Supply Chain Management

Sebuah Analisis Mengejutkan: Mengapa Bencana dan Krisis Global Memicu Efek Domino dalam Rantai Pasok

Dipublikasikan oleh Hansel pada 15 September 2025


Peristiwa seperti pandemi global, ketidakstabilan geopolitik, atau bencana alam telah menjadi bagian dari realitas bisnis yang tak terhindarkan. Gangguan yang terjadi di satu belahan dunia sering kali terasa dampaknya di sisi lain, mulai dari terhentinya pasokan bahan baku hingga kenaikan harga produk yang tak terduga. Fenomena ini, yang dalam dunia ilmiah dikenal sebagai "efek riak" dalam rantai pasok (supply chain), bukan sekadar gangguan sporadis. Sebaliknya, sebuah studi empiris terbaru mengungkapkan bahwa ini adalah rantai reaksi yang kompleks, di mana risiko eksternal memicu serangkaian kerentanan internal yang memperparah dampak keseluruhan.

Sebuah tim peneliti yang terdiri dari akademisi di Vietnam dan Jepang, termasuk An Thi Binh Duong dari HUTECH University dan Tho Pham dari Tokyo Keizai University, telah melakukan studi pionir yang mengungkap mekanisme di balik penyebaran efek riak ini.1 Melalui penelitian ini, mereka berupaya mengisi kesenjangan pengetahuan yang selama ini berfokus pada risiko tunggal, dengan menganalisis bagaimana berbagai jenis risiko berinteraksi secara simultan untuk memengaruhi kinerja rantai pasok. Laporan ini akan membawa Anda dalam sebuah investigasi mendalam untuk memahami cetak biru yang mengejutkan tentang bagaimana efek ini menyebar, dan mengapa temuan ini harus mengubah cara kita berpikir tentang ketahanan bisnis di masa depan.

 

Menggali Temuan Utama: Jaringan Tersembunyi di Balik Kerentanan Rantai Pasok

Selama bertahun-tahun, banyak penelitian tentang manajemen risiko dalam rantai pasok, terutama di industri konstruksi, lebih sering berfokus pada identifikasi dan kuantifikasi dampak dari satu jenis risiko.1 Pendekatan ini, yang melihat risiko sebagai entitas yang terisolasi, sering kali tidak efektif dalam menghadapi situasi dunia nyata, di mana banyak risiko terjadi secara bersamaan dan saling terkait.1 Para peneliti dalam studi ini berargumen bahwa risiko tidak muncul secara independen. Sebaliknya, satu risiko bisa memicu kemunculan risiko lain, menciptakan sebuah jaringan sebab-akibat yang lebih merusak dari sekadar jumlah bagian-bagiannya.

Untuk menguji hipotesis ini, para peneliti merancang sebuah penelitian empiris berskala besar. Mereka mengumpulkan data dari 207 perusahaan konstruksi di Vietnam melalui survei terstruktur.1 Data ini dikumpulkan sebagai bagian dari sebuah proyek yang didukung oleh pemerintah Jepang untuk mempromosikan pembangunan sosial ekonomi berkelanjutan di kawasan ASEAN.1 Metode analisis yang digunakan, yaitu

Structural Equation Modeling (SEM), memungkinkan mereka untuk memodelkan hubungan kausal yang kompleks antara berbagai jenis risiko, memetakan bagaimana satu jenis risiko "mendorong" atau "memperparah" risiko lainnya.1

 

Jaringan Kausal yang Terungkap

Hasil penelitian ini secara mengejutkan memvalidasi dugaan para peneliti tentang sifat sistemik dari risiko. Mereka menemukan bahwa risiko-risiko eksternal, yang sering kali berada di luar kendali langsung perusahaan, secara konsisten memicu jenis risiko internal tertentu. Temuan ini dapat dipetakan dalam sebuah alur sebab-akibat yang jelas:

  • Risiko Buatan Manusia (seperti ketidakstabilan politik, masalah hukum, atau krisis ekonomi) terbukti secara signifikan memicu risiko operasional.1
  • Risiko Alam (seperti bencana alam atau epidemi) memiliki dampak yang lebih luas, memicu risiko pasokan maupun risiko operasional.1

Risiko pasokan mencakup masalah seperti fluktuasi harga atau kebangkrutan pemasok, sementara risiko operasional meliputi gangguan di dalam perusahaan itu sendiri, seperti perselisihan tenaga kerja, kecelakaan kerja, atau perubahan teknologi.1 Hasil ini menggarisbawahi sebuah fakta krusial: dampak awal dari sebuah bencana tidak berhenti di pintu gerbang perusahaan; ia merembet ke dalam, memicu kerentanan internal yang sudah ada.

 

Sang Penguat "Efek Riak"

Titik paling penting dan mengejutkan dari penelitian ini adalah identifikasi peran kunci dari risiko operasional.1 Temuan menunjukkan bahwa dampak dari risiko buatan manusia dan risiko alam tidak langsung memengaruhi kinerja perusahaan. Sebaliknya, dampak ini

diperkuat atau diperparah melalui risiko operasional.1 Ini berarti, sebuah gempa bumi atau krisis ekonomi tidak serta-merta merusak kinerja, melainkan memicu gangguan operasional (misalnya, kelangkaan material atau kecelakaan kerja karena tekanan) yang pada akhirnya memiliki konsekuensi buruk terhadap kinerja.

