Ekonomi Hijau
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 13 November 2025
Sektor tekstil merupakan salah satu tulang punggung industri manufaktur Indonesia, menyumbang 1,3% terhadap PDB nasional dan mempekerjakan jutaan tenaga kerja di berbagai rantai nilai. Namun, proses produksinya dikenal intensif sumber daya—baik energi, air, maupun bahan baku—dan menghasilkan limbah dalam jumlah besar. Seiring meningkatnya tekanan global terhadap keberlanjutan industri fashion, Indonesia perlu mengarahkan transformasi sektor tekstil menuju ekonomi sirkular yang efisien, inklusif, dan rendah emisi.
Data Bappenas (2024) menunjukkan bahwa tingkat input material sirkular di sektor tekstil baru mencapai 2%, sementara tingkat daur ulang sekitar 12%, dan daya guna produk belum terukur karena keterbatasan data. Ini menandakan ruang yang luas untuk memperkuat strategi keberlanjutan di sepanjang rantai nilai tekstil nasional.
Tantangan Implementasi Ekonomi Sirkular Tekstil
Industri tekstil menghadapi empat tantangan utama:
Permintaan produk tekstil berkelanjutan yang masih rendah.
Konsumen belum sepenuhnya menghargai produk sirkular karena harga yang lebih tinggi. Meski beberapa perusahaan seperti PT Pan Brothers dan PT Asia Pacific Rayon (APR) telah menguji bahan daur ulang hingga 20%, pasar domestik belum cukup kuat untuk mendorong produksi berkelanjutan secara masif.
Ekosistem pengelolaan limbah yang belum terintegrasi.
Sekitar 462.000 ton limbah tekstil post-consumer per tahun masih berakhir di TPA atau dibakar. Tanpa sistem pengumpulan, pemilahan, dan daur ulang yang terstruktur, konsep close-loop system sulit diterapkan.
Keterbatasan data nasional terkait praktik sirkular.
Informasi tentang aliran material, penggunaan energi, dan daur ulang masih tersebar di berbagai lembaga tanpa standarisasi. Hal ini menyulitkan pengambilan keputusan berbasis bukti.
Variasi skala industri dan umur mesin yang tua.
Dari sektor hulu hingga hilir, terdapat ketimpangan besar antara industri besar (IBS) dan industri mikro kecil (IMK). Mesin berusia tua menghambat efisiensi sumber daya dan menghasilkan 10–20% limbah pra-konsumsi, yang sebagian besar belum dimanfaatkan kembali.
Inovasi dan Praktik Terbaik: Dari Pable hingga MYCL
Beberapa inisiatif lokal menunjukkan arah positif dalam mendorong sirkularitas tekstil:
Pable menerapkan pendekatan textile-to-textile recycling dengan memilah limbah kain berdasarkan warna untuk menghindari pencelupan berlebih dan menghemat air.
MYCL (Mycotech Lab) memanfaatkan limbah pertanian seperti ampas tebu dan serbuk kayu untuk menciptakan bahan tekstil alternatif berbasis jamur (mycelium), memperkenalkan bio-material yang ramah lingkungan.
PT Superbtex mengubah limbah tekstil pra dan pasca konsumsi menjadi bahan isolasi untuk industri otomotif dan konstruksi, menunjukkan potensi industrial symbiosis.
Kerangka Kebijakan dan Perbandingan Global
Indonesia telah mengeluarkan regulasi kunci, termasuk:
Permenperin No. 37 dan No. 40 Tahun 2022 tentang Standar Industri Hijau (SIH) Tekstil,
Permen LHK No. 75 Tahun 2019 tentang peta jalan pengurangan sampah oleh produsen, dan
UU No. 18 Tahun 2008 serta PP No. 81 Tahun 2012 tentang pengelolaan sampah rumah tangga.
Sementara itu, Belanda telah menerapkan skema Extended Producer Responsibility (EPR) untuk tekstil sejak 2023, mewajibkan produsen mengelola daur ulang dan pembiayaan pengumpulan limbah. Model ini bisa menjadi inspirasi kebijakan di Indonesia.
Tahapan Implementasi dan Dampak Ekonomi
Peta jalan ekonomi sirkular sektor tekstil membagi tahapan transisi hingga 2045:
2025–2029: Pembentukan ekosistem EPR dan infrastruktur pengumpulan limbah.
2030–2034: Implementasi SIH, teknologi zero waste, dan recycled content.
2035–2039: Penguatan daya saing global melalui efisiensi energi dan ekodesain.
2040–2045: Sektor tekstil menjadi pilar utama ekonomi nasional berbasis sirkularitas.
Dampaknya tidak kecil: penerapan penuh ekonomi sirkular berpotensi menciptakan Rp19,3 triliun nilai ekonomi tambahan (5,5% dari PDB sektor tekstil) dan 164.000 lapangan kerja baru pada 2030, dengan 89% di antaranya diisi perempuan.
Kesimpulan
Transisi menuju ekonomi sirkular di sektor tekstil bukan hanya agenda lingkungan, melainkan strategi industrialisasi modern yang berkeadilan. Melalui kombinasi kebijakan EPR, inovasi teknologi, dan kolaborasi lintas aktor, Indonesia dapat menenun masa depan industri tekstil yang tangguh, hijau, dan berdaya saing global.
Ekonomi Hijau
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 13 November 2025
Sektor konstruksi memiliki posisi penting dalam perekonomian nasional, menyumbang sekitar 10,1% terhadap PDB Indonesia pada 2019. Namun, aktivitas pembangunan yang masih bersifat linear telah menimbulkan tantangan besar terhadap lingkungan, termasuk tingginya emisi karbon dan volume limbah konstruksi. Pendekatan ekonomi sirkular menjadi jawaban strategis untuk menyeimbangkan kebutuhan pembangunan dengan keberlanjutan sumber daya.
Melalui prinsip reduce, reuse, recycle, dan remanufacture, sektor ini dapat menekan konsumsi energi serta memperpanjang umur material bangunan. Analisis Bappenas menunjukkan bahwa tingkat input material sirkular sektor konstruksi telah mencapai 73%, sementara daya guna material baru 40% dan tingkat daur ulang 25%. Artinya, masih terdapat ruang besar untuk memperkuat efisiensi sumber daya di seluruh rantai nilai konstruksi nasional.
Kebijakan dan Praktik Konstruksi Berkelanjutan di Indonesia
Kementerian PUPR telah menerbitkan Permen No. 9 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyelenggaraan Konstruksi Berkelanjutan yang menegaskan pentingnya desain ramah lingkungan, efisiensi material, serta penggunaan bahan lokal dan prafabrikasi. Meski regulasi sudah tersedia, penerapannya masih terbatas dan bersifat sukarela.
Selain itu, Indonesia memiliki berbagai Green Rating System seperti:
Bangunan Gedung Hijau (BGH) dari Kementerian PUPR,
Greenship dari Green Building Council Indonesia (GBCI), dan
EDGE Certification hasil kolaborasi dengan International Finance Corporation (IFC).
Ketiga sistem ini menilai efisiensi energi, air, dan penggunaan material berkelanjutan. Namun, hingga 2023, luas bangunan bersertifikat hijau baru mencapai 0,06% dari total luasan bangunan di Indonesia, menandakan rendahnya adopsi di lapangan.
Transformasi Teknologi: BIM dan Prefabrikasi sebagai Penggerak Efisiensi
Penerapan Building Information Modelling (BIM) menjadi elemen penting dalam mengubah paradigma konstruksi. BIM meningkatkan efisiensi desain, mengurangi kesalahan material, dan mampu menekan limbah konstruksi hingga 15%. Meski telah diatur melalui Permen PUPR No. 22/2018 dan No. 21/2021, hanya 42,5% proyek strategis nasional (PSN) yang telah mengimplementasikannya.
Selain BIM, penggunaan material prafabrikasi juga menjadi strategi utama dalam konstruksi berkelanjutan. Contohnya, 32 proyek infrastruktur Ibu Kota Negara (IKN) telah menggunakan beton prafabrikasi yang terbukti mempercepat waktu pengerjaan dan mengurangi limbah produksi.
Best Practices dan Inovasi Lokal
Beberapa inisiatif di dalam negeri menunjukkan arah positif penerapan ekonomi sirkular:
Jakarta International Stadium (JIS) menjadi contoh stadion pertama dengan sertifikasi greenship platinum karena menerapkan desain hemat energi, daur ulang air limbah, serta penggunaan cat netral karbon.
PT Semen Indonesia (SBI) mengintegrasikan waste heat recovery system dan bahan bakar alternatif RDF dari sampah perkotaan untuk produksi semen, menurunkan emisi hingga 11,4%.
Rebricks, startup lokal, mengubah limbah plastik fleksibel menjadi bahan bangunan seperti paving block dan roster, menunjukkan potensi urban mining dan inovasi berbasis sirkularitas.
Strategi dan Tahapan Implementasi Nasional
Peta jalan Bappenas menguraikan empat tahap implementasi hingga tahun 2045:
2025–2029: Pembentukan ekosistem dan regulasi pengelolaan limbah konstruksi.
