Sosiohidrologi

SocioHydrology: Ilmu Baru untuk Menjawab Krisis Air dan Tantangan SDGs

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 03 Juli 2025


Pendahuluan: Dari Hidrologi Klasik ke SocioHydrology

Krisis air global saat ini bukan hanya soal kekurangan air, tetapi juga soal kegagalan sistem sosial dalam mengelola sumber daya tersebut secara adil dan berkelanjutan. Artikel karya Xia, Dong, dan Zou (2022) menelusuri evolusi sociohydrology sebagai disiplin baru yang menjembatani ilmu alam dan sosial untuk memahami dinamika timbal balik antara manusia dan sistem hidrologi. Dengan menyoroti empat isu ilmiah utama dan tantangan metodologis, artikel ini menjadi peta jalan penting bagi masa depan pengelolaan air berbasis keberlanjutan.

 Evolusi SocioHydrology: Tiga Tahap Paradigma

Penulis menguraikan perkembangan paradigma hidrologi dalam tiga fase:

1. Pra1970an: Fokus pada dampak manusia terhadap air (I=PAT).

2. 1970–2010an: Interaksi dua arah antara manusia dan air (hydrosociology, IWRM).

3. Pasca2012: Coevolution manusiaair melalui pendekatan sociohydrology (Sivapalan et al., 2012).

Transformasi ini mencerminkan pergeseran dari pendekatan eksogen ke endogen, di mana manusia bukan hanya pengguna air, tetapi juga bagian dari sistem dinamis yang saling memengaruhi.

 Empat Isu Ilmiah Kunci dalam SocioHydrology

1. Evolusi Jangka Panjang Sistem SosioHidrologi 

   Studi historis menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan, proyek irigasi besar, dan polusi industri memiliki efek jangka panjang terhadap kualitas dan kuantitas air. Misalnya, proyek bendungan besar dapat mengubah pola aliran sungai selama ratusan tahun.

2. Deskripsi Kuantitatif dan Mekanisme Penggerak 

   Penulis menekankan pentingnya metode kuantitatif seperti content analysis, mapping knowledge domain, dan model berbasis agen (ABM) untuk memahami dinamika sosialair. Contoh: Wei et al. (2015) menganalisis evolusi isu air di Australia melalui 150 tahun arsip surat kabar.

3. Prediksi Jalur KoEvolusi Sistem SosialAir 

   Tantangan utama adalah mengakomodasi ketidakpastian perilaku manusia dalam model prediktif. Faktor seperti nilai, kepercayaan, dan pendidikan memengaruhi respons terhadap kebijakan air. Big data dan media sosial mulai digunakan untuk menangkap dinamika ini secara realtime.

4. Manajemen Terintegrasi Sumber Daya Air (IWRM) Berbasis Sistem 

   Sociohydrology mendukung IWRM dengan menyediakan kerangka kerja untuk mengevaluasi dampak kebijakan dan merancang intervensi adaptif. Contoh sukses: penerapan IWRM di MurrayDarling Basin, Australia.

 Studi Kasus dan Model Terapan

Artikel ini menyajikan berbagai studi kasus dari 10 tahun terakhir, termasuk:

  •  Iran: Aghaie et al. (2020) menggunakan ABM untuk mensimulasikan pasar air tanah berbasis norma sosial.
  •  India: Srinivasan et al. (2015) mengembangkan model multihipotesis untuk menjelaskan penyusutan Sungai Arkavathy.
  •  Pakistan: Sawada & Hanazaki (2020) mengintegrasikan data dan model untuk memahami interaksi manusiabanjir di Punjab.
  •  Bangladesh: Yu et al. (2017) menerapkan evolutionary game theory untuk menganalisis ketahanan banjir berbasis institusi lokal.

Model yang digunakan mencakup system dynamics, Bayesian networks, dan conceptual models, menunjukkan keragaman pendekatan dalam sociohydrology.

 Kritik dan Kesenjangan Penelitian

Penulis mengidentifikasi tiga celah utama:

 Kurangnya mekanisme interaksi yang jelas antara sistem sosial dan hidrologi.

 Dominasi pendekatan kualitatif, padahal prediksi membutuhkan kuantifikasi yang kuat.

 Keterbatasan data lintas disiplin, terutama dalam skala spasial dan temporal yang sesuai.

Selain itu, banyak model masih menyederhanakan perilaku manusia dan gagal menangkap dinamika nilai, konflik, dan institusi secara mendalam.

 Peluang Masa Depan: Interdisiplin dan Big Data

Sociohydrology memiliki peluang besar untuk berkembang melalui:

  •  Integrasi teori dari ilmu sosial seperti sosiologi, ekonomi air, dan sistem kompleks.
  •  Pemanfaatan big data dari media sosial, sensor lingkungan, dan data spasial untuk meningkatkan akurasi model.
  •  Pengembangan model prediktif adaptif yang mampu menangkap respons tak terduga dari masyarakat terhadap kebijakan air.

Contoh: penggunaan data Twitter untuk memetakan persepsi publik terhadap krisis air di Cape Town (Ren et al., 2019).

 Kontribusi terhadap SDGs dan Tata Kelola Global

Sociohydrology berperan penting dalam mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya:

  •  SDG 6: Air bersih dan sanitasi
  •  SDG 11: Kota dan komunitas berkelanjutan
  •  SDG 13: Aksi iklim

Dengan pendekatan sistemik dan partisipatif, sociohydrology dapat membantu merancang kebijakan air yang lebih adil, adaptif, dan berbasis bukti.

 Kesimpulan: Ilmu Baru untuk Dunia yang Berubah

Artikel ini menegaskan bahwa sociohydrology bukan sekadar cabang baru dari hidrologi, tetapi paradigma ilmiah baru yang menjawab kompleksitas dunia modern. Dengan menggabungkan sejarah, prediksi, dan manajemen dalam satu kerangka, disiplin ini menawarkan harapan baru untuk mengatasi krisis air global secara berkelanjutan dan inklusif.

