3. Kolaborasi sebagai Strategi Bertahan
Daripada bersaing dalam sensasi, media bisa saling menguatkan lewat kolaborasi data dan liputan.
Contoh: proyek lintas redaksi “IndonesiaLeaks” yang menyatukan investigasi korupsi.
Kolaborasi seperti ini menurunkan biaya, meningkatkan dampak, dan menjaga etika.
4. Literasi Pembaca sebagai Tanggung Jawab Redaksi
Media tidak bisa menunggu publik menjadi cerdas; media harus ikut mencerdaskan publik.
Program literasi media — seperti rubrik “Belajar dari Judul” atau “Fakta vs Framing” — dapat memperkuat kepercayaan dua arah.
Seperti kata Jay Rosen (2006) dalam esainya yang terkenal :
> “Audience are not consumers anymore — they are the public.”
> Pembaca bukan target; mereka bagian dari ekosistem kejujuran.
5. Klik yang Punya Nurani
Etika ekonomi klik berarti mengembalikan klik ke makna moralnya. Klik bukan sekadar tindakan konsumsi, tapi tanda kepercayaan mikro. Setiap klik adalah “ya kecil” dari pembaca kepada media:
“Ya, saya percaya pada niatmu memberi tahu saya sesuatu yang penting.”
Jika kepercayaan itu dikhianati berkali-kali, pembaca akan berhenti mengklik — dan yang hilang bukan sekadar trafik, tapi kredibilitas. Karena itu, ekonomi jurnalisme masa depan harus beralih dari attention economy ke trust economy. Dari sekadar menghitung jumlah klik menjadi menakar kualitas hubungan antara media dan pembacanya.
5. Model “Clickworth Ecosystem”
Untuk menyeimbangkan idealisme dan bisnis, kita bisa membayangkan model tiga lapis berikut:
1. Lapisan Konten:
Produksi berita berbasis verifikasi dan kebermanfaatan.
Hindari “factory news,” perbanyak explanatory journalism.
2. Lapisan Komunitas:
Bangun forum diskusi pembaca, buletin, atau membership yang mendorong partisipasi.
Gunakan data untuk memahami kebutuhan sosial, bukan memanipulasi preferensi emosional.
3. Lapisan Keberlanjutan:
Kombinasikan donasi pembaca, iklan etis, dan kemitraan dengan lembaga pendidikan atau sains.
Ukur keberhasilan dengan trust score, bukan click score.
> Dalam ekosistem ini, “klik” menjadi pintu masuk menuju relasi, bukan akhir dari transaksi.
6. Harapan di Tengah Algoritma
Teknologi tidak harus jadi musuh jurnalisme; ia bisa menjadi alat kebenaran jika diarahkan dengan nurani. AI, misalnya, bisa membantu redaksi menganalisis bias, memeriksa fakta, atau mengukur kepercayaan publik secara real time. Yang dibutuhkan bukan perang melawan mesin, melainkan reprogramming moral: menjadikan integritas sebagai parameter algoritma. Bayangkan jika suatu hari “berita yang paling dipercaya” diberi peringkat lebih tinggi daripada “berita yang paling banyak diklik.” Itulah cita-cita ekonomi klik yang beradab — tempat nilai dan trafik tidak lagi bertentangan, tetapi saling memperkuat.

Penutup – Menyusuri Jalan Tengah
Di ujung serial “Menggugah, Bukan Menggoda”, satu pelajaran utama tersisa : Jurnalisme tidak akan mati karena kurang klik, tetapi karena kehilangan makna.
Ekonomi klik telah mengajarkan kita bahwa perhatian manusia bisa dibeli. Namun jurnalisme sejati mengingatkan bahwa kepercayaan tidak bisa. Etika baru ini tidak menghapus pasar, tapi menginsankan pasar. Ia mengajak kita menulis berita bukan hanya untuk dibaca, tetapi untuk dipercayai. Maka, biarlah media masa depan bukan hanya menghitung klik, tetapi juga menghitung hati yang disentuh dan pikiran yang tercerahkan.

Referensi & Bacaan Pendukung
Victor Pickard – Democracy Without Journalism? (2020)
Pew Research Center – State of the News Media 2022
Jay Rosen – The People Formerly Known as the Audience (2006)
Solutions Journalism Network – Restoring Trust in News (2020)
The Guardian – Annual Report on Reader Contributions (2023)
Shoshana Zuboff – The Age of Surveillance Capitalism (2019)
Reuters Institute – Paying for News Report (2024)

sby, 08-10-2025
Industri & Teknologi AI
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 06 November 2025
Penulis: cakHP (Heru Prabowo)
Di dunia bisnis biasa, pabrik menjual barang, pembeli membayar, lalu cerita selesai. Tapi di dunia Jensen Huang, si pendiri Nvidia, kisah itu diputar balik seperti film fiksi ilmiah: vendor-nya ikut membiayai pembelinya. Begitu chip keluar dari pabrik, uang kembali lewat jalur investasi. Hasilnya? Valuasi Nvidia melesat ke 4,5 triliun dolar AS — setara 24 kali APBN Indonesia.
Apakah ini mahakarya strategi bisnis AI?
Atau justru ilusi finansial yang menunggu waktu untuk meletus?


