Perekonomian Global
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 04 Desember 2025
Yordania telah lama menjadi mitra ekonomi strategis bagi Amerika Serikat melalui U.S.–Jordan Free Trade Agreement (FTA) sejak 2001. Secara tarif, hampir seluruh produk AS sudah bebas bea sejak 2010. Namun, struktur hambatan non-tarif Yordania tetap signifikan—terutama melalui pajak impor khusus, proses lisensi yang lambat, prosedur sampling yang tidak konsisten, preferensi domestik dalam pengadaan, serta pembatasan investasi di sektor jasa. Tahun 2025 menunjukkan bahwa meskipun FTA memberikan akses tarif luas, hambatan administratif dan teknis tetap menciptakan friksi besar bagi eksportir global.
Pajak Impor Tambahan: Struktur Tinggi Meskipun Tarif Nol
Walau tarif impor AS hampir sepenuhnya dihapus dalam FTA, Yordania tetap memberlakukan special tax di atas General Sales Tax (GST). Contohnya:
15% special tax pada minuman berkarbonasi,
pajak kendaraan yang sangat tinggi:
67–94% untuk mobil berbahan bakar konvensional,
50% untuk hybrid,
10–15% untuk kendaraan listrik.
Karena Yordania tidak memiliki industri otomotif domestik, pajak ini berdampak hampir sepenuhnya pada impor.
Pola perubahan pajak bersifat ad hoc, sehingga eksportir dan importir sulit memprediksi total landed cost dari waktu ke waktu.
Lisensi Impor: Proses Lambat, Sektoral, dan Kurang Transparan
Beberapa komoditas memerlukan lisensi impor yang diterbitkan oleh:
Kementerian Kesehatan (produk pangan tertentu),
Kementerian Pertanian (komoditas agrikultur & hewan hidup),
Ministry of Industry, Trade, and Supply (jika ada sektor baru yang “dilindungi”).
Tantangan utama:
waktu pemrosesan lambat,
dokumen tambahan sering diminta tanpa pedoman jelas,
eksportir AS menghadapi penolakan lisensi terutama untuk chicken leg quarters dan sapi perah hidup,
lisensi khusus diperlukan untuk telekomunikasi dan peralatan keamanan.
Proses ini sering bergantung pada interpretasi pejabat sektor, menyebabkan ketidakpastian tinggi bagi pelaku usaha.
Kepabeanan & Transparansi TFA: Kewajiban WTO yang Tertunda
Yordania telah meratifikasi WTO Trade Facilitation Agreement, tetapi hingga kini belum menyerahkan empat notifikasi transparansi:
regulasi impor–ekspor–transit,
penggunaan broker bea cukai,
titik kontak pertukaran informasi,
implementasi sistem single window.
Keterlambatan tersebut:
menghambat prediktabilitas prosedur bea cukai,
membuat eksportir sulit merencanakan proses clearance,
meningkatkan risiko biaya penyimpanan dan demurrage.
Teknik Sampling Impor Jagung: Penyebab Penolakan Berulang
Kementerian Pertanian Yordania tidak mengikuti prosedur sampling biji-bijian yang ditetapkan oleh Jordan Standards and Metrology Organization (JSMO).
Konsekuensinya:
penolakan terhadap pengapalan jagung asal AS,
ketidaksesuaian metode sampling,
penurunan drastis impor jagung AS (hanya sekitar $300.000 pada 2023),
masalah berulang meski telah ada sertifikat inspeksi FGIS-AS hingga 2027 dan diperpanjang kembali pada 2024.
Bagi eksportir, hal ini menciptakan risiko tinggi karena penolakan sering terjadi setelah pengiriman tiba, bukan sebelum berangkat.
Pengadaan Pemerintah: Preferensi Lokal 15% dan Prioritas Otomatis
Kebijakan pengadaan publik Yordania masih protektif:
15% harga preferensi bagi perusahaan domestik di semua tender,
priority rule: bila harga dan spesifikasi sama, perusahaan lokal otomatis menang,
regulasi diperkuat melalui Bylaw No. 8/2022.
Yordania juga bukan anggota GPA WTO; proses aksesi yang dibuka pada 2002 terhenti sejak 2014.
Akibatnya, standar pengadaan internasional tidak sepenuhnya diterapkan.
Perlindungan Kekayaan Intelektual: Penegakan Lemah di Kanal Fisik & Digital
Meski ada perbaikan hukum, pelanggaran IP tetap terjadi:
pembajakan digital meluas,
barang fisik palsu beredar di pasar,
penindakan bergantung pada sumber daya terbatas di National Library (otoritas IP utama),
penegakan proaktif (ex officio) jarang dilakukan.
Cyber Crime Law 2023 memang memperluas kriminalisasi konten ilegal, termasuk bajakan, namun kapasitas penegakannya masih terbatas.
Hambatan Investasi: Aturan 50% Maksimum untuk Sejumlah Sektor Kunci
Investment Environment Law No. 21 (2022) dan Bylaw No. 7 (2023) memang menyederhanakan beberapa aturan investasi, tetapi tetap membatasi kepemilikan asing maksimal 50% di sektor:
perdagangan grosir & ritel,
distribusi, impor, dan ekspor,
konstruksi & rekayasa,
agensi komersial,
broker asuransi,
F&B services,
berbagai moda transportasi & jasa kepabeanan.
Pembatasan ini membuat banyak perusahaan asing harus mencari mitra lokal meski tidak diperlukan secara operasional.
Penutup
Hambatan perdagangan Yordania 2025 menggambarkan ketegangan antara komitmen FTA yang sangat liberal secara tarif dan kenyataan administratif yang penuh hambatan. Struktur pajak impor yang tinggi, lisensi yang lambat dan tidak transparan, teknik sampling pertanian yang bermasalah, preferensi domestik dalam pengadaan, serta pembatasan investasi jasa menunjukkan bahwa pasar Yordania, meski strategis di kawasan Levant, tetap menuntut strategi kepatuhan dan perencanaan risiko yang matang bagi pelaku usaha global.
Daftar Pustaka
Office of the United States Trade Representative. 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers – Jordan Section.
Perekonomian Global
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 04 Desember 2025
Sebagai ekonomi maju dengan standar industri tinggi, Jepang sering dikaitkan dengan regulasi yang stabil dan institusi yang matang. Namun, bagi eksportir global, Jepang tetap menjadi salah satu pasar paling kompleks di dunia. Struktur tarif pertanian yang tinggi, sistem TRQ yang rumit, mekanisme SPS berbasis kehati-hatian, pengaturan digital platform yang semakin intervensif, serta hambatan akses di sektor otomotif menunjukkan bahwa Jepang, meski pasar maju, tetap mempertahankan proteksi signifikan.
Tarif dan TRQ: Rendah untuk Industri, Tinggi dan Sensitif di Pertanian
Jepang memiliki tarif MFN rata-rata:
3,7% keseluruhan,
2,4% non-pertanian,
12,2% pertanian.
Tarif rendah untuk industri sering menutupi kenyataan bahwa sektor pertanian Jepang tetap sangat protektif. Berbagai komoditas AS masih terkena tarif tinggi, termasuk:
beras,
dairy,
jus buah dan minuman,
permen & cokelat,
buah segar (anggur, stroberi),
blueberry, citrus,
gula,
pakan hewan dan pet food.
Sistem TRQ (Tariff-Rate Quota) Agrikultur
Jepang mempertahankan TRQ dengan proses administrasi yang rumit dan tidak transparan, terutama dalam komoditas:
ikan & seafood (pollock, cod, squid, roe, scallops, kelp),
kulit & footwear,
beras,
gandum,
pork (melalui mekanisme gate price).