Sumber Artikel

Xia, J., Dong, Y., & Zou, L. (2022). Developing sociohydrology: Research progress, opportunities and challenges. Journal of Geographical Sciences, 32(11), 2131–2146.

Selengkapnya
SocioHydrology: Ilmu Baru untuk Menjawab Krisis Air dan Tantangan SDGs

Sosiohidrologi

Mengurai Krisis Air Asia Tengah: Dari Politik Sungai hingga Reformasi Pendidikan dan Riset

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 03 Juli 2025


Asia Tengah, wilayah yang bergantung pada dua sungai besar Amudarya dan Syrdaryamenghadapi krisis tata kelola air yang kompleks. Artikel karya Abdullaev et al. (2025) mengupas bagaimana konflik politik, perubahan iklim, dan lemahnya kapasitas riset lokal memperumit pengelolaan air lintas negara. Lebih dari sekadar isu teknis, krisis ini mencerminkan ketegangan antara warisan Soviet, kepentingan nasional, dan kebutuhan akan tata kelola kolaboratif berbasis sains.

 Konteks Regional: Sungai yang Membelah Negara dan Kepentingan

Amudarya dan Syrdarya mengalir melintasi lima negara: Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan. Sungaisungai ini menjadi sumber utama irigasi dan energi, namun juga menjadi sumber konflik. Proyek bendungan di hulu seperti Rogun di Tajikistan dan rencana pembangunan di Sungai Naryn oleh Kyrgyzstan memicu kekhawatiran negara hilir akan berkurangnya pasokan air.

Kasus penting: 

Pada 2024, Afghanistan memulai pembangunan kanal irigasi besar yang diperkirakan akan menyedot hingga 30% aliran Amudarya, mengancam pertanian di Uzbekistan dan Turkmenistan. Ini menambah tekanan pada sistem yang sudah rapuh akibat perubahan iklim dan eksploitasi berlebih.

 Dinamika Politik dan Reformasi: Antara Kolaborasi dan Ketegangan

Meski konflik potensial tinggi, Asia Tengah menunjukkan resiliensi politik melalui berbagai perjanjian dan forum seperti International Fund to Save the Aral Sea (IFAS). Uzbekistan, sejak 2017, mendorong kerja sama regional, termasuk kesepakatan pembangunan PLTA Kambarata I bersama Kazakhstan dan Kyrgyzstan.

Namun, reformasi sektor air masih didominasi pendekatan teknokratis dan efisiensi, bukan ketahanan jangka panjang. Tajikistan telah menjalankan reformasi selama 9 tahun, Kazakhstan membentuk kementerian air baru, dan Uzbekistan memisahkan kementerian air dari pertanian serta memperluas irigasi tetes. Tapi, resiliensi kelembagaan dan adaptasi terhadap ketidakpastian iklim masih minim.

 Studi Kasus: Bencana dan Ketegangan Sosial

  •  Banjir akibat jebolnya Bendungan Sardoba (Uzbekistan, 2020) menunjukkan lemahnya infrastruktur dan koordinasi lintas negara.
  •  Kekeringan ekstrem di Kazakhstan (2021) dan banjir salju di 2024 memperlihatkan dampak nyata perubahan iklim.
  •  Kanal QoshTepa oleh Taliban menjadi titik panas baru, memicu kekhawatiran geopolitik dan ketegangan diplomatik.

 Peran Riset dan Pendidikan Tinggi: Potensi yang Belum Dioptimalkan

Artikel ini menyoroti bahwa kapasitas riset lokal masih tertinggal. Banyak universitas dan lembaga riset di Asia Tengah belum mengalami reformasi signifikan sejak era Soviet. Keterbatasan dana, ketergantungan pada donor asing, dan minimnya literatur dalam bahasa lokal menjadi hambatan utama.

Catatan penting:

  •  Sebagian besar materi ajar masih dalam bahasa Rusia, sementara literatur terbaru tersedia dalam bahasa Inggris.
  •  Kapasitas dosen dan peneliti lokal terbatas, baik dari sisi metodologi maupun akses terhadap jaringan global.
  •  Kolaborasi antara universitas, lembaga riset, dan sektor kebijakan masih lemah, menghambat inovasi dan transfer pengetahuan.

 SciencePolicy Interface: Jembatan yang Masih Rawan

Meski ada lembaga seperti Interstate Commission for Water Coordination (ICWC) dan pusat informasinya (SIC), integrasi antara riset dan kebijakan masih terbatas. Hambatan utama:

  •  Kurangnya data dasar yang dapat diakses bersama
  •  Ketakutan negara untuk berbagi data karena potensi disalahartikan
  •  Durasi proyek internasional yang pendek, sehingga tidak membangun kepercayaan jangka panjang

Inisiatif baru: 

Usulan pembentukan Central Asian Expert Platform on Water Security, Sustainable Development, and Future Studies sebagai wadah kolaborasi lintas negara dan institusi untuk menyusun agenda riset jangka panjang dan menghasilkan kebijakan berbasis bukti.

 Kritik dan Rekomendasi: Dari Efisiensi ke Ketahanan

Penulis mengkritik bahwa pendekatan dominan masih berfokus pada efisiensi teknis dan pasar, bukan pada resiliensi sistemik. Untuk menjawab tantangan iklim dan geopolitik, dibutuhkan :

  •  Reformasi kurikulum pendidikan tinggi agar lebih interdisipliner dan kontekstual
  •  Investasi jangka panjang dari negara, bukan hanya donor asing
  •  Integrasi pengetahuan lokal dan warisan Soviet dengan pendekatan modern
  •  Peningkatan literasi kebijakan berbasis sains di kalangan pembuat keputusan

 Kesimpulan: Menuju Tata Kelola Air yang Tangguh dan Inklusif

Artikel ini menyajikan gambaran menyeluruh tentang kompleksitas tata kelola air di Asia Tengah. Dari konflik lintas negara hingga lemahnya kapasitas riset, dari reformasi teknokratis hingga kebutuhan akan pendekatan adaptif—semuanya menunjukkan bahwa air bukan hanya soal sumber daya, tapi juga soal politik, pengetahuan, dan masa depan bersama.