Hubungan ini menjelaskan mengapa banyak strategi mitigasi risiko tradisional yang berfokus pada "titik" sering kali gagal. Misalnya, sebuah perusahaan yang hanya menyiapkan strategi untuk menghadapi bencana alam, tetapi tidak memperkuat fondasi operasional internalnya, akan tetap rentan. Gangguan eksternal akan masuk, memicu kelemahan operasional, dan merusak seluruh sistem. Dalam pandangan ini, risiko operasional bukanlah sekadar efek samping, melainkan merupakan "amplifikasi" atau "penguat" utama dari semua risiko eksternal.

Model penelitian ini mampu menjelaskan $R^{2} = 0.54$, yang berarti model tersebut dapat memprediksi 54% variasi dalam kinerja rantai pasok.1 Angka ini adalah pencapaian yang signifikan, memberikan para manajer keuntungan strategis yang luar biasa. Bayangkan seorang petani yang tiba-tiba memiliki kemampuan untuk memprediksi lebih dari separuh potensi gagal panennya jauh sebelum bibit ditanam, hanya dengan memahami pola cuaca dan jenis tanah. Informasi ini memberikan keuntungan strategis yang luar biasa.

 

Sebuah Pandangan Realistis: Ketika Prediksi Ilmiah Tak Sesuai Harapan

Sebuah studi ilmiah yang kredibel tidak hanya mempresentasikan apa yang berhasil, tetapi juga apa yang tidak. Sikap transparansi ini justru memperkuat validitas temuan. Para peneliti dalam studi ini secara jujur mengakui bahwa beberapa hipotesis yang mereka ajukan tidak didukung oleh data.1

Secara spesifik, model ini tidak menemukan bukti yang mendukung beberapa hubungan kausal yang diajukan, yaitu:

  • Risiko buatan manusia tidak secara langsung memicu risiko pasokan dan risiko permintaan.1
  • Risiko pasokan dan risiko permintaan tidak secara langsung menyebabkan risiko operasional.1
  • Risiko alam dan risiko permintaan tidak memiliki dampak langsung pada kinerja rantai pasok.1

Meskipun temuan-temuan ini mungkin terlihat seperti kegagalan, para peneliti menawarkan penjelasan yang masuk akal dan memberikan pemahaman yang lebih kaya. Mereka berpendapat bahwa data studi ini hanya dikumpulkan dari perusahaan konstruksi di Vietnam.1 Karakteristik unik dari industri dan geografis ini kemungkinan menjadi alasan mengapa hubungan yang dihipotesiskan dari literatur umum tidak berlaku di sini. Ini bukan berarti hipotesis tersebut salah secara universal, tetapi bahwa "efek riak" bukanlah sebuah hukum universal yang kaku, melainkan sebuah mekanisme yang sangat kontekstual, bergantung pada industri dan lingkungan operasionalnya.

Temuan ini sangat berharga karena ia membuka pintu bagi pertanyaan-pertanyaan baru: bagaimana model efek riak ini akan berlaku di industri lain, seperti manufaktur atau teknologi, atau di negara-negara dengan karakteristik ekonomi yang berbeda? Studi ini memberikan landasan yang kuat untuk penelitian selanjutnya, sambil mengingatkan para manajer untuk tidak mengadopsi model mitigasi risiko secara membabi buta tanpa mempertimbangkan konteks spesifik mereka.

 

Membangun Pertahanan: Kunci Menuju Rantai Pasok yang Tangguh

Temuan dari studi ini memberikan peta jalan yang jelas bagi para manajer dan pembuat kebijakan. Karena risiko operasional teridentifikasi sebagai "penguat" utama dari dampak risiko eksternal, strategi mitigasi harus diprioritaskan di area ini. Dengan mengendalikan kerentanan operasional—seperti dengan meningkatkan fleksibilitas tenaga kerja, mengurangi perselisihan, dan menginvestasikan dalam teknologi yang lebih efisien—sebuah perusahaan dapat secara signifikan mengurangi kerusakan akibat bencana alam atau krisis buatan manusia yang tidak dapat dihindari.1

Studi ini juga menekankan pentingnya pengembangan resiliensi atau ketahanan rantai pasok.1 Resiliensi bukanlah tentang mencegah semua gangguan, yang merupakan tujuan yang tidak realistis. Sebaliknya, resiliensi adalah tentang membangun kapasitas untuk "menyerap" gangguan dan pulih dengan cepat, mempertahankan kontinuitas operasional bahkan di tengah situasi yang paling kacau.1 Studi ini memberikan bukti empiris bahwa investasi dalam resiliensi, khususnya yang berfokus pada penguatan operasional internal, adalah cara paling efektif untuk mengelola efek riak dan mempertahankan kinerja tinggi.1

 

Kesimpulan: Dari Data ke Dampak Nyata

Laporan ini dimulai dengan pertanyaan mendasar: mengapa gangguan global begitu merusak bagi rantai pasok kita? Jawabannya, yang disajikan dengan jelas oleh studi ini, bukanlah karena bencana itu sendiri, melainkan karena cara bencana itu diperparah di dalam sistem yang rentan. Temuan ini menjadi pengingat yang kuat bahwa tantangan terbesar bukanlah di luar, tetapi bagaimana sebuah organisasi mengelola kerentanan di dalam sistemnya.

Jika temuan ini diterapkan oleh para manajer dan pembuat kebijakan, mereka berpotensi mengubah cara bisnis beroperasi dalam lanskap global yang tidak pasti. Dengan memprioritaskan mitigasi risiko operasional dan berinvestasi dalam resiliensi, sebuah perusahaan dapat mengurangi biaya kerugian akibat gangguan, meningkatkan efisiensi, dan membangun fondasi bisnis yang jauh lebih stabil dan tahan guncangan dalam waktu lima tahun.