Tarif out-of-quota untuk beberapa komoditas bisa mencapai 30% atau ¥4.300/pasang (untuk footwear), menjadikan biaya impor berlipat ganda.
Hambatan Non-Tarif: Sistem Distribusi Beras, Markup, dan Gate Price Pork
Beras
Impor beras sangat dikontrol oleh MAFF melalui:
ordinary minimum access (OMA): impor masuk tetapi dialihkan ke non-table uses (pakan, industri, food aid),
simultaneous-buy-sell (SBS): satu-satunya jalur menuju konsumen, tetapi volume minim.
Markup TRQ beras mencapai ¥292/kg pada 2024, memotong margin eksportir dan menghambat kompetisi.
Gandum
MAFF membeli gandum impor dengan tarif rendah lalu menjual ke miller domestik dengan markup signifikan—praktik state trading yang tetap diawasi ketat AS.
Pork
Mekanisme gate price (variable levy) bertujuan melindungi produsen domestik dari impor berharga murah. Walau USJTA menurunkan beban tarif, mekanisme ini tidak dihapus dan tetap menjadi hambatan struktural.
Ikan & Seafood: TRQ yang Mahal dan Alokasi Kuota Lambat
Walau Jepang mengurangi beberapa tarif, impor seafood masih terhambat oleh:
kuota yang membatasi volume (pollock, cod, roe, squid, scallops),
biaya tinggi untuk mendapatkan alokasi kuota,
birokrasi yang sering tertunda.
Proses kuota dapat menghambat perusahaan AS dalam memenuhi permintaan pasar Jepang yang besar dan stabil.
SPS dan Food Safety: Pengawasan Ketat dan Pendekatan yang Tidak Selalu Berbasis Risiko
Pengalihan Kewenangan
Per April 2024, administrasi standar keamanan pangan dipindahkan dari MHLW ke Consumer Affairs Agency—sementara pengawasan fisik tetap di MHLW. Transisi ini menimbulkan:
potensi duplikasi prosedur,
ketidakpastian perubahan regulasi,
kekhawatiran bahwa regulasi baru tidak sepenuhnya berbasis sains.
MRL dan Enhanced Surveillance
Jika satu eksportir melanggar MRL, seluruh produk dari negara tersebut masuk enhanced surveillance:
1 pelanggaran → pengawasan ketat,
2 pelanggaran → semua impor ditahan hingga lolos uji laboratorium.
Pendekatan ini memperlakukan kasus individual sebagai masalah sistemik, menciptakan risiko tinggi bagi eksportir yang historis patuh.
Fungisida
Japan membedakan fungisida pre-harvest (diklasifikasi sebagai pestisida) dan post-harvest (diklasifikasi sebagai food additives).
Konsekuensinya:
produk impor wajib mencantumkan daftar fungisida,
sementara produk domestik jarang perlu perlakuan pascapanen karena distribusi dekat.
Perbedaan teknis ini menghasilkan persepsi negatif terhadap produk impor meski tingkat keamanan setara.
Produk Hewan, Daging, dan SRM: Aturan BSE Lebih Ketat dari Standar Internasional
Jepang mempertahankan definisi SRM (specified risk materials) yang:
lebih ketat dari standar WOAH,
berbeda dari regulasi FSIS AS,
mewajibkan penghilangan lebih banyak bagian kepala ternak.
Konsekuensi utamanya adalah biaya tambahan verificative audits oleh pihak ketiga karena FSIS tidak memverifikasi bagian tambahan tersebut.
Plant Health: Akses Terbatas untuk Kentang, Apel, dan Stone Fruit
Table-stock potatoes: baru sebatas chipping potatoes; pest risk assessment untuk table-stock masih berjalan.
Apples: AS mendorong penerapan systems approach agar tidak perlu fumigasi mahal.
Plums & stone fruit: akses diberikan bertahap tetapi fumigasi wajib tetap menjadi penghambat.
Government Procurement: Spesifikasi Teknis yang Memihak Produk Domestik
Walaupun Jepang merupakan anggota WTO GPA, perusahaan asing melaporkan:
spesifikasi teknis tender sering dipersempit agar hanya pemain domestik yang memenuhi,
tekanan informal untuk memilih perusahaan Jepang,
kurangnya transparansi proses.
AS menilai pola ini mengurangi kompetisi dan menghambat masuknya teknologi luar negeri.
Digital Economy: Regulasi Platform dan TBA Menambah Beban Perusahaan Asing
Digital Platform Act
METI menetapkan kewajiban tambahan untuk platform besar:
transparansi algoritma,
pelaporan rutin,
kewajiban audit,
mitigasi “abuse of superior bargaining position.”
Namun, klasifikasi “specified platform” tidak proporsional dan lebih banyak menargetkan perusahaan AS dibanding Jepang.
Telecommunications Business Act (2021)
Operator lintas-batas wajib:
mendaftar sebagai penyedia telekomunikasi,
memiliki perwakilan fisik di Jepang,
tunduk pada semua kewajiban disclosure dan reporting.
Hal ini menciptakan hambatan besar bagi layanan streaming, cloud, dan platform SaaS internasional.
Express Delivery dan Layanan Pos: Perlakuan Tidak Setara
Japan Post Co.:
dikenai aturan bea masuk berbeda,
deklarasi EMS lebih ringan,
diawasi oleh satu regulator (MIC).
Sementara operator ekspres asing:
tunduk pada beberapa kementerian,
menghadapi proses deklarasi penuh,
melewati inspeksi yang lebih rumit.
Renewable Energy dan Storage Batteries: Hambatan Baru dalam Sektor Hijau
Grid Capacity Bottleneck
Utilitas Jepang dianggap:
menahan kapasitas grid,
menyatakan “overcapacity” meski kapasitas sebenarnya tersedia,
menjaga ruang untuk reaktor nuklir non-operasional.
Storage Battery Auction (2025)
METI mensyaratkan waste-disposal certification untuk mengikuti tender baterai industri, yang:
hanya dimiliki perusahaan Jepang per Des 2024,
memunculkan de facto exclusion terhadap perusahaan asing,
memicu dugaan bahwa kebijakan dirancang untuk memenangkan pemain domestik.
Automotive Sector: Standar Unik, Subsidi Bias, dan Infrastruktur EV yang Tidak Setara
Hambatan utama:
tidak menerima FMVSS AS sebagai ekuivalen,
standar testing dan protokol kendaraan unik,
spektrum khusus kendaraan berbeda dari global (baru 2025 diselaraskan ke 433.92 MHz),
subsidi BEV jauh lebih rendah dari FCEV yang didominasi produsen lokal,
kebijakan CHAdeMO untuk stasiun charging,
EV superchargers asing membutuhkan keluar-masuk tol berbayar, sementara perusahaan Jepang tidak.
Walau ada kemajuan kecil, hambatan struktural tetap signifikan.
IP, GI, dan Layanan Profesional
Sistem GI Jepang memberikan perlindungan otomatis bagi beberapa istilah dari UE, mengurangi transparansi.
U.S. universities tidak diperlakukan setara dengan kampus lokal (pajak, beasiswa, hibah penelitian).
Proteksi attorney–client privilege sangat terbatas, tidak mencakup lawyer asing.
Penutup
Hambatan perdagangan Jepang 2025 memperlihatkan kombinasi unik antara proteksionisme agrikultur klasik dan hambatan modern berbasis regulasi teknis, SPS, digital platform, dan standar otomotif. Meskipun Jepang adalah ekonomi maju, pola hambatannya menyerupai dua kutub: sangat terbuka dalam tarif industri, tetapi sangat tertutup dalam pertanian, layanan domestik, dan ekosistem digital.
Akses pasar Jepang menuntut:
pemahaman mendalam atas TRQ dan sistem tender MAFF,
fleksibilitas terhadap standar teknis unik Jepang,
kesiapan menghadapi regulasi platform digital yang intensif,