Dari Chip ke Cuan
Nvidia dulunya hanyalah pembuat chip grafis untuk gamer. Kini, di tangan Jensen Huang yang selalu memakai jaket kulit hitam itu, Nvidia menjelma jadi “tulang belakang peradaban AI.” Setiap kali ada startup kecerdasan buatan baru lahir, kemungkinan besar mereka butuh GPU Nvidia. Yang menarik: Nvidia bukan cuma menjual GPU — mereka juga ikut mendanai perusahaan-perusahaan yang akan membeli GPU itu.
Contohnya, Nvidia berinvestasi ke OpenAI, CoreWeave, Tesla AI, hingga Mistral AI di Eropa.
Bahkan perusahaan raksasa seperti Microsoft, AWS, Google Cloud, dan Oracle Cloud yang menjadi “penyalur GPU” pun mendapat sokongan teknologi dan kadang pendanaan strategis dari Nvidia.
Rantai uangnya seperti ini :
Investor → Nvidia → perusahaan hilir (AI, cloud, robotik) → pembelian GPU Nvidia → pendapatan Nvidia naik → harga saham Nvidia terbang → Nvidia punya lebih banyak modal untuk berinvestasi lagi.
Lingkaran ini menciptakan apa yang oleh sebagian analis disebut “funding flywheel” — roda pendanaan yang terus berputar tanpa jeda. Nvidia menjual chip dan sekaligus membiayai pembelian chip-nya sendiri.

Ekosistem atau Rekayasa?
Sebagian orang menyebut strategi ini ekosistem bisnis paling jenius abad ke-21. Nvidia memastikan pasar untuk produknya selalu hidup dan tumbuh. Bagi mereka, mendanai pembeli berarti memperpanjang umur bisnis sendiri. Namun, sebagian ekonom mengernyit. Mereka menyebutnya vendor financing atau financial engineering—sejenis “gelembung pembiayaan” yang bisa meledak jika antusiasme pasar turun. Khawatiran mereka sederhana: apa yang naik tanpa fondasi riil, cepat atau lambat akan jatuh.
Analogi klasiknya : seperti subprime mortgage tahun 2008, ketika bank memberi pinjaman ke pembeli rumah yang dibiayai dengan utang lain — hingga semuanya runtuh saat kepercayaan pasar hilang. Bedanya, Nvidia bukan menjual rumah, tapi menjual otak buatan.

Uang, Ilusi, dan Inovasi
Yang membuat fenomena ini menarik adalah percampuran antara inovasi teknologi dan rekayasa finansial. Jensen Huang tahu, masa depan AI bukan hanya soal chip tercepat, tapi juga siapa yang mampu menciptakan pasar untuk chip itu. Alih-alih menunggu permintaan, Nvidia menciptakan permintaan itu sendiri — dengan cara membiayainya.
Apakah ini manipulasi? Tidak sepenuhnya.
Apakah ini berisiko? Sangat.
Namun, di dunia yang sedang fomo (fear of missing out) terhadap AI, risiko itu justru menjadi bahan bakar valuasi. Ketika pasar percaya, uang mengalir deras. Dan selama uang mengalir, Nvidia tetap jadi bintang paling terang di langit Silicon Valley.

Refleksi di Penghujung
Dalam satu dekade, mungkin kita akan menilai strategi ini dengan dua kemungkinan: Sebagai mahakarya bisnis digital, atau ilusi besar abad modern. Tapi yang pasti, Nvidia telah mengajarkan satu hal: Bahwa di zaman AI, nilai bukan lagi ditentukan oleh produk yang dijual, melainkan oleh cerita yang berhasil membuat orang percaya untuk membeli masa depan.