Dengan membangun jembatan antara sains dan kebijakan, memperkuat pendidikan tinggi, dan mendorong kolaborasi regional, Asia Tengah memiliki peluang untuk mengubah krisis menjadi momentum transformasi.

Sumber :  Abdullaev, I., Assubayeva, A., Bobojonov, I., Djanibekov, N., Dombrowsky, I., Gafurov, A., Hamidov, A., HerrfahrdtPähle, E., JanuszPawletta, B., Ishangulyyeva, R., Kasymov, U., Mirkasimov, B., Petrick, M., Strobehn, K., & Ziganshina, D. (2025). Current challenges in Central Asian water governance and their implications for research, higher education, and sciencepolicy interaction. Central Asian Journal of Water Research, 11(1), 47–58.

Selengkapnya
Mengurai Krisis Air Asia Tengah: Dari Politik Sungai hingga Reformasi Pendidikan dan Riset

Sosiohidrologi

Menyatukan Budaya & Air: Perspektif Baru Tata Kelola Air yang Berkeadilan dan Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 03 Juli 2025


Air—yang sering dikelola atas nama efisiensi ekonomi—menyimpan makna jauh lebih dalam bagi banyak komunitas. Dalam penelitian Heinrichs dan Rojas (2022), pendekatan budaya menjadi fokus utama dalam memahami bagaimana nilainilai dan cara pandang masyarakat memengaruhi tata kelola serta pengelolaan air secara global. Melalui kajian literatur sistematis terhadap 52 studi dari berbagai belahan dunia, artikel ini menggambarkan peta lengkap teori budaya (theories of culture) yang digunakan dalam ranah tata kelola air.

Yang menarik, pendekatan ini menyoroti bahwa krisis air sering bukan semata krisis fisik, melainkan krisis tata kelola yang abai terhadap pluralitas nilai budaya.

 Fokus Kajian: Celah Antara Teori, Nilai Budaya, dan Implementasi Nyata

Penelitian ini bertujuan:

  • Mengidentifikasi teori budaya yang paling dominan dalam literatur tata kelola air.
  • Membedakan nilainilai budaya yang muncul dalam konteks manajemen air versus tata kelola air.
  • Menganalisis seberapa jauh teori/nilai budaya tersebut diterapkan secara nyata dalam perencanaan atau model pengelolaan air.

Hasilnya cukup mengejutkan sebagian besar studi hanya mengulas teori tanpa melibatkan praktik konkret di lapangan.

 Dominasi Cultural Theory dan Ketimpangan Implementasi

Cultural Theory karya Mary Douglas mendominasi kajian ini. Teori ini mengelompokkan individu ke dalam empat kategori berdasarkan struktur sosial dan cara menghadapi risiko:

  • Egalitarian
  • Hierarchist
  • Individualist
  • Fatalist

Nilainilai ini muncul di mayoritas studi, menunjukkan kecenderungan peneliti memilih pendekatan yang sederhana dan mudah diukur. Namun, studi juga menunjukkan bahwa pendekatan ini cenderung statis dan kurang menangkap dinamika nilainilai lokal atau adat yang kompleks dan kontekstual.

 Meningkatnya Pengakuan terhadap Indigenous Knowledges

Meski Cultural Theory dominan, muncul tren baru yang kuat: pengakuan terhadap Indigenous Knowledges sebagai kerangka teoritis dan praksis. Dari 52 studi, 9 menggunakan pendekatan ini—sebagian besar dari konteks Australia.

Nilai  nilai yang muncul mencakup:

  • Lore dan heritage 
  • Spiritualitas dan keterhubungan dengan alam 
  • Tempat sebagai identitas (placebased values) 

Namun, dalam praktiknya nilai ini masih lebih sering muncul dalam bentuk wacana budaya, bukan sebagai dasar pengambilan kebijakann

 Water Governance vs. Water Management: Mana yang Lebih Responsif Budaya?

Tata Kelola Air (governance) menampilkan nilai seperti lore, country, dan river, mencerminkan keterhubungan manusia dengan lingkungan.

Sebaliknya, Manajemen Air (management) cenderung lebih antroposentris—menekankan nilai seperti health, use, dan productivity. Hal ini menunjukkan bias ekonomi dalam pendekatan manajemen teknokratis, sekaligus memperkuat tantangan menjembatani nilainilai lokal dengan kebutuhan perencanaan operasional.

 Studi Kasus & Implementasi: Di Mana Nilai Budaya Berperan Nyata?

Hanya 30 dari 52 studi yang mengimplementasikan teori budaya ke dalam praktik, antara lain lewat:

  • Model statistik (misalnya regresi, struktur persamaan) 
  • Pendekatan agen berbasis model (agentbased modeling) 
  • Analisis jaringan sosial dan pemetaan budaya 
  • Game theory dan simulasi perilaku petani terhadap kebijakan air 

Contohnya, penelitian oleh CastillaRho et al. menggunakan model sosial berbasis Cultural Theory untuk memodelkan risiko reputasi petani dalam pelaporan pencurian air tanah. Penelitian ini mengintegrasikan data nilainilai budaya ke dalam perhitungan model manajemen akuifer di AS, Australia, dan India.

 Masalah dan Kritik: Statis, BaratSentris, dan Kurang Kontekstual

Beberapa kritik penting terhadap pendekatan dominan:

 Cultural Theory cenderung mengabaikan keragaman nilai komunitas adat dan lokal yang lebih dinamis.

 Banyak studi tidak menyebut secara jelas dari disiplin mana teori budaya itu berasal, sehingga pendekatannya kurang reflektif terhadap paradigma asalnya (misal: positivistik vs. kritikal).

 Implementasi nyata masih terbatas pada analisis statistik—jarang yang masuk ke ranah desain kebijakan.