Sumber Artikel:

Duong, A. T. B., Pham, T., Truong Quang, H., Hoang, T. G., McDonald, S., Hoang, T. H., & Pham, H. T. (2024). Ripple effect of disruptions on performance in supply chains: an empirical study. Engineering, Construction and Architectural Management31(13), 1-22.

Selengkapnya
Sebuah Analisis Mengejutkan: Mengapa Bencana dan Krisis Global Memicu Efek Domino dalam Rantai Pasok

Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Studi Kasus Pelaksanaan K3 (Kesehatan dan keselamatan kerja) di kawasan PT Gunbuster Nickel industry

Dipublikasikan oleh Raihan pada 15 September 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Studi kasus K3 di kawasan PT Gunbuster Nickel Industry (PT GNI) menunjukkan bahwa tata kelola keselamatan di industri berisiko tinggi tidak bisa berhenti pada “kepatuhan dokumen,” melainkan harus menyeberang ke disiplin operasional harian lewat pelatihan, pemantauan lingkungan kerja, komunikasi risiko, serta pelibatan pekerja. Peneliti menemukan praktik yang relatif komprehensif: pelatihan K3 rutin, monitoring lingkungan kerja, kampanye keselamatan, dan penguatan peran Panitia Pembina K3 (P2K3). Di saat yang sama, hambatan faktual tetap ada—mulai dari resistensi sebagian pekerja hingga kompleksitas proses smelting—sehingga dibutuhkan strategi proaktif untuk menjaga konsistensi implementasi di lapangan.

Secara sosial, pelibatan aktif pekerja dalam P2K3, dialog rutin, dan diklat tanggap darurat membangun budaya keterbukaan dan saling menghargai—prasyarat penting untuk menekan underreporting insiden dan meningkatkan kedisiplinan penggunaan APD.

Secara ekonomi, praktik K3 yang efektif dikaitkan dengan penurunan angka kecelakaan, pengurangan absensi, dan kenaikan produktivitas—efek berantai yang juga memperkuat citra perusahaan di mata investor.

Secara lingkungan, pemeriksaan dan pengujian aspek lingkungan kerja, kesehatan kerja, alat berat, dan proses operasi ditempatkan sebagai prioritas—mencegah paparan berbahaya, kebocoran risiko, dan dampak eksternalitas lokasi industri.

Secara administratif, keberadaan P2K3—yang diwajibkan pada unit berisiko tinggi—memungkinkan tata kelola berbasis data (pengumpulan–analisis data K3, evaluasi rutin, dan pengendalian risiko) serta koordinasi berkelanjutan dengan pengawas ketenagakerjaan.

Intinya, temuan studi ini memberi landasan kebijakan: kewajiban, kapasitas, dan budaya harus dirajut menjadi satu kesatuan operasional—bukan hanya untuk menjaga keselamatan pekerja, tetapi juga untuk keberlanjutan operasi industri strategis.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, Peluang

Dampak yang dicatat riset. Penerapan pelatihan, monitoring, kampanye, dan pelibatan pekerja berkontribusi pada penurunan kecelakaan, pengurangan absensi, dan kenaikan produktivitas, sekaligus memperbaiki reputasi perusahaan. Ini mengindikasikan bahwa paket intervensi yang konsisten memberikan nilai sosial-ekonomi ganda: keselamatan meningkat, biaya tak langsung menurun, kepercayaan pemangku kepentingan naik.

Hambatan yang muncul. Dua kelompok hambatan menonjol:

  1. Perilaku & Organisasi. Resistensi ketidakpatuhan sebagian karyawan terhadap prosedur K3; kebutuhan penguatan pemahaman dan disiplin kolektif; tantangan mempertahankan ritme pelatihan—terutama pada organisasi besar dan operasi multijalur.
  2. Teknis & Kontekstual. Kompleksitas fisik dan proses—suhu tinggi, alat berat, bahan kimia—serta dinamika eksternal yang memengaruhi stabilitas penerapan aturan. Kondisi ini menuntut pemeriksaan dan pengujian berkala pada lingkungan, kesehatan kerja, dan proses operasi.

Peluang penguatan. Studi menyoroti tiga tuas peningkatan yang sudah dicoba dan dapat ditingkatkan skalanya:

  • P2K3 sebagai “tulang punggung” tata kelola. Fungsinya mencakup pengumpulan–analisis data K3, evaluasi lingkungan kerja, dan pengendalian risiko—basis untuk kebijakan berbasis bukti.
  • Diklat tanggap darurat. Kurikulum mencakup APAR, evakuasi kebakaran, penyelamatan kendaraan, hingga latihan air—relevan untuk meningkatkan kesiapsiagaan insiden multi-skenario.
  • Koordinasi regulator. Bimbingan, timeline kepatuhan, dan pengawasan berkelanjutan dari otoritas ketenagakerjaan membuat standar lebih jelas dan disiplin penegakan lebih konsisten.

4 Rekomendasi Kebijakan Praktis

1) Standardisasi Minimum Fungsi P2K3 + Kewajiban Pelaporan Data K3 Triwulanan

Alasan (berbasis temuan). P2K3 memiliki mandat strategis: mengumpulkan–menganalisis data K3, mengevaluasi lingkungan kerja, mengembangkan pengendalian risiko, dan menjadi forum kerja sama pengusaha–pekerja. Studi menunjukkan P2K3 efektif sebagai simpul tata kelola jika didukung proses dan data yang berjalan.

