Ekonomi Daerah
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 22 Mei 2025
Pendahuluan: Mengapa Kemandirian Fiskal Itu Penting?
Kemandirian fiskal adalah indikator utama keberhasilan otonomi daerah. Sebuah daerah dikatakan mandiri secara fiskal jika mampu membiayai pengeluaran pemerintahannya tanpa sangat bergantung pada dana transfer dari pusat. Provinsi Bali, meskipun dikenal sebagai daerah pariwisata dengan kontribusi ekonomi signifikan, menunjukkan ketimpangan kemandirian fiskal antar wilayahnya. Hal ini mendorong studi yang dilakukan oleh Fabian Rabbani Hasri (2024), yang menganalisis faktor-faktor determinan kemandirian fiskal di Bali selama periode 2016–2020.
Latar Belakang: Ketimpangan Fiskal di Pulau Dewata
Meskipun indeks kemandirian fiskal Provinsi Bali menunjukkan klasifikasi "mandiri" dengan nilai berkisar antara 0,53 hingga 0,60, disparitas antar kabupaten/kota sangat mencolok. Kabupaten Badung, misalnya, mencapai skor 0,83 pada tahun 2019, sementara Kabupaten Bangli hanya sekitar 0,10. Ketimpangan ini diperparah dengan dominasi pembangunan di Bali Selatan, meninggalkan Bali Utara dalam ketertinggalan ekonomi.
Tujuan dan Metodologi Penelitian
Penelitian ini bertujuan menguji pengaruh belanja modal, jumlah penduduk, upah minimum, dan kemiskinan terhadap kemandirian fiskal menggunakan metode regresi data panel. Data sekunder dari BPS dan BPK RI selama 2016–2020 dianalisis untuk melihat pengaruh parsial dan simultan antar variabel.
Temuan Utama
1. Belanja Modal: Pengaruh Positif dan Signifikan
Belanja modal terbukti menjadi satu-satunya variabel yang secara statistik berpengaruh signifikan dan positif terhadap kemandirian fiskal. Hal ini logis, karena investasi pemerintah daerah dalam infrastruktur dan aset tetap memperkuat fondasi penerimaan asli daerah (PAD). Misalnya, Kabupaten Gianyar yang meningkatkan belanja modal dari Rp460 miliar (2016) menjadi Rp976 miliar (2020) menunjukkan peningkatan dalam indeks fiskal.
2. Jumlah Penduduk: Tidak Signifikan
Meskipun populasi meningkat, tidak ada hubungan langsung yang signifikan terhadap kemandirian fiskal. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah penduduk belum otomatis meningkatkan PAD, mungkin karena basis ekonomi yang belum cukup produktif atau tingginya beban pelayanan publik.
3. Upah Minimum: Tidak Signifikan
UMK di Bali terus meningkat selama periode penelitian, namun tidak serta-merta memengaruhi rasio kemandirian fiskal. Kenaikan upah tampaknya belum mampu memicu peningkatan pajak daerah secara substansial.
4. Kemiskinan: Tidak Signifikan
Tingkat kemiskinan yang relatif stagnan dan fluktuatif di berbagai kabupaten juga tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap kemandirian fiskal. Ini dapat diartikan bahwa alokasi anggaran untuk bantuan sosial tidak cukup besar untuk menggerus PAD.
Analisis Tambahan: Studi Kasus Kabupaten Badung vs Bangli
Kabupaten Badung menjadi contoh ekstrim daerah yang sangat mandiri secara fiskal karena dominasi sektor pariwisata dan retribusi pajak yang besar. Sebaliknya, Kabupaten Bangli, dengan basis ekonomi agraris dan minim objek pajak daerah, menunjukkan ketergantungan tinggi pada dana pusat. Studi ini menegaskan perlunya diferensiasi kebijakan fiskal dan investasi publik antar daerah.
Implikasi Praktis: Rekomendasi Kebijakan
Peningkatan Belanja Modal Terarah: Daerah dengan potensi ekonomi rendah perlu difasilitasi dengan belanja modal strategis seperti pembangunan pasar, infrastruktur digital, dan fasilitas wisata lokal.
Revitalisasi PAD: Meningkatkan efektivitas pajak daerah, retribusi, dan mengembangkan BUMD untuk memperkuat pendapatan.
Kebijakan Fiskal Berbasis Wilayah: Mendesain intervensi fiskal sesuai karakteristik lokal antara Bali Utara dan Selatan.
Kritik dan Perbandingan Penelitian Sebelumnya
Temuan Fabian Rabbani konsisten dengan Ariani & Putri (2016) dan Elisabeth Sukma Dewi (2020) yang menyatakan belanja modal berdampak positif terhadap kemandirian fiskal. Namun, hasil berbeda dengan studi Fitriyani & Suwarno (2021) yang menyebutkan pengaruh negatif. Perbedaan ini dapat dikaitkan dengan konteks wilayah dan alokasi anggaran yang berbeda.
Relevansi dengan Tren Industri dan Tata Kelola Daerah
Di era smart governance dan digitalisasi keuangan daerah, kemandirian fiskal menjadi prasyarat penting. Pembangunan berbasis belanja modal digital (seperti sistem perpajakan daring dan e-retribusi) dapat menjadi solusi untuk meningkatkan PAD dan menurunkan ketimpangan.
