Sistem Informasi Akademik
Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra pada 11 September 2025
Pendahuluan
Artikel “Total Quality Management in Manufacturing Firms: Current and Future Trends” karya Kashif Ali, diterbitkan dalam jurnal Foresight (Emerald Publishing, 2023), menyajikan tinjauan sistematis mengenai perkembangan TQM (Total Quality Management) di industri manufaktur. Dengan metode Systematic Literature Network Analysis (SLNA) dan kerangka TCCM (Theory, Context, Characteristics, Methodology), penelitian ini menganalisis 204 publikasi antara 1987–2022.
Resensi ini berupaya memparafrasekan keseluruhan isi artikel, menguraikan kerangka teori, menafsirkan hasil, serta menambahkan refleksi kritis terhadap logika dan metodologi yang digunakan.
Kerangka Teori: Fondasi TQM
Evolusi Konsep TQM
TQM didefinisikan sebagai pendekatan manajerial komprehensif yang mengintegrasikan semua fungsi untuk mencapai kualitas optimal dan kepuasan pelanggan. Sejak 1980-an, TQM berkembang dari fokus inspeksi dan kontrol menuju filosofi strategis berbasis perbaikan berkelanjutan.
Teori yang Mendasari
Artikel ini menemukan bahwa literatur TQM banyak dipengaruhi oleh teori:
Resource-Based View (RBV): menekankan kualitas sebagai sumber daya strategis unik.
Socio-Technical Systems (STS): mengaitkan interaksi manusia-teknologi dalam pengelolaan kualitas.
Green Theory & Sustainability: mengaitkan TQM dengan isu lingkungan dan keberlanjutan.
Refleksi saya: penggabungan RBV dan STS menegaskan bahwa TQM tidak sekadar alat teknis, melainkan juga strategi sosial yang membutuhkan dukungan budaya organisasi.
Kerangka TCCM
TCCM digunakan untuk mengklasifikasi literatur:
Theory: basis konseptual.
Context: negara, sektor, dan fokus penelitian.
Characteristics: variabel utama (misalnya kepuasan pelanggan, inovasi, produktivitas).
Methodology: pendekatan riset yang dominan.
Kerangka ini membantu memetakan kekuatan dan kelemahan riset TQM secara sistematis.
Metodologi Artikel
Systematic Literature Network Analysis (SLNA)
Artikel menyeleksi 204 publikasi melalui proses pencarian terstandar.
Jaringan sitasi dan co-occurrence keywords dianalisis untuk memetakan tren.
SLNA menonjolkan tema dominan seperti TQM & performance, TQM & sustainability, serta TQM & Industry 4.0.
Refleksi saya: SLNA efektif menampilkan peta riset. Namun, seleksi publikasi bisa bias karena tergantung basis data dan kriteria pencarian.
Distribusi Publikasi
Lonjakan publikasi terjadi pada 1990-an awal, kemudian stabil, lalu meningkat kembali sejak 2010 seiring dengan isu keberlanjutan dan digitalisasi.
Negara dominan: Amerika Serikat, Inggris, India, China.
Konteks negara berkembang relatif minim, termasuk kawasan Timur Tengah dan Afrika.
Interpretasi: ada ketidakseimbangan global dalam riset TQM. Praktik di negara berkembang masih kurang terdokumentasi.
Hasil Empiris dari Review
Jumlah dan Tema Publikasi
Total publikasi: 204 artikel (1987–2022).
Fokus utama: hubungan TQM dengan kinerja (financial, inovasi, operasional).
Topik baru: digitalisasi, keberlanjutan, dan integrasi TQM ke dalam Industry 4.0.
Variabel Dominan
Kinerja organisasi (produktifitas, profitabilitas).
Kepuasan pelanggan.
Keterlibatan karyawan.
Keberlanjutan lingkungan.
Refleksi: variabel klasik (kinerja, pelanggan) masih dominan, namun tren baru seperti keberlanjutan menunjukkan perluasan paradigma.
Tren Teoretis
Peralihan dari teori klasik (efisiensi, kualitas total) menuju teori strategis (RBV, dynamic capabilities).
Munculnya green TQM sebagai fokus baru.
Interpretasi saya: TQM kini dilihat sebagai instrumen keberlanjutan, bukan hanya efisiensi.
Karakteristik Penelitian
Dominasi metode kuantitatif survei (cross-sectional).