Kebijakan. Tetapkan standar minimum fungsi P2K3 di sektor berisiko tinggi: (a) indikator pelaporan (insiden, penyakit akibat kerja, near miss, kepatuhan APD); (b) siklus evaluasi risiko; (c) rencana tindak korektif; (d) bukti sosialisasi ke pekerja.

Mekanisme pelaksanaan.

  • Regulator (Kemenaker & Pengawas): mewajibkan pelaporan triwulanan P2K3 melalui kanal digital sederhana, disertai bukti rapat dan tindak lanjut.
  • Perusahaan: menunjuk sekretariat P2K3 dan petugas data K3; mengintegrasikan laporan dengan jadwal audit internal.
  • Umpan balik: pengawas memberi notulensi korektif dan tenggat perbaikan.
    Basis ini mengekstrak praktik P2K3 yang sudah berjalan di PT GNI ke standar nasional operasional.

2) Program Pemeriksaan & Pengujian Berkala atas Lingkungan Kerja, Kesehatan Kerja, Alat Berat, dan Proses Operasi

Alasan (berbasis temuan). Studi menekankan pemeriksaan–pengujian sebagai prioritas utama demi perlindungan optimal; ini mencakup aspek lingkungan, kesehatan kerja, alat berat, serta proses operasional.

Kebijakan. Tetapkan frekuensi minimum (mis. triwulanan) uji/pemeriksaan untuk keempat domain tersebut, plus tindak korektif terdokumentasi.

Mekanisme pelaksanaan.

  • Regulator: menerbitkan daftar periksa nasional sederhana yang wajib dilampirkan pada laporan P2K3 triwulanan.
  • Perusahaan: menunjuk penanggung jawab setiap domain (lingkungan, kesehatan kerja, alat, proses) yang menyatu dalam rapat P2K3.
  • Pengawas: melakukan verifikasi acak terhadap bukti uji dan tindak korektif di lapangan.
    Pendekatan ini menjaga dampak lingkungan tetap terkendali dan menutup celah risiko proses secara sistematis.

3) Penguatan Budaya Keselamatan melalui Dialog Pekerja, Kampanye APD, dan Umpan Balik Terbuka

Alasan (berbasis temuan). Hambatan utama adalah resistensi/ketidakpatuhan sebagian pekerja; di sisi lain, dialog rutin dan kampanye keselamatan terbukti menjadi kanal efektif meningkatkan keterlibatan, pemahaman risiko, dan kenyamanan budaya kerja.

Kebijakan. Wajibkan forum dialog keselamatan bulanan (antara manajemen, P2K3, perwakilan pekerja) dan kampanye APD berkelanjutan dengan materi sederhana (poster, briefing pra-shift, papan skor kepatuhan).

Mekanisme pelaksanaan.

  • Perusahaan: menetapkan “safety moment” pra-shift 5–10 menit; memublikasikan papan skor kepatuhan APD per area; mengarsipkan masukan pekerja dan tindak lanjut.
  • P2K3: menyiapkan umpan balik tertulis untuk setiap isu yang diangkat pekerja.
  • Regulator: meminta dokumentasi forum dan papan skor saat inspeksi berkala.
    Desain ini langsung menyasar akar masalah perilaku yang terekam pada studi.

4) Koordinasi Kepatuhan Berbasis Timeline antara Perusahaan dan Pengawas Ketenagakerjaan

Alasan (berbasis temuan). Studi mendokumentasikan bimbingan dan koordinasi aktif dengan otoritas, disertai penyiapan timeline kepatuhan dan pengawasan berkelanjutan untuk memastikan standar dijalankan.

Kebijakan. Terapkan rencana kepatuhan bertenggat (compliance timeline) tahunan untuk setiap perusahaan berisiko tinggi, berisi daftar aksi (penutupan temuan audit, upgrade sarana, pembaruan SOP, jadwal diklat).

Mekanisme pelaksanaan.

  • Regulator: mengesahkan template timeline; melakukan review tengah tahun dan akhir tahun.
  • Perusahaan: mengintegrasikan timeline ke anggaran dan rencana kerja; melapor progres pada rapat triwulanan P2K3.
  • Pengawas: mengeluarkan catatan korektif wajib tindak lanjut dengan batas waktu jelas.
    Skema ini menutup jurang antara “rencana di atas kertas” dan realisasi lapangan yang konsisten.

Kritik: Risiko Jika Kebijakan Tidak Dilengkapi Input dari Studi Ini

Tanpa menyerap pembelajaran kunci studi—penguatan peran P2K3 berbasis data, diklat multi-skenario, pemeriksaan berkala domain kritis, dialog pekerja, dan timeline kepatuhan—kebijakan K3 berpotensi kembali ke kepatuhan formalitas:

  1. Risiko sosial tetap tinggi: pekerja enggan melapor, kepatuhan APD turun, budaya “asal jalan” kembali dominan.
  2. Biaya ekonomi meningkat: kecelakaan dan absensi tidak terkendali, produktivitas tergerus, reputasi melemah.
  3. Dampak lingkungan tidak terpantau tepat waktu: paparan dan insiden proses lebih mungkin luput hingga menjadi kejadian besar.
  4. Kelemahan administratif menetap: data parsial, evaluasi tidak berulang, tindak korektif tanpa tenggat—membuat pengawasan sulit menilai progres.

Temuan inti studi di PT GNI menyiratkan bahwa keberhasilan K3 lahir dari kombinasi kewajiban–kapasitas–budaya: ada perangkat organisasi (P2K3), kemampuan teknis (diklat dan pemeriksaan), serta ekosistem sosial (dialog pekerja dan kampanye keselamatan) yang bergerak serempak—diikat oleh timeline kepatuhan dan umpan balik pengawasan. Dengan mengadopsi lima rekomendasi praktis di atas, pembuat kebijakan dapat menyalin praktik yang terbukti di lapangan ke skema nasional yang realistis, berbiaya terkendali, dan berorientasi hasil. Dampak sosial, ekonomi, lingkungan, dan administratif yang lebih solid bukan hanya dimungkinkan, melainkan dapat diukur dan diaudit dari waktu ke waktu.

Sumber Paper: Walidah, Ziana & Fudin, Nur & Amelia, Desi & Fadila, Sur. (2024). Studi Kasus Pelaksanaan K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) di Kawasan PT Gunbuster Nickel Industry. https://doi.org/10.62383/aliansi.v1i3.186

Selengkapnya
Studi Kasus Pelaksanaan K3 (Kesehatan dan keselamatan kerja) di kawasan PT Gunbuster Nickel industry

Project Management

Key Performance Indicators (KPIs) untuk Meningkatkan Kinerja Keselamatan Pengembang Bangunan di Industri Konstruksi

Dipublikasikan oleh Raihan pada 15 September 2025


Kontribusi Utama terhadap Bidang

Penelitian Mahmoud et al. (2020) berangkat dari persoalan mendasar bahwa industri konstruksi, khususnya di sektor pengembangan bangunan, masih menghadapi tingkat kecelakaan kerja yang tinggi meskipun berbagai kebijakan keselamatan telah diperkenalkan. Makalah ini berupaya menjawab pertanyaan bagaimana indikator kinerja utama (Key Performance Indicators/KPIs) dapat digunakan secara efektif untuk menilai sekaligus meningkatkan performa keselamatan para pengembang bangunan.

Secara metodologis, penelitian ini memanfaatkan survei kuesioner yang melibatkan sejumlah besar responden profesional konstruksi. Data dianalisis menggunakan Relative Importance Index (RII) untuk menentukan prioritas dan tingkat kepentingan masing-masing indikator. Temuan kunci menunjukkan bahwa terdapat 15 KPI utama yang secara signifikan mencerminkan dan memengaruhi kinerja keselamatan pengembang bangunan.

Secara kuantitatif, hasil analisis memperlihatkan beberapa indikator yang sangat menonjol:
- Penyediaan perlengkapan Alat Pelindung Diri (APD) memiliki nilai RII hampir sempurna (RII = 0,98).
- Kepatuhan terhadap peraturan keselamatan pemerintah memperoleh nilai RII = 1,00.
- Komitmen manajemen terhadap keselamatan juga mencatat nilai tinggi (RII = 0,97).

Selain itu, indikator lain seperti pelatihan rutin keselamatan, pelaporan kecelakaan, serta audit keselamatan internal, seluruhnya berada pada rentang RII tinggi (0,85–0,95).

Kontribusi utama makalah ini adalah menyusun kerangka KPI yang terstruktur untuk industri konstruksi, dengan fokus pada pengembang bangunan. Artikel ini mengisi celah dalam literatur dengan menghadirkan instrumen pengukuran yang dapat digunakan secara praktis oleh manajer proyek, kontraktor, maupun pembuat kebijakan.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Walaupun menawarkan kontribusi penting, penelitian ini tetap memiliki sejumlah keterbatasan yang membuka ruang bagi riset lanjutan.

Pertama, dari sisi metodologi, penelitian ini hanya menggunakan questionnaire survey dengan analisis RII. Meskipun RII efektif untuk memberikan gambaran prioritas, metode ini cenderung deskriptif dan belum mampu menangkap hubungan kausalitas antar variabel.

Kedua, keterbatasan muncul pada konteks geografis penelitian. Studi ini difokuskan pada sektor konstruksi dengan representasi responden tertentu, sehingga hasilnya mungkin tidak sepenuhnya dapat digeneralisasikan.

Ketiga, penelitian ini menitikberatkan pada perspektif manajemen dan pengembang, sementara suara pekerja lapangan kurang dieksplorasi.

Keempat, penelitian ini mengasumsikan bahwa semua KPI memiliki bobot kepentingan yang relatif stabil, padahal dinamika proyek dapat memengaruhi relevansi KPI.

Terakhir, belum adanya model integratif yang menghubungkan KPI dengan indikator performa organisasi lainnya (biaya, waktu, mutu) meninggalkan pertanyaan tentang bagaimana keseimbangan antara keselamatan dan target bisnis dikelola.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

1. Pengembangan Model Kuantitatif untuk Menguji Kausalitas Antar-KPI
Penelitian lanjutan dapat menggunakan metode structural equation modeling (SEM) untuk menguji model kausal antara KPI utama dan outcome keselamatan nyata.

2. Studi Longitudinal tentang Dinamika Relevansi KPI di Berbagai Fase Proyek
Peneliti dapat melacak proyek konstruksi dari tahap awal hingga akhir, lalu mengukur perubahan tingkat kepentingan KPI di tiap fase.

3. Integrasi Perspektif Pekerja Lapangan dalam Validasi KPI
Riset lanjutan perlu mengintegrasikan suara pekerja lapangan dengan pendekatan mixed-method, untuk membandingkan hasil antara manajemen dan pekerja.

4. Perbandingan Lintas Sektor Konstruksi dan Lintas Negara
Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan di sektor lain dan berbagai negara dengan regulasi berbeda.

5. Pengembangan Model Integratif antara KPI Keselamatan dan Kinerja Proyek
Penelitian lanjutan dapat membangun balanced scorecard khusus konstruksi yang memasukkan keselamatan sebagai salah satu pilar utama.

Penutup Kolaboratif

Secara keseluruhan, penelitian Mahmoud et al. (2020) memberikan kontribusi signifikan dalam memformulasikan KPI yang relevan dan terukur untuk meningkatkan kinerja keselamatan pengembang bangunan. Namun, keterbatasan metodologis, kontekstual, dan perspektif aktor menunjukkan perlunya riset lanjutan yang lebih mendalam, lintas konteks, dan integratif. Arah riset ke depan harus melibatkan kolaborasi multi-pihak agar hasil penelitian tidak hanya berhenti pada ranah akademik, tetapi juga terimplementasi dalam praktik industri. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi seperti universitas teknik terkemuka, asosiasi kontraktor nasional, dan lembaga pengawas keselamatan kerja untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.
 

Baca Selengkapnya disini: https://www.jiem.org/index.php/jiem/article/view/3099

Selengkapnya
Key Performance Indicators (KPIs) untuk Meningkatkan Kinerja Keselamatan Pengembang Bangunan di Industri Konstruksi

Pendidikan Teknik

Menegakkan Profesionalisme dan Etika: Resensi Aturan Umum Insinyur Profesional Michigan (LARA)

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 15 September 2025


Mengapa Isu Ini Penting untuk Kebijakan

Profesionalisme dalam bidang teknik adalah kunci untuk menjaga keselamatan publik, integritas industri, dan kepercayaan masyarakat. Aturan umum yang ditetapkan oleh Department of Licensing and Regulatory Affairs (LARA) di Michigan menggarisbawahi hal ini melalui regulasi ketat terhadap lisensi, relisensi, pendidikan berkelanjutan, serta kode etik insinyur profesional.

Peraturan semacam ini relevan secara global, termasuk di Indonesia, karena menyajikan contoh bagaimana standar internasional dapat diterapkan untuk memastikan bahwa insinyur tidak hanya kompeten secara teknis, tetapi juga bertanggung jawab secara sosial. Inisiatif serupa tentang peningkatan kompetensi dapat ditemukan dalam artikel DiklatKerja tentang Training Dasar K3 Pertambangan, yang menekankan pentingnya profesionalitas dan tanggung jawab publik dalam industri berisiko tinggi.

Implikasi Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Aturan ini memberikan dampak positif yang besar. Pertama, adanya lisensi memastikan hanya individu yang memenuhi kualifikasi pendidikan dan pengalaman yang dapat menggunakan gelar insinyur profesional. Kedua, kewajiban pendidikan berkelanjutan (minimum 30 jam setiap periode) menjamin insinyur tetap mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan regulasi. Ketiga, pengaturan terkait kode etik memperkuat perlindungan terhadap masyarakat dari praktik curang atau tidak etis.

Namun, hambatan juga muncul. Sistem lisensi dan continuing education membutuhkan biaya dan akses sumber daya yang tidak merata. Di negara berkembang, seperti Indonesia, hambatan serupa dapat menyebabkan kesenjangan antara insinyur yang bekerja di kota besar dan mereka yang berada di daerah terpencil. Meskipun begitu, peluang reformasi terbuka luas. Penguatan sistem lisensi, integrasi kursus daring, serta pengawasan ketat atas penerapan kode etik bisa diadopsi untuk memperkuat regulasi nasional.

Rekomendasi Kebijakan Publik

Pertama, Indonesia perlu merumuskan aturan nasional yang mewajibkan lisensi bagi insinyur profesional dengan standar evaluasi kredensial yang transparan dan selaras dengan praktik internasional.

Kedua, continuing education wajib dilembagakan, minimal dengan jumlah jam tertentu per periode, yang dapat dipenuhi melalui kursus online, seminar, publikasi, maupun praktik profesional.

Ketiga, regulasi mengenai kode etik perlu diperkuat dengan penegakan hukum yang jelas, termasuk sanksi administratif maupun pencabutan lisensi bagi pelanggar.

Keempat, pemerintah perlu memberikan insentif agar asosiasi profesi menyediakan program pendidikan berkelanjutan yang mudah diakses, termasuk bagi insinyur di daerah terpencil.

Kelima, sistem pengawasan independen harus dibangun agar lisensi dan stempel profesional benar-benar menjadi simbol kompetensi, bukan sekadar formalitas administratif.

Kritik dan Potensi Kegagalan

Kebijakan seperti ini berisiko gagal jika tidak disertai pengawasan independen yang kuat. Jika continuing education hanya menjadi formalitas administratif, maka tujuan peningkatan kompetensi tidak akan tercapai. Selain itu, jika lisensi bisa diperoleh dengan jalur pintas atau melalui praktik kolusi, sistem akan kehilangan kredibilitasnya. Perlu keseimbangan antara regulasi yang ketat dengan akses yang inklusif agar kebijakan tidak diskriminatif terhadap insinyur di wilayah dengan akses terbatas.

Kesimpulan dan Peta Jalan Kebijakan

Aturan umum insinyur profesional dari LARA memberikan contoh penting bagaimana kebijakan dapat memperkuat profesionalisme teknik melalui lisensi, pendidikan berkelanjutan, dan kode etik. Indonesia dapat mengambil inspirasi dari model ini dengan mengadopsi sistem lisensi nasional, continuing education wajib, dan penegakan kode etik yang kuat. Peta jalan kebijakan ke depan harus mencakup regulasi yang tegas, pengawasan independen, serta akses inklusif agar semua insinyur mampu berkembang sesuai standar global.