kehati-hatian dalam sektor otomotif dan energi terbarukan,
navigasi compliance lintas beberapa kementerian yang berbeda.
Dalam konteks global, Jepang tetap pasar bernilai tinggi tetapi sekaligus salah satu yang paling kompleks secara regulatif bagi pelaku usaha internasional.
Daftar Pustaka
Office of the United States Trade Representative. 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers – Japan Section.
Perekonomian Global
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 04 Desember 2025
Israel merupakan salah satu mitra dagang paling maju di Timur Tengah dan memiliki hubungan ekonomi yang sudah lama terjalin dengan Amerika Serikat melalui U.S.–Israel Free Trade Agreement (FTA) sejak 1985. Walau tarif produk non-pertanian telah dihapus sepenuhnya pada 1995, beragam hambatan perdagangan tetap signifikan—terutama di sektor agrikultur, standardisasi teknis, serta pengadaan pemerintah. Tahun 2025 memperlihatkan bahwa reformasi regulasi terbaru justru menciptakan pola preferensi teknis baru yang berpotensi meminggirkan produk non-Eropa dan memperluas ketidakpastian bagi eksportir global.
Struktur Tarif: Rendah untuk Non-Agrikultur, Tinggi untuk Pertanian Sensitif
Israel mempertahankan salah satu struktur tarif non-agrikultur terendah di dunia (rata-rata 2,4%). Namun tarif pertanian masih tinggi:
tarif rata-rata agrikultur: 13,7%,
75,6% pos tarif terikat di WTO (cukup rendah tingkat bound coverage-nya),
variasi besar untuk produk sensitif: dairy, buah segar, almond, wine, ikan segar, dan beberapa processed foods.
Sistem tariff-rate quotas (TRQ) di bawah ATAP (Agricultural Trade Agreement) terus diperpanjang hingga 2025 dan menjadi salah satu hambatan paling substansial. TRQ mencakup:
skema tarif preferensial minimal 10% lebih rendah dari MFN,
alokasi kuota yang rumit per komoditas,
keterbatasan akses untuk produk bernilai tinggi.
Reformasi pertanian 2022 mulai menurunkan tarif untuk dairy, meat, dan fresh produce, tetapi realisasi akses pasar tetap terbatas.
Regulasi Teknis: Reformasi 2024 Memihak Standar Uni Eropa
Pada 4 Agustus 2024, Israel mengadopsi empat amandemen hukum standardisasi yang memungkinkan produk impor bersertifikasi mandiri berdasarkan standar EU untuk langsung memasuki pasar. Sebaliknya:
produk yang mengikuti standar AS atau standar lain harus melalui approval tambahan oleh Standards Institution of Israel (SII),
cakupan mencakup “dozens of consumer products,” termasuk produk agrikultur tertentu.
Implikasinya:
produk yang mengikuti standar UE mendapatkan keuntungan kompetitif,
produsen non-EU menghadapi proses sertifikasi ganda,
biaya dan durasi compliance meningkat secara signifikan.
Stakeholder AS mencemaskan bahwa kebijakan baru ini menciptakan semacam technical alignment bias, yang dapat memicu EU-centric market preference—bukan memperluas akses, tetapi mempersempitnya.
SPS dan Food Law Baru: Ketidakpastian Tinggi karena Akses Informasi Terbatas
Mulai 1 Januari 2025, Israel menerapkan 40 regulasi baru di bawah Protection of Public Health (Food Law). Tantangan utama:
perubahan dan tanggal implementasi sering direvisi,
draft regulasi hanya tersedia melalui database berbayar Nevo Legal Database,
importir Israel sangat bergantung pada firma hukum untuk update,
eksportir luar negeri kesulitan memprediksi persyaratan baru pada tahap awal produksi.
Bagi eksportir agrikultur AS, hal ini menciptakan:
risiko labeling atau formula non-compliance,
potensi penolakan impor akibat perubahan mendadak,
biaya penyesuaian yang harus dilakukan tanpa visibilitas regulatif lengkap
Pengadaan Pemerintah: Offset Tinggi hingga 50% dan Unlimited Liability
Meskipun Israel adalah anggota WTO Government Procurement Agreement (GPA), implementasi domestiknya tetap memunculkan hambatan besar:
a. Offset Requirements
Diatur melalui International Cooperation (IC) Agreements.
Kewajiban offset saat ini:
20% untuk tender yang covered oleh GPA,
35% untuk tender non-covered,
50% untuk pengadaan militer.
Offset dapat berupa:
investasi di industri lokal,
co-development atau co-production,
subcontracting ke perusahaan Israel,
pembelian langsung dari industri domestik.
Offset tinggi membuat perusahaan asing—terutama UKM—enggan mengikuti tender, sehingga kompetisi pasar berkurang.
b. Unlimited Liability Clause
Banyak tender pemerintah mencantumkan klausul unlimited liability, yang:
menciptakan risiko hukum dan finansial tidak terhingga,
meningkatkan premi asuransi secara signifikan,
membuat penawaran AS menjadi kurang kompetitif dibanding perusahaan lokal.
c. Defense Procurement MOU
Walau AS telah membuka pasarnya bagi produk pertahanan Israel, Israel belum sepenuhnya memberikan akses sepadan:
perusahaan AS wajib memiliki agen lokal,
harus memiliki rekening bank Israel untuk transaksi,
peraturan transaksi menggunakan Shekel menambah hambatan.
Digital Trade dan Data Localization: Pembatasan Transfer Data Mirip GDPR
Israel tidak menerapkan lokalisasi data penuh, tetapi membatasi transfer data lintas-batas dengan pola yang semakin serupa dengan UE:
transfer data hanya boleh dilakukan jika negara tujuan dianggap “adequate,” atau
menggunakan standard contract clauses sesuai aturan Privacy Protection Authority.
Sejak Juli 2023, Israel menerima EU–U.S. Data Privacy Framework sebagai mekanisme pemenuhan syarat, tetapi:
aturan sektoral tetap dapat membatasi jenis data tertentu,
perusahaan multinasional harus melakukan segmentasi data antara server UE, Israel, dan negara ketiga,
compliance cost meningkat bagi layanan cloud global dan platform digital.
Kombinasi GDPR-like rules dan kurangnya transparansi dalam draft regulasi baru menciptakan ketidakpastian bagi penyedia layanan digital asing.
Penutup
Hambatan perdagangan Israel tahun 2025 mencerminkan pergeseran dari sekadar tarif menuju hambatan regulatif, teknis, dan administratif yang kompleks. Reformasi standardisasi 2024 yang memihak standar UE, ketidakpastian Food Law, struktur offset tinggi, dan pembatasan transfer data menunjukkan bahwa akses pasar Israel mengharuskan perusahaan global untuk:
memahami dinamika regulasi berbasis Eropa,
menyiapkan strategi berbasis compliance jangka panjang,
mengantisipasi biaya offset dan risiko kontraktual,
serta menyesuaikan arsitektur data dengan aturan privasi Israel.
Dalam konteks pasar maju, Israel menawarkan nilai komersial besar namun dengan persyaratan kepatuhan yang menuntut ketelitian dan kesiapan regulatif yang konsisten.
Daftar Pustaka
Office of the United States Trade Representative. 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers – Israel Section.
Perekonomian
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 02 Desember 2025
Penulis: cakHP (Heru Prabowo)