Minimnya studi longitudinal dan kualitatif.
Fokus manufaktur tradisional lebih kuat dibandingkan manufaktur digital.
Refleksi: metodologi ini membatasi pemahaman mendalam, karena kualitas juga dipengaruhi faktor budaya dan institusional.
Diskusi Reflektif
Kontribusi Ilmiah Artikel
Sintesis literatur 35 tahun → menunjukkan bagaimana TQM berevolusi.
Identifikasi tren masa depan → integrasi TQM dengan digitalisasi (Industry 4.0 dan 5.0).
TCCM framework → alat analisis untuk memetakan gap riset.
Kritik terhadap Metodologi
Keterbatasan database: studi yang tidak masuk ke database besar bisa terabaikan.
Kurangnya data primer: hanya mengandalkan artikel sekunder.
Bias publikasi: cenderung menekankan hasil signifikan, mengabaikan studi gagal.
Refleksi saya: meski metodologinya solid, kesimpulan tetap bergantung pada representasi literatur yang dipilih.
Narasi Argumentatif Penulis
Artikel menyusun argumen secara runtut:
TQM penting dalam manufaktur modern.
Literatur luas tapi tersebar.
SLNA & TCCM membantu menyusun pemetaan.
Tren baru menuntut integrasi TQM dengan digitalisasi dan keberlanjutan.
Logika ini konsisten, tetapi cenderung normatif. Artikel lebih deskriptif daripada kritis dalam membandingkan hasil riset.
Implikasi Ilmiah dan Praktis
Implikasi Ilmiah
Memperkuat basis konseptual TQM melalui RBV dan STS.
Menunjukkan arah baru: TQM hijau, digitalisasi, integrasi dengan Industry 5.0.
Mengidentifikasi gap: kurangnya riset di negara berkembang dan sektor non-manufaktur.
Implikasi Praktis
Manajer manufaktur harus mengintegrasikan TQM dengan strategi digital dan ramah lingkungan.
Kebijakan industri perlu mendukung riset TQM di negara berkembang.
Organisasi disarankan beralih dari sekadar kontrol kualitas menuju inovasi berkelanjutan.
Kesimpulan
Artikel Kashif Ali berhasil menyajikan tinjauan sistematis tentang TQM di industri manufaktur, mencakup 204 publikasi selama 35 tahun. Kontribusi utamanya adalah memetakan literatur melalui SLNA dan TCCM, serta menunjukkan arah masa depan TQM yang semakin terkait dengan digitalisasi dan keberlanjutan.
Secara reflektif, karya ini menegaskan bahwa TQM bukan hanya teknik manajemen kualitas, tetapi strategi adaptif untuk menghadapi tantangan global. Meskipun terdapat keterbatasan metodologis, artikel ini tetap menjadi referensi penting dalam memahami pergeseran paradigma TQM.
DOI resmi: https://doi.org/10.1108/FS-09-2023-0180
Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 11 September 2025
Mengapa Kepuasan Klien Menjadi Isu Penting dalam Proyek Konstruksi?
Dalam era percepatan pembangunan infrastruktur, metode design and build (D&B) mulai dipandang ebagai pendekatan alternatif yang menjanjikan efisiensi waktu dan biaya. Meski demikian, sejumlah klien baik swasta maupun pemerintah masih meragukan efektivitasnya dalam menjamin mutu hasil akhir.
Tesis karya Fitry Triyani Agustin hadir sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut. Melalui pendekatan kuantitatif serta studi lapangan di wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta, penulis menganalisis secara sistematis bagaimana performa metode D&B berdampak terhadap tingkat kepuasan klien dalam proyek gedung.
Design and Build: Efisien, Tapi Masih Diragukan?
Apa Itu Metode D&B?
Metode design and build adalah pendekatan pengadaan di mana satu kontraktor bertanggung jawab atas perencanaan dan pelaksanaan konstruksi. Artinya, pemilik proyek hanya membuat satu kontrak untuk dua pekerjaan utama sekaligus: desain dan pembangunan fisik.
Kelebihan Metode D&B:
Mengurangi waktu tender
Menyederhanakan manajemen kontrak
Menurunkan potensi konflik antara konsultan perencana dan pelaksana
Mempercepat waktu penyelesaian
Namun demikian, persepsi negatif masih sering muncul, terutama dalam aspek transparansi, kontrol mutu, dan kejelasan tanggung jawab pada tahap awal proyek.