Glosarium Mini
- GPU (Graphic Processing Unit): Prosesor khusus untuk komputasi paralel, sangat penting dalam AI dan machine learning.
- Vendor Financing: Strategi ketika pemasok membiayai pelanggan untuk membeli produknya sendiri.
- Financial Engineering: Rekayasa keuangan untuk meningkatkan valuasi atau kinerja bisnis, sering kali lewat investasi internal.
- Valuasi: Nilai ekonomi perusahaan, sering mencerminkan ekspektasi pasar, bukan keuntungan riil.
- FOMO (Fear of Missing Out): Ketakutan tertinggal tren yang mendorong perilaku investasi spekulatif.
.
Daftar Pustaka
Azhar, R. M., & Kiendra, R. M. (2019). System as Integration Concept in Industrial Engineering and Islam. Proceedings of INCRE 2019. DOI:10.4108/eai.8-10-2019.2294528
Financial Times. (2024). Nvidia invests in AI start-ups buying its own chips. Retrieved from https://www.ft.com/
The Economist. (2024). The Nvidia Flywheel: How a chipmaker became a market maker for AI.
Bloomberg. (2025). Jensen Huang’s trillion-dollar loop: Inside Nvidia’s AI ecosystem.
CNBC. (2025). Is Nvidia’s rise sustainable? Analysts split over AI investment bubble.
Industri & Teknologi AI
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 06 November 2025
Penulis: cakHP (Heru Prabowo)
Dulu, wartawan sejati bisa berjalan kaki berkilometer hanya untuk bertemu narasumber yang belum tentu mau diwawancara. Sekarang? Wartawan tak perlu keluar rumah. Cukup buka laptop, panggil “AI”, dan lima menit kemudian berita pun jadi — seperti mie instan: cepat, harum, dan sering kali penuh pengawet.
Pagi itu, di sebuah warkop digital ~ grup percakapan kecil, dua orang kawan bertukar pikiran. Iqbal menulis seperti orang yang baru meneguk secangkir kopi pahit,
> “Sekarang makin banyak media pakai AI untuk menulis berita. Prosesnya sih sah-sah saja, tapi akurasinya makin menurun. Banyak berita tanpa narasumber, data tanpa validitas, wawancara palsu.”
Heru, yang selalu punya stok humor untuk menambal seriusnya hidup, langsung menimpali,
> “Kontradiktif, tuh. AI seharusnya meningkatkan akurasi, bukan sebaliknya. Apa yang salah? Alatnya, atau manusianya?”
Dan begitulah, percakapan itu berubah jadi duel kecil dua pemikir warung kopi — tentang teknologi, kemalasan, dan masa depan kepercayaan.
.

AI: MESIN PENIRU YANG RAJIN, TAPI TAK PUNYA RASA
“Kalau hasil AI salah dan penulisnya tidak memeriksa, itu bukan salah AI — itu salah manusia yang malas,” kata Heru mantap.
Pernyataan itu seperti tamparan kecil di pipi dunia media. Karena memang, bukan AI yang salah tulis, tapi manusia yang tak lagi merasa perlu berpikir. Kita terlalu cepat percaya pada kalimat yang rapi. AI menulis dengan struktur indah, diksi cemerlang, logika yang nyaris meyakinkan. Tapi justru di sanalah jebakannya: di balik keindahan itu sering tersembunyi kebenaran yang pincang.
AI tahu apa yang sering dikatakan manusia, tapi tak tahu mana yang benar.
Dan di sinilah komedinya: manusia menciptakan mesin pintar untuk meringankan beban berpikir, lalu dengan penuh suka cita menyerahkan seluruh pikirannya kepada mesin itu. Seolah-olah berpikir itu pekerjaan rendahan, dan yang penting sekarang hanyalah “tulisan terlihat pintar”.
.

LOOP TAK BERUJUNG : KETIKA KEBOHONGAN MENULIS DIRINYA SENDIRI
Iqbal melanjutkan, kali ini dengan nada filosofis,
> “AI belajar dari internet. Kalau sumbernya saja tidak akurat, lalu AI menulis lagi berdasarkan itu, terjadilah loop—lingkaran tanpa ujung yang menelan akurasi.”
Heru tertawa kecil, tapi bukan karena lucu.
> “Ya, tapi kita juga punya saham dalam loop itu. Ini amal jariyah ilmu, kan?”
Di titik ini, tawa mereka jadi doa yang aneh ~ semoga kebohongan yang terus berulang itu suatu hari menemukan kebenaran di ujungnya. Tapi barangkali, justru di sinilah “humor tinggi” yang sering disebut Heru — bahwa alam punya cara bercanda yang elegan.
Manusia sibuk menciptakan mesin yang bisa berpikir, tapi lupa menyiapkan manusia yang mau berpikir ulang.
Kita menulis di internet, lalu AI mempelajarinya, lalu menulis ulang, lalu kita membacanya, lalu percaya — tanpa sadar bahwa kita sedang membaca ulang kebodohan kolektif dalam kemasan baru.

ANTARA PENGETAHUAN DAN DATA
“Ke depan,” kata Iqbal, “AI mungkin tak lagi cuma mengolah data, tapi pengetahuan.”
Heru menyahut dengan optimismenya yang khas,
> “Kalau begitu, penulis yang berkualitas akan makin mahal. Karena manusia yang berpikir jernih justru akan langka.”
Di dunia yang menuhankan kecepatan, berpikir pelan adalah bentuk perlawanan.
Dan dalam perlawanan itulah nilai manusia diukur — bukan dari seberapa cepat dia menulis, tapi dari seberapa dalam ia memahami.
Penulis yang jujur, yang rela memeriksa ulang datanya, yang tidak terburu-buru percaya pada mesin — akan jadi sejenis manusia langka. Barang antik yang suatu hari mungkin dilelang di museum kebenaran.
.