PROLOG — “Kenapa Semua Datang … Walau Mengeluh?”
Di sebuah lounge bandara Soekarno–Hatta, seorang banker Eropa berbincang dengan jurnalis Asia.
“Pasar Indonesia berat sekali. Regulasi berubah-ubah, perizinan lambat, ESG ribet. Kenapa kalian tetap datang?”
Banker itu mengangkat alis:
> “Karena kalau kami tidak datang sekarang, 10 tahun lagi kami hanya bisa menonton dari pinggir.”
Itulah paradoks investasi Indonesia hari ini. Semua pemain global menggerutu soal kerumitan operasional, namun tak satu pun berani benar-benar keluar dari meja permainan. Indonesia bukan tempat nyaman untuk modal. Tapi ia adalah tempat yang terlalu penting untuk dilewatkan.
.

I. NEGERI YANG TAK BISA DIHINDARI
Dengan hampir 280 juta penduduk, Indonesia merupakan pasar domestik terbesar keempat dunia. Konsumsi rumah tangga berkontribusi lebih dari 50% PDB, menjadikannya jangkar stabilitas pertumbuhan nasional.
Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan Indonesia akan bertahan di rata-rata 5,1% (2024–2026), di tengah ekonomi global yang resah dan terfragmentasi. [^1]
Namun magnet terbesar tak berhenti pada angka PDB.
By 2040, Indonesia diproyeksikan memiliki 63 juta rumah tangga dengan disposable income di atas USD 15.000 — jumlah ini melampaui total kelas konsumen Australia, Malaysia, dan Thailand digabung. [^2]
Tak ada pasar ASEAN lain yang memiliki:
ukuran populasi setara,
konsumsi domestik dominan,
stabilitas sosial relatif terjaga,
dan posisi geostrategis tepat di jalur Indo–Pasifik.
Indonesia menghadirkan market inevitability —sebuah pasar yang secara struktural tak dapat ditinggalkan oleh modal global.
Namun di balik daya tarik itu tersimpan realitas kurang nyaman:
Sekitar 47% penduduk tetap berada di zona aspiring middle class —rentan kembali terpuruk akibat rendahnya produktivitas tenaga kerja. [^3]
Indonesia tumbuh cepat, tetapi belum sepenuhnya tumbuh naik kelas.
.