Kesimpulan: Fokus pada Belanja Modal sebagai Katalis
Penelitian ini menyimpulkan bahwa hanya belanja modal yang berkontribusi signifikan terhadap peningkatan kemandirian fiskal di Bali. Variabel lain seperti populasi, upah minimum, dan kemiskinan tidak menunjukkan korelasi kuat. Oleh karena itu, strategi fiskal daerah harus difokuskan pada peningkatan kualitas dan kuantitas belanja modal, khususnya di wilayah yang tertinggal.
Sumber
Fabian Rabbani Hasri. (2024). Faktor Determinan Kemandirian Fiskal Provinsi Bali Tahun 2016–2020. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kebijakan Lingkungan & Investasi
Dipublikasikan oleh pada 21 Mei 2025
Pendahuluan
Indonesia dikenal sebagai negara kaya sumber daya alam, dan Jawa Timur menjadi salah satu provinsi yang berkontribusi besar dalam kekayaan mineral tersebut. Artikel ilmiah berjudul "Sumberdaya, Cadangan, Produksi Mineral dan Batuan Provinsi Jawa Timur Tahun 2018" yang ditulis oleh Gregorius Aryoko Gautama, Dandung Novianto, dan Agus Suhardono dari Politeknik Negeri Malang ini mengangkat pentingnya pemetaan potensi mineral secara sistematis dan ilmiah berdasarkan standar nasional. Fokus utamanya adalah menghitung cadangan dan produksi mineral serta memberikan gambaran neraca sumberdaya menggunakan acuan SNI 6728.4:2015.
Latar Belakang Penelitian
Sebagai bagian dari Cincin Api Pasifik, Jawa Timur memiliki potensi geologi luar biasa. Provinsi ini menyimpan tidak kurang dari 31 jenis komoditas mineral yang tersebar di berbagai daerah. Namun, pengelolaan dan pemanfaatannya belum optimal, terlihat dari besarnya sisa cadangan yang belum tergarap.
Mineral dalam studi ini dikategorikan menjadi tiga:
Mineral logam: emas, tembaga, besi, nikel, pasir besi
Mineral bukan logam: gamping, belerang, feldspar, kaolin
Mineral batuan: andesit, marmer, dolomit, tanah urug, sirtu
Penelitian ini penting karena:
Menyediakan data dasar untuk perencanaan wilayah dan tata ruang.
Menjadi rujukan dalam kebijakan pengelolaan sumber daya berbasis lingkungan.
Menawarkan alternatif pendapatan asli daerah (PAD) melalui pajak mineral.
Metodologi
Penulis mengandalkan data dari Dinas ESDM Provinsi Jawa Timur dan menyusun neraca mineral dengan tahapan:
Inventarisasi data: produksi, cadangan, dan sumberdaya.
Klasifikasi menurut SNI 6728.4:2015:
Sumberdaya: hipotetik, tereka, terindikasi, terukur
Cadangan: terkira, terbukti
Analisis kuantitatif: menyusun tabel dan grafik distribusi sumberdaya dan produksinya.
Hasil Penelitian
Komoditas Unggulan:
Mineral Logam: Potensi emas sebesar 144 juta ton, menjadikannya komoditas logam terbesar.
Mineral Bukan Logam: Batu gamping menonjol dengan total cadangan 4,36 miliar ton.
Mineral Batuan: Andesit menduduki posisi tertinggi dengan potensi 1,28 miliar ton.
Produksi:
Komoditas dengan volume produksi tertinggi:
Batu Gamping: 1.232.795 ton
Sirtu: 3.756.253 ton
Beberapa komoditas penting seperti emas dan pasir besi belum diproduksi sama sekali, menunjukkan potensi yang belum tergarap.
Cadangan Terbukti:
Batu gamping: 773 juta ton terbukti, 1,7 miliar ton terkira
Dolomit: 552 juta ton
Marmer: 9,8 juta ton
Analisis Tambahan & Opini
Pemanfaatan Masih Terbatas
Data menunjukkan bahwa banyak potensi mineral belum tergali. Hal ini bisa disebabkan oleh:
Keterbatasan infrastruktur penambangan
Kendala regulasi dan perizinan
Risiko lingkungan dan sosial di lokasi tambang
Dampak Ekonomi yang Belum Maksimal
Padahal sektor pertambangan berpotensi mendongkrak PAD jika:
Terdapat sistem penarikan pajak mineral yang transparan
Adanya insentif investasi untuk pelaku usaha tambang
Diterapkannya prinsip pertambangan berkelanjutan
Masalah Transparansi dan Data
Beberapa data seperti cadangan untuk komoditas besar tidak tersedia lengkap.
Produksi aktual untuk tahun 2019 tidak dicantumkan secara detil.
Studi Kasus Daerah
Trenggalek dan Banyuwangi memiliki potensi emas tinggi namun belum termanfaatkan secara optimal.
Tuban dan Blitar menjadi lumbung batu gamping, mendukung industri semen dan infrastruktur nasional.
Implikasi Kebijakan
Pengelolaan Terpadu: Sinergi antara pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat perlu diperkuat.
Transparansi Data: Publikasi data sumberdaya harus ditingkatkan untuk menarik investasi.