KEPERCAYAAN : MATA UANG YANG MULAI USANG
“Trust tetap jadi mata uang,” kata Iqbal pelan. “Masalahnya nanti, siapa yang bisa dipercaya?”
Pertanyaan itu menggantung di udara seperti bau hujan yang tak jadi turun.
Kini, semua orang bisa menulis, semua media bisa terbit, semua berita bisa tampak benar. Tapi semakin banyak yang bicara tentang kebenaran, semakin sulit kita menemukannya.
Mungkin karena kebenaran itu tidak terletak pada kata, tapi pada niat.
Dan niat — sayangnya — tak bisa di-generate oleh AI.
Heru lalu menutup percakapan pagi itu dengan senyum khas orang yang lebih percaya pada takdir daripada algoritma ...
> “Aku percaya, alam punya cita rasa humor tinggi. Ia akan menyeimbangkan dirinya. Kadang lewat krisis, kadang lewat kejatuhan.”
Mungkin benar. Mungkin, ketika manusia sudah terlalu malas berpikir, alam akan menurunkan versi update-nya: bukan AI 2.0, tapi kesadaran 2.0.
.

EPILOG : KETIKA ALAM TERTAWA
AI tidak pernah lelah. Ia tidak punya emosi, tidak butuh kopi, dan tidak menunda kerja dengan alasan “butuh inspirasi.” Tapi di situlah justru letak kekalahannya: ia tidak bisa jatuh cinta pada kebenaran, tidak bisa rindu pada kejujuran, dan tidak bisa takut pada dosa intelektual. Manusia, dengan segala kelemahannya, masih punya itu semua. Dan justru karena itulah ia lebih unggul.
Asal … tidak malas.
Maka, bila suatu hari nanti semua berita ditulis mesin, biarlah manusia yang membaca dengan hati.
Karena, seperti kata Heru sambil menutup percakapan,
> “Kiamat itu ketika alam sudah sempurna — sempurna buruknya, atau sempurna baiknya.”
Sampai hari itu tiba, semoga kita tidak ikut mempercepat kiamat dengan menjadi manusia yang malas berpikir.
Dan jika alam tertawa melihat kita, biarlah — karena mungkin itu satu-satunya cara alam mengingatkan:
bahwa akal sehat masih hadiah terbesar yang pernah ia titipkan kepada manusia.

warkop digital sby, 09-10-2025
Industri & Teknologi AI
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 06 November 2025
Penulis: cakHP (Heru Prabowo)
Pagi ini kamu buka HP, langsung disambut rekomendasi TikTok yang pas banget. Chatbot Shopee jawab pertanyaanmu secepat kilat. Foto kamu diubah jadi kartun lucu dalam hitungan detik.
Tanpa disadari, semua itu kerjaannya AI — si “teman digital” yang pelan-pelan sudah jadi bagian dari hidup sehari-hari.
Tapi… apa sih kata orang Indonesia sendiri soal AI?
Ternyata, dari 126 juta pengguna aktif media sosial di Indonesia (DataReportal 2025), makin banyak yang sadar bahwa hidup digital mereka setiap hari sudah dipenuhi teknologi berbasis kecerdasan buatan. Dari TikTok sampai Tokopedia, dari Gojek sampai Google Lens, AI jadi “pemeran diam” yang ikut menentukan apa yang kita tonton, beli, dengar, dan bahkan pikirkan. Cerita-cerita di bawah ini diambil dari survei resmi, komentar viral, dan curhatan warganet yang mewakili denyut digital bangsa kita hari ini.

1. “AI Bikin Konten Jadi Gampang Banget !”
> “Dulu bikin Reels tiga jam, sekarang lima belas menit pakai AI. Eh, malah viral!”
— @kreator.indonesia, TikTok (2 juta likes)
Bikin video animasi, face swap, sampai remix musik kini cukup pakai sentuhan AI.
Sejak Meta meluncurkan fitur Vibes pada September 2025, kreator Indonesia langsung berlomba-lomba mencoba. Hasilnya? Konten makin cepat, lucu, dan sering masuk FYP. Tak heran, rata-rata orang Indonesia kini menonton video pendek lebih dari 45 jam per bulan — tertinggi di Asia.
Tapi, di sisi lain, muncul keluhan.
> “Konten AI terus. Mana yang masih karya manusia?”
— @realhumanonly, X (50 ribu retweet)
AI memang memudahkan, tapi juga menimbulkan kerinduan akan sentuhan “manusia asli”.
2. “Chatbot Lebih Cepat dari Teman !”
> “Jam dua pagi tanya ke Gojek, langsung dijawab. AI lebih tanggap dari pacar!”
— @ojol_life, Instagram Story
Delapan dari sepuluh orang Indonesia sekarang senang menggunakan AI untuk urusan kerja atau hidup harian — mulai dari nulis email, nyusun jadwal, sampai cari resep makan malam.
AI jadi semacam asisten pribadi gratis yang tidak pernah lelah.
Namun, tidak semua merasa nyaman.
> “Jawaban AI dingin banget. Aku kangen ngobrol sama CS yang bisa bercanda.”
— @customer_love, X
AI memang cepat, tapi belum tentu hangat.