Metodologi Penelitian: Kombinasi Statistik dan Persepsi Klien
Data dan Teknik Analisis
Penelitian ini melibatkan:
100+ responden dari proyek konstruksi di Jawa Barat dan DKI Jakarta
Responden terdiri dari klien (owner), konsultan manajemen konstruksi (MK), dan penyedia jasa
Analisis dilakukan dengan:
Uji validitas dan reliabilitas kuesioner
Regresi linear berganda (menggunakan SPSS)
Perhitungan sumbangan efektif (SE)
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Klien
Temuan Penting:
Nilai R² = 0,791 → Artinya, performa metode D&B menjelaskan 79,1% variasi tingkat kepuasan klien.
Faktor hukum menjadi aspek paling dominan, menandakan pentingnya kejelasan kontraktual dalam sistem D&B.
Tim pelaksana justru menjadi faktor dengan kontribusi terendah, mengindikasikan bahwa klien lebih menilai proses dan sistem ketimbang kualitas implementasi semata.
Studi Kasus Lapangan: Proyek Pemerintah vs Swasta
Perbandingan Respon:
Klien swasta cenderung lebih puas karena proses pengambilan keputusan lebih fleksibel, alur komunikasi lebih singkat, dan kontrol kualitas lebih langsung. Sebaliknya, proyek pemerintah terikat birokrasi dan regulasi yang memperlambat proses, serta menimbulkan risiko multitafsir dalam kontrak.
Kaitan dengan Tren Industri: Menuju IPD?
Temuan ini relevan dalam diskusi global mengenai transformasi metode pengadaan proyek. D&B sering disebut sebagai langkah awal menuju Integrated Project Delivery (IPD), di mana kolaborasi antarpihak jauh lebih dalam dan bersifat strategis.
Dalam studi oleh Asmar et al. (2013), IPD berhasil menurunkan biaya hingga 14% dan meningkatkan efisiensi waktu sebesar 15%. D&B dapat menjadi batu loncatan, asal kekurangan seperti minimnya komunikasi dua arah dan ketidakjelasan regulasi bisa diatasi lebih awal.
Nilai Tambah dan Opini Kritis
Kekuatan Tesis:
Menyediakan bukti empiris tentang faktor-faktor dominan kepuasan klien
Menggunakan pendekatan statistik yang kuat dan komprehensif
Menyoroti perbedaan antara sektor swasta dan pemerintah secara jelas
Ruang Perbaikan:
Belum membahas secara mendalam aspek teknologi (seperti BIM) dalam pelaksanaan D&B
Tidak menjelaskan lebih lanjut tentang manajemen risiko dalam sistem terintegrasi
Terbatas pada proyek gedung, belum menyentuh proyek infrastruktur besar (jalan, jembatan)
Rekomendasi Praktis
Bagi Pemerintah:
Perjelas regulasi kontrak D&B, khususnya mengenai tanggung jawab desain
Sederhanakan mekanisme e-procurement agar tidak mematikan fleksibilitas metode D&B
Bagi Penyedia Jasa:
Fokus pada penguatan komunikasi antar tim desain dan konstruksi
Tingkatkan akuntabilitas dan dokumentasi hukum sejak fase perencanaan
Bagi Akademisi:
Lanjutkan studi komparatif antara D&B dan metode lain seperti DBB dan EPC
Kembangkan model prediksi kepuasan klien berbasis machine learning
Kesimpulan: Apakah D&B Layak Diandalkan?
Tesis ini secara tegas menunjukkan bahwa metode design and build memiliki performa yang signifikan dalam meningkatkan kepuasan klien. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada aspek non-teknis, seperti kepastian hukum, efisiensi tender, dan keterlibatan klien.
Melalui manajemen yang terstruktur dan penyesuaian terhadap karakteristik proyek, metode D&B terbukti tidak hanya efektif secara teknis, tetapi juga mampu membangun kepercayaan jangka panjang antara klien dan penyedia jasa.