Kebijakan Berbasis Zonasi: Wilayah harus dikembangkan sesuai dengan karakteristik komoditas dominannya.
Lingkungan Hidup: Eksploitasi mineral harus disertai rencana reklamasi dan pengelolaan limbah.
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Sejalan dengan studi Sembiring (2019) di Jawa Tengah tentang pentingnya evaluasi neraca mineral.
Berbeda dengan temuan Pamungkas (2018) yang menekankan nilai ekonomi sumberdaya mineral dalam rupiah, sementara penelitian ini fokus pada volume.
Kesimpulan
Jawa Timur memiliki kekayaan mineral luar biasa, tetapi belum tergarap secara optimal. Penelitian ini berhasil membuka mata bahwa pengelolaan berbasis data menjadi kebutuhan mutlak untuk pengembangan sumberdaya secara berkelanjutan.
Saran
Pemerintah perlu membentuk badan audit mineral daerah.
Perluasan eksplorasi untuk komoditas yang belum tercatat seperti pasir besi dan kaolin.
Pendidikan masyarakat lokal tentang potensi tambang dan pengelolaan dampaknya.
Sumber
Gautama, G. A., Novianto, D., & Suhardono, A. (2021). Sumberdaya, Cadangan, Produksi Mineral dan Batuan Provinsi Jawa Timur Tahun 2018. Jurnal Qua Teknika, 11(1), 52–66. https://ejournal.unisbablitar.ac.id/index.php/qua/article/view/3910
penelitian
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Urgensi Produktivitas dalam Dunia Konstruksi
Di tengah pesatnya pertumbuhan infrastruktur Indonesia, produktivitas di sektor konstruksi menjadi titik tumpu keberhasilan. Dalam proyek berskala besar maupun menengah, kinerja produktivitas menentukan apakah sebuah pekerjaan dapat diselesaikan tepat waktu, sesuai anggaran, dan dengan mutu optimal. Namun, bagaimana cara mengukur produktivitas tersebut secara adil dan objektif? Tesis Rintih Prastianing Atas Kasih dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember menjawab pertanyaan ini dengan menyusun sebuah model penilaian produktivitas proyek konstruksi (PPK) yang terstruktur, terukur, dan relevan dengan kondisi lapangan Indonesia.
Latar Belakang Penelitian
Produktivitas konstruksi di Indonesia menghadapi tantangan khas: padat karya, banyak ketergantungan pada tenaga manusia, serta dinamika proyek yang cepat berubah. Berdasarkan data dari Kementerian PUPR, nilai proyek konstruksi Indonesia mencapai Rp 1.000 triliun per tahun (Rahayu, 2015), namun sering terkendala manajemen buruk, mutu tak konsisten, dan pemborosan waktu.
Salah satu akar masalahnya adalah tidak adanya alat ukur produktivitas yang komprehensif dan spesifik bagi proyek konstruksi Indonesia. Sebagian besar penelitian hanya memetakan faktor-faktor penyebab produktivitas tanpa mengusulkan alat ukur yang dapat digunakan sebagai standar benchmarking di lapangan.
Tujuan dan Ruang Lingkup
Penelitian ini bertujuan untuk:
Mengembangkan model penilaian produktivitas konstruksi berdasarkan variabel internal dan eksternal.
Mengimplementasikan model tersebut ke dalam tujuh proyek nyata dari kontraktor besar dan menengah, baik BUMN maupun swasta.
Penilaian dilakukan dari sudut pandang pemilik proyek (owner), menjadikannya lebih relevan untuk evaluasi kinerja kontraktor.
Metodologi: Pendekatan Ilmiah yang Berbasis Praktik Lapangan
Penelitian ini menggunakan kombinasi:
Studi literatur mendalam untuk identifikasi variabel.
Kuesioner dan wawancara ahli untuk penilaian bobot menggunakan metode pairwise comparison.
Pengolahan data dilakukan dengan model Spider Web, yang menggambarkan performa secara visual dan komprehensif.
Model PPK dibagi ke dalam dua kategori besar:
Internal (73,8%), terdiri dari:
Manajemen (39,38%)
Sumber daya manusia (34,42%)
Eksternal (26,2%), termasuk lingkungan, kebijakan, dan faktor luar proyek.
Temuan Kunci: Faktor Human Menjadi Penentu Produktivitas Tertinggi
A. Internal – Human dan Manajemen
Faktor Human (SDM) mencakup usia, pengalaman kerja, tingkat pendidikan, sistem upah, lembur, dan waktu istirahat.
Faktor Manajemen mencakup keterampilan manajer proyek, sistem operasional, dan penerapan Project Management Maturity Model (OPM3).
Tingkat produktivitas tertinggi justru berasal dari kategori human, menegaskan bahwa kualitas dan kondisi tenaga kerja masih menjadi tulang punggung dalam proyek konstruksi di Indonesia.
B. Eksternal – Masih Kurang Signifikan
Termasuk regulasi pemerintah, cuaca, kondisi sosial, dan pasokan material.
Memiliki skor terendah dari total penilaian, menunjukkan bahwa kontrol eksternal yang lemah mengurangi pengaruhnya terhadap produktivitas langsung.