II. UPAYA NAIK KELAS: DOWNSTREAMING & TRANSISI ENERGI
Untuk mematahkan kutukan eksportir bahan mentah, Indonesia melakukan lompatan industrial lewat downstreaming mineral strategis — terutama pada rantai baterai kendaraan listrik.
Peta faktanya impresif:
Produsen nikel terbesar dunia,
Produsen kobalt terbesar ke-2,
Produsen tembaga terbesar ke-6. [^4]
Inilah fondasi untuk menjadikan Indonesia pusat manufaktur baterai Asia tropis. Namun setiap lompatan menciptakan eksposur baru.

Risiko Geopolitik Rantai Pasok
Sekitar 82% ekspor nikel Indonesia terserap oleh jaringan industri Tiongkok.[^5]
Ketergantungan ini memunculkan potensi:
sanctions exposure,
tekanan politik dagang,
fragmentasi rantai pasok Barat–China.
Indonesia berada tepat di garis patahan geopolitik industri masa depan.

Risiko ESG: “Dirty Nickel”
Produksi nikel laterit Indonesia termasuk paling intensif energi di dunia dan masih dominan bergantung pada PLTU batubara.
Emisi karbon nikel Indonesia tercatat 2–6 kali lebih tinggi dibanding supply sulfida dari negara maju. [^6]
Di pasar Barat — dimana ESG kini menjadi mandat institusional — bukan harga yang menentukan daya serap pasar, tetapi jejak karbon.
> Tanpa dekarbonisasi nyata, keuntungan finansial dapat berubah menjadi “produk terlarang.”
.

III. STABILITAS MAKRO — DENGAN VOLATILITAS GLOBAL
Indonesia menikmati reputasi makro langka:
Peringkat Investment Grade dari S&P, Moody’s, dan Fitch sejak 2017.[^7]
Inflasi relatif terkendali.
Defisit fiskal disiplin di bawah 3% PDB.
Namun stabilitas domestik tidak membebaskan Indonesia dari volatilitas finansial global.
Kebijakan Federal Reserve AS masih menjadi pemicu:
outflow portofolio siklikal,
tekanan kurs rupiah,
fluktuasi premi risiko.
Indonesia bukan rapuh —tetapi ia tetap sensitif. Investor jangka panjang paham:
> Tantangan bukan soal fundamental domestik, tapi soal external shock transmission.

IV. DANANTARA — INSTITUTIONAL HEDGE
Untuk memotong labirin birokrasi dan ketidakpastian lintas BUMN, pemerintah membentuk Badan Pengelola Investasi Danantara.
INA — sebagai sovereign wealth fund modern —lebih dulu membangun kredibilitas dengan:
Rating Fitch BBB,
penerapan Santiago Principles. [^8]
Danantara memperluas mandat jauh di atas INA:
konsolidasi aset BUMN strategis,
koordinasi industrialisasi nasional,
potensi pengelolaan aset hingga ±USD 982 miliar AUM secara bertahap. [^9]
Bagi investor, Danantara bukan jaminan profit, tetapi:
> sebuah institutional risk buffer terhadap regulasi tak sinkron dan perubahan kebijakan mendadak.

V. TIGA LUKA STRUKTURAL
Di balik stabilitas, Indonesia masih bergulat dengan tiga hambatan klasik:
1. Penegakan Hukum
Skor CPI 2024: 37/100, peringkat 99 dunia.[^10]
Hubungan personal sering lebih menentukan daripada kepastian kontrak.
2. Konflik Agraria
PSN dan tambang kerap menimbulkan resistensi lokal, menunda proyek, serta memicu risiko reputasi ESG.[^11]
3. Kesenjangan SDM
Indonesia membutuhkan ±57 juta tenaga kerja terampil sebelum 2030 untuk menopang industrialisasi bernilai tambah.[^12]
Tanpa lonjakan kualitas SDM:
> downstreaming berhenti di smelter —bukan manufaktur kelas dunia.

VI. REFORMASI RULE-BASED
Pemerintah baru memacu:
Finalisasi EU–CEPA,
Proses aksesi OECD,
harmonisasi standar regulasi menuju rule-based governance.
Ini adalah indikator utama masa depan iklim investasi Indonesia. Bukan janji, tapi realisasi.

VII. SINTESIS STRATEGIS
Indonesia menawarkan:
Potensi:
Pasar konsumen masif, mineral kritis, dan posisi Indo–Pasifik strategis.
Kekuatan:
Stabilitas makro & superholding Danantara sebagai institutional hedge.
Kelemahan:
Rule of law rapuh, emisi industri, SDM tertinggal.
Ancaman*:
ESG embargo, konflik geopolitik rantai pasok, siklus capital flight.

Tiga Imperatif Investor Cerdas:
1. Gunakan jalur INA–Danantara sebagai payung risiko kelembagaan.
2. Jadikan dekarbonisasi sebagai investasi inti, bukan biaya tambahan.
3. Pantau kemajuan OECD & CEPA sebagai kompas kepastian hukum.
.

EPILOG
Indonesia tidak menawarkan jalan pintas.
Ia menawarkan hadiah besar bagi modal yang sabar dan strategis.
Tidak berinvestasi berarti kehilangan akses pasar masa depan Asia.
Namun masuk tanpa strategi kelembagaan dan ESG adalah kesalahan fatal.
> Indonesia bukan untuk modal murah.
> Ia adalah panggung bagi modal cerdas.

Kosakata Penting
Downstreaming — industrialisasi pengolahan bahan mentah menjadi produk bernilai tambah.
INA (Indonesia Investment Authority) — sovereign wealth fund Indonesia.
Danantara — superholding BUMN & pengelola aset negara.
CPI — Corruption Perceptions Index.
Santiago Principles — standar tata kelola SWF global.
ESG — Environmental, Social & Governance compliance.
OECD Accession — proses masuk klub negara dengan standar regulasi maju.

Pustaka Studi
World Bank. (2024). Indonesia Economic Prospects.
McKinsey & Company. (2022). Indonesia Consumer Middle Class 2040.
Asian Development Bank. (2023). Asia Labor Market Outlook.
US Geological Survey. (2024). Mineral Commodity Summaries.
IEA. (2023). Nickel and EV Battery Supply Chain Report.
KPK & Transparansi Internasional. (2024). Corruption Perception Index.
Fitch Ratings. (2023). INA Rating Announcement.

Endnotes
[^1]: World Bank, 2024.
[^2]: McKinsey, 2022.
[^3]: World Bank Poverty & Redistribution Report 2023.
[^4]: USGS, 2024.
[^5]: Indonesian Trade Statistics 2023; CSIS supply chain review.
[^6]: IEA 2023.
[^7]: Fitch, Moody’s, S&P Ratings.
[^8]: Fitch INA BBB Rating, 2023.
[^9]: Announcement MoF Indonesia & Danantara briefing 2025.
[^10]: Transparency International CPI 2024.
[^11]: AMAN & Komnas HAM conflict land data 2023.
[^12]: ADB Workforce Development Outlook 2023.
.

soerabaja, 30-11-2025
Teknologi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 02 Desember 2025
Penulis: cakHP (Heru Prabowo)

Bangsa Indonesia jago survival — mengakali, menambal, menghindar — tetapi gagal membangun machine-enabled society yang memproduksi teknologi, bukan sekadar mengimpor atau merakit.

I. Bangsa yang Selalu Hampir Maju
Kita negara yang aneh.
Setiap kali dunia berubah, Indonesia hampir ikut naik kelas. Hampir jadi pusat manufaktur Asia Tenggara. Hampir memimpin hilirisasi nikel. Hampir menjadi pemain EV. Hampir mandiri pangan. Hampir menguasai logistik Laut Nusantara. Hampir membangun industri pertahanan modern.
“Hampir” ini bukan kebetulan. Ia adalah pola budaya. Kita bangsa yang pintar bertahan hidup, tetapi tidak pernah membangun mesin — baik mesin dalam arti literal (industri, manufaktur, teknologi), maupun simbolik (institusi, standar, protokol, sistem insentif).
Makanya, dalam setiap krisis, rakyat Indonesia bisa hidup dengan kreativitas ekstrem:
warung buka satu jam setelah bencana,
UMKM muncul besok paginya,
logistik informal bekerja lebih cepat dari BNPB.
Tetapi ketika harus membuat teknologi tingkat industri:
turbin, mesin presisi, chip desain,
modul baterai efisiensi tinggi, atau
sekadar jembatan baja modular standar nasional, kita gagap. Dan hari ini dunia tidak menunggu kita.
Dekade 2025–2035 adalah dekade terakhir sebelum peta industri global mengeras. Yang siap — Vietnam, India, Meksiko, Turki — mengambil porsi terbesar. Yang lambat, tersingkir jadi mineral supplier. Indonesia ada di tengah persimpangan itu. Dan arah kita tidak meyakinkan.

II. Analisis Antropologis Modern: Mengapa Kita Tidak Bisa Membuat Mesin
Indonesia tidak kekurangan orang pintar.
Yang kurang adalah arah budaya produksi. Mari gunakan kerangka antropologi modern (bukan Hofstede yang sudah usang), terutama anthropology of technology, political economy of innovation, dan cultural tightness–looseness theory.
1. Kita adalah survival culture, bukan production culture
Dalam riset psikologi budaya terbaru, masyarakat yang tumbuh di lingkungan serba tidak pasti mengembangkan improvisation-first mindset: pola pikir mengakali situasi, bukan membuat sistem jangka panjang. [^1]
Ciri-cirinya jelas:
jago “problem solving instan”
buruk dalam membuat standard operating procedure
unggul informalitas
lemah dalam process control
sangat adaptif
tidak membangun path dependency institusional.
Ini cocok untuk pedagang kaki lima, tapi fatal untuk industri mesin, baterai, semikonduktor, dan rantai pasok presisi.
2. Kita terjebak dalam improvisation trap
Improvisasi membuat kita bertahan hidup, tetapi tidak pernah naik kelas.
Karena:
improvisasi membuat institusi formal tidak berkembang
improvisasi memberi ilusi “pintar”
improvisasi menghasilkan kebijakan ad-hoc
improvisasi menghancurkan learning curve teknologi.
Saat Vietnam membangun manufacturing discipline sejak 2010, kita masih sibuk mencari “jalur cepat”.
Saat India berinvestasi belasan miliar dolar dalam electronics clusters, kita negosiasi export relaxation untuk smelter yang belum siap. [^2]
3. Tight culture dalam moral, loose culture dalam produksi
Penelitian Michele Gelfand menunjukkan bahwa negara yang longgar (loose) adaptif, tetapi buruk dalam risiko dan disiplin teknis. [^3]
Indonesia unik:
kita tight dalam moral sosial, tetapi loose dalam produksi.
urusan pakaian bisa ribut nasional
tetapi toleransi terhadap deviasi standar konstruksi sangat tinggi
urusan simbolik heboh
urusan audit proses manufaktur longgar.
Hasilnya: kita hebat membuat narasi nasional, tetapi kalah membuat mesin nasional.
4. Path dependency kita tidak industrial
Negara industri membangun jalur kebiasaan jangka panjang:
standarisasi → akumulasi pengalaman → inovasi bertahap → skala.
Indonesia selalu memutus jalur itu.
Contoh paling gamblang: kebijakan hilirisasi nikel 2014–2024.
Kita mengubah regulasi setiap 12–18 bulan. [^4]
Tidak ada policy path yang cukup panjang untuk membentuk industri baterai.
Tidak ada institutional memory.
5. Negara cenderung jadi “perantara politik”, bukan “platform produksi”
Institusi kita bekerja sebagai perantara:
izin
rente
konsesi
proyek APBN
kemudahan impor
proteksi pasar.
Bukan sebagai platform produksi nasional:
pusat R&D
biro standar
laboratorium uji nasional
ekosistem manufaktur.
Kita membangun “pos penjagaan”, bukan “mesin negara”.
.

III. Rekomendasi Radikal: Apa yang Harus Diubah Sekarang
Jika Indonesia ingin keluar dari kutukan “bangsa pintar bertahan hidup tetapi bodoh bikin mesin”, kita perlu perubahan radikal — bukan kosmetik.
A. Paksakan Standarisasi Nasional: 10 Produk Inti
Pilih 10 produk sebagai tulang punggung industri Nusantara, misalnya :
1. jembatan baja modular standar
2. baterai sel LFP & NMC
3. motor listrik
4. panel surya presisi
5. modul logistik pelayaran
6. alat kesehatan dasar
7. mesin pertanian
8. drone sipil & militer
9. sistem penyimpanan energi
10. bahan bakar bio-synthetic.
Lalu
wajibkan satu standar nasional, seperti Jepang pada 1950–1970.
Setiap produk: satu platform teknologi, banyak produsen.
Bukan 1000 merk, 0 standar.

B. Reformasi radikal ekosistem teknologi:
Audit semua laboratorium teknologi: tutup 30% yang tidak efektif
Gabungkan riset BRIN - PTN yang redundan
Wajibkan Technology Readiness Level (TRL) minimum untuk semua proposal
Jadikan pembelian pemerintah sebagai industrial policy yang jelas
Larang impor barang yang sudah punya substitusi nasional (dengan tenggat rasional).

C. Nasionalisasi path dependency
Buat 15-year non-negotiable policy track:
hilirisasi baterai
industri kelistrikan EV
manufaktur agritech
logistik maritim
sistem pertahanan berbasis drone
industri AI + chip desain (level menengah).
Regulasi tidak boleh berubah kecuali force majeure.
Ini yang Vietnam lakukan dengan kemitraan FDI Korea selama 15 tahun. [^5]

D. Jadikan BUMN sebagai anchor firm, bukan monopoli malas
BUMN harus menjadi “mesin pembentuk peluang”, bukan “administrator rente”.
BUMN logistik memaksa standardisasi kontainer Nusantara
BUMN energi mewajibkan local content yang realistis, tapi konsisten
BUMN konstruksi menggunakan jembatan modular standar
BUMN pertahanan melakukan forced joint development, bukan sekadar offset

E. Revolusi pendidikan teknologi
Kita tidak butuh lebih banyak sarjana manajemen.
Kita butuh:
60.000 teknisi mekatronik baru per tahun
politeknik dengan dual system seperti Jerman
maker culture yang terpusat, bukan festival insidental
insentif besar untuk non-degree engineering pathways.