3. “AI Bantu PR, Tapi Guru Marah !”
> “Tugas esai seribu kata? Dua menit kelar pakai AI. Nilai A pula!”
— @siswa_genz, (grup WA anonim)
Dunia pendidikan juga kena imbas. Banyak siswa dan mahasiswa mulai mengandalkan AI untuk tugas, sementara guru dan dosen masih beradaptasi.
Dalam sebuah kuliah di Unpam (Oktober 2025), Anies Baswedan mengingatkan:
> “AI boleh bantu, tapi kalau cuma disalin mentah, anak-anak kehilangan kemampuan berpikir kritis.”
Data pun menunjukkan hal yang sama: 9 dari 10 pekerja kantoran di Indonesia mengaku memakai AI untuk menulis laporan.
Di media sosial, banyak yang mengusulkan agar sekolah dan kampus mengajarkan literasi AI, bukan sekadar melarang penggunaannya.
> “Ajarin cara pakai AI dengan bijak, bukan suruh jangan pakai.”
— @guru_masa_depan, X

4. “AI Bisa Selamatkan Nyawa... atau Bikin Pengangguran ?”
> “Mama didiagnosis kanker lebih cepat gara-gara AI baca rontgen. Dokter bilang: ini penyelamat.”
— @hope_story, Instagram Reels (1 juta views)
Di rumah sakit, AI sudah membantu dokter membaca hasil rontgen atau memprediksi risiko penyakit. Di sisi lain, banyak pekerja mulai waswas.
Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, menegaskan bahwa AI justru bisa membuka 97 juta lapangan kerja baru dalam beberapa tahun ke depan. Tapi survei Populix menunjukkan enam dari sepuluh orang tetap khawatir akan kehilangan pekerjaan karena otomatisasi.
> “Kalau AI bisa nulis laporan, terus kerjaanku apa?”
— @karyawan_kantor, LinkedIn Poll
AI hadir sebagai peluang sekaligus tantangan baru dalam dunia kerja.

5. “Brand Dengerin Aku Lewat AI !”
> “Kemarin aku komen di IG, ‘menunya kurang pedes’. Minggu depannya langsung keluar menu baru yang super pedes. AI bener-bener dengerin!”
— @foodie.jkt, X
Fenomena ini disebut
Social Listening — AI yang membaca jutaan komentar di media sosial untuk memahami selera publik.
Berkat itu, iklan jadi lebih relevan, kampanye lebih lucu, dan produk terasa lebih “nyambung” dengan konsumen.
Kadang terasa ajaib, kadang agak menakutkan. Tapi satu hal pasti: AI sedang mengubah cara merek berkomunikasi dengan manusia.

*Apa Kata Netizen Indonesia Tentang AI?*
Kalau dirangkum, suara warganet terbagi dua.
Sebagian bilang AI bikin hidup lebih mudah, murah, dan kreatif.
Sebagian lain takut manusia kehilangan skill dasar dan privasi makin rapuh.
Mayoritas (85%) merasa optimis pada masa depan AI di Indonesia, tapi hanya 27% yang benar-benar memakainya secara rutin.
Alasannya sederhana: banyak yang masih bingung mulai dari mana.

Jadi, AI Itu Musuh atau Teman?
Seorang pengguna X menulis dengan jujur:
> “AI itu kayak pisau. Bisa buat masak, bisa juga buat nyakitin. Tergantung siapa yang pegang.”
— @bijak.ai (viral di X)
AI sudah jadi bagian dari keseharian kita — entah disadari atau tidak.
Sekarang tinggal kita yang menentukan: mau jadi pengguna yang cerdas, atau sekadar penonton di era digital ini?
Kamu sendiri gimana?
AI bantu apa di hidupmu hari ini?

Glosarium Mini
AI (Artificial Intelligence) — Kecerdasan buatan; komputer yang bisa “berpikir” seperti manusia.
Chatbot — Robot chat otomatis yang menjawab pertanyaanmu.
Face Swap — Teknologi ganti wajah di foto/video pakai AI.
Social Listening — Proses ketika brand “mendengar” opini publik lewat AI.
AI Literacy — Kemampuan memahami dan memakai AI secara bijak.
GenAI — Generative AI; AI yang bisa mencipta tulisan, gambar, atau musik dari nol.