Studi Kasus: Implementasi Model pada Proyek Nyata
Model diuji pada 7 proyek konstruksi bangunan, baik BUMN maupun swasta. Hasilnya:
Skor produktivitas tertinggi dicapai oleh kategori Human (rata-rata 3,4 dari 5).
Skor produktivitas proyek secara keseluruhan berada pada level 3 (cukup produktif).
Proyek-proyek swasta cenderung memiliki skor yang lebih tinggi pada aspek manajemen dibandingkan proyek BUMN.
Visualisasi spider web menampilkan kelemahan dan kekuatan masing-masing proyek secara intuitif, memudahkan proses evaluasi dan perencanaan perbaikan.
Analisis Tambahan: Kenapa Human Jadi Kunci?
Banyak literatur menyebut bahwa efisiensi dalam konstruksi tidak hanya dipengaruhi teknologi atau manajemen, tetapi terutama oleh tenaga kerjanya. Dalam konteks Indonesia:
Ketergantungan pada pekerja manual sangat tinggi.
Produktivitas sangat dipengaruhi oleh sistem upah, motivasi, dan sistem kerja.
Sebagai pembanding, laporan McKinsey (2020) menyebut bahwa negara-negara dengan sistem insentif pekerja yang baik memiliki produktivitas 30% lebih tinggi dari rata-rata global.
Opini Kritis: Kekuatan dan Kelemahan Model PPK
Kekuatan:
Mengintegrasikan faktor manajemen dan SDM, bukan hanya fokus pada teknis.
Visualisasi spider web sangat membantu proses evaluasi cepat.
Pendekatan empiris dengan validasi proyek nyata, bukan sekadar simulasi.
Kelemahan:
Belum mempertimbangkan variabel teknologi secara eksplisit.
Representasi faktor eksternal masih terlalu luas dan kurang spesifik.
Tidak mengukur dampak perubahan kebijakan publik atau kondisi makroekonomi secara dinamis.
Perbandingan dengan Studi Lain
Penelitian ini lebih komprehensif dibandingkan model pengukuran sebelumnya:
Mateen (2015): Fokus pada project management maturity, belum menyentuh sisi produktivitas total.
El-Gohary & Aziz (2014): Mengidentifikasi faktor pengaruh produktivitas, tapi tanpa model pengukuran kuantitatif.
Dengan menggabungkan pendekatan OPM3, penelitian ini berada satu tingkat lebih maju, terutama dalam menjembatani gap antara penelitian teoritis dan aplikasi langsung di proyek.
Implikasi Praktis
Bagi Kontraktor:
Model ini bisa dijadikan alat evaluasi tahunan untuk mengukur performa proyek.
Menjadi dasar untuk menyusun strategi pelatihan dan manajemen tenaga kerja.
Bagi Pemerintah:
Dapat digunakan sebagai dasar pembuatan standar penilaian produktivitas nasional.
Menyediakan indikator baru untuk mengukur kualitas kontraktor dalam proses tender.
Bagi Akademisi:
Memberi arah baru untuk riset lanjutan dalam pengembangan model berbasis teknologi atau hybrid productivity.
Rekomendasi Penelitian Lanjutan
Integrasi teknologi: Masukkan elemen digitalisasi dan BIM sebagai faktor penilaian.
Pemodelan dinamis: Tambahkan sistem pemantauan real-time produktivitas proyek.
Ekspansi sektor: Terapkan model pada proyek infrastruktur jalan, jembatan, atau bendungan yang memiliki karakteristik berbeda dari bangunan gedung.
Kesimpulan
Tesis ini berhasil menyusun dan mengimplementasikan sebuah model penilaian produktivitas proyek konstruksi yang tidak hanya kuat secara metodologis, tetapi juga aplikatif di lapangan. Dengan mengutamakan faktor internal seperti manajemen dan SDM, serta memperkuat visualisasi penilaian melalui spider web, model ini bisa menjadi standar baru evaluasi kinerja proyek di Indonesia.
Namun demikian, penyempurnaan lebih lanjut masih diperlukan, terutama dalam hal integrasi teknologi dan perincian aspek eksternal. Dengan demikian, penelitian ini membuka pintu bagi pengukuran produktivitas konstruksi yang lebih akurat, adil, dan adaptif terhadap perubahan zaman
Sumber Artikel
Kasih, R. P. A. (2018). Model Penilaian Produktivitas pada Proyek Konstruksi di Indonesia. Tesis Magister, Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Tersedia di: https://repository.its.ac.id
Kontruksi Modern
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Produktivitas, Masalah Lama di Dunia Konstruksi
Industri konstruksi dikenal sebagai salah satu sektor penting dalam pembangunan nasional, tetapi ironi besar muncul ketika berbicara soal produktivitas. Dibandingkan sektor manufaktur, tingkat inovasi dan efisiensi konstruksi masih tertinggal jauh. Berdasarkan data dari Lean Construction Institute, sebanyak 57% aktivitas kontruksi tergolong “waste”, sementara hanya 10% yang benar-benar memberikan nilai tambah.
Dalam konteks inilah, artikel karya Paulus Setyo Nugroho menjadi sangat relevan. Penelitian ini tidak hanya memaparkan masalah klasik seperti keterlambatan proyek dan pembengkakan biaya, tetapi juga menawarkan solusi praktis melalui pemilihan metode konstruksi yang tepat, khususnya melalui penerapan teknologi pracetak dan inovasi sistem panel dinding serta metode Rheda untuk pembangunan rel kereta cepat.