F. Ubahlah cara negara memandang inovasi
Inovasi bukan “acara expo”.
Inovasi adalah:
struktur insentif
disiplin teknis
akumulasi pengalaman
skala produksi
learning curve.
Jika tidak mengubah logika negara, kita akan terus kalah dari Vietnam — yang kini sudah menyalip Indonesia di ekspor elektronik. [^6]
.

IV. Horizon Peradaban: Indonesia sebagai Mesin Produksi, Bukan Pasar
Bayangkan Indonesia 2045. Bukan yang sering dipasang di slide PowerPoint kementerian. Indonesia 2045 yang rasional adalah ini:
45% ekspor berasal dari barang manufaktur presisi
30% energi disimpan dalam baterai buatan domestik
5 juta motor listrik dibuat di Jawa–Sumatra
logistik laut Nusantara standar seperti Jepang 1980
industri pangan memproduksi surplus berbasis mesin
sistem pertahanan berbasis drone & AI
70% jembatan pedesaan memakai modular standar nasional
2 juta teknisi mekatronik membentuk kelas menengah baru.
Ini bukan mimpi — ini
pilihan kebijakan. Atau, skenario lain:
Indonesia menjadi negara 270 juta penduduk yang bergantung pada impor mesin, sementara kita mengekspor nikel murah, tenaga kerja kasar, dan konten Tiktok.
Dua masa depan itu ditentukan oleh pertanyaan sederhana: apakah kita mau berhenti jadi bangsa yang hanya pintar bertahan hidup, dan mulai membangun mesin?

KOSAKATA PENTING
Survival Culture
Budaya yang terbentuk oleh lingkungan tidak pasti, menyebabkan masyarakat mengandalkan improvisasi, bukan sistem.
Production Culture
Budaya yang menekankan standar, disiplin proses, dan pembangunan mesin fisik maupun institusional.
Improvisation Trap
Ketika kemampuan mengakali masalah menghambat perkembangan institusi dan disiplin produksi.
Path Dependency
Jalur kebiasaan jangka panjang yang membentuk kemampuan industri suatu bangsa.
Tight–Loose Culture Theory
Kerangka antropologi tentang kedisiplinan norma sosial dan fleksibilitas menghadapi ketidakpastian.
WEIRD
Western, Educated, Industrialized, Rich, Democratic — kategori masyarakat dalam psikologi budaya yang berbeda secara struktural dari Indonesia.
.

ENDNOTES
[^1]: Henrich, J. (2020). The WEIRDest People in the World.
[^2]: Kementerian ESDM, Laporan Minerba 2023–2024.
[^3]: Gelfand, M. (2018). Rule Makers, Rule Breakers.
[^4]: Kompilasi regulasi hilirisasi 2014–2024, ESDM–BKPM.
[^5]: Vietnam–Korea Industrial Cooperation Report 2023.
[^6]: UNCTAD, Handbook of Statistics 2024.
.