Pustaka & Rekomendasi Bacaan
DataReportal 2025: Indonesia – Statistik medsos dan perilaku digital
APJII Internet Survey 2025 – Laporan pengguna internet dan AI
Kumparan–Populix AI Report (2025) – Opini publik tentang AI
Podcast “Ngopi Pagi: AI untuk Orang Awam” (Spotify) – Obrolan ringan tentang AI
Video “AI Bikin Konten Viral” – @tech.gampang (TikTok)
Coba langsung: Meta Vibes di Instagram, atau tanya ChatGPT/Grok buat bikin caption IG!
Sumber
DataReportal, APJII, KIC, Kumparan–Populix, We Are Social, X, Instagram, TikTok — diperbarui hingga Oktober 2025.
Analisis Data
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 06 November 2025
Organisasi di era digital sering punya dua tantangan sekaligus: bagaimana mengumpulkan banyak data, dan bagaimana menjadikannya nilai nyata—bukan hanya laporan yang menumpuk di dashboard. Banyak perusahaan investasi besar di data dan teknologi, tetapi gagal menghasilkan perubahan operasional atau bisnis yang signifikan. Para penulis dalam artikel tersebut menegaskan bahwa data perlu diperlakukan seperti produk: dikemas, dipasarkan, dan diukur dampaknya.
Di Indonesia, konteks ini sangat relevan. Banyak perusahaan BUMN, institusi publik, dan perusahaan swasta tengah memperkuat aset data mereka—mulai dari integrasi sistem ERP, sensor IoT, hingga platform pelanggan digital. Tantangannya bukan sekadar teknologi, tetapi bagaimana data tersebut dikemas dalam bentuk yang bisa digunakan secara luas oleh lini bisnis, operasional dan pengambilan keputusan.
Data sebagai Produk: Konsep dan Implikasi
Memperlakukan data sebagai produk berarti organisasi perlu memastikan tiga hal utama:
(1) data harus berkualitas dan siap pakai, (2) tersedia akses yang mudah dan aman bagi pengguna yang tepat, dan (3) harus ada metrik nilai yang mengukur dampak data terhadap hasil bisnis atau operasional.
Penulis menggambarkan bahwa banyak organisasi mengumpulkan data tetapi gagal “menjual” atau “menyebarkan” nya ke pengguna yang membutuhkan—akibatnya banyak data hanya menjadi arsip pasif.
Dalam konteks Indonesia, hal ini berarti misalnya: sebuah BUMN energi mengumpulkan data sensor pembangkit, jaringan distribusi, dan pemeliharaan. Tetapi—jika data tidak terstruktur menjadi “layanan data” yang bisa diakses melalui dashboard untuk tim operasional atau tim perencanaan, maka kemampuannya meningkatkan efisiensi atau prediksi kerusakan akan terbatas.
Penulis juga menekankan perlunya tim lintas fungsi yang bertanggung jawab mengelola siklus produk data—mulai dari pengumpulan, pembersihan, penyajian, hingga pemantauan dampak. Tanpa tim semacam ini, data tetap tersebar di silo dan tidak digunakan secara optimal.
Membangun Organisasi yang Data-Mature
Pendekatan tradisional untuk “menjadi perusahaan berbasis data” sering menekankan teknologi atau infrastruktur. Artikel ini menyarankan orientasi yang berbeda: fokus pada penggunaan nyata data dan percobaan (piloting) yang cepat. Organisasi perlu memilih proyek data yang memiliki potensi nilai nyata, menerapkannya dengan cepat, lalu skala jika terbukti berhasil.
Di Indonesia, perusahaan dan lembaga publik bisa mengambil langkah-langkah berikut:
Identifikasi kasus penggunaan data yang jelas dan berdampak tinggi (misalnya prediksi pemeliharaan aset, analitik pelanggan, layanan publik digital).
Kembangkan produk data minimum viable (minimum viable data product)—versi sederhana yang bisa diuji dan diperbaiki.
Lakukan pengukuran dampak—berapa penghematan biaya, seberapa cepat waktu respons, atau pengurangan kegagalan operasional.
Siapkan mekanisme untuk skala—jika produk data berhasil, maka perlu ada proses rutin untuk memperluas, menduplikasi, dan memelihara.
Strategi ini membantu organisasi di Indonesia menghindari “tumpukan data tanpa aksi”, dan memilih pendekatan yang pragmatis dan berdampak.
Tantangan dan Adaptasi untuk Konteks Indonesia
Walaupun konsep “data sebagai produk” sangat menjanjikan, organisasi di Indonesia menghadapi hambatan khusus:
Kualitas data yang beragam: Banyak sistem lama, pencatatan manual, atau data yang tersebar di banyak unit menyebabkan pembersihan dan integrasi data menjadi tantangan besar.
Akses pengguna internal yang terbatas: Divisi bisnis atau operasional sering belum memiliki akses atau kapasitas untuk menggunakan produk data yang tersedia.
Metrik nilai yang belum jelas: Banyak organisasi belum menetapkan pengukuran dampak data, sehingga sulit memprioritaskan proyek data yang tepat.
Budaya uji coba dan skala masih terbatas: Organisasi cenderung mencari “proyek besar” daripada memulai dari usaha kecil yang bisa diuji dulu.
Beradaptasi dengan konteks ini berarti manajemen perlu memastikan kualitas data sejak awal, membangun akses yang mudah untuk pengguna, dan menetapkan ukuran keberhasilan yang konkret. Kebijakan internal seperti data governance, pelatihan data literacy bagi karyawan, dan struktur tim produk data menjadi krusial.
Penutup
Mengubah data menjadi nilai nyata bukanlah tugas teknologi semata — ini soal produk, pengguna, dan hasil yang diukur. Organisasi yang mampu memperlakukan data seperti produk internal dan eksternal akan lebih siap menghadapi persaingan digital.
Bagi organisasi di Indonesia, kuncinya adalah memulai dengan proyek data berbasis nilai kecil, membangun tim lintas fungsi untuk mengelola siklusnya, dan menetapkan pengukuran dampak secara nyata. Dengan demikian, aset data tidak hanya menjadi “barang yang dikoleksi”, tetapi menjadi motor inovasi dan efisiensi yang mendorong keberlanjutan organisasi.
Transformasi Digital
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 06 November 2025
Transformasi digital telah menjadi prioritas utama bagi banyak organisasi di Indonesia—baik di sektor publik, swasta, maupun BUMN. Implementasi sistem berbasis cloud, Internet of Things (IoT), dan kecerdasan buatan (AI) membuka peluang besar bagi efisiensi dan inovasi. Namun, di balik peluang tersebut, muncul ancaman baru yang tidak kalah serius: risiko siber.
Kasus serangan ransomware terhadap sejumlah rumah sakit dan lembaga pemerintah di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa isu keamanan siber tidak lagi bersifat teknis semata, melainkan sudah menjadi isu strategis korporasi dan nasional. Sayangnya, banyak organisasi masih melihat keamanan siber sebagai urusan tim IT, bukan tanggung jawab kolektif yang melibatkan manajemen puncak dan dewan direksi.
Artikel ini mengadaptasi gagasan Thomas Parenty dan Jack Domet dalam Harvard Business Review untuk menyoroti bagaimana perusahaan, termasuk di Indonesia, dapat menilai dan mengelola risiko siber secara sistematis — bukan sekadar dengan membeli teknologi baru, melainkan dengan membangun tata kelola risiko yang matang dan terukur.
Pendekatan Baru dalam Menilai Risiko Siber
Banyak organisasi menilai ancaman siber secara sempit—misalnya dengan menghitung potensi kerugian finansial dari serangan atau jumlah sistem yang terdampak. Padahal, sebagaimana dijelaskan Parenty dan Domet, pendekatan ini sering gagal karena tidak menilai secara strategis hubungan antara ancaman, aset penting, dan dampak terhadap operasi bisnis.
Dalam konteks Indonesia, di mana banyak BUMN dan instansi pemerintah mengelola data publik berskala besar, pendekatan yang diperlukan adalah risk-based governance: menilai risiko berdasarkan prioritas strategis, bukan sekadar kemungkinan teknis serangan.
Pendekatan ini melibatkan tiga langkah utama:
Identifikasi aset kritis — menentukan informasi, sistem, atau layanan yang paling vital bagi kelangsungan operasi.
Analisis potensi ancaman dan dampak bisnis — menilai bagaimana gangguan pada aset tersebut akan memengaruhi layanan publik, kepercayaan masyarakat, atau reputasi lembaga.
Penerapan kontrol berbasis prioritas — mengalokasikan sumber daya keamanan sesuai tingkat risiko yang paling signifikan, bukan berdasarkan daftar ancaman yang terlalu luas.
Contohnya, untuk lembaga seperti PLN atau Telkom, serangan siber yang mengganggu sistem distribusi energi atau jaringan komunikasi memiliki dampak jauh lebih besar dibandingkan ancaman terhadap sistem administratif internal. Karena itu, pengamanan harus difokuskan pada sistem operasional kritis (Operational Technology/OT) yang menopang infrastruktur nasional.
Peran Pimpinan dan Dewan Direksi
Salah satu kesalahan paling umum di banyak organisasi Indonesia adalah menganggap keamanan siber sebagai urusan teknis level bawah. Padahal, seperti yang ditekankan Parenty dan Domet, tanggung jawab utama justru berada pada dewan dan manajemen puncak.
Dewan direksi harus memandang keamanan siber sebagai bagian dari manajemen risiko korporasi (Enterprise Risk Management, ERM). Artinya, keputusan tentang investasi keamanan, kebijakan perlindungan data, hingga kesiapan menghadapi insiden siber harus dikaitkan langsung dengan strategi bisnis dan keberlanjutan organisasi.