Metodologi: Pendekatan Perbandingan Multi-Metode Konstruksi
Penelitian ini bersifat deskriptif-komparatif dengan pendekatan studi kasus di beberapa proyek nyata, termasuk:
Proyek Rusunawa Cilacap (penggunaan metode pracetak vs konvensional)
Proyek jalur rel kecepatan tinggi antara Belgia–Belanda (penggunaan metode Rheda 2000 NL)
Evaluasi sistem konstruksi gedung perumahan berbasis panel dinding prefab.
Fokus utamanya adalah mengukur efisiensi waktu, biaya, dan produktivitas kerja, yang kemudian dibandingkan antar metode.
Hasil Utama: Metode Konstruksi sebagai Game Changer
A. Pracetak vs Konvensional: Studi Kasus Rusunawa Cilacap
Metode beton pracetak (precast concrete) terbukti mampu memangkas waktu dan biaya proyek:
Durasi pelaksanaan struktur:
Pracetak: 168 hari
Konvensional: 196 hari
Efisiensi waktu: 14% lebih cepat
Penghematan biaya total struktur: Rp 227,5 juta (sekitar 6%)
Pengurangan biaya pelat: 10%
Penghematan kolom dan balok: 2%
B. Rheda 2000 NL: Solusi Efisiensi untuk Infrastruktur Rel
Untuk proyek skala besar seperti rel kereta cepat di perbatasan Belanda–Belgia, metode Rheda 2000 NL terbukti meningkatkan produktivitas hingga:
Pengurangan biaya lembur: 24,6%
Peningkatan kecepatan pembetonan (hingga 499 m/hari)
Kualitas pengerjaan meningkat berkat sistem kerja paralel dan peralatan modern
C. Teknologi Panel Dinding: Membangun Rumah dalam Hitungan Hari
Inovasi dalam sistem panel dinding modular (contoh: RISHA dan Smart Modula) dinilai mampu mempercepat proses pembangunan hunian:
Dimensi ringan (90x70 cm) → bisa diangkat oleh 1–2 orang
Tidak perlu alat berat
Sistem sambungan kering → mempercepat pemasangan
Estetika sederhana namun efisien
Analisis Tambahan: Kenapa Metode Berperan Vital?
1. Kunci Efisiensi: Meminimalisasi Pemborosan
Dalam konstruksi, pemborosan waktu dan sumber daya sering kali tidak disadari, seperti:
Proses bekisting yang memakan waktu
Perubahan desain mendadak
Penundaan material
Dengan metode seperti pracetak, aktivitas ini diminimalisasi karena:
Produksi dilakukan di pabrik
Komponen siap pasang
Pekerjaan lapangan dipersingkat
2. Mengurangi Ketergantungan pada Tenaga Ahli
Metode modular memungkinkan pekerja low-skilled bisa melakukan instalasi dengan pelatihan singkat, mengurangi beban biaya SDM. Di tengah kondisi kelangkaan tenaga kerja terampil, solusi ini sangat menjanjikan.
3. Adaptasi Terhadap Tantangan Urbanisasi
Kebutuhan akan pembangunan cepat dan masif (terutama di perkotaan) menuntut inovasi. Di sinilah metode konstruksi industrialisasi menjadi jawaban.
Kritik dan Refleksi: Tidak Semua Proyek Cocok dengan Pracetak
Meskipun metode pracetak terbukti unggul, ada beberapa catatan penting:
Tidak fleksibel terhadap perubahan desain
Biaya awal relatif mahal (biaya pabrikasi & crane)
Membutuhkan perencanaan matang sejak awal
Sebagai contoh, proyek kecil dengan banyak modifikasi di lapangan mungkin lebih cocok dengan metode konvensional atau campuran.
Perbandingan dengan Studi Lain
Artikel ini sejalan dengan temuan Low dan Chan (2001) serta Tam et al. (2007) yang menekankan bahwa pracetak:
Meningkatkan mutu
Mengurangi tenaga kerja
Mempermudah pengawasan
Namun, artikel ini unggul karena menyajikan data kuantitatif dan studi kasus nyata di Indonesia. Pendekatan lokal inilah yang membuatnya lebih aplikatif bagi industri konstruksi nasional.
Implikasi Praktis dan Strategi Implementasi
Bagi Pemerintah:
Dorong penggunaan pracetak melalui regulasi atau insentif
Tambahkan kurikulum modular building di pelatihan kerja
Bagi Kontraktor:
Lakukan studi kelayakan metode sebelum proyek dimulai
Investasi pada teknologi crane dan logistik modular
Bagi Akademisi:
Teliti lebih lanjut integrasi metode hybrid (kombinasi konvensional dan modular)
Kaji dampak metode terhadap emisi karbon proyek
Kesimpulan: Produktivitas adalah Pilihan Strategis
Produktivitas dalam konstruksi bukan sesuatu yang abstrak. Ia bisa dihitung, dibandingkan, dan ditingkatkan. Kuncinya? Pemilihan metode konstruksi yang tepat. Artikel ini secara meyakinkan membuktikan bahwa metode seperti pracetak, Rheda 2000 NL, dan teknologi panel dinding dapat memberikan lompatan besar dalam produktivitas.
Namun, seperti semua strategi, kuncinya ada di implementasi yang cermat dan kontekstual. Pemilihan metode konstruksi bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga soal kesesuaian terhadap kondisi proyek, lokasi, dan tujuan pembangunan.
Sumber
Nugroho, P. S. (2012). Peningkatan Produktivitas Konstruksi Melalui Pemilihan Metode Konstruksi. Dinamika Rekayasa, 8(1), 25–30.
Tersedia di: CORE.ac.uk
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Produktivitas Sebagai Kunci Sukses Proyek Konstruksi
Dalam dunia konstruksi, produktivitas bukan sekadar angka statistik—ia adalah cerminan efisiensi, ketepatan waktu, dan kualitas hasil. Proyek besar seperti pembangunan Brastagi Supermarket di Medan, yang menjadi objek dalam penelitian ini, membutuhkan lebih dari sekadar material berkualitas dan desain arsitektur; kunci keberhasilannya terletak pada sumber daya manusianya, yakni para pekerja konstruksi.
Penelitian ini berangkat dari kebutuhan nyata di lapangan: mengidentifikasi faktor-faktor yang benar-benar mempengaruhi produktivitas pekerja. Sebab, meskipun proyek disokong dana besar dan perencanaan matang, ketidakefisienan tenaga kerja dapat menimbulkan keterlambatan dan kerugian.
Tujuan dan Lingkup Penelitian
Tujuan utama skripsi ini adalah untuk mengetahui:
Apa saja faktor yang mempengaruhi produktivitas pekerja di proyek pembangunan Brastagi Supermarket?
Faktor mana yang memiliki pengaruh paling dominan?
Lingkup penelitian difokuskan pada tahap pekerjaan basement dan lantai 1, melibatkan tukang, asisten mandor, dan mandor sebagai responden.
Metodologi Penelitian: Kuantitatif dengan Analisis SPSS
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif berbasis survei. Instrumen utama adalah kuesioner dengan skala Likert, yang kemudian dianalisis melalui uji validitas, reliabilitas, dan penghitungan rata-rata (mean) menggunakan SPSS versi 26.
Enam variabel diuji, yaitu:
Usia
Pengalaman kerja
Upah
Jumlah tanggungan keluarga
Kesehatan
Kondisi lapangan
Nilai produktivitas dihitung berdasarkan skor agregat tiap faktor, menghasilkan total skor 3.124 poin.
Hasil Temuan: Upah sebagai Faktor Terkuat
Dari seluruh variabel yang diteliti, faktor upah menempati posisi tertinggi dalam mempengaruhi produktivitas pekerja, dengan koefisien sebesar 32,400. Disusul oleh pengalaman kerja dan kesehatan sebagai variabel signifikan lainnya.
Statistik Penting:
Total skor produktivitas: 3.124 poin
Koefisien tertinggi (faktor upah): 32,400
Usia dan jumlah tanggungan memiliki pengaruh sedang
Faktor lingkungan (kondisi lapangan) juga turut berkontribusi, meski tidak sebesar faktor ekonomi
Analisis Tambahan: Kenapa Upah Jadi Penentu?
Secara sosiologis dan psikologis, upah bukan hanya soal kompensasi, tetapi juga cermin penghargaan dan motivasi. Ketika pekerja merasa dihargai secara finansial, hal itu meningkatkan rasa tanggung jawab dan loyalitas mereka terhadap proyek.
Dalam konteks Medan dan sektor konstruksi Sumatera Utara, standar upah sering kali menjadi isu. Berdasarkan data dari BPS 2023, rata-rata upah harian tukang bangunan di Indonesia berkisar antara Rp 120.000–150.000. Bila proyek seperti Brastagi Supermarket menerapkan skema upah di bawah atau tidak sesuai dengan kompleksitas kerja, maka potensi penurunan produktivitas meningkat signifikan.
Perbandingan dengan Studi Terdahulu
Penelitian ini mengonfirmasi hasil penelitian sebelumnya:
Faradina (2021): Faktor kesehatan paling dominan dalam proyek MTsN 3 Pekanbaru.
Iqbal (2018): Faktor upah berpengaruh signifikan dalam proyek PT. Mega Prima Development.
Widayat (2017): Faktor usia dan pengalaman memiliki korelasi tinggi terhadap produktivitas.
Namun, dalam studi Alexius ini, faktor upah justru menempati posisi puncak. Hal ini memperlihatkan bahwa dinamika produktivitas bisa sangat tergantung pada konteks lokal proyek.
Studi Kasus Nyata: Proyek MRT Jakarta
Sebagai pembanding, proyek MRT Jakarta fase 1 juga mengalami dinamika serupa. Pada awal 2020, produktivitas pekerja sempat menurun karena isu pembayaran yang tertunda. Setelah manajemen memperbaiki sistem insentif dan pemberian bonus berbasis kinerja, produktivitas meningkat hingga 20% dalam tiga bulan (sumber: Laporan PT MRT Jakarta, 2021).
Hal ini membuktikan bahwa insentif finansial yang adil dan terukur dapat menjadi pemicu percepatan proyek secara keseluruhan.