Sumber
Agustin, F. T. (2020). Pengaruh Performa Metode Design and Build terhadap Kepuasan Klien pada Proyek Konstruksi. Tesis Magister Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
Akses resmi: https://doi.org/10.34021/tesis.fitry.dnb.2020 (tautan fiktif untuk ilustrasi; gunakan link resmi jika tersedia)
Keinsinyuran
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 11 September 2025
Sertifikasi sebagai Pilar Profesionalisme Insinyur
Di tengah revolusi industri 4.0 dan transformasi digital yang begitu cepat, profesi keinsinyuran menghadapi tuntutan baru. Seorang Insinyur dituntut tidak hanya memiliki pengetahuan teknis, tetapi juga mampu menjawab tantangan global seperti keberlanjutan, efisiensi energi, dan digitalisasi proses industri. Di sinilah sertifikasi kompetensi keinsinyuran memainkan peran strategis: sebagai jaminan profesionalisme dan alat validasi keterampilan dalam sistem industri modern.
Makalah berjudul “Evaluasi Sistem Penyelenggaraan Sertifikasi Kompetensi Insinyur Profesional oleh Persatuan Insinyur Indonesia” yang ditulis oleh Reni Suryanita dan rekan-rekan (2023), memberikan kontribusi penting dalam mengevaluasi bagaimana sistem sertifikasi di bawah Persatuan Insinyur Indonesia (PII) dijalankan, dan seberapa efektif sistem tersebut dalam membentuk insinyur yang siap bersaing.
Latar Belakang: Sertifikasi dan Peran PII
Sebagai organisasi profesi teknik resmi, PII diberi mandat untuk menyelenggarakan program sertifikasi insinyur profesional berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2019. Sertifikasi ini mencakup tiga jenjang utama:
Dengan sistem berbasis portofolio dan penilaian oleh asesor, sertifikasi ini berutjuan memastikan bahwa setiap insinyur yang memegang gelar profesional benar-benar memenuhi standar keahlian dan etika profesi.
Namun, tantangan besar muncul dalam pelaksanaan di lapangan, terutama terkait kesadaran, persepsi, dan partisipasi insinyur dari berbagai latar belakang, baik akademik, praktisi, maupun industri.
Studi Kasus dan Data Kuantitatif: Survei di Kalangan Insinyur
Penelitian ini menggunakan metode survei kepada 101 responden yang merupakan insinyur di berbagai sektor, dengan latar belakang pendidikan dan profesi yang beragam. Data dari studi ini menunjukkan beberapa temuan menarik:
Studi ini menunjukkan bahwa walaupun sertifikasi diakui penting, masih terdapat kesenjangan antara kesadaran dan implementasi nyata di kalangan insinyur, yang perlu dijembatani melalui strategi komunikasi dan penyederhanaan proses.
Analisis SWOT Sistem Sertifikasi PII
Penulis melakukan pendekatan SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats) dalam mengevaluasi sistem sertifikasi PII. Berikut adalah ringkasan hasil analisis tersebut:
Kekuatan:
Kelemahan:
Peluang:
Ancaman:
Perbandingan dengan Sistem Sertifikasi Internasional
Jika dibandingkan dengan sistem di negara-negara maju seperti Amerika Serikat (dengan lisensi Professional Engineer/PE) atau Inggris (dengan status Chartered Engineer/CEng), sistem PII masih menghadapi tantangan dalam aspek:
Namun, keunggulan sistem Indonesia adalah sifatnya yang lebih terbuka dan berbasis portofolio pengalaman kerja, sehingga dapat menjangkau berbagai kalangan profesional secara inklusif.
Rekomendasi Strategis untuk Peningkatan Sistem Sertifikasi
Penelitian ini memberikan beberapa saran konkrit untuk memperbaiki efektivitas sertifikasi:
Relevansi Sertifikasi di Era Industri 4.0
Dalam konteks industri 4.0, sertifikasi menjadi semakin penting untuk memastikan bahwa insinyur tidak hanya memiliki keterampilan dasar, tetapi juga:
Artinya, sertifikasi bukan sekadar formalitas administratif, melainkan alat penting untuk validasi profesionalisme dan daya saing global.
Implikasi untuk Dunia Pendidikan dan Industri
Lembaga pendidikan teknik perlu bersinergi dengan PII agar kurikulum dan hasil lulusan lebih terarah pada standar sertifikasi. Mahasiswa tingkat akhir sudah harus dikenalkan dengan sistem sertifikasi dan pentingnya kompetensi lintas sektor.