 Rekomendasi: Bergerak ke ‘Theories of Culture’ yang Plural dan Adaptif

Penulis menyarankan agar pendekatan ke depan berpindah dari mencari “the best cultural theory” ke pendekatan yang lebih fleksibel—“theories of culture” yang bisa disesuaikan dengan konteks spesifik.

Salah satu alternatif adalah Schwartz’s Cultural Value Theory, yang menawarkan sepuluh nilai lintas budaya, antara lain:

  • Selfdirection
  • Universalism
  • Tradition
  • Security
  • Benevolence 

Model ini lebih adaptif dan bisa diterapkan dalam pemodelan kebijakan serta telah divalidasi lintas negara.

 Koneksi Global dan Implikasi Masa Depan

Dengan tantangan air global yang semakin akut—dari konflik sungai lintas negara hingga akses air bersih—pemahaman lintas budaya menjadi fondasi untuk menciptakan tata kelola yang inklusif dan adil.

Konteks negara berkembang seperti Indonesia, dengan keberagaman nilai lokal, kepercayaan adat, serta kesenjangan akses air, sangat membutuhkan pendekatan yang mampu menjembatani sains, kebijakan, dan nilai komunitas.

 Kesimpulan

Artikel Heinrichs dan Rojas mengingatkan bahwa air adalah refleksi dari relasi sosial, bukan semata sumber daya teknis. Untuk menciptakan tata kelola yang berkelanjutan, kita butuh lebih dari sekadar pipa dan kebijakan—kita butuh nilai, narasi, dan sensitivitas budaya.

Sumber Artikel : 

Heinrichs, D. H., & Rojas, R. (2022). Cultural values in water management and governance: Where do we stand? Water, 14(803), 1–22.

Selengkapnya
Menyatukan Budaya & Air: Perspektif Baru Tata Kelola Air yang Berkeadilan dan Berkelanjutan

Sosiohidrologi

Mengurai Solusi Kualitas Air Lewat SocioHydrology: Studi Transformasi DAS di Burkina Faso

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 03 Juli 2025


Kualitas air tidak hanya ditentukan oleh curah hujan atau kondisi tanah, tetapi juga oleh keputusan sosial—kesadaran petani, dukungan lembaga lokal, dan arah kebijakan publik. Inilah titik tolak pendekatan sociohydrology, yang dikembangkan untuk menggabungkan aspek manusia dan alam dalam satu sistem dinamis. Melalui studi kasus di Daerah Aliran Sungai (DAS) Black Volta, Burkina Faso, artikel karya Carr et al. (2022) menawarkan narasi transformatif tentang bagaimana kelembagaan lokal dan perilaku masyarakat memainkan peran krusial dalam mengelola kualitas air.

 Konteks Wilayah: Tantangan MultiSumber di DAS Black Volta

Wilayah penelitian berlokasi di barat daya Burkina Faso, meliputi tiga unit kelembagaan bernama CLE (Comité Local de l’Eau): Mouhoun Tâ, Kou, dan Bougouriba 7. Ancaman utama di wilayah ini mencakup sedimentasi sungai, pencemaran air akibat penggunaan pupuk dan pestisida, penggembalaan liar, serta penambangan emas. Sekitar 50% petani dalam survei mengaku menggarap lahan di tepi sungai, dan lebih dari 80% menggunakan pestisida serta pupuk kimia (Balana et al., 2019).

Kebijakan mitigasi utama adalah zona larangan tanam 100 meter dari sempadan sungai yang diperkenalkan tahun 2009. Namun, implementasi terbentur dengan keterbatasan sosialekonomi serta lemahnya kapasitas lembaga pengawas seperti Water Police.

 Model SosioHidrologi: Skema Dinamis Interaksi Sosial dan Alam

Model ini dibangun berbasis pendekatan sistem dinamis, dikode dalam R, dengan asumsi dasar bahwa peningkatan sedimentasi ⇒ kesadaran petani dan institusi meningkat ⇒ perubahan tindakan (berhenti tanam, tanam pohon, mengurangi polusi) ⇒ peningkatan kualitas air.

Variabel utamanya mencakup:

  •  AF (Awareness petani terhadap kualitas air)
  •  WL/WT/WP (Kesediaan berhenti tanam, tanam pohon, dan adopsi praktik ramah lingkungan)
  •  RCLE & RPO (Kapasitas CLE dan Water Police)
  •  C (Konsentrasi sedimen dalam air, digunakan sebagai indikator kualitas)

Skema ini berhasil mensimulasikan perubahan sosial dan ekologis selama 30 tahun terakhir (1990–2020) berdasarkan data empirik dan wawancara lapangan. Misalnya, pada tahun 2010 terjadi insiden sungai tercemar hingga ikan dan kuda nil mati, yang memicu peningkatan kesadaran dan pemberlakuan hukum, meskipun sayangnya tidak berlangsung lama karena perpindahan pejabat lokal.

 Hasil Simulasi: Apa yang Bekerja, Apa yang Tidak

Skenario dasar (baseline) menunjukkan bahwa meskipun kesadaran meningkat secara perlahan, tidak terjadi perbaikan signifikan karena keterbatasan kapasitas dan dukungan kelembagaan.

Skenario simulasi lainnya antara lain:

  •  Fokus pada penghentian tanam di zona sempadan 100m ⇒ penurunan sedimen hanya moderat.
  •  Fokus pada penanaman pohon buah seperti mangga ⇒ dampak sedang, tetapi menjaga produktivitas petani lebih baik.
  •  Fokus pada praktik pertanian rendah polusi ⇒ hasil tertinggi dalam jangka panjang, namun perlu pelatihan dan insentif.

 Gabungan ketiganya + peningkatan kapasitas CLE tiga kali lipat ⇒ dampak tertinggi dan konsisten menurunkan sedimen ke level sebelum 1990.

 Gabungan kebijakan moderat + penegakan hukum lewat denda dari Water Police ⇒ efektif cepat, tapi kesadaran petani naik karena tekanan bukan pemahaman jangka panjang.