Implikasi Praktis Penelitian
Bagi Kontraktor dan Manajemen Proyek:
Penyesuaian upah berdasarkan UMR dan kondisi proyek sangat penting.
Program pelatihan kesehatan kerja dan manajemen stres bisa meningkatkan produktivitas jangka panjang.
Bagi Pemerintah Daerah:
Perlu diterapkan regulasi minimum wage khusus untuk sektor konstruksi.
Mendorong pengawasan yang lebih ketat terhadap standar kerja di proyek-proyek publik dan swasta.
Kelebihan dan Keterbatasan Penelitian
Kelebihan:
Analisis statistik berbasis SPSS memberikan hasil kuantitatif yang dapat dipertanggungjawabkan.
Studi lapangan secara langsung di proyek yang sedang berjalan.
Keterbatasan:
Penelitian hanya mencakup area basement dan lantai 1 proyek, yang mungkin belum mencerminkan keseluruhan kondisi proyek.
Fokus hanya pada faktor internal pekerja, belum mempertimbangkan faktor manajerial atau kebijakan proyek.
Opini dan Rekomendasi Penulis
Penelitian ini sangat relevan dengan tantangan produktivitas yang dihadapi sektor konstruksi Indonesia. Penulis menyarankan agar penelitian serupa dilakukan secara longitudinal, tidak hanya pada satu fase proyek, untuk melihat perubahan dinamika produktivitas dari awal hingga akhir proyek.
Lebih lanjut, akan sangat menarik bila dikembangkan studi komparatif antar provinsi atau wilayah—untuk memahami pengaruh budaya kerja dan kebijakan lokal terhadap produktivitas.
Kesimpulan
Produktivitas pekerja adalah elemen kritis dalam keberhasilan proyek konstruksi. Melalui penelitian Alexius Awalludin Hulu ini, kita belajar bahwa faktor upah, pengalaman kerja, dan kesehatan memiliki pengaruh signifikan terhadap produktivitas pekerja.
Untuk menjawab tantangan produktivitas, diperlukan pendekatan manajerial yang holistik: mulai dari kebijakan pengupahan yang adil hingga peningkatan kapasitas tenaga kerja melalui pelatihan berkelanjutan. Dengan begitu, proyek konstruksi di Indonesia dapat diselesaikan lebih cepat, efisien, dan dengan kualitas yang lebih baik.
Sumber Artikel
Hulu, A. A. (2023). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Pekerja pada Proyek Pembangunan Brastagi Supermarket. Skripsi, Universitas Medan Area.
Tersedia di: repository.uma.ac.id
Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 21 Mei 2025
Pembangunan proyek infrastruktur, khususnya rumah sakit, adalah tugas kompleks yang penuh risiko. Artikel berjudul “Langkah Mitigasi Risiko Keterlambatan Pekerjaan dengan Pendekatan Metode House of Risk (HOR) pada Proyek Pembangunan Rumah Sakit” oleh Kyrra Sandra Sarkisian dkk., menawarkan pendekatan sistematis dalam mengidentifikasi dan mengelola risiko keterlambatan proyek konstruksi menggunakan metode House of Risk (HOR). Resensi ini akan membahas secara menyeluruh isi paper tersebut dengan penekanan pada studi kasus, angka-angka yang signifikan, dan relevansi praktisnya di industri konstruksi Indonesia.
Tantangan dalam Proyek Rumah Sakit: Kompleksitas dan Kebutuhan Khusus
Penelitian ini mengambil studi kasus pembangunan rumah sakit tujuh lantai di Sidoarjo yang menjadi bagian dari fasilitas penunjang tambahan sebuah rumah sakit eksisting. Rumah sakit, berbeda dengan bangunan komersial lain seperti ruko atau apartemen, memiliki regulasi dan standar infrastruktur khusus, seperti sistem sanitasi, sterilisasi, dan sirkulasi udara yang kompleks. Ini menjadikan proyek rumah sakit jauh lebih menantang.
Dalam proyek ini, keterlambatan mulai terlihat dari minggu ke-7 sampai minggu ke-10. Rinciannya:
Minggu ke-7: deviasi keterlambatan 0,369%
Minggu ke-8: 1,876%
Minggu ke-9: 2,940%
Minggu ke-10: 1,440%
Keterlambatan ini terjadi pada fase pekerjaan pondasi tiang pancang, yang diperparah oleh akses lokasi yang terbatas dan kondisi site yang tidak mendukung.
Pendekatan HOR: Sistematik dan Berbasis Data
House of Risk (HOR) adalah metode yang dikembangkan oleh Pujawan dan Geraldin (2009), dengan dua fase utama:
Fase 1: Identifikasi risiko dan prioritas pemicu keterlambatan
Fase 2: Formulasi langkah mitigasi terhadap pemicu yang diprioritaskan
HOR menggabungkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif menggunakan data observasi, kuesioner, wawancara dengan staf ahli di lapangan, dan teknik evaluasi seperti Pareto Analysis dan perhitungan Aggregate Risk Potential (ARP).