Sumber

LARA. (2021). Professional Engineers – General Rules. Department of Licensing and Regulatory Affairs, Michigan, USA.

Selengkapnya
Menegakkan Profesionalisme dan Etika: Resensi Aturan Umum Insinyur Profesional Michigan (LARA)

Sertifikasi

Membangun Transparansi Pertambangan: Peran Competent Person dan Reformasi Kebijakan Global

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 15 September 2025


Mengapa Isu Ini Penting untuk Kebijakan

Standar pelaporan pertambangan internasional seperti JORC Code lahir untuk menjawab kebutuhan transparansi dan akuntabilitas dalam industri yang sarat risiko, terutama terkait eksplorasi, sumber daya, dan cadangan mineral. Di balik angka dan laporan teknis yang dipublikasikan, terdapat sosok kunci: Competent Person (CP), yakni profesional bersertifikasi yang bertanggung jawab atas akurasi data dan interpretasi teknis.

Pentingnya peran CP terletak pada perlindungan publik dan investor. Tanpa mekanisme ini, laporan pertambangan rawan dimanipulasi atau dipublikasikan secara prematur, sehingga dapat menyesatkan pasar. Oleh karena itu, CP bukan hanya kebutuhan teknis, tetapi juga instrumen kebijakan publik. Hal ini selaras dengan semangat membangun tata kelola yang bersih sebagaimana banyak dibahas dalam kursus dan artikel di DiklatKerja, misalnya pada Training Dasar K3 Pertambangan yang menekankan integritas, kompetensi, dan standar keselamatan kerja dalam industri tambang.

Implikasi Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Keberadaan CP menciptakan dampak besar dalam tata kelola industri pertambangan. Pertama, ia memberikan legitimasi publik terhadap laporan hasil eksplorasi. Kedua, CP meningkatkan kepercayaan investor global terhadap perusahaan tambang. Ketiga, CP berfungsi sebagai “filter” profesional yang mengurangi risiko laporan tidak valid.

Namun, hambatan masih banyak dijumpai. Di beberapa negara, jumlah CP yang tersertifikasi terbatas, sehingga menimbulkan ketergantungan pada segelintir individu atau bahkan “rent-seeking” dalam proses penunjukan. Hambatan lainnya adalah ketidaksinkronan regulasi nasional dengan standar global, yang membuat laporan tambang sulit diakui lintas yurisdiksi.

Meski demikian, peluang reformasi terbuka luas. Harmonisasi standar pelaporan global, kerja sama antar asosiasi profesi, serta integrasi CP dalam kerangka hukum nasional dapat menjadi langkah maju. Di Indonesia, misalnya, integrasi standar JORC dengan regulasi nasional bisa disertai skema pendidikan berkelanjutan melalui platform pembelajaran seperti Kategori Pertambangan & Perminyakan di DiklatKerja yang relevan untuk memperkuat profesionalitas SDM pertambangan.

Rekomendasi Kebijakan Publik

Pertama, pemerintah perlu memasukkan kewajiban CP dalam seluruh regulasi pelaporan publik industri pertambangan. Hal ini akan memastikan bahwa semua laporan teknis yang dipublikasikan sudah diverifikasi oleh profesional independen.

Kedua, dibutuhkan sistem sertifikasi nasional yang diakui secara internasional, sehingga CP asal Indonesia dapat bekerja di tingkat global dan laporan mereka memiliki legitimasi di bursa dunia.

Ketiga, kebijakan harmonisasi dengan standar CRIRSCO perlu diakselerasi agar industri tambang Indonesia lebih kompetitif secara global.

Keempat, program pendidikan berkelanjutan untuk CP harus dilembagakan, termasuk pembaruan kompetensi tentang teknologi eksplorasi, metodologi estimasi, dan tata kelola.

Kelima, pemerintah harus memperkuat mekanisme sanksi bagi CP yang terbukti lalai atau tidak etis, untuk menjaga kredibilitas profesi dan melindungi kepentingan publik.

Kritik dan Potensi Kegagalan

Meski konsep CP menjanjikan, implementasi kebijakan berisiko gagal jika tidak ada pengawasan efektif. CP dapat terjebak dalam konflik kepentingan ketika bekerja langsung di bawah tekanan perusahaan yang membutuhkan hasil tertentu. Tanpa badan independen yang mengawasi, sertifikasi bisa kehilangan makna. Selain itu, jika sertifikasi CP hanya formalitas administratif tanpa pembaruan kompetensi, peran CP akan tereduksi menjadi sekadar tanda tangan di dokumen.

Kesimpulan dan Peta Jalan Kebijakan

Reformasi tata kelola pertambangan membutuhkan kerangka yang kuat dan berlapis. CP adalah instrumen penting, tetapi efektivitasnya bergantung pada kebijakan yang mengatur sertifikasi, pendidikan berkelanjutan, harmonisasi standar global, dan mekanisme pengawasan independen. Jika diterapkan dengan konsisten, sistem CP dapat meningkatkan transparansi, memperkuat kepercayaan investor, dan melindungi publik dari risiko laporan pertambangan yang menyesatkan.

Sumber

JORC. (2021). Competent Person – A Baseline Review in a Global Context. Joint Ore Reserves Committee.

Selengkapnya
Membangun Transparansi Pertambangan: Peran Competent Person dan Reformasi Kebijakan Global

Pendidikan Tinggi

Dari Kompetensi Tersembunyi ke Kebijakan Publik: Reformasi Pendidikan Teknik

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 15 September 2025


Mengapa Artikel Ini Penting untuk Kebijakan

Menyoroti bahwa pembentukan kompetensi insinyur tidak hanya dipengaruhi oleh kurikulum formal, melainkan juga oleh pengalaman tak terduga atau accidental competencies. Melalui pendekatan interpretif, penelitian ini menegaskan bahwa kompetensi profesional berkembang dari interaksi sosial, pengalaman proyek, tekanan ujian, hingga dinamika budaya akademik. Fakta ini menantang pandangan tradisional bahwa cukup dengan rancangan kurikulum formal seorang mahasiswa akan keluar sebagai insinyur yang “lengkap.”

Implikasinya bagi kebijakan publik sangat besar: pemerintah, badan akreditasi, dan institusi pendidikan teknik perlu mendesain ulang kebijakan agar mampu mengakui dan mendukung terbentuknya kompetensi yang bersifat sosial, afektif, dan kontekstual. Sebagai gambaran kontekstual, upaya serupa pernah ditunjukkan dalam kebijakan pendidikan tinggi Indonesia yang menekankan penguatan kompetensi non-akademik. Artikel DiklatKerja mengenai Langkah Signifikan UMN Bersama LLDIKTI Wilayah III dalam Menciptakan Lingkungan Akademik yang Aman menunjukkan bagaimana dimensi sosial dan kultural turut diangkat dalam kerangka kebijakan pendidikan tinggi.

Implikasi Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dampak penelitian ini adalah kesadaran bahwa insinyur yang sukses tidak hanya cakap secara teknis, tetapi juga tangguh secara emosional, adaptif secara sosial, dan berdaya refleksi. Hambatannya, kurikulum dan sistem evaluasi masih terjebak dalam paradigma teknokratis yang mengukur keberhasilan hanya dari capaian akademik formal. Akibatnya, kompetensi tersembunyi yang terbentuk di luar kelas justru tidak terakomodasi dan berisiko hilang.

Namun, peluang besar terbuka jika kebijakan mengakui pentingnya pengalaman kontekstual. Misalnya, memasukkan proyek lintas disiplin, kegiatan komunitas, atau program mentoring ke dalam standar kurikulum. DiklatKerja melalui artikel Apa itu Insinyur Pertanian dan Mengapa Mereka Penting? memberikan contoh bagaimana pendidikan teknik bisa diperluas dengan perspektif praktis yang sering terabaikan dalam jalur akademik formal.

Rekomendasi Kebijakan Publik

Pertama, kebijakan nasional harus mengintegrasikan experiential learning ke dalam standar pendidikan teknik. Pemerintah dapat mewajibkan minimal satu semester program berbasis proyek yang terkait langsung dengan komunitas atau industri.

Kedua, skema akreditasi perlu diperbarui dengan indikator “kompetensi reflektif dan sosial.” Hal ini bisa berupa asesmen portofolio, jurnal refleksi, atau rekam pengalaman lintas disiplin.

Ketiga, dukungan kebijakan pendanaan untuk inisiatif mahasiswa dalam organisasi, proyek sosial, atau riset interdisipliner harus diperluas, karena di sanalah banyak accidental competencies terbentuk.

Keempat, institusi perlu diberi insentif untuk memperluas program mentoring dan pembimbingan karier, sehingga mahasiswa mendapatkan akses ke pembelajaran yang tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga pengembangan diri.

Kelima, regulasi kerja sama kampus–industri harus memasukkan unsur pembinaan kompetensi profesional (misalnya manajemen tim, etika, komunikasi), bukan sekadar keterampilan teknis.

Kebijakan publik yang mendukung lima langkah ini akan memastikan kompetensi insinyur tidak hanya “tersurat” dalam kurikulum, tetapi juga “tersirat” dalam praktik nyata yang lebih kontekstual.

Kritik dan Potensi Kegagalan

Kebijakan yang hanya menambahkan beban administratif tanpa memperbaiki budaya akademik akan gagal. Misalnya, jika portofolio atau jurnal refleksi hanya dijadikan syarat administratif tanpa ruang umpan balik yang serius, maka tujuan pengembangan kompetensi sosial akan hilang. Demikian pula, jika skema kerja sama industri hanya formalitas untuk memenuhi standar akreditasi, peluang pembentukan kompetensi profesional nyata akan terabaikan. Risiko lainnya adalah ketimpangan antar institusi: universitas besar mungkin mampu menyediakan program mentoring atau proyek komunitas, tetapi politeknik kecil bisa kesulitan tanpa dukungan dana tambahan.

Kesimpulan dan Peta Jalan Kebijakan

Menegaskan bahwa kompetensi insinyur sejati terbentuk dari kombinasi kurikulum formal dan pengalaman kontekstual yang tidak selalu dirancang. Kebijakan publik harus mampu menjembatani keduanya dengan kerangka yang inklusif, terukur, dan berorientasi jangka panjang. Dengan mengintegrasikan experiential learning, memperbarui sistem akreditasi, memberikan insentif pada aktivitas ekstra-kurikuler bermakna, serta memperkuat kerja sama kampus–industri, pemerintah dapat memastikan bahwa insinyur Indonesia siap menghadapi tantangan teknis sekaligus sosial.

Sumber

Walther, J., Kellam, N., Sochacka, N., & Radcliffe, D. (2011). Engineering Competence? An Interpretive Investigation of Engineering Students’ Professional Formation. Journal of Engineering Education, 100(4), 703–740. https://doi.org/10.1002/j.2168-9830.2011.tb00033.x

Selengkapnya
Dari Kompetensi Tersembunyi ke Kebijakan Publik: Reformasi Pendidikan Teknik
« First Previous page 137 of 1.280 Next Last »