 Manfaat Tambahan & Implikasi Kebijakan

Studi ini menyajikan beberapa pelajaran penting:

1. Kesadaran saja tidak cukup, harus disertai dukungan dana dan pelatihan.

2. Penurunan kualitas air selalu melibatkan tradeoff ekonomi: pendapatan petani turun 42–62% bila berpindah ke praktik ramah lingkungan.

3. Model ini bisa digunakan sebagai alat interaktif kebijakan, misalnya untuk menentukan level insentif finansial minimum agar petani mau berhenti menggarap zona sempadan.

4. Kapasitas kelembagaan adalah titik tumpu transformasi: peningkatan efisiensi CLE dan Water Police lebih efektif ketimbang kampanye kesadaran saja.

 Kritik, Opini, dan Koneksi Global

Artikel ini unggul dalam menjembatani pendekatan akademik dan implementasi lapangan. Namun, beberapa keterbatasan patut dicatat:

  •  Asumsi homogen terhadap seluruh petani belum menangkap kompleksitas sosial sepenuhnya (misal: perbedaan gender, akses pasar).
  •  Model tidak memperhitungkan pengaruh harga komoditas global yang bisa mendorong intensifikasi pertanian.

Meski begitu, pendekatan ini sangat relevan bagi negara tropis lainnya seperti Indonesia, di mana pendekatan koproduksi pengetahuan, penyuluhan petani, dan pemberdayaan lembaga desa bisa disimulasikan dengan kerangka serupa.

Penutup

Dengan merangkul paradigma impairthenrepair, model ini membantu kita memahami bahwa krisis kualitas air bukan sekadar masalah teknis, tapi sosial dan institusional. Peningkatan kualitas air bergantung pada keberanian berinovasi di level kebijakan, keberdayaan aktor lokal, dan desain kelembagaan yang inklusif dan visioner.

Sumber :  Carr, G., Barendrecht, M. H., Balana, B. B., & Debevec, L. (2022). Exploring water quality management with a sociohydrological model: A case study from Burkina Faso. Hydrological Sciences Journal, 67(6), 831–846.

Selengkapnya
Mengurai Solusi Kualitas Air Lewat SocioHydrology: Studi Transformasi DAS di Burkina Faso

Sosiohidrologi

Tata Kelola Air di Tengah Krisis Iklim: Pelajaran dari Pertanian Irigasi di Arizona

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 03 Juli 2025


Dalam konteks perubahan iklim yang semakin ekstrem, kelangkaan air menjadi tantangan utama terutama di wilayah kering seperti Arizona. Artikel karya York et al. (2020) membedah secara mendalam bagaimana sektor pertanian irigasi di Central Arizona menavigasi risiko yang kian kompleks melalui dinamika kelembagaan, interaksi sosialhidrologi, serta benturan kepentingan antara petani, penduduk asli, dan otoritas negara. 

Fokus utama studi ini adalah memahami bagaimana keputusan para petani dipengaruhi oleh sistem infrastruktur sosial dan fisik yang terhubung dengan narasi, model mental, dan institusi yang membentuk lanskap kebijakan air Arizona selama beberapa dekade.

 Konteks: Drought Contingency Plan dan Krisis Sungai Colorado

Sebagai latar belakang, krisis air yang dihadapi Arizona diperkuat oleh Drought Contingency Plan (DCP) yang disahkan tahun 2019 untuk menanggulangi ancaman menyusutnya level danau Mead akibat pengambilan berlebih dari Sungai Colorado. Salah satu kebijakan kunci adalah aktivasi Tier Zero, yang mulai memotong pasokan air untuk sektor pertanian di Arizona tengah—khususnya di Pinal County.

Kondisi ini memperuncing konflik lama mengenai hak air antara komunitas penduduk asli seperti Gila River Indian Community (GRIC) dan Colorado River Indian Tribes (CRIT), dan petani Anglo yang selama ini mendapat dukungan lewat berbagai insentif dan kelembagaan.

 Studi Kasus: Pinal County, Perubahan Sumber Air & Efek Ekonomi

Pinal County menjadi titik sentral dalam studi kasus. Di wilayah ini, ketergantungan terhadap air Sungai Colorado diperparah oleh menurunnya cadangan akuifer. Dengan luas lahan pertanian mencapai 425.737 hektare, komoditas utama adalah kapas, alfalfa, dan gandum. Pada 2016, sektor pertanian menyumbang US$1,1 miliar terhadap ekonomi lokal.

Namun, setelah diberlakukannya Tier Zero, petani harus kembali menggunakan air tanah, yang menyebabkan risiko overdraft akuifer meningkat. Tanpa infrastruktur sumur yang memadai (banyak tidak aktif sejak bergantung pada proyek CAP), pemerintah Arizona menganggarkan US$20 juta untuk restorasi infrastruktur air tanah di wilayah ini.

 Tata Kelola dan Kompleksitas Hak Adat atas Air

Salah satu kekuatan studi ini adalah pembahasan mendalam tentang hak air adat berdasarkan putusan pengadilan Winters v. United States (1908), yang mengakui hak tak terhapuskan bagi komunitas adat untuk mendapatkan air sesuai dengan kebutuhan mereka. Di Arizona, GRIC memegang alokasi 740 juta m³ dari proyek CAP (46% dari total pasokan CAP). Namun, tidak semua komunitas diizinkan menyewakan air keluar dari wilayah adatnya, seperti yang dialami CRIT.

Contoh penting: GRIC menyewakan 40,9 juta m³ per tahun selama 25 tahun kepada Central Arizona Groundwater Replenishment District, memungkinkan pengembang perumahan tetap mematuhi aturan Assured Water Supply tanpa mengganggu pasokan kota besar—hal ini sekaligus menjadikan GRIC aktor penting dalam negosiasi DCP.