PUSTAKA BACA
Gelfand, M. (2018). Rule Makers, Rule Breakers: How Tight and Loose Cultures Wire Our World. Scribner.
Henrich, J. (2020). The WEIRDest People in the World: How the West Became Psychologically Peculiar and Particularly Prosperous. Farrar, Straus and Giroux.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2024). Laporan Kinerja Subsektor Minerba.
UNCTAD. (2024). Handbook of Statistics. United Nations.
World Bank. (2023). Vietnam Manufacturing and FDI Deepening Report.
Perekonomian Global
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 02 Desember 2025
Indonesia memasuki 2025 sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan aktor penting dalam rantai pasok global. Namun, akses pasar tetap menghadapi berbagai hambatan—mulai dari tarif tinggi, lisensi impor multi-level, persyaratan halal menyeluruh, hingga regulasi digital yang sangat intervensif. Struktur regulasi Indonesia mencerminkan kombinasi proteksionisme industri, keamanan pangan yang ketat, dan kebijakan digital yang menuntut lokalisasi proses bisnis.
Tarif dan Pajak: Struktur Tinggi dan Berubah Cepat
Indonesia mempertahankan tarif rata-rata 8%, namun banyak sektor dijaga melalui tarif yang meningkat bertahap dalam satu dekade terakhir—mulai dari elektronik, kimia, kosmetik, hingga hasil pertanian.
Tarif bound di WTO relatif tinggi (rata-rata 37%), memberi ruang bagi pemerintah untuk menaikkan tarif sewaktu-waktu. Tarif untuk sektor tertentu bahkan mencapai:
Besi dan baja: hingga 20%
Tekstil: 5–25%
Sepeda: 25–40%
Kosmetik: 10–15%
Jam tangan: 10%
Sepatu: 5–30%
Kekhawatiran khusus muncul pada produk ICT berkode HS 8517, di mana tarif seharusnya 0% menurut bound rate WTO, tetapi Indonesia menerapkan 10%.
Selain itu, kebijakan tarif digabungkan dengan pajak impor tambahan:
Income Tax Article 22 untuk 1.188 HS code (7,5%),
716 HS code (10%),
prepayment pajak restitusi yang sering memakan waktu bertahun-tahun.
Lisensi Impor: Struktur Paling Rumit di Asia Tenggara
Indonesia menerapkan salah satu rezim lisensi impor paling kompleks di kawasan. Sistem ini mencakup:
a. API-U dan API-P
Perusahaan tidak boleh memiliki keduanya sekaligus.
API-P dibatasi hanya untuk barang baru dan sesuai izin usaha.
b. OSS (Online Single Submission)
Sistem tunggal yang seharusnya menyederhanakan proses, justru sering menimbulkan:
gangguan teknis,
tidak sinkron antara pusat dan daerah,
memerlukan NIB untuk hampir semua aplikasi.
c. Commodity Balance System (Perpres 61/2024)
Sistem yang mengontrol impor berdasarkan neraca permintaan–penawaran nasional mencakup:
gula, beras, daging, garam, ikan,
19 produk tambahan sejak 2023,
ekspansi ke bawang putih (2025), dan apel–anggur–jeruk (2026).
Kebijakan sering berubah di awal tahun, menciptakan ketidakpastian dan backlog perizinan.
d. MOT Regulation 36/2023
Mengatur hampir 4.000 HS code, mewajibkan impor disertai:
pengungkapan data komersial rinci,
rekomendasi teknis,
persetujuan tambahan untuk komoditas tertentu.
Regulasi ini menyebabkan penumpukan kontainer di pelabuhan pada Mei 2024.
Meskipun sebagian dilonggarkan oleh MOT 8/2024, aturan ini tetap berlaku penuh untuk besi–baja, ban, bahan kimia hulu, dan beberapa tekstil.
SPS dan Pertanian: Lisensi Berlapis serta Kendali Kuantitatif
Indonesia memiliki pendekatan yang sangat administratif terhadap produk pertanian dan hewan.
a. Horticulture Import Regime
RIPH masih diwajibkan (MOA 5/2022).
Lisensi impor juga bergantung pada cold storage dan rencana distribusi.
Menjadi hambatan struktural karena perizinan dapat tertunda jika neraca komoditas belum ditetapkan.
b. Quantitative Restrictions
Gula, beras, garam, daging, dan jagung impor dibatasi kuota tahunan.
Harga referensi untuk cabai, bawang, kedelai, jagung, telur, dan minyak goreng memicu intervensi BULOG.
c. BAPANAS & BULOG
BULOG memiliki monopoli impor untuk beras medium, jagung pakan, dan kedelai cadangan pangan.
Industri pakan sering kekurangan jagung karena harus membeli dari BULOG dengan prioritas peternak kecil.
4. Prosedur Fasilitas Hewan & Produk Ternak: Biaya Tinggi dan Inspeksi Wajib
Indonesia mensyaratkan pre-registration semua fasilitas yang mengekspor:
daging,
susu,
telur,
rendering products.
MOA 15/2021 mewajibkan:
desk audit,
inspeksi on-site,
post-audit review,
biaya perjalanan dan penginapan auditor ditanggung eksportir.
Biaya dapat mencapai lebih dari USD 10.000 per fasilitas.
TBT: Kewajiban Uji & Sertifikasi Domestik
Indonesia memberlakukan standardisasi ketat melalui:
a. Mandatory Domestic Testing
Untuk mainan, elektronik, peralatan rumah tangga, dan telekomunikasi.
Per shipment testing untuk barang impor, tetapi hanya 6 bulan sekali untuk produksi domestik.
b. GR 28/2021 & MOI 45/2022
Semua pengujian harus dilakukan oleh warga negara Indonesia yang tinggal di Indonesia.
Menambah hambatan teknis bagi produk dengan sertifikasi internasional.
Halal Certification: Cakupan Paling Luas di Dunia
Law 33/2014 dan peraturan turunannya mewajibkan halal untuk:
pangan, minuman,
kosmetik,
obat,
produk biologi,
kimia,
GMO,
konsumer & household products.
Deadline phased-in:
makanan minuman: 2024 → diperpanjang hingga 2026,
kosmetik & OTC meds: 2026,
medical devices A–C: 2026–2034,
medical devices D: 2039.
Persoalan:
notifikasi ke WTO dilakukan setelah aturan berlaku,
persyaratan redundant untuk akreditasi HCB,
rasio auditor yang tidak logis,
banyak dokumen diminta berulang.
Perdagangan Digital: Regulasi Ketat dan Pengawasan Sistem Elektronik
a. GR 71/2019 & Permenkominfo 5/2020 dan 10/2021
Mengharuskan ESOs (termasuk platform asing) untuk:
mendaftar ke Kominfo,
mematuhi perintah takedown dalam waktu singkat,
memberikan akses sistem & data untuk penegakan hukum.
Khawatiran industri:
definisi konten terlarang terlalu luas,
mekanisme banding hampir tidak ada.
b. NPG (National Payment Gateway)
Data transaksi debit & kredit domestik harus diproses di Indonesia.
Kepemilikan asing dibatasi 20% untuk switching companies.
c. QRIS
Standar QR nasional diberlakukan tanpa konsultasi memadai dengan penyedia global.
Local Content (TKDN): Persyaratan Tinggi pada ICT dan Elektronik
Indonesia mewajibkan persentase TKDN pada:
ponsel 4G-LTE: 35%,
base station 4G-LTE: 40%,
wireless broadband equipment: 30–40%,
set-top box & TV: 20%+,
perangkat IP network tertentu.
Persyaratan ini menjadi hambatan bagi produk global teknologi tinggi yang memiliki supply chain multinasional.
Pemerintah sebagai Pembeli: Preferensi Domestik Mendalam
Pengadaan pemerintah diwajibkan memprioritaskan produk lokal minimal 40%. Dalam sektor medis, 79 kategori alat kesehatan impor dihapus dari e-Katalog secara tiba-tiba pada 2021.
Sektor Jasa: Pembatasan Kepemilikan & Operasi
Film
kuota 60% film lokal,
pelarangan dubbing film asing (aturan belum semuanya ditegakkan).
Logistik & Kurir
kepemilikan asing wajib minoritas,
operasi dibatasi pada kota tertentu.
Perbankan & Fintech
batas kepemilikan asing 40%–49%, dengan pengecualian berbasis penilaian OJK.
operator sistem pembayaran dibatasi maksimal 49% voting share (front-end) dan 20% (back-end).
IP Protection: Enforcement Lemah dan Pasar Pemalsuan Besar
Indonesia masih masuk Priority Watch List dengan:
maraknya pembajakan & penjualan produk palsu,
penegakan lemah,
pasar Mangga Dua & marketplace online terdaftar dalam Notorious Markets.
Ekspor dan Energi: Larangan Mineral dan DMO Migas
Larangan ekspor nikel, bauksit, timah, dan mineral lain—dibatalkan oleh WTO panel pada 2022 namun tetap diberlakukan melalui banding.
Dalam migas, kontrak PSC dapat direvisi pemerintah; DMO mewajibkan 25% produksi dijual domestik dengan harga diskon.
Penutup
Hambatan perdagangan Indonesia tahun 2025 memperlihatkan pola konsisten: kombinasi proteksionisme tarif, lisensi impor yang berlapis, standardisasi nasional (QCO & halal), serta kebijakan digital dan local content yang semakin memperkuat preferensi domestik. Kompleksitas perizinan, perubahan mendadak, dan koordinasi regulatif yang tidak sinkron menciptakan ketidakpastian yang mengharuskan pelaku usaha global menyiapkan strategi kepatuhan yang adaptif dan terus-menerus dipantau.