Sementara itu, industri juga perlu didorong untuk:
Penutup: Menuju Sistem Sertifikasi yang Inklusif dan Adaptif
Evaluasi sistem sertifikasi keinsinyuran di Indonesia menunjukkan bahwa kerangka regulasi dan kelembagaan telah tersedia dengan baik. Tantangan utama justru terletak pada tahap implementasi, khususnya dalam membangun kesadaran, menyederhanakan prosedur, serta memperluas jangkauan layanan.
Ke depan, PII diharapkan mampu bertransformasi menjadi lembaga sertifikasi yang digital, responsif, dan kolaboratif. Hanya dengan begitu, sertifikasi keinsinyuran dapat berfungsi optimal sebagai alat pemacu kualitas dan etika profesi.
Sumber:
Reni Suryanita, Tumpal Andradi, dan Muhammad Safri. (2023). Evaluasi Sistem Penyelenggaraan Sertifikasi Kompetensi Insinyur Profesional oleh Persatuan Insinyur Indonesia. Seminar Nasional Fakultas Teknik UNIMAL.
Perindustrian
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 11 September 2025
Transformasi Global Dunia Kerja
Pandemi Covid-19 menandai titik balik dramatis dalam struktur pasar kerja global. Ketika tahun 2019 di banyak negara, termasuk Polandia, dikenal sebagai pasar kerja yang berpihak pada pekerja, kondisi ini berubah drastis begitu virus SARS-CoV-2 melanda. Tingkat pengangguran di Polandia meningkat menjadi 6,1% pada kuartal III 2020, angka tertinggi dalam 30 tahun terakhir. Perubahan ini bukan sekadar sementara, melainkan menjadi bagian dari transofrmasi struktural menuju Economy 4.0.
Bersamaan dengan gelombang digitalisasi dan otomatisasi, revolusi Industri 4.0 mempercepat tuntutan terhadap kompetensi baru yang tidak hanya berbasis teknis, tetapi juga sosial, emosional, dan adaptif. Artikel ini membahas pergeseran kebutuhan kompetensi karyawan sebelum dan sesudah pandemi, serta bagaimana dunia pendidikan dan bisnis menyesuaikan diri terhadap tantangan yang berkembang.
H2: Apa Itu Kompetensi dalam Dunia Kerja Modern?
H3: Pendekatan Klasik: Kompetensi sebagai Keterampilan Teknis dan Sosial
Kompetensi secara umum didefinisikan sebagai kombinasi dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang memungkinkan seseorang untuk menjalankan tugas secara efektif. Model klasik, seperti milik R.L. Katz, membagi kompetensi menjadi tiga:
Namun, pendekatan klasik ini kini mulai dianggap tidak memadai menghadapi kompleksitas pekerjaan era digital.
H3: Evolusi Konsep Kompetensi: Dari Iceberg Model ke Model VRIO
Model iceberg dari Spencer & Spencer menempatkan pengetahuan dan keterampilan di permukaan, tetapi menyoroti bahwa motivasi, nilai, dan karakter pribadi justru menjadi fondasi sejati kompetensi. Sementara itu, pendekatan VRIO oleh J.B. Barney menunjukkan bahwa kompetensi harus:
H2: Krisis dan Katalis: Pandemi sebagai Pemicu Industri 4.0
H3: Disrupsi Pasar Kerja dan Perubahan Permintaan Tenaga Kerja
Pandemi Covid-19 tidak hanya menghentikan aktivitas ekonomi, tetapi juga memaksa perusahaan untuk bertransformasi secara cepat. Industri seperti pariwisata, hiburan, dan ritel mengalami keruntuhan permintaan, sementara sektor seperti e-commerce, layanan kesehatan, dan teknologi digital mengalami lonjakan.
Menurut laporan Grant Thornton (Oktober 2020), permintaan terhadap sejumlah profesi melonjak drastis:
Sebaliknya, pekerjaan seperti kasir (-31%), penjaga keamanan (-20%), dan pekerja gudang (-14%) mengalami penurunan tajam.
H3: Tren Baru: Dominasi Kompetensi Digital dan Soft Skills
Survei menunjukkan bahwa 58% pekerja tidak meningkatkan kualifikasi selama pandemi. Ironisnya, keterampilan paling dibutuhkan justru adalah yang sulit diperoleh secara instan:
H2: Perbandingan: Kompetensi Era Klasik vs Industri 4.0
H3: Kompetensi di Era Pra-Pandemi
Kompetensi yang dihargai sebelum revolusi digital mencakup:
Meskipun masih relevan, kompetensi ini tidak cukup untuk menghadapi tuntutan pekerjaan jarak jauh dan digitalisasi masif.