Namun, konflik muncul ketika GRIC menolak menjual air kepada petani Pinal karena benturan kepentingan atas hak sungai Gila. Ketegangan politik meningkat dengan pernyataan anggota legislatif yang menyudutkan GRIC, mencerminkan narasi dominan dari kelompok Anglo yang cenderung memandang komunitas adat sebagai penghalang alihalih mitra sejajar.

 Kebijakan Lama yang Tidak Adaptif: Flex Credit dan BMP Program

Sistem seperti Flex Credit, yang memungkinkan petani menyimpan hak air yang tidak terpakai dan menggunakannya di kemudian hari, justru menciptakan surplus virtual yang besar (hingga 6,1 miliar m³ di Pinal per 2011). Hal ini berpotensi menyuburkan eksploitasi berlebih ketika permintaan melonjak.

Begitu pula dengan Best Management Practices (BMP) Program, yang awalnya dirancang untuk mendorong konservasi air, namun dalam praktiknya membuka celah bagi penggunaan air lebih besar—terutama oleh sektor peternakan sapi perah dan produksi alfalfa.

Para petani yang memenuhi standar teknologi (misalnya irigasi tetes, laser leveling) dibebaskan dari batasan penggunaan air (water duty). Namun, seperti dicatat dalam wawancara lapangan, kebijakan ini seringkali tidak diikuti oleh perubahan signifikan dalam pola tanam, melainkan digunakan untuk “melegalkan” konsumsi tinggi.

 Kritik terhadap Institusi & Ketidaksiapan terhadap Perubahan Iklim

York dkk. menyimpulkan bahwa kebijakan air Arizona lebih fokus pada pelestarian status quo dan stabilitas politik daripada ketahanan terhadap perubahan iklim. Adaptasi sejati, seperti transisi ke tanaman hemat air, pengembangan sistem pasar air antar sektor, atau transformasi sistemik justru minim dukungan. Narasi konservasi dibingkai dalam konteks "menghindari krisis antar negara bagian"—bukan sebagai respon terhadap ketidakstabilan iklim jangka panjang.

Artikel ini juga memaparkan bagaimana model mental para petani didominasi oleh pemahaman bahwa perubahan iklim bukan sumber risiko utama. Perhatian mereka lebih pada perebutan hak dengan komunitas adat, kekhawatiran terhadap dominasi California, dan intervensi pemerintah.

 Masa Depan: Narasi Baru dan Rekomendasi Transformasi

Penulis merekomendasikan pendekatan kolaboratif berbasis cogovernance yang benarbenar menyertakan aktor adat sebagai mitra strategis. Mereka menggarisbawahi pentingnya:

 Mengembangkan narasi baru yang tidak memosisikan komunitas adat sebagai pesaing, melainkan sebagai pemangku hak yang sah.

 Memfasilitasi pergeseran mental dari pertanian sebagai “penerima subsidi” menjadi “penyedia jasa ekosistem” seperti pendingin kota, ketahanan pangan lokal, dan mitigasi efek pulau panas.

 Menciptakan skema kompensasi berbasis pasar untuk mendorong pengurangan konsumsi air pertanian (mirip dengan Conservation Reserve Program untuk lahan).

 Catatan Penutup: Pelajaran Bagi Dunia Global

Dengan banyak wilayah kering dunia menghadapi tantangan serupa (seperti MurrayDarling Basin di Australia atau lembah sungai di Spanyol dan Afrika Selatan), studi ini memberikan kerangka sistemik berbasis sociohydrological systems yang bisa direplikasi secara global.

Arizona hanyalah gambaran kecil dari konflik antara modernitas, ekologi, dan keadilan sosial. Di situlah letak kekuatan artikel ini—mengajak kita memikirkan ulang arti keberlanjutan, dan siapa yang berhak menentukannya.

Sumber: 

York, A. M., Eakin, H., Bausch, J. C., SmithHeisters, S., Anderies, J. M., Aggarwal, R., Leonard, B., & Wright, K. (2020). Agricultural water governance in the desert: Shifting risks in central Arizona. Water Alternatives, 13(2), 418–445.

Selengkapnya
Tata Kelola Air di Tengah Krisis Iklim: Pelajaran dari Pertanian Irigasi di Arizona

Risiko Bencana

Menavigasi Ketidakpastian: Tantangan dan Peluang Tata Kelola Risiko Bencana di Mozambik

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juli 2025


Mengapa Tata Kelola Risiko Bencana Menjadi Isu Global?

Dalam dua dekade terakhir, bencana alam semakin sering terjadi dan menimbulkan kerugian besar, baik dari sisi ekonomi maupun sosial. Tahun 2017 saja, tercatat 318 bencana alam di seluruh dunia yang memengaruhi 96 juta orang, menyebabkan lebih dari 9.500 kematian, dan kerugian ekonomi mencapai US$314 miliar. Negara-negara berpenghasilan rendah seperti Mozambik menjadi yang paling rentan, karena siklus bencana yang berulang memperparah kemiskinan dan memperlambat pembangunan. Di tengah perubahan iklim dan urbanisasi, tata kelola risiko bencana (Disaster Risk Governance/DRG) menjadi kunci untuk membangun ketahanan masyarakat dan memastikan pembangunan berkelanjutan.

Artikel ini mengulas secara kritis hasil penelitian Jenni Koivisto (2020) tentang tantangan dan peluang tata kelola risiko bencana di Mozambik. Dengan mengangkat studi kasus, data empiris, serta membandingkan dengan tren global, artikel ini diharapkan menjadi referensi strategis bagi pembuat kebijakan, praktisi, dan akademisi di bidang manajemen risiko bencana.

Latar Belakang: Mozambik di Pusaran Bencana dan Ketidakpastian

Sejarah dan Kondisi Sosial-Ekonomi

Mozambik merdeka dari Portugal pada 1975, namun langsung terjerumus dalam perang saudara yang berlangsung hingga 1992. Konflik ini menghancurkan infrastruktur, ekonomi, dan kepercayaan sosial-politik. Hingga kini, Mozambik masih termasuk salah satu negara termiskin di dunia, dengan ketergantungan tinggi pada bantuan luar negeri dan kapasitas tata kelola yang terbatas.