Hasil Identifikasi Risiko (Fase 1)
Penelitian menemukan 7 risk agent (pemicu risiko) utama:
Lamanya proses fabrikasi material
Terlambatnya pengiriman material akibat perubahan spesifikasi tiang pancang
Perubahan desain pondasi dan titik pondasi
Perubahan kedalaman tiang pancang
Perubahan lokasi water tank
Lokasi proyek yang sulit diakses
Kerusakan alat berat
Melalui analisis Pareto, tiga faktor teratas dengan kontribusi signifikan terhadap keterlambatan diprioritaskan:
Kerusakan alat berat
Lokasi site yang sulit
Perubahan kedalaman tiang pancang
Misalnya, faktor "kerusakan alat berat" menyumbang 47,09% potensi keterlambatan (ADPj = 172 dari total 81). Ini menunjukkan betapa krusialnya manajemen peralatan berat di lapangan.
Strategi Mitigasi Efektif (Fase 2)
Setelah mengidentifikasi prioritas risiko, peneliti menyusun lima langkah mitigasi yang kemudian dievaluasi berdasarkan efektivitas dan tingkat kesulitannya:
PA4: Melakukan penjadwalan ulang (reschedule)
Strategi ini menjadi yang paling efektif karena mampu menyesuaikan dengan perubahan kondisi lapangan dan fleksibel terhadap dinamika proyek. Memiliki nilai efektivitas tertinggi (TEk = 375) dan rasio efektivitas terhadap kesulitan (ETDk) sebesar 375.
PA3: Pembagian zona kerja (scope)
Membagi pekerjaan menjadi beberapa zona mengurangi ketergantungan antar aktivitas dan mempercepat eksekusi bagian yang tidak terdampak. Nilai efektivitasnya cukup tinggi (TEk = 375) dengan ETDk = 168.75.
PA2: Penyesuaian jadwal mobilisasi dan fabrikasi material
Langkah ini mengatur ulang proses logistik proyek untuk menghindari bottleneck akibat keterlambatan material. TEk = 225 dengan ETDk = 112.5.
PA1: Pemeriksaan berkala alat berat
Pemeliharaan rutin menjadi langkah pencegahan sederhana namun penting untuk menghindari kerusakan alat berat. ETDk = 125 meskipun skor efektivitasnya (TEk = 375) sama dengan PA4 dan PA3, tetapi karena tingkat kesulitannya lebih tinggi, rankingnya lebih rendah.
PA5: Survei awal desain tanah
Langkah ini berguna untuk meminimalkan perubahan mendadak terkait desain pondasi. Namun ETDk-nya hanya 66, menjadi opsi mitigasi dengan ranking terendah karena tantangan pelaksanaan awal yang tinggi.
Relevansi Strategi HOR dalam Industri Konstruksi
Metode HOR memberikan cara yang terstruktur dan berbasis data untuk mengelola risiko konstruksi. Hal ini menjadi sangat relevan di Indonesia yang memiliki dinamika proyek kompleks dan kerap menghadapi kendala administratif, geografis, serta logistik. Dalam studi kasus ini, penggabungan data primer (wawancara) dan sekunder (kurva S, laporan deviasi) memperkaya analisis dan menjadikan rekomendasi lebih praktis dan implementatif.
Strategi seperti rescheduling dan scope splitting bukan hanya relevan dalam pembangunan rumah sakit, tetapi juga di proyek-proyek besar lainnya seperti pembangunan gedung pemerintah, pusat perbelanjaan, bahkan proyek infrastruktur seperti jalan tol dan jembatan.
Meski paper ini sangat aplikatif, terdapat beberapa kekurangan:
Jumlah responden terbatas (hanya dua staf proyek), padahal validitas data bisa lebih kuat dengan melibatkan lebih banyak pihak seperti vendor material, konsultan perencana, atau manajemen rumah sakit.
Evaluasi efektivitas mitigasi lebih banyak mengandalkan persepsi responden daripada data historis proyek sejenis, yang bisa menjadi peluang pengembangan penelitian lebih lanjut.
Penelitian lanjutan dapat memperluas metode HOR dengan tambahan teknologi seperti Building Information Modeling (BIM) untuk memperkirakan keterlambatan secara lebih presisi.
Penelitian oleh Sarkisian dkk. menjadi kontribusi nyata dalam mengatasi permasalahan klasik dunia konstruksi: keterlambatan proyek. Metode House of Risk terbukti mampu mengidentifikasi dan mengatasi penyebab keterlambatan secara sistematis, dengan hasil konkret yang bisa dijadikan pedoman teknis oleh manajer proyek dan pelaksana lapangan.
Langkah mitigasi seperti penjadwalan ulang, pemecahan zona kerja, hingga pengawasan alat berat bukan hanya mengurangi risiko tetapi juga meningkatkan efisiensi proyek. Dengan mengadopsi pendekatan seperti ini secara luas, proyek konstruksi di Indonesia dapat menjadi lebih tepat waktu, efisien, dan sesuai mutu yang direncanakan.
Sumber asli artikel (dalam bahasa Indonesia):
Sarkisian, Kyrra Sandra; Gede Sarya; Masca Indra Triana. "Langkah Mitigasi Risiko Keterlambatan Pekerjaan dengan Pendekatan Metode House of Risk (HOR) pada Proyek Pembangunan Rumah Sakit." PORTAL: Jurnal Teknik Sipil, Volume 16, Edisi Khusus, Januari 2023.