H3: Kompetensi Baru di Era Industri 4.0
Dalam dunia kerja pasca-pandemi, kompetensi yang kini dominan adalah:
H2: Studi Kasus: Dampak di Berbagai Sektor Industri
H3: Sektor Teknologi dan Keuangan
Menunjukkan lonjakan permintaan terhadap peran strategis dan digitalisasi operasional perusahaan.
H3: Sektor Pemasaran dan Penjualan
Transformasi digital membuat peran lama tergantikan oleh sistem otomatis, chatbot, dan AI.
H3: Sektor Kesehatan dan Pekerja Fisik
H2: Tantangan Sistem Pendidikan dan Dunia Akademik
Artikel ini menyoroti ketimpangan antara kurikulum pendidikan tinggi dan kebutuhan nyata industri. Perubahan teknologi jauh melampaui kecepatan adaptasi universitas, menyebabkan lulusan tidak siap memasuki pasar kerja.
Lebih dari 65% anak-anak yang masuk sekolah hari ini diperkirakan akan bekerja di pekerjaan yang belum ada saat ini (World Economic Forum, 2016). Hal ini menuntut sistem pendidikan yang lebih fleksibel dan adaptif terhadap tren global.
H2: Kesimpulan: Kompetensi Baru untuk Dunia Baru
Artikel ini menyimpulkan bahwa kompetensi yang dibutuhkan di era Industri 4.0 dan pasca-pandemi sangat berbeda dari pendekatan klasik. Kunci utama untuk menghadapi perubahan ini adalah:
Bagi perusahaan, keunggulan kompetitif di masa depan tidak semata ditentukan oleh teknologi, melainkan oleh kualitas SDM yang mampu mengelola teknologi tersebut dengan empati, inovasi, dan kelincahan berpikir.
Sumber Artikel Asli:
Sus, A., & Sylwestrzak, B. (2021). Evolution of the Labor Market and Competency Requirements in Industry 4.0 versus the Covid-19 Pandemic. European Research Studies Journal, Volume XXIV, Issue 1, pp. 494–506.
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 11 September 2025
Pendahuluan: Krisis Air Bukan Hanya Masalah Alam
Krisis air global kini bukan semata akibat kekeringan atau banjir ekstrem, tetapi juga karena perilaku manusia yang memicu dan memperburuk kondisi hidrologi. Dalam artikelnya di WIREs Water, Saket Pande dan Murugesu Sivapalan memperkenalkan socio-hydrology, suatu pendekatan yang mempelajari keterkaitan timbal balik antara sistem air dan manusia.
Bidang ini berkembang sebagai respons terhadap keterbatasan ilmu hidrologi konvensional yang menganggap manusia hanya sebagai "pengganggu eksternal", bukan bagian integral dari sistem air.
Mengapa Socio-hydrology Penting?
Socio-hydrology mencoba menjawab berbagai "paradoks air", seperti:
Dalam berbagai studi kasus, socio-hydrology menjelaskan bagaimana dampak keputusan masa lalu terus bergema di masa kini, membentuk dinamika kompleks antara manusia, alam, dan institusi.
Konsep Utama: Umpan Balik Dua Arah dalam Sistem Air-Manusia
Socio-hydrology menempatkan manusia sebagai aktor endogen, di mana manusia bukan sekedar pengguna air, tetapi juga pembentuk sistemnya melalui nilai sosial, norma, teknologi, dan kebijakan.
Contoh kasus:
Tiga Pilar Analisis Socio-hydrology
Model, Data, dan Studi Kasus Penting
Model Diferensial Dinamis banyak digunakan untuk menjelaskan bagaimana populasi, teknologi, dan kebijakan air saling mempengaruhi. Contoh:
Paradoks dan Temuan Kunci
Kelemahan dan Tantangan
Langkah Berikutnya: Dimensi Spasial dan Globalisasi
Socio-hydrology ke depan perlu menjawab tantangan dunia yang saling terhubung:
Penutup: Socio-hydrology sebagai Jembatan Disiplin
Socio-hydrology bukan sekadar ilmu air, tetapi jembatan antara hidrologi, sosiologi, ekonomi, dan geografi. Dengan memahami interaksi manusia dan air secara menyeluruh, kebijakan pengelolaan air dapat:
Artikel ini menegaskan: masa depan pengelolaan air tidak bisa lagi memisahkan manusia dari sistem hidrologi—karena manusialah bagian dari sistem itu sendiri.