Paparan Bencana Alam

Secara geografis, Mozambik sangat rentan terhadap bencana hidrometeorologi. Antara 1975–2018, negara ini mengalami 34 banjir, 23 badai, 13 kekeringan, dua longsor, satu gempa bumi, dan satu kebakaran besar. Sebagian besar penduduk dan aktivitas ekonomi terkonsentrasi di wilayah pesisir dan dataran rendah, sehingga paparan terhadap banjir dan badai sangat tinggi. Ketergantungan pada pertanian subsisten yang mengandalkan hujan juga memperbesar kerentanan masyarakat terhadap kekeringan.

Dampak Bencana terhadap Pembangunan

Bencana yang berulang menyebabkan kerugian ekonomi besar dan memperlambat pembangunan. Misalnya, banjir besar tahun 2000 menjadi titik balik yang memaksa pemerintah Mozambik untuk mulai mengadopsi pendekatan proaktif dalam manajemen bencana, termasuk pembentukan National Disasters Management Institute (INGC) dan penyusunan Master Plan for Disaster Risk Reduction.

Studi Kasus: Tata Kelola Risiko Bencana di Mozambik

Metodologi Penelitian

Penelitian Koivisto menggunakan pendekatan studi kasus dengan kombinasi wawancara semi-terstruktur, observasi partisipatif, dan analisis dokumen kebijakan. Data dikumpulkan selama dua periode lapangan di Maputo (2013 dan 2015), melibatkan 44 wawancara dengan 52 responden dari kementerian, LSM, lembaga internasional, donor bilateral, dan akademisi.

Temuan Utama: Faktor Pendorong dan Penghambat

Enabler (Faktor Pendorong)

  • Pengalaman Bencana Masa Lalu: Bencana besar seperti banjir 2000 mendorong perubahan kebijakan.
  • Dukungan Internasional: Bantuan teknis dan pendanaan dari lembaga global mempercepat adopsi kebijakan DRR.
  • Partisipasi Multi-Sektor: Keterlibatan berbagai aktor dari pemerintah, LSM, dan masyarakat sipil memperkaya perspektif.
  • Peningkatan Pengetahuan dan Kesadaran: Edukasi dan pelatihan meningkatkan kapasitas aktor lokal.
  • Difusi Kebijakan: Adopsi praktik terbaik dari negara lain melalui kerjasama internasional.

Constraints (Faktor Penghambat)

  • Keterbatasan Sumber Daya: Anggaran dan SDM yang minim membatasi implementasi kebijakan.
  • Kurangnya Koordinasi: Informasi tidak mengalir lancar antar lembaga, menyebabkan tumpang tindih dan inefisiensi.
  • Sistem Politik Hierarkis: Pengambilan keputusan terpusat, partisipasi lokal terbatas.
  • Mandat Tidak Jelas: Tumpang tindih tugas antar lembaga menyebabkan kebingungan.
  • Ambiguitas Konsep DRR: Pemahaman yang berbeda-beda tentang DRR menghambat sinergi.
  • Prioritas pada Respons Bencana: Fokus masih pada penanganan darurat, bukan pencegahan dan pengurangan risiko.

Studi Kasus Lapangan: Relokasi di Lembah Sungai Zambezi

Salah satu kebijakan utama pemerintah Mozambik adalah relokasi penduduk dari dataran banjir di Lembah Sungai Zambezi. Namun, kebijakan ini menuai pro dan kontra:

  • Pendekatan Relokasi: Pemerintah menilai relokasi sebagai solusi utama untuk mengurangi risiko banjir.
  • Preferensi Masyarakat Lokal: Banyak warga lebih memilih tetap tinggal di dekat sungai karena alasan ekonomi dan budaya.
  • Peran LSM dan Organisasi Internasional: Mendorong pendekatan “living with floods” dengan perbaikan infrastruktur dan edukasi, bukan relokasi paksa.

Kebijakan relokasi ini menunjukkan pentingnya mendengarkan suara masyarakat dan mengintegrasikan pengetahuan lokal dalam perumusan kebijakan DRR.

Komite Manajemen Risiko Lokal

Mozambik membentuk komite manajemen risiko di tingkat komunitas yang beranggotakan relawan. Komite ini efektif dalam mobilisasi saat darurat, namun seringkali hanya berfokus pada respons, bukan pengurangan risiko jangka panjang. Selain itu, keterlibatan mereka dalam proses pengambilan keputusan masih sangat terbatas.

Tantangan Desentralisasi

Meskipun struktur DRR di Mozambik secara formal mengikuti pendekatan multi-level (nasional, provinsi, distrik, lokal), kenyataannya, kapasitas dan sumber daya di tingkat sub-nasional sangat terbatas. Desentralisasi belum berjalan optimal karena distribusi kekuasaan dan anggaran masih terpusat.

Analisis Kritis: Ketidakpastian, Koordinasi, dan Dinamika Kekuasaan

Ketidakpastian dalam Tata Kelola

Penelitian ini menyoroti bahwa ketidakpastian dalam DRG tidak hanya berasal dari kurangnya data atau pengetahuan, tetapi juga dari dinamika strategis dan institusional. Semakin banyak aktor yang terlibat, semakin kompleks koordinasi dan semakin besar potensi konflik kepentingan.

Advocacy Coalition Framework (ACF) dalam DRR

Koivisto menggunakan pendekatan ACF untuk menganalisis koalisi aktor dalam subsistem kebijakan DRR di Mozambik. Terdapat dua koalisi utama:

  • Koalisi Manajemen Bencana: Melihat DRR sebagai bagian dari respons bencana.
  • Koalisi Pembangunan Partisipatif: Memahami DRR sebagai isu pembangunan yang membutuhkan partisipasi masyarakat.

Meskipun perbedaan tidak terlalu tajam, pergeseran anggota koalisi dan ambiguitas peran sering menghambat pengambilan keputusan.