2030–2034: Insentif dan investasi hijau untuk proyek berkelanjutan.
2035–2039: Regulasi daerah dan penerapan Green Rating System secara masif.
2040–2045: Konstruksi sirkular menjadi standar nasional dan rujukan internasional.
Dampaknya signifikan: pada 2030, penerapan ekonomi sirkular di sektor konstruksi dapat mengurangi 20% limbah, menciptakan 1,6 juta lapangan kerja baru, dan menghasilkan nilai ekonomi hingga Rp172,5 triliun, setara 6,3% dari PDB sektor konstruksi.
Kesimpulan
Transformasi menuju konstruksi sirkular bukan sekadar wacana lingkungan, melainkan investasi strategis bagi masa depan industri Indonesia. Dengan sinergi kebijakan, teknologi, dan partisipasi swasta, Indonesia dapat memperkuat ketahanan bahan baku, menekan emisi karbon, serta mendorong pertumbuhan ekonomi hijau yang inklusif.
Daftar Pustaka
Bappenas. (2024). Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia 2025–2045. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia. (2021). Peraturan Menteri PUPR No. 9 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyelenggaraan Konstruksi Berkelanjutan. Jakarta: Kementerian PUPR RI.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia. (2018). Peraturan Menteri PUPR No. 22 Tahun 2018 tentang Building Information Modelling. Jakarta: Kementerian PUPR RI.
Green Building Council Indonesia (GBCI). (2023). Laporan Tahunan Greenship dan Perkembangan Sertifikasi Bangunan Hijau di Indonesia. Jakarta: GBCI.
Ellen MacArthur Foundation. (2022). Circular Construction: Building a Framework for the Future. Cowes: EMF.
OECD. (2023). Circular Economy in the Built Environment: Closing Material Loops in Construction. Paris: OECD Publishing.
World Bank. (2023). Indonesia Green Construction Outlook 2023: Opportunities in Sustainable Infrastructure. Washington, DC: World Bank Group.
Asian Development Bank. (2022). Sustainable Infrastructure and Circular Economy Integration in Southeast Asia. Manila: ADB Publications.
Rebricks. (2024). Circular Innovation in Urban Waste Management. Jakarta: Rebricks Indonesia.
PT Semen Indonesia (Persero) Tbk. (2023). Sustainability Report 2023: Toward Low-Carbon Cement Production. Jakarta: SIG.
Ekonomi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 13 November 2025
Ekonomi sirkular kini bukan lagi sekadar gagasan konseptual, tetapi telah menjadi kerangka strategis pembangunan nasional yang menuntut pengukuran konkret dan kebijakan yang terarah. Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini diwujudkan melalui penerapan prinsip 9R—Refuse, Rethink, Reduce, Reuse, Repair, Refurbish, Remanufacture, Repurpose, Recycle, dan Recover—yang diterapkan di seluruh rantai nilai industri. Melalui kerangka ini, pemerintah berupaya menciptakan sistem produksi dan konsumsi yang efisien, berkelanjutan, dan berdaya saing.
Kebijakan dan Indikator Utama Ekonomi Sirkular
Tiga arah kebijakan utama ekonomi sirkular Indonesia meliputi: (1) pengurangan penggunaan sumber daya, (2) perpanjangan daya guna produk dan material, serta (3) peningkatan daur ulang dan pemanfaatan sisa produksi dan konsumsi. Kebijakan ini tidak hanya menjadi panduan normatif, tetapi juga membentuk kerangka pengukuran nasional yang memfokuskan pada tiga indikator utama:
Tingkat Input Material Sirkular (Circular Input Rate) — mengukur efisiensi penggunaan bahan baku sekunder dan bahan terbarukan;
Tingkat Daya Guna (Usage Rate) — menilai ketahanan dan umur pakai produk;
Tingkat Daur Ulang (Recycling Rate) — menunjukkan efektivitas pengelolaan limbah menjadi bahan yang dapat digunakan kembali.
Pada tahun 2023, Indonesia mencatat Circular Input Rate sebesar 9%, Usage Rate 4%, dan Recycling Rate 5%. Meski angka ini masih rendah, pencapaiannya menunjukkan fondasi awal menuju sistem ekonomi yang lebih efisien dan berorientasi sumber daya.
Indikator Pendukung dan Tantangan Implementasi
Selain indikator utama, dokumen nasional juga menetapkan indikator pendukung yang menilai kesiapan kelembagaan, pendanaan, infrastruktur, kesadaran publik, serta aksi nyata industri dan pemerintah. Namun, hasil evaluasi menunjukkan variasi kinerja di lima sektor prioritas—pangan, kemasan plastik, tekstil, elektronik, dan konstruksi. Misalnya, sektor pangan menunjukkan kinerja “0” (cukup) dalam kelembagaan dan infrastruktur, tetapi masih lemah dalam aspek pendanaan. Sementara itu, sektor elektronik mendapat skor “-1”, menandakan perlunya percepatan kebijakan seperti Extended Producer Responsibility (EPR) dan peningkatan infrastruktur daur ulang.
Tantangan lainnya muncul dari keterbatasan klasifikasi ekonomi nasional (KBLI) yang belum sepenuhnya menangkap model bisnis baru dalam ekonomi sirkular, seperti layanan reuse dan refill. Contohnya, startup Alner yang bergerak di bidang pengemasan ulang ramah lingkungan belum memiliki klasifikasi usaha spesifik, menunjukkan perlunya pembaruan sistem KBLI agar mampu mengakomodasi inovasi hijau.
Membangun Ekosistem Pendukung dan Sinergi Multi-Pihak
Keberhasilan ekonomi sirkular tidak dapat dicapai hanya melalui kebijakan, tetapi memerlukan ekosistem lintas-sektor yang terintegrasi. Pemerintah memiliki peran penting dalam menciptakan kerangka regulasi yang adaptif, sementara sektor keuangan perlu memberikan insentif dan pembiayaan hijau. Di sisi lain, sektor pendidikan dan masyarakat harus memperkuat kesadaran serta menginternalisasi prinsip 9R dalam keseharian.
Kebijakan seperti Green/Sustainable Public Procurement (G/SPP) menjadi instrumen strategis yang potensial untuk memperluas pasar bagi produk sirkular. Namun, implementasinya masih terbatas pada beberapa provinsi pilot dan jenis produk tertentu, menandakan perlunya perluasan skala serta peningkatan koordinasi antar lembaga.
Kesimpulan
Indonesia telah memulai langkah penting menuju ekonomi sirkular, tetapi perjalanan menuju sistem yang sepenuhnya berkelanjutan masih panjang. Ke depan, tantangan utama bukan hanya meningkatkan angka sirkularitas, tetapi membangun sistem yang kolaboratif, terukur, dan adaptif terhadap inovasi industri hijau. Dengan memperkuat kerangka kebijakan, memperluas dukungan pendanaan, dan mempercepat integrasi data antar sektor, Indonesia dapat menempatkan dirinya sebagai salah satu pelopor ekonomi sirkular di kawasan Asia Tenggara.
Daftar Pustaka
Bappenas. (2024). Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia 2025–2045. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.
Bappenas & UNDP. (2022). The Future is Circular: Circular Economy Opportunities in Indonesia. Jakarta: United Nations Development Programme Indonesia.
Ellen MacArthur Foundation. (2021). Universal Circular Economy Policy Goals: Enabling the Transition to Scale. Cowes: Ellen MacArthur Foundation.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). Global Material Resources Outlook to 2060: Economic Drivers and Environmental Consequences. Paris: OECD Publishing.
UNDP. (2023). Circular Economy in Southeast Asia: Policy, Finance, and Innovation Pathways. Bangkok: United Nations Development Programme Asia-Pacific.
World Bank. (2024). Greening Growth in Indonesia: Transitioning to a Circular and Low-Carbon Economy. Washington, DC: World Bank Group.
Ekonomi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 13 November 2025
Sektor elektronik memiliki kontribusi signifikan terhadap perekonomian Indonesia, dengan sumbangan sekitar 1,9% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, di balik angka tersebut, tersembunyi tantangan besar: peningkatan timbulan limbah elektronik (e-waste) yang mencapai 2,1 juta ton pada tahun 2023. Mayoritas pengelolaan e-waste masih dilakukan oleh sektor informal tanpa sistem pengawasan yang memadai, sehingga berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dan sosial yang luas.
Dalam kerangka ekonomi sirkular, sektor elektronik memainkan peran strategis karena melibatkan berbagai bahan baku kritis yang langka dan bernilai tinggi, seperti logam tanah jarang dan nikel. Melalui penerapan prinsip 9R—terutama repair, refurbish, remanufacture, dan recycle—Indonesia dapat memperpanjang umur produk elektronik, mengurangi ketergantungan impor bahan baku, serta menciptakan rantai pasok baru yang lebih berkelanjutan.
Tantangan dan Arah Kebijakan Pengelolaan E-Waste
Meskipun sejumlah peraturan seperti UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah dan PP No. 27/2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik telah diterbitkan, hingga kini belum ada regulasi turunan yang secara khusus mengatur limbah elektronik. Akibatnya, sistem pengumpulan dan pemulihan material masih terbatas. Dari dua fasilitas daur ulang utama di Indonesia, hanya 15% kapasitasnya yang benar-benar digunakan.
Tantangan lain meliputi:
Minimnya fasilitas pengumpulan di tingkat kota/kabupaten,
Lemahnya penerapan kebijakan Extended Producer Responsibility (EPR) di sektor elektronik,
Rendahnya inovasi ekodesain produk, serta
Belum terbentuknya ekosistem pengelolaan baterai kendaraan listrik (KBLBB).
Padahal, penerapan ekonomi sirkular dalam sektor elektronik dapat mengurangi tekanan terhadap sumber daya alam sekaligus memperkuat ketahanan pasokan bahan baku kritis.
Rantai Nilai Sirkular dan Pelaku Utama
Dalam sistem sirkular, rantai nilai sektor elektronik tidak berhenti di tahap konsumsi. Ia mencakup tahapan lanjutan seperti pemeliharaan, pengumpulan, dan pemulihan material. Setiap aktor — mulai dari produsen bahan baku, pabrikan, distributor, konsumen, hingga pendaur ulang — memainkan peran penting dalam memperpanjang umur produk dan mengurangi timbulan limbah.
Ekosistem ideal memungkinkan praktik repair dan remanufacturing berjalan sejajar dengan kegiatan produksi baru. Di sisi lain, fasilitas pemulihan material berperan dalam memisahkan komponen bernilai tinggi dari limbah elektronik, seperti logam tembaga, aluminium, dan emas, untuk dimanfaatkan kembali.
Praktik Terbaik dan Inovasi Lokal
Beberapa inisiatif menunjukkan bahwa transisi ke arah ekonomi sirkular mulai mendapatkan momentum:
Schneider Electric telah menerapkan transparansi produk dan kemasan berbahan daur ulang, dengan target 100% bahan kemasan dari sumber sirkular pada 2025.
Dulang, sebuah startup lokal, mengembangkan layanan lifecycle management elektronik melalui perbaikan, pembaruan (refurbish), dan penjualan kembali perangkat bekas, sekaligus menjalin kemitraan dengan BUMN dan pemerintah daerah.
DKI Jakarta menjadi contoh peran pemerintah daerah melalui penyediaan drop box dan layanan penjemputan gratis limbah elektronik untuk didaur ulang secara resmi.
Di tingkat global, praktik serupa dilakukan oleh TES-AMM, perusahaan pengelolaan aset teknologi asal Singapura yang telah mengelola lebih dari 100.000 ton aset elektronik dengan tingkat pemanfaatan ulang hingga 98%.
Strategi Nasional dan Tahapan Implementasi
Peta jalan ekonomi sirkular sektor elektronik Indonesia dibagi menjadi empat tahap hingga 2045:
2025–2029: Penguatan regulasi nasional, penyusunan sistem EPR elektronik, dan pembangunan infrastruktur dasar.
2030–2034: Akselerasi aksi lapangan melalui penguatan fasilitas daur ulang dan pelaporan EPR oleh industri.
2035–2039: Penguatan ekonomi daerah dan peningkatan kapasitas fasilitas pemulihan material di kota besar.
2040–2045: Pembentukan model bisnis sirkular yang terintegrasi dalam sistem ekonomi nasional.
Empat strategi utama mendukung peta jalan ini:
Pengembangan kebijakan dan regulasi EPR elektronik,
Peningkatan infrastruktur pemulihan material dan kapasitas sektor informal,
Penerapan ekodesain dan inovasi produk,
Pengembangan ekosistem sirkular untuk teknologi baru dan baterai kendaraan listrik (KBLBB).
Ekosistem Baterai KBLBB: Antara Tantangan dan Peluang
Dalam lima tahun ke depan, volume limbah baterai kendaraan listrik diproyeksikan meningkat tajam. Tanpa regulasi dan infrastruktur yang siap, hal ini dapat menjadi krisis lingkungan baru. Padahal, baterai KBLBB mengandung logam berharga seperti nikel, litium, dan kobalt yang dapat dipulihkan untuk digunakan kembali dalam rantai industri nasional.
Strategi pemerintah mencakup pembentukan regulasi siklus hidup baterai, pembangunan infrastruktur logistik penanganan end-of-life (EoL), serta peningkatan proporsi energi terbarukan dalam jaringan pengisian daya (charging infrastructure).
Langkah ini sejalan dengan upaya memperkuat rantai nilai industri kendaraan listrik domestik, sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan baku energi.
Kesimpulan
Ekonomi sirkular sektor elektronik dan KBLBB membuka peluang besar bagi Indonesia untuk memadukan inovasi industri, keberlanjutan lingkungan, dan ketahanan ekonomi. Keberhasilan transformasi ini bergantung pada konsistensi kebijakan, investasi pada infrastruktur daur ulang, dan keterlibatan aktif semua pihak — pemerintah, industri, akademisi, serta masyarakat. Dengan memperkuat ekosistem sirkular, Indonesia bukan hanya mengelola limbahnya lebih bijak, tetapi juga membangun masa depan ekonomi digital dan energi bersih yang lebih tangguh.
Daftar Pustaka
Bappenas. (2024). Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia 2025–2045. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. (2020). Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik. Jakarta: KLHK RI.
Ellen MacArthur Foundation. (2021). Circular Electronics Initiative: Redesigning the Future of E-Waste. Cowes: Ellen MacArthur Foundation.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). Global E-Waste Monitor 2023: Pathways to Circular Electronics. Paris: OECD Publishing.
United Nations Environment Programme (UNEP). (2022). Building Circularity into E-Waste Management: Regional Outlook for Asia-Pacific. Nairobi: UNEP.
TES-AMM Global. (2023). Circular Electronics and Battery Recovery: Case Studies from Southeast Asia. Singapore: TES-AMM.
World Economic Forum. (2022). A New Circular Vision for Electronics: Time for a Global Reboot. Geneva: WEF.
Ekonomi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 13 November 2025
Transisi menuju ekonomi sirkular tidak hanya menuntut perubahan paradigma produksi dan konsumsi, tetapi juga pergeseran mendasar dalam tata kelola kebijakan dan sistem pembiayaan nasional. Di Indonesia, komitmen terhadap ekonomi sirkular semakin kuat sejak diterbitkannya Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular 2025–2045. Namun, keberhasilan implementasi strategi ini bergantung pada sejauh mana kebijakan lintas sektor dan sistem pendanaan publik–swasta dapat berjalan selaras dan saling memperkuat.
Integrasi Kebijakan dan Sinergi Antar-Sektor
Pemerintah Indonesia kini tengah berupaya mengintegrasikan prinsip ekonomi sirkular ke dalam berbagai kebijakan pembangunan, mulai dari RPJPN 2025–2045, RAN Net Zero Emission (NZE), hingga strategi industri hijau nasional. Sinergi ini mencakup harmonisasi antara kebijakan lingkungan, industri, energi, dan perdagangan untuk memastikan transisi menuju sirkularitas berlangsung efektif.
Dalam konteks kelembagaan, peran kementerian/lembaga (K/L) menjadi sangat penting — Bappenas berfungsi sebagai perancang arah strategis dan koordinasi lintas sektor, sementara Kementerian Keuangan menyediakan instrumen fiskal untuk mendorong adopsi praktik sirkular.
Selain itu, Green and Sustainable Public Procurement (G/SPP) telah mulai diterapkan di beberapa kementerian dan pemerintah daerah, menjadi katalis bagi permintaan terhadap produk sirkular. Namun, tantangan masih muncul dalam hal standarisasi produk, transparansi rantai pasok, serta kapasitas penyedia barang/jasa ramah lingkungan.
Strategi Pendanaan Ekonomi Sirkular
Pembiayaan menjadi kunci dalam menggerakkan transformasi ekonomi sirkular. Dalam konteks nasional, terdapat tiga pendekatan utama yang ditekankan dalam dokumen kebijakan:
Pendanaan Publik (Public Finance): diarahkan pada proyek-proyek strategis, seperti infrastruktur daur ulang, riset material berkelanjutan, dan dukungan UMKM hijau.
Pendanaan Swasta (Private Finance): difokuskan pada penciptaan insentif bagi investasi hijau melalui skema pajak, pembiayaan blended, dan obligasi hijau (green bonds).
Kemitraan dan Inovasi Keuangan (Blended Finance): menggabungkan dana publik dan swasta untuk memitigasi risiko investasi di sektor inovatif seperti eco-design, energi terbarukan, dan pengelolaan limbah industri.
Indonesia juga tengah mengembangkan taksonomi hijau nasional, yang bertujuan untuk mengarahkan aliran investasi ke sektor-sektor yang berkontribusi terhadap transisi hijau. Instrumen ini akan menjadi dasar dalam menentukan proyek yang memenuhi kriteria sirkularitas dan keberlanjutan.
Peran Pemerintah Daerah dan Sektor Swasta
Pemerintah daerah memegang peranan penting dalam memastikan kebijakan ekonomi sirkular dapat diimplementasikan secara kontekstual dan inklusif. Beberapa daerah seperti Jawa Barat dan Bali telah memulai pilot project berbasis sirkular, seperti pengolahan limbah organik menjadi energi dan pengurangan plastik sekali pakai melalui kebijakan insentif. Sementara itu, sektor swasta berperan dalam inovasi rantai nilai — mulai dari eco-packaging, desain modular, hingga model bisnis berbasis sewa dan perbaikan.
Namun, integrasi antara sektor publik dan swasta masih menghadapi tantangan dalam bentuk keterbatasan data ekonomi sirkular, perbedaan kapasitas antarwilayah, serta kurangnya instrumen insentif jangka panjang. Untuk itu, dibutuhkan mekanisme koordinasi yang lebih dinamis antara K/L, pemerintah daerah, asosiasi industri, dan lembaga keuangan agar roadmap ekonomi sirkular dapat berjalan konsisten hingga 2045.
Kesimpulan
Keberhasilan ekonomi sirkular Indonesia tidak hanya diukur dari peningkatan rasio daur ulang atau efisiensi material, tetapi dari kemampuan sistem nasional untuk membangun ekosistem pembiayaan dan kebijakan yang inklusif dan adaptif. Integrasi lintas sektor, inovasi dalam pendanaan, dan peran aktif daerah menjadi tiga pilar utama dalam menjaga keberlanjutan transisi menuju ekonomi sirkular.
Dengan langkah-langkah yang terukur dan kolaborasi yang kuat, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pusat ekonomi hijau di kawasan Asia Tenggara.
Daftar Pustaka
Bappenas. (2024). Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia 2025–2045. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2023). Strategi Pendanaan Hijau Nasional: Dukungan Fiskal untuk Ekonomi Berkelanjutan. Jakarta: Kemenkeu RI.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). Financing Circular Economy Transitions in Emerging Economies. Paris: OECD Publishing.
United Nations Development Programme (UNDP). (2023). Circular Economy in Southeast Asia: Policy, Finance, and Innovation Pathways. Bangkok: UNDP Asia-Pacific.
World Bank. (2024). Indonesia Green Growth and Financing Framework. Washington, DC: World Bank Group.
Asian Development Bank. (2022). Green Finance Strategies for a Circular Economy in Asia. Manila: ADB Publications.
Ekonomi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 13 November 2025
Sektor ritel merupakan salah satu pilar penting ekonomi Indonesia, dengan kontribusi mencapai lebih dari 10% terhadap PDB nasional. Namun, di balik pertumbuhan tersebut tersembunyi tantangan besar: ketergantungan pada kemasan plastik sekali pakai yang berdampak serius terhadap lingkungan. Dalam konteks ekonomi sirkular, kemasan plastik menjadi fokus utama transformasi karena sifatnya yang masif digunakan, sulit terurai, dan berpotensi mencemari ekosistem darat maupun laut. Oleh karena itu, penerapan prinsip 9R dan kebijakan berbasis sirkularitas menjadi kunci untuk membangun rantai nilai ritel yang lebih efisien, hijau, dan bertanggung jawab.
Tantangan Implementasi dan Arah Kebijakan
Berdasarkan analisis Bappenas, tingkat input material sirkular sektor kemasan plastik baru mencapai 6,92%, sementara tingkat daur ulang hanya 9,16%. Rendahnya angka ini mencerminkan masih terbatasnya infrastruktur, teknologi, dan sistem kebijakan yang mendukung ekonomi sirkular di sektor ritel.
Beberapa isu utama yang diidentifikasi meliputi:
Pengelolaan sampah yang belum merata di tingkat daerah. Pengumpulan dan pemilahan limbah plastik masih terkonsentrasi di kota besar, sementara banyak wilayah belum memiliki sistem pengelolaan yang efektif.
Kurangnya intervensi di sisi hulu, terutama pada tahap desain produk. Redesain kemasan menjadi langkah penting untuk mengurangi penggunaan bahan baku baru dan meningkatkan potensi daur ulang.
Perlunya penguatan peran produsen melalui Extended Producer Responsibility (EPR). Sejauh ini baru 27 perusahaan yang menyusun peta jalan pengurangan sampah, dengan 8 di antaranya sudah melaporkan implementasi.
Pengelolaan kemasan plastik bernilai rendah (low value plastic) seperti multilayer packaging dan styrofoam masih minim, padahal volumenya sangat besar dalam aliran sampah nasional.
Pemerintah telah merespons dengan berbagai kebijakan seperti UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, Permen LHK No. 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, serta Peraturan BPOM No. 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan. Kebijakan-kebijakan ini menjadi dasar untuk membangun sistem sirkular yang terintegrasi dari hulu ke hilir.
Transformasi Menuju Ekonomi Sirkular
Model ekonomi linear tradisional—“ambil, buat, buang”—telah terbukti tidak berkelanjutan. Sebaliknya, ekonomi sirkular menekankan desain produk yang memperpanjang umur material dan memaksimalkan nilai ekonominya. Pada sektor ritel, ini berarti memperkenalkan kemasan yang dapat digunakan ulang (reusable), desain yang mudah didaur ulang (recyclable), serta pengumpulan limbah yang terintegrasi. Program seperti Alner menunjukkan potensi model bisnis sirkular di mana konsumen membeli produk dengan kemasan yang dapat dikembalikan, sementara Chandra Asri Group membuktikan bahwa plastik bernilai rendah bisa dimanfaatkan sebagai campuran aspal ramah lingkungan.
Pembelajaran Internasional dan Skema EPR di Indonesia
Denmark menjadi contoh global dalam penerapan skema EPR (Extended Producer Responsibility) yang efektif, di mana seluruh produsen wajib bertanggung jawab terhadap pengelolaan limbah kemasannya. Prinsip serupa mulai diadopsi di Indonesia melalui pembentukan Indonesia Packaging Recovery Organization (IPRO), lembaga non-profit yang menghimpun pendanaan dari produsen untuk mendukung kegiatan pengumpulan dan daur ulang. Hingga 2024, IPRO telah mengumpulkan dan mendaur ulang lebih dari 16.000 ton plastik berbagai jenis, menunjukkan peran nyata kolaborasi lintas industri dalam membangun ekosistem sirkular.
Penahapan dan Strategi Nasional
Peta jalan nasional ekonomi sirkular sektor ritel difokuskan dalam empat periode besar hingga 2045:
2025–2029: Pengembangan ekosistem redesain, sistem guna ulang, dan pengumpulan sampah.
2030–2034: Akselerasi pengadaan produk ramah lingkungan dan sistem guna ulang.
2035–2039: Implementasi masif solusi kemasan berkelanjutan.
2040–2045: Pengelolaan kemasan plastik yang berkelanjutan dan terintegrasi lintas sektor.
Empat strategi utama mendukung arah tersebut, yaitu:
Redesain & peningkatan kadar daur ulang kemasan plastik.
Pengelolaan kemasan bioplastik berbasis bahan hayati.
Pengembangan ekosistem guna ulang dan isi ulang.
Peningkatan pengumpulan, daur ulang, dan pemulihan energi dari sampah plastik.
Jika diterapkan optimal, strategi ini berpotensi mengurangi 21% timbulan sampah plastik nasional dan menambah Rp14,4 triliun pada PDB sektor ritel pada tahun 2030.
Kesimpulan
Transformasi ekonomi sirkular di sektor ritel Indonesia menandai babak baru dalam upaya menggabungkan tanggung jawab lingkungan dengan pertumbuhan ekonomi. Kemasan plastik yang dulunya menjadi simbol limbah kini berpotensi menjadi sumber daya baru—asal didukung oleh kebijakan yang konsisten, inovasi teknologi, dan kolaborasi antar pemangku kepentingan. Dengan pendekatan yang terukur dan berkelanjutan, Indonesia berpeluang menjadi contoh bagi negara berkembang lain dalam membangun rantai nilai ritel yang hijau, efisien, dan inklusif.
Daftar Pustaka
Bappenas. (2024). Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia 2025–2045. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. (2019). Peraturan Menteri LHK No. 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Jakarta: KLHK RI.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2019). Peraturan BPOM No. 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan. Jakarta: BPOM.
Indonesia Packaging Recovery Organization (IPRO). (2024). Annual Progress Report 2023: Building a Circular Plastic Ecosystem. Jakarta: IPRO.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). Global Plastic Outlook: Policy Scenarios to 2060. Paris: OECD Publishing.
Ellen MacArthur Foundation. (2021). Universal Circular Economy Policy Goals: Enabling the Transition to Scale. Cowes: EMF.
United Nations Environment Programme (UNEP). (2023). Turning Off the Tap: How the World Can End Plastic Pollution and Create a Circular Economy. Nairobi: UNEP.