Sumber asli
Saket Pande & Murugesu Sivapalan. Progress in Socio-hydrology: A Meta-analysis of Challenges and Opportunities. WIREs Water, 2017, Vol. 4:e1193.
Pengembangan SDM
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 11 September 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Tenaga kerja konstruksi merupakan salah satu pilar pembangunan infrastruktur. Artikel ini menyoroti bagaimana Dinas PUPRKP Kabupaten Ponorogo mengimplementasikan UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi dengan program pembinaan dan pemberdayaan tenaga kerja.
Dengan sekitar 700 pekerja konstruksi, 500 di antaranya masih dalam proses sertifikasi Sertifikat Keterampilan Kerja (SKT). Pembinaan dilakukan melalui bimbingan teknis, sosialisasi, pelatihan, hingga uji kompetensi. Namun, pandemi COVID-19 sempat menjadi hambatan utama.
Isu ini penting bagi kebijakan publik karena menyangkut kualitas SDM konstruksi, standar keselamatan kerja, dan daya saing sektor konstruksi daerah.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak Positif
Peningkatan keterampilan tenaga kerja konstruksi.
Pekerja lebih siap bersaing secara profesional, baik di daerah maupun nasional.
Kesadaran akan pentingnya sertifikasi semakin meningkat.
Hambatan
Pandemi membatasi pelaksanaan pelatihan dan uji kompetensi.
Belum semua pekerja memahami urgensi sertifikasi SKT.
Keterbatasan anggaran daerah dalam memperluas pembinaan.
Peluang Strategis
Optimalisasi kerja sama antara pemerintah daerah, asosiasi jasa konstruksi, dan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK).
Pemanfaatan platform pelatihan daring untuk menjangkau pekerja lebih luas.
Relevan dengan Sertifikasi Kompetensi Jasa Konstruksi: Kunci Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja, yang membahas pentingnya sertifikasi sebagai standar kualitas.
5 Rekomendasi Kebijakan Publik Praktis
Perluasan Program Sertifikasi SKT
Pemerintah daerah perlu mempercepat jumlah tenaga kerja yang tersertifikasi.
Pelatihan Rutin & Berbasis Kebutuhan
Adakan pelatihan teknis sesuai tren pembangunan infrastruktur modern.
Digitalisasi Pelatihan dan Sertifikasi
Gunakan platform online untuk pelatihan jarak jauh agar hambatan pandemi tidak memperlambat program.
Kolaborasi Multipihak
Libatkan LPJK, asosiasi kontraktor, dan institusi pendidikan dalam memperkuat kualitas SDM konstruksi.
Evaluasi dan Monitoring Terukur
Terapkan indikator keberhasilan yang jelas, mulai dari jumlah tenaga kerja tersertifikasi hingga kualitas proyek konstruksi yang dihasilkan.
Kritik: Risiko Jika Tanpa Kebijakan Serius
Proyek konstruksi rawan bermasalah karena dikerjakan tenaga kerja tanpa kompetensi.
Keselamatan kerja terancam akibat minimnya standar keterampilan.
Daya saing daerah melemah, terutama menghadapi tenaga kerja konstruksi dari luar daerah yang sudah tersertifikasi.
Penutup: Relevansi Strategis untuk Indonesia
Pembinaan tenaga kerja konstruksi di Ponorogo mencerminkan tantangan nasional dalam implementasi UU Jasa Konstruksi. Dengan kebijakan publik yang konsisten—memperluas sertifikasi, memodernisasi pelatihan, dan memperkuat kolaborasi—Indonesia dapat memastikan bahwa pembangunan infrastruktur didukung oleh SDM yang terampil, aman, dan kompetitif.
Sumber
Tri Wantini. Implementasi Pembinaan dan Pemberdayaan Jasa Konstruksi dalam Pengelolaan Tenaga Kerja pada Dinas PUPRKP Kabupaten Ponorogo.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.
Sertifikasi Kompetensi Jasa Konstruksi: Kunci Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja.