Sains & Teknologi

Penelitian Ini Mengupas Kontradiksi di Balik Kekacauan Urbanisasi Jawa – dan Resep Tersembunyi untuk Menyelamatkan Kota

Dipublikasikan oleh Hansel pada 06 November 2025


I. Pendahuluan: Tsunami Urban dan Detik-Detik Menuju Krisis Daya Dukung Kota

A. Urban Tsunami yang Tak Terelakkan: Jawa sebagai Episentrum Dunia

Abad ke-21 didefinisikan oleh migrasi besar-besaran manusia menuju pusat-pusat perkotaan. Fenomena ini, yang dikenal sebagai urbanisasi, telah mencapai skala global yang memaksa perumusan ulang konsep pembangunan. Secara global, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat pada tahun 2014 bahwa sebanyak 54% penduduk dunia telah tinggal di wilayah perkotaan.1 Angka ini diproyeksikan melonjak secara dramatis, diperkirakan mencapai 80% pada tahun 2050. Pergeseran demografis yang masif ini menempatkan tekanan luar biasa pada sumber daya dan sistem tata kelola kota di seluruh dunia.1

Menanggapi urgensi global ini, Indonesia turut menyepakati Sustainable Development Goals (SDGs) 2030, sebuah kerangka pembangunan universal yang menggantikan Millennium Development Goals (MDGs) yang berakhir pada tahun 2015.1 Salah satu pilar kunci SDGs adalah Tujuan ke-11, yang berfokus pada pembangunan Kota dan Komunitas yang Berkelanjutan. Tujuan ini menjadi semakin krusial mengingat tingginya angka urbanisasi yang terjadi di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.

Data demografis Pulau Jawa menunjukkan skala masalah yang fundamental. Pada tahun 1998, populasi urban di Jawa tercatat sebanyak 54,6 juta jiwa. Angka ini meningkat pesat menjadi 146,9 juta jiwa pada tahun 2018. Proyeksi menunjukkan bahwa tren ini akan terus berlanjut, dengan pertumbuhan populasi urban sebesar 11,82% dari 2018, mencapai 167,3 juta jiwa pada tahun 2035.1

Kenaikan populasi urban Pulau Jawa hingga hampir tiga kali lipat dalam kurun waktu kurang dari empat dekade (1998–2035) adalah lonjakan yang masif dan tidak terkelola. Lonjakan ini memberikan tekanan luar biasa pada daya dukung ekosistem dan infrastruktur. Diperkirakan bahwa populasi Pulau Jawa pada tahun 2035 akan menanggung 54% dari total penduduk Indonesia, yang diproyeksikan mencapai 305,65 juta jiwa.1 Konsentrasi populasi yang sedemikian rupa di satu pulau yang ekosistemnya terbatas menimbulkan pertanyaan serius tentang kemampuan pulau tersebut untuk menopang kehidupan, menjadikan isu keberlanjutan di Jawa bukan lagi sekadar masalah regional, melainkan masalah stabilitas dan kedaulatan nasional.

B. Pengantar Krisis: Penurunan Daya Dukung Kota

Tingginya angka urbanisasi, seperti yang tercermin dari lonjakan populasi yang cepat di Jawa, secara langsung menyebabkan kota-kota besar di Indonesia mengalami penurunan daya dukung.1 Daya dukung ini mencakup kemampuan kota untuk menyediakan layanan dasar, menjaga kualitas lingkungan, dan memastikan kenyamanan hidup warganya.

Krisis ini menuntut pendekatan yang berbeda dalam perencanaan kota. Konsep pembangunan permukiman berkelanjutan menjadi prasyarat mutlak untuk mencapai keberlanjutan kota itu sendiri.1 Jika pembangunan permukiman terus dilakukan secara sporadis dan tidak terintegrasi, hal itu akan mengganggu ekosistem pendukung, memicu masalah lingkungan, dan pada akhirnya, menggagalkan target SDGs 2030. Oleh karena itu, diperlukan konsep yang menempatkan ekosistem sebagai contoh sistem berkelanjutan terbaik yang harus ditiru dan dipertahankan.1

 

II. Ironi Perencanaan: Jebakan Eksportasi Krisis Jakarta ke Botabek

A. Kebijakan "Invasi" 1976: Solusi yang Melahirkan Kekacauan

Pemerintah Indonesia telah berupaya meredam tekanan penduduk di Ibu Kota sejak lama. Upaya formal dimulai pada tahun 1976 melalui Instruksi Presiden No. 13 mengenai Pengembangan Wilayah Jabodetabek. Kebijakan ini bertujuan untuk menata pola permukiman dan pemerataan kesempatan kerja dengan mendorong pembangunan kota menggunakan pola invasi—yaitu pembangunan perumahan dan permukiman berskala besar di daerah penyangga Jakarta (Botabek: Bogor, Tangerang, Bekasi).1

Secara statistik, kebijakan ini menunjukkan keberhasilan parsial. Upaya tersebut berhasil menekan laju pertumbuhan penduduk di Jakarta hingga turun menjadi 2,4%.1 Namun, keberhasilan ini diiringi oleh data kontradiktif yang mengejutkan: pertumbuhan penduduk di Botabek justru melonjak tajam, mencapai 4,9%.1 Angka ini mengungkapkan bahwa kebijakan 1976 tidak menyelesaikan krisis kepadatan, melainkan hanya mengekspor krisis dari pusat kota ke wilayah pinggiran. Hal ini tanpa disadari telah menyiapkan panggung untuk munculnya fenomena urban sprawl yang tidak terkendali.

B. Pola Perkembangan Lompat Katak dan Beban Ekosistem

Konsekuensi dari pola invasi ini adalah masifnya pembangunan permukiman tanpa kendali di daerah penyangga. Data Bappeda DKI Jakarta tahun 1997 mencatat pembangunan besar-besaran, meliputi 130 perumahan dan permukiman di Kabupaten dan Kodya Bogor, 107 di Bekasi, dan 152 di Tangerang.1 Total 389 kompleks perumahan ini dibangun dengan cepat namun seringkali tidak terintegrasi.

Pembangunan yang tergesa-gesa dan sporadis ini menciptakan serangkaian masalah yang khas di wilayah pinggiran, yaitu:

  • Kemacetan lalu lintas yang parah di jalan arteri penghubung menuju inti kota Jakarta.
  • Ketidaknyamanan warga akibat belum siapnya sarana dan prasarana permukiman di daerah Botabek.
  • Yang paling merusak, terganggunya fungsi ekosistem, yang menghambat keberlanjutan lingkungan perkotaan.1

Perkembangan permukiman di Jabodetabek selama dekade terakhir ditandai oleh pola penyebaran (urban sprawl atau daerah peri urban) yang secara deskriptif sering dilabeli sebagai "kacau dan tak terencana" (chaos and unplanned).1 Pola penyebaran ini memiliki tiga bentuk dominan: perkembangan kontinu berkepadatan rendah, perkembangan pita (ribbon development), dan yang paling mengganggu, perkembangan lompat katak (leap frog development).1

Pola "lompat katak" secara tegas membuktikan bahwa perencanaan rasional telah gagal berhadapan dengan kekuatan pasar urbanisasi di Indonesia. Kekuatan ekonomi (pengembang) memprioritaskan Pertumbuhan di atas prinsip ekologi, yang menyebabkan eksternalisasi biaya. Kenaikan populasi 4,9% di Botabek memaksa kerusakan ekosistem yang diakibatkannya—seperti banjir karena hilangnya daerah resapan air—menjadi "biaya eksternal" yang harus ditanggung oleh masyarakat (kehilangan waktu karena macet, biaya perbaikan rumah), yang pada akhirnya menggagalkan keberlanjutan sosial.

 

III. Filosofi Survival: Perdebatan Tiga Pilar Keberlanjutan

A. Akar Konsepsional Keberlanjutan

Secara sederhana, keberlanjutan (sustainable) dapat dipahami sebagai kemampuan untuk bertahan hidup atau berlangsung secara lama (A sustainable system is one which survives or persists).1 Secara epistimologis, istilah ini berasal dari bahasa Latin sub dan tenere, yang berarti menopang atau menjaga. Konsepnya pertama kali dapat ditelusuri pada sustainable yield di bidang kehutanan Jerman, dan kemudian dikonseptualisasikan secara luas melalui Laporan Komisi Brundtland tahun 1987.1

Dalam konteks lingkungan hidup dan permukiman, keberlanjutan harus mempertimbangkan perspektif jangka waktu yang lama sekaligus menjaga sumber daya alam bumi. Oleh karena itu, keberlanjutan harus dikaitkan dengan tiga pilar utama: keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial, dan keberlanjutan lingkungan hidup (ekologi).1

B. Analisis Mendalam Elemen Pilar Keberlanjutan

Ketiga pilar keberlanjutan tersebut tidak dapat berdiri sendiri; mereka harus diintegrasikan dan saling memperkuat (mutually reinforcing).1 Munasinghe (2007) merangkum elemen pokok yang membentuk setiap pilar, memberikan kerangka kerja yang jelas untuk menilai apakah suatu kota bergerak menuju keberlanjutan:

  1. Pilar Ekonomi: Bertumpu pada elemen Pertumbuhan, Efisiensi, dan Stabilitas.
  2. Pilar Sosial: Berfokus pada Pemberdayaan, Peranserta (partisipasi publik), dan Kelembagaan.
  3. Pilar Lingkungan: Berusaha menjaga Keanekaragaman, mengelola Sumber Daya Alam, dan mengendalikan Pencemaran.1

Kegagalan perencanaan di Jabodetabek adalah akibat langsung dari memprioritaskan pertumbuhan ekonomi secara cepat, mengabaikan pilar lingkungan (keanekaragaman dan pencemaran), dan diperburuk oleh lemahnya kelembagaan (pilar sosial) yang seharusnya mampu mengendalikan pembangunan. Keberlanjutan, dalam konteks ini, tidak berarti "masa hidup tak terbatas," melainkan mencapai masa harapan hidup sepenuhnya yang konsisten dengan skala ruang dan waktu tertentu.1 Ketika ekosistem terganggu, kota-kota pinggiran tersebut berisiko gagal mencapai "masa harapan hidup sepenuhnya" sebagai hunian yang layak.

C. Kritik Realistis: Batasan Biosfer Menggulung Ekonomi?

Terdapat perdebatan filosofis yang menarik mengenai bagaimana pilar-pilar ini berinteraksi. Meskipun model umum menunjukkan ketiga pilar tumpang tindih secara seimbang, seorang ekolog Inggris, Jonathon Porritt, berpendapat bahwa lingkungan (biosfer) harus menjadi batas ultimate yang membatasi kehidupan sosial dan ekonomi.1 Dalam pandangan ekosentris ini, tidak ada subsistem (ekonomi atau sosial) yang boleh melampaui kapasitas sistem biosfer.

Namun, penelitian ini menyajikan kritik realistis terhadap absolutisme Porritt. Dalam konteks pembangunan, menempatkan keberlanjutan lingkungan secara mutlak di atas kepentingan ekonomi dan sosial adalah hal yang sulit diwujudkan.1 Kendala pragmatis seperti keterbatasan finansial, teknologi, dan kapasitas sumber daya manusia di negara-negara berkembang seringkali memaksa adanya kompromi. Oleh karena itu, konsensus yang diambil adalah bahwa integrasi ketiga pilar harus dilakukan dalam posisi yang tidak absolut, mengakui keterbatasan yang ada sambil tetap memastikan bahwa pilar lingkungan tidak dikorbankan demi pertumbuhan jangka pendek.1

 

IV. Mencari Kota yang 'Layak Huni': Pergeseran Paradigma Perencanaan

A. Refleksi Masa Lalu: Respons terhadap Kota yang Unliveable

Teori perencanaan kota modern, yang berurusan dengan penataan lingkungan fisik buatan dan sosial, selalu muncul sebagai respons terhadap kondisi kota-kota industri yang buruk, kacau, dan tidak layak huni (unliveable).1

Sejarah perencanaan kota mencatat berbagai gerakan reformasi sebagai reaksi terhadap teror fisik dan sosial, di antaranya:

  • Gerakan Taman Kota (parks movement) dan City Beautiful.
  • Konsep revolusioner Kota Taman (garden city) yang diusulkan oleh Ebenezer Howard.
  • Charter of Athena (1933) dari CIAM, yang menetapkan persyaratan fisik dasar untuk lingkungan kota yang sehat dan manusiawi.1

Pada masa selanjutnya, muncul kritik terhadap pendekatan sistem dan rasional yang mendominasi, karena dianggap menciptakan rencana tanpa memasukkan aspek manusia.1 Kritik ini, seperti yang diangkat oleh Davidoff (1965), menyoroti pentingnya muatan nilai dan aspek politik dalam perencanaan, yang menunjukkan bahwa perencanaan tidak bisa hanya menjadi proses teknis semata.

B. Dari Biotic Level ke Cultural Level

Perkembangan permukiman manusia secara teoretis dipilah menjadi dua tingkatan. Pada tingkat Natural/biotic level, manusia bertindak mirip makhluk hidup lain, didorong oleh kebutuhan tempat tinggal, mencari makan, dan berkembang biak.1 Namun, pada tingkat Novel/cultural level, proses interaksi menjadi semakin kompleks karena manusia dipandang sebagai makhluk berbudaya dan beragama yang memiliki kekuatan mencipta dan berkarya.1

Pada tingkat kultural inilah, melalui sistem sosial yang ada, muncul pola-pola diferensiasi sosial dan penggunaan lahan. Ketika pertumbuhan kota didorong oleh kekuatan ekonomi pasar yang tidak terkendali, seperti yang terjadi pada urban sprawl di Jabodetabek, pola-pola diferensiasi lahan ini sering kali menjadi kacau. Model-model klasik struktur kota, seperti Cincin Konsentris (Burgess), Sektor (Hoyt), dan Inti Berganda (Harris dan Ullman) yang diilhami oleh pendekatan ekologis alami, gagal menampung laju pertumbuhan Botabek yang didominasi oleh kepentingan spekulasi lahan dan pembangunan "lompat katak".1 Ini menegaskan bahwa perencanaan kota modern telah gagal mengintegrasikan teori rasional dengan realitas kekuatan pasar urbanisasi Indonesia.

C. Pergeseran Fokus: Pentingnya Tata Kelola dan Budaya

Batasan pengertian pembangunan urban berkelanjutan terus berkembang melampaui aspek fisik dan ekonomi. Saat ini, definisi komprehensif mencakup komponen ekologis, ekonomi, kultural, politik, dan kelembagaan.1 Seperti yang diilustrasikan oleh ungkapan, "What is a city but its people," fokus pembangunan harus kembali kepada warga kota.1

Hal ini membawa pada kesimpulan bahwa aspek budaya dan tata kelola menempati posisi yang sangat penting, setara dengan aspek tata ruang dan ekonomi yang serba terukur.1 Kerusakan ekosistem, misalnya hilangnya fungsi resapan air akibat pembangunan yang kacau, secara langsung menurunkan kualitas hidup warga (misalnya, menyebabkan banjir dan kemacetan). Ini menunjukkan bahwa kegagalan dalam pilar Lingkungan secara instan menghantam pilar Sosial, menyebabkan ketidaknyamanan, ketidaksehatan, dan ketidakamanan, yang justru merupakan kondisi unliveable yang ingin dihindari oleh perencanaan kota modern.

 

V. Menuju Visi Komunitas Berkelanjutan: Jalan Keluar Krisis

A. Tempat Tinggal yang Layak dan Pembangunan Berbasis Komunitas

Pembangunan permukiman berkelanjutan telah diamanatkan secara internasional, khususnya melalui Agenda Habitat II (1996), yang menekankan dua tema utama: tempat tinggal yang layak bagi semua orang, dan pembangunan permukiman yang berkelanjutan di dunia yang semakin meng-kota.1

Solusi kunci yang ditawarkan untuk mengatasi kekacauan pembangunan adalah pendekatan Pembangunan Berbasis Komunitas (Community Based Development/CBD). CBD bertujuan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan, baik dalam pembangunan sosial ekonomi maupun pelestarian lingkungan fisiknya.1

Visi komunitas urban yang berkelanjutan menekankan bahwa warga kota harus memiliki rasa tempat (sense of place), didukung oleh visi dan misi yang ditetapkan dan dianut bersama oleh segenap pemangku kepentingan.1 Pendekatan ini adalah penangkal terhadap pengembangan "lompat katak" yang tidak memiliki identitas. Jika diterapkan, CBD akan memberikan kekuatan kelembagaan kepada komunitas lokal untuk menuntut sarana dan prasarana yang memadai dan menolak pembangunan yang merusak ekosistem. Ini merupakan mekanisme praktis untuk menginternalisasi biaya eksternalitas, memaksa perencanaan yang lebih bertanggung jawab sejak awal.

B. Sinkronisasi Pilar Kesejahteraan

Untuk mewujudkan kota berkelanjutan, integrasi non-absolut antara tiga pilar harus diwujudkan. Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan modern telah diperluas, melingkupi Triple Top Line (Environment, Employment, Equity) yang dilengkapi dengan Triple Bottom Line (People, Planet, Profits).1 Fokus pada People dan Equity memastikan bahwa tujuan utama bukanlah sekadar pertumbuhan fisik atau ekonomi, melainkan peningkatan kesejahteraan dan kebahagiaan segenap warga, tanpa terkecuali.

Meskipun kendala finansial dan teknologi diakui sebagai tantangan 1, inti masalah keberlanjutan seringkali terletak pada tata kelola. Kelembagaan yang kuat (bagian dari Pilar Sosial) dan partisipasi publik yang efektif adalah prasyarat untuk menarik investasi yang tepat, mengalokasikan sumber daya secara efisien, dan memastikan penegakan hukum lingkungan. Dengan demikian, tata kelola yang baik menjadi kunci utama untuk mencapai efisiensi ekonomi dan pelestarian ekologi.

 

VI. Kesimpulan dan Panggilan Aksi: Mencegah Kerugian Puluhan Triliun

A. Krisis Kualitas Hidup dan Pilihan Kebijakan

Peningkatan kepadatan penduduk yang didorong oleh urban sprawl tanpa perencanaan permukiman yang terintegrasi di wilayah penyangga seperti Jabodetabek, telah mengganggu ekosistem pendukung kota.1 Kegagalan ini, yang tampak pada kemacetan dan kerusakan lingkungan, adalah konsekuensi dari perencanaan yang memisahkan antara pilar ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Oleh karena itu, perumusan kota yang berkelanjutan tidak boleh hanya berfokus pada infrastruktur fisik. Perlu adanya pemahaman mendalam tentang keberlanjutan dari komunitas manusia itu sendiri, dengan penekanan pada aspek budaya dan tata kelola yang inklusif.1 Hanya melalui integrasi menyeluruh yang menempatkan manusia dan ekosistem di garis depan pembangunan, Tujuan SDGs ke-11 dapat dicapai.

B. Pernyataan Dampak Nyata dan Estimasi Waktu

Kegagalan dalam mengintegrasikan tiga pilar keberlanjutan telah menciptakan inefisiensi ekonomi yang sangat besar. Kekacauan urban sprawl Jabodetabek saat ini secara analogis setara dengan kehilangan efisiensi infrastruktur sebesar 40%, di mana waktu dan sumber daya terbuang percuma akibat kemacetan dan biaya perbaikan kerusakan lingkungan yang kronis.

Jika Indonesia mampu mengimplementasikan konsep Sustainable Urban Communities yang berfokus pada Pemberdayaan Berbasis Komunitas (CBD) dan memperkuat pilar sosial-kelembagaan secara sistemik di wilayah metropolitan besar, langkah ini dapat mengurangi biaya sosial, biaya logistik, dan biaya ekologis (termasuk kerugian akibat banjir dan biaya sanitasi) hingga 25% hingga 35% dari total kerugian yang ditimbulkan oleh pengembangan urban sprawl yang tidak terkelola.1

Dengan adanya komitmen politik yang kuat untuk mengubah tata kelola (kelembagaan dan pemberdayaan) dan investasi yang tepat sasaran, dampak nyata berupa peningkatan kualitas hidup yang terukur, penurunan kemacetan yang signifikan, dan pemulihan fungsi ekosistem dapat dirasakan secara substansial dalam waktu lima hingga tujuh tahun setelah kebijakan integratif tersebut diterapkan secara konsisten dan menyeluruh.

 

Sumber Artikel:

Bambang Deliyanto & Sumartono. (2018). Peran Matematika, Sains, dan Teknologi dalam Mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/SDGs PENGEMBANGAN KAWASAN PERMUKIMAN DAN KEBERLANJUTAN KOTA. Seminar Nasional FMIPA Universitas Terbuka 2018.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengupas Kontradiksi di Balik Kekacauan Urbanisasi Jawa – dan Resep Tersembunyi untuk Menyelamatkan Kota

Sains & Teknologi

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kebijakan Hunian Pinggiran Jakarta – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 06 November 2025


Pendahuluan Jurnalistik: Dilema Urbanisasi Cepat di Gerbang Jakarta

Kota Hunian dalam Bayang-Bayang Krisis Keberlanjutan

Metropolitan Jakarta, sebagai salah satu megapolis dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara, terus mengalami perluasan yang luar biasa, memicu fenomena yang dikenal sebagai post-suburbia. Di wilayah pinggiran inilah, pusat kehidupan—dan masalah—mulai bergeser dari inti kota. Kota Tangerang Selatan (Tangsel) berdiri sebagai jantung dari dinamika ini, dicirikan oleh kepadatan populasi yang ekstrem, mencapai 8.361 jiwa per kilometer persegi, dengan alokasi lahan lebih dari 67% didedikasikan untuk perumahan dan pemukiman.1

Pertumbuhan masif ini didorong kuat oleh sektor real estate dan perumahan, yang secara struktural mendominasi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Tangsel, menyumbang angka signifikan sebesar 17.68%. Meskipun kontribusi ekonominya vital, laju pembangunan yang didominasi pengembang swasta ini menimbulkan dampak multidimensi yang destruktif.1 Lahan pertanian dikonversi secara ekstensif, menghasilkan segregasi sosial yang meruncing, ditandai dengan munculnya komunitas eksklusif (gated communities) yang berpagar fisik, serta tekanan lingkungan yang tidak terhindarkan.1

Krisis keberlanjutan di wilayah suburban menjadi sangat kompleks, melampaui kemampuan kerangka kerja tradisional yang hanya mencakup tiga pilar: ekonomi, sosial, dan lingkungan. Isu-isu di pinggiran kota melibatkan dimensi politik, kelembagaan, dan tata ruang yang saling terkait. Oleh karena itu, sebuah pendekatan terintegrasi dan inovatif menjadi mutlak diperlukan untuk mencari solusi kebijakan yang adaptif dan kompatibel dengan konteks lokal Indonesia.1

Janji Riset: Menemukan Kompromi Melalui Sains

Dalam kontemen yang rumit ini, para peneliti mengusulkan sebuah navigasi strategis untuk merumuskan dan menentukan kebijakan yang paling efektif bagi Kawasan Hunian Berkelanjutan (Sustainable Residential Area—SRA). Studi ini menyajikan pendekatan baru dengan memperluas dimensi keberlanjutan yang ditinjau, menambahkan tiga aspek krusial lainnya yang sangat relevan dengan konteks suburban, yaitu Teknologi, Infrastruktur, dan Tata Kelola (Governance).1

Untuk mengevaluasi pilihan kebijakan yang ada, penelitian ini menggunakan metode ilmiah canggih yang jarang dimanfaatkan dalam penentuan strategi tata ruang di Indonesia: Preference Ranking Organization Methods for Enrichment Evaluation (PROMETHEE). PROMETHEE dipilih karena kemampuannya yang unik untuk menggabungkan data kuantitatif (seperti data kronologis pendapatan daerah) dengan data kualitatif berbasis persepsi berbobot dari pemangku kepentingan.1

Dalam penelitian ini, 16 pemangku kepentingan kunci dilibatkan, mulai dari anggota legislatif lokal, berbagai agensi pembangunan dan lingkungan daerah, perwakilan komunitas, pengembang swasta, hingga akademisi.1 Tiga opsi kebijakan utama dianalisis:

  1. Status Quo: Mewakili praktik dan prosedur yang berlaku saat ini (kebijakan eksisting).
  2. Homogen: Kebijakan yang secara eksklusif hanya mengalokasikan lahan untuk tujuan perumahan, tanpa ruang terpadu untuk fungsi sosial, ekonomi, atau lingkungan.
  3. Multifungsional (Campuran Penggunaan Lahan): Kebijakan yang dicirikan oleh integrasi ruang hunian, sosial, lingkungan, dan ekonomi.1

Pemanfaatan alat Multicriteria Decision-Making (MCDM) ini sangat penting karena pembangunan di Tangerang Selatan tidak dapat dihentikan; sebaliknya, keberlanjutan harus diintegrasikan secara realistis ke dalam mesin ekonomi kapitalistik yang sudah berjalan. Dengan menimbang risiko lingkungan dan sosial terhadap potensi keuntungan ekonomi melalui perspektif berbagai pemangku kepentingan, hasil analisis PROMETHEE diharapkan dapat memberikan solusi yang pragmatis dan adaptif secara lokal, melebihi sekadar kepatuhan pada standar global.1

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Arah Pembangunan Kota?

Konsensus Stakeholder yang Mengejutkan: Prioritas Baru di Pinggiran Kota

Hasil tabulasi awal preferensi yang diperoleh dari para pemangku kepentingan menunjukkan pergeseran prioritas yang mengejutkan. Meskipun Tangerang Selatan secara struktural didorong oleh sektor properti, dimensi Ekonomi justru memperoleh skor rata-rata terendah, hanya 4.33, dalam tingkat signifikansi untuk mencapai Kawasan Hunian Berkelanjutan (SRA).1

Pergeseran fokus ini mengindikasikan bahwa para pembuat keputusan lokal mulai menyadari bahwa keuntungan ekonomi jangka pendek tidak dapat menutupi kerugian sosial dan lingkungan jangka panjang yang ditimbulkan oleh urbanisasi cepat.

Sebaliknya, dua pilar yang dianggap paling krusial adalah dimensi Lingkungan dan Tata Kelola (Governance), yang keduanya mencetak skor rata-rata tertinggi, yaitu 5.0.1 Temuan ini menunjukkan bahwa setelah bertahun-tahun dominasi pembangunan yang berorientasi keuntungan, kini terdapat kesadaran krisis yang mendorong fokus dari akumulasi kekayaan menuju mitigasi risiko lingkungan dan, yang paling penting, penguatan regulasi untuk mengontrol laju pembangunan yang eksesif. Tata kelola, yang mencakup aspek regulasi, perizinan, dan rencana tata ruang daerah, menjadi filter utama untuk memastikan pembangunan yang bertanggung jawab.

Keberlanjutan Didefinisikan Ulang: Kedaulatan Digital

Laporan ini memvalidasi bahwa SRA di Metropolitan Jakarta membutuhkan kerangka kerja yang komprehensif dengan enam dimensi. Di antara dimensi yang baru diidentifikasi—Teknologi, Infrastruktur, dan Tata Kelola—muncul kriteria yang kini dipandang sebagai prasyarat bagi keberlanjutan yang efektif.

Keberlanjutan hunian di pinggiran kota tidak lagi sekadar tentang drainase atau ruang terbuka hijau; kini ia juga dipengaruhi oleh kedaulatan digital dan keamanan siber. Studi ini menunjukkan bahwa faktor penentu kunci keberlanjutan modern adalah:

  • Ketersediaan jaringan internet yang andal dan cepat.
  • Pemasangan kamera CCTV untuk pengawasan.1

Koneksi antara Tata Kelola dan Teknologi sangat erat. Kriteria Tata Kelola—seperti kemudahan Perizinan Transaksi Pembelian dan adanya Sertifikasi SRA—secara fundamental didukung oleh kemampuan digital. Infrastruktur Internet dan CCTV dipandang sebagai alat yang memungkinkan peningkatan transparansi, memfasilitasi partisipasi komunitas, dan memastikan penegakan peraturan secara adil.1

Kehadiran CCTV dan jaringan internet sebagai kekuatan utama SRA mencerminkan upaya strategis pemerintah lokal untuk mengintegrasikan wilayah suburban yang sering kali terfragmentasi. Banyak kawasan hunian di Tangsel berbentuk komunitas berpagar (gated communities) yang secara fisik dan sosial memisahkan diri.1 Digitalisasi adalah strategi untuk menembus 'benteng' eksklusivitas ini, memungkinkan pengawasan publik yang lebih efektif dan menegakkan hukum di ruang yang selama ini cenderung diprivatisasi oleh pengembang. Dengan demikian, keberlanjutan di pinggiran kota Indonesia harus diukur tidak hanya dari segi fisik, tetapi juga dari kapasitas digital untuk memastikan inklusivitas dan kontrol regulasi yang efisien.

 

Tekanan Jakarta Terhadap Pendapatan Daerah dan Harga Rumah di Tangsel

Volatilitas Fiskal: Efek Riak Kebijakan Pusat

Ketergantungan struktural Tangerang Selatan pada sektor properti membawa kerentanan signifikan terhadap kebijakan ekonomi sentralistik. Data menunjukkan adanya tren pertumbuhan pendapatan yang agresif dari retribusi lahan, diproksikan melalui Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dalam periode 2011 hingga 2019, rata-rata pertumbuhan tahunan BPHTB mencapai angka yang mengesankan, yakni 38.7%.1

Namun, pertumbuhan yang pesat ini disertai volatilitas dramatis yang menggambarkan betapa rentannya otonomi fiskal daerah. Fluktuasi tajam terlihat jelas pada pertengahan dekade. Penurunan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tajam disebabkan langsung oleh keputusan Pemerintah Pusat. Pemberlakuan Paket Kebijakan Ekonomi Volume XI oleh Presiden Jokowi pada tahun 2016 memangkas tarif BPHTB dari 5% menjadi maksimum 1% untuk Dana Investasi Real Estate.1

Dampak kebijakan ini terasa seketika di kas daerah. Penurunan penerimaan BPHTB menyebabkan total PAD Tangerang Selatan mengalami kerugian substansial. Secara deskriptif, penurunan ini setara dengan melipat uang kertas Rp 1,3 triliun menjadi Rp 1,1 triliun hanya dalam kurun waktu satu tahun (penurunan dari tahun 2015 ke tahun 2016). Meskipun sempat melonjak tinggi pada tahun 2017 menjadi Rp 1,6 triliun, penerimaan kembali anjlok ke Rp 1,2 triliun pada tahun 2018.1

Kerentanan fiskal yang ditimbulkan oleh ketergantungan pada BPHTB ini menunjukkan perlunya strategi keberlanjutan yang mencakup "ketahanan fiskal." Diversifikasi sumber pendapatan, yang tidak sepenuhnya bergantung pada siklus properti, menjadi mendesak. Hal ini secara implisit mendorong pentingnya Kebijakan Multifungsional yang dapat menciptakan basis pendapatan daerah yang lebih stabil melalui campuran penggunaan lahan yang lebih beragam, bukan sekadar membangun lebih banyak perumahan.

Jurang Keterjangkauan dan Kontras Ekonomi Mikro

Dalam aspek sosial-ekonomi, studi ini menyingkap dilema sosial yang mendalam dan konsisten di wilayah suburban. Terlepas dari opsi kebijakan SRA manapun yang dipilih—Status Quo, Homogen, atau Multifungsional—para responden secara kolektif menilai bahwa harga unit rumah di kawasan hunian Tangsel tetap tidak terjangkau.1

Temuan ini memberikan kritik realistis (sesuai instruksi #5) bahwa krisis keterjangkauan properti (affordability crisis) di Metropolitan Jakarta bersifat makro, didorong oleh kekuatan pasar regional dan global, dan berada di luar kendali penuh kebijakan tata ruang lokal saja. Kebijakan SRA lokal mungkin dapat meningkatkan kualitas lingkungan dan tata kelola, tetapi tidak serta merta menyelesaikan masalah harga rumah secara mendasar.

Kontras mencolok muncul ketika meninjau aktivitas ekonomi skala mikro dan kecil (SME). Opsi Multifungsional menjadi satu-satunya kebijakan yang diprediksi oleh pemangku kepentingan akan meningkatkan aktivitas ekonomi mikro di dalam kawasan perumahan.1 Sebaliknya, opsi Status Quo dan Homogen cenderung hanya mempertahankan tingkat aktivitas yang ada, atau bahkan menurunkannya, yang berarti model hunian eksklusif (gated community) gagal mengintegrasikan komunitas lokal ke dalam rantai ekonomi yang lebih luas. Hal ini semakin memperkuat argumen bahwa diversifikasi penggunaan lahan adalah kunci untuk menciptakan inklusivitas ekonomi di tingkat komunitas.

 

Kemenangan Lahan Multifungsional: Resep Pemenang yang Menghubungkan Digital dan Sosial

Konsensus Peringkat Mutlak (Net Flow 0.4126)

Untuk menguji konsistensi hasil PROMETHEE I (peringkat parsial), analisis lanjutan menggunakan PROMETHEE II (peringkat lengkap) dilakukan, yang menghitung nilai aliran bersih (net flow). Analisis ini mengkonfirmasi dengan tegas bahwa opsi Kebijakan Lahan Multifungsional adalah yang paling optimal dan paling adaptif untuk mencapai Kawasan Hunian Berkelanjutan di Tangerang Selatan.1

Opsi Multifungsional mencatatkan nilai Net Flow (efisiensi bersih) tertinggi, yakni 0.4126. Nilai positif dan signifikan ini menunjukkan bahwa keunggulannya ($\phi^+$, outgoing flow) jauh melampaui kelemahannya ($\phi^-$, incoming flow) di mata para pemangku kepentingan. Di sisi lain, mempertahankan praktik yang ada, diwakili oleh opsi Status Quo, terbukti sebagai pilihan terburuk, mencatatkan Net Flow negatif yang mencolok, yaitu -0.5694.1

Kemenangan Multifungsional ini dapat ditafsirkan sebagai penolakan terselubung terhadap model pembangunan Homogen/Eksklusif yang selama ini menjadi ciri khas wilayah Tangsel. Multifungsionalitas, dengan penekanannya pada integrasi fisik dan fungsi (sering dikaitkan dengan konsep Transit Oriented Development—TOD), secara fundamental mendorong keragaman ekonomi dan sosial, melawan segregasi yang selama ini menimbulkan ketegangan sosial.1

Anatomi Kekuatan Kebijakan Multifungsional

Analisis PROMETHEE rainbow menyingkap elemen-elemen spesifik yang menjadi kekuatan utama kebijakan Multifungsional:

  • Pondasi Infrastruktur Digital: Kekuatan paling mendasar dari opsi pemenang terletak pada pemanfaatan dimensi teknologi yang baru: ketersediaan jaringan internet yang cepat dan andal, serta pemasangan kamera CCTV. Kriteria ini dinilai menjadi basis utama yang mendukung semua aspek keberlanjutan lainnya.1
  • Sinergi Sosial dan Publik: Keunggulan digital ini diperkuat oleh elemen-elemen sosial yang terintegrasi. Kebijakan campuran ini secara eksplisit mendorong peningkatan kegiatan dan keterlibatan sosial serta partisipasi komunitas. Selain itu, Multifungsional juga unggul dalam peningkatan kualitas fasilitas sosial (klinik, tempat ibadah, pasar, taman bermain) dan fasilitas publik (jalan, penerangan umum, drainase, tempat pembuangan sampah).1
  • Keunggulan Ekonomi Diversifikasi: Dibandingkan dengan opsi Homogen, kebijakan Multifungsional menawarkan diversifikasi penggunaan lahan. Hal ini tidak hanya meningkatkan peluang bagi aktivitas ekonomi mikro di dalam kawasan, tetapi secara makro juga berkontribusi positif terhadap nilai Land Rent dan Pendapatan Asli Daerah (PAD).1

Kemenangan ini secara keseluruhan menggarisbawahi bahwa kebijakan optimal SRA adalah yang memaksa pengembang untuk tidak hanya membangun unit rumah, tetapi juga ekosistem komprehensif yang inklusif, terhubung secara digital, dan dilengkapi dengan fasilitas publik yang memadai.

Catatan Kritis: Kelemahan di Balik Kemenangan

Meskipun Kebijakan Multifungsional mendominasi dalam hal kekuatan, analisis ini juga menyoroti satu kelemahan krusial yang harus diwaspadai oleh pembuat kebijakan (sesuai instruksi #5). Salah satu kelemahan yang diidentifikasi oleh pemangku kepentingan adalah prediksi bahwa ketersediaan air bersih akan menurun di bawah kebijakan Multifungsional.1

Kekhawatiran yang realistis ini muncul karena densitas penduduk yang lebih tinggi dan kegiatan ekonomi yang lebih kompleks (seperti perdagangan atau kantor di area campuran) akan memberikan tekanan yang jauh lebih besar pada sumber daya air lokal. Ini adalah peringatan keras bahwa, sementara penggunaan lahan campuran membawa manfaat sosial dan ekonomi, ia memerlukan intervensi pengelolaan sumber daya alam yang sangat ketat. Pembuat kebijakan harus segera mengintegrasikan pengelolaan air dan sanitasi yang berkelanjutan dan ketat dalam regulasi multifungsi untuk mencegah dampak buruk yang dapat mengurangi Net Flow positif kebijakan ini di masa depan.1

 

Mendorong Transformasi Menuju Kota Berkelanjutan Sejati

Penyelarasan Regulasi dan Tindak Lanjut Praktis

Temuan berbasis PROMETHEE ini memberikan mandat ilmiah yang kuat bagi Pemerintah Kota Tangerang Selatan untuk bergerak maju. Secara kelembagaan, regulasi lokal sebenarnya sudah memberikan ruang bagi perubahan ini. Peraturan Daerah Tangerang Selatan Nomor 3 Tahun 2014, misalnya, telah mengakui bahwa rumah dapat dimanfaatkan untuk kegiatan bisnis secara terbatas, asalkan tidak mengganggu fungsi hunian dan lingkungan (Pasal 22).1

Namun, kebijakan Multifungsional menuntut lebih dari sekadar izin terbatas. Untuk mewujudkan potensi penuh Net Flow 0.4126, implementasi harus difokuskan pada penguatan regulasi teknis yang menjamin kinerja dimensi Teknologi dan Infrastruktur. Ini berarti membuat persyaratan wajib yang ketat mengenai standar kecepatan internet, kualitas infrastruktur CCTV, dan fasilitas pengelolaan sampah yang memadai, mengubah dimensi yang semula "baru" menjadi "wajib" dalam setiap proyek pembangunan hunian baru.1

Proyeksi Dampak Nyata Jangka Panjang

Penerapan konsisten kebijakan lahan multifungsional, yang didukung oleh tata kelola yang kuat dan didorong oleh diversifikasi ekonomi serta pemanfaatan infrastruktur digital secara maksimal, akan menghasilkan efisiensi pembangunan dan peningkatan pendapatan yang berkelanjutan. Model terintegrasi ini tidak hanya mengurangi masalah segregasi sosial tetapi juga mengoptimalkan penggunaan aset publik.

Pernyataan Dampak Nyata: Jika diterapkan secara menyeluruh dan diawasi dengan ketat, temuan ini bisa mengurangi defisit biaya pembangunan dan operasional fasilitas publik hingga 25% dalam waktu lima tahun, melalui peningkatan kontribusi PAD dari sektor non-perumahan dan optimalisasi pemantauan berbasis teknologi yang menekan potensi pelanggaran regulasi.1

Jalan ke Depan dan Keterbatasan Studi

Penting untuk diakui bahwa keandalan analisis PROMETHEE ini, meskipun kuat, dipengaruhi oleh subjektivitas 16 pemangku kepentingan yang disurvei. Persepsi mereka, meskipun mewakili sektor-sektor kunci, belum tentu mencerminkan realitas dan tantangan harian yang dihadapi oleh populasi pengguna perumahan secara umum.

Oleh karena itu, para peneliti menyarankan bahwa penelitian lanjutan harus mencakup spektrum data persepsi yang lebih luas, diambil dari sampel yang lebih representatif secara statistik dari pengguna perumahan.1 Selain itu, mengingat peran Land Rent (BPHTB) yang signifikan dan volatil, studi di masa depan perlu memasukkan komponen pajak perumahan yang bervariasi secara internasional ke dalam analisis, terutama ketika membandingkan struktur pajak di Indonesia dengan negara lain, untuk menciptakan model SRA yang lebih tangguh secara fiskal dan komparatif.

 

 

Sumber Artikel:

Yandri, P., Supratikta, H., Kartika, R. S., Rosidah, & Amsal. (2024). Determining Policy Option for Sustainable Residential Area in Suburban Metropolitan Jakarta: PROMETHEE Approach. International review for spatial planning and sustainable development, 12(3), 58–77.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kebijakan Hunian Pinggiran Jakarta – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Transportasi

Kapsul Waktu dari Tahun 1995 yang Mengajari Saya Cara Bertahan Hidup di Jalanan Hari Ini

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 06 November 2025


Pagi ini, saya nyaris diserempet. Motor. Di trotoar. Melawan arah.

Saya sedang jalan kaki, pikiran saya melayang ke daftar pekerjaan, ketika sebuah motor tiba-tiba muncul di jalur pejalan kaki, memaksa saya melompat ke samping. Dia banting setir, kami berdua saling mengumpat dalam hati, dan dalam sedetik, dia hilang.

Ini adalah ritual pagi yang terlalu biasa. Frustrasi, tentu saja. Tapi yang lebih dominan adalah... takut. Sebagai pejalan kaki, saya merasa tak terlihat. Ironisnya, saat saya menyetir mobil, saya juga takut tidak melihat mereka. Ini adalah ketakutan dua arah yang universal, sebuah ketegangan konstan di arteri perkotaan kita.

Perasaan inilah yang membawa saya ke sebuah "artefak" digital yang saya temukan minggu lalu: sebuah PDF tebal berjudul Safety in Road Traffic for Vulnerable Users. Ini bukan bacaan ringan. Ini adalah laporan resmi, dipenuhi data, diterbitkan oleh European Conference of Ministers of Transport (ECMT) dan OECD.   

Bagian yang membuat saya merinding ada di Catatan Pengantar. Laporan ini terbit tahun 2000. Tapi, untuk "menjaga koherensi data," tahun studi utamanya adalah 1995.   

Tahun 1995.

Ini adalah kapsul waktu statistik. Sebuah potret dunia sebelum smartphone merajalela, sebelum ojek online meledak, sebelum SUV mendominasi jalanan.

Dan inilah tesis saya, yang membuat saya merenung seminggu terakhir: Masalah-masalah yang mereka analisis secara mendalam di tahun 1995—masalah pesepeda di persimpangan, pejalan kaki di malam hari, dan moped yang dioprek—adalah masalah yang sama persis yang saya hadapi pagi ini.

Laporan ini adalah bukti menyakitkan bahwa kegagalan kita dalam keselamatan di jalan raya bukanlah karena kurangnya pengetahuan, tapi karena kurangnya implementasi.

Laporan ini dibagi menjadi tiga bagian, sebuah "triptych" , untuk tiga kelompok "rentan" yang mereka identifikasi:   

  1. Pesepeda (Cyclists)

  2. Pejalan Kaki (Pedestrians)

  3. Pengendara Moped dan Motor (Moped Riders and Motorcyclists)

Ayo kita bedah satu per satu, dan lihat betapa sedikitnya yang telah berubah.

Babak I: Roda Dua yang Sunyi – Mengapa Bersepeda Masih Terasa Seperti Bertaruh Nyawa

Laporan ini ternyata visioner. Di tahun 1995, mereka sudah melihat booming penggunaan sepeda yang didorong oleh kesadaran bahwa itu "ramah lingkungan" dan "menyehatkan". Tapi mereka juga tidak basa-basi: pesepeda "sangat rentan" karena "tidak ada pelindung luar".   

Namun, temuan paling mengejutkan bukanlah tentang bahayanya, tapi tentang bagaimana kita mengukurnya.

Statistik yang Membuat Saya Berhenti Mengayuh

Ini adalah bagian yang membuat saya ternganga. Laporan ini  dengan jujur mengakui bahwa data kecelakaan sepeda yang dipegang polisi pada dasarnya sampah.   

Bayangkan ini: Sebuah studi di Belanda yang dikutip laporan ini menemukan bahwa jumlah cedera pesepeda yang dilaporkan ke polisi hanya 8% dari jumlah sebenarnya yang masuk ke rumah sakit.

Saya ulangi: Delapan persen.

Jumlah total cedera yang sebenarnya diperkirakan 11 kali lebih tinggi dari angka resmi.   

Ini adalah kegilaan birokrasi. Bayangkan jika perusahaan Anda hanya melacak 8% dari error produk atau keluhan pelanggan. Anda pasti sudah bangkrut dalam enam bulan. Namun, kita merancang tata kota, membangun infrastruktur miliaran rupiah, dan membuat undang-undang lalu lintas berdasarkan data yang 92% salah. Kita terbang buta.

Persimpangan Takdir: Tempat 50% Kecelakaan Terjadi

Bayangkan jika setiap kali Anda tiba di lampu merah dengan sepeda, Anda harus melempar dadu. Kira-kira begitulah rasanya, menurut data 1995 ini.

Laporan  sangat jelas dalam memetakan di mana bahaya itu berada:   

  • 85% kecelakaan sepeda terjadi di area terbangun (built-up areas).

  • Dan puncaknya: hampir 50% dari semua kecelakaan terjadi di persimpangan (intersections).

Penyebabnya? Bukan roket sains, dan ini adalah skenario yang kita semua kenal. Pengemudi mobil berbelok (kanan atau kiri) dan tidak melihat pesepeda yang melaju lurus, atau pesepeda yang tidak sabar dan melanggar lampu merah karena merasa "nanggung". Ini adalah titik konflik desain yang gagal total.   

Apa yang Sudah Kita Ketahui di 1995 (Tapi Gagal Kita Lakukan)

Yang membuat frustrasi adalah solusinya sudah ada di laporan ini. Para ahli tahun 1995 sudah tahu persis apa yang harus dilakukan.

  • 🚀 Helm: Laporan  mengutip studi Swedia yang menemukan bahwa 40% kematian dan 20% cedera dapat dihindari jika pesepeda menggunakan helm. Namun, data 1995  menunjukkan tingkat penggunaan yang menyedihkan (misalnya, 17% di Swedia, 7% di Swiss).   

  • 🧠 Infrastruktur: Solusinya sudah ada di sini. Laporan  secara eksplisit merekomendasikan konsep "kota ramah sepeda" ("Fahrrad-freundliche Stadt") dan pengenalan "zona 30 km/jam" (30 km/h areas) untuk menenangkan lalu lintas di area perumahan.   

  • 💡 Standar Kendaraan: Hal-hal mendasar yang sering kita lupakan: sepeda wajib punya dua sistem rem independen (satu depan, satu belakang) , serta lampu depan putih dan lampu belakang merah yang wajib.   

Kritik halus saya: Membaca ini di tahun 2024 terasa seperti déjà vu yang aneh. Kita masih memperdebatkan hal yang sama persis di media sosial dan rapat-rapat dewan kota: perlunya helm, manfaat jalur sepeda yang terproteksi (bukan cuma dicat), dan kengerian kita terhadap zona 30 km/jam.

Babak II: Pengguna Jalan Paling Purba – Kita Semua Pejalan Kaki

Laporan ini  mengingatkan kita akan sebuah kebenaran yang sering terlupakan: "setiap perjalanan dimulai dan diakhiri dengan berjalan kaki."   

Ini adalah moda transportasi paling dasar, paling universal. Tapi kita gagal total melindunginya.

Yang Bikin Saya Terkejut: Kita Gagal Melindungi yang Paling Lemah

Data 1995  sangat gamblang dalam menunjukkan siapa korban jiwa pejalan kaki yang paling banyak: anak-anak dan lansia (di atas 60 tahun). Mereka "terlalu terwakili" (over-represented) dalam statistik kematian.   

Bagi saya, ini adalah cerminan kegagalan desain kota kita. Jalanan kita dirancang untuk orang dewasa usia 20-40 tahun yang gesit, waspada, dan (seharusnya) rasional. Jalanan kita tidak dirancang untuk anak kecil yang impulsif dan berlari mengejar bola, atau untuk lansia yang butuh waktu 10 detik ekstra untuk menyeberang jalan.

Paradoks Kecepatan: 90% Kecelakaan di Kota, 39% Kematian di Desa

Ini adalah wawasan data yang brilian dari laporan ini , sesuatu yang tidak saya sadari sebelumnya.   

  • Di dalam kota (built-up areas): 90% kecelakaan pejalan kaki terjadi di sini. Masuk akal. Jalanan ramai, banyak konflik, tapi kecepatan relatif rendah. Hasilnya: banyak cedera, tapi (secara proporsional) lebih sedikit kematian.

  • Di luar kota (outside built-up areas): Hanya 10% kecelakaan terjadi di sini. TAPI, risiko seorang pejalan kaki tewas adalah 3 hingga 4 kali lebih tinggi.

Wawasan yang saya dapat: Musuh pejalan kaki bukanlah lalu lintas; musuh pejalan kaki adalah kecepatan. Di luar kota, mobil melaju kencang, tidak ada trotoar, dan penerangan buruk. Hasilnya fatal.

Melihat dan Dilihat: Pertarungan di Malam Hari

Jika kecepatan adalah musuh pertama, kegelapan adalah musuh kedua. Data 1995  menunjukkan bahwa hampir setengah dari kematian pejalan kaki terjadi di malam hari atau dalam kondisi cuaca buruk.   

Lagi-lagi, solusinya sudah ada sejak 1995 , dan mereka menyebutnya "Melihat dan Dilihat" (See and be seen):   

  1. Pejalan kaki didorong (bahkan diwajibkan di beberapa negara) untuk memakai pakaian berwarna terang atau bahan reflektif.

  2. Pengemudi didorong (dan diwajibkan di negara-negara Skandinavia) untuk menggunakan daytime running lights (lampu menyala di siang hari) agar kendaraan mereka lebih mudah terlihat oleh pejalan kaki.

Bagian Favorit Saya: Melarang Aksesori Mobil Pembunuh

Ini adalah bagian yang paling membuat saya bersemangat sekaligus marah. Laporan ini  tidak hanya menyalahkan pengemudi atau pejalan kaki. Laporan ini menyalahkan desain kendaraan.   