Dampak Tingginya Pergantian Staf

Tingkat pergantian staf yang tinggi di lembaga-lembaga DRR menyebabkan hilangnya pengetahuan institusional, melemahkan kapasitas organisasi, dan menghambat kesinambungan program. Dampak negatif ini lebih terasa jika staf keluar dari sistem DRR secara keseluruhan, bukan hanya pindah antar lembaga di dalam sistem.

Pengaruh Global dan Ketergantungan Donor

Mozambik sangat bergantung pada pendanaan dan arahan dari lembaga internasional. Seringkali, prioritas program lebih ditentukan oleh agenda donor daripada kebutuhan lokal. Hal ini menyebabkan ketidaksesuaian antara kebijakan nasional dan kebutuhan masyarakat di lapangan.

Angka-Angka Kunci dari Penelitian

  • Jumlah bencana 1975–2018: 34 banjir, 23 badai, 13 kekeringan, 2 longsor, 1 gempa bumi, 1 kebakaran besar.
  • Dampak bencana 2017 (global): 318 bencana, 96 juta terdampak, 9.500 kematian, US$314 miliar kerugian.
  • Jumlah wawancara penelitian: 44 wawancara, 52 responden dari berbagai sektor.
  • Cakupan relokasi: Ribuan warga di Lembah Zambezi direlokasi pasca banjir besar.

Perbandingan dengan Tren Global dan Studi Lain

Benchmarking Internasional

  • Negara-negara maju umumnya sudah mengadopsi tata kelola risiko bencana yang kolaboratif, adaptif, dan transparan, dengan desentralisasi yang kuat.
  • Negara berkembang seperti Mozambik masih menghadapi tantangan besar dalam hal kapasitas, koordinasi, dan ketergantungan pada donor.
  • Studi di Asia dan Amerika Latin menunjukkan bahwa keberhasilan DRR sangat ditentukan oleh partisipasi masyarakat, desentralisasi, dan integrasi DRR ke dalam kebijakan pembangunan.

Opini dan Kritik

  • Kelebihan Mozambik: Komitmen politik untuk menempatkan DRR di agenda nasional cukup kuat, didukung oleh kerjasama internasional yang intensif.
  • Kekurangan: Implementasi kebijakan masih lemah, partisipasi masyarakat terbatas, dan sistem terlalu bergantung pada individu kunci yang rentan terhadap pergantian staf.
  • Peluang: Dengan memperkuat kapasitas lokal, memperluas desentralisasi, dan mengintegrasikan pengetahuan lokal, Mozambik dapat menjadi model bagi negara-negara lain di Afrika.

Rekomendasi Strategis untuk Masa Depan

1. Penguatan Kapasitas Lokal dan Desentralisasi

  • Pelatihan dan transfer pengetahuan harus difokuskan pada level provinsi, distrik, dan komunitas.
  • Desentralisasi anggaran dan kewenangan agar pengambilan keputusan lebih responsif terhadap kebutuhan lokal.

2. Kolaborasi Multi-Sektor dan Multi-Stakeholder

  • Membangun forum dialog antara pemerintah, LSM, donor, dan masyarakat untuk merumuskan kebijakan DRR yang inklusif.
  • Mendorong partisipasi masyarakat dalam perencanaan, implementasi, dan evaluasi program DRR.

3. Integrasi DRR ke dalam Pembangunan

  • DRR harus menjadi bagian integral dari kebijakan pembangunan nasional dan daerah, bukan sekadar respons darurat.
  • Penguatan sistem monitoring dan evaluasi untuk memastikan kebijakan benar-benar diimplementasikan dan berdampak nyata.

4. Manajemen Pengetahuan dan Retensi SDM

  • Dokumentasi dan transfer pengetahuan harus menjadi prioritas untuk mengurangi dampak negatif pergantian staf.
  • Insentif dan jenjang karier bagi staf DRR agar mereka bertahan lebih lama di sistem.

5. Adaptasi terhadap Perubahan Iklim

  • Integrasi DRR dan adaptasi perubahan iklim dalam perencanaan pembangunan, mengingat Mozambik sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Hubungan dengan Tren Industri dan Kebijakan Global

  • Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015–2030 menekankan pentingnya tata kelola risiko bencana yang inklusif, transparan, dan berbasis data.
  • SDGs (Sustainable Development Goals), khususnya SDG 11 dan 13, menuntut negara-negara untuk membangun kota dan komunitas yang tangguh serta mengambil aksi nyata terhadap perubahan iklim.
  • Industri asuransi dan keuangan mulai melirik DRR sebagai bagian dari manajemen risiko investasi, membuka peluang kemitraan baru antara sektor publik dan swasta.

Kesimpulan: Menuju Tata Kelola Risiko Bencana yang Tangguh dan Inklusif

Penelitian Jenni Koivisto (2020) menegaskan bahwa tata kelola risiko bencana di Mozambik masih menghadapi tantangan besar, mulai dari ketidakpastian institusional, koordinasi yang lemah, hingga ketergantungan pada donor. Namun, komitmen politik, pengalaman bencana masa lalu, dan dukungan internasional menjadi modal penting untuk membangun sistem yang lebih tangguh dan inklusif.

Kunci keberhasilan ke depan terletak pada penguatan kapasitas lokal, desentralisasi, kolaborasi multi-stakeholder, dan integrasi DRR ke dalam kebijakan pembangunan. Dengan demikian, Mozambik tidak hanya mampu mengurangi dampak bencana, tetapi juga mempercepat pembangunan berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

Sumber asli:
Jenni Koivisto (2020), Navigating in the Midst of Uncertainties: Challenges in disaster risk governance in Mozambique, EBA Dissertation Brief 2020:09, November 2020, Expertgruppen för biståndsanalys, Sverige.

Selengkapnya
Menavigasi Ketidakpastian: Tantangan dan Peluang Tata Kelola Risiko Bencana di Mozambik
« First Previous page 13 of 1.119 Next Last »