Di Indonesia, peran ini mulai mendapat perhatian melalui regulasi seperti Peraturan OJK No. 4/POJK.05/2021 tentang Manajemen Risiko Teknologi Informasi, yang mewajibkan lembaga keuangan menerapkan tata kelola risiko siber yang mencakup keterlibatan dewan komisaris dan direksi. Namun, implementasinya masih terbatas, terutama di sektor non-keuangan dan lembaga daerah.
Untuk memperkuat peran strategis pimpinan, organisasi perlu:
Menetapkan chief information security officer (CISO) yang memiliki akses langsung ke level eksekutif;
Memasukkan laporan risiko siber ke dalam agenda rutin rapat direksi dan audit komite;
Menyusun rencana kontinuitas bisnis (business continuity plan) yang mencakup skenario serangan siber besar.
Langkah-langkah ini akan memastikan keamanan siber tidak dipandang sebagai beban biaya, melainkan sebagai investasi dalam resiliensi organisasi.
Membangun Budaya Keamanan di Seluruh Tingkatan
Tidak ada teknologi yang dapat menggantikan kesadaran manusia sebagai lini pertahanan pertama. Dalam banyak kasus pelanggaran data di Indonesia, akar masalah bukanlah celah sistem, melainkan kelalaian manusia — klik tautan berbahaya, penggunaan kata sandi lemah, atau pembocoran data tidak sengaja.
Maka, membangun budaya keamanan menjadi keharusan. Program pelatihan keamanan siber harus bersifat berkelanjutan, realistis, dan relevan dengan konteks kerja masing-masing departemen. Karyawan perlu memahami bahwa keamanan data bukan hanya tugas IT, melainkan bagian dari tanggung jawab etika profesional.
Selain itu, manajemen harus menumbuhkan lingkungan psikologis yang aman di mana karyawan tidak takut melaporkan kesalahan atau potensi pelanggaran. Budaya semacam ini memungkinkan organisasi untuk belajar dari insiden, bukan menyembunyikannya.
Implikasi bagi Tata Kelola Siber Nasional
Di tingkat nasional, pemerintah Indonesia telah membentuk Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sebagai otoritas utama di bidang keamanan siber. Namun, efektivitas pengelolaan risiko siber tidak hanya bergantung pada lembaga pusat, melainkan juga pada sinkronisasi kebijakan antar sektor.
BUMN, kementerian, dan perusahaan swasta perlu menerapkan kerangka kerja keamanan terpadu yang mengacu pada standar global seperti ISO/IEC 27001, NIST Cybersecurity Framework, atau panduan BSSN sendiri. Penerapan kerangka ini bukan sekadar untuk kepatuhan, tetapi untuk membangun kesadaran bersama tentang pentingnya perlindungan data publik dan infrastruktur digital nasional.
Ke depan, kolaborasi antara sektor publik dan swasta menjadi kunci. Serangan siber tidak mengenal batas institusi, sehingga diperlukan ekosistem keamanan yang terbuka, adaptif, dan berbasis pertukaran informasi antar organisasi.
Penutup
Keamanan siber bukan lagi isu teknis, melainkan bagian integral dari ketahanan organisasi dan nasional. Dalam konteks Indonesia, pengelolaan risiko siber harus bergeser dari pendekatan reaktif menjadi proaktif dan strategis. Dewan direksi, pimpinan lembaga, dan seluruh lapisan organisasi perlu menyadari bahwa data dan sistem digital adalah aset utama abad ke-21.
Sebagaimana disampaikan Parenty dan Domet, langkah pertama bukanlah membeli teknologi baru, melainkan memahami risiko yang paling penting dan menanganinya secara sadar, sistematis, dan bertanggung jawab. Dengan tata kelola yang kuat, budaya keamanan yang hidup, dan kepemimpinan yang visioner, Indonesia dapat membangun fondasi keamanan digital yang tangguh menuju ekonomi berbasis data yang berdaulat.
Daftar Pustaka
Parenty, T. J., & Domet, J. J. (2019). Sizing up your cyberrisks. Harvard Business Review, 102(5), 219–238.
Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). (2023). Panduan keamanan siber nasional untuk sektor publik dan infrastruktur kritis. Jakarta: BSSN.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). (2021). Peraturan OJK No. 4/POJK.05/2021 tentang Manajemen Risiko Teknologi Informasi. Jakarta: OJK.
International Organization for Standardization. (2022). ISO/IEC 27001: Information security management systems — Requirements. Geneva: ISO.
NIST. (2020). Framework for improving critical infrastructure cybersecurity (Version 1.1). Gaithersburg, MD: National Institute of Standards and Technology.