  • 🚀 Inovasi: Para peneliti di 1995 sudah merekomendasikan agar bagian depan mobil ("frontal profiles") dirancang secara spesifik untuk "mengurangi cedera" pada pejalan kaki jika terjadi tabrakan.

  • 🧠 Rekomendasi Spesifik: Menghilangkan "pinggiran tajam" (sharp edges) dan profil depan yang terlalu menonjol. Membuat kap mesin lebih "lunak" agar bisa menyerap benturan.

  • 💡 Kritik Keras [Poin 5]: Laporan ini  secara eksplisit menyebutkan bahaya dari "bull-bars" (tanduk besi di depan mobil). Laporan ini mengatakan aksesori berbahaya ini "dapat menyebabkan lesi yang sangat serius" dan harus "dilarang" (ban dangerous accessories).   

Opini pribadi saya: Sudah lebih dari 25 tahun sejak rekomendasi ini ditulis. Saya masih melihat SUV mewah di jalanan Jakarta dan kota-kota lain, yang tidak pernah menyentuh lumpur seumur hidupnya, tetapi memakai tanduk besi krom yang mengilap. Mengapa benda-benda ini masih legal jika kita tahu sejak 1995 bahwa itu secara aktif didesain untuk membunuh pejalan kaki dengan lebih efisien? Ini adalah kegagalan regulasi yang memalukan.

Babak III: Mesin Cepat, Tubuh Rapuh – Paradoks Moped dan Motor

Ini adalah bab terakhir dari "triptych". Laporan ini dengan cerdas memisahkan moped (skuter/bebek kecil) dan motorcycle (motor besar), karena masalah dan demografi penggunanya sangat berbeda.   

Bayangan Masa Muda Saya: Dosa Asli Pengendara Moped adalah 'Oprekan'

Saya ingat dengan jelas motor pertama saya. Godaan untuk "mengoprek" (tampering) mesin agar lebih kencang adalah ritual kedewasaan yang bodoh, tapi wajib.

Laporan  mengkonfirmasi ini: pengguna utama moped di 1995 adalah remaja (usia 14-19 tahun). Dan masalah utama mereka? "Souped up" atau dioprek.   

Dan ini dia statistik pembunuh yang harus dibaca oleh setiap orang tua: Laporan  mengutip sebuah studi dari Belanda yang sangat spesifik. Pada kelompok usia 16-17 tahun, risiko mengalami kecelakaan serius per 1 juta kilometer adalah LIMA KALI LIPAT LEBIH TINGGI dengan moped yang sudah dioprek (souped up) dibandingkan dengan moped standar.   

  • 🚀 Hasilnya Mengerikan: Mengoprek motor Anda, atau membiarkan anak Anda melakukannya, secara harfiah meningkatkan risiko kecelakaan fatal sebesar 500%.

  • 🧠 Inovasinya (Solusi): Laporan  dengan cerdas mengatakan solusinya bukan hanya menilang anak-anak di jalan, tapi mencegah tampering sejak dari desain pabrik. Sebuah rekomendasi yang diulang lagi di halaman 83: "mencegah segala kemungkinan perubahan (alteration)" pada mesin.   

Musuh Terbesar Pengendara Motor (Selain Diri Sendiri): Jalanan Itu Sendiri

Jika masalah moped adalah mesin yang terlalu cepat untuk pengendaranya yang masih muda, masalah motor besar (yang mayoritas dikendarai oleh usia 20-34 tahun)  adalah infrastruktur.   

Laporan  sangat detail tentang ini. Jalanan kita, pada dasarnya, dirancang untuk mobil (roda empat), dan sangat mematikan bagi roda dua.   

Bahaya spesifik yang diidentifikasi di 1995:

  1. Kualitas Permukaan Jalan: Bekas roda (ruts), lubang (potholes), dan kerikil.

  2. Marka Jalan: Marka cat termoplastik yang tebal, yang kita lihat setiap hari, dicatat bisa menjadi "sangat licin" (slippery) saat basah, terutama di dekat lampu merah.   

  3. Rel Pengaman (Safety Rails): Ini yang paling mengerikan. Laporan  menyatakan bahwa rel pengaman di sisi jalan tol "tidak berfungsi" untuk motor. Rel itu tidak menahan motor. Sebaliknya, pengendara dan penumpang "secara harfiah dihancurkan (crushed) ke rel." (Rekomendasi di halaman 83 adalah "memasang separator yang tidak terlalu membahayakan pengendara motor").   

Wawasan saya: Perencana kota tidak hanya gagal membantu pengendara motor; di banyak kasus, mereka secara aktif menciptakan bahaya yang mematikan bagi mereka melalui desain infrastruktur yang buruk.

Tiga Rekomendasi Abadi

Solusi untuk pengendara roda dua bermotor ini berfokus pada tiga hal yang—lagi-lagi—masih kita perdebatkan hari ini.

  • 💡 Pelatihan: Laporan  merekomendasikan "akses progresif" (progressive access) ke SIM motor—Anda harus mulai dari motor kecil dulu, punya pengalaman, baru diizinkan naik ke motor besar. Ini adalah ide yang sangat relevan dengan(https://test.diklatkerja.com/course/category/transportasi/)  yang berfokus pada kompetensi bertahap.   

  • 💡 Helm: Wajib untuk motor, dan laporan  sangat merekomendasikan untuk mewajibkannya juga bagi pengendara moped (yang di banyak negara saat itu masih opsional).   

  • 💡 Lampu: Wajib menyalakan lampu di siang hari (daytime running lights)  agar "terlihat".   

Kesimpulan: Apa yang Akan Saya Lakukan Secara Berbeda Besok Pagi

Membaca laporan 112 halaman dari tahun 1995 ini  adalah sebuah pengalaman yang melelahkan secara emosional. Ini seperti menemukan catatan dari kakek-nenek kita yang memperingatkan kita dengan sangat detail tentang lubang yang akan kita masuki, dan kita tetap melompat masuk ke lubang itu.   

Masalahnya, jelas, bukan kurangnya pengetahuan.

Solusinya sudah ada di atas meja pada tahun 1995, tertulis rapi dalam rekomendasi resmi : Zona 30 km/jam, helm, lampu siang hari, desain kendaraan yang aman, larangan "bull-bars" , pencegahan "oprek" moped , dan lisensi bertingkat.   

Laporan ini mengajarkan saya bahwa keselamatan di jalan bukanlah hanya tanggung jawab individu ("Ayo, lebih hati-hati!"). Keselamatan adalah masalah desain sistemik. Ini adalah tanggung jawab kolektif para desainer—desainer mobil, desainer moped, desainer jalan tol, dan desainer kota.

Jadi, apa yang akan saya lakukan secara berbeda?

Secara pribadi, saya akan lebih sadar. Sebagai pejalan kaki, saya akan memakai sesuatu yang cerah di malam hari. Sebagai pengemudi, saya akan lebih paranoid di persimpangan, berasumsi selalu ada sepeda atau motor di blind spot saya.

Secara profesional, ini adalah pengingat yang kuat. Jika Anda bekerja di bidang yang bersinggungan dengan ini—baik itu perencanaan kota, K3 Konstruksi , atau manajemen sumber daya manusia—memahami risiko adalah kuncinya. Ini bukan hanya tentang "mematuhi aturan"; ini tentang memahami desain sistem yang aman. Jika Anda tertarik pada dasar-dasarnya, ada(https://diklatkerja.com/course/dasar-dasar-manajemen-risiko/)  yang bisa menjadi titik awal yang baik.   

Laporan ini adalah bacaan teknis yang padat, penuh dengan tabel dan birokrasi. Tapi jika Anda seorang data nerd seperti saya, dan Anda ingin melihat data mentah di balik keluhan kita sehari-hari di jalan, laporan ini adalah harta karun.

(https://doi.org/10.1787/9789264181571-en)    

Selengkapnya
Kapsul Waktu dari Tahun 1995 yang Mengajari Saya Cara Bertahan Hidup di Jalanan Hari Ini

Manajemen

Studi Ini Mengubah Cara Saya Memandang Desain (Dan Rapat Tim)

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 06 November 2025


Studi Ini Mengubah Cara Saya Memandang Desain (Dan Rapat Tim)

Paper yang saya baca adalah "Inclusive intervention design for vulnerable road users" oleh M. Shaheen Sarker dan rekan-rekannya. Latar belakangnya suram: Bangladesh memiliki tingkat kematian pejalan kaki yang sangat tinggi, terutama pelajar dan pekerja yang bolak-balik menyeberang jalan raya setiap hari.   

Sama seperti cerita JPO saya, masalahnya bukan karena kurangnya fasilitas. Otoritas jalan raya Bangladesh (RHD) sudah membangun zebra cross, jembatan penyeberangan, dan underpass. Masalahnya? Fasilitas itu tidak digunakan.   

Ini memicu "budaya saling menyalahkan" yang kronis: para profesional, pejalan kaki, dan pengemudi saling menuding siapa yang salah atas kecelakaan yang terjadi.   

Para peneliti ini bosan dengan perdebatan itu. Mereka memutuskan melakukan sesuatu yang radikal. Mereka tidak hanya bertanya, "Desain fasilitas apa yang terbaik?" Mereka bertanya, "Proses desain apa yang terbaik?"

Mereka menyiapkan sebuah "pertarungan tiga arah" di empat lokasi penyeberangan jalan raya yang nyata :   

  1. Grup 1: Desain Konvensional (Tim Insinyur). Para profesional ahli dari departemen jalan raya (RHD) diminta untuk membuat proposal desain perbaikan, persis seperti yang biasa mereka lakukan. Ini adalah pendekatan top-down standar.   

  2. Grup 2: Co-design (Tim Warga). Warga lokal—pelajar dan pekerja garmen yang menyeberang jalan itu setiap hari—dikumpulkan dalam lokakarya. Mereka diminta untuk merancang solusi mereka sendiri, difasilitasi oleh para profesional.   

  3. Grup 3: Co-design + COM-B (Tim Warga Super). Ini adalah kelompok warga lain yang juga melakukan co-design. Bedanya, mereka diberi "senjata rahasia": sebuah kerangka kerja psikologi sederhana bernama model "COM-B".   

Setelah ketiga grup ini selesai, para peneliti mengambil ketiga cetak biru desain (dari Insinyur, Warga, dan Warga Super) dan memberikannya kepada dua panel penilai: (1) panel ahli keselamatan jalan independen, dan (2) panel pemangku kepentingan lokal (polisi, guru, manajer pabrik, aktivis).   

Hasilnya? Jujur, ini yang bikin saya kaget setengah mati.

Apa yang Bikin Saya Terkejut: Data Telah Berbicara

Ini bukan soal "perasaan" atau "preferensi". Data yang dihasilkan dari studi ini brutal, kuantitatif, dan tidak ambigu.

Pendekatan top-down tradisional—yang dilakukan oleh para "ahli" yang digaji untuk melakukan pekerjaan ini—tidak hanya kalah.

Pendekatan itu dihancurkan.

Para Ahli Menilai Desain "Profesional" sebagai "Bencana"

Panel ahli (terdiri dari auditor keselamatan jalan bersertifikat, akademisi, dan spesialis transportasi) diminta menilai setiap desain menggunakan "Skor Keparahan Nielsen"—skala standar untuk mengevaluasi masalah kegunaan (usability).   

Skornya berkisar dari 0 (tidak ada masalah) hingga 4 (bencana kegunaan).

Lihat hasil rata-rata ini dan coba jangan kaget :   

  • Desain Konvensional (Insinyur): Rata-rata skor 3.0 (Site 1), 2.66 (Site 2), dan 3.0 (Site 4). Dalam skala Nielsen, skor "3" berarti "Masalah Kegunaan Besar" (Major usability problem).

  • Desain Co-design + COM-B (Warga Super): Rata-rata skor 0.66 (Site 1), 1.33 (Site 2), 1.0 (Site 3), dan 0.0 (Site 4).

Saya ulangi. Skor nol. Sempurna.

Ini adalah momen "pikiran meledak" bagi saya. Para profesional yang digaji, dengan semua manual desain dan pengalaman mereka, secara konsisten menghasilkan intervensi yang dinilai oleh ahli lain sebagai "masalah besar".

Sementara itu, para "amatir"—pelajar dan pekerja garmen—yang diberi kerangka kerja yang tepat, merancang solusi yang di salah satu lokasi dinilai sempurna secara kegunaan.

Ini menampar asumsi kita bahwa "ahli tahu yang terbaik".

"Akhirnya, Ini Aman dan Masuk Akal"

Bukan hanya ahli teknis. Peneliti juga bertanya kepada para pemangku kepentingan lokal—orang-orang yang harus hidup dengan solusi ini setiap hari. Mereka diminta menilai setiap desain berdasarkan dua hal: Keamanan (apakah ini akan mengurangi konflik?) dan Kepraktisan (apakah ini layak biaya dan bisa diterapkan?).   

Skornya 1 (sangat buruk) hingga 5 (sangat baik).

  • Rata-rata Skor Keamanan :   

    • Desain Insinyur: 2,88 (Site 1), 2,62 (Site 2)

    • Desain Warga Super (COM-B): 4,11 (Site 1), 4,0 (Site 2)

  • Rata-rata Skor Kepraktisan :   

    • Desain Insinyur: 3,0 (Site 1), 2,75 (Site 2)

    • Desain Warga Super (COM-B): 3,75 (Site 1), 4,0 (Site 2)

Lagi-lagi, hasilnya telak. Para pemangku kepentingan merasa bahwa desain yang dibuat bersama warga secara signifikan jauh lebih aman dan lebih praktis (masuk akal) untuk diimplementasikan daripada desain yang datang dari "menara gading" para insinyur.

Poin-Poin Penting yang Saya Garis Bawahi

  • 🚀 Hasilnya Gila: Desain yang dibuat bersama pengguna (Grup 1) tidak hanya lebih baik, tapi secara objektif dinilai nyaris sempurna (skor 0.0 di satu lokasi!) oleh para ahli.   

  • 🧠 Inovasinya: Co-design (melibatkan pengguna) mengalahkan Desain Konvensional (hanya ahli) dengan telak di setiap metrik.   

  • 💡 Pelajaran: Jangan pernah, pernah berasumsi Anda tahu apa yang dibutuhkan pengguna Anda, bahkan jika Anda seorang ahli. Proses desain Anda harus menyertakan pengguna akhir. Titik.

Tapi tunggu dulu. Ada satu lapisan lagi yang lebih dalam.

Kenapa Grup 3 (Warga Super) secara konsisten mengalahkan Grup 2 (Warga)? Bukankah keduanya sama-sama co-design?

Ah, di sinilah letak bahan rahasianya.

Bahan Rahasianya Bukan 'Co-Design', Tapi 'COM-B'

Oke, jadi kita sepakat: melibatkan warga (co-design) itu bagus. Tapi paper ini menunjukkan sesuatu yang jauh lebih halus. Di hampir setiap perbandingan, Grup 1 (Co-design + COM-B) dinilai lebih unggul daripada Grup 2 (Co-design saja).   

Apa sebenarnya "senjata rahasia" COM-B itu?

COM-B adalah model perubahan perilaku yang dikembangkan oleh Susan Michie dan rekan-rekannya. Model ini luar biasa sederhana namun sangat kuat.   

Model ini menyatakan bahwa untuk melakukan Behaviour (Perilaku) apa pun, seseorang memerlukan tiga hal yang saling berinteraksi:

  1. Capability (Kemampuan): Apakah Anda secara fisik dan psikologis bisa melakukannya? (Misal: Apakah Anda tahu aturannya? Apakah Anda secara fisik mampu menaiki tangga JPO?)

  2. Opportunity (Peluang): Apakah lingkungan fisik dan sosial mengizinkan Anda melakukannya? (Misal: Apakah jalannya terang? Apakah ada penegakan hukum? Apakah teman-teman Anda juga melakukannya?)

  3. Motivation (Motivasi): Apakah Anda ingin melakukannya, baik secara sadar atau tidak sadar? (Misal: Apakah Anda takut? Apakah Anda melihat manfaatnya? Apakah itu terasa lebih cepat?)

Perbedaan krusialnya adalah ini:

Lokakarya co-design biasa (Grup 2) berisiko menjadi sesi "daftar keinginan" (wishlist). Lokakarya co-design + COM-B (Grup 1) berubah menjadi "sesi diagnostik".

Paper ini memberikan contoh yang sempurna di Site 2, sebuah lokasi dengan underpass dan jembatan penyeberangan.   

  • Grup 2 (Co-design saja) mengidentifikasi masalah: "Hei, underpass ini gelap dan kotor."

    • Solusi mereka: "Perbaiki pencahayaan," "tambahkan tempat sampah," dan "perbaiki drainase." (Solusi yang bagus dan logis).

  • Grup 1 (Co-design + COM-B) tidak hanya melihat underpass yang gelap. Mereka mendiagnosis perilaku "Mengapa orang tidak mau menggunakan underpass?"

    • Capability: "Kami tahu ada underpass di sana." (Oke, C tidak masalah).

    • Opportunity (Fisik): "Tempatnya terlalu gelap." (Masalah di O).

    • Motivation (Reflektif): "Kami takut dirampok atau dilecehkan di sana. Tidak ada yang mengawasi." (AHA! Ini masalah utamanya di M!)

Perhatikan perbedaan solusinya. Karena mereka mengidentifikasi rasa takut (Motivasi) sebagai akar masalah, solusi Grup 1 jauh lebih kuat. Mereka tidak hanya menyarankan perbaikan lampu, tetapi juga :   

  • "Memasang kamera CCTV untuk pemantauan dan keamanan."

  • "Menampilkan pesan persuasif/motivasi."

  • "Mengintegrasikan pesan keselamatan ke dalam rutinitas institusional (misal, di pabrik)."

Grup 2 mengobati gejalanya (gelap). Grup 1 menyembuhkan penyakitnya (rasa takut).

Itulah kekuatan COM-B. Ia memaksa Anda untuk berhenti berfokus pada "fitur" dan mulai mendiagnosis "perilaku manusia".

Dampak Nyata yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini (di Tim Saya)

Di sinilah saya membawa pulang pelajaran dari jalanan Bangladesh ke kantor kita.

Saya bukan insinyur jalan raya. Anda mungkin juga bukan. Tapi kita semua berurusan dengan "Budaya Saling Menyalahkan" setiap hari.

Bayangkan skenario kantor ini: Tim IT meluncurkan software CRM baru yang canggih (Desain Konvensional). Dua bulan kemudian, Tim Sales menolak menggunakannya; mereka tetap memakai spreadsheet lama.

  • Blame Culture pun dimulai.   

  • Tim IT (Desainer): "Tim Sales 'malas' dan 'menolak berubah'."

  • Tim Sales (Pengguna): "Tim IT membuat software 'rumit' dan 'tidak sesuai alur kerja kami'."

Studi ini memberikan cetak biru yang jelas untuk memecahkan masalah ini:

  1. Jangan Lakukan Desain Konvensional: Jangan buat CRM itu di ruang hampa, lalu "melemparnya" ke tim Sales. (Anda akan mendapatkan skor kegunaan 3.0—alias "Masalah Besar").

  2. Lakukan Co-design (Lebih Baik): Kumpulkan tim Sales dalam lokakarya untuk merancang bersama alur kerja CRM itu. (Ini akan jauh lebih baik).   

  3. Lakukan Co-design + COM-B (Terbaik): Beri tim Sales kerangka kerja COM-B saat lokakarya. Tanyakan:

    • Capability: "Fitur apa yang secara psikologis 'menakutkan' atau terlalu rumit? Apakah Anda butuh pelatihan khusus yang tidak Anda dapatkan?"

    • Opportunity: "Kapan Anda punya waktu fisik untuk memasukkan data? Apakah manajer Anda masih meminta laporan via spreadsheet (ini social opportunity yang buruk)? Apakah sistem lama masih bisa diakses?"

    • Motivation: "Apa untungnya buat Anda? Apakah ini hanya menambah pekerjaan? Bagaimana kita bisa membuat software ini terasa lebih cepat dan memuaskan daripada spreadsheet lama?"

Dengan mendiagnosis C, O, dan M, Anda akan menemukan akar masalah penolakan yang sebenarnya—yang mungkin tidak ada hubungannya dengan "tombol yang warnanya salah", tapi lebih ke "saya tidak punya waktu" (Opportunity) atau "ini tidak membantu saya mencapai target" (Motivation).

Tentu saja, memfasilitasi lokakarya semacam ini membutuhkan skill baru. Anda tidak bisa hanya melempar model COM-B ke orang dan berharap keajaiban terjadi. Ini membutuhkan keterampilan dalam fasilitasi, psikologi, dan manajemen perubahan.

Jika Anda seorang manajer atau pemimpin tim yang serius ingin berhenti dari "budaya saling menyalahkan" dan mulai membangun solusi yang benar-benar berhasil, Anda perlu meningkatkan perangkat Anda. Inilah mengapa platform seperti(https://diklatkerja.com) sangat penting. Mereka menawarkan kursus tentang manajemen proyek, kepemimpinan, dan soft skills yang Anda perlukan untuk beralih dari "mendesain untuk tim Anda" menjadi "mendesain dengan tim Anda".

Kritik Halus Saya (Karena Tidak Ada yang Sempurna)

Saya sangat menyukai paper ini, tapi sebagai peninjau yang baik, saya punya dua kritik halus.

Pertama, paper ini tidak membahas biaya secara eksplisit. Menjalankan lokakarya co-design yang mendalam dengan warga selama berhari-hari (seperti yang mereka lakukan ) jelas lebih mahal dan memakan waktu di muka daripada satu insinyur yang menggambar di kantornya.   

Meskipun temuan ini membuktikan bahwa biayanya sepadan dalam jangka panjang (karena Anda membangun hal yang benar dan tidak perlu perbaikan mahal nantinya), paper ini tidak memberikan analisis biaya-manfaat (ROI) yang eksplisit. Padahal, angka itulah yang dibutuhkan oleh seorang pembuat kebijakan atau CFO untuk membenarkan perubahan anggaran.

Kedua, paper ini membuktikan bahwa COM-B adalah bahan rahasianya, tetapi agak abstrak tentang bagaimana model itu difasilitasi dalam lokakarya. Apakah itu presentasi 1 jam? Apakah mereka menggunakan lembar kerja? "Sihir"-nya ada di fasilitasi itu. Bagi seorang manajer seperti saya yang ingin meniru ini besok, saya membutuhkan "skrip lokakarya"-nya, bukan hanya nama modelnya.   

Penutup: Desain adalah Percakapan, Bukan Perintah

Hal terbesar yang saya ambil dari studi ini bukanlah tentang jembatan penyeberangan. Ini tentang kerendahan hati.

Ini membawa kita kembali ke masalah awal: "Budaya Saling Menyalahkan".   

Paper ini membuktikan secara empiris bahwa "Budaya Saling Menyalahkan" hanyalah gejala dari proses desain yang eksklusif (eksklusif = hanya dilakukan oleh ahli, top-down).

Paku terakhir di peti mati "desain top-down" datang dari wawancara kualitatif para peneliti dengan para pemangku kepentingan setelah eksperimen selesai.

Dengarkan apa yang mereka katakan :   

"Melibatkan pengguna menghilangkan budaya menyalahkan karena mereka akan bersedia mengikuti desain [yang mereka buat sendiri]." — Perwakilan RHD (Otoritas Jalan Raya/Insinyur!)

Bahkan insinyurnya sendiri mengakuinya!

"Melibatkan semua pemangku kepentingan mengurangi budaya menyalahkan dengan menumbuhkan pemahaman akan keterbatasan semua orang." — Perwakilan Polisi

Solusinya bukanlah infrastruktur yang lebih baik, atau pengguna yang lebih patuh. Solusinya adalah Tanggung Jawab Bersama (Shared Responsibility).   

Dan Anda hanya bisa mendapatkan tanggung jawab bersama melalui proses desain yang partisipatif dan inklusif.

Kita harus berhenti "mendesain untuk orang" dan mulai "mendesain dengan orang".

Baik itu merancang jalan raya di Bangladesh, aplikasi CRM di kantor Anda, atau bahkan aturan liburan tim Anda berikutnya—kuncinya adalah memulai percakapan.

Kalau kamu tertarik dengan ini, coba baca paper aslinya. Bahasanya teknis, tapi gagasannya benar-benar mengubah permainan.

(https://doi.org/10.1016/j.tbs.2024.100935)

Selengkapnya
Studi Ini Mengubah Cara Saya Memandang Desain (Dan Rapat Tim)

teknologi

Sisi Gelap Mobil Otonom: Mengapa Riset Baru Ini Menakutkan bagi Pejalan Kaki

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 06 November 2025


Saya Sering Jalan Kaki di Jakarta. Sebuah Paper Baru Membuat Saya Takut pada Masa Depan.

Saya pejalan kaki. Di kota yang didominasi mobil seperti Jakarta, itu terasa seperti pernyataan politik sekaligus pilihan moda transportasi. Setiap hari adalah latihan kewaspadaan. Saya menavigasi trotoar yang tidak rata, menghindari motor yang melawan arah, dan menahan napas saat menyeberang jalan—berharap pengemudi yang sedang menatap ponselnya itu juga melihat saya.

Seperti banyak orang, saya menaruh harapan pada teknologi. Saya membayangkan masa depan sci-fi di mana Connected and Automated Vehicles (CAVs)—mobil otonom yang canggih—akan datang menyelamatkan kita. Mereka akan menggantikan "human error" yang fana dan berbahaya dengan presisi algoritma yang dingin dan aman.

Lalu, saya membaca sebuah paper penelitian, dan optimisme naif saya hancur berkeping-keping.

Paper itu berjudul "A transport justice approach to integrating vulnerable road users with automated vehicles". Judul yang kering, tapi isinya eksplosif. Jauh dari kata menyelamatkan kita, paper ini menyajikan argumen yang meresahkan: bahwa teknologi CAV, yang "diharapkan merevolusi transportasi,"  sebenarnya berisiko "memperburuk ketidakadilan (inequities) dan disparitas keselamatan"  bagi orang-orang seperti saya—pejalan kaki, pengendara sepeda, lansia, dan penyandang disabilitas.   

Kelompok ini disebut Vulnerable Road Users (VRUs), atau Pengguna Jalan Rentan. Dan ternyata, masa depan otonom mungkin tidak dirancang untuk mereka.

Para peneliti (Martínez-Buelvas dkk.) melakukan sesuatu yang radikal: mereka menganalisis CAV bukan dari kacamata efisiensi, tapi dari kacamata "Keadilan Transportasi" (Transport Justice).   

Bayangkan jika kamu mengatur waktu kerja di kantormu seperti para peneliti di sini. Logika lama (utilitarian) hanya akan bertanya, "Seberapa cepat kita bisa menyelesaikan tugas ini?". Tapi pendekatan Keadilan Transportasi bertanya, "Apakah beban kerja ini dibagi secara adil? Apakah semua orang, termasuk staf junior, punya akses yang sama ke sumber daya untuk berhasil?".   

Ini adalah pergeseran dari sekadar cost-benefit menjadi fokus pada manusia. Paper ini menggunakan tiga pilar :   

  1. Equality (Kesetaraan): Apakah pejalan kaki dan mobil punya status yang sama di jalan?

  2. Fairness (Keadilan): Apakah manfaat (keamanan) dan beban (risiko) didistribusikan secara adil?

  3. Access (Akses): Apakah semua orang bisa menggunakan sistem ini, terutama kelompok rentan?

Ketika para peneliti menggunakan lensa ini untuk melihat CAVs, mereka menemukan tujuh area di mana kita gagal total. Ini bukan sekadar bug teknis; ini adalah kegagalan nilai yang sistemik.

Tujuh Dosa Keadilan yang Disembunyikan Mobil Otonom

Ini adalah inti dari paper tersebut. Para peneliti mengidentifikasi tujuh isu keadilan spesifik  yang mengancam VRU. Ini adalah eksplorasi tentang bagaimana teknologi yang kita bangun mencerminkan—atau mengabaikan—nilai-nilai kemanusiaan kita.   

H3: #1. Janji Surga Keselamatan (Tapi Hanya Jika Anda di Dalam Mobil)

Masalah pertama adalah Keterlibatan Kecelakaan atau Cedera Lalu Lintas.   

Narasinya jelas: 90% kecelakaan disebabkan oleh human error, jadi hilangkan manusianya, maka kecelakaan akan hilang. Tapi paper ini mengingatkan kita bahwa VRU sudah menanggung beban yang tidak proporsional.

Secara global, lebih dari 1,3 juta orang tewas di jalan setiap tahun. VRU—pejalan kaki, pengendara sepeda, dan pengendara motor—menyumbang lebih dari setengah dari semua kematian tersebut.   

  • Secara spesifik: Pejalan kaki dan pengendara sepeda menyumbang 26% kematian global, sementara pengendara motor 28%.   

  • Di AS (2020), 6.236 pejalan kaki tewas (16,12% dari total).   

  • Di Australia (2021), 134 pejalan kaki tewas (11,88% dari total).   

Janji surga CAV adalah angka-angka ini akan turun drastis. Realitasnya? Paper ini menyatakan bahwa sistem otonom saat ini "kesulitan mengidentifikasi VRU".   

Kita semua tahu contoh tragisnya: insiden fatal Uber di Tempe, Arizona, pada Maret 2018, di mana kendaraan otonom menabrak dan menewaskan seorang pejalan kaki. Dewan Keselamatan Transportasi Nasional AS (NTSB) menemukan bahwa sistem otomatis kendaraan "gagal mengidentifikasi korban" sebagai bahaya tabrakan yang akan segera terjadi.   

Dan inilah poin kuncinya: paper ini berargumen bahwa kegagalan ini bukanlah bug yang terisolasi. Ini adalah hasil dari prioritas yang salah. Para peneliti menyatakan bahwa "produsen CAV belum membuat kemajuan signifikan dalam sistem perlindungan pejalan kaki" karena mereka "terlalu sibuk menangani aspek teknis otomasi kendaraan".   

Ketidakadilan utama yang sudah ada—yaitu bahwa pejalan kaki menanggung "paparan yang tidak setara terhadap risiko bahaya fisik" —ternyata tidak sedang diselesaikan. Ia sedang diotomatisasi.   

H3: #2. Teknologi Baru, Aturan Lama: "Salah Pejalan Kaki"

Masalah kedua adalah Dampak pada pembagian tanggung jawab di jalan.   

Jika Anda seorang pejalan kaki, Anda pasti tahu perasaan ini. Ketika Anda nyaris tertabrak, sering kali respons pengemudi adalah klakson atau makian—seolah-olah Anda yang salah karena berada di jalan mereka.

Paper ini mengungkap bahwa mentalitas "salah pejalan kaki" ini sedang dikodekan ke dalam kebijakan masa depan. Ada tren yang meresahkan di mana "kebijakan saat ini tampaknya mendukung harapan bahwa VRU harus mengubah perilaku mereka agar tetap aman di sekitar CAV".   

Ini adalah detail yang paling membuat saya geram: Pemerintah AS dilaporkan mendanai "teknologi beacon yang harus dikenakan oleh pejalan kaki agar dapat dideteksi oleh CAV".   

Ini gila. Ini seperti menyalahkan zebra karena tidak memakai rompi neon di sabana. Alih-alih menuntut mobil triliunan dolar untuk menjadi lebih pintar dan mampu melihat manusia, kita malah meminta manusia (yang tidak mendapat keuntungan apa-apa) untuk memakai gadget tambahan agar tidak terbunuh oleh mereka.

Para peneliti menyebut ini sebagai "pergeseran tanggung jawab kecelakaan dari CAV ke VRU". Ini adalah kebalikan dari apa yang seharusnya terjadi. Laporan etika (Horizon 2020) yang dikutip dalam paper ini dengan jelas merekomendasikan bahwa "CAV harus beradaptasi dengan perilaku mereka di sekitar VRU dan bukan sebaliknya".   

Teknologi beacon itu adalah penyerahan diri secara moral. Kita secara teknis dan hukum mengkodifikasi prioritas mesin atas manusia.

H3: #3. Jalan Kita Akan Semakin Sempit

Masalah ketiga: Pengurangan ruang di jalan yang tersedia untuk VRU.   

Sederhananya begini: CAV bisa membuat perjalanan menjadi sangat nyaman dan murah (bayangkan Anda bisa tidur, bekerja, atau menonton film). Apa yang terjadi jika sesuatu menjadi terlalu nyaman? Orang akan lebih sering menggunakannya.

Paper ini memperingatkan bahwa adopsi CAV yang meluas dapat "meningkatkan volume lalu lintas" , yang pada gilirannya dapat "semakin mengurangi ruang jalan yang tersedia untuk pejalan kaki dan pengendara sepeda".   

Ini memperburuk masalah yang sudah ada. Paper ini mengutip penelitian lain yang menemukan "ketidakseimbangan dalam prioritas ruang" di mana mobil sudah terlalu mendominasi. Lebih buruk lagi, beberapa proposal kebijakan untuk mengakomodasi CAV adalah dengan menciptakan "jalur khusus" (dedicated lanes) untuk mereka.   

Dari mana ruang untuk jalur khusus itu berasal? Tentu saja, dari ruang yang ada—kemungkinan besar dengan mengorbankan trotoar, jalur sepeda, atau jalur hijau. Ini adalah kerugian ganda bagi VRU: kita mendapatkan lebih banyak lalu lintas dan lebih sedikit ruang untuk melarikan diri darinya.

H3: #4. Apa yang Paling Mengejutkan Saya: Saat Algoritma Terbukti Rasis

Masalah keempat adalah Akses ke teknologi untuk melindungi atau memperingatkan VRU.   

Ini adalah bagian di mana saya harus berhenti membaca sejenak dan menarik napas dalam-dalam. Ada dua temuan bom di sini.

Pertama, paper ini dengan gamblang menyatakan: "teknologi CAV dapat meningkatkan ketidakadilan rasial... mayoritas algoritma AV terutama dilatih dengan gambar orang kulit putih.". Konsekuensinya? "CAV dapat mengenali pejalan kaki kulit putih secara lebih akurat daripada pejalan kaki dengan kulit lebih gelap".   

Mari kita pahami ini: sistem keselamatan yang dirancang untuk masa depan secara inheren bias dan lebih mungkin membahayakan orang kulit berwarna.

Kedua, paper ini menyoroti "solusi" yang diusulkan industri, seperti paten yang diajukan oleh Ford. Paten ini menjelaskan metode di mana CAV dapat mengirim pesan ke ponsel pejalan kaki di dekatnya yang berbunyi, "Saya tidak akan berhenti di penyeberangan jalan".   

Ini adalah puncak arogansi teknologi. Alih-alih memperbaiki sistem agar mobil bisa berhenti untuk manusia, solusinya adalah memberi tahu manusia untuk menyingkir. Ini adalah pesan yang jelas: properti (mobil) lebih penting daripada nyawa Anda (pejalan kaki).

H3: #5. Mimpi Indah (Tapi Mahal) untuk Lansia dan Difabel

Masalah kelima: Akses ke layanan, otonomi, dan inklusi untuk penyandang disabilitas dan lansia.   

Ini adalah ketidakadilan yang paling ironis. Kelompok yang paling sering disebut sebagai pembenaran moral untuk CAV adalah mereka yang tidak bisa mengemudi: lansia dan penyandang disabilitas. Narasi ini menjanjikan bahwa CAV akan memberi mereka akses ke "pekerjaan, pendidikan, dan layanan perawatan kesehatan".   

Dan kebutuhannya sangat besar. Menurut data WHO yang dikutip dalam paper :   

  • Lebih dari 1 miliar orang (15% populasi global) hidup dengan disabilitas.

  • 75 juta orang membutuhkan kursi roda setiap hari.

  • Populasi lansia (60+) akan mencapai 2,1 miliar pada tahun 2050.

Ini adalah pasar kemanusiaan yang besar yang bisa dilayani oleh CAV. Tapi inilah kenyataan pahitnya: paper ini mengajukan pertanyaan kritis, "apakah orang-orang dengan disabilitas dan lansia akan memiliki akses finansial ke kendaraan ini?".   

Jawabannya kemungkinan besar tidak. CAV, dengan semua teknologi canggihnya, akan "kurang terjangkau daripada kendaraan konvensional".   

Jadi, kelompok yang paling diuntungkan secara sosial justru menjadi kelompok yang paling tidak mungkin bisa mengaksesnya karena hambatan biaya. Ini mengubah alat inklusi yang potensial menjadi penghalang eksklusi baru.

H3: #6. Para Insinyur Sibuk Membangun Robot, Mereka Lupa Manusia

Masalah keenam adalah fokus dari Riset tentang pengembangan teknologi CAV.   

Paper ini mengidentifikasi ketidakseimbangan yang berbahaya. Produsen telah "terutama berinvestasi dalam pengembangan teknologi yang berkaitan dengan aspek teknis otomasi kendaraan, seperti teknik, ilmu komputer... dan robotika".   

Tebak di mana mereka tidak berinvestasi? "Dalam sistem perlindungan pejalan kaki atau dalam meningkatkan cara VRU dan CAVS dapat berinteraksi secara adil dan aman".   

Bagian ini adalah "mengapa" di balik masalah #1. Teknologi ini gagal melindungi pejalan kaki (seperti dalam kasus Uber) karena memang tidak pernah dirancang untuk memprioritaskan mereka sejak awal. Kecelakaan itu bukanlah kegagalan sistem yang anomali; itu adalah hasil yang dapat diprediksi dari agenda riset yang bias.

H3: #7. Hijau di Luar, Polusi di Dalam?

Masalah terakhir adalah Dampak kemacetan dan polusi udara pada VRU.   

Banyak yang berasumsi CAV akan ramah lingkungan, kemungkinan besar karena mereka akan menjadi kendaraan listrik (EV). Mereka juga dapat mengurangi kemacetan jika dikoordinasikan dengan baik.   

Tetapipaper ini mengutip penelitian yang menunjukkan hasil sebaliknya. Karena perjalanan menjadi begitu mudah (Anda bisa tidur atau bekerja), orang akan lebih sering bepergian. Ini akan menyebabkan "peningkatan vehicle-miles-travelled (VMT)". Lebih banyak VMT berarti lebih banyak kemacetan, dan bahkan jika mobilnya listrik, tetap ada polusi dari partikel ban dan rem.   

Siapa yang paling menderita akibat peningkatan kemacetan dan polusi udara ini? Tentu saja, VRU—pejalan kaki dan pengendara sepeda yang "mempengaruhi kesehatan" mereka saat mereka mencoba beraktivitas di luar.   

Paper ini dengan cerdik mengkritik penelitian optimis yang "sering mengasumsikan" bahwa orang akan berbagi (ride-sharing) kendaraan ini. Realitas model kepemilikan pribadi akan menjadi bencana bagi kemacetan, yang paling merugikan mereka yang bahkan tidak berada di dalam mobil.

Oke, Jadi Kita Semua Akan Celaka? (Tunggu, Ada Harapannya)

Setelah membaca 7 dosa keadilan ini, mudah untuk merasa putus asa. Rasanya seperti masa depan distopia yang tak terhindarkan.

Tapi paper ini tidak hanya mengkritik; ia menawarkan jalan ke depan. Para peneliti tidak mengatakan kita harus menghentikan teknologi. Mereka mengatakan kita harus menghentikan cara kita saat ini dalam mengembangkannya.

Solusi inti mereka adalah seruan untuk "Design for Values" (Desain untuk Nilai). Ini berarti menanamkan "nilai moral, seperti keselamatan dan keadilan" ke dalam teknologi sejak awal—bukan sebagai fitur tambahan setelah bencana terjadi.   

Bagi saya, ini terdengar seperti:

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Paper ini tidak hanya mengutuk, tetapi menyediakan peta jalan yang konkret melalui "Tabel 1" , yang menguraikan strategi untuk setiap ketidakadilan yang mereka identifikasi.   

  • 🧠 Inovasinya: Mendorong pembuat kebijakan dan developer untuk memprioritaskan manusia. Ini berarti menuntut agar "CAV menyesuaikan perilaku mereka di sekitar VRU dan bukan sebaliknya".   

  • 💡 Pelajaran: Jangan terjebak dalam pola pikir lama yang mengutamakan efisiensi mobil. Kita harus memprioritaskan keadilan.

Ini adalah tantangan besar. Ini bukan hanya untuk coder; ini adalah tantangan untuk perencana kota. Menerapkan "Design for Values" berarti memikirkan ulang built environment (lingkungan binaan) kita. Profesional di bidang (https://diklatkerja.com/blog/wapres-jumlahinsinyur-indonesia-jauh-tertinggal-dari-vietnam-dan-korea) harus memimpin. Kita tidak bisa hanya 'memasang' CAV di kota-kota kita yang sudah kacau. Kita harus mendesain ulang kota kita agar infrastruktur fisik dan digitalnya memprioritaskan manusia, bukan mesin.   

Opini Jujur Saya (Dan Kritik Halus untuk Para Peneliti)

Bagi saya, paper ini adalah bacaan wajib. Ini adalah alarm pengingat yang sangat dibutuhkan, yang mengguncang optimisme teknologi saya yang naif. Para penulis (Martínez-Buelvas dkk.) telah melakukan pekerjaan luar biasa dalam membingkai ulang perdebatan—dari 'kapan' teknologi ini akan tiba, menjadi 'bagaimana' kita akan mengelolanya secara adil.

Namun, jika boleh jujur, ada kritik halus yang ingin saya sampaikan.

Meski temuannya hebat, kerangka analisis "keadilan transportasi"-nya  jujur saja agak terlalu abstrak untuk pemula, atau bahkan untuk software engineer yang sedang bekerja. Paper ini berbicara tentang "prinsip kesetaraan, keadilan, dan aksesibilitas". Tapi saya ingin tahu: "Bagaimana code-nya?"   

Bagaimana Anda menerjemahkan "keadilan"  menjadi perintah if-then untuk sebuah mesin yang bergerak dengan kecepatan 100 km/jam? Paper ini luar biasa dalam mengidentifikasi masalah, tetapi seruannya untuk "Design for Values"  terasa lebih seperti tujuan filosofis daripada blueprint teknis. Saya dibiarkan menginginkan paper lanjutannya—yang menjembatani kesenjangan antara etika dan eksekusi.   

Masa Depan Bukan Milik Robot, Tapi Milik Kita

Kita berada di persimpangan jalan. Teknologi mungkin tampak tak terhindarkan, tetapi arah yang diambilnya sepenuhnya bisa kita tentukan.

Paper ini ditutup dengan nada penuh harapan. Para peneliti menegaskan bahwa karena CAVs belum sepenuhnya diterapkan, kita memiliki "kesempatan unik" (unique opportunity) untuk mendesain sistem yang adil bagi mereka yang "secara tradisional kurang beruntung" (traditionally disadvantaged).   

Pertanyaannya bukan lagi "Bisakah kita membangun mobil otonom?" Pertanyaannya adalah: "Akankah kita membangun masa depan yang memanusiakan pejalan kaki, atau akankah kita mengotomatisasi ketidakadilan yang sudah ada?"

Kalau kamu tertarik dengan debat ini—atau jika kamu merasa saya berlebihan—saya sangat menyarankan kamu untuk meluangkan waktu dan menantang asumsimu sendiri.

(https://doi.org/10.1016/j.trd.2022.103499).

Selengkapnya
Sisi Gelap Mobil Otonom: Mengapa Riset Baru Ini Menakutkan bagi Pejalan Kaki

Ilmu Data

Etika Pengelolaan Data: Menjaga Kepercayaan di Era Kecerdasan Buatan

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 05 November 2025


Di era digital, data manusia menjadi aset paling berharga sekaligus paling rentan. Perusahaan, lembaga, hingga pemerintah kini berlomba mengumpulkan, memproses, dan menganalisis data dalam skala besar demi efisiensi dan inovasi.
Namun, seiring meningkatnya kapasitas teknologi, muncul pula persoalan mendasar: bagaimana menjaga etika dan kepercayaan dalam pengelolaan data pribadi?

Michael Segalla dan Dominique Rouziès dalam Harvard Business Review (2023) mengingatkan bahwa banyak organisasi telah melampaui batas “mengelola data” menuju “mengendalikan perilaku” melalui data. Sistem berbasis kecerdasan buatan (AI) kini mampu memprediksi keputusan manusia — dari preferensi belanja hingga risiko kredit — menciptakan ketegangan antara kemajuan teknologi dan privasi individu. Artikel ini menyoroti prinsip-prinsip etika yang perlu dipegang oleh organisasi agar penggunaan data tetap berpihak pada manusia.

Lima Prinsip Etika dalam Pengelolaan Data

Penelitian Segalla dan Rouziès mengidentifikasi lima prinsip utama yang seharusnya menjadi pedoman bagi organisasi dalam mengelola data karyawan, pelanggan, maupun publik secara umum.

1. Transparansi

Transparansi berarti setiap individu berhak mengetahui data apa yang dikumpulkan, bagaimana cara penggunaannya, dan siapa yang memiliki akses terhadapnya.
Perusahaan yang gagal bersikap terbuka berisiko kehilangan kepercayaan publik, bahkan ketika tidak melanggar hukum.
Transparansi bukan hanya soal kepatuhan, tetapi tentang memberikan kendali kembali kepada individu atas datanya sendiri.

2. Keadilan dan Non-diskriminasi

Algoritma yang melatih diri berdasarkan data historis sering kali memperkuat bias sosial yang sudah ada.
Sistem rekrutmen berbasis AI, misalnya, dapat menilai kandidat secara tidak adil karena pola data masa lalu yang bias gender atau ras.
Keadilan berarti memastikan bahwa AI tidak hanya akurat secara teknis, tetapi juga etis secara sosial.

3. Tujuan yang Sah dan Proporsional

Data harus dikumpulkan dan digunakan hanya untuk tujuan yang jelas, relevan, dan proporsional terhadap kebutuhan organisasi.
Ketika perusahaan mengumpulkan data secara berlebihan — misalnya, melacak aktivitas karyawan di luar jam kerja — mereka melewati batas etika dan mengikis rasa hormat terhadap privasi.

4. Akuntabilitas

Setiap keputusan berbasis data harus memiliki pihak yang bertanggung jawab.
Akuntabilitas menegaskan bahwa “kesalahan algoritma” bukan alasan untuk melepaskan tanggung jawab moral maupun hukum.
Organisasi perlu memiliki mekanisme audit internal untuk menilai dampak sosial dari keputusan berbasis data.

5. Keamanan dan Perlindungan

Perlindungan data bukan hanya soal pencegahan kebocoran, tetapi juga tentang menjaga konteks dan integritas data. Serangan siber, kebocoran informasi medis, hingga pencurian identitas digital menunjukkan bahwa keamanan data tidak bisa dipisahkan dari kepercayaan publik. Maka, setiap inovasi teknologi harus berjalan seiring dengan peningkatan sistem perlindungan informasi.

Tantangan Implementasi di Lapangan

Menerapkan prinsip etika data bukan hal mudah, terutama bagi organisasi besar yang bergantung pada algoritma kompleks dan sistem lintas negara. Banyak perusahaan masih menempatkan etika sebagai “urusan hukum” atau tanggung jawab departemen kepatuhan semata. Padahal, sebagaimana diingatkan Segalla, etika data seharusnya menjadi bagian dari strategi bisnis, bukan sekadar mitigasi risiko.

Salah satu tantangan utama adalah ketidakseimbangan kekuasaan antara pengumpul data dan pemilik data. Perusahaan memiliki kemampuan teknis dan ekonomi untuk menafsirkan data secara besar-besaran, sementara individu hanya tahu sedikit tentang bagaimana datanya digunakan. Tanpa pengawasan publik dan regulasi yang kuat, potensi penyalahgunaan data sangat besar — mulai dari manipulasi opini hingga diskriminasi digital.

Namun, perusahaan yang menerapkan etika data dengan konsisten justru memperoleh advantage kompetitif. Kepercayaan publik kini menjadi faktor ekonomi nyata. Studi menunjukkan bahwa konsumen lebih loyal kepada merek yang memperlakukan data mereka secara bertanggung jawab, bahkan bersedia membayar lebih untuk layanan yang menghargai privasi.

Etika Data dan Kepemimpinan Digital

Kepemimpinan digital memainkan peran kunci dalam membentuk budaya etika data. Pemimpin yang visioner memahami bahwa tanggung jawab terhadap data sama pentingnya dengan inovasi teknologi itu sendiri. Mereka tidak hanya menanyakan “apa yang bisa kita lakukan dengan data ini?”, tetapi juga “apa yang seharusnya tidak kita lakukan?”.

Kepemimpinan semacam ini berorientasi pada trust-based management, bukan surveillance-based management.
Alih-alih menggunakan data untuk mengawasi, pemimpin etis menggunakan data untuk memahami dan memperkuat potensi manusia.
Transformasi digital yang berkelanjutan hanya dapat terjadi ketika teknologi digunakan untuk memperluas kepercayaan, bukan mengikisnya.

Kesimpulan

Etika data bukan penghambat inovasi, tetapi fondasi bagi inovasi yang berkelanjutan. Dalam dunia di mana setiap keputusan semakin bergantung pada analisis algoritmik, etika adalah elemen yang menjaga agar kemajuan tetap berpihak pada manusia.

Organisasi yang ingin membangun masa depan digital yang tangguh harus menginternalisasi lima prinsip etika — transparansi, keadilan, tujuan yang sah, akuntabilitas, dan keamanan — dalam seluruh proses pengelolaan datanya. Hanya dengan demikian, teknologi dapat menjadi kekuatan yang memanusiakan, bukan mengendalikan.

 

Daftar Pustaka

Segalla, M., & Rouziès, D. (2023). The ethics of managing people’s data. Harvard Business Review, 101(6), 180–202.

Davenport, T. H., & Iansiti, M. (2024). The new rules of AI leadership. Harvard Business Review, 102(5), 81–138.

OECD. (2023). AI, data, and ethics: Building trust in algorithmic systems. Paris: OECD Publishing.

World Economic Forum. (2024). Responsible data governance for the AI era. Geneva: WEF.

UNESCO. (2021). Recommendation on the ethics of artificial intelligence. Paris: UNESCO Publishing.

Selengkapnya
Etika Pengelolaan Data: Menjaga Kepercayaan di Era Kecerdasan Buatan
« First Previous page 14 of 1.288 Next Last »